somatization disorder

36
Somatization Disorder Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. EPIDEMIOLOGI Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 – 0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 – 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). Beberapa peneliti menemukan bahwa ggangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali

Upload: ari-vilologus-sugiarto

Post on 15-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Somatization Disorder

TRANSCRIPT

Somatization Disorder

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.

Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.

EPIDEMIOLOGIPrevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun).Beberapa peneliti menemukan bahwa ggangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif.

ETIOLOGIPenyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni:

Faktor PsikososialTerdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai sutu tipe komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh: mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh: nyeri pada usus seseorang).Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak setabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.

Faktor BiologisDitemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi.

GAMBARAN KLINISCiri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien datang ke psikiater. Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik ke pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif.

Keluhannya dapat mengenai setiap sistem atau bagian tubuh manapun, tetapi paling lajim mengenai keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, mual, muntah), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, napas pendek yang tidak berhubungan dengan aktivitas dan keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa terbakar, kesemutan, baal, pedih, dsb.), serta bercak-bercak pada kulit. Keluhan mengenai seks dan haid juga lazim terjadi. (1,3)Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal adalah menonjol, dan sering sekali terdapat anxietas dan depresi yang nyata sehingga memerlukan terapi khusus. Pasien biasanya tetapi tidak selalu menggambarkan keluhannya dengan cara yang dramatik, emosional, dan berlebih-lebihan, dengan bahasa yang gamblang dan bermacam-macam. Pasien wanita dengan gangguan somatisasi mungkin berpakaian eksibisionistik. Pasien mungkin merasa tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus akan pujian atau sanjungan dan manipulatif.

Gangguan somatisasi sering disertai oleh gangguan mental lainnya, termasuk gangguan depresi berat, gangguan kepribadian, gangguan berhubungan dengan zat, gangguan kecemasan umum, dan fobia.

DIAGNOSISKriteria diagnosis gangguan somatisasi berdasarkan DSM IV:A. Riayat banyak keluhan fisik dengan onset sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.B. Tiap kriteia berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan.1. Empat gejala nyeri: Riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlebihan (misalnya: kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).2. Dua gejala gastrointestinal: Riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain dari nyeri (misalnya: mual, kembung, muntah selain dari kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap berbagai jenis makanan).3. Satu gejala seksual: Riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduksi selain dari nyeri (misalnya: indiferensi seksual, disfungsi erektil, atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdaraahan menstruasi yang berlebih, muntah sepanjang kehamilan).4. Satu gejala pseudoneurologis: Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguaan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan ditenggorokan, retensi urin, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia atau hilangnya kesadaran selain pingsan).C. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau pura-pura).

Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:1. Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.2. Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya.

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSISGangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan.Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung 6 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu perhatian medis.

Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik.Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang sampai buruk.

TERAPIPasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval satu bulan.

Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.

Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.

Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.

HipokondriaKecemasan seorang penderita hipokondria tidak sebatas meyakininya saja, tetapi diikuti dengan tindakan, misalnya "Belanja Dokter", "Belanja Rontgen Hipokondria adalah kecemasan yang berlebihan terhadap suatu atau beberapa penyakit. Penderita hipokondria akan selalu menanggapi keluhan-keluhan fisik dengan sangat serius, dan menyimpulkan bahwa dia menderita penyakit tertentu.

Contoh: Orang normal jika batuk ya menganggap dia sedang batuk saja. Penderita hipokondria jika batuk berpikir bahwa dia terkena TBC, atau bahkan kanker paru. ", sampai "Belanja Lab".

Hal ini disebabkan penderita hipokondria selalu meragukan atau bahkan tidak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter yang dia terima. Padahal hasilnya sudah sangat super akurat. Selanjutnya dia akan mengunjungi dokter lain yang dianggapnya lebih pintar, dan seterusnya.

Tak cukup dengan "Belanja Dokter", penderita hipkondria juga berusaha mencari informasi tentang penyakitnya melalui buku2 atau internet. Dalam dunia psikiatri, hipokondria termasuk ke dalam gangguan mental atau psikis. Biasanya ditandai dengan perhatian berlebih terhadap kesehatan tubuh sendiri. Pikiran penderita selalu terpusat pada imajinasi tentang penyakit gawat yang menyerang tubuhnya, sehingga kehidupan pribadi dan sosialnya terganggu.

PenyebabPenyebab hipokondria umumnya adalah trauma, kecemasan, emosi negatif yang dipendam, beban emosional dan konflik psikologis.Gejala* Ketakutan atau kecemasan berlebihan mengalami penyakit tertentu* Khawatir bahwa gejala minor berarti ada penyakit yang serius * Mencari, mengulangi ujian atau konsultasi medis* Sering berganti dokter* Frustrasi dengan dokter atau perawatan medis* Hubungan sosial tegang* Gangguan emosi* Sering memeriksa tubuh untuk masalah-masalah, seperti benjolan atau luka* Sering memeriksa tanda-tanda vital seperti denyut nadi atau tekanan darah* Ketidakmampuan diyakinkan oleh ujian medis* Berpikir mempunyai penyakit setelah membaca atau mendengar tentang hal itu* Menghindari situasi yang membuat merasa cemas, seperti berada di rumah sakit

TERAPISecara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Somatoform Pain Disorder atau Gangguan Rasa NyeriGangguan nyeri (pain disorder)Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan; faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik.

Gejalanya:Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit dan nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatris) maupun neurologis. Simptom ini menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini di anggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi (Kaplan , sadock, dan Grebb, 1994)

Ciri-ciri:Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Pandangan psikodinamikaMengemukakan bahwa rasa sakit yang dialami penderita mungkin secara simbolis mengekspresikan konflik intrapsikis pada keluhan tubuh.

Terapi:Prevalensi gangguan nyeri pada perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa sakit sudah berkurang.Terapi untuk Pain Disorder: Berdasarkan mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyeri psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar di sebabkan oleh factor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. penanganan yang efektif cenderung terdiri dari hal-hal berikut: Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita. Relaxation training Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri. Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.

Conversion Disorder

Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.

Gejalanya:Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Teori Psikoanalisis dari Conversion DisorderPada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran.

Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan sebab-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut. Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.

Teori Behavioral dari Conversion DisorderPandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simptom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ? Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.

Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion DisorderSalah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).

Faktor Biologis pada Conversion DisorderMeskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

TERAPICase report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.

ata somatoform ini di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti tubuh. Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan penyebabnya. Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda pula dengan sindrom Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai simtom medis.Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.PENGERTIAN DAN GEJALA1. Pain DisorderPada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).2. Body Dysmorphic DisorderPada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.3. HypochondriasisHypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.4. Conversion disorderPada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).5. Somatization DisorderMenurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami. Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).6. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan Kriterianya:Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih)a) Salah satu (1)atau (2) Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol) Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.b) Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.c) Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.d) Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).e) Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)Sindrom Koro dan Sindrom DhatSindrom koro itu adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di Cina, dimana orang takut bahwa alat genital mereka akan mengerut. Sindrom koro cenderung hanya muncul sebentar dan melibatkan episode kecemasan takur bahwa alat genitalnya akan mengerut. Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang medekati proposi panic umu terjadi, mencakup keringat yang berlebihan , tidak dapat bernafas, dan jantung berdebar-debar.Sindrom dhat adalah gangguan somatoform yang terkait budaya, ditemukan terutama di antara pria Asia India, yang ditandai oleh ketakutan yang berlebih akan kehilangan air mani. Pria dengan sindrom ini juga percaya bahwa air mani bercampur dengan urine dan dikeluarkan saat buang air kecil. Ada keyakinan yang tertersebar luas dalam budaya India yaitu bahwwa hilangnya air mani merupakan sesuatu yang berbahaya karena mengurangi energi mental dan fisik tubuh.PANDANGAN TEORITISTeori modern yang membahas gangguan somatoform, seperti gangguan disosiatif, teori psikodinamika dan teori belajar.a. Teori PsikodinamikaFreud mengembangkan teori pikiran yang mengancam atau yang tidak disadari. Freud meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme pertahanan diri seperti represi. Control seperti ini menghambat timbulnya kecemasan yang akan terjadi bila orang tersebut menjadi sadar akan adanya impuls-impuls itu.Menurut teori Psikodinamika , simtom histerikal memiliki fungsi yaitu membrikan orang tersebut keuntunga primer dan sekundar, yaituPrimer yaitu hilangnya kecemasan yang mendasar yang diperoleh dari berkembangnya simtom-simtom neurotic. Sedangkan sekunder yaitu keuntungan sampingan yang dihubungkan dengan gangguan neurotis atau lainnya, seperti ekspresi simpati, perhatian yang meningkat, dan terbebas dari tanggungjawab.b. Teori BelajarTeori psikodinamika dan teori belajar bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi dapat mengatasi kecemasan. Teoritikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Belajar berfokus pada hal-hal yang secara langsung menguatkan simtom dan peran sekundernya dalam membantu individu menghindari atau melarikan diri dari situasi yang tidak nyaman atau membangkitkan kecemasan. Perbedaan dalam pengalaman belajar dapat menjelaskan bahwa mengapa secara histories gangguan konversi lebih seringdilaporkan oleh wanita daripada pria.c. Teori KognitifPenjelasan kognitif lain berfungsi pada peran dari pikiran yang terdistorsi.ETIOLOGIEtiologi dari Somatization DisorderDiketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.Teori Psikoanalisis dari Conversion DisorderPada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut. Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.Teori Behavioral dari Conversion DisorderPandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion DisorderSalah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).Faktor Biologis pada Conversion DisorderMeskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).TERAPICase report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.Terapi untuk Somatization DisorderPara ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang sakit sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Terapi untuk HypochondriasisSecara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).Terapi untuk Pain DisorderPengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut: Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita. Relaxation training Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeriSecara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.Penanganan Gangguan Somatoform secara umumPendekatan behavioral untuk menangani gangguan konversi dan somtoform lainnya menekankan pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (keuntungan sekunder) yang dapat dihubungkan dalam keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral dapat bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif.Teknik kognitif-behavioral paling sering pemaparan terhadap pencegahan respond an restrukturisasi kognitif. Secara sengaja memunculkankerusakan yang dipersepsikan di depan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah dan pakaian. Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Penggunaan antidepresan, terutama fluoxetine(Prozac) dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform.

DAFTAR PUSTAKAV. Mark Durank & Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan 2.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Nevid S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara

Davidson, Gerald, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Press

Tomb, David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGCGangguan Psikosomatis

Apabila Anda atau kerabat Anda mengalami hal ini: sakit pada suatu bagian tubuh yang berulang, sementara pada pemeriksaan fisik maupun penunjang (laboratorium klinis, radiologi dsb) tidak diketemukan adanya kelainan, besar kemungkinan yang Anda atau kerabat Anda alami adalah gangguan psikosomatis.

Psikosomatis berasal dari kata psycho (jiwa) dan soma (tubuh, jasad)yang merujuk kepada keterkaitan antara adanya ketidakberesan dalam keseimbangan jiwa dengan kemunculan gejala sakit yang dirasakan oleh tubuh. Sudah kita kenal istilah mens sana in corpore sano, bukan? Jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Ternyata juga berlaku sebaliknya, tubuh yang sehat dimiliki oleh jiwa yang juga sehat. Ini adalah masalah mind and body connection.

Psikosomatis merupakan salah satu gangguan kesehatan atau penyakit yang ditandai oleh bermacam-macam keluhan fisik. Berbagai keluhan tersebut acapkali berpindah-pindah. Sebagai contoh dalam waktu beberapa hari terjadi keluhan pada pencernaan, disusul gangguan pernafasan pada hari-hari berikutnya. Atau kadang keluhan tersebut menetap hanya pada satu sistem saja, misal hanya pada sistem pencernaan (gangguan lambung). Kondisi inilah yang seringkali menjadi sebab berpindah-pindahnya penderita dari satu dokter ke dokter yang lain ("doctor shopping"). Ada sebagian pasien yang kemudian jatuh pada perangkap medikalisasi, yakni upaya atau tindakan dengan berbagai teknik dan taktik, yang membuat mereka terkondisi dalam keadaan sakit dan memerlukan pemeriksaan maupun pengobatan.

Padahal gangguan psikosomatis ini sebenarnya justru disebabkan dan berkaitan erat dengan masalah psikis/psikososial. Alhasil, dapat terjadi gangguan fisik pada seluruh sistem di tubuh manusia mulai dari sistem kardiovaskular, sistem pernafasan, sistem pencernaan, kulit, saluran urogenital (saluran kencing) dan sebagainya.

GEJALA YANG TAMPAK

Manifestasi klinis psikosomatis yang banyak dijumpai di masyarakat berupa gejala sakit kepala, mudah pingsan, banyak berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pada lambung, diare, mudah gatal-gatal dan sebagainya dengan frekuensi yang berulang-ulang.

Dalam ilmu kedokteran jiwa (Psikiatri) kasus semacam ini seringkali ditemukan dengan ciri khas khusus. Yakni penderita merasa yakin bahwa gangguan-gangguan yang dialaminya merupakan rangkaian gejala penyakit tertentu. Penderita merasa kecewa karena meskipun telah melalui konsultasi dan mendapat pemeriksaan dokter ternyata secara medis/fisik tidak ditemukan suatu kelainan. Karena tidak puas, penderita cenderung mengambil inisiatif penyembuhan sendiri yaitu dengan sering berpindah-pindah dokter. Biasanya penderita penyakit psikosomatis menyangkal dan menolak untuk membahas serta mengutarakan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya ketika berhadapan dengan dokter. Meskipun sudah didapatkan gejala ansietas (kecemasan) dan depresi pada dirinya.

Keadaan ini tentu sangat merugikan bagi penderita, karena selain terganggu dengan keluhan yang dideritanya, biaya berobat dan biaya pemeriksaan-pemeriksan penunjang lain yang biasanya termasuk dalam rangkaian pengobatan dapat melonjak sangat tinggi. Bahkan secara signifikan hasil penelitian dalam kurun waktu terakhir menunjukkan bahwa hampir 80 % pasien yang datang berobat adalah penderita kasus psikosomatis. Ironisnya, jumlah ini kian bertambah sejalan dengan membengkaknya biaya hidup di segala sektor. Tentunya kita akan berada dalam kondisi yang lebih baik apabila kasus psikosomatis ini dapat ditangani dengan lebih tepat.

Dalam pengertian awam istilah stres sering disalahartikan sebagai suatu penyakit atau gejala yang berhubungan dengan masalah psikis/kejiwaan. Padahal, makna stres itu sendiri-- jika ditinjau dari sudut ilmu kedokteran dan psikologi - adalah respon normal tubuh yang bersifat adaptif terhadap perubahan di lingkungan atau luar tubuh, sebagai stresor, yang menimbulkan perubahan atau mekanisme pertahanan tubuh. Respon tubuh terhadap stresor atau penyebab stres dapat berupa perubahan fisik atau emosi.

Ditinjau dari ilmu Kedokteran dan Psikologi, gejala psikosomatis, menurut awam sering disebut stres, muncul ketika tubuh sudah tidak dapat lagi mengatasi stresor. Peristiwa ini sering juga disebut sebagai Kondisi Distress. Pada tahap inilah biasanya penderita psikosomatis datang ke dokter dengan gejala-gejala sebagaimana disebut di awal tulisan ini.

CARA PENANGANAN

Perkembangan dalam terapi ilmu kedokteran dewasa ini-- sesuai dengan definisi WHO tahun 1994 tentang "konsep sehat"-- adalah sehat secara fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, maka terapi pun seyogyanya dilakukan secara holistik. Maksudnya, tidak hanya gejala fisik saja yang ditangani tetapi pemeriksaan pada faktor-faktor psikis yang biasanya sangat mendominasi penderita psikosomatis pun menjadi prioritas. Seorang dokter seyogyanya mampu menyakinkan dan menenangkan penderita penyakit psikosomatis ini sehingga mereka tidak terlalu memikirkan kondisi penyakitnya. Berempati dalam mendengarkan segala keluhan penderita yang berkaitan dengan masalah kehidupan yang dihadapinya sebagai salah satu cara terapi (ventilasi) juga menjadi salah satu tugas dokter dalam menangani penyakit ini. Dengan demikian penderita akan lebih merasa tenang.

Berikutnya adalah re-edukasi dan re-assurance. Ini dimaksudkan untuk meyakinkan dan menjamin penderita bahwa segala masalah yang dihadapi dapat diatasi. Biasanya pada tahap ini peran dokter/psikiater atau rohaniwan sangat membantu.

Selanjutnya berupa anjuran untuk memperbaiki kondisi lingkungan dalam keluarga, sosial ekonomi, dan juga di lingkungan pekerjaannya. Sebab, tidak jarang penyebab masalah psikis adalah orang-orang terdekat di sekitar penderita.

Karena itu, masyarakat wajib memahami sungguh-sungguh masalah psikosomatis ini. Lebih-lebih para praktisi medis. Mereka harus lebih proaktif dan bertindak profesional sehingga masyarakat/pasien tidak (di)-jatuh-(kan) pada pemaksaan terselubung alias medikalisasi.

Karena jelas bahwa psikosomatik adalah masalah gangguan berdasarkan mind and body connection, maka penanganannya harus holistik (terpadu). Hipnoterapi diharapkan mampu menjembatani hubungan antara penyebab psikis di bawah sadar dengan manifestasi klinis pada tubuh.

Apabila ada di antara Anda atau kerabat Anda yang memiliki masalah gangguan psikosomatis / psychosomatic dysorder, mengunjungi dokter yang memahami hipnoterapi adalah keputusan yang tepat.