etika pada kedokteran jiwa

Upload: ronaldgagola

Post on 06-Mar-2016

219 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Etika pada kedokteran jiwa

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI

BAB IPendahuluan 3BAB IITinjauan Pustaka ...... 4 I. Definisi ................................................................................ 4II. Kode Etik dan Profesionalisme ........................................... 6III. Kode Etik Psikiatri ............................................................. 6IV. Hak Pasien .......................................................................... 11V. Informed Consent ................................................................ 16BAB IIIKesimpulan ................................................................................ 19DAFTAR PUSTAKA .... 20

Bab 1Pendahuluan

Kedokteran adalah suatu cabang ilmu yang mulia dimana melibatkan hubungan antara dokter dan pasien, sebagai suatu bentuk hubungan psiko-sosial dimana dokter bukan hanya mengobati pasien atas penyakitnya begitu saja, tetapi kedokteran saat ini lebih memperhatikan pasien secara menyeluruh atau holistik. Bukan hanya menangani penyakitnya, tetapi juga memberikan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kondisi jiwanya, riwayat latar belakangnya, lingkungannya dan memberikan terapi yang tepat sasaran berdasarkan hasil pemeriksaan, bukan hanya memberikan obat untuk penyakitnya tetapi juga memberikan layanan konsultasi (edukatif) kepada pasien dengan bertujuan untuk pasien tahu penyakit apa yang dideritanya juga dengan maksud meringankan beban pikiran pasien sambil membentuk hubungan yang erat antara dokter-pasien.Dalam suatu hubungan sosial seperti ini, etika memainkan peran penting. Prinsip etika mendasari praktek kedokteran, hubungan pasien-dokter, memberikan dasar dan arah untuk keputusan yang kompleks dan sering menyakitkan tentang perilaku manusia yang paling dasar. Karena etika melibatkan suatu kumpulan prinsip yang memimpin seseorang dalam memutuskan apa yang benar atau salah, baik atau buruk, dokter seringkali tergoda untuk mencari jawaban dalam hukum atau kode etik profesional. Tetapi, pendekatan tersebut kepada masalah yang mereka temukan tidak selalu memecahkan masalah. Hukum dapat berubah, seperti yang terjadi dalam hospitalisasi dan terapi involunter, atau dapat berarti dua, seperti dalam hal membatasi konfidensialitas pasien. Kode etik juga dapat berubah dan sering berarti dua, seperti dalam hal membatasi konfidensialitas pasien. Kode etik juga dapat berubah dan sering berarti dua. Sebagai contoh, apakah aturan lakukan tanpa membahayakan (do not harm) membantu jika mencoba memutuskan apakah memaksa pasien untuk perawatan di rumah sakit untuk melindungi masyarakat? Apakah aturan tersebut berarti tidak ada bahaya bagi pasien atau bahaya bagi masyarakat?Seperti yang dinyatakan dalam American College of Physicians Ethics Manual edisi ketiga, hukum tidak selalu menemukan kewajiban positif (apa yang harus dilakukan oleh seseorang) sampai tingkat yang dilakukan oleh standar etik profesional (terutama kedokteran). Kewajiban positif dokter adalah didasarkan pada prinsip etika khusus, termasuk kemurahan hati (beneficence) atau tanpa pelanggaran karena jabatan (nonmalfeasance) (kewajiban untuk bekerja tanpa membahayakan) dan otonomi (kewajiban untuk melindungi kebebasan pasien untuk memilih). Prinsip etika lain adalah diturunkan dari prinsip dasar yang khusus, termasuk yang membentuk parameter mengatakan yang sebenarnya, mengungkapkan, informed consent, hospitalisasi involunter, dan hak untuk mendapatkan atau menolak terapi, dan kewajiban kepada pihak ketiga.1Pada akhirnya, di setiap pembicaraan etika kedokteran maka yang menjadi intinya adalah pasien. Sebagian besar ikatan dokter menyadari bahwa di dalam kebijakan-kebijakan pokoknya, secara etis, kepentingan terbaik dari pasienlah yang menjadi pertimbangan pertama dari setiap keputusan yang diambil dalam perawatan.

Bab IITinjauan Pustaka

I. DEFINISI

Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti hak, tanggung jawab, dan kebaikan dan sifat seperti baik dan buruk (atau jahat), benar dan salah, sesuai dan tidak sesuai. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.2Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosio-kulturo-spiritual. Kesehatan manusia tidak akan tercapai tanpa adanya kesehatan jiwa yang baik (mens sana in korpore sano). Profesi dokter spesialis kedokteran jiwa, atau psikiater mengutamakan kesehatan jiwa dengan juga menyertakan kesehatan fisik, sosiobudaya, maupun spiritual (tatalaksana holistik). Dalam menjalankan profesinya para Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus menjunjung tinggi martabat pasien, keluarga, maupun masyarakat sebagai manusia seutuhnya. Maka diperlukan kode etik yang menjaga agar dalam prakteknya dapat melaksanakan tugas mulianya dengan baik.

II. KODE ETIK DAN PROFESIONALISME

Sebagian besar organisasi profesional dan banyak kelompok bisnis memiliki kode etik. Kode tersebut mencerminkan konsensus tentang standar baku perilaku profesional yang tepat. Principles of Medical Ethics dari American Medical Association dengan keterangan yang terutama berlaku bagi psikiatri, American College of Physicians Ethics Manual, dan Principles of Ethics for Psychoanalysts dari American Psychiatry Association membicarakan standar praktek dan kebaikan profesional yang ideal bagi praktisi. Semua itu memasukkan peringatan untuk menggunakan teknik yang mahir dan canggih, mengatur sendiri kekeliruan dan kelakuan dalam profesi, dan menghormati hak dan kebutuhan pasien, keluarga, sejawat, dan masyarakat. Peringatan tersebut diperkuat dengan prinsip etika, seperti kemurahan hati, manfaat, otonomi, rasa hormat kepada manusia, dan keadilan.1Profesionalisme sendiri berarti refleksi loyalitas kepada tujuan profesi, dan tidak harus dalam bentuk fanatisme. Bila seseorang sudah masuk organisasi profesi dan menggunakan identitas profesi maka dia harus menjaga martabat profesinya. Sebagai contoh, bila mau mengutamakan kepentingan pribadi atau praktek diluar kompetensi psikiatri, maka pakailah identitas lain yang sesuai. Karena setiap profesi yang bermartabat memiliki batas kompetensi dan code of professional conduct yang harus dipatuhi. Etika profesi dan profesionalisme di bidang psikiatri merupakan hal universal, tidak mengenal batas wilayah hukum dan juga hal-hal khusus terkait budaya. Etika profesi di bidang Psikiatri mengacu kepada Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiatri) Indonesia (secara normatif sudah digariskan dengan jelas, tinggal pelaksanaan secara bertanggung jawab).3

III. KODE ETIK PSIKIATRI

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menerbitkan Kode Etik Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (Psikiater) Indonesia dengan susunan sebagai berikut:4,12

PengertianPasal1(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa adalah dokter spesialis yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu sebagai sarjana kedokteran, pendidikan profesi sebagai dokter di Fakultas Kedokteran di suatu universitas, dan pendidikan spesialisasi kedokteran jiwa yang berbasis kurikulum yang disahkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Jiwa Indonesia.(b) Praktik kedokteran jiwa adalah praktik kedokteran yang mempunyai kekhususan di bidang kedokteran jiwa dalam upaya promotif, preventif, penegakan diagnosis, pengobatan, dan perawatan rehabilitatif.(c) Praktik kedokteran jiwa dilaksanakan berdasarkan Standar Profesi Kedokteran Jiwa (Standar Profesi Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa) Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Kewajiban UmumPasal 2(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dalam melaksanakan profesinya, harus mendapatkan pengesahan dari Kolegium Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) Indonesia.(b) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus senantiasa berusaha melaksanakan profesinya sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran Jiwa (Standar Profesi Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa) Indonesia yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.Pasal 3Dalam melaksanakan profesinya, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesinya.

Pasal 4(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.(b) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa tidak menyalahgunakan sikap, ilmu pengetahuan, dan ketrampilannya dalam melaksanakan profesinya.Pasal 5Dalam melaksanakan profesinya, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus menjaga keprofesiannya dalam kerjasama dengan profesi kedokteran dan profesi lainnya.Kewajiban Dalam Menjalankan ProfesiPasal 6(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus selalu meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Kolegium Ilmu Kedokteran Jiwa Indonesia.(b) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa wajib mendapatkan dan atau memperbaharui Surat Tanda Registrasi (STR) dari Kolegium Ilmu Kedokteran Jiwa Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku.Pasal 7(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral yang bertanggungjawab, disertai welas asih (compassion), dan penghormatan atas martabat manusia dalam setiap praktik medisnya.(b) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus menghormati hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, serta berkewajiban untuk mengingatkan sejawatnya dari kemungkinan penyimpangan dalam melaksanakan profesinya.(c) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa hanya dapat memberikan surat keterangan bilamana telah memeriksa yang bersangkutan secara langsung sesuai dengan standar profesi yang telah ditetapkan.(d) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa hanya dapat memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya bila diminta, berdasarkan standar profesi yang telah ditetapkan.(e) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa senantiasa berkewajiban melindungi hidup makhluk insani.(f) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dapat menjalankan profesinya di luar sarana pelayanan kesehatan.Pasal 8Dalam melaksanakan profesinya, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus memperhatikan kepentingan masyarakat, aspek pelayanan kesehatan jiwa yang menyeluruh (promotif, kuratif, dan rehabilitatif), selalu berupaya meningkatkan kualitasnya, dan menjadi pendidik, serta pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.Pasal 9(a) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dimungkinkan bekerja sama dengan pejabat, professional kesehatan, bidang lainnya, dan masyarakat.(b) Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dalam bekerja sama harus saling menghormati dan menjaga wilayah keilmuan serta wilayah kerja masing-masing.Kewajiban Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Terhadap PasienPasal 10Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus menghargai martabat pasien dari sudut fisik, psikologis, sosiobudaya, dan kehidupan beragamanya.Pasal 11(a) Tiap perbuatan, tindakan, atau nasihat medis, hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien.(b) Tiap perbuatan, tindakan, atau nasihat medis, hanya diberikan setelah diterangkan secara jelas maksud, tujuan, cara dan dampaknya, serta dimengerti (information for consent).(c) Tindakan medis berisiko tinggi hanya diberikan setelah diperoleh persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya secara tertulis (informed consent).Pasal 12Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu pengetahuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien tersebut kepada dokter yang mempunyai keahlian dan kewenangan, dalam menangani penyakit tersebut.Pasal 13Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasiennya, bahkan juga setelah pasien tersebut meninggal dunia, kecuali atas persetujuan pasien atau untuk proses peradilan.Pasal 14Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa wajib memberikan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.Kewajiban Dokter Spesialis Penyakit Jiwa Terhadap Teman SejawatPasal 15Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus memperlakukan teman sejawatnya dengan baik sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.Pasal 16Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus mengembangkan dan saling membagi pengetahuan maupun ketrampilannya pada sesama teman sejawat psikiater maupun sejawat lainnya.

Pasal 17Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.Kewajiban Dokter Spesialis Penyakit Jiwa Terhadap Diri SendiriPasal 18Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan sesuai dengan standar profesi yang berlaku.Pasal 19Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa yang terlibat dalam suatu penelitian, harus berpegang teguh pada Kode Etik Penelitian yang telah ditetapkan baik secara nasional maupun Internasional. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus melakukan uji kelayakan sebelum memberitakan (mengekspos) dan/atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru.Pasal 20Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa harus selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.IV. HAK PASIENSelain mengetahui pentingnya kode etik yang menjadi dasar pedoman pelayanan bagi Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, seorang dokter juga perlu untuk mengetahui hak-hak dari pasien. Karena prinsip dari menangani pasien secara holistik adalah mengutamakan kesejahteraan pasien secara keseluruhan. Klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti klien ditempat lain. Isu legal dan etik yang dibahas pada bagian ini bukan hanya berkaitan dengan topik klien yang menunjukkan sikap bermusuhan dan agresif, tetapi juga berlaku untuk semua klien di lingkungan kesehatan jiwa.12A. Hospitalisasi InvolunterKebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini berarti mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan tetapi, beberapa klien tidak mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Keinginan mereka dihargai kecuali mereka berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain (misalnya: mereka mengancam atau berupaya bunuh diri atau membahayakan orang lain). Klien yang dirawat di rumah sakit di luar kemauan mereka dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke rumah sakit untuk perawatan psikiatri sampai mereka tidak lagi berbahaya bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Setiap negara bagian memiliki hukum yang mengatur proses komitmen sipil, tetapi sama di setiap Negara bagian. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri selama 48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk menentukkan apakah klien harus dimasukkan ke fasilitas psikiatri untuk menjalani terapi selama periode waktu tertentu. Banyak negara bagian memiliki hukum yang sama, yang mengatur komitmen klien dengan masalah penyalahgunaan zat yang membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain ketika di bawah pengaruh zat. Komitmen sipil atau hospitalisasi involunter mengurangi hak klien untuk bebas atau meninggalkan rumah sakit ketika ia menginginkannya. Hak klien yang lain tetap utuh.B. Keluar dari Rumah Sakit Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk meninggalkan rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Klien dapat menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang dan keluar dari rumah sakit tanpa saran medis jika mereka tidak berbahaya. Apabila klien yang masuk rumah sakit secara sukarela yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain menandatangani surat permintaan untuk pulang, psikiater dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien terhadap keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal tersebut.Selama berada di rumah sakit, klien tersebut minum obat-obatan dan membaik cukup cepat sehingga ia memenuhi syarat untuk pulang ketika ia tidak lagi berbahaya. Beberapa klien berhenti minum obat-obatan setelah pulang dari rumah sakit dan kembali mengancam, agresif, atau berbahaya. Klinisi kesehatan jiwa semakin bertanggung jawab secara hukum untuk tindak kriminal klien tersebut, yang meningkatkan perdebatan tentang komitmen sipil yang luas untuk klien yang berbahaya. Studi yang di lakukan Weinberger et al. (1998) menunjukkan bahwa pengadilan menerima kurang dari 50% petisi profesional kesehatan jiwa untuk komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri yang berbahaya. Perhatian pengadilan adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan tanpa alasan yang kuat tidak boleh ditahan di rumah sakit jika mereka tidak menginginkannya ketika mereka tidak lagi berbahaya. Masyarakat menentang dengan menuntut bahwa mereka patut dilindungi dari individu yang berbahaya, yang memiliki riwayat tidak mengkonsumsi obat-obatan sehingga dapat menjadi ancaman bagi masyarakat.C. Hak-hak Klien Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan menerima surat yang masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung. Setiap larangan (misalnya: surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan didokumentasikan. Hak pasien penyakit jiwa secara umum:6 Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain diluar RS dengan berkorespondensi, telepon, dan mendapatkan kunjungan Hak untuk berpakaian Hak untuk beribadah Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan Hak untuk menyimpan dan membuang barang Hak untuk melaksanakan keinginannya Hak untuk memiliki hubungan kontraktual Hak untuk membeli barang Hak untuk pendidikan Hak untuk habeas corpus Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien Hak pelayanan sipil Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi Hak untuk menuntut dan dituntut Hak untuk menikah dan bercerai Hak untuk tidak mendapatkan restrain mekanik yang tidak perlu Hak untuk review status secara periodik Hak untuk perwalian hukum Hak untuk privasi Hak untuk informed consent Hak untuk menolak perawatanD. KonsevatorPengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang terpisah dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti tidak kompeten tidak dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi diri mereka sendiri walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat bertindak sesuai keinginan mereka sendiri, dapat memerlukan pengangkatan seorang konservator. Pada kasus ini, pengadilan menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai pelindung hukum. Petugas ini memiliki banyak tanggung jawab untuk individu tersebut, seperti memberi persetujuan tindakan, menulis cek, dan membuat kontrak. Klien yang memiliki pelindung hukum tidak lagi memiliki hak untuk membuat kontrak atau persetujuan hukum (misal, pernikahan atau penggadaian) yang memerlukan tanda tangan : hal ini mempengaruhi banyak aktivitas sehari-hari yang kita anggap benar. Karena konservator atau pelindung hukum berbicara atas nama klien, perawat harus mendapat persetujuan atau izin dari konservator klien.E. Lingkungan yang Kurang RestriktifKlien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang restriktif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa klien tidak harus dirawat di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat jalan atau group home. Hal ini juga berarti bahwa klien harus bebas dari restrein atau seklusi kecuali hal tersebut dibutuhkan. Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa izin individu tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya.7 Kekuatan fisik ini dapat menggunakan tenga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya. Restrein dengan tenaga manusia terjadi ketika anggota staf secara fisik mengendalikan klien dan memindahkannya ke ruang seklusi. Restrein mekanis adalah peralatan, biasanya restrein pada pergelangan kaki dan pergelangan tangan, yang diikatkan ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien, seperti memukul, menendang, dan menjambak rambut.Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam ruangan terkunci yang dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera pengaman untuk memantau klien secara langsung.7 Ruangan tersebut sering kali dilengkapi dengan tempat tidur yang diikatkan ke lantai dan sebuah kasur untuk keamanan. Setiap benda tajam atau berpotensi berbahaya seperti pena, kacamata, ikat pinggang, dan korek api dijauhkan dari klien sebagai tindakan kewaspadaan keselamatan. Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi orang lain dari klien, mencegah perusakan properti, dan memberi privasi kepada klien.5Tujuan seklusi ialah memberi klien kesempatan untuk memperoleh kembali pengendalian diri secara fisik dan emosional.5V. INFORMED CONSENTHak pasien yang paling mendasar dalam hal kedokteran di masa sekarang dan dalam bidang etika legal adalah informed voluntary consent. Dalam hal ini termasuk:1. .pasien dewasa yang kompeten dapat memberikan persetujuan terhadap semua prosedur medis2. Dan mereka berhak memberikan penolakan terhadap berbagai prosedur medisDengan kata lain personil medis tidak diperkenankan melakukan prosedur diagnostik, terapi maupun percobaan pada pasien dewasa muda tanpa mereka mengetahui dan menyetujui. Hak ini berkorelasi dengan kewajiban personel medis untuk (1) mengedukasi dan menginformasikan kepada pasien tentang prosedur medis yang bersangkutan. (2) menghindari mendapatkan konsen dengan cara menipu, pemaksaan. Agar informasinya adekuat pasien harus mendapatkan informasi tentang (1) prosedur apa yang akan dilakukan. (2) manfaat dari prosedur tersebut. (3) resiko tentang penggunaan prosedur medis tersebut. (4) prosedur dan terapi alternatif. (5) kesediaan dokter untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien. (6) hak pasien untuk menolak prosedur tersebut. Hasil penelitian terhadap realita informed consent mendapat beberapa kesimpulan, sebuah penelitian yang difokuskan pada interaksi antara pasien dan tindakan medis dalam kejadian sehari-hari tentang informed consent. Penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan tidak cukup hanya konseptual jika dilihat sebagai proses pertukaran informasi sebagai acuan keputusan pasien. Informasi dinyatakan dalam banyak faktor yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pasien untuk mengikuti tindakan medis. Banyak aspek perlakuan klinis yang relevan dinyatakan dalam informed consent, hal ini tidak sama dengan mempengaruhi pasien untuk mengikuti atau menyetujui perlakuan klinis. Legalitas dibutuhkan dalam informed consent sebagai bagian dari prosedur pelaksanaan tindakan medis. Faktor utama yang sangat berpengaruh dalam informed consent adalah kerelaan untuk berpartisipasi. Umumnya tindakan yang berkaitan dengan informed consent mengarah pada pelayanan kesehatan, penelitian, dan institusi yang cenderung tindakannya berdampak pada pasien jika mengikuti treatment. Prioritas utamanya adalah memberikan kontribusi penting pada pasien untuk membentuk persepsi terhadap informasi yang diberikan serta mengevaluasi proses pengambilan keputusan.8Hukum memperbolehkan konsen untuk tidak diminta dalam beberapa kondisi. Misalnya (1) pada situasi emergensi dimana pasien tidak sadarkan diri, syok yang berat, sulit berkomunikasi ataupun dalam keadaan sakit fisik dan emosional sehingga pasien tidak berkapasitas untuk pengambilan keputusan. (2) pada keadaan pasien tidak kompeten secara mental karena belum cukup umur, gangguan mental yang serius ataupun retardasi mental yang ekstrim. (3) ketika hak dilepaskan secara sukarela. (4) saat dokter memiliki hak istimewa untuk mengobati secara legal bahwa pasien akan mengalami kerugian yang serius jika informasi medis itu diberitahukan.9Kondisi etik pada pengobatan psikiatris berasal dari prinsip moral yang sesuai dengan pengobatan penyakit yang bukan psikiatris. Konflik antara menghormati otonomi penderita dengan bertindak paternalistik dalam penanganan penderita, menjadi akar permasalahan seluruh kajian bioetika. Untuk penderita-penderita yang bukan penderita psikiatris, permasalahan tersebut secara teoritis dapat diatasi dengan pendekatan informed consent, dengan asumsi bahwa keduanya memiliki kesadaran dan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Pada kenyataanya, pendekatan informed consent berbeda dengan apa yang secara teoritis diharapkan. Bahwa surat pernyataan persetujuan tindak medis sudah ditandatangani oleh penderita atau walinya, itu memang benar, namun masih perlu ditanyakan apakah penderita atau walinya telah memperoleh informasi medis yang memadai dan dapat dipahami. Hal ini masih perlu pembuktian mengingat kondisi penderita yang berada dalam keadaan yang serba tidak bebas. Persoalan lai adalah apakah wali benar-benar mengerti apa yang sebenarnya diinginkan penderita yang diwakilinya, dan apakah ia tidak berada dalam konflik kepentingan. Akhirnya informed consent sering terjebak ke dalam masalah legal-formal belaka. Semula tujuan utama adalah kepentingan penderita, namun berbalik menjadi demi kepentingan si dokternya sendiri. Tidak jarang informed consent dijadikan alat pelindung bagi dokter agar terbebas dari tuntutan hukum atas kesalahan diagnosis, terapi, atau intervensi medis yang telah dilakukannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang cermat sebelum menilai apakah informed consent tidak cacat hukum.10Arah masa depanPsikiater yang baik adalah psikiater yang beretika. Dalam lingkungan kerja profesional, psikiater perlu untuk mengetahui dan mengaplikasikan prinsip menghargai autonomy, beneficence, non-maleficence dan justice. Beneficence mengharuskan psikiater memberi terapi yang baik, menghargai autonomy artinya memberi kebebasan pada pasien untuk menerima dan menolak informed consent. Non-maleficence menunjukkan bahwa psikiater menghargai hubungan terapeutik antara dokter-pasien dan menghindari situasi dimana dokter menggunakan kapasitasnya dan intelektualnya untuk menjahati pasien, seperti kekerasan seksual dan transaksi bisnis. Etika psikiatri adalah sebagai suatu komponen integral dari identitas profesional seorang psikiater dan/serta sebagai suatu hal yang patut dibanggakan.12

BAB IIIKesimpulanMengembangkan profesionalisme merupakan kewajiban bagi setiap profesi (professional imperative), bagi setiap dokter itu dimulai ketika menjalani pendidikan di fakultas kedokteran. Namun, kita tidak dapat menjamin idealisme itu masih tetap ada setelah beberapa tahun ia berpraktik. Terlalu banyak faktor yang membuat seseorang terpaksa meninggalkan cita-cita awalnya untuk mengabdikan diri bagi kemanusiaan.11Seyogyanya para dokter termasuk psikater sadar akan makna sesungguhnya dari profesinya, dengan tetap mempertahankan dan berpatokan pada kode etik, dan menjunjung tinggi visi besar profesionalisme kedokteran.

Daftar Pustaka1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri, jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara; 2010. Hal 942-522. Williams, JR. Medical ethics manual. Ethics unit of the world medical association. 20053. Wibisono, S. Etika dan profesionalisme di bidang psikiatri. Presentasi ilmiah . Surabaya; 31 0ktober 20134. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). 2009. Kode etik dokter spesialis penyakit jiwa (psikiater) Indonesia. Surabaya5. Vidbeck, Sheila L. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.2008.6. Stuart GW, Laraia MT.Principles and practice of psychiatric nursing, 7 ed.St.Louis: Mosby; 2001.7. Gaol, NJL. Review. Pusat Penyembuhan Penyakit Jiwa dan Gangguan Kejiwaan di Yogyakarta.20118. Kusnadi, Darjani LR, Yulianto M, Mustofa, Suprana O, Safii et al. Inform Consent: Pelaksanaan Shared Decision Making Dalam Pelayanan Kesehatan. Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Administrasi Rumah Sakit Universitas Diponegoro. 20099. Maharani PM. Etika biomedis dalam konteks psikiatri. FK Trisakti. Referat.10. Edwards, R B. Ethics of Psychiatry. New York: Prometheus book; 1997. P 171-8011. Sadikin, ZJ. Profesionalisme bagi profesi dokter. Majalah kedokteran Indonesia, 2008 april; 58 (4): 95-9912.

5