electro convulsive therapy ect
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan terapi yang
termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri. Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah
lama dikenal sebagai terapi dalam bidang psikiatri. Electro Convulsive Therapy (ECT) atau
terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam
pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat.1
ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum
sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu
periode dalam beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini
sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi
yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan
secara farmakologis.1
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Terapi Elektro Konvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien
dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius lainnya.1 Terapi
Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana
pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-
klonik umum. ElectroConvulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu
intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang
menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan
perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa minggu. Prosedur biasanya dapat
diterima pasien dan dapat menggunakan profilaksis yang memungkinkan penyembuhan
parsial atau sempurna dari gejala. Electro Convulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur
medis yang dilakukan oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot.
Ketika efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan dikontrol
dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini menyebabkan bangkitan
kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan anestesi dan relaksasi otot sehingga badan
pasien tidak ikut terangsang dan tidak merasa nyeri. Terapi Elektro Konvulsif merupakan
suatu terapi yang aman dan efektif untuk berbagai gangguan psikiatri.5
B. Sejarah
Walaupun kejang akibat champor pernah digunakan awal abad ke-16 sebagai terapi
psikosis, sebagian besar sejarah ECT dimulai pada tahun 1934, saat Ladislas J. Von Meduna
melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang
ditimbulkan secara farmakologis.3 Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa pasien epilepsi
dengan psikosis memperlihatkan perbaikan gejala psikotik setelah kejang spontan.
Untuk menimbulkan kejang Von Meduna menggunakan injeksi champora. Von Meduna
mulai menggunakan penyuntikan champor yang disuspensikan dalam minyak tetapi dengan
cepat pindah menjadi pemberian pentylenetetrazol (Metrazol) intravena. Von Meduna 2
mengusahakan metode terapi didasarkan pada dua pengamatan: pertama, gejala skizofrenik
seringkali menurun setelah kejang, kejang seringkali secara tidak sengaja atau secara
iatrogenik ditimbulkan pada pasien psikiatrik sekunder karena pemutusan medikasi (sebagai
contohnya, barbiturat). Kedua, skizofrenia dan epilepsi yang dipercaya secara keliru, tidak
dapat terjadi secara bersama-sama pada pasien yang sama, dengan demikian, menimbulkan
kejang mungkin melepaskan pasien skizofrenia. Von Meduna menemukan bahwa
phentiylenetetrazol, suatu agent yang sekarang dikenal sebagai penghambat reseptor gamma
amino butiric tipe A telah memberikan hasil yang memuaskan. Kejang yang diinduksi oleh
phentiylenetetrazol pernah digunakan sebagai suatuterapi yang efektif selama empat tahun
sebelum diperkenalkannya kejang yangdiinduksi listrik.3
Atas dasar penelitian Von Meduna, Ugo Carletti dan Lucion Bini melakukan
elektrokonvulsif pertama kali pada pasien psikosis pada bulan April 1938 di Roma. Pada
awalnya terapi dinamakan terapi elektrosyok (EST, Electroshock therapy), yang kemudian
dikenal sebagai Terapi Elektrokonvulsif. Pada tahun 1939, Lothar Kalinowsky
memperkenalkan ECT di Amerika. Pada tahun 1940, A.E. Bernett memperkenalkan
penggunaan curare sebagai pelemas otot untuk menghindarkan kontraksi otot dan
meminimalkan resiko fraktur. Masalah utama yang berhubungan dengan ECT adalah rasa
tidak nyaman yang dialami oleh pasien yang disebabkan oleh prosedur dan fraktur tulang
yang diakibatkan oleh aktifitas mototrik kejang. Masalah tersebut akhirnya dihilangkan
dengan pemakaian anastetik umum dan pelemas otot farmakologis selama terapi yang
diperkenalkan oleh Bernett. Pada tahun 1951 succinylcholine (Anectine) diperkenalkan
menjadi pelemas otot yang paling luas digunakan untuk ECT. Pada tahun 1957
hexafluorinated diethylether (Indokolon) diperkenalkan sebagai cara farmakologis baru
menginduksi kejang dengan memberikan senyawa sebagai gas. Namun, setelah
diperkenalkannya obat anti depressan pada tahun 1950-an telah menyebabkan dihilangkannya
hexafluorinated diethylether dari pasaran.
3
C. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum diketahui secara pasti.
Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan psikodinamika, teorimolekular, biokimia,
neuroendokrin, dan teori struktural. Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT
adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET;
Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian
glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran
darah serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan
paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat penurunan
metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus kejang pada
epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak
sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat
terapi berlanjut.1
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan perhatian
pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan sistem pembawa
pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh
ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β
pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi anti depressan. Efek
ECT pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial.
Berbagai penelitian melaporkan telah menemukan suatu peningkatan reseptor
serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada
regulasi prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem
neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase
dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.3
Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang membangkitkan
ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini diduga bekerja pada sel yang
menghubungkan bangkitan kejang pada SSP. Pada tingkat dasar obat antikonvulsi
mempunyai efek meningkatkan penghambatan dan mengurangi eksitasi. Obat ini
meningkatkan transmisi GABAergic melalui reseptor GABA yang mempunyai efek anti
4
konvulsi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa peningkatan kadar GABA pada regio SSP
tertentu setelah ECS, mendukung suatu kemungkinan peningkatan dalam inhibisi tonik. Ini
juga membuktikan bahwa ECS menyebabkan peningkatan GABA yang menengahi inhibisi
presinaps dan postsinaps.5
D. Indikasi
Indikasi Primer ECT
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan
depresif berat atau gangguan depresi mayor. ECT harus dipertimbangkan sebagai
terapi pada pasien yang gagal dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah
atau psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau memiliki
gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan
sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi standar dengan
obat anti depressan. Penggunaan ECT sebagai terapi dapat diberikan pada gejala-
gejala depresi yang berkaitan dengan:4
- Pencobaan bunuh diri dengan resiko melakukan bunuh diri.
- Gejala-gejala psikotik
- Penurunan keadaan fisik karena komplikasi depresi, seperti intake oral yang
menurun.
- Respon yang minimal setelah pengobatan.
- Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik
- Merupakan pilihan pasien
- Katatonia
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi
delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi
penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik
tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik.
5
Namun demikian, karena episode depresi berat dengan gejala psikotik adalah
berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT harus sering
dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan-gangguan
depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah yang jelas, retardasi
psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan nafsu makan dan berat
badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon terhadap ECT.2
Terapi Elektrokonvulsi biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi yang lebih
ringan, seperti gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan alam perasaan
depresi.
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam
terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa pemasangan elektrode
bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan unilateral pada terapi episode
manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat efektif dalam
jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi episode
manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk semua
pendekatan farmakologis.2
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak
untuk gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap
paling besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
o Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
o Katatonia
o Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik.
Indikasi Sekunder ECT
1. Katatonia
6
Katatonia merupakan suatu gejala yang berkaitan dengan gangguan mood,
skizofrenia, dan gangguan medis dan neurologis yang efektif diberikan terapi ECT.
2. Penyakit Parkinson
ECT dapat bermanfaat bagi penyakit parkinson, khususnya berkaitan dengan ”on-off”
phenomenon atau fenomena nyala-mati.
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
ECT dapat bermanfaat pada sindrom neuroleptik maligna dengan mengehntikan
semua obat anti psikosis yang diberikan dan pasien harus dalam keadaan tenang
sebelum dilakukan ECT pada pasien tersebut.
4. Delirium
Pemberian ECT juga bermanfaat bagi pasien dengan delirium.
E. Kontra Indikasi
ECT tidak memiliki kontra indikasi mutlak, hanya dimana pasien berada dalam resiko
tinggi dan memerlukan pemantauan yang lebih ketat. Berikut ini merupakan keadaan yang
merupakan kontra indikasi dari pelaksanaan ECT:5
- Penyakit kardiovaskuler yang berat dan tidak stabil, seperti infark miokard,
unstable angina, gagal jantung, penyakit katup jantung yang berat
termasuk stenosis aorta yang berat.
- Malformasi vaskuler dan aneurisma yang dapat rupture dengan peningkatan
tekanan darah. Hal ini dapat disebabkan terapi elektrokonvulsi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah sementara, sehingga hipertensi harus
dikontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.
- Peningkatan tekanan intracranial karena adanya tumor otak atau lesi
desak ruang pada cerebri. Hal ini dikarenakan terapi elektrokonvulsi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
- Infark cerebri.
7
- Gangguan pernapasan seperti, penyakit paru obstruksi kronik, asma, dan
pneumonia. Hal ini dikarenakan pasien dengan kelainan pernapasan
tidak mampu mentolelir efek anestesi umum singkat.
F. Prosedur Kerja
Persiapan ECT2
1. Persetujuan Tertulis
Persetujuan tertulis harus dilakukan sebelum pelaksanaan ECT. Psikiater, pasien dan
keluarga pasien, harus membahas:
a. Sifat dan keseriusan dan gangguan mental
b. Kemungkinan perjalanan penyakit dengan dan tanpa ECT.
c. Sifat prosedur
d. Kemungkinan resiko dan manfaat (termasuk penjelasan mengenai kebingungan
pasca-pengobatan dan gangguan fungsi memori).
e. Pilihan pengobatan alternative (termasuk pilihan tanpa pengobatan).
2. Rekam Medis
Rekam medis yang teliti harus disimpan oleh psikiater dan rumah sakit atau
klinik yang melakukan ECT. Hal ini meliputi:
a. Sifat dan riwayat keadaan yang menyebabkan dipertimbangkannya ECT.
b. Perincian pengobatan sebelumnya, termasuk respons terapeutik dan reaksi
berlawanan.
c. Alasan untuk memilih ECT.
d. Perincian dari semua pembahasan yang relevan untuk mengizinkan ECT.
e. Formulir persetujuan dengan tanda tangan pasien dan atau keluarga atau wali jika
memang sesuai.
f. Pendapat konsultan yang ditandatangani, jika hal ini diminta.8
3. Evaluasi Pra Pengobatan
a. Terapi elektrokonvulsi merupakan suatu prosedur yang dapat memberikan stress
pada susunan kardiovaskuler, pernapasan, muskuloskelet, dan saraf, sehingga
diperlukan evaluasi pra pengobatan yang seksama.
o Pemeriksaan fisik dan riwayat medis standar (termasuk pemeriksaan
neurologis).
o Uji darah dan kemih (sesuai riwayat pemeriksaan, tetapi termasuk
elektrolit dan urinalisis rutin).
o Elektrokardiogram.
b. Pada sebagian besar keadaan (contohnya, adanya peenyakit skelet atau riwayat
ECT), harus didapatkan foto rontgen torakolumbal. Pada kasus dugaan penyakit
cranial dan intracranial, elektroensefalogram (EEG) dan atauskan tomografi
komputasi kepala merupakan hal yang sesuai.
c. Sebelum prosedur ini pasien harus dievaluasi oleh seorang anastesis atau dokter
yang berpengalaman dalam penggunaan anesthesia, untuk mengevaluasi
sepenuhnya resiko anesthesia dan kemungkinan interaksi obat untuk setiap
individu. Pada hakekatnya pasien harus bebas litium, karena litium meningkatkan
sekuele susunan saraf pusat dari ECT dan memperpanjang aksi obat-obatan
neuromuskuler. Beberapa ahli menduga inhibitor monoamine oksidase (MAO)
harus dihentikan 2 minggu sebelum pengobatan untuk menghindari penyulit
anestetik. Sedative dan anti konvulsan dapat menganggu kemampuan
untuk menimbulkan kejang, dan obat ini harus dikurangi atau dihentikan
secepatnya jika layak secara klinik.
Prosedur Kerja3
a. Pengobatan harus digunakan pada suatu daerah yang dirancang untuk ECT dan
diperlengkapi untuk pemulihan media yang diawasi, termasuk peralatan dan medikasi
untuk resusitasi kardiopulmoner. Elektrokardiogram, tekanan darah, nadi, dan
pernapasan harus dipantau selama prosedur.
9
b. Kepada pasien tidak boleh diberikan sesuatu per oral selama 8-12 jam sebelum setiap
pengobatan, dan segera setalah prosedur, staf harus berusaha agar pasien sepenuhnya
mengosongkan rectum dan kandung kemihnya.
c. Untuk mencegah bradikardia terkait pengobatan dan untuk memperkecil sekresi,
seringkali diberikan obat antikolinergik (0,6 hingga 1,2 mg atropine atau 0,2-0,4 mg
glikopirolat) secara intramuskuler atau subkutan dalam waktu 30 menit.
d. Akses venosa perifer harus dimulai dan dipertahankan hingga pasien pulih
sepenuhnya. Tepat sebelum memulai pengobatan harus dilakukan pemeriksaan gigi,
untuk melepaskan semua perlengkapan gigi atau untuk mencatat adanya gigi yang
longgar atau gompel.
e. Anesthesia ringan untuk memperkecil efek samping yang berlawanan dari anestesi
maupun kecenderungan obat-obatan yang biasa digunakan untuk meningkatkan
ambang kejang (dan dengan demikian memerlukan intensitas stimulasi listrik yang
lebih tinggi). Anestetik yang biasa digunakan adalah metoheksital (0,5-1,0 mg/kg)
atau tiopental (3 mg/kg). kadang-kadang etomidat (0,15-0,30 mg/kg) atau malah
digunakan ketamin intramuskuler (6-10 mg/kg). Pada pasien harus diberi ventilasi
melalui masker dengan oksigen 100 % sejak mulai timbul anestesi hingga pulihnya
pernapasan spontan yang adekuat.
f. Setelah timbul efek anestetik, diberi perelaksasi otot suksinilkolin (0,5-1,5mg/kg).
tujuannya adalah relaksasi cukup untuk menghentikan sebagian besar tetapi tidak
seluruh pergerakan iktal tubuh, kecuali pada beberapa kasus penyakit mukuloskeletal
atau penyakit jantung dimana diperlukan relaksasi otot total.
Kerja suksinilkolin, penyekat depolarisasi, ditandai dengan fasikulasi otot yang
bergerak secara rostrokaudal. Jika hal ini hilang, maka telah terjadi relaksasi
maksimal. Relaksasi juga harus dinilai dengan suatu coretan pada kaki pasien dengan
cara seperti untuk menimbulkan tanda babinski. Pada relaksasi otot minimal, tidak
akan terjadi respon plantar. Stimulator saraf dapat digunakan sebagai metode
alternatif untuk menguji relaksasi otot.
g. Pemantauan kejang dapat dicapai melalui teknik EEG dan atau melalui teknik
“manset”. Dengan hal ini, suatu manset tensimeter ditempatkan pada lengan atau
10
tungkai pasien dan inflasi hingga tekanan yang lebih besar daripada sistolik sebelum
menyuntikkan suksinilkolin. Hal ini memungkinkan terjadinya gerakan konvulsif
tidak termodifikasi dari ekstremitas tersebut dan ditentukan waktunya.
Penempatan Elektroda3
Terdapat banyak alternative untuk penempatan elektroda. Lead harus dikenalkan
dengan gel penghantar, pada kulit kepala yang bersih. Pada ECT bilateral, kedua electrode
dapat ditempatkan secara bifrontotemporal, dengan masing-masing sekitar 2 inci diatas titik
tengah garis yang ditarik dari meatus akustikus eksternus ke sudut lateral mata. Pada ECT
unilateral, kedua electrode ditempatkan diatas hemisferum non dominan. Satu ditempatkan
diatas areafrontotemporal, seperti untuk ECT bilateral, sementara yang lain biasanya
ditempatkan pada kulit kepala sentroparietal nondominan, tepat lateral dari vertek garis
tengah. Jarak antara titik tengah dua electrode sekitar 4,5 inci. Yang bertangan tidak kidal
sangat berkorelasi dengan dominan hemiferik kiri.
Stimulus Listrik dan Kejang
Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan kemungkinan
sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang anatar 25-60 detik dengan
menggunakan jumlah energy listrik terkecil. Sejumlah peralatan ECT memungkinkan
penentuan energy stimulus sebenarnya, dan nilai ini harus dipertahankan serendah mungkin.
Kejang yang lebih besar dari 60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang
supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya. Jika tidak terjadi kejang,
stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih
tinggi. Pada kejang yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali. Jika
hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus ditingkatkan,
dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk menimbulkan kejang yang
adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri. Karena keadaan refrakter terhadap kejang
berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik
sebelum mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.
Jumlah dan Jarak Pengobatan ECT
Jumlah pengobatan dalam suatu rancangan bervariasi dan harus ditentukan
berdasarkan respon klinis. Keputusan untuk mengehentikan rancangan ECT biasanya
11
didasarkan atas pencapaian respon maksimal atau tidak adanya perbaikan bermakna setelah
sejumlah pengobatan tertentu. Enam sampai dua belas kali pengobatan biasanya efektif,
walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan 20-25 pengobatan.2
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien dengan
gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental seriuslainnya. Terapi
Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat dimana
pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-
klonik umum. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada
tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari
katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.
Indikasi Primer ECT yaitu gangguan depresi mayor, mania, skizofrenia, sedangkan indikasi
sekunder ECT yaitu katatonia, penyakit parkinson, sindrom neuroleptik maligna dan
delirium.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku, Psikiatri
Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara.
2. Maramis, Willy F dan Albert Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Airlangga University Press.
3. Electroconvulsive Therapy (ECT), Pridmore S. Download of Psychiatry, Chapter 28.
Last modified: April, 2013. Diakses melalui: http://eprints.utas.edu.au/287/
4. Donahue, Anne B. Electroconvulsive Therapy And Memory Loss, Vermont, USA.
Diakses melalui: retina.anatomy.upenn.edu/pdfiles/5524.pdf
5. Irving M. Reti, M.B.B.S. Electroconvulsive Therapy Today. In-Depth Report.
Diakses melalui: www.hopkinsmedicine.org/.../DepBulletin407
14