evaluasi penerapan teknik pemotongan ayam ditinjau dari ... · mikroba yang berbahaya pada produk...
TRANSCRIPT
5
TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan Asal Hewan
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia,
sehingga perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian pemerintah
terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan
pangan, agar masyarakat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman,
bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
2004). Bahan pangan asal ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan
dan kehidupan manusia, namun menjadi tidak berguna dan membahayakan
kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi (Bahri 2008).
Daging dengan kadar air yang tinggi (68.75%) merupakan bahan pangan
yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, karena kaya nitrogen dan mineral,
dan mengandung mikroorganisme yang menguntungkan bagi mikroba lain. Jumlah
mikroba dalam daging juga dipengaruhi perlakuan ternak sebelum pemotongan
(Betty & Yendri 2007). Murdiati (2006) mengatakan mikroba dapat mencemari
ternak saat masih hidup, dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan.
Menurut Syukur (2006), mikroba dapat tumbuh dengan baik dan dapat merusak
bahan pangan asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia.
Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur,
daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan
gangguan kesehatan bila dikonsumsi manusia (Djaafar & Rahayu 2007).
Menurut Budinuryanto et al. (2000) jumlah dan jenis mikroba yang
berbahaya pada daging ayam yang dipotong dan dijual di pasar tradisional cukup
mengkhawatirkan. Mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah
Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004).
Beberapa contoh mikroba yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah
Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp.,
Salmonella sp., Camphylobacter sp., dan Listeria sp (Syukur 2006). Foodborne
disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencemaran dan
penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia, mikroba
6
masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian
diserap oleh tubuh, sehingga menyebabkan gejala penyakit (Gustiani 2009).
Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada
bahan pangan asal ternak
Agens Media Gejala
Coliform
Escherichia coli
Salmonella
Campylobacter
Listeria
Makanan yang tercemar feses
Makanan/minuman yang tercemar
oleh feses
Air pencuci terkontaminasi
Kontak dengan permukaan karkas
unggas yang terinfeksi, atau
mengonsumsi daging ayam yang
masih mentah
Makanan mentah, susu yang
dipasteurisasi, keju lunak
Mual, nyeri perut, diare,
muntah, berak darah,
demam, kejang,
kekurangan cairan/
dehidrasi Diare berdarah dan
kesakitan karena kram
perut yang disertai demam
Demam, diare, kram perut
Diare, demam, kram perut
Infeksi di selaput otak,
infeksi meluas ke dalam
saluran darah Sumber : Andriani (2005)
Menurut Gustiani (2009) penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi
keamanan pangan yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan
melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba. Jaminan keamanan pangan
diperoleh melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses
produksi, yaitu: 1) Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practice
yang meliputi sanitasi dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan
ternak yang bebas dari jamur atau toksin; 2) Good Manufacture Practices (GMP)
perhatian pada peralatan/mesin saat pascapanen; 3) Good Handling Practices
(GHP) agar produk yang dihasilkan aman dan sehat konsumsi oleh manusia.
Selain produsen, distributor, penjual produk dan bahan pangan juga tidak
kalah pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di pasaran.
Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang belum memahami dan
menerapkan Good Distribution Practice (GDP). Hasil pemeriksaan dalam tahun
1995/1996 terhadap sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan,
bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai distributor pangan
7
karena faktor sanitasi, bangunan dan fasilitas yang tidak memenuhi syarat, dan
menjual produk-produk yang tidak memenuhi syarat (Ditjen POM 1996).
Pengawasan pangan merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Beberapa hambatan dalam program
pengawasan pangan di Indonesia seperti: (a) belum mantapnya kelembagaan dan
koordinasi pengawasan pangan, (b) peraturan dan pedoman yang belum lengkap,
(c) jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (d) sumber dana yang
terbatas, dan (e) kemampuan laboratorium analisis pangan yang terbatas.
Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan
mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapatkan
pengawasan (Ditjen PPM PLP 1994).
Kontaminasi pada Daging Ayam
Cemaran atau masuknya zat asing yang tidak diinginkan dalam makanan
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : cemaran biologi, kimia dan fisik.
1. Cemaran Biologi
Mikroba yang biasanya terdapat pada karkas ayam adalah Campylobacter,
Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, E. coli dan Yersinia
(Cox et al. 2005). Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas
mikroba patogen. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan
setelah hewan dipotong. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan
(kulit, bulu, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui
pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau,
alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air,
tanah), dan 6) kemasan. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke
seluruh anggota tubuh hewan, sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat
menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat
dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis (Gustiani 2009). Jumlah
bakteri pada kulit ayam sebelum pemotongan ayam adalah
6.0x102-68.1x10
2 cfu/cm
2, dan setelah pemotongan dan pengeluaran jeroan menjadi
1.1x104-9.3x10
4 cfu/cm
2 (Mountney 1983).
Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen
(foodborne diseases) pada daging ayam maupun produk olahannya. Daging ayam
8
cocok sebagai medi perkembangan mikroba, karena ayam dalam kehidupannya
selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling
sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat
menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Menurut Poloengan et al. (2005) 20-100%
daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang tercemar
bakteri Campylobacter.
Tabel 2. Batas maksimum cemaran mikroba pada karkas ayam
No Jenis Satuan Persyaratan
1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106
2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102
3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102
4. Escherichia coli cfu/g maksimum 1 x 101
5. Salmonella sp per 25 g negatif
6. Campylobacter sp per 25 g negatif SNI 01-7388 (BSN 2009)
a. Total Plate Count (TPC)
Jumlah cemaran dalam suatu pangan dapat ditentukan melalui metode Total
Plate Count (TPC) atau disebut juga Angka Lempeng Total (ALT). Jumlah
mikroorganisme pada contoh pangan yang diperoleh pada metode ini merupakan
gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Jumlah
mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) yang berasal dari
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis
media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain
yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Metode
hitung cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: pour plate methode (metode
tuang) dan surface or spread plate method (metode permukaan atau metode sebar).
Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per
gram atau per ml luasan tertentu dari contoh (per cm2). Ketepatan metode ini
dipengaruhi beberapa faktor, antar lain : a) media dan kondisi inkubasi
(ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), b) kondisi sel mikroorganisme
(cedera atau injured cell), c) adanya zat penghambat pada peralatan atau media
yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, d) kemampuan
pemeriksa untuk mengenal koloni, e) peralatan, pelarut dan media yang kurang
steril, ruang kerja yang tercemar, f) pengocokan pada saat pengenceran yang
9
kurang sempurna, g) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, h)
kesalahan menghitung koloni dan perhitungan yang kurang tepat terhadap koloni
yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman dan Purnawarman 2009).
b. Coliform
Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator
adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air dan
makanan, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat
toksogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri coliform terbagi dua yaitu:
coliform faecal (contohnya Escherichia coli) yang berasal dari kotoran hewan
maupun manusia, dan coliform non faecal (contohnya Enterobacter aerogenes)
yang ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz 1989).
Coliform adalah bakteri berbentuk batang, gram negatif dan tidak berspora,
dan dapat tumbuh pada suhu 2-50°C dan pada kisaran pH 4.4-9.0 (Jay 2000).
Kelompok bakteri coliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan
Klebsiella. Keberadaannya di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai
indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw 1999). Coliform terdapat dimana-
mana dan ditemukan pada bermacam-macam produk bahan pangan terutama yang
berasal dari hewan. Pada ayam hidup coliform biasanya terdapat pada bulu, kulit
dan kuku, sehingga pada saat proses pemotongan ayam coliform dapat mencemari
karkas. Kontaminasi coliform pada karkas ayam juga berasal dari isi saluran
pencernaan pada saat dilakukan eviserasi (Banwart 1989). Kontak langsung antara
peralatan dan tangan pekerja dengan karkas serta air yang digunakan dalam
pencucian karkas selama proses produksi memungkinkan terjadinya kontaminasi
sejumlah coliform pada permukaan karkas ayam broiler
(Cunningham & Cox 1987).
2. Cemaran Kimia
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu
keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur
cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar
(Bahri et al. 2000). Menurut Murdiati dan Widiastuti (2003) daging dan hati ayam
banyak juga yang tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan
10
tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging. Pada
tahap produksi, cemaran kimia dapat terjadi karena penggunaan pewarna pada
karkas ayam. Pada tahap pascaproduksi, deterjen yang digunakan untuk
membersihkan peralatan dan ruang pengolahan yang tidak dibersihkan secara
tuntas dapat mencemari karkas.
3. Cemaran Fisik
Cemaran fisik yang tidak boleh/hanya sedikit sekali dalam makanan dan
tidak boleh menimbulkan luka bahkan patah gigi, yang umumnya disebabkan
beberapa faktor sebagai berikut: cemaran dari bahan baku (batu/kerikil, potongan
tulang, ranting, duri rumput, kotoran dan serangga), cemaran dari manusia (rambut,
potongan kuku dan perhiasan), cemaran pada saat proses pengolahan (pecahan
kaca/gelas, logam, pengemas dan plastik) (Thaheer 2005). Pengujian fisik
dilakukan secara visual (inspeksi), perabaan (palpasi) dan penyayatan (insisi)
(BSN 2009).
Teknik Pemotongan Ayam
1. Tata Cara Penyembelihan
Daging yang berasal dari hewan dapat menjadi tidak halal jika disembelih
tanpa mengikuti aturan syariat Islam. Hal-hal yang menjadi titik kritis proses
penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : penyembelih (harus seorang muslim
yang taat dan melaksanakan syariat Islam sehari-hari), pemingsanan (tidak
menyebabkan hewan mati sebelum disembelih), peralatan/pisau (harus tajam), dan
proses pasca penyembelihan (hewan harus benar-benar mati sebelum proses
selanjutnya dan darah harus keluar secara tuntas) (LPPOM MUI 2008).
Penyembelihan harus memutuskan trachea, kerongkongan dan pembuluh darah
arteri utama dan daerah leher (CAC 1997).
2. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
Berikut ini adalah diagram tahapan pemotongan ayam pada tempat
pemotongan ayam (USDA 1999) :
11
Gambar 1. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
a. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan
biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik. Ayam diistirahatkan
selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan.
b. Menggantung. Sebelum proses penyembelihan, ayam digantung pada bagian
sendi kaki dengan posisi kepala di bawah. Ini untuk memudahkan proses
penyembelihan.
c. Stunning. Pencegahan ayam agar tidak stres dan tidak memberontak pada saat
proses penyembelihan, maka ayam dipingsankan (stunning) dengan melewatkan
Penerimaan/penyimpanan ayam hidup Penerimaan
bahan-bahan
yang
dikemas Menggantung/stunning/menyembelih/pengeluaran darah
Scalding/pemotongan kepala/mencuci/
hock cutter/menggantung
Membuang kelenjar minyak/memotong
leher/venting/opening
Eviceration
Pengeluaran paru-paru/tembolok/pemanenen hati
Inspeksi
Pencucian akhir
Chilling-
Karkas/leher/jeroan
Pengemasan/pelabelan
Penyimpanan produk akhir
Processing Penyimpanan
Pemanenan hati,
gizzard
Penyimpanan
bahan-bahan
yang dikemas
Pengiriman
12
kepala ayam ke dalam bak air yang diberi Automatic Stunner dengan tegangan
60-70 volt pada bak air selama 3 detik hingga tubuh dan jaringan otot ayam
melemas, sehingga ayam tidak banyak bergerak saat disembelih.
d. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan dengan pemotongan ketiga urat
yang terletak di leher, yaitu saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan
(trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri
carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis.
e. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan, dengan cara menggantung
ayam dengan posisi kepala di bagian bawah selama 3-5 menit. Pengeluaran
darah harus tuntas sehingga tidak menurunkan mutu karkas ayam, juga akan
mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan
mikroba, sehingga daging cepat busuk.
f. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan, kemudian ayam dimasukkan ke dalam
bak atau panci berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini
bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu.
g. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mencabut bulu (mesin
pencabut bulu/plucker) atau dapat juga dilakukan dengan tangan. Pembersihan
bulu-bulu kecil dilakukan dengan tangan. Saat proses berlangsung, air dingin
disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak, juga untuk
membersihkan bulu-bulu pada tubuh ayam.
h. Pemotongan kepala. Proses ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang dilapisi
keramik atau porselen, atau baja tahan karat yang dilengkapi dengan keran air.
i. Pencucian. Pencucian dilakukan pada karkas ayam untuk membersihkan ayam
dari kotoran dan darah yang masih menempel pada karkas ayam.
j. Penggantungan kembali. Karkas yang telah dicuci kemudian digantung
kembali, untuk meniriskan air yang terdapat pada karkas, sehingga pada saat
pengemasan bobot karkas tidak bertambah.
k. Membuka rongga abdomen dan dada. Rongga perut dibuka dengan cara
mengiris kulit perut melintang dari anus hingga ke ujung tulang dada dengan
menggunakan pisau yang tajam. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar
daging dada dan usus tidak ikut terpotong.
13
l. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kesesuaian proses
pemotongan sudah sesuai, dan tidak sampai membelah perut dan dada terlalu
lebar yang nantinya akan mengurangi nilai jual karkas.
m. Pemanenan hati, jantung. Karkas dipegang dengan tangan kiri, dada karkas
menghadap ke atas. Menggunakan jari-jari tangan kanan, pertautan antara
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan pembuluh darah ayam dilonggarkan.
Ampela dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu ditarik.
n. Pemotongan saluran pencernaan. Pemotongan usus buntu dari usus halus
kemudian dilakukan. Pada beberapa tempat pemotongan unggas, usus
dibersihkan, dengan menyobek usus membujur searah panjang usus, dan isi usus
dikeluarkan dengan menyemprotkan air ke usus yang telah terbelah tersebut.
Kemudian usus dicuci bersih, selanjutnya direbus setengah matang, didinginkan,
dan dikemas.
o. Pemanenan ampela. Ampela dipisahkan dari hati dan jantung serta usus secara
hati-hati hingga tidak rusak dan empedu tidak pecah. Ampela dipisahkan dari
tembolok dan dicuci bersih, lalu dikemas.
p. Pengambilan paru-paru. Menggunakan jari tangan kanan paru-paru kemudian
dilepaskan dari karkas ayam.
q. Pemotongan leher. Leher kemudian dipisahkan dari kepala dan karkas, dicuci
dan dikemas.
r. Pemotongan kaki (ceker). Pemotongan dilakukan pada sendi di bawah lutut
sehingga hasil pemotongan membentuk seperti angka 8.
s. Pemotongan retail. Pemotongan retail dilakukan sesuai dengan permintaan.
Karkas dipotong menjadi delapan potong yang terdiri atas dua paha bawah, dua
paha atas, dua sayap, dua bagian dada.
t. Pencucian akhir. Setelah isi rongga perut dikeluarkan dan karkas dipotong-
potong, lalu karkas dicuci bersih.
u. Penyortiran. Klasifikasi kualitas karkas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
kualitas A (untuk pasar swalayan, rumah makan siap hidang, dan hotel-hotel),
kualitas B (untuk rumah makan padang atau pasar tradisional), dan kualitas C
(untuk karkas potongan dan karkas tanpa tulang/boneless).
v. Packing. Setelah proses pemotongan dan penyortiran, kemudian karkas
dikemas. Kemasan dapat berupa kantung plastik, styrofoam atau coolbox.
14
Ukuran kemasan disesuaikan dengan karkas atau produk sampingan yang akan
dibungkus.
w. Penyimpanan karkas dingin. Karkas yang telah dibungkus lalu diatur rapi
dalam keranjang karkas. Pada bagian atas dan samping keranjang ditutup
dengan hancuran es setebal kurang lebih 5-10 cm, lalu diatas lapisan es ini
diletakkan lagi bungkusan karkas. Demikian selanjutnya hingga keranjang
penuh. Selanjutnya semua produksi yang telah dikemas dan akan dikirim
dimasukkan ke dalam boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi dengan
pendingin dengan suhu 0-15°C (TAS 2006).
Proses penyembelihan harus memenuhi persyaratan teknis dan
kesejahteraan ternak, ayam yang akan disembelih, penyembelih dan proses
pemotongan. Sebelum pemotongan, ayam-ayam tidak boleh makan, tetapi harus
diberi air minum, minimal 8-12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengosongkan
tembolok ayam sebelum menyembelih, untuk mencegah kemungkinan ekskresi isi
usus, kemudian dilakukan pemeriksaan ante-mortem yaitu pemeriksaan kesehatan
ayam sebelum menyembelih. Kesejahteraan ternak juga harus diperhatikan, yaitu:
bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit,
cedera dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa
takut dan stres (Deptan 2006).
Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam
Rumah pemotongan unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, serta
digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum.
Menurut SNI 01-6160 (BSN 1999), Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK).
2. Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, dan letaknya lebih
rendah dari rumah penduduk.
15
3. Memiliki sarana jalan yang baik untuk kendaraan pengangkutan daging
unggas.
4. Memiliki sumber air dan listrik yang cukup.
5. Memiliki tempat penurunan unggas hidup (unloading).
6. Memiliki kamar mandi dan wc.
7. Memiliki sarana penanganan limbah.
8. Memiliki daerah kotor (penurunan, pemeriksaan antemortem dan
penggantungan unggas hidup, pemingsanan, penyembelihan, scalding,
pencabutan bulu, pencucian karkas, pengeluaran jeroan dan pemeriksaan
postmortem, penanganan jeroan).
9. Memiliki daerah bersih (pencucian karkas, pendinginan karkas, seleksi,
penimbangan karkas, pemotongan karkas, pemisahan daging dan tulang,
pengemasan, penyimpanan segar).
10. Sistem saluran pembuangan limbah cair.
11. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di rumah pemotongan unggas
harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan
didensinfeksi serta mudah dirawat.
12. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan
yang tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didensinfeksi
serta mudah dirawat.
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitasi diperlukan untuk menghilangkan kontaminan dan mencegah
terjadinya kontaminasi kembali pada karkas. Sumber kontaminasi dapat berasal
dari karkas itu sendiri, peralatan, air atau ruangan tempat penyembelihan. Prosedur
standar dalam proses sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP)
meliputi delapan aspek, yaitu :
1. Keamanan air, yang didalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan
untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.
2. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan karkas, yang berisi standar
prosedur pembersihan dan sanitasi alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang
bertanggung jawab.
16
3. Pencegahan kontaminasi silang, yang bertujuan untuk menghindari kontaminasi
silang dari pekerja dan karkas.
4. Kebersihan pekerja, meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan.
5. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, untuk mencegah tercampurnya
bahan-bahan nonpangan seperti senyawa pembersih, sanitizer, serta cemaran
kimia dan fisik dengan karkas.
6. Penyimpanan karkas yang tepat sebelum dibeli konsumen.
7. Pengendalian kesehatan karyawan, agar karyawan yang menderita sakit tidak
menjadi sumber kontaminasi bagi karkas.
8. Pemberantasan hama yang tidak dikehendaki keberadaannya, seperti: tikus,
burung, nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Winarno & Surono 2004).
Penyusunan SSOP harus memenuhi kelayakan antara lain:
pendokumentasian program sanitasi, pemantauan program kelayakan, penerapan
kelayakan dasar, melakukan tindakan koreksi jika kelayakan dasar tidak memenuhi
syarat, dan perekam program yang dilaksanakan (Wiryanti 2002). Juga perlu
dipertimbangkan tata letak bangunan, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi,
jendela dan pintu yang tidak mudah memunculkan penyebaran serangga. Bangunan
dapat terbuat dari bahan besi, kayu, stainless steel, logam monel, karet dan bahan
enamel. Sanitasi pada peralatan, ruang, pekerja, penanganan dan pengolahan
limbah juga perlu diperhatikan (Ditjen Keswan 1987).