ekonomi indonesia

Upload: ado-uchen

Post on 10-Jul-2015

114 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SBY Asyik, Soeharto Lebih Asyik Lagi.Penilaian Pembac Jumat, 20 May 2011 Judul bombastis itu sengaja disarikan dari berita-berita terhangat yang bersimpang-siur di media massa sejak Senin (16/5) silam. Pangkalnya adalah hasil survei tentang "Evaluasi Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono" yang dilakukan Indo Barometer terhadap 1.200 WNI di 33 Provinsi di Indonesia pada 25 April s/d 4 Mei 2011. Disimpulkan, bahwa pamor pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kian meredup. "Tingkat kepuasan terhadap SBY-Boediono di bawah 50%. Ini lampu kuning," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, dalam jumpa pers di Hotel Atlet Century, Senayan, Minggu (15/5). Survei itu juga menyatakan, hanya 36,1% masyarakat yang puas terhadap kepemimpinan Wakil Presiden Boediono. Ketidakpuasan itu, tambah Qodari, karena masalah ekonomi, pengangguran yang tetap banyak, dan kurangnya lapangan kerja. Pula soal hukum; khususnya masalah pemberantasan korupsi, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei 1998 yang tak kunjung usai. "Dari survei itu, 28,2% responden menilai keadaan saat ini lebih buruk daripada masa Orde Baru; 27,2% menunjukkan keadaan sama saja; dan hanya 22,8% yang menyatakan reformasi masih lebih baik dari Orde Baru," lanjutnya. Yang, sumpah, bikin banyak orang tercengang-cengang, hasil survei tersebut ternyata memunculkan nama Soeharto sebagai presiden favorit, dengan perolehan 36,5% -- sementara SBY hanya 20,9%, Soekarno bahkan cuma 9,8%. Maka, dengan angka setinggi itu, para responden "membaptis" pula Soeharto sebagai presiden paling baik. Wayooo....

komentar.....Defri, Moderator Electron Berry "Memang pamor SBY menurun. Hal ini dikarenakan saat dia berkuasa, kondisi perekonomian sedang tidak baik. Itu diperburuk karena SBY tidak melakukan gebrakan apa-apa ketika berkuasa. "Di zaman Soeharto, perekonomian cukup bagus, terutama dalam pertanian. Saat itu kita mengalami surplus padi. Tidak hanya itu. Di saat Soeharto berkuasa, negara kita sangat aman. "Saya percaya dengan hasil survei tersebut. Saya juga sering bertanya kepada teman-teman mengenai hal ini, dan mereka mengatakan bahwa memang lebih enak hidup di zaman Soeharto. "Jika SBY ingin pamornya naik, dia harus memikirkan rakyat kecil. Jangan hanya memikirkan bagaimana cara meningkatkan fasilitas para pejabat saja." Ahmad Ikhwanul Muslimin, Anggota Akademi Samali "Di zaman Soeharto, perekonomian negara kita sangat bagus. Namun, perlu diketahui juga, saat itu kita tidak bisa bebas berbicara. Hak berpolitik juga dibatasi. Jadi, memang ada plus dan minusnya.

"Saya tidak 100% percaya dengan hasil survei tersebut. Apalagi jumlah respondennya hanya 1.200 orang. Itu tentu belum mencerminkan suara masyarakat Indonesia. Siapa tahu di luar sana juga banyak orang yang tidak menyukai rezim Soeharto. "Menurut saya, baik di era Soeharto ataupun SBY sama saja. Mereka berkerja dengan baik atau tidak, nggak akan berpengaruh terhadap saya. Saya maju atau tidak, bukan karena mereka berdua." Chyntia Angreini, Anggota KOBA "Biar pamor SBY naik lagi, SBY harus memberantas kemiskinan dan menyiapkan lapangan pekerjaan yang banyak. Sebab, kegagalan SBY dari kedua faktor tersebut. Lapangan pekerjaan sulit dicari dan pengangguran bertambah, sehingga tidak ada perubahan berarti. "Sementara keberhasilan Soeharto, antara lain, pembangunan lebih dominan, swasembada beras berhasil, dan Soeharto sering ke pelosok daerah-daerah untuk memakmurkan petani. "Jadi, kenyataannya, di masa kepemimpinan Soeharto memang kita lebih sejahtera dan makmur, lantaran pemerintahannya 'bertangan besi'. Kalau sekarang, Pemerintah kurang tegas dan kebablasan. Cari uang juga susah. Beda di zaman Soeharto yang mudah untuk mencari uang dan kerja. "Tapi, proses demokrasi di zaman SBY lebih bagus. Aspirasi rakyat didengar, dan orang bisa menyampaikan pendapat. Sementara di zaman Soeharto, tidak bisa." Kirana, Penanggungjawab Komunitas Sepeda Kaskus "Hasil survei itu bisa jadi benar, karena banyak orang yang tidak puas (terhadap SBY). Hasil survei itu juga valid, lantaran diambil dari berbagai tempat. "Saya merasakan zaman Soeharto lebih baik ketimbang sekarang, karena masa itu semua serba satu komando. Yang atas bilang A, di bawah juga A. "Tapi, demokrasi di masa SBY lebih bebas, namun tidak bertanggungjawab dan terlalu berlebihan. Mental orang Indonesia belum bisa dikasih kebebasan lantaran tidak kuat, dan pendidikan mereka lemah. "Memang banyak yang menyatakan masa Soeharto lebih makmur dan sejahtera. Keberhasilan Soeharto bisa dilihat dari swasembada beras, dan mewujudkan program lima tahapan pembangunan. "Kegagalan SBY adalah kurang tegas, dan demokrasi kebablasan. Jika ingin naik pamor dan masyarakat puas, SBY harus membuat sebuah terobosan, dan jangan melakukan sesuatu yang sama. Presiden juga harus tegas dan bisa dipercaya, serta satu komando. Bilang A, ya, harus A." Andy Andriano, Ketua Motobebas Community "Survei itu sudah valid. Karena kalau mau ngomong, sebenarnya banyak rakyat Indonesia yang sudah tidak senang dengan kepemimpinan SBY. Lihat saja, harga sembako mahal, harga BBM juga naik. "Walaupun Soeharto memimpin dengan cara ditaktor, tapi semua kebijakan bisa dikontrol dengan baik. Selain itu, Soeharto juga punya hati nurani untuk membuat Indonesia berada di posisi yang baik terhadap negara lain.

"Soeharto punya program transmigrasi, sehingga jumlah penduduk merata antara pusat dan daerah. Selain itu, ketahanan pangan juga diperhatikan sekali, sehingga tidak ada rakyat yang kelaparan. "SBY sendiri juga berjasa, karena membuat ekonomi rakyat Indonesia meningkat. Kalau dulu sepeda motor jadi barang mewah, sekarang anak-anak SMA sudah bisa memiliki sepeda motor. "Tapi, dalam kepemimpinan SBY, semuanya serba terpusat di Jakarta, sehingga membuat orang-orang daerah datang ke Jakarta. Lima tahun saja kondisi jalan semakin rapat. Kebijakan media massa juga tidak mendidik, karena hanya memberikan mimpi, sehingga orang daerah datang ke Jakarta. "Agar pamornya kembali naik, SBY dalam waktu dekat harus membuat Jakarta sebagai baromoter daerah untuk membatasi perizinan kendaraaan supaya tidak ada lagi kemacetan. Selain itu, daerah juga perlu dibangun, sehingga pembangunan merata dan tidak ada urbanisasi ke Jakarta." Teguh Prasetyo Budi, Anggota Depok Reptile Amphibi Community (DERIC) "Survei yang dilakukan Indo Barometer tidak sebanding jika mengukur jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250 juta. Soeharto lebih populer karena sudah memimpin selama lima periode, sementara SBY baru memimpin dua periode. "Dalam mengambil keputusan, SBY kurang tegas dan tepat. Sementara Soeharto bisa bertindak tegas. Kalau ada yang membuat rakyat tidak nyaman, langsung dibabat habis. "Di zaman Soeharto hampir tidak ada huru-hara dan kerusuhan, karena langsung disikat. Selain itu, pada zaman Soeharto barang-barang juga murah. "Agar pamor SBY naik, dia harus membuat kebijakan yang membikin rakyat tidak sengsara." Andre Pranaza Hikmawan Damanik, Ketua Onthel Die Oud Batavia "Secara manajerial kenegaraan, Soeharto lebih baik dibanding SBY. Karena, pada zaman Soeharto, situasi negara bisa kondusif. Rakyat tidak susah cari makan, harga sembako juga tidak melambung tinggi. Selain itu Indonesia juga bisa swasembada beras. Artinya, 1.200 responden yang disurvei itu benar-benar menyintai dan ingin era Orde Baru kembali lagi. "Nah, negara demokrasi dan reformasi yang diusung SBY, sebetulnya tidak nyata dan tidak terlihat. Buktinya, anggota dewan bisa tertidur pulas ketika mengikuti sidang di DPR. Sementara, pada zaman Soeharto, semua anggota dewan mendengarkan dan menyimak sidang. Jadi, sah-sah saja kalau SBY kurang populer dibanding Soeharto. "Saya merasa senang pada zaman Soeharto. Karena, walaupun Indonesia telah dijajah 350 tahun, tapi bangsa ini bisa terbentuk dengan baik. Ada dua unsur yang dihidupkan Soeharto, yakni nasionalime dan ketahanan pangan. "Soeharto punya orang-orang yang kapabel untuk membuat rakyat Indonesia sejahtera. Jadi, walaupun banyak orang menjelek-jelekkan, Soeharto tetap seorang pejuang dan saksi sejarah bangsa ini. "Sedangkan SBY tidak punya histori pejuang. Dan, rakyat yang sibuk mencari uang untuk makan, jadi pesimis dengan SBY."

Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia "Ada dua catatan atas hasil survei tersebut. Catatan pertama, terkait profil responden yang diminta pendapat mengenai perbandingan orde-orde pemerintahan itu. "Responden yang ada saat ini, sebagian besar merasakan Orde Baru; dan hanya sebagian kecil merasakan Orde Lama. Kemudian mereka merasakan sebentar Pemerintahan BJ Habibie, Gus Dur, lalu Megawati, dan SBY. Ini penting, karena mereka menggunakan memori selektif. "Akibatnya, perbandingan orde-orde itu tidak setara, karena ada Presiden yang menjabat sebentar, ada yang lama. Kemudian, masing-masing Presiden memiliki kompleksitas masalah mereka sendiri sesuai zamannya. "Seharusnya perbandingan baru bisa dilakukan berdasarkan survei yang digelar di masing-masing orde. Amerika Serikat melakukan itu setiap awal masa jabatan Presiden baru. Itulah yang kemudian menjadi perbandingan antara satu presiden dengan presiden lain. "Namun, tentu Indonesia belum ada seperti itu, karena tradisi survei sendiri baru muncul setelah reformasi. Di masa Orde Baru, mana mungkin melakukan survei politik seperti ini? "Catatan kedua adalah hasil survei yang menemukan responden yang bermukim di kota (47%) lebih tinggi prevalensinya mendukung Orde Baru daripada respoden di pedesaan (37%). Temuan ini janggal, karena seharusnya responden perkotaan lebih baik tingkat pendidikan dan akses informasinya, sehingga bisa lebih jernih melihat keadaan. "Temuan Indo Barometer ini agak berbeda dengan temuan-temuan lembaga survei lain. Biasanya tingkat pendidikan (responden) yang lebih baik, akan punya pemahaman yang juga lebih baik." Ramadhan Pohan, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat "Penurunan popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono tak akan menjadi tren yang berkelanjutan. Survei itu kan ada konteks ruang dan waktu. Nanti akan rebound lagi, dan itu biasa. "Popularitas Yudhoyono masih tergolong tinggi. Bandingkan hal tersebut dengan mantan Presiden Amerika Serikat George W Bush, yang popularitasnya sempat merosot hingga 42% pada periode kedua kepemimpinannya. "Partai Demokrat senantiasa mengapresiasi jajak pendapat. Apalagi kalau dilakukan jujur oleh lembaga yang kredibel. Walaupun ada unsur menyakitkan, manfaatnya lebih besar. Kita sikapi positif. Kita tidak alergi terhadap survei. "Sebenarnya banyak pencapaian luar biasa selama kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Seperti cadangan devisa tertinggi sepanjang sejarah, penurunan kemiskinan, kenaikan produk nasional bruto, dan sebagainya. Namun, hal tersebut kurang tersosialisasi dengan baik oleh kementerian yang ada, sehingga masyarakat tidak mengetahuinya." Arif Budimanta, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan "Hasil survei itu menunjukkan kegagalan pemerintahan saat ini dalam mengelola negara. Kegagalan itulah yang kemudian memunculkan romantisme masa lalu.

Pemerintah terdeligitimasi, karena tingkat kepercayaan semakin menurun. "Bisa dipahami apabila masyarakat Indonesia menyatakan kondisi Indonesia di era Presiden Soeharto, khususnya dari segi ekonomi, lebih baik. Karena, dalam konteks ekonomi mikro, hampir tidak ada perubahan. Indikatornya adalah pelayanan publik yang masih buruk. "Hasil survei ini masukan berharga bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Sebab, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja keduanya terus merosot. Harus jadi cambuk." Ahmad Syafi'i Maarif, Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah "Citra kepemimpinan Pemerintah Orde Baru lebih bagus dari kepemimpinan SBY. Juga lebih efektif. Terlepas Soeharto banyak dimensi buruknya, Soeharto punya ketegasan dan berani mengambil keputusan. "Namun, harus diakui, Pemerintahan Orde Baru juga banyak sisi buruknya. Salah satunya, mematikan kemerdekaan dan demokrasi. "Pemerintah di bawah komando SBY tidak tegas, dan tidak berani mengambil keputusan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang melanda bangsa ini. Kepemimpinan SBY hari ini setengah gagal. "Jadi, kalau dari segi kebebasan, lebih baik sekarang. Namun, dari sisi kepemimpinan, walaupun otoriter, lebih baik kepemimpinan Orde Baru." Julian Aldrin Pasha, Juru bicara Presiden "Hasil survei tersebut cukup mengejutkan. Dari mana, atau parameter apa dan siapa publik yang menjadi responden? "Responden survei sangat membingungkan, karena tidak dicantumkan secara detail apa yang menjadi subyek pertanyaan dan parameter yang lebih lengkap. "Masa Reformasi tidak bisa dibandingkan dengan Orde Baru, karena situasi dan kondisi saat ini dengan 13 tahun lalu jauh berbeda. Situasinya berbeda, dunia internasional pun berbeda. "Permasalahan yang ada di masa orde baru lebih kompleks ketimbang saat ini, sehingga perlu deskripsi lebih jelas terkait survei tersebut. Jadi, saya tidak mau terlalu naif dan menyederhanakan situasi. "Pemerintahan SBY saat ini masih belum sempurna. Namun, apabila dianggap gagal, hal itu sulit untuk dipahami. Itu benar-benar kekeliruan yang berlebihan." Achmad Mubarok, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat "Media massa ikut andil dalam membentuk hasil survei itu, karena menentukan persepsi publik. Jadi, survei seperti ini bukan cuma menjadi pelajaran untuk Pemerintah, tapi juga untuk media. "Selama ini media lebih banyak melaporkan kegagalan Pemerintah dibanding keberhasilan-keberhasilannya. Mau tak mau, hasil pemberitaan berbagai media itulah yang menjadi konsumsi publik sehari-hari.

"Persepsi publik kan dibangun oleh media. Artinya, media juga harus lebih berimbang." Heru Lelono, Staf Khusus Presiden Bidang Informasi dan Humas "Sebuah survei pasti punya tujuan. Survei yang dilakukan Indo Barometer kali ini pasti juga punya tujuan. "Tujuan survei itu belum jelas, karena ada beberapa pertanyaan yang belum bisa dijawab. Pertama, apa relevansinya memperbandingkan saat ini dengan masa Orde Baru. Karena semua orang tahu, situasi saat ini jauh lebih baik dari dahulu. "Kedua, kalau melakukan perbandingan dengan masa Orde Baru, selayaknya respondennya sudah dewasa, dan mampu menilai keadaan masa Orde Baru tersebut. "Ketiga, hampir pasti tidak bisa diperbandingkan secara langsung keadaan saat ini dan Orde Baru. Karena sekarang kehidupan sudah sedemikian demokratis, tidak lagi otoritarian dan main bungkam seperti masa Orde Baru. "Hari ini semua rakyat punya hak bicara dan berpendapat. Kata stabilitas hari ini dan masa Orde Baru berbeda. Stabilitas hari ini bisa terjadi kalau sistem berjalan dengan baik. Namun, pada masa Orde Baru, keadaan tampak stabil karena rakyat apatis dan takut berpendapat." Alissa Qutrunnada Munawaroh Rahman Wahid, Putri KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) "Saya bukan mempertanyakan hasil survei itu, melainkan metode yang digunakan. Sekarang bisa dibayangkan, dengan sample 1.200 responden dari 33 Provinsi, itu tidak mewakili rakyat Indonesia yang 250 juta lebih. "Kesimpulannya, hasilnya bukan generalisasi dari obyek survei. Selain itu, kesimpulan tersebut bukan manifestasi dari bangsa Indonesia. Desain penelitiannya seperti apa, pertanyaannya seperti apa, teruji secara statistik atau tidak. "Indonesia ini terdiri dengan beragam kondisi masyarakat. Setiap bangsa ada komunitas, dan komunitas tersebut terdiri dari beberapa sub komunitas. "Membandingkan Presiden Soeharto dengan Presiden SBY jadinya sangat aneh. Sebab, keduanya dalam memerintah memiliki geopolitik yang berbeda. "Jadi, survei ini seperti membunyikan kondisi gelas yang setengah isi dan setengah kosong. Tergantung siapa yang melihat." KH Muttawakkil Alallah, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur "Tidak menutup kemungkinan survei itu bernilai politik, karena menyangkut jabatan politik. "Antara Presiden Soeharto dan SBY, tentunya ada beberapa yang berbeda. Dari sisi ketegasan, misalnya, Presiden Soeharto memiliki kelebihan dibanding SBY. "Di sisi lain, mungkin lebih baik SBY. Seperti dalam hal ekonomi. Jadi, tergantung dari mana sudut pandangnya.

"Dari sisi produktivitas Badan Usaha Milik Negera (BUMN), masih lebih baik di era SBY. Kalau dulu, pengelolaan BUMN masih terselubung dengan berbagai kepentingan-kepentingan politik. Tapi, tidak bisa dipungkiri jasa Pak Harto untuk bangsa ini cukup besar." Hermawan Sulistyo, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia "Seharusnya survei itu dilakukan terhadap responden yang mengalami masa pemerintahan Soeharto. Kalau respondennya berusia 17-18 tahun, ya, sama saja. Seharusnya tanyakan kepada yang di atas 50 tahun. Usia 50 tahun awal pun enggak semua tahu soal zaman Soeharto. 50 tahun ke atas seharusnya. "Kita-kita ini yang sudah mengalami di zaman (Soeharto) itu. Tembok punya kuping. Habis ngomong gini, besoknya kita ditangkap, digebukin. Kalau yang (usia) 17 tahun ke atas enggak merasakan yang seperti itu. "Sejak zaman Soeharto, Indonesia justru seperti lomba lari mundur karena korupsi. Apalagi para koruptor era Soeharto sampai saat ini masih bebas dan mendekati partai-partai politik. Saya tidak mau menyebutkan namanya, tapi mereka masih ada sampai sekarang. Dulunya pada keluar negeri setelah melakukan korupsi, sekarang kembali lagi. Yang dulu konglomerat-konglomerat zaman Soeharto, tetap kaya." Arbi Sanit, Pengamat Politik dari Universitas Indonesia "Saya kira (survey) itu menyesatkan. Tidak bisa dikatakan masyarakat Indonesia begitu. Sebab, masyarakat Indonesia ini kan tidak homogen. Harus jelas dong berapa persen kalangan elite yang merindukan, dan berapa persen rakyat biasa yang merindukan. "Kita beda dengan masyarakat di Barat dan Eropa. Di sana semua cenderung homogen. Kita tidak. Baik dari tingkat pengetahuan, pendidikan, dan ekonomi berbeda-beda. Jadi tidak bisa memberikan penilaian komplit. "Survei itu gegabah jika dikatakan sebagian besar masyarakat Indonesia merindukan Orba, dan menganggapnya lebih baik dari saat ini. Itu kesalahan metodologi. "Bisa jadi (survei) ini dibiayai oleh mereka (pihak-pihak yang sengaja mengatur survei itu, sehingga Orba dianggap masih lebih baik) untuk kepentingan tertentu. "Ya, siapa tahu. Ini seperti pesanan saja. Banyak bias; baik metodologi, politik, dan lainnya." Jimly Assiddiqie, Mantan Ketua Anggota Dewan Pertimbangan Presiden "Saya kira kita harus terima apa adanya data Indo Barometer itu, karena ini menunjukkan kinerja dan persepsi publik pada beberapa kurun waktu terakhir reformasi. Selalu ada siklus, di mana orang tidak puas dengan keadaan sekarang, lalu ingin kembali ke romantisme. "Tapi, tidak tepat juga membandingkan. Kita harus obyektif dalam menyikapi hasil penelitian. Justru itu harus dijadikan masukan. Saatnya kita konsolidasi. Yang kurang, kita tuntaskan. Yang lebih, kita kurangi. Misalkan liberalisasi terjadi, kita menyaksikan semua kelompok ingin bebas. Harus diperkuat. Walaupun dianggap setback, harus ditertibkan. Ini yang namanya konsolidasi. "Saat ini aturan sistem belum mantap. Para pemimpin kita cenderung nge-pop. Akibatnya, orang tidak

cukup berani melakukan pembenahan yang tidak populer."

Mengkaji Pertanian Era Soeharto Oleh Purbayu Budi Santosa PRESIDEN Soeharto telah memimpin Republik Indonesia (RI) selama 32 tahun dan telah mangkat pada Minggu, 27 Januari 2008. Sebagai mantan presiden yang paling lama memimpin Indonesia, kebesaran namanya sekaligus kekurangannya harus kita sadari dan pelajari bersama. Pembangunan bidang ekonomi mendapat prioritas utama dalam era Soeharto. Pembangunan ekonomi sangatlah luas, salah satunya bidang pertanian. Bidang pertanian yang mayoritas dilaksanakan di daerah pedesaan, cenderung menyangkut kepentingan kebanyakan lapisan masyarakat kalangan bawah. Pembangunan pertanian meliputi bidang yang sangat luas, yaitu pertanian rakyat, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di Indonesia banyak mengadopsi pemikirannya AT Mosher (1965), yakni keberhasilan pembangunan pertanian perlu syaratsyarat mutlak dan sarana pelancar. Syarat-syarat mutlak itu ada lima, yaitu adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani, teknologi yang senantiasa berkembang, tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, adanya perangsang produksi bagi petani, dan tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu. Adapun sarana pelancar meliputi pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegiatan gotong royong petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan perencanaan nasional pembangunan pertanian. Keberhasilan pembangunan pertanian di era Soeharto didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Kegiatan penyuluhan pertanian begitu dominannya dengan mengaktifkan petugas penyuluh lapangan (PPL) yang membimbing berbagai kelompok-kelompok tani, maupun media masa, baik koran, radio, maupun ntelevisi. Bahkan Presiden Soeharto tidak jarang turba (turun ke bawah) dengan mewawancarai berbagai kelompok tani; dan suatu sumber menyatakan Pak Harto secara acak akan menghubungi pimpinan daerah menanyakan tentang kondisi pertaniannya. Boleh dikatakan pada zaman Orde Baru (Orba) sandang dan pangan tersedia secara melimpah dan tersebar secara merata ke seluruh pelosok Tanah Air. Tidak ada orang yang kesulitan makan karena harga beras yang mahal dan langka, tidak ada kesulitan mencari kedelai, tepung terigu, minyak goreng, maupun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Kondisi paling prestisius yang dicapai adalah terwujudnya swasembada pangan pada 1985. Pencapaian swasembada pangan tersebut menghantarkan Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia. Bahkan yang perlu dicatat, Indonesia pernah dijadikan contoh sukses (role model) bagi negara sedang berkembang lainnya di Dunia Ketiga, untuk mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kekurangan pangan. Kekeliruan Dengan kekuasaan yang dipegang oleh Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun, sebenarnya Indonesia dalam artian kekayaan sumber daya alam (SDA) begitu melimpah. Karena fokus presiden pertama kepada bidang politik, maka kondisi perekonomian pada era Soekarno masih didominasi oleh pertanian dalam artian sumbangannya kepada pembentukan pendapatan nasional dan tenaga kerja.

Meskipun pembangunan pertanian dalam era Soeharto membawa hasil yang cukup baik, akan tetapi terjadi kelemahan yang sangat mendasar. Pembangunan pertanian ternyata kalah jauh dibandingkan dengan sektor industri, dalam artian selama masa pemerintahan Soeharto terjadi perubahan struktur perekonomian. Sumbangan terbesar dalam pembentukan pendapatan nasional berasal dari industri manufaktur, akan tetapi tenaga kerja tetap berjubel pada sektor pertanian. Keadaan tersebut mempunyai makna bahwa kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah terlalu bias kepada sektor industri dibandingkan pertanian. Belum lagi industri yang dilakukan bertumpu kepada teknologi tinggi dan kebanyakan berbahan baku dari luar negeri. Akibatnya, industri yang terealisasi bersifat padat modal dan minim menyerap tenaga kerja. Tumpuan pembangunan yang lebih condong kepada sektor industri itu mengakibatkan nilai tukar komoditas pertanian dari tahun ke tahun makin tertinggal dibandingkan dengan komoditas sektor industri. Para pemuda memandang inferior kepada bidang usaha pertanian, dan banyak perguruan tinggi yang mempunyai konsentrasi bidang pertanian kesulitan mencari mahasiswa. Pengkonversian lahan pertanian untuk industri maupun derivatnya berlangsung masif, sementara itu masih berjubelnya tenaga kerja di sektor pertanian menjadikan makin lama makin banyaknya petani gurem dan yang tidak berlahan. Ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan lahan makin lama makin senjang adanya. Meskipun pada zaman Soeharto penyediaan sarana dan prasarana pertanian telah menjangkau seluruh wilayah Indonesia, akan tetapi bentuk struktur pasar persaingan tidak sempurna sangatlah mewarnai. Misal, pabrik pupuk dan pestisida yang sedikit, peran Bulog sebagai lembaga penyangga pangan yang baik tetapi penuh rente ekonomi, serta terdapat kelembagaan pertanian lainnya yang jalannya tidak optimal. Keadaan tersebut bisa berjalan dengan pengontrolan ketat, dan sebenarnya itu merupakan bom waktu ketika keran kebebasan dibuka. Revisi Para pemimpin Indonesia sesudah era Soeharto hendaknya bisa memetik pelajaran dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan pertanian. Pertama, masalah urusan pangan dan kebutuhan pokok merupakan prioritas paling utama yang harus disediakan. Pelepasan kepada mekanisme pasar yang merupakan saran dari lembaga resmi dunia merupakan jebakan yang menyesatkan, karena negara yang katanya berbasis kepada pasar bebas masih melindungi sektor pertanian, termasuk pangan dan kebutuhan pokok dengan kebijakan subsidi dan proteksinya. Kedua, pembangunan industri sudah seharusnya memakai sumber daya lokal, termasuk pertanian di dalamnya. Agroindustri pedesaan yang berbasis kerakyatan merupakan pilihan utama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Ketiga, ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan lahan memerlukan kebijakan penataan lahan (land reform). Kebijakan itu termasuk di dalamnya menyangkut penetapan lahan abadi untuk pertanian, mengikutsertakan pemilik lahan dalam saham pembangunan suatu industri, maupun kebijakan penataan luas lahan lainnya. Keempat, struktur pasar bidang pertanian yang bukan persaingan sempurna perlu penataan dengan peraturan yang ketat. Penegakan hukum untuk perilaku yang mengarah kepada persaingan sehat dan

pemberantasan perburuan rente ekonomi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Kelima, pembangunan sarana dan prasarana seperti penyediaan irigasi, jalan, pasar, pupuk, perkreditan, dan penyuluhan, perlu mendapatkan perhatian yang serius. Kesediaan dana untuk melakukan penelitian dalam bidang pertanian harus disediakan secara memadai. Kiranya dengan mempelajari hal-hal yang positif dalam era pemerintahan Soeharto dan membuang halhal yang negatif dalam kebijakan pertanian, maka masa depan bidang pertanian khususnya bisa terbuka lebar. Kemajuan bidang pertanian itu sangat penting artinya dalam mengatasi masalah Indonesia yang paling mendasar, yaitu pengangguran dan kemiskinan.(68)

Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (Analisis Ekonometri) 2 commentsKemiskinan yang meluas merupakan tantangan terbesar dalam upaya-upaya Pembangunan (UN, International Conference on Population and Development, 1994) Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dibanyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang baguspun menjadi tidak akan berarti bagi masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan penurunan yang tajam dalam pendistribusian atau pemerataannya. Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2 milyar penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan lebih dari 2,8 milyar penduduk dunia hanya berpenghasilan kurang dari dua dollar perharinya. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum internasional. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan perkapita di suatu negara dan juga tidak memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara. Terlebih bagi Indonesia, sebagai sebuah negara berkembang, masalah kemiskinan adalah masalah yang sangat penting dan pokok dalam upaya pembangunannya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 38,4 juta jiwa atau 18,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Masyarakat miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, tingkat buta huruf yang tinggi, lingkungan yang buruk dan ketiadaan akses infrastruktur maupun pelayanan publik yang memadai. Daerah kantong-kantong kemiskinan tersebut menyebar diseluruh wilayah Indonesia dari dusun-dusun di dataran tinggi, masyarakat tepian hutan, desa-desa kecil yang miskin, masyarakat nelayan ataupuin daerah-daerah kumuh di perkotaan.

Sebelum masa krisis pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu model pembangunan yang diakui karena berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS, dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40% dari total penduduk menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11%. Keberhasilan menurunkan tingkat kemiskinan tersebut adalah hasil dari pembangunan yang menyeluruh yang mencakup bidang pertanian, pendidikan, kesehatan termasuk KB serta prasarana pendukungnya. Salah satu akar permasalahan kemiskinan di Indonesia yakni tingginya disparitas antar daerah akibat tidak meratanya dsistribusi pendapatan, sehingga kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin di Indonesia semakin melebar. Misalnya saja tingkat kemiskinan anatara Nusa Tenggara Timur dan DKI Jakarta atau Bali, disparitas pendapatan daerah sangat besar dan tidak berubah urutan tingkat kemiskinannya dari tahun 1999-2002. Pemerintah sendiri selalu mencanangkan upaya penanggulangan kemiskinan dari tahun ketahun, namun jumlah penduduk miskin Indonesia tidak juga mengalami penurunan yang signifikan, walaupun data di BPS menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskn, namun secara kualitatif belum menampakkan dampak perubahan yang nyata malahan kondisinya semakin memprihatinkan tiap tahunnya. Dengan terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin kembali membengkak dan kondisi tersebut diikuti pula dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang telah diambil pemerintah berfokus pada: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui upaya padat karya, perdagangan ekspor serta pengembangan UMKM, (2) peningkatan akses terhadap kebutuhan dasar sepereti pendidikan dan kesehatan (KB, kesejahteraan ibu, infrastruktur dasar , pangan dan gizi), (3) pemberdayaan masyarakat lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang bertujuan untuk membuka kesempatan berpartisipasi bagi masyarakat miskin dalam proses pembangunan dan meningkatkan peluang dan posisi tawar masyarakat miskin, serta (4) perbaikan sistem bantuan dan jaminan sosial lewat Program Keluarga Harapan (PKH). Beberapa proyek pemberdayaan masyarakat antara lain P2KP, PPK, CERD, SPADA, PEMP, WSSLIC, dan P2MPD. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia perlu diketahui sebenarnya faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) di Indonesia sehingga kedepannya dapat diformulasikan sebuah kebijakan publik yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini dan tidak hanya sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di IndonesiaPada akhir tahun tujuh puluhan orang mengenal istilah stagflation (stagnation and inflation), di mana inflasi terjadi berbarengan dengan stagnasi. Dewasa ini Indonesia menghadapi dua kondisi yang terjadi secara simultan yang sifatnya antagonistis, yakni pertumbuhan ekonomi berlangsung serentak dan kemiskinan. Dari satu segi, kondisi makro ekonomi berada dalam keadaan yang cukup meyakinkan. Tingkat inflasi

relatif cukup terkendali pada tingkat satu digit, import-eksport berjalan cukup baik, tingkat bunga lumayan rendah dan cadangan devisa cukup tinggi untuk dapat menjamin import dalam waktu sedang, investasi cukup tinggi (angka-angkanya boleh dilihat sendiri dalam Laporan BPS, Laporan Bank Indonesia dan Nota Keuangan). Tetapi dari segi mikro, pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Urbanisasi meningkat terutama dari kelompok miskin dan pengemis. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga disemua kota-kota besar seluruh Indonesia. Semua ini menandakan adanya kemiskinan dan sempitnya kesempatan kerja di pedesaan. Dibandingkan dengan banyak negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak rendah. Bahkan ketika krisis keuangan global yang menimpa hampir semua negara, sebagai akibat dari krisis kredit perumahan (prime morgate loans) di Amerika, yang bermula pada tahun 2006 sampai tahun 2009, ekonomi Indonesia tidak mengalami goncangan yang berarti. Kemampuan untuk meredam akibat dari keuangan ini dapat terjadi berkat kebijakan makro ekonomi yang hati-hati dan tepat, di samping kondisi keterbukaan yang memangnya tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Kemampuan Indonesia bertahan terhadap krisis keuangan tersebut menimbulkan keyakinan rakyat pada kemampuan pemerintah SBY Periode I, sehingga dapat memenangkan Pemilihan Umum untuk Priode II. Sayangnya keberhasilan dalam bidang ekonomi pada tataran makro ini tidak mampu menekan tingkat kemiskinan yang sejak lama sudah berlangsung. Selama masa yang panjang, sejak beberapa dekade yang lalu, di Indonesia berlangsung proses pemiskinan desa secara berkelanjutan. Dalam Era Orde Baru dikenal kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas. Sub-sektor industri non migas ini menjadi prioritas utama. Berbagai fasilitas diberikan kepadanya, termasuk hak untuk membayar upah buruh rendah. Upah buruh murah ini memang telah menjadi trade mark Indonesia dalam promosi penarikan modal asing. Asumsi yang dipakai, bahwa dengan upah buruh yang murah, maka harga pokok barang-barang yang diproduksi akan murah. Dengan demikian, produk eksport Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi. Padahal, meskipun harga pokok mempunyai korelasi dengan daya saing, karena barang dapat dijual dengan harga murah, tetapi daya saing suatu barang tidak sekadar ditentukan oleh harga (pokok), tetapi juga oleh kualitas barang, teknik marketing , politik/ diplomasi dan lain-lain. Agar buruh (termasuk PNS) dapat hidup, maka harga bahan makanan harus dapat dipertahankan rendah. Inilah yang menjadi tugas pokok Bulog sejak waktu itu. Jika harga bahan makanan dalam negeri naik, Bulog segera harus mengimpor dari luar negeri. Rendahnya harga bahan makanan yang note bene hasil produksi petani, mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani di daerah pedesaan secara berkelanjutan. Perbedaan dua kondisi yang yang berlangsung secara terus menerus tersebut selama masa yang panjang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk di Indonesia. Hal yang perlu diindahkan adalah, jika ketimpangan pendapatan antar penduduk sudah sangat lebar, akan terdapat kecenderungan mengaburnya pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran dari pembangunan. Artinya, setiap kita melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan per kapita, sulit dirasakan, pada saat yang sama boleh jadi sedang berlangsung proses pemiskinan.

Sebagai contoh dari keadaan ini dapat ditunjukkan dengan angka-angka sederhana sebagai berikut: Jika misalnya, suatu negara berpenduduk 100 juta orang, terdapat 5% penduduk dengan pendapatan rata-rata US$ 300.000 per tahun, sementara 95% lainnya berpendapatan US $ 3000 per tahun (setingkat pendapatan rata-rata Indonesia sekarang). Andaikan, jika golongan penduduk kaya yang 5% itu naik pendapatannya 10% per tahun, sementara golongan menengah ke bawah yang 95% itu mengalami penurunan pendapatan per tahun sebesar 20%, akan terjadi kenaikan pendapatan rata-rata sebesar 5,21%. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana seperti berikut. 1. Total pendaptan semula adalah: a. 5 Juta X US$ 300.000 = US$ 1.500.000 b. 95 Juta X US$ 3.000 = US$ 285.000 Total pendaptan US$ 1.785.000 2. Kalau kemudian terjadi kenaikan pendapatan 10% dari golongan kaya (5%), dan pendaptan golongan miskin turun 20%, maka akan terlihat: a. Total pendapatan penduduk kaya yang 5% menjadi = US$ 1.500.000 + US$ 150.000 = US$ 1.650.000 b. Total pendapatan penduduk menengah dan miskin yang 95% adalah = US$ 285.000 - US$ 57.000 = US$ 228.000. 3. Total pendapatan nasional baru adalah = US$ 1.650.000 + US$ 228.000 = US$ 1.878.000. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar = US$ 1878.000 US$ 1.785.000 = US$ 93.000 atau sama dengan (93.000 / 1.785.00) x 100% = 5,21%. Dengan demikian dapat dipahami mengapa meskipun kita mengalami kenaikan pendapatan per kapita setiap tahun sekitar 5 - 6%, kemiskinan dalam masyarakat makin bertambah. Inilah barangkali yang dapat disebutkan sebagai growth with poverty atau bisa kita singkat sebagai groverty, atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai pertumbuhan dengan kemiskinan atau disingkat sebagai pertumkin. Meskipun contoh tersebut memang dikemukakan secara agak menyolok, tetapi bagaimanapun, inilah yang sedang terjadi di Indonesia dewasa ini. Akibat dari keadaan ini tidak mengherankan, kalau di satu pihak ada yang mengklaim bahwa proses pembangunan nasional berjalan mulus, ditandai dengan kenaikan pendapatan per kapita tiap tahun. Di lain pihak ada yang menuduh, pembangunan ekonomi gagal karena tidak dapat menghilangkan kemiskinan. Singkatnya, yang menjadi masalah adalah melebarnya ketimpangan ekonomi antar penduduk dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan hanya dengan menggunakan indeks gini ratio. Untuk mengatasinya, diperlukan adanya pengamatan yang lebih seksama di lapangan dan kebijakan yang bersifat affirmatif memihak kepada golongan miskin, terutama kepada mereka yang ada di pedesaan. Sumber : Said Zainal Abidin adalah ahli majanemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK. dikutip

dari : bpscommunitynet

Mengkaji Dampak Kemiskinan terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Kasus di IndonesiaMulai: 24 Okt, 2006 12:30 Akhir: 24 Okt, 2006 14:00 Penyelenggara: Thematic Group on Poverty Impact Analysis, Monitoring and Evaluation Presenter: B. Essama-Nssah Pokok Bahasan:Pengentasan kemiskinan telah menjadi tujuan pembangunan yang fundamental sehingga menjadi sebuah alat ukur untuk menilai efektivitas berbagai jenis program pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi instrumen yang sangat berpengaruh dalam penurunan kemiskinan pendapatan (income poverty), sehingga dibutuhkan cara-cara yang tepat dalam mengkaji dampak kemiskinan terhadap pertumbuhan. Tujuan dari seminar ini adalah untuk mengajukan program baru bagi pemberantasan kemiskinan dan membahas aplikasinya pada kasus Indonesia tahun 90-an. Pendekatan awal yang digunakan memasukkan konsep elastisitas ke dalam metode evaluasi dampak sosial untuk mengkaji perbedaan pada kesejahteraan individu dan sosial yang merupakan hasil dari proses pertumbuhan ekonomi. Aplikasinya pada kasus Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan yang dicapai dalam pengentasan kemiskinan pada periode 1993-2002 ternyata masih jauh di bawah angka yang mungkin dapat dicapai jika menggunakan distributional neutrality. Kesimpulan ini meyakini pilihan akan standar kemiskinan diantara anggota kelas yang dapat dipisahkan. Pada periode 1999-2002 kami juga menemukan bahwa terdapat sejumlah kaum miskin yang berhasil mendapatkan keuntungan dari adanya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada periode tersebut, tapi tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh sisanya. Terakhir, pergerakan dari komponen pembelanjaan pada periode yang sama menunjukkan bahwa lemahnya tingkat keberhasilan terutama disebabkan adanya perubahan pada pembelanjaan pangan

Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan & PengangguranJika pada tahun ini angka kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonomi melambat, itu adalah hal yang wajar. Pasalnya ekonomi memperoleh beban berat akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi akhir tahun lalu. Yang aneh justru, mengapa angka pengangguran menurun? Sebagian mungkin telah dijawab oleh Rasyad di sini.

Sumber data: BPS