electro convulsive therapy ect

20
BAB I PENDAHULUAN Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri. Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro Convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. 1 ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis. 1 1

Upload: amy-hestiany

Post on 28-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Electro Convulsive Therapy ECT

BAB I

PENDAHULUAN

Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang

termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri. Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah

lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro Convulsive Therapy (ECT) atau

terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam

pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat.1

ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum

sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu

periode dalam beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini

sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi

yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan

secara farmakologis.1

1

Page 2: Electro Convulsive Therapy ECT

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Terapi Elektro Konvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien

dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.1 Terapi

Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana

pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-

klonik umum. ElectroConvulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu

intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan

neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang

menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan

perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Prosedur biasanya dapat

diterima pasien dan dapat menggunakan profilaksis yang memungkinkan penyembuhan

parsial atau sempurna dari gejala. Electro Convulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur

medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.

Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol

dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan

kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan

pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri. Terapi Elektro Konvulsif merupakan

suatu terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri.5

B. Sejarah

Walaupun kejang akibat champor pernah digunakan awal abad ke-16 sebagai terapi

psikosis, sebagian besar sejarah ECT dimulai pada tahun 1934, saat Ladislas J. Von Meduna

melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang

ditimbulkan secara farmakologis.3 Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa pasien epilepsi

dengan psikosis memperlihatkan perbaikan gejala psikotik setelah kejang spontan.

Untuk menimbulkan kejang Von Meduna menggunakan injeksi champora. Von Meduna

mulai menggunakan penyuntikan champor yang disuspensikan dalam minyak tetapi dengan

cepat pindah menjadi pemberian pentylenetetrazol (Metrazol) intravena. Von Meduna 2

Page 3: Electro Convulsive Therapy ECT

mengusahakan metode terapi didasarkan pada dua pengamatan: pertama, gejala skizofrenik

seringkali menurun setelah kejang, kejang seringkali secara tidak sengaja atau secara

iatrogenik ditimbulkan pada pasien psikiatrik sekunder karena pemutusan medikasi (sebagai

contohnya, barbiturat). Kedua, skizofrenia dan epilepsi yang dipercaya secara keliru, tidak

dapat terjadi secara bersama-sama pada pasien yang sama, dengan demikian, menimbulkan

kejang mungkin melepaskan pasien skizofrenia. Von Meduna menemukan bahwa

phentiylenetetrazol, suatu agent yang sekarang dikenal sebagai penghambat reseptor gamma

amino butiric tipe A telah memberikan hasil yang memuaskan. Kejang yang diinduksi oleh

phentiylenetetrazol pernah digunakan sebagai suatuterapi yang efektif selama empat tahun

sebelum diperkenalkannya kejang yangdiinduksi listrik.3

Atas dasar penelitian Von Meduna, Ugo Carletti dan Lucion Bini melakukan

elektrokonvulsif pertama kali pada pasien psikosis pada bulan April 1938 di Roma. Pada

awalnya terapi dinamakan terapi elektrosyok (EST, Electroshock therapy), yang kemudian

dikenal sebagai Terapi Elektrokonvulsif. Pada tahun 1939, Lothar Kalinowsky

memperkenalkan ECT di Amerika. Pada tahun 1940, A.E. Bernett memperkenalkan

penggunaan curare sebagai pelemas otot untuk menghindarkan kontraksi otot dan

meminimalkan resiko fraktur. Masalah utama yang berhubungan dengan ECT adalah rasa

tidak nyaman yang dialami oleh pasien yang disebabkan oleh prosedur dan fraktur tulang

yang diakibatkan oleh aktifitas mototrik kejang. Masalah tersebut akhirnya dihilangkan

dengan pemakaian anastetik umum dan pelemas otot farmakologis selama terapi yang

diperkenalkan oleh Bernett. Pada tahun 1951 succinylcholine (Anectine) diperkenalkan

menjadi pelemas otot yang paling luas digunakan untuk ECT. Pada tahun 1957

hexafluorinated diethylether (Indokolon) diperkenalkan sebagai cara farmakologis baru

menginduksi kejang dengan memberikan senyawa sebagai gas. Namun, setelah

diperkenalkannya obat anti depressan pada tahun 1950-an telah menyebabkan dihilangkannya

hexafluorinated diethylether dari pasaran.

3

Page 4: Electro Convulsive Therapy ECT

C. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum diketahui secara pasti.

Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan psikodinamika, teorimolekular, biokimia,

neuroendokrin, dan teori struktural. Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT

adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET;

Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian

glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran

darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah

meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan

paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan

metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada

epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak

sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat

terapi berlanjut.1

Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan perhatian

pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan sistem pembawa

pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh

ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β

pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi anti depressan. Efek

ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial.

Berbagai penelitian melaporkan telah menemukan suatu peningkatan reseptor

serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada

regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem

neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah

dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase

dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.3

Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang membangkitkan

ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini diduga bekerja pada sel yang

menghubungkan bangkitan kejang pada SSP. Pada tingkat dasar obat antikonvulsi

mempunyai efek meningkatkan penghambatan dan mengurangi eksitasi. Obat ini

meningkatkan transmisi GABAergic melalui reseptor GABA yang mempunyai efek anti

4

Page 5: Electro Convulsive Therapy ECT

konvulsi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa peningkatan kadar GABA pada regio SSP

tertentu setelah ECS, mendukung suatu kemungkinan peningkatan dalam inhibisi tonik. Ini

juga membuktikan bahwa ECS menyebabkan peningkatan GABA yang menengahi inhibisi

presinaps dan postsinaps.5

D. Indikasi

Indikasi Primer ECT

1. Gangguan Depresi Mayor

Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan

depresif berat atau gangguan depresi mayor. ECT harus dipertimbangkan sebagai

terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah

atau psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki

gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan

sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan

obat anti depressan. Penggunaan ECT sebagai terapi dapat diberikan pada gejala-

gejala depresi yang berkaitan dengan:4

- Pencobaan bunuh diri dengan resiko melakukan bunuh diri.

- Gejala-gejala psikotik 

- Penurunan keadaan fisik karena komplikasi depresi, seperti intake oral yang

menurun.

- Respon yang minimal setelah pengobatan.

- Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik 

- Merupakan pilihan pasien

- Katatonia

ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi

delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi

penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik

tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik.

5

Page 6: Electro Convulsive Therapy ECT

Namun demikian, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah

berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering

dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan

depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi

psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat

badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.2

Terapi Elektrokonvulsi biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih

ringan, seperti gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan alam perasaan

depresi.

2. Mania

ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam

terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan elektrode

bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode

manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam

jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi episode

manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk semua

pendekatan farmakologis.2

3. Skizofrenia

ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak

untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap

paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.

Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:

o Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.

o Katatonia

o Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik.

Indikasi Sekunder ECT

1. Katatonia

6

Page 7: Electro Convulsive Therapy ECT

Katatonia merupakan suatu gejala yang berkaitan dengan gangguan mood,

skizofrenia, dan gangguan medis dan neurologis yang efektif diberikan terapi ECT.

2. Penyakit Parkinson

ECT dapat bermanfaat bagi penyakit parkinson, khususnya berkaitan dengan ”on-off”

phenomenon atau fenomena nyala-mati.

3. Sindrom Neuroleptik Maligna

ECT dapat bermanfaat pada sindrom neuroleptik maligna dengan mengehntikan

semua obat anti psikosis yang diberikan dan pasien harus dalam keadaan tenang

sebelum dilakukan ECT pada pasien tersebut.

4. Delirium

Pemberian ECT juga bermanfaat bagi pasien dengan delirium.

E. Kontra Indikasi

ECT tidak memiliki kontra indikasi mutlak, hanya dimana pasien berada dalam resiko

tinggi dan memerlukan pemantauan yang lebih ketat. Berikut ini merupakan keadaan yang

merupakan kontra indikasi dari pelaksanaan ECT:5

- Penyakit kardiovaskuler yang berat dan tidak stabil, seperti infark miokard,

unstable angina, gagal jantung, penyakit katup jantung yang berat

termasuk stenosis aorta yang berat.

- Malformasi vaskuler dan aneurisma yang dapat rupture dengan peningkatan

tekanan darah. Hal ini dapat disebabkan terapi elektrokonvulsi dapat

menyebabkan peningkatan tekanan darah sementara, sehingga hipertensi harus

dikontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.

- Peningkatan tekanan intracranial karena adanya tumor otak atau lesi

desak ruang pada cerebri. Hal ini dikarenakan terapi elektrokonvulsi dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.

- Infark cerebri.

7

Page 8: Electro Convulsive Therapy ECT

- Gangguan pernapasan seperti, penyakit paru obstruksi kronik, asma, dan

pneumonia. Hal ini dikarenakan pasien dengan kelainan pernapasan

tidak mampu mentolelir efek anestesi umum singkat.

F. Prosedur Kerja

Persiapan ECT2

1. Persetujuan Tertulis

Persetujuan tertulis harus dilakukan sebelum pelaksanaan ECT. Psikiater, pasien dan

keluarga pasien, harus membahas:

a. Sifat dan keseriusan dan gangguan mental

b. Kemungkinan perjalanan penyakit dengan dan tanpa ECT.

c. Sifat prosedur

d. Kemungkinan resiko dan manfaat (termasuk penjelasan mengenai kebingungan

pasca-pengobatan dan gangguan fungsi memori).

e. Pilihan pengobatan alternative (termasuk pilihan tanpa pengobatan).

2. Rekam Medis

Rekam medis yang teliti harus disimpan oleh psikiater dan rumah sakit atau

klinik yang melakukan ECT. Hal ini meliputi:

a. Sifat dan riwayat keadaan yang menyebabkan dipertimbangkannya ECT.

b. Perincian pengobatan sebelumnya, termasuk respons terapeutik dan reaksi

berlawanan.

c. Alasan untuk memilih ECT.

d. Perincian dari semua pembahasan yang relevan untuk mengizinkan ECT.

e. Formulir persetujuan dengan tanda tangan pasien dan atau keluarga atau wali jika

memang sesuai.

f. Pendapat konsultan yang ditandatangani, jika hal ini diminta.8

Page 9: Electro Convulsive Therapy ECT

3. Evaluasi Pra Pengobatan

a. Terapi elektrokonvulsi merupakan suatu prosedur yang dapat memberikan stress

pada susunan kardiovaskuler, pernapasan, muskuloskelet, dan saraf, sehingga

diperlukan evaluasi pra pengobatan yang seksama.

o Pemeriksaan fisik dan riwayat medis standar (termasuk pemeriksaan

neurologis).

o Uji darah dan kemih (sesuai riwayat pemeriksaan, tetapi termasuk

elektrolit dan urinalisis rutin).

o Elektrokardiogram.

b. Pada sebagian besar keadaan (contohnya, adanya peenyakit skelet atau riwayat

ECT), harus didapatkan foto rontgen torakolumbal. Pada kasus dugaan penyakit

cranial dan intracranial, elektroensefalogram (EEG) dan atauskan tomografi

komputasi kepala merupakan hal yang sesuai.

c. Sebelum prosedur ini pasien harus dievaluasi oleh seorang anastesis atau dokter

yang berpengalaman dalam penggunaan anesthesia, untuk mengevaluasi

sepenuhnya resiko anesthesia dan kemungkinan interaksi obat untuk setiap

individu. Pada hakekatnya pasien harus bebas litium, karena litium meningkatkan

sekuele susunan saraf pusat dari ECT dan memperpanjang aksi obat-obatan

neuromuskuler. Beberapa ahli menduga inhibitor monoamine oksidase (MAO)

harus dihentikan 2 minggu sebelum pengobatan untuk menghindari penyulit

anestetik. Sedative dan anti konvulsan dapat menganggu kemampuan

untuk menimbulkan kejang, dan obat ini harus dikurangi atau dihentikan

secepatnya jika layak secara klinik.

Prosedur Kerja3

a. Pengobatan harus digunakan pada suatu daerah yang dirancang untuk ECT dan

diperlengkapi untuk pemulihan media yang diawasi, termasuk peralatan dan medikasi

untuk resusitasi kardiopulmoner. Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi, dan

pernapasan harus dipantau selama prosedur.

9

Page 10: Electro Convulsive Therapy ECT

b. Kepada pasien tidak boleh diberikan sesuatu per oral selama 8-12 jam sebelum setiap

pengobatan, dan segera setalah prosedur, staf harus berusaha agar pasien sepenuhnya

mengosongkan rectum dan kandung kemihnya.

c. Untuk mencegah bradikardia terkait pengobatan dan untuk memperkecil sekresi,

seringkali diberikan obat antikolinergik (0,6 hingga 1,2 mg atropine atau 0,2-0,4 mg

glikopirolat) secara intramuskuler atau subkutan dalam waktu 30 menit.

d. Akses venosa perifer harus dimulai dan dipertahankan hingga pasien pulih

sepenuhnya. Tepat sebelum memulai pengobatan harus dilakukan pemeriksaan gigi,

untuk melepaskan semua perlengkapan gigi atau untuk mencatat adanya gigi yang

longgar atau gompel.

e. Anesthesia ringan untuk memperkecil efek samping yang berlawanan dari anestesi

maupun kecenderungan obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan

ambang kejang (dan dengan demikian memerlukan intensitas stimulasi listrik yang

lebih tinggi). Anestetik yang biasa digunakan adalah metoheksital (0,5-1,0 mg/kg)

atau tiopental (3 mg/kg). kadang-kadang etomidat (0,15-0,30 mg/kg) atau malah

digunakan ketamin intramuskuler (6-10 mg/kg). Pada pasien harus diberi ventilasi

melalui masker dengan oksigen 100 % sejak mulai timbul anestesi hingga pulihnya

pernapasan spontan yang adekuat.

f. Setelah timbul efek anestetik, diberi perelaksasi otot suksinilkolin (0,5-1,5mg/kg).

tujuannya adalah relaksasi cukup untuk menghentikan sebagian besar tetapi tidak

seluruh pergerakan iktal tubuh, kecuali pada beberapa kasus penyakit mukuloskeletal

atau penyakit jantung dimana diperlukan relaksasi otot total.

Kerja suksinilkolin, penyekat depolarisasi, ditandai dengan fasikulasi otot yang

bergerak secara rostrokaudal. Jika hal ini hilang, maka telah terjadi relaksasi

maksimal. Relaksasi juga harus dinilai dengan suatu coretan pada kaki pasien dengan

cara seperti untuk menimbulkan tanda babinski. Pada relaksasi otot minimal, tidak

akan terjadi respon plantar. Stimulator saraf dapat digunakan sebagai metode

alternatif untuk menguji relaksasi otot.

g. Pemantauan kejang dapat dicapai melalui teknik EEG dan atau melalui teknik

“manset”. Dengan hal ini, suatu manset tensimeter ditempatkan pada lengan atau

10

Page 11: Electro Convulsive Therapy ECT

tungkai pasien dan inflasi hingga tekanan yang lebih besar daripada sistolik sebelum

menyuntikkan suksinilkolin. Hal ini memungkinkan terjadinya gerakan konvulsif

tidak termodifikasi dari ekstremitas tersebut dan ditentukan waktunya.

Penempatan Elektroda3

Terdapat banyak alternative untuk penempatan elektroda. Lead harus dikenalkan

dengan gel penghantar, pada kulit kepala yang bersih. Pada ECT bilateral, kedua electrode

dapat ditempatkan secara bifrontotemporal, dengan masing-masing sekitar 2 inci diatas titik

tengah garis yang ditarik dari meatus akustikus eksternus ke sudut lateral mata. Pada ECT

unilateral, kedua electrode ditempatkan diatas hemisferum non dominan. Satu ditempatkan

diatas areafrontotemporal, seperti untuk ECT bilateral, sementara yang lain biasanya

ditempatkan pada kulit kepala sentroparietal nondominan, tepat lateral dari vertek garis

tengah. Jarak antara titik tengah dua electrode sekitar 4,5 inci. Yang bertangan tidak kidal

sangat berkorelasi dengan dominan hemiferik kiri.

Stimulus Listrik dan Kejang

Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan

sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan

menggunakan jumlah energy listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan

penentuan energy stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah mungkin.

Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang

supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya. Jika tidak terjadi kejang,

stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih

tinggi. Pada kejang yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali. Jika

hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan,

dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang

adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri. Karena keadaan refrakter terhadap kejang

berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik

sebelum mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.

Jumlah dan Jarak Pengobatan ECT

Jumlah pengobatan dalam suatu rancangan bervariasi dan harus ditentukan

berdasarkan respon klinis. Keputusan untuk mengehentikan rancangan ECT biasanya

11

Page 12: Electro Convulsive Therapy ECT

didasarkan atas pencapaian respon maksimal atau tidak adanya perbaikan bermakna setelah

sejumlah pengobatan tertentu. Enam sampai dua belas kali pengobatan biasanya efektif,

walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan 20-25 pengobatan.2

12

Page 13: Electro Convulsive Therapy ECT

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan

gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental seriuslainnya. Terapi

Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana

pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-

klonik umum. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada

tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari

katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.

Indikasi Primer ECT yaitu gangguan depresi mayor, mania, skizofrenia, sedangkan indikasi

sekunder ECT yaitu katatonia, penyakit parkinson, sindrom neuroleptik maligna dan

delirium.

13

Page 14: Electro Convulsive Therapy ECT

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku, Psikiatri

Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara.

2. Maramis, Willy F dan Albert Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga University Press.

3. Electroconvulsive Therapy (ECT), Pridmore S. Download of Psychiatry, Chapter 28.

Last modified: April, 2013. Diakses melalui: http://eprints.utas.edu.au/287/

4. Donahue, Anne B. Electroconvulsive Therapy And Memory Loss, Vermont, USA.

Diakses melalui: retina.anatomy.upenn.edu/pdfiles/5524.pdf

5. Irving M. Reti, M.B.B.S. Electroconvulsive Therapy Today. In-Depth Report.

Diakses melalui: www.hopkinsmedicine.org/.../DepBulletin407

14