emang defisit sih, tapi wajar kok - bi.go.id · pdf filebarang modal untuk membangun industri...

12
1 Salam, Difi A. Johansyah Kepala Grup Humas Bank Indonesia Edisi 30 | September 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia MEJA REDAKSI A da ritual triwulan yang rutin dilakukan Bank Indonesia (BI) yakni merilis data terkini per- kembangan perekonomian Indonesia. Salah satu data yang disebar-luaskan kepada masyarakat tentang Current Account atau lazim dikenal Transaksi Berjalan (TB). TB menggambarkan transaksi pengeluaran dan penerimaan antara penduduk dengan bukan penduduk atas barang dan jasa, pendapatan atas upah dan investasi, serta transfer berjalan (hibah dan remitansi tenaga kerja). Seperti layaknya mengelola rumahtangga, TB dapat dianalogikan sebagai pos pendapatan dan pos pengeluaran. Tidaklah mudah menjaga agar pos pengeluaran tidak lebih besar dari pendapatan. Semua rumahtangga berkeinginan memiliki dana lebih yang bisa disimpan untuk membiayai kegiatan mendatang seperti bangun rumah, naik haji, atau persiapan pensiun. Namun demikian, ada kalanya harus mempertimbangkan pengeluaran dana lebih besar dari pendapatan. Misalnya, tambahan biaya sekolah anak yang mau tak mau harus dikeluarkan. Namun jangan sampai terjadi defisit untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif untuk kesenangan sesaat. Gambaran serupa juga bisa dipakai untuk men- jelaskan kondisi TB Indonesia. Pada triwulan kedua 2012 memperlihatkan angka defisit TB sebesar US$6,9 miliar yang artinya pos pendapatan lebih kecil dari pengeluaran. Salah satu sumber penyumbang defisit tersebut yaitu lebih besarnya pembelian (impor) minyak bumi daripada penjualan (ekspor), sehingga Indonesia menjadi net importir minyak bumi. Selain itu, sumber defisit berasal dari besarnya impor bahan baku dan barang modal untuk membangun industri seperti baja, komponen otomotif dan permesinan. Impor ini juga membuat pos jasa seperti biaya sewa angkutan laut (freight) pun melonjak. Rupanya data defisit TB tersebut bikin heboh publik di dalam negeri. Pasalnya, angka defisit TB menembus level psikologis 3% terhadap PDB. Sesuatu yang baik atau burukkah defisit TB ini? Sejatinya, munculnya defisit bagi negara berkembang yang memacu pertumbuhan ekonomi tinggi sesuatu yang wajar-wajar saja. Karena memang tidak semua keperluan bahan baku dan barang modal untuk industri bisa diproduksi di dalam negeri sehingga harus mengimpor. Kembali keanalogi rumahtangga, kalaupun terjadi defisit, maka perlu ada sumber pembiayaan yang sehat dan dapat dikelola sehingga tidak mengganggu kondisi keuangan dalam jangka panjang. Misalnya, meminjam uang di bank atau menjual aset. Sementara itu, defisit TB Indonesia ditutupi oleh pasok dana yang berasal dari neraca Transaksi Modal dan Finansial (TMF). Pos ini ini terdiri dari kegiatan investasi langsung (PMA/PMDN), investasi portofolio seperti aliran dana asing ke surat-surat berharga dalam negeri (SBI, SBN), serta investasi lainnya yang membukukan angka US$5,4 miliar per triwulan kedua 2012. Meski ada sumber dana yang menutup defisit TB, tetap saja membengkaknya defisit tersebut haruslah diwaspadai. Pasalnya, defisit TB pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan, karena NPI mencakup transaksi TB dan TMF. Kalau mau dianalogikan kehidupan rumahtangga, NPI bisa dikatakan sebagai keseluruhan transaksi keuangan yang terjadi pada periode tertentu yang sumbernya dari pendapatan sendiri maupun bantuan dari pihak ketiga dan/atau penjualan aset. Muara dari transaksi NPI akan terlihat pada posisi Cadangan Devisa. Buktinya, pada triwulan pertama 2012, cadangan devisa masih membukukan angka US$110,4 miliar ketika angka defisit TB sebesar US$3,1 miliar. Pada triwulan kedua angkanya anjlok tinggal US$106,5 miliar ketika angka defisit mencapai US$6,9 miliar. Untuk menekan membesarnya angka defisit TB diperlukan respons kebijakan yang terkoordinasi antara Pemerintah selaku otoritas fiskal dan BI selaku otoritas moneter. Kalau dari sisi fiskal, ada beberapa upaya yang bisa dipertimbangkan seperti kebijakan perpajakan dan bea masuk sebagai insentif untuk mendorong investasi industri yang berorientasi ekspor dan mengurangi ketergantungan impor. Atau, mengurangi hambatan ekspor. Sedangkan BI akan mengambil langkah menjaga keseimbangan eksternal melalui kebijakan nilai tukar, penguatan operasi moneter, kebijakan makroprudensial dalam mengelola permintaan domestik, dan langkah mendorong arus masuk modal asing. Dari paparan di atas, membengkaknya defisit TB tetap harus diwaspadai meskipun untuk kasus negara berkembang seperti Indonesia masih terbilang wajar karena diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Yang penting, ada sumber dana sehat dan berkelanjutan untuk menutup defisit itu. Nah, kalau begitu, don’t worry but stay alert. Transaksi Berjalan : Emang Defisit Sih, Tapi Wajar Kok Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan. Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta Telp. : 021 - 3817317, 3817187 email : [email protected], website : www.bi.go.id Redaksi Penanggung Jawab: Dody Budi Waluyo Pemimpin Redaksi: Difi A. Johansyah Redaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan, Rizana Noor, Tutut Dewanto, Dedy Irianto, Diyah Woelandari, Wahyu Indra Sukma, Risanthy Uli N Foto: “Tanah Lot” oleh: Imam Taufik Suryanegara Ketika Bank Indonesia merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode triwulan kedua 2012 pada Agustus lalu, tersebutlah angka sebesar US$6,9 miliar sebagai defisit Transaksi Berjalalan (TB). Sontak, semua mata pun terperangah. Belum pernah angka defisit TB sampai sebesar itu sejak krisis 1997. Lho, ada apa dengan perekonomian Indonesia? Untuk menjawab per- tanyaan masyarakat ter- kait defisit TB pada NPI, redaksi Gerai Info sengaja menurunkan tulisan ter- kait hal ini. Pada edisi ini dipaparkan apa itu NPI, mengapa pos TB sampai mengalami defisit, dan apa penyumbang terbesar defisit tersebut. Sesuatu yang baik atau burukkah defisit TB bagi perekonomian nasional? Tergantung, sudut pandang mana yang mau dipakai. Nah, semua ini akan disajikan bagi pembaca setia Gerai Info. Harapannya, setelah membaca topik ini, ada pemahaman yang proposional terkait isu defisit TB.

Upload: vuquynh

Post on 24-Feb-2018

213 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

Salam,Difi A. JohansyahKepala Grup HumasBank Indonesia

Edisi 30 | September 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

MEJA REDAKSI

Ada ritual triwulan yang rutin dilakukan Bank Indonesia (BI) yakni merilis data terkini per­

kembangan perekonomian Indonesia. Salah satu data yang disebar­luaskan kepada masyarakat tentang Current Account atau lazim dikenal Transaksi Berjalan (TB). TB menggambarkan transaksi pengeluaran dan penerimaan antara penduduk dengan bukan penduduk atas barang dan jasa, pendapatan atas upah dan investasi, serta transfer berjalan (hibah dan remitansi tenaga kerja).

Seperti layaknya mengelola rumahtangga, TB dapat dianalogikan sebagai pos pendapatan dan pos pengeluaran. Tidaklah mudah menjaga agar pos pengeluaran tidak lebih besar dari pendapatan. Semua rumahtangga berkeinginan memiliki dana lebih yang bisa disimpan untuk membiayai kegiatan mendatang seperti bangun rumah, naik haji, atau persiapan pensiun. Namun demikian, ada kalanya harus mempertimbangkan pengeluaran dana lebih besar dari pendapatan. Misalnya, tambahan biaya sekolah anak yang mau tak mau harus dikeluarkan. Namun jangan sampai terjadi defisit untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif untuk kesenangan sesaat.

Gambaran serupa juga bisa dipakai untuk men­jelaskan kondisi TB Indonesia. Pada triwulan kedua 2012 memperlihatkan angka defisit TB sebesar US$6,9 miliar yang artinya pos pendapatan lebih kecil dari pengeluaran. Salah satu sumber penyumbang defisit tersebut yaitu lebih besarnya pembelian (impor) minyak bumi daripada penjualan (ekspor), sehingga Indonesia menjadi net importir minyak bumi. Selain itu, sumber defisit berasal dari besarnya impor bahan baku dan barang modal untuk membangun industri seperti baja, komponen otomotif dan permesinan. Impor ini juga membuat pos jasa seperti biaya sewa angkutan laut (freight) pun melonjak.

Rupanya data defisit TB tersebut bikin heboh publik di dalam negeri. Pasalnya, angka defisit TB menembus level psikologis 3% terhadap PDB. Sesuatu yang baik atau burukkah defisit TB ini? Sejatinya, munculnya defisit bagi negara berkembang yang memacu pertumbuhan ekonomi tinggi sesuatu yang wajar­wajar saja. Karena memang tidak semua keperluan bahan baku dan barang modal untuk industri bisa diproduksi di dalam negeri sehingga harus mengimpor. Kembali keanalogi rumahtangga, kalaupun terjadi defisit, maka perlu ada sumber pembiayaan yang sehat dan dapat dikelola sehingga tidak mengganggu kondisi keuangan

dalam jangka panjang. Misalnya, meminjam uang di bank atau menjual aset.

Sementara itu, defisit TB Indonesia ditutupi oleh pasok dana yang berasal dari neraca Transaksi Modal dan Finansial (TMF). Pos ini ini terdiri dari kegiatan investasi langsung (PMA/PMDN), investasi portofolio seperti aliran dana asing ke surat­surat berharga dalam negeri (SBI, SBN), serta investasi lainnya yang membukukan angka US$5,4 miliar per triwulan kedua 2012.

Meski ada sumber dana yang menutup defisit TB, tetap saja membengkaknya defisit tersebut haruslah diwaspadai. Pasalnya, defisit TB pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan, karena NPI mencakup transaksi TB dan TMF. Kalau mau dianalogikan kehidupan rumahtangga, NPI bisa dikatakan sebagai keseluruhan transaksi keuangan yang terjadi pada periode tertentu yang sumbernya dari pendapatan sendiri maupun bantuan dari pihak ketiga dan/atau penjualan aset.

Muara dari transaksi NPI akan terlihat pada posisi Cadangan Devisa. Buktinya, pada triwulan pertama 2012, cadangan devisa masih membukukan angka US$110,4 miliar ketika angka defisit TB sebesar US$3,1 miliar. Pada triwulan kedua angkanya anjlok tinggal US$106,5 miliar ketika angka defisit mencapai US$6,9 miliar.

Untuk menekan membesarnya angka defisit TB diperlukan respons kebijakan yang terkoordinasi antara Pemerintah selaku otoritas fiskal dan BI selaku otoritas moneter. Kalau dari sisi fiskal, ada beberapa upaya yang bisa dipertimbangkan seperti kebijakan perpajakan dan bea masuk sebagai insentif untuk mendorong investasi industri yang berorientasi ekspor dan mengurangi ketergantungan impor. Atau, mengurangi hambatan ekspor. Sedangkan BI akan mengambil langkah menjaga keseimbangan eksternal melalui kebijakan nilai tukar, penguatan operasi moneter, kebijakan makroprudensial dalam mengelola permintaan domestik, dan langkah mendorong arus masuk modal asing.

Dari paparan di atas, membengkaknya defisit TB tetap harus diwaspadai meskipun untuk kasus negara berkembang seperti Indonesia masih terbilang wajar karena diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Yang penting, ada sumber dana sehat dan berkelanjutan untuk menutup defisit itu. Nah, kalau begitu, don’t worry but stay alert.

Transaksi Berjalan :

Emang Defisit Sih, Tapi Wajar Kok

Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.

Alamat RedaksiHumas Bank IndonesiaJl. M.H. Thamrin 2 - JakartaTelp. : 021 - 3817317, 3817187email : [email protected], website : www.bi.go.id

RedaksiPenanggung Jawab: Dody Budi WaluyoPemimpin Redaksi: Difi A. JohansyahRedaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan,Rizana Noor, Tutut Dewanto, Dedy Irianto, Diyah Woelandari, Wahyu Indra Sukma, Risanthy Uli N

Foto: “Tanah Lot”oleh: Imam Taufik Suryanegara

Ketika Bank Indonesia

merilis data Neraca

Pembayaran Indonesia

(NPI) periode triwulan

kedua 2012 pada

Agustus lalu, tersebutlah

angka sebesar US$6,9

miliar sebagai defisit

Transaksi Berjalalan

(TB). Sontak, semua mata

pun terperangah. Belum

pernah angka defisit TB

sampai sebesar itu sejak

krisis 1997. Lho, ada apa

dengan perekonomian

Indonesia?

Untuk menjawab per­

tanyaan masyarakat ter­

kait defisit TB pada NPI,

redaksi Gerai Info sengaja

menurunkan tulisan ter­

kait hal ini. Pada edisi

ini dipaparkan apa itu

NPI, mengapa pos TB

sampai mengalami defisit,

dan apa penyumbang

terbesar defisit tersebut.

Sesuatu yang baik

atau burukkah defisit

TB bagi perekonomian

nasional? Tergantung,

sudut pandang mana

yang mau dipakai. Nah,

semua ini akan disajikan

bagi pembaca setia

Gerai Info. Harapannya,

setelah membaca topik

ini, ada pemahaman yang

proposional terkait isu

defisit TB.

2

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

sehingga tetap kondusif menunjang program pembangunan di sektor riil. Ketika suku bunga rendah dan inflasi terjaga, maka minat investasi untuk memproduksi barang dan jasa yang selama ini diimpor akan terus meningkat.

BI juga mempertahankan BI Rate pada tingkat 5,75%. BI Rate adalah suku bunga kebijakan acuan bagi operasi moneter. Bank yang kekurangan likuiditas dapat memanfaatkan Lending Facility (LF) dengan bunga paling tinggi 1% di atas BI Rate (yaitu 6,75%) dan bank yang kelebihan likuiditas dapat menempatkan dananya di Discount Facility (DF) dengan bunga paling rendah 1,75% di bawah BI rate (yaitu 4%). Pada RDG Bulanan September 2012, BI sengaja mempertahankan BI Rate guna menjaga kondisi makroekonomi yang kondusif.

Respons kebijakan lainnya berupa pendalaman pasar valuta asing dengan merelaksasi ketentuan tenor forward minimum kepada nonresiden dari sebelumnya 3 bulan menjadi 1 minggu. Sebelum kebijakan ini keluar, bank tidak bisa membeli valas secara forward untuk kebutuhan satu minggu ke depan.

IKHTISAR

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II 2012 mencatat angka defisit

Transaksi Berjalan (TB) sebesar US$6,9 miliar atau 3,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini sudah barang tentu perlu direspons oleh semua pemangku kepentingan seperti Pemerintah, Bank Indonesia (BI), pelaku usaha dan masyarakat. Berikut paparan respons kebijakan BI yang mengawal stabilitas perekonomian guna menghadapi defisit TB.

Respons kebijakan yang disiapkan BI, yakni menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai kondisi fundamentalnya. Ketika Rupiah bergejolak, BI akan mengawal agar volatilitas tidak terlalu besar sampai Rupiah menemukan keseimbangan baru yang konsisten dengan upaya mendorong ekspor dan menahan impor yang tidak perlu. Upaya menjaga volatilitas Rupiah dilakukan melalui penguatan peran BI di pasar valuta asing. Tatkala nilai tukar tertekan, tindakan intervensi dilakukan untuk meredam volatilitas.

Selain itu, BI mempersiapkan respons kebijakan yang terus menerus menjaga pergerakan tingkat suku bunga dan inflasi

Ada seorang sesepuh Bank Indonesia (BI) yang saya

kagumi dan sangat memahami masalah eksternal. Katanya, krisis di Indonesia selalu di mulai sektor eksternal, dalam hal ini krisis neraca pembayaran. Saya jadi mikir, apa iya begitu? Iseng-iseng, saya coba teliti sejarah panjang neraca pembayaran negeri ini. Ternyata omongan itu ada benernya juga. Coba kita ingat­ingat beberapa waktu silam, ketika terjadi jatuhnya harga minyak yang bikin krisis neraca pembayaran, sampai rupiah harus didevaluasi. Lalu, krisis ekonomi 1998, waktu itu saya ingat hot money pada hengkang dari Indonesia, bikin rupiah sempoyongan. Begitu juga ketika Pemerintah tidak bisa bayar utang luar negeri, rupiah pun lunglai.

Itu kejadian jaman sekarang setelah kita hidup dalam sebuah

negara yang bernama Indonesia. Jaman dulupun ancaman ini sudah ada ketika Indonesia masih berbentuk kepulauan yang bernama Nusantara. Jaman dulupun perdagangan dengan dunia luar sudah ada. Nah, yang namanya neraca pembayaran itu merupakan indikator pergaulan Indonesia dengan dunia internasional. Oleh karena itu neraca ini bukan hanya ada di era Indonesia moderen, tapi sejak tempo doeloe ketika jaman kerajaan­kerajaan bercokol di bumi Nusantara juga sudah ada. Bedanya dulu tidak tercatat.

Lazimnya, neraca pembayaran itu berisi dua buku. Yang pertama namanya buku dagang, isinya semua catatan jual­beli republik ini dengan pihak luar. Buku yang satu lagi namanya buku tamu, isinya catatan semua tamu yang datang ke

Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga agar gap supply –demand valas bisa terkendali. Kepastian pasok valas ini akan menentramkan pasar uang di dalam negeri.

Respons kebijakan lainnya berupa kebijakan makroprudensial untuk mengelola permintaan domestik dengan menerbitkan aturan penyempurnaan Loan to Value (LTV) dengan menurunkan LTV maksimum dari kredit. Penurunan LTV ini juga akan diberlakukan ke industri keuangan berbasis syariah. Sebai pelengkap, akan diberlakukan pula larangan pemaanfaatan Kredit Tanpa Agunan (KTA) sebagai sumber uang muka kredit. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menurunkan risiko kredit perbankan yang pada sisi lain juga dapat mengurangi sikap jor­joran masyarakat untuk belanja barang­barang konsumsi seperti otomotif yang komponen impornya masih besar.

Semua respons kebijakan yang dipersiapkan BI, rasanya tak akan efektif bila tak diimbangi respons serupa di sektor fiskal dan riil oleh Pemerintah. Nah, kata kuncinya memang koordinasi kebijakan fiskal-moneter.

sini, yang kalo di era modern tamu yang datang itu para investor dan hot money, sedangkan di era tempo doeloe catatan tamunya yaa … para pedagang dari Cina, Arab, India hingga Eropa termasuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) alias Kumpeni yang ujung­ujungnya malah menjajah dan mengeksploitasi negeri ini.

Nah, kalau kita tidak hati­hati menjaga neraca pembayaran dan meningkatkan ketahanan nasional, salah­salah tamu yang datang bukan membawa berkah, malah bikin mudharat. Untuk itulah, penting tuh memperkuat neraca pembayaran dan membangun ketahanan dalam negeri, sehingga catatan buku tamu kita berisi tamu­tamu baik yang bisa diharapkan membangun negeri ini, tapi bukan tamu jelmaan “VOC­VOC” baru.

Kerja Bareng Fiskal-Moneter Hadapi Defisit Transaksi Berjalan

Neraca Pembayaran & VOC

Edisi 30 | September 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

3

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

WAWASAN

Saat Neraca Pembayaran Indonesia triwulan II­2012 dipublikasikan

awal Agustus 2012, sempat muncul diskusi publik dengan nuansa galau akibat membesarnya angka defisit pada komponen Transaksi Berjalan (TB). Kegalauan yang bisa dimaklumi mengingat pengalaman TB kita yang selalu surplus sejak krisis Asia 1997/1998. Namun, paparan berikut seputar penyebab dan sumber pembiayaan defisit TB justru menyampaikan pesan untuk tetap optimis, meskipun kehati­hatian tetap tidak boleh diabaikan.

Optimisme awal terkait dengan penyebab defisit yang banyak didorong faktor global yaitu pelemahan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas. Sebagaimana juga dialami negara lain, kondisi ini tidak dapat dielakkan telah mengakibatkan ekspor anjlok cukup dalam. Namun, dari faktor global ini pula kita bisa berharap ekspor dapat kembali menguat saat ekonomi dunia pulih yang biasanya juga dibarengi kenaikan harga komoditas.

Optimisme kedua berkaitan dengan fenomena bahwa defisit TB sebagai cerita dari problem of success suatu ekonomi. Sebagaimana diketahui, kita telah berhasil melewati periode krisis global dengan pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi, sementara inflasi masih terjaga. Namun tidak bisa dipungkiri, kebutuhan barang dan jasa yang muncul akibat pencapaian positif tersebut untuk sementara waktu belum bisa sepenuhnya diproduksi domestik sehingga impor dibutuhkan untuk menutupi kesenjangan.

Setidaknya ada tiga cerita sukses yang terlihat dari struktur impor barang dan jasa dan mendukung optimisme kedua tersebut sekaligus menunjukkan bahwa defisit TB saat ini masih sehat. Sukses pertama berhubungan dengan fakta bahwa defisit TB merupakan dampak dari ekonomi yang sedang tumbuh ke arah yang lebih produktif. Hal ini terutama berkaitan dengan peningkatan impor yang banyak diarahkan untuk memenuhi kenaikan investasi, yang kita ketahui dalam

jangka menengah panjang dapat meningkatkan produktivitas dan kapasitas ekonomi domestik. Dalam konteks ini, kenaikan impor khususnya impor barang modal dan bahan baku sulit dihindari dalam jangka pendek karena sebagian kebutuhan investasi masih belum dapat dipenuhi produksi domestik.

Hubungan kuat antara investasi dan impor barang modal tergambar dari perjalanan historis. Bila pada awal dekade 2000­an, rasio investasi terhadap PDB baru mencapai 20% sedangkan rasio impor barang modal terhadap PDB juga baru mencapai 16%, maka perkembangan terkini menunjukkan kedua rasio tersebut meningkat pesat. Rasio investasi terhadap PDB mencapai 32%, sedangkan rasio impor barang modal meningkat menjadi 25%.

Sukses kedua terkait dengan dampak membesarnya kelompok masyarakat kelas menengah di Indonesia, yang kemudian mendorong peningkatan impor barang dan jasa. Dengan pendapatan yang lebih besar, biasanya perilaku masyarakat kelas menengah akan cenderung menjadi lebih pemilih dan penuh gengsi. Bukan hanya pemilih untuk barang yang lebih berkualitas yang sebagian merupakan barang impor, namun juga karena perilaku gengsi yang menganggap lebih yahud bila menggunakan barang impor. Dari sisi jasa, kenaikan pendapatan masyarakat juga mendorong tingginya keinginan sebagian masyarakat kelas menengah untuk melancong ke luar negeri. Tidak hanya sebagai turis, tetapi juga untuk perjalanan ibadah haji yang jumlahnya terus meningkat.

Sukses ketiga berkaitan dengan pengaruh tetap kuatnya prospek perekonomian Indonesia yang kemudian menarik derasnya aliran masuk modal asing. Namun dalam perkembangannya di sisi lain, aliran masuk modal asing tersebut telah menimbulkan aliran dana keluar untuk pembayaran imbal hasil modal. Dalam kelompok ini ambil cerita soal tingginya profit transfer perusahaan­perusahaan

PMA ke perusahaan induknya di luar negeri. Juga cerita soal besarnya pembayaran kompensasi tenaga kerja asing khususnya high skill worker yang bekerja di Indonesia.

Selain cerita sukses tersebut di atas, defisit TB cukup menenangkan karena memiliki struktur pembiayaan yang dominan berjangka panjang. Data Transaksi Modal dan Finansial menunjukkan PMA di Indonesia tetap kuat seiring dengan tingginya prospek berusaha di dalam negeri. PMA terus membesar dari sekitar $4,9 miliar pada 2009 menjadi sekitar $19 miliar pada 2011 dan diharapkan kembali meningkat menjadi $20 miliar pada 2012.

Kesinambungan pembiayaan defisit TB juga tergambar dari terus menurunnya rasio utang luar negeri terhadap PDB. Bila pada awal 2000 sempat melebihi 100%, angka rasio terkini sudah menurun menjadi sekitar 26%. Kondisi ini mengindikasikan besarnya produktivitas ekonomi sehingga penambahan produksi domestik dapat lebih besar dari penambahan utang luar negeri. Selain itu, kesinambungan pembiayaan defisit juga tergambar pada posisi cadangan devisa yang masih besar dimana pada Agustus 2012 tercatat $109 miliar atau ekuivalen dengan 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Berbagai gambaran seputar defisit TB di atas memang cukup menenangkan. Namun, kondisi ini masih ibarat gelas yang baru terisi setengah penuh. Masih banyak lagi pekerjaan rumah yang perlu dilakukan sehingga potensi risiko yang mungkin muncul terkait defisit TB dapat diminimumkan. Dalam kaitan ini, kebijakan makroekonomi yang berhati­hati tetap diperlukan. Tidak kalah penting dari itu, kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perekonomian sangat diperlukan sehingga dapat memperkuat daya saing perekonomian. Tujuan akhir dari kebijakan ini tentunya agar kinerja TB tetap sehat guna mendukung kesinambungan pertumbuhan eko­nomi dengan tingkat inflasi yang tetap terjaga.

Gelas Setengah Penuh Defisit Transaksi Berjalan

Firman Mochtar, Analis SeniorDepartemen Perencanaan Strategis & HumasStaf Deputi Gubernur BI

"Kenaikan impor khususnya impor barang modal dan bahan baku sulit dihindari dalam jangka pendek karena sebagian kebutuhan investasi masih belum dapat dipenuhi produksi domestik."

4

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

EDUKASI

Ibu rumah tangga yang cermat lazimnya menyimpan catatan pendapatan dan

pengeluaran keluarganya. Pada tataran lain, perusahaan menyusun laporan rugi laba yang merupakan catatan pendapatan dan beban usaha selama periode tertentu, untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh. Pemerintah juga punya anggaran pendapatan dan belanja negara yang berisikan sumber penerimaan dan pos pengeluaran untuk membiayai pembangunan. Secara lebih luas, negara juga punya catatan seperti itu. Catatan tersebut sejatinya merupakan agregasi catatan seluruh transaksi ekonomi yang dilakukan penduduknya, yang tak lain terdiri dari rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah.

Sebagai satu negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia melakukan transaksi ekonomi dengan pihak luar negeri, misalnya berupa perdagangan barang dan jasa ataupun transaksi keuangan seperti jual beli surat­surat berharga. Seluruh transaksi ekonomi yang dilakukan penduduk Indonesia dengan pihak luar negeri selama periode tertentu dicatat dalam suatu statistik bertajuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) atau balance of payments. Kompilasi statistik NPI tersebut dilakukan Bank Indonesia (BI) yang kemudian mempublikasikannya kepada masyarakat luas setiap triwulan.

Transaksi yang dicatat dalam NPI pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu transaksi berjalan (current account) dan transaksi modal & financial (capital & financial account). Transaksi Berjalan (TB) mencakup transaksi perdagangan barang dan jasa, pendapatan (income), dan transfer berjalan (current transfer). Contoh transaksi perdagangan barang seperti ekspor batubara

ke India dan impor mesin bubut dari Cina. Transaksi perdagangan jasa antara lain jasa transportasi untuk pengangkutan barang impor, dan jasa travel yang mencatat penerimaan dari wisatawan mancanegara dan pengeluaran penduduk Indonesia yang bepergian ke luar negeri. Adapun transaksi pendapatan mencatat imbal hasil yang diterima asing atas investasinya di Indonesia, misalnya, dividen saham, bunga obligasi, dan laba perusahaan asing. Di sisi lain, kelompok transaksi ini mencatat pula penerimaan investasi penduduk Indonesia di luar negeri. Sementara itu, transfer berjalan antara lain mencatat remitansi (pengiriman uang) dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan hibah yang diterima Pemerintah Indonesia dari luar negeri.

Transaksi Modal dan Finansial (TMF) pada dasarnya mencatat investasi asing pada aset finansial domestik seperti saham dan obligasi. Dari sisi Indonesia, investasi asing ini menjadi kewajiban finansial luar negeri (KFLN) perekonomian Indonesia. Sebaliknya, dalam TMF juga tercatat aset finansial luar negeri (AFLN) Indonesia, yaitu investasi penduduk Indonesia pada aset finansial asing, misalnya, simpanan penduduk Indonesia di bank luar negeri.

Transaksi finansial yang merupakan bagian terbesar dari kelompok TMF tersaji dalam tiga kelompok , yaitu transaksi investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya. Berdasarkan siapa investornya: Indonesia atau asing, transaksi di atas dicatat pada sisi aset atau kewajiban. Suatu transaksi disebut sebagai investasi langsung asing di Indonesia (foreign direct investment/FDI atau Penanaman Modal Asing/PMA), jika investor asing menanamkan modalnya untuk berinvestasi jangka panjang di suatu perusahaan Indonesia. Modal yang ditanamkan pun dalam jumlah yang besar, minimal 10 persen dari total modal perusahaan.

Berbeda dengan investasi langsung, investasi portofolio bersifat jangka pendek dengan tujuan mendapatkan keuntungan (deviden, bunga dan capital gain) dari investasi di surat­surat berharga. Di sisi kewajiban dicatat investasi asing pada surat­surat berharga yang diterbitkan Indonesia, misalnya saham perusahaan domestik atau surat utang negara. Sementara sisi aset

memuat investasi Indonesia pada surat­surat berharga yang diterbitkan asing.

Kategori investasi lainnya berisi semua jenis investasi finansial selain yang tercatat dalam dua kategori investasi sebelumnya. Di sisi kewajiban, sebagian besar investasi lainnya berupa transaksi pinjaman luar negeri pemerintah maupun swasta dan utang dagang (trade credit) dari eksportir barang dan jasa di luar negeri. Adapun sisi aset investasi lainnya didominasi oleh simpanan penduduk di perbankan luar negeri dan piutang dagang eksportir Indonesia ke pembeli di luar negeri.

Setelah mengetahui bagaimana transaksi­transaksi ekonomi dikelompokkan dalam NPI, hal lain terkait NPI yang menarik dan sering menjadi perbincangan adalah apakah NPI surplus atau defisit. Surplus dan defisit ini merupakan konsep ekonomi yang digunakan untuk mengukur ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran. Surplus dan defisit bisa dihitung untuk masing­masing kategori transaksi. Misalnya, bila dalam satu periode nilai ekspor barang Indonesia melampaui jumlah impor, maka Indonesia dikatakan mengalami surplus neraca perdagangan barang. Sebaliknya, jika Indonesia membayar transaksi jasa kepada pihak luar negeri lebih besar dibanding penerimaan dari penyediaan jasa kepada luar negeri, maka Indonesia mencatat defisit neraca jasa. Surplus neraca perdagangan barang yang lebih kecil dibanding defisit neraca jasa dan pendapatan menyebabkan transaksi berjalan mengalami defisit.

Di sisi lain, TMF akan surplus jika net aliran modal asing yang masuk ke Indonesia lebih besar dari net aliran modal Indonesia ke luar negeri.

Setelah memperhitungkan faktor kesalahan dalam kompilasi statistik NPI (net errors & omissions), penjumlahan antara surplus/defisit transaksi berjalan dan transaksi modal & finansial akan menghasilkan surplus/defisit NPI secara keseluruhan (overall balance). Jika defisit TB dapat dibiayai sepenuhnya oleh surplus TMF, maka NPI mengalami surplus dan terjadi akumulasi cadangan devisa, yaitu aset finansial likuid yang dikelola BI. Sementara jika surplus TMF tidak mampu menutupi defisit TB, NPI akan tercatat defisit dan cadangan devisa akan tergerus.

Pujiastuti, Analis Ekonomi SeniorGrup Neraca PembayaranDepartemen Statistik Ekonomi dan Moneter

Neraca Pembayaran Indonesia :

Catatan Transaksi Indonesia dengan Luar Negeri

5

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

Haris Munandar, Analis Departemen Perencanaan Strategis & HumasStaf Gubernur Bank Indonesia

Pada triwulan II 2012, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit

transaksi berjalan sebesar 3,1 persen dari PDB. Transaksi berjalan (TB) sekilas tampak sebagai konsep ekonomi yang abstrak dan teknis. Bagi negara dengan ekspor secara signifikan lebih kecil dari impor, TB kadang merupakan titik dimana ekonomi internasional berbenturan dengan realitas politik. Ketika negara mengalami defisit TB yang besar, pelaku bisnis, asosiasi perdagangan dan perlemen seringkali dengan cepat menuduh mitra dagang melakukan praktek dagang tidak adil. Sebagai contoh, defisit perdagangan Amerika Serikat-Cina kerap menyebabkan ketegangan seputar siapa yang bertanggungjawab atas ketidakseimbangan perdagangan yang akut tersebut.

Lebih luas lagi, muncul wacana bagaimana dampaknya secara global apabila ada sekelompok negara mengalami defisit TB yang besar dan langgeng, sementara sejumlah negara lain justru mengakumulasi surplus yang besar. Isu ini populer dikenal sebagai ketidakseimbangan global (global imbalances).

Sebenarnya TB memiliki empat wajah. Wajah pertama adalah seperti yang umum terlihat, dimana TB menunjukkan selisih

antara nilai ekspor barang dan jasa dengan nilai impor barang dan jasa. Defisit TB berarti negara tersebut mengimpor lebih banyak barang dan jasa dibanding mengekspor. Sebenarnya TB juga termasuk pendapatan bersih /net income (seperti bunga dan dividen), dan transfer dari luar negeri (seperti hibah), namun biasanya hanya bernilai kecil saja. Dengan pengertian ini, defisit TB sering menyebabkan marah kalangan proteksionis yang berpikir bahwa ekspor adalah “baik” dan impor adalah “buruk”, tampaknya lupa bahwa alasan utama mengekspor adalah agar mampu mengimpor.

Wajah kedua TB mencerminkan selisih antara tabungan nasional (gabungan pemerintah dan swasta) dengan investasi domestik. Oleh karena itu, defisit TB menggambarkan tingkat tabungan nasional yang rendah relatif terhadap investasi domestik, atau tingkat investasi domestik yang memang tinggi. Negara berkembang seperti Indonesia, biasanya memiliki modal yang masih rendah sementara terdapat banyak kesempatan dan kebutuhan investasi. Rendahnya tabungan domestik tadi me­nuntut keterlibatan pembiayaan dari luar negeri sehingga defisit TB terjadi secara alamiah. Defisit tersebut secara potensial akan mendorong pertumbuhan output dan pembangunan ekonomi lebih cepat. Manfaat defisit TB tersebut akan semakin signifikan apabila sistem keuangan domestik dapat mengalokasikan aliran modal dari luar tersebut secara efisien.

Wajah ketiga TB dapat dilihat dengan mempertimbangkan waktu dari perdagangan. Kita terbiasa dengan perdagangan pada waktu yang sama (intratemporal), karena memang pengukuran TB dilakukan untuk satu periode. Misalnya, mengekspor kelapa sawit dan mengimpor traktor pada periode yang sama. Namun kita juga dapat melihat terjadinya

Keterangan:

Y = PendapatanC = KonsumsiI = Investasi DomestikG = Pengeluaran Pemerintah

WAJAH I DAN II DARI TB

Y = C + I + G + X ­ M WAJAH I :

TB TB = X ­ M

Y ­ C ­ G = I + TB WAJAH II :

S TB = S ­ I

perdagangan antarwaktu (intertemporal), yaitu dengan mengimpor bahan baku dan barang modal saat ini (memicu defisit TB), melakukan produksi yang membutuhkan waktu, dan menghasilkan output yang diekspor di masa depan (menghasilkan surplus TB masa depan). Hal ini tampaknya sedang terjadi di Indonesia dimana impor yang didominasi bahan baku dan barang modal (90% dari total impor nonmigas) membutuhkan waktu untuk diproduksi menjadi barang jadi sehingga dapat diekspor di masa datang.

Wajah keempat defisit atau surplus TB kadang agak sulit terlihat. Defisit atau surplus TB sebenarnya juga dapat mencerminkan usaha mempertahankan tingkat kesejahteraan di suatu perekonomian dari waktu ke waktu (consumption smoothing). Sebagai contoh, goncangan yang dialami suatu negara akibat perang atau bencana alam akan menyebabkan kemampuan produksi domestik menurun drastis. Ketimbang menderita akibat menyerap goncangan tersebut seluruhnya sekarang (dalam bentuk resesi yang dalam), negara dapat mengimpor besar­besaran untuk menutupi kebutuhan saat ini, dengan konsekuensi defisit TB. Dengan cara ini, negara tersebut ‘menyebarkan’ beban ke periode­periode mendatang sehingga TB dapat dipandang sebagai penyerap goncangan (shock absorber). Sebaliknya, negara yang mengantisipasi kemungkinan persoalan ekonomi atau goncangan di masa depan akan memilih surplus transaksi berjalan sebagai bentuk tabungan untuk berjaga­jaga (precautionary savings).

Nah, kita seyogyanya tidak hanya melihat defisit TB dari satu sisi wajah saja. Pemahaman akan wajah­wajah lain dari TB justru dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai strategi pembangunan ekonomi suatu negara dalam mencapai kesejahteraan.

Transaksi Berjalan :

Satu Konsep Dengan Empat Wajah

EDUKASI

X = EksporM = ImporS = Tabungan NasionalTB = Transaksi Berjalan

6

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

New York Stock Exchange (NYSE) atau orang awam lebih mengenalnya dengan

‘Wall Street’, karena terletak di sisi jalan Wall Street, New York menebar ritme kesibukan yang berbeda pada Senin pagi 24 September 2012. Sejumlah pekerja berdasi bergegas menyusuri Wall Street jauh sebelum matahari terbit. Jalan yang tergolong sempit dan hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki itu semakin penuh sesak dengan para CEO investor Amerika Serikat (AS) dan CEO korporasi Indonesia yang akan menghadiri perhelatan promosi investasi Indonesia terbesar pertama di dalam NYSE. Antusiasme investor AS dan korporasi Indonesia sungguh luar biasa. Panitia bahkan harus menolak lebih dari seratus orang para CEO investor AS dan CEO korporasi Indonesia karena keterbatasan kapasitas di lantai 7 NYSE. Tidak kurang 350 orang memenuhi lantai 7 gedung bursa terbesar di dunia tersebut pada hari itu. Tercatat setidaknya sebanyak 130 investor AS, 60 para CEO korporasi Indonesia, 82 delegasi Presiden RI termasuk 12 menteri kabinet Indonesia bersatu (II), dan 48 perangkat media nasional dan media lokal New York serta sejumlah panitia pelaksana menyebabkan seakan Wall Street pada hari itu dikuasai oleh Indonesia, ‘Indonesia occupies Wall Street’.

Inisiatif menyelenggarakan Indonesia Investment Day (IID) di Wall Street sebetulnya dilontarkan sekitar satu setengah tahun lalu oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia New York. Ide ini kemudian berkembang dan mendapat respon yang sangat luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk para investor AS. “Indonesia Investment Day at NYSE” adalah ajang promosi tentang

ekonomi Indonesia yang bertujuan untuk menjual potensi ekonomi dan peluang bisnis di Indonesia kepada para investor di AS. IID juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi investor AS dan kalangan bisnis Indonesia untuk saling mengenal, menjajaki kerjasama perdagangan dan investasi, sehingga akhirnya dapat tercipta ‘deal­deal’ bisnis. “Business engagement antara korporasi Indonesia dan AS adalah tujuan utama dari acara ini”, demikian diungkap oleh Wimboh Santoso, Kepala Perwakilan BI di New York disela­sela acara seminar IID. “Penyelenggaraan IID di Wall Street juga dimaksudkan untuk memberikan gaung yang lebih luas kepada investor global mengingat Wall Street merupakan bursa saham terbesar di seluruh dunia”, demikian ditambahkan Wimboh.

Rangkaian AcaraAcara IID diawali dengan seminar

mengusung tema ‘Indonesia’s Rise as Asia’s New Economic Power House: Transformation, Opportunities & Partnership for All’. Seminar dibuka dengan sambutan dari Duta Besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal dan CEO NYSE Duncan L Niederauer. Setelah itu, Presiden SBY menyampaikan Presidential Speech sekitar 30 menit. Kemudian dilanjutkan penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara pemerintah Indonesia dengan Boeing terkait kesepakatan offset/kompensasi dalam pembelian pesawat Boeing.

Mengawali diskusi panel dalam seminar IID di NYSE, tampil Nouriel Roubini sebagai keynote speaker. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia luar biasa pesat, dan dalam beberapa tahun kedepan Indonesia akan menjadi bagian dari BRIC” demikian diungkapkan Nouriel

Roubini, Chairman & Co­Founder Roubini Global Economics. Setelah itu, digelar diskusi panel mengenai Peluang Investasi di Indonesia dengan pembicara Menkeu Agus Martowardojo, Mendag Gita Wirjawan, Kepala BKPM Chatib Basri, dan CEO Cargill Gregoru R Page, dengan moderator Christopher Eoyang, Chief Growth Markets Strategist Goldman Sachs.

Acara kemudian dilanjutkan dengan one­on­one meeting di Conrad Hotel New York, diawali Luncheon Briefing dengan keynote speaker dari Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution. Luncheon Briefing ini dimoderatori oleh Wayne Forrest, Presiden American Indonesian Chamber of Commerce. Darmin Nasution menyampaikan keynote dengan judul Sustaining Growth In The Midst Of Global Uncertainty. “Bank Indonesia akan mengawal stabilitas makroekonomi dan keuangan serta melakukan langkah­langkah yang diperlukan untuk mendorong terciptanya ekonomi yang lebih efisien” demikian antara lain yang ditekankan Darmin dalam 20 menit keynote

speechnya.Beberapa korporasi terbesar

Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam one-one-meeting antara lain adalah Krakatau Steel, Pertamina, BNI, Bank BRI, Bank Mandiri, Jasa Marga, Aneka Tambang, Garuda Indonesia, PGN, Semen Gresik, Bukit Asam,

BCA, Telkom, Astra Internasional, dan Lippo Karawaci. Sementara korporasi besar AS yang berpartisipasi dalam one­on­one meeting tampak antara lain yahoo!, Exxon Mobil, dan Caterpillar. Beberapa CEO dari perusahaan­perusahaan Indonesia terlihat hadir, antara lain Dirut BNI Gatot Mudiantoro, Dirut Bank Mandiri Zulkifli Zaini, dan Dirut BRI Sofyan Basir.

Acara Indonesia Investment Day ini dikoordinasikan oleh Bank Indonesia New York dengan didukung oleh banyak pihak, seperti NYSE Euronext, KBRI DC dan KJRI New York, Bank BNI BRI, BNY Mellon, Danareksa Sekuritas, Goldman Sachs, BKPM, dan IDX,

LIPUTAN

Indonesia Occupies Wall Street

Iwan Setiawan, Chief EconomistKantor Perwakilan BI New York

7

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

RUANG BACA

Saat suatu negara mengalami defisit tran-saksi berjalan (TB), pada hakikatnya

negara itu sama saja sedang menimbun utang ke mitra dagang. Utang ini sementara waktu dibiayai oleh arus masuk modal yang pada akhirnya toh harus dibayar kembali. Jika negara tersebut menyia­nyiakan pembiayaan tadi secara tidak produktif, misalnya, murni untuk konsumsi, maka kemampuan membayar dimasa depan akan diragukan. Mengapa begitu? Karena tanpa produksi tidak akan ada output yang diekspor dan menghasilkan devisa untuk membayar pembiayaan tersebut.

Jadi, apakah suatu negara sebaiknya memilih defisit TB (meminjam lagi) terus-menerus? Ini bergantung dari besarnya kewajiban luar negeri saat itu, dan apakah investasi yang dibiayai memiliki hasil lebih tinggi dari imbal hasil yang harus dibayarkan atas kewajiban luar negerinya.

Walaupun kewajiban negara tersebut da pat di tutup oleh pendapatan masa depan, defisit TB dapat bermasalah, bahkan berpotensi mengalami krisis, saat negara tersebut mendadak tidak dapat lagi memperoleh lanjutan pembiayaan yang dibutuhkan. Australia dan Selandia Baru dapat menjaga defisit transaksi berjalan mereka rata-rata 4,5 – 5 persen dari PDB selama puluhan tahun, karena memperoleh pembiayaan luar negeri yang berkelanjutan (dalam bentuk PMA dan investasi portofolio). Sedangkan Meksiko di 1995 dan Indonesia di 1997 mengalami pembalikan tajam dari defisit transaksi berjalan karena pembiayaan yang ada ditarik (capital flight), sehingga menimbulkan krisis.

Pembalikan modal (capital reversal) tersebut dapat sangat menggoncangkan

perekonomian karena konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah harus dipangkas tiba­tiba saat pembiayaan dari luar negeri tidak lagi tersedia. Negara pun terpaksa merubah kondisi dari impor yang melebihi ekspor menjadi sebaliknya (surplus TB), agar dalam waktu singkat dapat membayar kewajiban luar negerinya. Ini dilakukan melalui langkah­langkah penyesuaian drastis, terutama devaluasi mata uang (pelemahan nilai tukar secara signifikan). Ini membuat impor menurun drastis dan ekspor terdorong. Indonesia pernah mengalami situasi seperti ini pada 1997.

Oleh karena itu, apapun alasan terjadinya defisit, termasuk apabila memang dibutuhkan untuk pertumbuhan, defisit transaksi berjalan yang besar dan langgeng menuntut kewaspadaan akan risiko pembalikan modal yang sekonyong­koyong dan menyakitkan.

Apa yang menyebabkan suatu negara mengalami pembalikan modal seketika? Penelitian menunjukkan bahwa nilai tukar yang terlalu kuat, cadangan devisa yang kurang mencukupi, resesi di negara mitra dagang, dan suku bunga yang lebih tinggi di negara maju, memperbesar peluang terjadinya pembalikan modal. Disamping itu, kerentanan neraca perusahaan­perusahaan domestik juga cenderung merugikan. Kerentanan tersebut dapat bersumber, misalnya, dari sejauh mana perusahaan itu memiliki kewajiban yang besar dalam valuta asing. Selain itu, ketidaksesuaian tenggat waktu (maturity mismatch) dimana perusahaan memiliki lebih banyak kewajiban valuta asing jangka pendek, sementara aset yang dimiliki dominan di jangka panjang.

Komposisi dari arus modal yang masuk juga berpengaruh pada kerentanan pembiayaan. PMA, yang bersifat lebih stabil, lebih disukai ketimbang investasi portofolio jangka pendek yang mudah bergejolak. Lebih jauh, sektor keuangan yang lemah juga dapat meningkatkan kerentanan negara terhadap pembalikan arus investasi. Contohnya apa­bila bank meminjam uang dari luar negeri dan memberikan kredit di dalam negeri dengan risiko yang berlebihan. Sebaliknya, kebijakan yang lebih fleksibel – seperti rejim nilai tukar mengambang, diversifikasi ekspor, dan pengembangan sektor keuangan, dapat menurunkan risiko pembalikan modal dari negara yang memiliki defisit transaksi

berjalan yang langgeng. Ini karena kebijakan­kebijikan tersebut memberi ruang yang lebih besar pada penyerapan goncangan (shock absorption).

Jadi sebenarnya defisit transaksi berjalan itu baik atau buruk? Susahnya, ilmu ekonomi sering dikeluhkan karena lebih sering memberi jawaban “Tergantung,” ketimbang “Iya” atau “Tidak.” Teori ekonomi mengatakan baik­buruknya suatu defisit transaksi berjalan tergantung dari penyebab kemunculannya. Untungnya, para ahli ekonomi memberi resep kepada kita mengenai apa saja yang harus dicermati untuk menilai baik buruknya defisit transaksi tadi.

Jika defisit tersebut dipandang semeta-mata sebagai lebih tingginya impor dari ekspor, maka ini mungkin mengindikasikan terdapatnya persoalan daya saing. Namun defisit transaksi berjalan juga menunjukkan investasi yang lebih tinggi dari tabungan domestik. Ini merupakan hal yang positif karena menggambarkan bahwa perekonomian negara tersebut sedang tumbuh dengan produktivitas yang tinggi (membutuhkan investasi besar). Kedua kondisi tersebut agaknya sedang terjadi di Indonesia.

Di lain pihak, apabila defisit lebih di-sebabkan tabungan domestik yang rendah ketimbang investasi yang tinggi, seperti yang konon terjadi di Amerika Serikat, bisa jadi penyebabnya kebijakan fiskal yang kurang terukur atau konsumsi yang berlebihan. Bisa juga defisit tersebut mencerminkan perdagangan antarwaktu, yaitu impor sekarang untuk diproduksi dan diekspor di masa depan. Defisit ini juga dikarenakan kejutan sesaat seperti turunnya harga minyak dunia atau terjadinya bencana alam. Mungkin juga karena pergeseran demografi, seperti meningkatnya jumlah kalangan kelas menengah yang memiliki daya beli lebih tinggi, termasuk untuk barang impor. Yang terakhir ini tampaknya sedang merebak di Indonesia.

Nah, tanpa mengetahui aspek mana atau kombinasi dari semua ini yang berperan dominan, kita belum bisa secara yakin mengatakan apakah suatu defisit TB “baik” atau “buruk.” Namun bila direnungkan, defisit transaksi berjalan di Indonesia saat ini tampaknya tetap baik bagi perekonomian, walaupun masih ada peningkatan risiko yang perlu terus diwaspadai dan direspons secara tepat.

Defisit Transaksi Berjalan:

Baik Atau Buruk? Tergantung...

Haris Munandar, Analis Departemen Perencanaan Strategis & HumasStaf Gubernur Bank Indonesia

8

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

REHAT

Anak SD Patah HatiJun adalah anak SD kelas satu yang jatuh hati sama Clara...ternyata Clara juga punya hati sama Jun.Suatu hari, karena kagak tahan lagi, Jun berkata kepada Clara, “Clara, kamu tahu aku suka kepadamu. Sayang kita masih kecil... bila nanti kita udah dewasa, kita menikah ya...?!”Dengan wajah yang memerah merona, Clara menjawab “Jun, bukannya aku menolak... aku sih mau aja... Tapi dalam keluarga kami, kami hanya menikah sesama kerabat saja. Paman menikah dengan bibi, kakek menikah dengan nenek, dan bahkan papa menikah dengan mama... kita kan bukan kerabat, jadi kita gak bisa menikah.”Mendengar jawaban si Clara, si Jun tidak masuk satu minggu karena patah hati...

Tikus dan kelelawarAnak tikus menengadahkan kepala, lamaaa sekali dan bertanya, “Ibu, kok kelalawar mukanya mirip ya sama kita?”Ibu menjawab, “Mereka sebenarnya memang sebangsa kita, tapi mereka ambil jurusan penerbangan...”

KatakDalam pelajaran Biologi, guru bertanya, “Binatang apa yang dapat hidup di air dan di darat?”“Katak, Bu Guru!” jawab murid-murid lancar.“Lalu apa lagi,” guru bertanya lagi.“Katak-katak yang lain juga bisa, Bu!” jawab mereka semangat.

Edisi 30 | September 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

8

Yang mana sih TB yang defisit itu?

Neraca Pembayaran IndonesiaOohhh, ini toh

defisitnya...

Nah, kalau angka

cadangan devisa, bisa dilihat disini nih

9

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

PERISTIWA 9

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

Jelang MEA 2015, Lakukan Aksi Nyata Sudah siapkah kita menghadapi keterbukaan

ala Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ke depan? Pertanyaan ini mengundang Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) menyelenggarakan Focus Grup Discussion (FGD) bertajuk “Daya Saing Indonesia Menuju MEA 2015”. FGD yang digelar 27 September 2012 di BI Jakarta ini dihadiri narasumber dari kementerian, lembaga pemerintah, pelaku usaha, pengamat, dan akademisi. Selain menjadi wake-up call bagi para pemangku kepentingan nasional akan pentingnya persiapan menghadapi MEA 2015, FGD ini juga bertujuan untuk mencari masukan atas buku MEA yang memuat hasil penelitian BI di 2009 sampai dengan 2011. Sebagaimana diketahui, sejak 2009,BI telah melaksanakan Program Kerja Inisiatif “Persiapan BI dalam Menghadapi MEA 2015”. Hasilnya, terdapat 27 hasil penelitian yang berisi pemetaan posisi sektor­sektor yang menjadi kewenangan BI dan rekomendasi bagi BI untuk menghadapi MEA 2015.

Seluruh narasumber sepaham bahwa kesepakatan MEA akan membawa peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Peluang

timbul karena dengan derajat keterbukaan yang lebih tinggi, diyakini perekonomian dapat menjadi lebih efisien. Dengan perekonomian yang lebih terbuka, semakin besar pula kemungkinan kita menerapkan best practices yang selama ini dikuasai oleh negara lain. Pembelajaran tersebut diharapkan dapat

memperbaiki produktivitas industri yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini Indonesia masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang tidak ringan. Regulasi yang masih tumpang tindih, tren surplus perdagangan yang mengecil, dan lemahnya

emerging di Asia yang berhasil bertahan dari krisis dan bahkan berhasil menjadi salah satu penopang perekonomian global; b) Pertumbuhan ekonomi emerging market di Asia yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain reformasi pasar, kebijakan sektor keuangan dan makro yang bersifat prudent serta

kerjasama kebijakan regional; c) Perekonomian di Indonesia ditengah ketidakpastian global yang dipercaya berada dalam kondisi yang aman dengan adanya permintaan domestik yang kuat serta koordinasi yang baik

antara Pemerintah dan Bank Indonesia; d) Workshop diharapkan dapat memberikan insight, pemikiran dan informasi pembuat kebijakan mengenai dinamika per ekonomian yang terjadi.

Workshop terdiri dari plenary session dengan pembicara Bachrul Chairi, MBA (Kepala

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan – BPPKP), Dr. Iskandar Simorangkir (Kepala Grup Riset Ekonomi – DKM) dan Anton Gunawan, M.Phil, MA (Chief Economist Bank Danamon) serta moderator oleh Dr. Reza Anglingkusumo (Senior Economist – GRE-DKM). Acara dilanjutkan dengan sesi pertama (parallel session) meliputi 9 pembicara dan sesi kedua

dengan 4 pembicara terpilih dari “Call for paper” BEMP yang telah dilaksanakan dari bulan Februari s/d Juli 2012 dari penulis yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

6th International Workshop, Bulletin of Monetary Economics and Banking

implementasi rencana aksi merupakan sebagian kecil benang kusut yang masih harus diurai. Hal itu yang kemudian membuat daya saing Indonesia saat relatif masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan. Persaingan di pasar domestik kita akan semakin sengit dengan mengalirnya produk dan jasa negara jiran ASEAN.

Walaupun dibayangi tantangan, bukan berarti Indonesia tidak punya modal untuk menjadi regional champion. Saat ini PDB Indonesia menyumbang 40% PDB kawasan dengan jumlah penduduk mencapai 50% penduduk ASEAN. Terlebih saat ini kelas menengah Indonesia sedang mengalami pertumbuhan sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan. Skala ekonomi yang besar tersebut seharusnya bisa kita manfaatkan untuk membuat dunia usaha kita lebih efisien.

Rizal Djaafara, Kepala Departemen Internasional BI, mengingatkan bahwa bila kita tidak berbenah, bisa­bisa kita hanya menjadi penonton di rumah kita sendiri dalam perhelatan MEA ini. Jelang MEA 2015, saatnya melakukan aksi nyata.

Workshop Internasional ke-6 ini merupakan kegiatan tahunan dari

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP) yaitu Jurnal Bank Indonesia Terakreditasi “B” yang merupakan akreditasi jurnal tertinggi di bidang ekonomi dari Kementerian Pendidikan Nasional. Tujuan workshop adalah peningkatan kualitas BEMP dan topik workshop tahun 2012 adalah “The Macroeconomic and Financial Resilience of Asian Emerging Market Amid the Global Crisis”. Workshop dihadiri sekitar 250 undangan yang terdiri dari para akademisi, praktisi ekonomi, perbankan nasional, kedutaan besar, lembaga pemerintahan, lembaga penelitian, Kepala Perwakilan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah dan Kepala Departemen serta pegawai BI.

Workshop dibuka oleh Dr. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, yang dalam Keynote Speech–nya, Beliau menyampaikan 4 (empat) hal yaitu: a) Perkembangan negara

10

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

PERISTIWA

Siapa sangka kalau orang Jepang banyak yang mengenal uang Rupiah. Pengetahuan

mereka tentang uang kertas Rupiah pun mengagumkan. Hal tersebut terungkap saat ratusan orang Jepang berkunjung ke stan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, pada Festival Indonesia, yang berlangsung pada 8-9 September 2012 di Roppongi Midtown.

Di Festival tersebut, KPw Bank Indonesia Tokyo memfokuskan penampilan utama stan­nya pada aneka gambar dan poster

pecahan uang Rupiah.Hal itu sesuai dengan tema dari Festival Indonesia 2012, yaitu “Colorful Indonesia”. Festival tersebut, selain menampilkan aneka tari, budaya, dan kuliner, juga jenis­jenis uang kertas Rupiah yang berlaku di Indonesia. Informasi itu menjadi penting untuk menambah pengetahuan orang Jepang mengenai alat bayar yang digunakan di Indonesia. Selain menampilkan edukasi mengenai pecahan uang Rupiah, KPw BI Tokyo juga menyajikan bahan bacaan berupa analisis ekonomi moneter, informasi UMKM, dan Museum Bank Indonesia.

Dubes RI untuk Jepang, Muhammad Lutfi, beserta Ibu Bianca Lutfi, menyampaikan apresiasinya atas keikutsertaan Kantor Perwakilan BI Tokyo di Festival Indonesia 2012. Sepanjang catatan KBRI Tokyo, keikutsertaan KPw BI Tokyo untuk membuka stand adalah untuk pertama kalinya dilakukan sejak Festival Indonesia dibuat.

Orang Jepang Cinta Rupiah

perhatiannya mendengarkan ulasan dari Jeffrey.

Kuliah umum dilanjutkan de­ngan pe nandatangani MOU antara Bank Indo nesia dengan Universitas Riau, serta penandatangan per­janjian kerjasama pengembangan mata kuliah kebanksentralan dan Per janjian Bantuan Dana Penelitian.Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Ekonomi, sangat menyambut baik upaya dan perhatian Bank Indonesia dalam turut serta memajukan pendidikan di Fakultas Ekonomi, khususnya melalui pengembangan ilmu kebanksentralan dan me­lalui bantuan dana penelitian, sehingga para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau, me-miliki kesempatan yang lebih terbuka untuk mengembangkan diri, mengejar ketertinggalan dari universitas­universitas lain di Indonesia yang lebih maju.

Satu lagi langkah besar dalam mengembangkan dan mem­

perluas jangkauan edukasi publik mengenai kebanksentralan di Indonesia. Bertempat di Student Building Faculty of Economy Riau University, 4 September 2012 telah dilakukan penandatanganan MoU dan Kerjasama Pengembangan Mata Kuliah Kebanksetralan di hadapan hampir 1.500 mahasiswa baru dan jajaran pimpinan serta

staf pengajarnya. Selain itu, BI juga memberikan bantuan dana Penelitian.

Pada sesi Kuliah Perdana, Kepala DPSK, Jeffrey Kairupan memberikan pembekalan mengenai fundamental ilmu ekonomi dan ilmu kebank­sentralan. Di kuliah perdana tersebut, para mahasiswa digugah semangat dan jiwa nasionalismenya untuk memanfaatkan ilmu ekonomi dan ilmu kebanksentralan dalam memajukan negeri. Uraian yang sangat mengalir dengan bahasa yang sederhana yang disampaikan Jeffrey membuat para mahasiswa memiliki pengalaman baru mengenai semangat membangun ekonomi negeri. Di mulai dari sejarah terciptanya uang hingga bagaimana menjaga nilai mata uang tersebut, hingga kaitannya dengan krisis ekonomi global, serta 3 peran utama dari Bank Sentral, membuat para mahasiswa tersita

Mata Kuliah Kebanksentralan Hadir di Universitas Riau

11

Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah,

didampingi pendiri Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC), Ir. Ciputra, membuka pelatihan kewirausahaan bagi mahasiswa pada Senin, 3 September 2012, di Jakarta. Peserta pelatihan sebanyak 38 mahasiswa yang berasal dari 4 perguruan tinggi yang telah mencantumkan entrepreneurship dalam misi/visinya, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Negeri Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. Adapun tema yang dipilih adalah “Green Entrepreneur”, entrepreneur yang senantiasa berorientasi pada kelestarian lingkungan dan mampu bersaing di kancah internasional.

“Program pelatihan kewira­usahaan ini memiliki arti penting bagi Bank Indonesia, sehingga selain dilaksanakan di kantor

pusat Bank Indonesia, program ini juga dilaksanakan di 7 Kantor Perwakilan Bank Indonesia yaitu Surabaya, Bandung, Semarang, Makassar, Denpasar, Palembang dan Yogyakarta dengan target group adalah mahasiswa, eks

BI Latih Kewirausahaan Mahasiswa

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan juga masyarakat umum”, demikian Halim Alamsyah dalam sambutan pembukaannya.

Pelatihan kewirausahaan seperti ini memang bukan yang per tama diadakan oleh lembaga/institusi pemerintahan, namun demikian fokus dari pelatihan kewirausahaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia berbeda dengan yang diadakan instansi lain. Selain mempersiapkan calon wirausaha baru melalui berbagai pelatihan, Bank Indonesia juga akan komit melakukan pendampingan yang berkelanjutan terhadap calon wirausaha, termasuk mendukung upaya calon wirausaha dalam pencarian sumber dana (source of fund) kepada pihak perbankan.

HUMANIORA

juga melaksanakan rapat koordinasi wilayah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Tujuan dari kunjung an tersebut adalah untuk mengetahui pe­laksanaan konversi BBM ke BBG di Palembang meliputi insentif program, pasokan gas, pembagian keuntungan, pola pembayaran, jumlah SPBG, dan program setelah launching. Sehingga nantinya

kabupaten/kota di Jawa Barat dapat melakukan program konversi BBM ke BBG dengan baik dan dapat turut mengendalikan inflasi daerah.

BBG telah digunakan pada sejumlah angkutan umum di Kota Palembang, mulai dari angkutan kota (angkot), bus Trans Musi, serta taksi. Selain itu, sebagian kendaraan dinas Pemerintah Daerah di Sumatera Selatan juga telah menggunakan BBG. Sebagai bahan bakar untuk transportasi, penggunaan BBG disinyalir lebih efisien 20-25% dibandingkan penggunaan BBM. Medco Energi serta Hiswana Migas Sumatera Selatan.Kota Palembang merupakan salah satu pilot project program konversi BBM ke BBG. Pemerintah pusat telah memberikan converter kit sejak tahun 2009, dan mengalokasikan gas untuk transportasi di Kota Palembang.

Belajar Konversi BBM Sampai Ke Palembang

Sukses Sumatera Selatan me­lakukan konversi bahan bakar

minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) menarik perhatian daerah lain untuk berbagi pengalaman. Setidaknya lebih dari tiga puluh pejabat Pemerintah Daerah, BI, dan instansi strategis lainnya di Jawa Barat berkunjung ke Palembang melakukan studi banding konversi energi. Selain itu, studi banding ini

12

Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia

HUMANIORA

Hari minggu biasanya komplek per­kantoran Bank Indonesia (Koperbi)

di Jakarta sunyi senyap, karena memang hari libur. Tapi tidak pada Minggu, 16 September lalu, hampir sebagian besar pegawai BI “masuk kantor” dengan mengenakan kaos olahraga dan balutan jaket training warna merah. Ya, hari itu puncak pelaksanaan Pekan Olahraga dan Seni Bank Indonesia (Porsebi). Pada Porsebi kali ini Tim dalam binaan Deputi Gubernur Hartadi A. Sarwono dengan kostum kaos warna ungu berhasil meraih juara umum. Setelah urusan bagi­bagi hadiah, Porsebi diakhiri dengan jalan kaki santai dari Koperbi menuju jalan MH Thanrin dan balik ke Koperbi. Acara santai pun semakin

semarak dengan lantunan tembang­tembang lawas nan membangkitkan memori dari grup band legendaris KLA Project dengan personil Katon Bagaskara, Lilo, dan Ari.

“Saya mengapresiasi keikut­sertaan semua pihak termasuk pegawai BI dalam acara ini. Kebersamaan seperti ini memang semestinya diadakan minimal dua kali dalam satu

tahun untuk menghayati kebersamaan sebagai suatu bangsa. Mengapa demikian? Karena jika suatu bangsa sudah tidak peduli dengan hal itu, maka sebetulnya rasa memiliki terhadap bangsa itu sudah mulai luntur,” ujar Gubernur BI, Darmin Nasution.

Memperkokoh rasa kebersamaan dan memiliki institusi serta bangsa menjadi isu sentral dalam Porsebi 2012 dalam kerangka perayaan HUT RI ke-67. Ketua Panitia HUT RI dan Porsebi yang juga Wakil Ketua Umum Ipebi, Irwan Lubis mengatakan bahwa Porsebi kali ini memang lebih menekankan kebersamaan dengan menggelar semua pelaksanaan kegiatan di

Kebersamaan Wujud Penghayatan Sebagai Bangsa

lingkup Koperbi. Nah, semoga saja rasa memiliki akan institusi dimana pegawai bekerja dan bumi Nusantara ini semakin menguat demi kejayaan bangsa.

Sejak tahun 2010 KPw BI Provinsi Bengkulu dan DPSHM telah

melaksanakan program kepedulian sosial BI, yang kala itu dinamakan BSR (Bank Indonesia Social Responsibility) dan terbaru bernama Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). PSBI yang dilaksanakan di wilayah kerja KPw BI Bengkulu, salah satunya bersifat terfokus ke dalam program “Desa

Kita”. Program “Desa Kita” tersebut dilaksanakan di Desa Srikaton ­ Kabupaten Bengkulu Tengah mancakup berbagai program dan salah satu kegiatannya adalah membangun perpustakaan umum desa.

Tujuan awal dibangunnya perpustakaan desa ini adalah untuk mendorong warga desa supaya memiliki pola pikir yang berkelanjutan, dalam artian setelah membaca referensi yang tersedia kemudian langsung mengaplikasikannya di lapangan. Oleh karena itu, buku­buku yang menjadi koleksi perpustakaan ini lebih banyak didominasi oleh buku­buku tentang pertanian yang sederhana dan praktis, misalnya bagaimana cara berternak ayam, budidaya jamur, lele dan berbagai cara produksi dan pengolahan hasil­hasil pertanian yang memang sangat sesuai dengan potensi dan kondisi desa.

Perpustakaan Srikaton, Raih Penghargaan Nasional

Setelah lebih dari 2 (dua) tahun ber operasi, ternyata perpustakaan desa ini telah menarik perhatian Perpustakaan Nasional ­ Republik Indonesia dengan memasukkan perpustakaan desa Srikaton ke dalam 4 (empat) besar juara lomba per pustakaan desa nasional kate gori B (wilayah Sumatera & Kalimantan) tahun 2012. Penetapan 4 (empat) besar tersebut setelah melalui seleksi seluruh perpustakaan desa di seluruh Indonesia. Untuk menentukan yang terbaik nasional, pada 11 September 2012, Dewan Juri dari Perpustakaan Nasional ­ RI Jakarta melakukan peninjauan langsung ke lokasi. Juri merasa puas dengan fakta yang ada di lapangan karena seluruh bacaan yang ada telah dibaca oleh warga dan diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari­hari sehingga hasilnya dapat memperkuat kemampuan ekonomi masyarakat Desa Srikaton.