empat kebenaran mulia

14
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi). Dalam agama Buddha, diajarkan kepada penganutnya mengenai hokum kesunyataan. Hukum kesunyataan ini terbagi kepada empat bagian. Kesemua bagian itu berkait antar satu dengan yang lainnya. Penganut agama Buddha juga diajarkan cara untuk menghilangkan hukum kesunyataan itu untuk mencapai Nirwana. 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah yang dimaksudkan dengan hukum kesunyataan? b. Bagaimanakah pembagian hukum kesunyataan itu? c. Apakah yang diartikan dengan delapan jalan kebenaran? 1.3 Tujuan Sesuai dengan apa yang telah menjadi perumusan makalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka tujuan makalah ini adalah untuk pembaca mengetahui tentang hukum kesunyataan dan hal-hal yang terkait dengannya. Makalah ini juga bertujuan 1

Upload: kevin-mitnick

Post on 05-Aug-2015

142 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Empat Kebenaran Mulia

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena

dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya

kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka

(kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan

Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

Dalam agama Buddha, diajarkan kepada penganutnya mengenai hokum kesunyataan.

Hukum kesunyataan ini terbagi kepada empat bagian. Kesemua bagian itu berkait antar satu

dengan yang lainnya. Penganut agama Buddha juga diajarkan cara untuk menghilangkan

hukum kesunyataan itu untuk mencapai Nirwana.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksudkan dengan hukum kesunyataan?

b. Bagaimanakah pembagian hukum kesunyataan itu?

c. Apakah yang diartikan dengan delapan jalan kebenaran?

1.3 Tujuan

Sesuai dengan apa yang telah menjadi perumusan makalah yang telah penulis

kemukakan di atas, maka tujuan makalah ini adalah untuk pembaca mengetahui tentang

hukum kesunyataan dan hal-hal yang terkait dengannya. Makalah ini juga bertujuan

menambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca untuk digunakan dalam kehidupan.

1

Page 2: Empat Kebenaran Mulia

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Kesunyataan

Empat Kesunyataan Mulia, atau disebut juga dengan Kebenaran Mulia, (Pali : cattāri

ariyasaccāni) adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi orang-orang yang

beragama Buddha tanpa membeda-bedakan suku, ras, maupun budaya. Mengikut pandangan

dalam ajaran Buddha, manusia yang mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka,

setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini.

Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di

bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat

Kebenaran Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gotama kepada umat manusia di

bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan

tetap ada dan berlaku secara universal.

Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti

yang tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia. Di berbagai bagian Sutta Pitaka1 dapat kita

temukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia.

Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak

ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai

keadaan tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya

noda-noda2. Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah

penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah

jalan menuju berhentinya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana

adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-

noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”3

1 Sutta Pitaka adalah bagian dari Tripitaka (Kitab Suci Agama Buddha)2 noda-noda= tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan atau

kebodohan-batin (moha)3 Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42 (dua-duanya persis sama).

Disadur dari http://willyyandi.wordpress.com/2008/04/12/empat-kebenaran-mulia/ 2

Page 3: Empat Kebenaran Mulia

2.2 Empat Kebenaran Mulia

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang

Buddha dalam khotbah pertamanya di Benares. Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga

adalah ajaran khusus para Buddha, yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4

Kebenaran Mulia ini walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian

ajaran yang berbeda.

Kotbah pertama dari Buddha Gautama di Isipathana, dalam Taman Menjangan, dekat

Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai empat kebenaran utama dan delapan jalan

kebaktian itu, yang keseluruhan uraiannya itu disimpulkan sebagai berikut:4

Empat Kebenaran Utama

1. Ada itu suatu derita (dukkha)

2. Derita itu disebabkan hasrat (tanha)

3. Hasrat itu mesti ditiadakan (nirodha)

4. Peniadaan itu dengan delapan jalan (marga)5

Di sini akan dibahas masing-masing perbagian sesuai dengan sutta-sutta6 dalam

Tripitaka, khususnya Sutta Pitaka.

2.2.1 Kebenaran Mulia Tentang Adanya ‘Penderitaan’ ( Dukkha )

Kata penderitaan yang digunakan di sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak

sepenuhnya dapat mewakili makna kata dukkha. Sebelum lebih lanjut membahas tentang

penderitaan (dukkha), kita akan melihat definisi dukkha yang ada di dalam Kitab Suci

Tripitaka.

“Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah

penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan

(ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang

4 Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1996), hlm. 79.5 Ibid.6 Sutta adalah ucapan Buddha Gotama yang tertulis di dalam Kitab Suci Tripitaka

3

Page 4: Empat Kebenaran Mulia

diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha)

yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha).”7

Definisi dukkha (penderitaan) di dalam Kitab Tripitaka terdapat di dalam beberapa

sutta. Pengulangan yang berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap

Empat Kebenaran Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha

(penderitaan).

Memang jika diterjemahkan sebagai penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-

olah bahwa agama Buddha memandang hidup adalah pesimis. Namun, dukkha bukan hanya

berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang dimaksud adalah penderitaan

dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, padahal apapun pasti berubah. Dukkha bisa

diartikan sebagai penderitaan karena tidak bisa menerima perubahan.

Jadi dukkha sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap perubahan itu. Dukkha

adalah penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa hidup kekal (anicca).

Konsep perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:8

1. Bagi alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)

2. Bagi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha

(menderita karena merasakan perubahan)

3. Bagi manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang tetap

abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)

Jadi dukkha di sini menjadi jelas jika memandangnya dari sudut manusia terhadap diri

sendiri dan itu berarti dukkha lebih tepat dikatakan sebagai penderitaan karena cara pandang

yang salah terhadap kenyataan. Dengan kata lain dukkha terjadi karena manusia masih

bersifat subjektif dalam memandang realitas segala sesuatu, yaitu perubahan.

2.2.2 Kebenaran Mulia Tentang Penyebab Penderitaan

7 Willy Yandi Wijaya, Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern, (Jurnal, Vol. 01, No. 2, Oktober 2005), hlm. 1.

8 Willy Yandi Wijaya, Pandangan Benar, (Yogyakarta: Insight Vidyasena Production, 2008), hlm. 122.

4

Page 5: Empat Kebenaran Mulia

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perasaan tidak puas karena kehilangan atau

perubahan itulah yang dinamakan dukkha. Dengan pemahaman terhadap penderitaan

(dukkha) seperti itu, kita dapat melihat bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh ‘perasaan

tidak puas’. Di dalam konteks buddhis, dinamakan tanha. Tanha adalah nafsu keinginan yang

melekat. Melekat artinya jika tidak mendapatkan, maka akan menderita.

Kita perlu memahami dengan jelas keinginan biasa dan keinginan yang melekat.

Contohnya adalah seorang anak kecil yang ingin mainan. Ia terus ingin dan ingin padahal

faktor penunjang untuk mendapatkan mainan tersebut tidak ada. Akhirnya anak tersebut

menangis dan ia merasa menderita. Seandainya anak tersebut hanya ingin, namun ia sadar

bahwa kenapa orang tuanya tidak membelikannya, keinginannya menjadi hal yang wajar dan

tidak melekat.9 Sama seperti Sang Buddha yang masih ingin makan, namun tidak melekat

pada makanan. Sang Buddha tidak menderita ketika tidak mendapat makanan, namun bukan

berarti Sang Buddha tidak ingin makan. Seandainya Sang Buddha tidak ingin makan, maka

proses makan tidak akan ada dan akan merugikan dirinya sendiri.10

Akar dari keinginan yang melekat adalah ketidaktahuan (avijja). Ketidaktahuan

(avijja) adalah ketidaksadaran pada suatu momen (saat ini) akan realitas dunia ini yang selalu

berubah. Contohnya adalah anak kecil yang ingin mainan tersebut. Seandainya anak kecil

tersebut mengerti bahwa keinginannya hanya sesaat dan belajar dari pengalaman sebelumnya

bahwa mainan tersebut lama-kelamaan akan membuatnya bosan juga, ia akan terbebas dari

keinginan yang melekat. Jadi ketika keinginan datang menghampiri, kita harus hati-hati untuk

tidak  terikat kepadanya. Pikiran dan renungkan dengan bijak apakah keinginan tersebut

betul-betul kita butuhkan atau hanya untuk memuaskan keserakahan kita.

2.2.3 Kebenaran Mulia Tentang Lenyapnya Penderitaan

Di dalam sammaditthi sutta dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan

penghentian tanpa sisa, penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu

keinginan. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat

dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat, tidak

serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.11

9 Ibid., hlm. 124.10 Opcit., Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern, hlm. 2.11 Ibid., hlm. 127.

5

Page 6: Empat Kebenaran Mulia

Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika penderitaan lenyap,

ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin

(moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami karena

sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan

ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas

asih, serta dengan kebijaksanaan sejati.12

Sang Buddha mengatakan bahwa beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju

kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk

mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena

nibbana hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap orang.

Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri

dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi

berhentinya penderitaan (dukkha) sama artinya dengan tercapainya nibbana.13

2.2.4 Kebenaran Mulia Tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan

Sang Buddha memberikan gambaran akan realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan

atau penderitaan, penyebabnya dan setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana)

saat ini juga dengan melenyapkan penderitaan (dukkha). Untuk dapat mencapai kebahagiaan

sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang dapat dilakukan setiap orang. Cara tersebut

dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Inilah jalan yang akan membawa siapapun kepada

kebahagiaan sejati jika telah sempurna dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap

tindakan yang dilakukan seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara

pandang seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia

seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.14

Dedelapan bagian dari kesatuan jalan yang saling terjalin tersebut adalah pandangan

benar, pikiran atau niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian atau

penghidupan benar, upaya benar, perhatian atau perenungan benar, dan konsentrasi atau

kesadaran benar. Kita memandang kedelapannya sebagai satu kesatuan seperti seutas tali

yang terjalin yang saling memengaruhi. Kita melihatnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak

12 Ibid.13 Opcit., Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern.14 Ibid., hlm. 128.

6

Page 7: Empat Kebenaran Mulia

terpisahkan. Ketika suatu perbuatan yang dilakukan baik, hal tersebut berarti pikirannya baik.

Ketika sebuah ucapan seseorang bermanfaat, berarti pikirannya dipenuhi oleh cinta kasih.

Pikirannya benar (positif) karena pandangannya benar. Sehingga kedelapannya adalah satu

kesatuan dengan pusat talinya adalah pandangan benar.15

2.3 Delapan Jalan Kebenaran

Berdasarkan Sutta-Pitaka dalam Tripitaka, Jalan Utama Berunsur Delapan ditemukan

kembali oleh Siddharta Gautama dalam upayanya mencapai pencerahan. Sutta

menggambarkannya sebagai sebuah jalan tua yang dilalui dan diteladani olah para Buddha

sebelumnya. Jalan Utama Berunsur Delapan membantu pemeluk agama Buddha menuju ke

kehidupan yang mulia.16

Orang-orang yang beragama Buddha mempercayai bahwa Empat Kesunyataan Itu

harus ditiadakan. Cara untuk dapat melenyapkan penderitaan itu hanya dengan menjalani

delapan jalan kebenaran yang diberikan oleh Buddha. yaitu:17

1. Percaya yang benar.

2. Cita-cita yang benar.

3. Ucapan yang benar.

4. Perbuatan yang benar.

5. Hidup yang benar.

6. Mempelajari hukum yang benar.

7. Ingatan yang benar.

8. Tafakur atau Samadhi yang benar.

Pelepasan dari penderitaan hanya dapat dicapai jika orang yakin akan empat

kenyataan tersebut. Tak perlu mencari pemandangan yang bersifat dalam, tak berguna lagi

15 Opcit., Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern, hlm. 3.16 Opcit., Joesoef Sou’yb, hlm. 79.17 Drs. H. Abu Ahmad, Perbandingan agama, (Jakarta: Reka Cipta, 1991), hlm. 135.

7

Page 8: Empat Kebenaran Mulia

orang bertapa, tak perlu mempelajari buku-buku Veda Brahmana, dan Upanisyad. Yang harus

dijalankan hanya delapan petunjuk yang diberikan oleh Buddha.18

Hanya demikianlah dapat dicapai Nirwana, yaitu keadaan yang agak sukar

digambarkan. Yang pasti tempat tersebut membuat tidak susah, tidak menderita, dan lepas

dari samsara.19

Di dalam sutta-Pittaka, pada bagian Dhammapada, dikisahkan bahwa sewaktu roda

doktrin itu mulai digerakkan oleh sang Buddha Gautama, maka para dewa di bumi dan di

langit hiruk-pikuk, sampai pun kepada brahma sendiri, karena doktrin itu “suatu roda yang

belum pernah digerakkan selama ini oleh seorang pertapa, Brahmin, dewa, mara, brahma,

atau oleh siapa pun di dunia.“20

Demikian dhummapada, di dalam sutta-pitaka, mengagung-agungkan doktrin yang

paling sentral di dalam agama Buddha itu.21

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

18 Ibid., hlm. 136.19 Ibid.20 Ibid., hlm. 80.21 Ibid.

8

Page 9: Empat Kebenaran Mulia

Dari uraian-uraian mengenai hukum kesunyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa,

agama Buddha memiliki suatu ajaran yang disebut empat kesunyataan utama atau disebut

juga dengan nama, empat kebenaran mulia. Antara hukum kesunyataan yang pertama dengan

yang kedua berhubung kait. Dan hukum yang kedua dikaitkan dengan yang ketiga, dan

hukum yang ketiga itu berkait dengan yang keempat. Berarti jika dihilangkan salah satunya,

yang lain akan turut hilang.

Mengenai delapan jalan kebenaran pula, agama Buddha menerapkan unsur-unsur

yang positif untuk menjadi penganut yang bermoral baik sesama golongan maupun dengan

yang berbeda pangkat. Dengan melaksanakan kesemua delapan jalan itu, maka terhindarlah

mereka dari penderitaan dalam hidup dan mencapai tujuan akhir yang disebut Nirwana.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kesalahan. Oleh karena

itu, kepada teman-teman, para pembaca, dan dosen pembimbing, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan semoga

makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Sou’yb, Joesoef Agama-Agama Besar Di Dunia, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1996.

9

Page 10: Empat Kebenaran Mulia

Wijaya, Willy Yandi, Empat Kebenaran Mulia, Sebuah pendekatan Modern, Jurnal, Vol. 01,

No. 2, Oktober 2005.

Wijaya, Willy Yandi, Pandangan Benar, Yogyakarta: Insight Vidyasena Production, 2008.

Ahmad, H. Abu, Perbandingan agama, Jakarta: Reka Cipta, 1991.

http://willyyandi.wordpress.com/2008/04/12/empat-kebenaran-mulia/ 

10