eps jiwa waty
DESCRIPTION
ekstra pyramidal syndromeTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan penggunaan klinik, psikofarmaka dibagi menjadi 4 golongan
yaitu antipsikotik, antianxietas, antidepresi, dan psikotogenik. Antipsikotik
merupakan kelompok terbesar yang dipakai untuk mengobati gangguan mental.
Secara khusus, obat-obat ini memperbaki proses pikir dan perilaku dengan gejala-
gejala psikotik. Obat-obat ini tidak dipakai untuk mengobati anxietas atau depresi. (1)
Antipsikotik dibedakan atas antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi
pertama) antara lain klorpromazin, flufenazin, tioridazin, haloperidol serta
antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti klozapin, olanzapin,
risperidon dan lain sebagainya. 1,2
Semua obat dalam kelompok antipsikotik umumnya dapat menyebabkan
efek samping, salah satunya efek ekstrapiramidal yang mencakup parkinsonisme,
akatisia, dan dyskinesia tardive. Namun pada pasien yang menggunakan
antipsikotik generasi I (tipikal) lebih mudah terkena efek samping tersebut. (2,10)
Penggunaan obat antipsikotik tipikal dalam beberapa penelitian terakhir
mulai jarang digunakan karena efek samping dan ketersediaan obat antipsikotik
atipikal yang semakin luas. Penggunaan antipsikotik atipikal saat ini merupakan
lini pertama pengobatan gejala psikotik karena efek sampingnya yang lebih dapat
ditolerir daripada antipsikotik tipikal ataupun obat golongan non antipsikotik.(4)
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada
otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak
dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla,
dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang
kompleks, dan kontrol postur tubuh. 1
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi
yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering
1
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol,
Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi
antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di
ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung
banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik
sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.(5)
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu kondisi yang menimbulkan
gerakan otot tak sadar atau kejang yang biasanya terjadi pada wajah dan leher. Hal
ini terjadi ketika terjadi gangguan pengaturan pelepasan dan re-uptake
neurotransmitter dopamin. Seorang individu dapat menderita sindrom
ekstrapiramidal sebagai akibat dari cedera kepala atau penyakit Parkinson,
meskipun penyebab utamanya adalah efek samping obat antipsikotik. Pengobatan
diperlukan untuk mencegah memburuknya gejala dan tindakan pengobatan
biasanya diarahkan untuk mengidentifikasi dan menanggulangi penyebabnya.(6)
EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akatisia,
dan parkinsonisme umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik.
Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai
potensi tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria
muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,
umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang.
Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu
3
6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Parkinsonisme
umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa
muda dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. (5)
ETIOLOGI
Gejala ekstrapiramidal (EPS), seperti akatisia, distonia, parkinsonisme,
dan dyskinesia tardive merupakan efek samping obat yang dapat menjadi masalah
bagi orang-orang yang menerima obat antipsikotik atau agen dopamin-blocking
lainnya.(7)
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang
menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan
dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya
sebagai berikut:
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal
Chlorpromazine
Thioridazine
Perphenazine
trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetiapine
Olanzapine
Aripiprazole
150-1600
100-900
8-48
5-60
5-60
2-100
2-6
25-100
75-100
200-1600
2-9
50-400
10-20
10-20
++
+
+++
+++
+++
++++
++
-
+
+
+
+
+
+
4
PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-
inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang
otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6
dan area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain
oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang
melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan
penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit
tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama
(principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).3
Sirkuit striatal utama tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan
segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan
korpus striatum/globus palidus dengan thalamus, dan (c) hubungan thalamus
dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks diserahkan
kepada korpus striatum/globus palidus/thalamus untuk diproses dan hasil
pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks
motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal
lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata
utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal penunjang.5
Sirkuit striatal penunjang pertama merupakan sirkuit yang
menghubungkan striatum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal
penunjang kedua adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus
subtalamikum-globus palidus. Kemudian, sirkuit penunjang ketiga yang dibentuk
oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.10
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal karena inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada
pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi
pada sistem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat
5
transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi
dopaminergik yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat
tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung
banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)
merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten dan sebagai
akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih
menonjol. (5)
GAMBARAN KLINIS
Gejala ekstrapiramidal adalah masalah yang paling mengganggu. Gejala
ini paling sering muncul pada penggunaan piperazin, fenotiazin (flufenazin,
perfenazin, proklorperazin, dan trifluoperazin), butiropenon (benperidol dan
haloperidol) serta sediaan bentuk depot. Gejala ini mudah dikenali tetapi tidak
dapat diperkirakan secara akurat karena bergantung pada dosis, jenis obat, dan
kondisi individual pasien.
Gejala ekstrapiramidal termasuk di antaranya4,6,9
Parkinsonisme (termasuk tremor, rigiditas, bradikinesia) yang akan timbul
lebih sering pada orang dewasa atau lansia dan dapat muncul secara
bertahap.
Distonia (pergerakan wajah dan tubuh yang tidak normal) yang lebih
sering terjadi pada anak atau dewasa muda dan muncul setelah pemberian
hanya beberapa dosis.
Akatisia (restlessness) yang secara karakteristik muncul setelah
pemberian dosis awal yang besar dan mungkin memperburuk kondisi
pasien yang diobati.
Tardive dyskinesia [ritmik, pergerakan lidah, wajah, rahang yang tidak
disadari (involunter)] biasanya terjadi pada terapi jangka panjang atau
dengan pemberian dosis yang tinggi, tetapi dapat juga terjadi pada terapi
6
jangka pendek dengan dosis rendah. Tardive dyskinesia sementara dapat
timbul setelah pemutusan obat. (9)
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi
distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.(8)
1. Reaksi Distonia
Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau
lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat berlangsung lama,
biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot
yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah, dan otot
ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis
okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
seluruh otot tubuh). Hal ini akan menggangu pasien dan dapat menimbulkan
nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring atau diafragmatik.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan
oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis
tinggi seperti haloperidol, trifluoperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-
kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.(7,8)
Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan
retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion,
memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata
terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri,
disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan
postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah
kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas
bawah.(8)
2. Akatisia
Merupakan gejala EPS paling umum. Manifestasi berupa keadaan
gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada
7
otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness)
yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa
tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang,
perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan
sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang
disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena
anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala
psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang berlebih. Agitasi,
pemacuan yang nyata, atau manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat
ditemukan pada kasus yang berat.(7,8)
3. Parkinsonisme
Faktor risiko yang menginduksi parkinsonisme adalah peningkatan usia,
dosis obat, riwayat parkinsonisme sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Manifestasinya erdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia
meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan
saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan,
akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara,
penurunan spontanitas, apatis, dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal.
Semua gejala diatas dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif.
Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat. Gaya berjalan dengan langkah
kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.(3,7,8)
4. Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat sensitivitas
reseptor dopamin yang berlebih di puntamen kaudatus. Merupakan
manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau
seperti tik, mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan cara makan
pasien. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita,
dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala dapat hilang
dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu, dan umumnya
8
memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding dari dyskinesia
tardive meliputi penyakit Huntington, Khorea Sindenham, dyskinesia spontan,
tik, dan dyskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan
lain-lain.(2,7)
Perlu dicatat bahwa tardive dyskinesia yang diduga disebabkan oleh
sensitivitas reseptor dopamin yang berlebih pasca sinaptik akibat blokade
kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinsonisme yang
diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak mencukupi.
Perlu pengenalan awal karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi
yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat
beragam dan kadang-kadang terbatas. (8)
DIAGNOSIS BANDING
EPS kadang salah didiagnosis dengan gangguan lainnya, termasuk
kecemasan, depresi berat, dan episode manik dari gangguan bipolar. (7)
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:
1. Sindroma putus obat
2. Parkinson disease
3. Tetanus
4. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5. Distonia primer
6. Pada pasien dengan tardive dyskinesia dapat pula didiagnosis banding
dengan penyakit Huntington, Khorea Sindenham
PENATALAKSANAAN
Pasien dengan gejala parkinsonisme sebaiknya diberi tata laksana yang
dimulai dengan penurunan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan
Trihexyphenidil atau antikolinergik lainnya, 4-6 mg per hari selama 4-6 minggu.
Setelah itu, dosis diturunkan secara perlahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk
9
melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
parkinsonisme.
Pada pasien dengan gejala distonia dapat diberikan benzatropine 1-2 mg
atau difenhidramin 50 mg injeksi intramuskular. Jika belum efektif dalam 20-30
menit, maka dapat ditambah dengan benzodiazepine injeksi. Kemudian dosis
antipsikotik diturunkan atau diganti dengan antipsikotik lain. Dilanjutkan
pemberian antikolinergik jangka pendek untuk mencegah kembalinya gejala.
Penatalaksanaan pada gejala akatisia dapat dilakukan dengan menurunkan
dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Pemberian
propanolol 30-120 mg/hari atau clonidine adalah pilihan utama. Terapi lain yang
dapat digunakan adalah antikolinergik atau amantadin.(11)
Tardive dyskinesia adalah efek samping jangka panjang yang timbul
akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Penatalaksanaannya dapat dimulai dari
pencegahan sehingga diperlukan skrining setelah 3 sampai 6 bulan penggunaan
antipsikotik. Penanganannya dapat dilakukan dengan menurunkan dosis
antipsikotik atau mengganti obat dengan clozapine. (7, 10)
PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih
baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, terutama pasien
dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila
tidak diatasi dengan cepat. Kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang
mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun. (7)
KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu
sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak
saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada
distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS
mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang
10
buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur,
gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat
mengeksaserbasi gejala psikotik. (7)
11
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat
diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat
transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum
menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka
panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, parkinsonisme, dan tardive
dyskinesia. Sindrom ekstrapiramidal dapat ditangani dengan menurunkan dosis
antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antikolinergik seperti
trihexyphenidil (THP) dan difenhidramin. Bila terjadi reaksi distonia akut berat,
pasien harus mendapatkan penanganan cepat. Umumnya diberikan Benzatropin 1-
2 mg secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan propanolol
30-120 mg/hari.
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan
komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Kee JL, Evelyn. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta:
EGC; 1996.
2. Shiloh Roni, Rafael. Atlas of Psychiatric Pharmacotherapy. United
Kingdom: Taylor&Francis;2006
3. Yulia M. Efek Samping Penggunaan Antipsikotik terhadap Sindrom
Parkinson pada Pasien Schizophrenia di RSJ. Prof. HB. Sa'Anin Padang.
Universitas Andalas Padang. 2011.
4. Andri. Tatalaksana Psikofarmaka dalam Manajemen Gejala Psikosis
Penderita Usia Lanjut. Universitas Krida Wacana Jakarta. 2009
5. Johnson Danielle. Sindrom Ekstrapiramidal. 2013
6. Shigenoiharuki. Sindrom Ekstrapiramidal. 2011.
7. courey T. Detection, Prevention, and Management of Extrapyramidal
Symptoms. Medscape. 2007;3:464-9.
8. Kamin JM, Sumita. Hughes, Douglas. Extrapyramidal Side Effect in the
Psychiatric Emergency Service. Emergency Psychiatry. 2000;51:287-9.
9. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Informasi Obat Nasional Indonesia.
Jakarta. 2013
10. Tanto C, Liwang F, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media
Aesculapius;2014
11. Sinaga BR. Skizofrenia dan Diagnosis Banding.Jakarta:Balai Penerbit
FKUI;2007
13