factitious disorder (gangguan buatan) dengan gejala...
TRANSCRIPT
Factitious Disorder (Gangguan Buatan)
Dengan Gejala Menyerupai Myasthenia Gravis
Dian Pitawati
KSM Jiwa RSUP Fatmawati [email protected]
Abstrak
Pendahuluan: Gangguan buatan merupakan suatu kondisi yang ditimbulkan oleh pasien dengan sengaja atau
dibuat-buat dengan tampilan gejala fisik maupun psikologis untuk mendapatkan peran sebagai penderita (sick
role). Peniruan terhadap gejala fisik dapat meyakinkan sehingga pemeriksaan bisa dilakukan berulang-ulang
bahkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam diagnosis maupun pengobatan.
Kasus: Pasien seorang wanita, usia 34 tahun, belum menikah, menjalani perawatan di rumah sakit di bagian
neurologi selama bulan Februari sampai Maret 2014 dan penyakit dalam selama bulan Mei sampai Juli 2014.
Sejak tahun 2009 pasien selalu mengeluh otot-otot keempat ekstremitasnya terasa lemah dan merasa harus
dibantu untuk perawatan dirinya oleh orang lain terutama keluarganya dan merasa harus minum obat mestinon
seumur hidup, namun saat dilakukan observasi tanpa sepengetahuan pasien, pasien bisa melakukan aktivitas
sehari-hari tanpa kesulitan. Pemeriksaan-pemeriksaan yang sudah dilakukan tidak menunjang ke arah
myasthenia gravis. Dari pemeriksaan psikiatri didapatkan adanya konflik masa kecil yang cukup bermakna,
adanya secondary gain dan perbedaan perilaku saat dilakukan observasi tanpa sepengetahuan pasien. Di bulan
Agustus 2014, pasien dialih rawat di bagian psikiatri, dilakukan hipnoterapi relaksasi, psikoterapi psikodinamik
serta dilatih untuk mengembangkan pola pikir dan perilaku yang lebih adaptif.
Pembahasan: Diagnosis gangguan buatan tidak mudah ditegakkan, diperlukan anamnesis dan observasi yang
seksama, melibatkan multidisiplin ilmu sebagai bagian dari peran Consultation Liaison Psychiatry (CLP)
sehingga pemeriksaan-pemeriksaan berulang tidak dilakukan lagi dan lebih terfokus untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan meningkatkan insight, dukungan keluarga dalam melatih kemandirian dalam
perawatan diri pasien.
Kata kunci: gangguan buatan, myasthenia gravis, kelemahan otot, secondary gain
Abstract
Background: Factitious disorder is a condition in which a person acts as if they have ann illness by deliberatley
producing, feigning, or exaggerating symptoms to get a role as a sick person (sick role). The imitation of the
symptoms is really convincing that the doctors will deliver any examinations and could be misdiagnosed and
mistreatment.
Case: Patient, a female, 34 years old, not married, being treated in neurologic ward from February to March
2014 and in internal medicine ward from May to July 2014. Physical complaints began since 2009, described as
a muscle weakness in all of her extremity that she needed help from the family to tak care of his daily care and
activities, convincing others that she must consumed mestinon for the rest of her life, but when being observed
without known, the patient was able to do all the daily activity without any difiiculties. All the examinations that
had been delivered showing no results to be diagnosed as myasthenia gravis. From psychiatric examinations,
there was a meaningfull childhood conflict, secondary gain and behaviour distinction when the observation is
done without knowing by the patient. In August 2014, patient was referred to psychiatric ward, having
relaxation hypnotherapy, psychodynamic psychotherapy and also taught to develop more adapted mind and
behavior.
Discussion: Factitious disorder is very difficult to be diagnosed, it needs a very carefull anamnesis and a
thorough observation, involving other multidisciplines as a part of Consultation Liaison Psychiatry (CLP),
therefore no more any unneeded examinations, and the therapy is more focused on improving the quality of
patient’s life by increasing insight, family support and teaching the independence of the patient’s activitiy daily
living.
Keywords: factitious disorder, myasthenia gravis, muscle weakness, secondary gain
Pendahuluan
Myasthenia gravis adalah salah satu
karakteristik penyakit autoimun yang
disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.
Hal ini ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila
penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Sulit untuk menegakkan diagnosis myasthenia
gravis tanpa pemeriksaan penunjang. Pasien
seringkali salah diagnosis. Myasthenia gravis
merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi.
Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan
dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,
yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.1
Myasthenia gravis ditandai oleh adanya
kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka
dan kelemahan ini akan meningkat apabila
sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.
_______________________________________
Korespondensi: Dian Pitawati
KSM Jiwa RSUP Fatmawati
Email: [email protected]
Gejala klinis myasthenia gravis antara lain
adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau
ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala
sering menjadi keluhan utama penderita
myasthenia gravis, ini disebabkan oleh
kelumpuhan dari nervus okulomotorius.
Walaupun pada myasthenia gravis otot levator
palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-
otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada
tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis myasthenia gravis.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita
sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga
sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada
fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula
timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbullah paresis
dari pallatum molle yang akan menimbulkan
suara sengau. Selain itu bila penderita minum
air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
Hal yang paling membahayakan adalah
kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini
merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan
otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga
akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien myasthenia gravis
fase akut sangat diperlukan. Untuk penegakan
diagnosis myasthenia gravis, dapat dilakukan
pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan
untuk menghitung dengan suara yang keras.
Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Setelah itu, penderita ditugaskan untuk
mengedipkan matanya secara terus-menerus dan
lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara
penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian
tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.1,2,3
Tabel 1. Tes diagnosis pada myasthenia gravis1
Factitious disorders (FD) atau
gangguan buatan adalah suatu kondisi seseorang
memperlihatkan bahwa ia mempunyai penyakit
fisik atau mental, yang sebenarnya dia tidak
benar sakit. Para penderita FD ini
memperlihatkan sakitnya kepada orang-orang
disekitar mereka yang tidak memperhatikan
mereka. Pada dasarnya FD ini berkaitan dengan
kondisi psikiatrik individu berpura-pura dalam
memerankan sakitnya. Pada gangguan buatan ini
pasien secara sengaja menghasilkan tanda
gangguan medis atau mental dan salah
menggambarkan riwayat penyakit dan gejalanya.
Tujuan satu-satunya yang tampak dari perilaku
adalah mendapatkan peranan dari seorang
pasien. Bagi kebanyakan orang, perawatan
dirumah sakit sendiri merupakan tujuan utama
dan sering kali merupakan cara hidupnya. Selain
itu diantara pasien dengan FD ada yang
menantang memberi suatu masalah dengan
maksud untuk menyibukkan dan untuk
memancing emosi seperti marah, frustasi atau
membingungkan para dokter di klinik.4 Agak
sulit dalam mendiagnosis gangguan ini.
Kemungkinan penyebab organik harus
disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat
berakibat pemeriksaan yang lebih ekstensif. Hal-
hal yang perlu dipertimbangkan adalah
kemungkinan dibuat-buatnya gejala tersebut.
Disini ada dua kemungkinan, gangguan buatan
( factitious disorder) atau berpura-pura
(malingering). Pada gangguan buatan, gejala-
gejala dibuat dengan sengaja untuk mendapatkan
perawatan medis, sedangkan pada malingering
ditujukan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi misalnya menghindari tuntutan hukum,
masalah hutang, atau tugas militer yang berat.
Menentukan hal ini tidaklah mudah dan
mungkin memerlukan bukti bahwa ada
inkonsistensi dalam gejalanya.
Kriteria diagnostik untuk gangguan buatan
dalam Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV)
adalah sebagai berikut5 :
1. Menimbulkan secara sengaja atau
dibuat-buat tanda atau gejala fisik atau
psikologis
2. Motivasi untuk perilaku adalah untuk
mendapatkan peranan sakit (sick role)
3. Tidak terdapat keuntungan eksternal
untuk perilaku (seperti tujuan ekonomi,
menghindari tanggung jawab hukum,
atau memperbaiki kesejahteraan fisik
seperti pada malingering)
Penulisan berdasarkan pada jenis :
1. GB dengan tanda dan gejala psikologis yang
menonjol; jika tanda dan gejala psikologis
mendominasi gambaran klinis
2. GB dengan tanda dan gejala fisik yang
menonjol; jika tanda dan gejala fisik
mendominasi gambaran klinis
3. GB dengan kombinasi tanda dan gejala
psikologis dan fisik; jika tanda dan gejala
psikologis maupun fisik ditemukan tetapi tidak
ada yang mendominasi gambaran klinis.
Sedangkan berdasarkan PPDGJ III kriteria
diagnosis untuk gangguan buatan ini6 :
Dengan tidak adanya gangguan fisik
atau mental, penyakit atau cacat yang
pasti, individu berpura-pura mempunyai
gejala sakit secara berulang-ulang dan
konsisten.
Untuk gejala fisik mungkin dapat
meluas sampai membuat sendiri irisan
atau luka untuk menciptakan perdarahan
atau menyuntik diri dengan bahan
beracun.
Peniruan nyeri dan penekanan adanya
perdarahan dapat begitu meyakinkan
dan menetap sehingga menyebabkan
diulanginya pemeriksaan dan operasi di
beberapa klinik dan rumah sakit,
meskipun hasilnya berulang-ulang
negatif.
Motivasi untuk perilaku ini hampir
selalu kabur dan dianggap fakstor
internal, dan fungsi ini terbaik
diinterpretasikan sebagai suatu
gangguan perilaku sakit dan peran
sakit (disorder of illness behavior and
the sick role).
Individu dengan pola perilaku demikian
biasanya menunjukkan sejumlah tanda
dari kelainan yang berat lainnya dari
kepribadian dan hubungan dengan
lingkungan.
Perlu dibedakan dengan
“malingering”, didefinisikan sebagai
kesengajaan atau berpura-pura membuat
gejala atau disabilitas, baik fisik maupun
psikologis, yang dimotivasikan oleh
stress eksternal atau insentif (kode
Z76.5 dari ICD-10).
Gangguan konversi adalah suatu
gangguan yang ditandai oleh hilangnya
atau ketidakmampuan dalam fungsi
fisik, namun tidak ada penyebab organis
yang jelas. Dimana gejala konversi
menyerupai gejala-gejala neurologis
atau medis umum yang melibatkan
masalah dengan fungsi motorik yang
volunter atau fungsi sensoris. Gejala
atau defisit tidak ditimbulkkan secara
sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
Diagnosis banding lain yaitu
hipokondriasis yang ciri utamanya
adalah preokupasi yang menetap akan
kemungkinan menderita satu atau lebih
gangguan fisik yangs serius dan
progresif. Gejala yang membedakan
dengan gangguan buatan adalah pasien-
pasien dengan hipokondriasis takut akan
tindakan dan pengobatan yang diberikan
dengan berbagai efek sampingnya.
Depresi dan anxietas yang berat
seringkali menonjol dan mungkin
memenuhi syarat untuk suatu diagnosis
tambahan.
Kasus:
Pasien wanita, usia 34 tahun datang dengan
keluhan kelemahan keempat ekstremitas disertai
nyeri. Dari pemeriksaan pasien tampak
menceritakan tentang keluhan kelemahan otot-
ototnya dan riwayat perjalanan penyakitnya
dengan lancar, saat ditanya tentang riwayat
keluarga pasien mengeluh dirinya sesak dan
harus istirahat. Tak nampak ptosis, tak nampak
suara sengau atau bicara cadel selama pasien
diperiksa. Pasien juga tidak bisa lepas dari obat
Mestinon, merasa khawatir bila obat Mestinon
diturunkan dosisnya atau tidak diberikan lagi.
Pasien pernah dicoba diberikan plasebo tanpa
diberitahukan kepada pasien, hasilnya pasien
tidak ada keluhan lemas atau sesak.
Pasien lebih banyak berbaring di
tempat tidur sampai sekarang. Pasien minta
makan, minum, buang air kecil dan besar
dibantu di tempat tidur. Pasien juga selalu minta
badannya dibolak-balikkan setiap 5 menit sekali.
Bila keinginan pasien tidak dipenuhi, pasien
akan marah dan bisa bangun, berdiri, mengejar,
mencakar atau menggigit kakak perempuan atau
ibu tirinya saat itu. Pasien untuk buang air kecil
dengan menggunakan kateter yang dimodifikasi
(spuit 10 cc dihubungkan melalui selang ke
botol air mineral ukuran 1 liter).
Dari pemeriksaan status mental
didapatkan observasi perilaku yang tidak
konsisten saat pasien merasa tidak ada orang
yang melihatnya pasien bisa beraktivitas seperti
biasa, namun saat diwawancara dan dilakukan
pemeriksaan pasien merasa lemah, tidak kuat
beraktivitas ataupun menampilkan keluhan
sesak. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
atrofi pada keempat ekstremitas namun kekuatan
motorik masih baik, kesan deformitas pada jari-
jari tangan tanpa nyeri atau tanda-tanda radang.
Dari hasil pemeriksaan penunjang lainnya tidak
menunjang penyakit myasthenia gravis ataupun
autoimun, lebih ke arah deconditioning syndrom
karena efek imobilisasi lama atau dugaan efek
steroid jangka lama.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan
Pemerik
saan
Hasil
Radiolog 18 Mei 2014
Thorax
AP,
lateral
Manus
bilateral
Tidak didapatkan kelainan
Tidak didapatkan kelainan
Laborat
orium:
20 Mei
2014
6 Juni
2014
14
Juni
2014
20 Juni
2014
Hemo
globin
Hematok
rit
Leuko
Trombo
Diff
count
LED
SGOT
SGPT
TG
LDL
HDL
Kol total
GDP
HbA1C
Ureum
Creatinin
eGFR
Na/K/Cl
Mg
Fosfat
inorganik
Kalsium
ion
TSH
sensitif
Serum
ion
Saturasi
transferin
11,7
35,9
13.910
320.000
0,1/ 0,2/
83,1/10,8/
5,8
13
7
1,99
3,6
1,11
0,260
24
8
9,4
29,9
12.690
327.000
0,1/0,1/
86,1/9,1
/4,6
50
141/4,54
/107,8
2,16
3,4
1,12
10,8
34
6.720
407.00
0
84
98
17
0,5
142/4,
75/99,
5
2,36
3,4
8,9
28,9
10.090
479.000
0,1/0,3/7
2,8/22,8/
4
30
23
60
131
134
81
186
32
6,3
24
0,4
137,3
137/4,88/
97,7
TIBC
D dimer
kuanti
ANA
IgG
IgM
Beta 2GP
IgM
Beta 2GP
IgG
ACA
IgM
ACA IgG
Faktor
rematoid
Antibodi-
Ach
respetor
Protein S
Protein C
288
negatif
185
908
9
900
5,7
negatif
2,3
negatif
194,5
positif
5,3
negatif
Normal
62
89,9
EMG 6 Juni 2014
EMG
KHS
Harvey
Masland
Normal
Negatif
Biopsi
Otot
12 Juni 2014
Hasil Gambaran mitologik ini dapat ditemukan
pada otot myasthenia gravis
Radiolog 13 Juni 2014
MRI
cerebellar
tanpa
kontras
Infark kronik fokal di putamen bilateral
Kavum septum pellucidum persisten
ADL
Sebelum
sakit
Saat
masuk
Minggu I
Minggu
II
Selama
di
bangsal
7
4
4
4
20
Psikiatri
Risiko
Jatuh
20 Mei
21 Mei
10 Juni
55 (risiko tinggi)
40 (risiko rendah)
15 (tak berisiko)
Risiko
Dekubi
tus
18 Mei 2014
Skor total 15 (risiko sedang)
Pembahasan:
Kondisi pasien sebenarnya sudah
dinyatakan bukan suatu myasthenia gravis oleh
bagian Neurologi saat dirawat pada bulan
Februari-Maret 2014, namun pasien masih
mengeluhkan otot-otot tubuhnya terasa lemah.
Hal ini karena sejak akhir 2013 pasien dirawat
secara bergilir oleh kakak-kakaknya, sehingga
mereka mengetahui bahwa saat tidak ada
keluarga dan hanya ada pembantu pasien bisa
melakukan aktivitas, bangun, berdiri dan
berjalan, demikian juga saat pasien marah
karena permintaannya untuk dibolak-balikkan
badannya lupa tidak dilakukan oleh kakak
perempuan atau ibu tirinya pasien bisa bangun,
berdiri dan mengejar kakak atau ibu tirinya
kemudian mencakar dan menggigitnya.
Demikian juga selama perawatan di rumah sakit
saat ini, pasien bila ia tidak mengetahui bahwa
dirinya sedang diobservasi oleh pemeriksa,
pasien bisa memainkan telepon genggam dan
menggerakkan keempat ekstremitas tubuhnya
dan akan kembali mengeluh lemas atau sesak
bila didatangi oleh pemeriksa terutama bila
ditanyakan tentang keluarganya. Kondisi pasien
saat ini lebih memenuhi kriteria diagnosis
gangguan buatan daripada gangguan konversi,
malingering ataupun hipokondriasis karena
pasien benar-benar menikmati peran sakitnya,
yang harus dilakukan pemeriksaan dan
pengobatan, dan di rumah pasien juga tetap
mempertahankan peran sakitnya meski sudah
dikatakan bukan suatu myasthenia gravis.
Kondisi pasien yang hanya berbaring
di tempat tidur, tidak melakukan aktivitas apa-
apa selain minta dilayani baik di rumah maupun
di rumah sakit, bila tidak segera dilakukan
intervensi dapat menyebabkan atrofi otot bahkan
kontraktur. Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah masalah relasi pasien dengan orang lain
terutama kakak-kakak pasien yang selama ini
membantu merawat pasien dan berharap pasien
bisa mandiri melakukan perawatan diri dan
aktivitas sehari-hari, perlu diperbaiki dan
disampaikan saat pertemuan dengan keluarga
pada sesi selanjutnya. Adanya burn out pada
keluarga diperlukan intervensi keluarga untuk
mengidentifikasi masalah yang ada pada
masing-masing anggota keluarga, mencari
persepsi dan harapan masing-masing anggota
keluarga tentang kondisi masing-masing dan
terhadap pasien. Perlu disampaikan kepada
keluarga untuk membentuk sikap yang tidak
semakin mendukung pola perilaku pasien dan
tetap memberikan dukungan untuk pasien
supaya bisa mandiri dalam perawatan diri serta
aktivitas sehari-hari.
Pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang
tanpa mencari tahu riwayat sebelumnya dan
melakukan anamnesis yang lengkap terutama
terhadap keluarga akan semakin membuat kita
mengarahkan diagnosis ke penyakit autoimun
lain, sehingga membuat pasien semakin yakin
bahwa penyebab sakitnya adalah autoimun dan
masih dicari tipenya. Hal-hal seperti ini dapat
menyebabkan suatu misdiagnosis bahkan
mistreatment terhadap pasien, karena sebenarnya
pasien tidak menderita penyakit myasthenia atau
gluten ataksia namun tetap mendapatkan terapi
untuk penyakit tersebut yang berhubungan
dengan efek samping obat yang diberikan
sehingga dapat menyebabkan pemeriksaan atau
tindakan iatrogenik.7,8
Ada kekhawatiran dari
teman sejawat baik dari penyakit dalam maupun
neurologi dalam hal penyampaian informasi
tentang hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
akan membuat pasien atau keluarga tidak terima
atau respon pasien akan manipulatif dari riwayat
sebelumnya yang pernah dilakukan oleh pasien.
Dalam hal ini peran CLP (Consultation Liaison
Psychiatry) diperlukan untuk membantu bagian
lain dalam tatalaksana pasien. Mulai dari
diagnosis sampai tatalaksana, termasuk di
dalamnya pertemuan dengan keluarga, diskusi
dengan bagian lain sebagai 1 tim sehingga saat
penyampaian informasi kepada pasien dan
keluarga tidak menimbulkan kebingungan dan
melakukan pendampingan terhadap pasien
maupun keluarganya. Adanya kondisi medis lain
yang ditemukan pada pasien saat ini tidak
berhubungan dengan keluhan subyektfnya, lebih
karena efek samping imobilisasi lama dan obat-
obatan yang diberikan.
Hasil Join Conference:
Departemen yang hadir:
Departemen Penyakit Dalam Divisi
Alergi Imunologi
Departemen Neurologi
Departemen Psikiatri
Departemen Patologi Anatomi
Neurologi:
Diagnosis myasthenia gravis tersingkir karena
setelah dilakukan pemeriksaan 2x pada bulan
Pebruari-Maret 2014 di bagian Neurologi dan
perawatan saat ini tidak menunjukkan ke arah
myasthenia gravis (EMG normal, Harvey
Masland test negatif, antibodi asetilkolin
reseptor normal, rontgen thorax normal, tidak
didapatkan thymoma).
Gambaran MRI suatu silent infark, tidak
berhubungan dengan keluhan subyektif pada
pasien saat ini.
PA:
Gambaran PA pada biopsi otot tidak khas untuk
myasthenia gravis, lebih ke arah gambaran atrofi
otot.
Psikiatri:
Keluhan subyektif pada pasien lebih ke arah
gangguan buatan (factitious disorder) karena
dari hasil pemeriksaan bukan suatu myasthenia
gravis, pasien lebih menikmati perannya sebagai
penderita dengan adanya keyakinan bahwa
dirinya menderita suatu myasthenia gravis tipe
lain dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian
dan perawatan orang lain terutama keluarga
(secondary gain). Saran untuk alih rawat ke
bangsal psikiatri dengan rawat bersama dengan
departemen terkait.
Simpulan:
Sepakat untuk alih rawat psikiatri dengan rawat
bersama bagian penyakit dalam dan neurologi.
Selasa 24 Juni 2014 rencana family meeting dan
penyampaian kepada pasien.
Hasil family meeting:
Saat ini tidak ditemukan adanya
penyakit autoimun, ACA yang positif
bisa sambil dirawat di bangsal psikiatri
dan akan rawat bersama dengan IPD
Obat mestinon dihentikan
Dari bagian neurologi, saat ini diagnosis
silent infark, tatalaksana untuk
pencegahan stroke sekunder, acc alih
rawat dan rawat bersama dengan
Neurologi
Psikiatri acc alih rawat ke bangsal
Psikiatri
Keluarga setuju untuk alih rawat di
bangsal psikiatri. Kakak-kakak pasien
sudah merasa kelelahan menghadapi
pasien, dan bingung dengan kondisi
pasien yang masih lemah namun kadang
tidak sesuai dengan perilakunya kadang
bisa marah, bangun, berdiri dan
melakukan aktivitas seperti biasa, bisa
makan makanan padat saat pasien ingin
seperti nasi biasa dengan lauk atau
bakso kesukaan pasien
Hasil Presentasi Kasus Sulit Lintas
Departemen:
Departemen Penyakit Dalam Divisi
Alergi Imunologi
Departemen Neurologi
Departemen Psikiatri
Departemen THT
Departemen Radiologi
Psikiatri, Divisi Psikoterapi:
Pasien mempunyai self esteem yang
rendah, self demanding dan mengontrol
kakak-kakaknya tiap 5 menit sekali
Psikoterapi psikodinamik yang
diberikan harus dilakukan secara rutin
dengan tujuan untuk membuka konflik
Psikiatri, Divisi Neuropsikiatri:
Gangguan buatan pada pasien tidak
didapatkan depresi atau putus asa meski
sudah lama dengan kondisi sakitnya,
pasien juga senang sekali dengan alat-
alat medis, pemeriksaan dan tindakan
yang diberikan
Nyeri yang dikeluhkan lebih ke arah
psikogenik pain
Psikiatri, Divisi CLP:
Multiaspek sehingga penatalaksanaan
harus lebih komprehensif
IPD:
Diagnosis myasthenia gravis bisa
disingkirkan
Keluhan kelemahan otot bukan suatu
myositis karena CKMB normal
Keluhan nyeri juga bisa disingkirkan
karena hasil pemeriksaan laboratorium
fakor rheumatoid negatif
Hasil titer ANA 1/320 tidak terlalu
tinggi, baru bermakna bila lebih dari
1/1000, sehingga bukan suatu SLE
Pemberian aspilet harus direview
sesuai TS Neurologi
Hasil ACA IgM yang positif bisa
ditemukan pada kondisi infeksi, false
positif, perlu diulang 12 minggu lagi,
jika hasil tinggi dan konsisten, diterapi
bila gejala klinis mendukung, saat ini
tidak ada
Cavit D3 diberikan karena pasien
didapatkan defisiensi vitamin D
Metilprednisolon masih diteruskan dan
direncanakan untuk di-tappering off
Pemberian steroid jangka panjang
dapat menyebabkan insufisiensi
adrenal, biasanya dengan gejala
tekanan darah rendah, gula darah
rendah, gangguan elektrolit, myopati
steroid dan peningkatan CKMB. Saran:
untuk memastikan diperiksa kadar
kortisol pagi dan sore
Neurologi:
Diagnosis myasthenia gravis bisa
disingkirkan
Efek samping mestinon antara lain efek
kolinergik, peningkatan peristaltik,
hipersalivasi dan kelemahan otot
Infark yang terjadi merupakan silent
infark karena tidak didapatkan gejala
atau defisit neurologis
Infark di putamen biasanya dengan
gejala gangguan korrdinasi, pada
pasien tidak ada
Untuk prevensi stroke sekunder
diberikan aspirin dosis kecil (1 x 80
mg)
Radiologi:
Infark pada gambaran MRI merupakan
infark bilateral, jarang terjadi pada
stroke
Small vessel disease masih mungkin
Saran: MRA dengan kontras untuk
diagnostik
THT:
Untuk keluhan susah menelan, perlu
dipastikan dengan FEES untuk melihat
seberapa jauh residu makanan yang
tersisa, pernah coba dilakukan namun
pasien tidak kooperatif
Rehabilitasi Medik:
Adanya mobilisasi lama mempengaruhi
sistim kardiorespirasi, otot dan
penurunan endurance
Saat ini pasien sudah bisa berjalan
Nyeri pada punggung yang dikeluhkan
tidak khas, seperti neurogenik pain
dengan lokalisasi yang tidak bisa
dideskripsikan
Aktivitas self care beberapa sudah
berjalan namun bertolak belakang
dengan keluhan subyektif pasien
sehingga harus terus dimotivasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolle MW. Myasthenia gravis. The
Neurologist. 2002;8(1): 1-22.
2. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski
HJ. Myasthenia gravis: past, present,
and future. J Clin Invest.
2006;116(11):2843-54.
3. Ruegg SJ, Dirnhofer S, Tellez CHB,
Steck AJ, Marsch S. Life-threatening
myasthenia gravis masked by a
psychiatric disorder. Schweizer Archiv
Fur Neurologie Und Psychiatrie.
2007;158(4):150-154.
4. Ferrara P, Vitelli O, Romani L, et al.
The thin line between munchausen
syndrome and munchausen syndrome by
proxy. J Psychol Anorm Child.
2014;3(2):1-2.
5. American Psychiatric Association.
Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 4th
ed text revision.
Washington DC. 2000. Tollefson GD.
Distinguishing myasthenia gravis from
conversion. Psychosomatics.
1901;22(7):611-621.
6. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ III), cetakan
pertama. Jakarta; 1993.
7. Scherer K, Bedlack RS, Simel DL. Does
this patient have myasthenia gravis?
JAMA 2005;293(15):1906-1914.
8. Wheeler SD. Misdiagnosis of
myasthenia gravis. J Natl Med Assoc.
1987;79(4):425-9.