etiologi dan patogenesis

9
Epidemiologi Kejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar kurang dari satu per 100.000 penduduk per tahun, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. i,ii Perbandingan laki-laki dan perempuan i,ii,iii Karsinoma nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid. Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per tahun, iv tertinggi di provinsi Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa per tahun. v Pada tahun 2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh dunia dengan sekitar 50.000 kematian, yang menjadikan kanker paling sering nomor 3 di dunia dan kanker no 4 paling sering di Hong Kong. vi Di Cina karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan menurun setelah umur 40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50 tahun. vii Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas telinga hidung tenggorok di Indonesia, termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Survei Departemen Kesehatan pada tahun 1980 mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000 sampai 8.000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. viii Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki– laki dan urutan ke 8 pada perempuan. ix Karsinoma nasofaring

Upload: tirta-kusuma

Post on 16-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

etiologi KNF

TRANSCRIPT

EpidemiologiKejadian karsinoma nasofaring termasuk jarang di populasi dunia, sekitar kurang dari satu per 100.000 penduduk per tahun, namun relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara.[endnoteRef:1],[endnoteRef:2] Perbandingan laki-laki dan perempuani,ii,[endnoteRef:3] Karsinoma nasofaring lebih sering timbul pada ras Mongoloid. Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per tahun,[endnoteRef:4] tertinggi di provinsi Guangdong dan wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50 orang per 100.000 jiwa per tahun.[endnoteRef:5] Pada tahun 2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma nasofaring di seluruh dunia dengan sekitar 50.000 kematian, yang menjadikan kanker paling sering nomor 3 di dunia dan kanker no 4 paling sering di Hong Kong.[endnoteRef:6] [1: Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C, et al. Independent Eff ect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2009;18:1218-26.] [2: Sharma TD, Singh Th T, Laishram RS, Chandra Sharma LD, Sunita AK, Tiameren Imchen L. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacifi c J Cancer Prev. 12, 1583-7.] [3: Vineis P, Alavanja M, Buffl er P, Fontham E, Franceschi S,. Gao YT et al. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 2004; 96(2):99-106.] [4: Yang X, Diehl S, Pfeiff er R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, et al. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14:900-5.] [5: Shri JN.Mathur for the Indian Council of Medical Research, New Delhi. Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Off set Press, New Delhi. 2003; 33(9).] [6: Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15:1765-77.]

Di Cina karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan menurun setelah umur 40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50 tahun.[endnoteRef:7] Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas telinga hidung tenggorok di Indonesia, termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Survei Departemen Kesehatan pada tahun 1980 mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000 sampai 8.000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.[endnoteRef:8] Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada lakilaki dan urutan ke 8 pada perempuan.[endnoteRef:9] Karsinoma nasofaring paling sering di fossa Rosenmuller[endnoteRef:10] yang merupakan daerah transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.vii [7: Ondrey FG,.Wright SK. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. 2003. p 1407-22.] [8: Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library 2002.] [9: Yenita, Aswiyanti Asri. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)] [10: Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p 362-6.]

Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3 tipe histopatologi berdasarkan klasifikasi WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel skuamosa berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma tidak berkeratin berdiferensiasi) sekitar 15% dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling sering muncul (75%).[endnoteRef:11] [11: Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.]

PatogenesisKarsinoma Nasofaring (KNF) keganasan yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor genetik yang berperan dalam peningkatan resiko KNF. [endnoteRef:12] Secara umum patogenesis KNF pada awalnya ditandai oleh lesi displastik akibat dari karsinogen lingkungan dan pada ras Cina lebih mudah terkena karena ada faktor genetik tertentu. Kemudian karena adanya infeksi laten EBV, lesi tersebut berkembang ke arah keganasan. Keganasan ini akhirnya menyebabkan KNF yang bersifat invasif dan ditandai dengan adanya metastasis atau penyebaran sel kanker ke organ yang jauh. [endnoteRef:13] [12: Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran. 2004; 144: 16-9. ] [13: Satyanarayana, K [Editor]. Epidemiological and etiological factors associated with nasopharyngeal carcinoma. ICMR bulletin, Vol.33 no.9; 2003.]

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu

1) Virus Epstein-BarrVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). xiiVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.xiii,[endnoteRef:14] [14: Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer Research. 2004; 10: 803-21.]

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.xiv

2) GenetikWalaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. xii, xiii

3) Faktor lingkunganSejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.xiii Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,[endnoteRef:15] asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.xii Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV. [15: Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7. ]

Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB.2 Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.xiii