etika berdakwah

14
PEMBAHASAN Ketika dibuat sebuah pertanyaan, apakah ada al-Qur’an menjelaskan tentang etika berdakwah? Jawabanya mungkin ada atau tidak ada. Tapi kalau kita samakan arti etika dengan akhlak, maka jawabanya yang diberikan adalah bahwa al-Qur’an ada menjelaskan tentang etika berdakwah, karena isi al-Qur’an adalah akhlak. Aisyah ketika ditanya seorang tentang akhlak Nabi Muhammad, ia menjawab bahwa akhlak Nabi Muhammad itu adalah al-Qur’an. Berdasarkan argumentasi di atas dapat dipahami bahwa etika berdakwah ada dalam al-Qur’an, seperti yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Seperti diketahui Nabi bukan hanya sebagai pembawa risalah, tetapi juga sebgai pelaku utama dalam menyampaikan ajaran Islam. Dengan demikian bagaimana sikap dan perilaku Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah adalah acuan utama bgi umatnya (pewaris), tidak terkecuali berkaitan dengan masalah etika berdakwah dalam masyarakat. 1 Dengan memiliki etika dalam berdakwah seorang da’i memiliki batasan tentang apa yang harus ia lakukan dalam berdakwah. A. Etika dan batasan dakwah Secara umum etika adalah aturan-aturan main yang dikenal dengan kode etik dakwah. Sebenarnya selain etika itu adalah istilah lain yaitu “akhlak”. Perkataan dari etika itu berasal dari bahasa yunani “ethos” yang berati adat kebiasaan, sedangkan “Kode” disini diartikan sebagai aturan main. Dakwah 1 Zalikha. Membangun format baru dakwah.Arraniry Press. Banda Aceh: 2012, hal 160-161 1

Upload: adey-safri

Post on 28-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etika Berdakwah

PEMBAHASAN

Ketika dibuat sebuah pertanyaan, apakah ada al-Qur’an

menjelaskan tentang etika berdakwah? Jawabanya mungkin ada atau

tidak ada. Tapi kalau kita samakan arti etika dengan akhlak, maka

jawabanya yang diberikan adalah bahwa al-Qur’an ada menjelaskan

tentang etika berdakwah, karena isi al-Qur’an adalah akhlak. Aisyah

ketika ditanya seorang tentang akhlak Nabi Muhammad, ia menjawab

bahwa akhlak Nabi Muhammad itu adalah al-Qur’an. Berdasarkan

argumentasi di atas dapat dipahami bahwa etika berdakwah ada dalam

al-Qur’an, seperti yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Seperti diketahui

Nabi bukan hanya sebagai pembawa risalah, tetapi juga sebgai pelaku

utama dalam menyampaikan ajaran Islam. Dengan demikian bagaimana

sikap dan perilaku Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah adalah

acuan utama bgi umatnya (pewaris), tidak terkecuali berkaitan dengan

masalah etika berdakwah dalam masyarakat.1 Dengan memiliki etika

dalam berdakwah seorang da’i memiliki batasan tentang apa yang harus

ia lakukan dalam berdakwah.

A. Etika dan batasan dakwah

Secara umum etika adalah aturan-aturan main yang dikenal dengan

kode etik dakwah. Sebenarnya selain etika itu adalah istilah lain yaitu

“akhlak”. Perkataan dari etika itu berasal dari bahasa yunani “ethos”

yang berati adat kebiasaan, sedangkan “Kode” disini diartikan sebagai

aturan main. Dakwah itu adalah etika Islam itu sendri, di mana secara

umum seorang da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan

menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Dan pengertian kode

etik dakwah adalah rambu-rambu etis yang harus dimiliki oleh seorang

juru dakwah2. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat kode etik

tersendiri.3 Dalam berdakwah terdapat beberapa etika yang merupakan 1 Zalikha. Membangun format baru dakwah.Arraniry Press. Banda Aceh: 2012, hal 160-1612 M. Yunan Yusuf, “materi kuliah Metode Dakwah” pada hari kamis 12 April 20023 Ali Mustofa Yakub, sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997.

1

Page 2: Etika Berdakwah

rambu-rambu etis juru dakwah, sehingga dapat dihasilkan dakwah yang

bersifat rsponsif. Seorang da’i atau pelaku dakwah dituntut untuk memiliki

etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang

tercela. Dan sumber dari rambu-rambu etis dakwah bagi seorang da’i

adalah al-Quran seperti yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad

SAW. Karena pada dirinya-lah figur teladan bagi kehidupan yang

diinginkan

oleh Allah. Dan pada diri Rasulullah telah mencapai puncak keimanan

yang tinggi.4 Adapun rambu-rambu etis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tidak memisahkan Antara Ucapan dan Perbuatan

Dengan mencontoh Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya,

para da’i hendaknya untuk tidak memisahkan antara apa yang ia katakan

dengan apa yang ia kerjakan, dalam artian apa saja yang diperintahkan

kepada mad’u, harus pula dikerjakan dan apa saja yang di cegah harus

ditinggalkan. Seorang penyuru atau da’i yang tdak beramal sesuai dengan

ucapannya seperti pemanah tanpa busur. Tanpa hal itu maka sulit

dakwah mereka akan berhail. Kode etik ini bersumber pada firman Allah

dalam surah al-Saff, 2-3 :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian

mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya amat besar murka di

sisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.

Dari ayat tersebut dapat dipahami dakwah itu haruslah dimulai dari

pribadi sang da’i. Para penyuru Islam perlu untuk menjadi seorang muslim

yang baik sebelum menyebut dirinya cukup mampu untuk mengemban

tugas. Sebelum mengubah akhlak kepada orang lain seorang da’i harus

4 Syakh Mustofa Mansyur, Fiqh Dakwah Edisi Lengkap cer I, Al-Ih Tisham, Cahaya Ummat,

Jakarta: 2000, h.98.

2

Page 3: Etika Berdakwah

mampu mengubah akhlak yang ada dalam dirinya. seperti yang

diungkapkan oleh Imam Ali: “Barangsiapa menjadi pemimpin hendaklah ia

mulai dengan mengajar dirinya sendiri, sebelu mengajar orang lain dan

mendidik dengan perilaku sebelum lisannya,”5 hal ini juga terekam dalam

surah al-baqarah ayat 44. Di dakwah itu merupakan sebuah proses yang

kontinu dan bukan merupakan pekerjaan yang mudah.

Kita pahami dakwah yang bersumber dari al-Quran dan sunnah

bukanlah satu proses yang unilateral atau satu arah. Dengan kata lain

dakwah itu harus dilakukan secara perlahan

dengan prioritas yang pasti dimulai dari diri da’i tersebut yang

diselaraskan antara ucapan dan perbuatannya6 dalam masyarakat. Dan

iman dari da’i inilah yang merupakan tonggak terpenting dari semua

kegiatan dakwah.

Menjadi saksi kebenaran dengan menjadi teladan adalah penting

untuk mencapai kesuksesan dakwah, bagaimana mungkin kita dapat

mengajak orang lain untuk membangun moral yang tinggi dan memecah

aktivitas yang tidak Islami, jika sang da’i itu sendiri tidak secara terang-

terangan memperlihatkan akhlak baik yang memcerminkan nilai-nilai

Islam.

2. Tidak melakukan toleransi Agama

Toleransi (tasamuh) adalah keyakinan bahwa keanekaragaman

agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang

mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang berbeda, prasangka,

keinginan dan kepentingan. Toleransi memang dianjurkan oleh Islam

adalah toleransi yang berjuang untuk menjunjung kemerdekaan agama.

Tersirat dalam QS. Al-hajj: 4. Toleransi hanya dalam batasan-batasan

tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (keyakinan). Dalam 5 Khalil al-Musnawi, Ibid, h. 24. 6 Alwi Shihab, Islam Inklusif, menuju sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan; Bandung,

1999.

3

Page 4: Etika Berdakwah

masalah pribadi keyakinan (akidah), Islam memeberikan garis tegas untuk

tidak bertoleransi, kompromi, dan sebagainya. Allah berfirman dalam QS.

Al- Kafirun: 1-6

Artinya: “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan

menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan

yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang

kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan

yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Pada tataran ini seseorang da’i haruslah tegas dalam

mempertahankan prinsip akidahnya tampil dengan penuh kejujuran

dalam menyampaikan dakwahnya. Namun, juga tidak boleh memaksa

para mad’unya untuk mengikuti jalanya. Dalam hal ini bisa kita lihat

dalam surah al-Kahfi: 29

Artinya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;

Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan

Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah

sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung

mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi

minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan

muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling

jelek.

3. Tidak menghidari sesembahan non Muslim

4

Page 5: Etika Berdakwah

Allah berfirman dalam QS. Al-An’am: 108

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang

mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan

Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada

Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka

apa yang dahulu mereka kerjakan.

Da’i dalam menyampaikan ajarannya sangat dilarang untuk

menghina ataupun mencerca agama yang lain. Karena tindakan mencerca

atau menghina tersebut justru akan mengahncurkan kesucian dari

dkawah dan sangatlah tidak etis. Pada hakikatnya seorang da’i harus

menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang aman, dan cara

menyebarkan kejelekan terhadap umat lain.

4. Tidak melakukan diskriminasi sosial

Apabila menelusuri tauladan nabi maka para da’i hedaknya jangan

membeda-bedakan atau pilih kasih antara sesama orang. Karena

keadilan sangat penting dalam dakwah Islam. Da’i harus menjunjung

tinggi hak universal7 manusia dalam berdakwah. Karena itu merupakan

hal yang suci dan sangat dihargai oleh setiap orang tanpa memandang

kelas. Dan Islam sendiri tidak mendukung prinsip hierari dalam

masyarakat.8 Allah berfirman dalam QS. Abasa: 1-2

Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena

telah datang seorang buta kepadanya

7 Loisen Marlow. Masyarakat Egaliter. Mizan, Bandung: 1999, hal 328Ismail, R. Al-farugi, Lois Lamnya al-Farugi, Atlas budaya menjelajah khazanah kehidupan

gemilang Islam, Mirzan, Bandung: 1998, hal 302

5

Page 6: Etika Berdakwah

Tafsirannya: Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam;

lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena

beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar

pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini

sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.

5. Tidak memungut imbalan

Dalam hal ini berpendapat menjadi tiga kelompok:

a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam

berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian

sebelumnya ataupun tidak.

b. Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, membolehkan dalam memungut

biaya atau imbalan, dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada

perjanjian sebelumnya maupun tidak.

c. Al-hasan al-Basri, Ibn Sirin, al-Sya’ibi dan lainnya, mereka

bependapat boleh hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah,

tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.

6. Tidak berteman dengan pelaku maksiat

Berkawan dengan orang pelaku maksiat ini dikhawatirkan akan

berdampak buruk atau serius. Karena orang bermaksiat itu beranggapan

bahwa saeakan-akan perbuatan maksiatnya direstui oleh dakwah, pada

sisi lain integritas seorang da’i tersebut akan berkurang, Allah berfirman

dalam QS. Al-maidah: 78

6

Page 7: Etika Berdakwah

Artinya: Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan

Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka

durhaka dan selalu melampaui batas.

Jika da’i harus terjun kelingkungan pelaku maksiat maka da’i harus

mampu menjaga dirinya serta mengukur kemampuannya, dalam artian

jika sang da’i merasa tidak mampu untuk berdakwah di tempat tersebut

ia harus meninggalkannya dikhawatirkan akan terpengaruh pada

komunitas tersebut. Pada sisi lain berkawan dengan pelaku maksiat

dikhawatirkan akan menjatuhkan integritas diri sang da’i dalam

masyarakat.

7. Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak

mengetahui, hukum itu pasti ia akan menyesatkan umat. Seorang juru

dakwah tidak boleh asal jawab atau menjawab pertanyaan orang menurut

seleranya sendiri tanpa ada dasar hukumnya. Dan salah satu hikmah itu

adalah Ilmu. Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’: 36

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,

penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan

jawabnya.

Sifat-sifat cerdas da’i tersebut meliputi:

Seorang da’i haruslah pandai dalam arti memilki pandangan

yang luas dalam merespon dan menangani peristiwa-peristiwa

yang terjadi pada umat.

7

Page 8: Etika Berdakwah

Memiliki pandangan, firasat, sikap terhadap setiap urusan atau

permasalahan

Da’i haruslah mempu menangkap hal-hal yang tersembunyi di

balik perisyiwa.

Mampu mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi.

Sebab dakwah itu dibutuhkan sebuah sikap intelektaul9 yang tinggi,

karena:

a. Dalam berdakwah kadang-kadang diperlukan sebuah ijtihad dalam

menghadapi persoalan yang berkembang. Untuk itu da’i haruslah

mencurahkan seluruh potensinya, pikirannya, perasaaan, kemauan

maupun semangat.

b. Dakwah membutuhkan usaha ilmiah (ilmu) yang menyangkut taktik,

tiknik, serta strategi. Karena Islam mengingatkan kepada orang-

orang berilmu untuk menyampaikan sebuah kebenaran,

melanjutkan khithah para rasul.

c. Amar ma’ruf nahi mungkar tidak mungkin terlaksana tanpa andil

teknologi seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

B. KARAKTERISTIK KODE ETIK DAKWAH

Yang menjadi karateristik dari etika dakwah adalah karakteristik dari etika Islam itu

sendiri, di mana cakupannya terdiri dari samber moral dakwah, standar yang digunakan untuk

menentukan baik buruknya tingkah laku sang da’i.

1. Al-qur’an dan Sunnah Sumber Moral

Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam islam yang menjelaskan kriteria

baik buruknya suatu perbuatan adalah Al-qur’an dan Sunnah. Kedua dasar itulah yang

menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan

menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk dalam menjalankn segala aktivitas dakwh.

9 Rafiudin. Maman Abdul jalil. Prinsip dan stategi dakwah.pustaka Setia. Bandung: 1997.

Hal 85-86

8

Page 9: Etika Berdakwah

Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sendiri merupakan dakwah yang terkuat bagi

pengembangan Islam karena Al-Qur’an mencakup cerita orang-orang terdahulu dan syari’at-

syari’atnya serta hukum-hukumnya.

Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sendiri merupakan dakwah yang terkuat bagi

pengembangan Islam karena Al-Qur’an mencakup cerita orang-orang terdahulu dan syari’at-

syari’atnya serta hukum-hukumnya.

2. Akal dan Naluri

Selain kedua sumber di atas yang dipandang sebagai sumber dalam menentukan baik

dan buruk dalam etika dakwah adalah akal dan naluri. Dalam etika Islam akal dan naluri ini

berpendirian sebagai berikut.

Akal dan naluri adalah anugerah Allah

Akal dan pikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusia tidak akan

mampu memecahkan seluruh permasalahan yang maujud ini. Akan tetapi hanya

akal yaag dipancari cahaya Al-Qur’an yang bisa menempatan pada tempatnya.

Naluri yang mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam

kitabnya

3. Motivasi Iman

Dalam melakukan tugas dakwah haruslah memiliki motivasiatau pun pendorong

dalam melakukan segala aktivitasnya yaitu akidah dan iman yang terpatri dalam hati. Iman

itulah yang mendorong seorang da’i mampu berbuat ikhlas, beramal shaleh, bekerja keras dan

rela berkorban. Iman yang sempurna adalah menjelmakan cinta dan taat kepada Allah.

Sekali-kali tidaklah seorang mukmin akan merasa kenyang (puas) mengerjakan

kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga. (HR. Tarmidzi)

C. HIKMAH DALAM ETIKA DAKWAH

Rambu-rambu etis dalam berdakwahatau yang disebut dengan kode etik dakwah

apabila diaplikasikan dengan sungguh-sungguh akan berdampak pada mad’u, atau oleh sanga

da’i. Pada mad’u akan memperoleh simpati atau respon yang baik karena dengan

menggunakan etika dakwah yang benar akan tergambar bahwa Islam itu merupakan agama

yang harmonis, cinta damai dan yasng penuh dengan tatanan-tatanan dalam kehidupan

masyarakat. Namun, secara umum hikmah dalam pengaplikasian kode etik dakwah itu

adalah:

1. Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang juru dakwah akan selalu berpegang pada

rambu-rambu etis Islam, maka secara otomatis ia akan memiliki akhlak yang mulia.

9

Page 10: Etika Berdakwah

2. Sebagai penuntun kebaikan, kode etik dakwah bukan menunutn sang da’i pada jalan

kebaikan tetapi mendorong dan memotivasi membentuk kehidupan yang cusi dengan

memprodusir kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i

khususnya dan umat manusia pada umumnya.

3. Membawa pada kesempurnaan iman. Iman yang sempurna akan melahirkan

ksempurnaan diri. Dengan bahasa lain bahwa keindahan etika adalah manifestasi

daripada kesempurnaan iman. Dalam hubungan ini, Abu Hurairah meriwayatkan

penegasan Rasulullah saw.: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah

yang terbaik akhlaknya atau etikanya.” (HR. At-Tarmidzi)

4. Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara ekstern dan

intern pada diri sang da’i.

DAFTAR PUSTAKA

Zalikha. Membangun format baru dakwah.Arraniry Press. Banda Aceh:

2012

Munir. Metode Dakwah. Kencana. Jakarta: 2003

Ali Mustofa Yakub, sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997.

10

Page 11: Etika Berdakwah

Syakh Mustofa Mansyur, Fiqh Dakwah Edisi Lengkap cer I, Al-Ih Tisham,

Cahaya Ummat, Jakarta: 2000

Alwi Shihab, Islam Inklusif, menuju sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan;

Bandung, 1999

Loisen Marlow. Masyarakat Egaliter. Mizan, Bandung: 1999

Ismail, R. Al-farugi, Lois Lamnya al-Farugi, Atlas budaya menjelajah

khazanah kehidupan gemilang Islam, Mirzan, Bandung: 1998

Rafiudin. Maman Abdul jalil. Prinsip dan stategi dakwah.pustaka Setia.

Bandung: 1997

11