etika berdakwah
TRANSCRIPT
PEMBAHASAN
Ketika dibuat sebuah pertanyaan, apakah ada al-Qur’an
menjelaskan tentang etika berdakwah? Jawabanya mungkin ada atau
tidak ada. Tapi kalau kita samakan arti etika dengan akhlak, maka
jawabanya yang diberikan adalah bahwa al-Qur’an ada menjelaskan
tentang etika berdakwah, karena isi al-Qur’an adalah akhlak. Aisyah
ketika ditanya seorang tentang akhlak Nabi Muhammad, ia menjawab
bahwa akhlak Nabi Muhammad itu adalah al-Qur’an. Berdasarkan
argumentasi di atas dapat dipahami bahwa etika berdakwah ada dalam
al-Qur’an, seperti yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Seperti diketahui
Nabi bukan hanya sebagai pembawa risalah, tetapi juga sebgai pelaku
utama dalam menyampaikan ajaran Islam. Dengan demikian bagaimana
sikap dan perilaku Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah adalah
acuan utama bgi umatnya (pewaris), tidak terkecuali berkaitan dengan
masalah etika berdakwah dalam masyarakat.1 Dengan memiliki etika
dalam berdakwah seorang da’i memiliki batasan tentang apa yang harus
ia lakukan dalam berdakwah.
A. Etika dan batasan dakwah
Secara umum etika adalah aturan-aturan main yang dikenal dengan
kode etik dakwah. Sebenarnya selain etika itu adalah istilah lain yaitu
“akhlak”. Perkataan dari etika itu berasal dari bahasa yunani “ethos”
yang berati adat kebiasaan, sedangkan “Kode” disini diartikan sebagai
aturan main. Dakwah itu adalah etika Islam itu sendri, di mana secara
umum seorang da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan
menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Dan pengertian kode
etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki oleh seorang
juru dakwah2. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik
tersendiri.3 Dalam berdakwah terdapat beberapa etika yang merupakan 1 Zalikha. Membangun format baru dakwah.Arraniry Press. Banda Aceh: 2012, hal 160-1612 M. Yunan Yusuf, “materi kuliah Metode Dakwah” pada hari kamis 12 April 20023 Ali Mustofa Yakub, sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997.
1
rambu-rambu etis juru dakwah, sehingga dapat dihasilkan dakwah yang
bersifat rsponsif. Seorang da’i atau pelaku dakwah dituntut untuk memiliki
etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang
tercela. Dan sumber dari rambu-rambu etis dakwah bagi seorang da’i
adalah al-Quran seperti yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Karena pada dirinya-lah figur teladan bagi kehidupan yang
diinginkan
oleh Allah. Dan pada diri Rasulullah telah mencapai puncak keimanan
yang tinggi.4 Adapun rambu-rambu etis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak memisahkan Antara Ucapan dan Perbuatan
Dengan mencontoh Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya,
para da’i hendaknya untuk tidak memisahkan antara apa yang ia katakan
dengan apa yang ia kerjakan, dalam artian apa saja yang diperintahkan
kepada mad’u, harus pula dikerjakan dan apa saja yang di cegah harus
ditinggalkan. Seorang penyuru atau da’i yang tdak beramal sesuai dengan
ucapannya seperti pemanah tanpa busur. Tanpa hal itu maka sulit
dakwah mereka akan berhail. Kode etik ini bersumber pada firman Allah
dalam surah al-Saff, 2-3 :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian
mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya amat besar murka di
sisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.
Dari ayat tersebut dapat dipahami dakwah itu haruslah dimulai dari
pribadi sang da’i. Para penyuru Islam perlu untuk menjadi seorang muslim
yang baik sebelum menyebut dirinya cukup mampu untuk mengemban
tugas. Sebelum mengubah akhlak kepada orang lain seorang da’i harus
4 Syakh Mustofa Mansyur, Fiqh Dakwah Edisi Lengkap cer I, Al-Ih Tisham, Cahaya Ummat,
Jakarta: 2000, h.98.
2
mampu mengubah akhlak yang ada dalam dirinya. seperti yang
diungkapkan oleh Imam Ali: “Barangsiapa menjadi pemimpin hendaklah ia
mulai dengan mengajar dirinya sendiri, sebelu mengajar orang lain dan
mendidik dengan perilaku sebelum lisannya,”5 hal ini juga terekam dalam
surah al-baqarah ayat 44. Di dakwah itu merupakan sebuah proses yang
kontinu dan bukan merupakan pekerjaan yang mudah.
Kita pahami dakwah yang bersumber dari al-Quran dan sunnah
bukanlah satu proses yang unilateral atau satu arah. Dengan kata lain
dakwah itu harus dilakukan secara perlahan
dengan prioritas yang pasti dimulai dari diri da’i tersebut yang
diselaraskan antara ucapan dan perbuatannya6 dalam masyarakat. Dan
iman dari da’i inilah yang merupakan tonggak terpenting dari semua
kegiatan dakwah.
Menjadi saksi kebenaran dengan menjadi teladan adalah penting
untuk mencapai kesuksesan dakwah, bagaimana mungkin kita dapat
mengajak orang lain untuk membangun moral yang tinggi dan memecah
aktivitas yang tidak Islami, jika sang da’i itu sendiri tidak secara terang-
terangan memperlihatkan akhlak baik yang memcerminkan nilai-nilai
Islam.
2. Tidak melakukan toleransi Agama
Toleransi (tasamuh) adalah keyakinan bahwa keanekaragaman
agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang
mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang berbeda, prasangka,
keinginan dan kepentingan. Toleransi memang dianjurkan oleh Islam
adalah toleransi yang berjuang untuk menjunjung kemerdekaan agama.
Tersirat dalam QS. Al-hajj: 4. Toleransi hanya dalam batasan-batasan
tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (keyakinan). Dalam 5 Khalil al-Musnawi, Ibid, h. 24. 6 Alwi Shihab, Islam Inklusif, menuju sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan; Bandung,
1999.
3
masalah pribadi keyakinan (akidah), Islam memeberikan garis tegas untuk
tidak bertoleransi, kompromi, dan sebagainya. Allah berfirman dalam QS.
Al- Kafirun: 1-6
Artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Pada tataran ini seseorang da’i haruslah tegas dalam
mempertahankan prinsip akidahnya tampil dengan penuh kejujuran
dalam menyampaikan dakwahnya. Namun, juga tidak boleh memaksa
para mad’unya untuk mengikuti jalanya. Dalam hal ini bisa kita lihat
dalam surah al-Kahfi: 29
Artinya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung
mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan
muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling
jelek.
3. Tidak menghidari sesembahan non Muslim
4
Allah berfirman dalam QS. Al-An’am: 108
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.
Da’i dalam menyampaikan ajarannya sangat dilarang untuk
menghina ataupun mencerca agama yang lain. Karena tindakan mencerca
atau menghina tersebut justru akan mengahncurkan kesucian dari
dkawah dan sangatlah tidak etis. Pada hakikatnya seorang da’i harus
menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang aman, dan cara
menyebarkan kejelekan terhadap umat lain.
4. Tidak melakukan diskriminasi sosial
Apabila menelusuri tauladan nabi maka para da’i hedaknya jangan
membeda-bedakan atau pilih kasih antara sesama orang. Karena
keadilan sangat penting dalam dakwah Islam. Da’i harus menjunjung
tinggi hak universal7 manusia dalam berdakwah. Karena itu merupakan
hal yang suci dan sangat dihargai oleh setiap orang tanpa memandang
kelas. Dan Islam sendiri tidak mendukung prinsip hierari dalam
masyarakat.8 Allah berfirman dalam QS. Abasa: 1-2
Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya
7 Loisen Marlow. Masyarakat Egaliter. Mizan, Bandung: 1999, hal 328Ismail, R. Al-farugi, Lois Lamnya al-Farugi, Atlas budaya menjelajah khazanah kehidupan
gemilang Islam, Mirzan, Bandung: 1998, hal 302
5
Tafsirannya: Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum.
Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam;
lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena
beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar
pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini
sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.
5. Tidak memungut imbalan
Dalam hal ini berpendapat menjadi tiga kelompok:
a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam
berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian
sebelumnya ataupun tidak.
b. Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, membolehkan dalam memungut
biaya atau imbalan, dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada
perjanjian sebelumnya maupun tidak.
c. Al-hasan al-Basri, Ibn Sirin, al-Sya’ibi dan lainnya, mereka
bependapat boleh hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah,
tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
6. Tidak berteman dengan pelaku maksiat
Berkawan dengan orang pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan
berdampak buruk atau serius. Karena orang bermaksiat itu beranggapan
bahwa saeakan-akan perbuatan maksiatnya direstui oleh dakwah, pada
sisi lain integritas seorang da’i tersebut akan berkurang, Allah berfirman
dalam QS. Al-maidah: 78
6
Artinya: Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas.
Jika da’i harus terjun kelingkungan pelaku maksiat maka da’i harus
mampu menjaga dirinya serta mengukur kemampuannya, dalam artian
jika sang da’i merasa tidak mampu untuk berdakwah di tempat tersebut
ia harus meninggalkannya dikhawatirkan akan terpengaruh pada
komunitas tersebut. Pada sisi lain berkawan dengan pelaku maksiat
dikhawatirkan akan menjatuhkan integritas diri sang da’i dalam
masyarakat.
7. Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui
Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak
mengetahui, hukum itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang juru
dakwah tidak boleh asal jawab atau menjawab pertanyaan orang menurut
seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya. Dan salah satu hikmah itu
adalah Ilmu. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’: 36
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.
Sifat-sifat cerdas da’i tersebut meliputi:
Seorang da’i haruslah pandai dalam arti memilki pandangan
yang luas dalam merespon dan menangani peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada umat.
7
Memiliki pandangan, firasat, sikap terhadap setiap urusan atau
permasalahan
Da’i haruslah mempu menangkap hal-hal yang tersembunyi di
balik perisyiwa.
Mampu mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi.
Sebab dakwah itu dibutuhkan sebuah sikap intelektaul9 yang tinggi,
karena:
a. Dalam berdakwah kadang-kadang diperlukan sebuah ijtihad dalam
menghadapi persoalan yang berkembang. Untuk itu da’i haruslah
mencurahkan seluruh potensinya, pikirannya, perasaaan, kemauan
maupun semangat.
b. Dakwah membutuhkan usaha ilmiah (ilmu) yang menyangkut taktik,
tiknik, serta strategi. Karena Islam mengingatkan kepada orang-
orang berilmu untuk menyampaikan sebuah kebenaran,
melanjutkan khithah para rasul.
c. Amar ma’ruf nahi mungkar tidak mungkin terlaksana tanpa andil
teknologi seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
B. KARAKTERISTIK KODE ETIK DAKWAH
Yang menjadi karateristik dari etika dakwah adalah karakteristik dari etika Islam itu
sendiri, di mana cakupannya terdiri dari samber moral dakwah, standar yang digunakan untuk
menentukan baik buruknya tingkah laku sang da’i.
1. Al-qur’an dan Sunnah Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam islam yang menjelaskan kriteria
baik buruknya suatu perbuatan adalah Al-qur’an dan Sunnah. Kedua dasar itulah yang
menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan
menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk dalam menjalankn segala aktivitas dakwh.
9 Rafiudin. Maman Abdul jalil. Prinsip dan stategi dakwah.pustaka Setia. Bandung: 1997.
Hal 85-86
8
Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sendiri merupakan dakwah yang terkuat bagi
pengembangan Islam karena Al-Qur’an mencakup cerita orang-orang terdahulu dan syari’at-
syari’atnya serta hukum-hukumnya.
Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sendiri merupakan dakwah yang terkuat bagi
pengembangan Islam karena Al-Qur’an mencakup cerita orang-orang terdahulu dan syari’at-
syari’atnya serta hukum-hukumnya.
2. Akal dan Naluri
Selain kedua sumber di atas yang dipandang sebagai sumber dalam menentukan baik
dan buruk dalam etika dakwah adalah akal dan naluri. Dalam etika Islam akal dan naluri ini
berpendirian sebagai berikut.
Akal dan naluri adalah anugerah Allah
Akal dan pikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusia tidak akan
mampu memecahkan seluruh permasalahan yang maujud ini. Akan tetapi hanya
akal yaag dipancari cahaya Al-Qur’an yang bisa menempatan pada tempatnya.
Naluri yang mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam
kitabnya
3. Motivasi Iman
Dalam melakukan tugas dakwah haruslah memiliki motivasiatau pun pendorong
dalam melakukan segala aktivitasnya yaitu akidah dan iman yang terpatri dalam hati. Iman
itulah yang mendorong seorang da’i mampu berbuat ikhlas, beramal shaleh, bekerja keras dan
rela berkorban. Iman yang sempurna adalah menjelmakan cinta dan taat kepada Allah.
Sekali-kali tidaklah seorang mukmin akan merasa kenyang (puas) mengerjakan
kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga. (HR. Tarmidzi)
C. HIKMAH DALAM ETIKA DAKWAH
Rambu-rambu etis dalam berdakwahatau yang disebut dengan kode etik dakwah
apabila diaplikasikan dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada mad’u, atau oleh sanga
da’i. Pada mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan
menggunakan etika dakwah yang benar akan tergambar bahwa Islam itu merupakan agama
yang harmonis, cinta damai dan yasng penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan
masyarakat. Namun, secara umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu
adalah:
1. Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang juru dakwah akan selalu berpegang pada
rambu-rambu etis Islam, maka secara otomatis ia akan memiliki akhlak yang mulia.
9
2. Sebagai penuntun kebaikan, kode etik dakwah bukan menunutn sang da’i pada jalan
kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang cusi dengan
memprodusir kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i
khususnya dan umat manusia pada umumnya.
3. Membawa pada kesempurnaan iman. Iman yang sempurna akan melahirkan
ksempurnaan diri. Dengan bahasa lain bahwa keindahan etika adalah manifestasi
daripada kesempurnaan iman. Dalam hubungan ini, Abu Hurairah meriwayatkan
penegasan Rasulullah saw.: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang terbaik akhlaknya atau etikanya.” (HR. At-Tarmidzi)
4. Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan
intern pada diri sang da’i.
DAFTAR PUSTAKA
Zalikha. Membangun format baru dakwah.Arraniry Press. Banda Aceh:
2012
Munir. Metode Dakwah. Kencana. Jakarta: 2003
Ali Mustofa Yakub, sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997.
10
Syakh Mustofa Mansyur, Fiqh Dakwah Edisi Lengkap cer I, Al-Ih Tisham,
Cahaya Ummat, Jakarta: 2000
Alwi Shihab, Islam Inklusif, menuju sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan;
Bandung, 1999
Loisen Marlow. Masyarakat Egaliter. Mizan, Bandung: 1999
Ismail, R. Al-farugi, Lois Lamnya al-Farugi, Atlas budaya menjelajah
khazanah kehidupan gemilang Islam, Mirzan, Bandung: 1998
Rafiudin. Maman Abdul jalil. Prinsip dan stategi dakwah.pustaka Setia.
Bandung: 1997
11