eklampsia anestesi

Upload: maria-jheny-fulgensia

Post on 07-Jan-2016

62 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

mm

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSPENATALAKSANAAN EKLAMPSIA DI INSTALASI GAWAT DARURAT

Pembimbing:dr. Cut Meliza, Sp.An

Disusun oleh: Ratu Dharojatunnissa Adhyani Dewi090100054 Nathania Vicki Riana100100066 Uli Asri Sihotang 100100224

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SUMATERA UTARARUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN2015KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai eklampsia, terutama mengenai penatalaksanaan awalnya di Instalasi Gawat Darurat. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara, Medan. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Cut Meliza, Sp.An sebagai pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai eklampsia semakin bertambah.Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan.

Medan, 21 Agustus 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiBAB 1PENDAHULUAN11.1.Latar Belakang11.2.Tujuan Penulisan2BAB 2TINJAUAN PUSTAKA32.1.Eklampsia52.1.1. Definisi 5 2.1.2. Epidemiologi72.1.3 Etiologi82.1.4. Parogenesis82.1.5. Patofisiologi92.1.6. Manifestasi Klinis112.1.7. Diagnosis112.1.8. Penatalaksanaan132.1.9. Prognosis172.2.Penatalaksanaan Eklampsia di Instalasi Gawat Darurat18BAB 3LAPORAN KASUS DAN DISKUSI23BAB 4MASALAH DAN PEMBAHASAN 28BAB 5KESIMPULAN31DAFTAR PUSTAKA 32

6

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDi seluruh dunia, hipertensi diestimasi menyebabkan 7,5 juta kematian (12,8% dari seluruh penyebab kematian). Karena pertumbuhan penduduk yang pesat, jumlah penduduk dengan hipertensi tidak terkontrol mencapai 1 miliar orang pada tahun 2008. Data dari WHO pada tahun 2012 menunjukkan prevalensi hipertensi di dunia pada penduduk berusia di atas 25 tahun adalah 29.2% pada pria dan 24.8% pada wanita. Sedangkan prevalensi penderita hipertensi di Asia Tenggara adalah 25.4% pada pria dan 24.2% pada wanita.1

Prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah pada kelompok usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% di mana hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui dirinya menderita hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat anti-hipertensi. Namun data mengenai prevalensi krisis hipertensi di Indonesia belum ada hingga saat ini.2

Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi. Peningkatan atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi hemostasis di dalam tubuh. Diperkirakan 1-5% penderita hipertensi akan mengalami krisis hipertensi pada suatu masa dalam hidupnya. Mayoritas penderita yang datang dengan krisis hipertensi telah memiliki riwayat hipertensi dan bahkan telah mendapat terapi anti-hipertensi. Tekanan darah tidak terkontrol dapat terjadi pada pengobatan yang tidak adekuat, usia lanjut, diabetes tidak terkontrol, hiperlipidemia, gagal jantung, dan nefropati.3

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.4

Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke Instalasi Gawat Darurat adalah pasien krisis hipertensi dan ini mencakup sekitar 3,2% dari keseluruhan pasien yang datang ke IGD. Semua kasus krisis hipertensi ini terbagi lagi menjadi 76% kasus hipertensi urgensi dan 24% sisanya kasus hipertensi emergensi. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1-2% akan berlanjut menjadi krisis hipertensi disertai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke hemoragik mengalami hipertensi krisis.4

1.2 Tujuan Penulisan1. Memahami krisis hipertensi dan penatalaksanaan awal di IGD2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang kedokteran3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departeman Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tekanan Darah2.1.1. Definisi Tekanan DarahTekanan darah adalah tekanan hidrostatik pada sistem arteri yang mendorong darah menuju ke kapiler.5 Tekanan sistolik adalah tekanan maksimum yang ditimbulkan di arteri sewaktu darah didorong masuk ke dalam arteri selama sistol. Tekanan diastolik adalah tekanan minimum di dalam arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh hilir selama diastol.6

2.1.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Tekanan DarahTekanan darah arteri rata-rata adalah gaya pendorong utama agar darah mengalir atau gaya yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan ini harus diatur secara ketat karena dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup ; tanpa tekanan ini, otak dan jaringan dorong yang jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut yang dilakukan. Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus.

Tekanan darah arteri rata-rata adalah perkalian antara curah jantung dan resistensi perifer total. Penentu utama resistensi perifer total adalah jari-jari arteriol. Dua kategori utama yang mengatur jari-jari arteriol adalah: (1) kontrol lokal intrinsik, yang penting menyesuaikan aliran darah melalui suatu jaringan dengan kebutuhan metabolik jaringan tersebut dan dipertanrai oleh faktor-faktor lokal yang bekerja pada otot polos arteriol, dan (2) kontrol ekstrinsik, yang penting dalam mengatur tekanan darah dan terutama diperantarai oleh pengaruh simpatis pada otot polos arteriol.

Penentu lain adalah viskositas darah yang dipengaruhi oleh jumlah sel darah merah dan konsentrasi protein plasma. Curah jantung dipengaruhi oleh kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Efek simpatis dan parasimpatis, berperan dalam kedua faktor tersebut. Aliran balik vena, volume darah, dan retensi cairan oleh ginjal mempengaruhi volume sekuncup.

Tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau oleh baroreseptor (sensor tekanan) di dalam sistem sirkulasi. Apabila reseptor mendeteksi adanya penyimpangan dari normal, akan dimulai serangkaian respon refleks untuk memulihkan tekanan arteri ke nilai normalnya. Penyesuaian jangka pendek (dalam beberapa detik) dilakukan dengan mengubah curah jantung dan resistensi perifer total, yang diperantarai oleh pegaruh sistem saraf otonom pada jantung, vena, dan arteriol. Penyesuaian jangka panjang ( memerlukan waktu beberapa menit sampai hari) melibatkan penyesuaian volume darah total dengan memulihkan keseimbangan garam dan air melalui mekanisme yang mengatur pengeluaran urin dan rasa haus. Besarnya volume darah total, menimbulkan efek nyata pada curah jantung dan tekanan arteri rata-rata.6 2.2. Hipertensi2.2.1. DefinisiBerdasakan klasifikasinya, maka tekanan darah tinggi adalah tekanan darah dengan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau tekanan sistolik sebesar 140mmHg.7

2.2.2. Klasifikasia. Hipertensi Primer Sekitar 90% penderita hipertensi memiliki kenaikan tekanan darah tanpa sebab yang jelas, yang disebut sebagai hipertensi primer. Genetik dikatakan berkaitan erat dengan terjadinya hipertensi primer, namun marker genetik spesifik yang berperan belum diketahui dengan pasti.

Terdapat beberapa abnormalitas sistemik yang ditemukan pada penderita hipertesni primer, antara lain: pada jantung ditemukan peningkatan curah janutng melalui proses aktifitas berlebihan sistem simpatis, pada pembuluh darah ditemukan peningkatan resistensi vaskular akibat vasokonstriksi dan pada ginjal ditemukan penahanan air dan sodium yang banyak. Namun kerusakan primer pada hipertensi primer bisa juga di tempat lain, seperti : sistem saraf pusat, baroreseptor arteri, dan sekresi hormone adrenal.

Insulin juga berperan dalam menimbulkan hipertensi primer. Penderita hipertensi dengan obesitas atau diabetes mellitus tipe 2 memiliki gangguan transport glukosa pada bebrapa jaringan tubuh. Peningkatan insulin menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis atau karena stimulasi hipertropi otot polos vaskular. Obesitas juga berpengaruh terhadap timbulnya kejadian hipertensi primer.7

b. Hipertensi SekunderHipertensi sekunder adalah hipertensi yang timbul akibat etiologi yang jelas. Penyebab terjadinya hipertensi sekunder antara lain:1. Akibat kelainan ginjal : hipertensi renovaskular, penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal kronik, obstruksi saluran kemih, tumor producing renin, sindrom Liddle.2. Akibat kelainan vaskular : coarctation of aorta, vaskulitis, penyakit vaskular kolagen3. Akibat kelainan endokrin : pemakaian kontrasepsi oral, ketidakseimbangan hormon, aldosteronisme primer, sindrom cushing, pheochromocytoma, kongenital hiperplasia adrenal4. Akibat kelainan neurogenic : tumor otak, poliomyelitis bulbar, hipertensi intrakranial5. Akibat obat dan toksin : alcohol, kokain, siklosporin, takrolimus, NSAID, eritropoietin, obat-obat adrenergic, dekongestan yang mengandung ephedrine, obat-obat herbal yang mengandung licorice atau ephedrine, nikotin.7Penyebab lain : hipertiroidisme atau hipotiroidisme, hiperkalsemia, hiperparatiroidisme, akromegali, obstructive sleep apneu, hipertensi yang dipicu akibat kehamilan.8 Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah9Klasifikasi tekanan darahSistolik (mmHg)Diastolik(mmHg)

Normal< 120 Dan < 80

Prehipertensi120 139Atau 80 89

Hipertensi stage 1140 159Atau 90 99

Hipertensi stage 2 160Atau 100

Klasifikasi tersebut berdasarkan pembacaan sebanyak dua kali atau lebih setiap kali pemeriksaan pada kunjungan dua kali atau lebih setelah skrining awal.9 Pada JNC VIII batas antara hipertensi dan prehipertensi tidak dinyatakan, namun ambang peningkatan tekanan darah yang mulai diberikan terapi-lah yang ditetapkan.10

2.3. Krisis Hipertensi2.3.1. DefinisiTerdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang paing sering dipakai adalah:A. Hipertensi Emergensi (darurat)Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target yang sedang ataupun akan terjadi (impending). Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena. Manifestasi dari kerusakan target organ yang dapat dijumpai meliputi:1. Infark serebral2. Perdarahan intrakranial atau perdarahan subaraknoid3. Hipertensi ensefalopati4. Diseksi aorta5. Edema paru akut6. Eklamsi/ pre-eklampsi7. Pheocromocytoma8. Insufisiensi ginjal akut9. Acute coronary syndrome10. Acute decompensated heart failure11. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain: sindrom withdrawal obat antihipertensi.4,11

Kerusakan target organ biasanya terjadi pada TDD > 130 mmHg. Pada wanita hamil TDS > 169 mmHg atau TDD > 109 mmHg dianggap sudah mengalami hipertensi emergensi sehingga harus segera diterapi.11

B. Hipertensi Urgensi (mendesak)Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target, namun pasien dapat mengeluhkan sakit kepala, dispnoe, epistaxis, dan severe anxiety. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam (sumber lain mengatakan beberapa jam hingga beberapa hari). Biasanya kasus hipertensi urgensi tidak sampai mengharuskan pasien dirawat inap dan tekanan darah dapat diturunkan bertahap cukup dengan obat-obatan anti-hipertensi per-oral. Namun dengan berbagai pertimbangan hipertensi urgensi juga harus mendapat perhatian dan ditangani segera. Keadaaan ini misalnya dijumpai pada:1. Hipertensi post operasi2. Hipertensi tak terkontrol.4,11,12

Pada pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan peningkatan tekanan darah asimptomatik, skrining rutin untuk mencari kerusakan organ target tidak perlu rutin dilakukan pada semua pasien (misalnya pemeriksaan kreatinin serum, urinalisis, EKG). Namun pada kelompok pasien dengan pemeriksaan rutin yang jarang, skiring boleh saja dilakukan. Berdasarkan JNC VII, pemeriksaan laboratorium rutin, pemeriksaan EKG untuk menilai hipertropi ventrikel kiri atau iskemia, foto toraks untuk menilai kardiomegali atau edema paru, kadar kreatinin serum untuk menilai disfungsi renal, dan urinalisis untuk menilai proteinuria misalnya, direkomendasikan sebelum memulai terapi.13

Selain itu dikenal juga istilah Hipertensi Akselerasi yang menandakan peningkatan TDS > 179 mmHg atau TDD > 109 mmHg disertai dengan perdarahan okular, eksudasi, namun tanpa papilledema (retionopati Kimmelstiel-Wilson grade III).11 Sementara Hipertensi Malignan disertai dengan papilledema (retionopati Kimmelstiel-Wilson grade IV).14

2.3.2. EpidemiologiKrisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat (IGD). Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita dengan hipertensi dan dibutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.4

Dua pertiga penderita hipertensi tidak menyadari dirinya adalah penderita. Hipertensi tak terkontrol merupakan faktor risiko utama mortalitas kardiovaskular dan serebrovaskular. Sebagian besar pasien dengan stroke hemoragik mengalami krisis hipertensi.15 Diperkirakan 1-5% penderita hipertensi akan mengalami krisis hipertensi pada suatu masa dalam hidupnya. Mayoritas penderita yang datang dengan krisis hipertensi telah memiliki riwayat hipertensi dan bahkan telah mendapat terapi anti-hipertensi. Tekanan darah tidak terkontrol dapat terjadi pada pengobatan yang tidak adekuat, usia lanjut, diabetes tidak terkontrol, hiperlipidemia, gagal jantung, dan nefropati.3

2.3.3. EtiologiFaktor penyebab hipertensi meliputi adanya perubahan vaskular, berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.4

2.3.4. PatogenesisTerdapat 4 mekanisme yang mendasari terjadinya krisis hipertensi:1. Disfungsi Sistem Renin-Angiotensin-AldosteronSistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya mempertahankan homeostasis tekanan darah. Ketika renin diproduksi berlebihan, pelepasan angiotensin II terus-menerus terjadi. Sebagai vasokonstriktor yang kuat, angiotensin II mengakibatkan peningkatan tekanan darah sistemik dan meningkatkan resistensi vaskuler. Kadar renin yang tinggi (> 0,65 ng / mL / jam) terjadi pada hipertensi tipe R dan krisis hipertensi. Siklus ini dapat dihentikan oleh -blocker, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I), atau dengan pengangkatan ginjal yang mengalami iskemik.2. Hubungan Volume-NatriumSebaliknya, dalam hipertensi yang bergantung pada hubungan volume dengan Natrium, yang disebut juga hipertensi tipe "V", kadar renin cenderung normal atau rendah. Hipertensi jenis ini menunjukkan respon yang baik dengan terapi diuretik, antagonis aldosteron, Ca-channel blockers, dan antagonis alfa-adrenergik. Meskipun mengelompokkan hipertensi menurut kadar renin plasma dapat membantu, informasi ini biasanya tidak tersedia pada saat krisis hipertensi terjadi.3. Kegagalan Barorefleks AkutEfek barorefleks arteri untuk membantu menjaga homeostasis tekanan darah dan untuk mencegah fluktuasi yang berlebihan telah dikenal sejak dulu. Kegagalan barorefleks akut umumnya terkait dengan operasi dan kerusakan syaraf glosofaringeal atau saraf vagus. Penyebab lain kegagalan barorefleks akut termasuk endarterektomi unilateral atau bilateral, stroke batang otak, penyakit genetik jaringan chromaffin; pheochromocytoma, atau terapi radiasi untuk karsinoma pada kepala, leher, dan tenggorokan. Insiden krisis hipertensi pasca operasi bervariasi antara 4-35%. Dalam kasus demikian, TDS dapat melebihi 300 mmHg. 4. AutodisregulasiHipertensi malignan terjadi ketika resistensi vaskuler sistemik meningkat tiba-tiba menyebabkan cedera endotel dan nekrosis fibrinoid dari arteriol. Cedera vaskular yang dihasilkan menyebabkan deposisi platelet dan fibrin. Ketika TDS mencapai sekitar 170 mmHg, mekanisme auto-regulasi dari SSP tidak lagi mampu beradaptasi, mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) akibat edema serebral, sakit kepala, aktivitas kejang, ensefalopati, dan kelainan retina. Papilledema sering diamati pada pemeriksaan mata. (Sebagai catatan, ada atau tidak adanya papilledema tidak memprediksi kelangsungan hidup dari penderita yang mengalami krisis hipertensi.) Sistem umpan balik dari ginjal, terutama arteriol eferen, juga tidak mampu beradaptasi, hingga terjadilah proteinuria yang diikuti oleh penurunan output urin dan gagal ginjal.3

2.3.5. PatofisiologiAutoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/ dilatasi pembuluh darah. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun.4

Gambar 2.1. Kurva Autoregulasi Aliran Darah Otak15

Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 1).4

Gambar 2.2 Patofisiologi Krisis Hipertensi4

Krisis hipertensi diduga terjadi karena adanya vasokontriktor humoral menyebabkan peningkatan tahanan vaskular perifer (SVR) yang berlebihan dan melampaui mekanisme autoregulasi tubuh. Kegagalan mekanisme autoregulasi pun berlanjut menyebabkan peningkatan tekanan pada ujung kapiler yang disertai dilatasi arteriol. Pada akhirnya, arteri-arteri kecil dapat ruptur atau pecah, menimbulkan deposisi fibrin pada dindingnnya. Nekrosis fibrinoid inilah yang menyebabkan kerusakan organ target, menyebabkan iskemia dan menyebabkan lebih banyak lagi vasokontrikstor yang keluar, tekanan darah pun semakin meningkat.11

2.3.6. Manifestasi KlinisManifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala krisis hipertensi berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan krisis hipertensi dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.4

2.3.7. DiagnosisPenderita krisis hipertensi umumnya datang dengan keluhan yang baru terjadi sehubungan dengan target organ yang terkena. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan untuk mengenal penyebab yang mendasari terjadinya krisis hipertensi. Riwayat hipertensi, pemakaian obat-obatan anti-hipertensi ataupun obat-obatan lain (amfetamin, kokain). Harus dimengerti bahwa penderita dengan hipertensi kronis selalu memiliki tekanan darah yang tinggi. Dengan demikian, diagnosis hipertensi emergensi atau urgensi tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan satu kali pengukuran tekanan darah, namun harus dibuat atas dasar peningkatan tekanan darah dari tekanan darah sehari-hari yang berhubungan dengan kerusakan target organ. Pengukuran tekanan darah harus dilakukan pada kedua lengan dengan ukuran cuff yang sesuai. Pemeriksaan fisik ditujukan pada identifikasi disfungsi target organ. Pemeriksaan neurologis untuk menilai perubahan status mental dan defisit neurologis fokal. Bila dijumpai salah satu kelainan tersebut, lakukan pemeriksaan CT Scan otak untuk menilai perdarahan atau infark. Pemeriksaan funduskopi mungkin menunjukkan eksudat, perdarahan atau papilledema menandakan suatu hipertensi ensefalopati. Elektrokardiogram menilai hipertropi ventrikel, aritmia, iskemia akut, atau infark. Urinalisis untuk menilai hematuria dan proteinuria. Pemeriksaan laboratorium meliputi BUN, kreatinin serum, biomarker kardiak.16

Gambar 2.3 Alur Klinis Penanganan Hipertensi Urgensi17

2.3.8. PenatalaksaaanKepustakaan yang ada saat ini belum menetapkan laju penurunan tekanan darah yang harus dicapai untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas pada krisis emergensi ini. Autoregulasi tekanan darah serebral mengalami perubahan pada hipertensi emergensi. Dikatakan pula bahwa menurunkan tekanan darah terlalu cepat dapat mengurangi perfusi, sehingga memperberat kerusakan organ target. Atas dasar ini, nifedipine kerja pendek (oral maupun sublingual) tidak lagi menjadi pilihan terapi awal. Sehingga tatalaksana terbaik adalah monitoring hemodinamik arterial invasif disertai pemberian anti-hipertensi kerja pendek melalui intravena.4,12

Panduan klinis dari JNC 7 menyarankan agar MAP diturunkan 120mmHg) dalam waktu 20 menit. Pada pasien yang membutuhkan terapi trombolitik, tekanan darah harus diturunkan menjadi 160/100 mmHg sebelum trombolitik dapat diberikan.f. Gagal ginjalAcute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal. g. Keadaan HiperadrenergikHipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan -blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas.4,11

2.3.9. PrognosisPenyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.4

2.4. Penatalaksanaan Krisis Hipertensi di Instalasi Gawat DaruratTriase yang dilakukan sedini mungkin merupakan suatu usaha untuk memastikan terapi yang paling tepat untuk setiap pasien. Anamnesis yang singkat namun lengkap harus mencakup durasi, riwayat kontrol hipertensi, obat-obatan yang dikonsumsi, termasuk obat yang dengan maupun tanpa resep dokter, dan penggunaan obat-obatan tradisional. Riwayat kondisi komorbid dan penyakit serebrovaskulat atau penyakit ginjal sebelumnya penting untuk evaluasi awal. Pemantauan tekanan darah yang sering atau terus-menerus sangat diperlukan. Gejala lain yang merupakan manifestasi dari gangguan organ target seperti sakit kepala, kejang, nyeri dada, dispnea, dan edema, perlu dievaluasi.18

Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan penilaian tekanan darah, menggunakan manset dengan ukuran yang sesuai, pada kedua ekstremitas atas. Pulsasi asteri brakhialis, femoralis, dan karotis juga harus dinilai. Pemeriksaan kardiovaskular dan neurologi yang umum harus dilakukan. Penilaian tersebut dapat menentukan seberapa jauh organ target telah terlibat. 18

Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan di Instalasi Gawat Darurat adalah urinalisis, pemeriksaan elektrokardiogram, pemeriksaan darah lengkap, kadar elektrolit, dan CT-scan kepala. Walaupun demikian, penurunan tekanan darah tidak boleh ditunda sampai semua pemeriksaan diagnostik dilakukan. Pengobatan antihipertensi dapat diinisiasi sesegera mungkin. 18

Pada pasien dengan krisis hipertensi, penurunan tekanan darah yang cepat, namun terkontrol, diindikasikan untuk membatasi dan mencegah kerusakan organ yang lebih lanjut. Tetapi, tekanan darah tidak boleh diturunkan sampai batas normal. Kebanyakan pasien dengan krisis hipertensi (hipertensi emergensi) telah mengalami hipertensi yang kronis dan akan mengalami pergeseran ke kanan dalam kurva autoregulasi tekanan-aliran (serebral, renal, dan koroner).19

Tujuan awal dari penurunan tekanan darah bukan untuk mendapatkan tekanan darah normal, melainkan untuk mendapatkan reduksi tekanan darah yang progresif dan terkontrol untuk meminimalisasi risiko hipoperfusi pada serebral, koroner, dan pembuluh darah di ginjal. Penurunan insial ditargetkan untuk tidak lebih dari 20-25% Mean Arterial Pressure (MAP) awal, atau MAP diturunkan hingga 110-115 mmHg dalam 30-60 menit pertama. Apabila pasien tetap stabil secara klinis dengan tekanan darah pada nilai target inisial tersebut, penurunan secara bertahap dapat dilanjutkan hingga mencapai tekanan darah normal dalam 12-24 jam selanjutnya.18

Sejumlah agen antihipertensi yang berbeda tersedia dan dapat digunakan untuk krisis hipertensi. Pilihan obat tergantung dari organ yang terlibat dan ketersediaan obat dan alat pemantauan. Agen intravena yang bekerja cepat tidak boleh digunakan di luar intensive care unit karena penurunan tekanan darah yang cepat dan tidak terkontrol dapat memberikan konsekuensi yang letal. Pengurangan tekanan darah diastolik sebesar 10-15 % atau sampai sekitar 110 mmHg umumnya direkomendasikan. Keadaan ini dapat dicapai dengan pemberian secara kontinu agen antihipertensi parenteral yang short acting dan dapat dititrasi. Target penurunan tekanan darah harus dapat dicapai dalam waktu 1 jam. Setelah target dari terapi tercapai, pasien dapat diberikan terapi rumatan secara oral dan agen intravena dapat diturunkan secara bertahap.19

Tabel 2.3. Agen Antihipertensi yang Direkomendasikan untuk Krisis HipertensiKondisiAgen Antihipertensi yang direkomendasi

Edema pulmonal akutFenoldopam atau Nitropruside dikombinasi dengan Nitrogliserin dan loop diuretic.

Iskemi miokard akutLabetalol atau Esmolol dikombinasi dengan Nitrogliserin

Ensefalopati hipertensiLabetalol, Nicadipine, atau Fenoldopam

Diseksi aorta akutLabetalol atau kombinasi Nicardipine / Esmolol dan Esmolol atau kombinasiNitropruside dengan Esmolol / Metoprolol IV

EklampsiaLabetalol atau Nicardipine. Hydralazine dapat digunakan untuk non-ICU

Gagal ginjal akut / Anemia mikroangiopatiFenoldopam atau Nicardipine

Sympathetic crisis / cocaine overdoseVerapamil, Diltiazem, atau Nicardipine dikombinasi dengan Benzodiazepine.

Menurunkan tekanan darah penderita stroke iskemik dapat mengurangi aliran darah serebral, yang disebabkan oleh gangguan autoregulasi dan berakibat ke keadaan iskemik yang lebih lanjut. Menormalkan tekanan darah setelah kejadian stroke berpotensial bahaya. Biasanya direkomendasikan bahwa terapi antihipertensi diberikan apabila tekanan darah diastolik di atas 120 -130 mmHg, dengan target penurunan yang tidak melebihi 10 -15 % dalam 24 jam pertama.19Agen farmakologi yang ideal untuk penatalaksanaan krisis hipertensi adalah obat yang fast acting, rapidly reversible, dan dapat dititrasi tanpa efek samping yang signifikan. Pilihan obat yang diberikan tergantung dari tampilan klinis pasien. Obat antihipertensi yang biasanya digunakan yaitu esmolol, labetalol, fenoldopam, dan nicardipine. Phentolamine dan trimetaphan camsylate sudah janrang digunakan, namun, obat tersebut dapat berguna untuk situasi tertentu seperti cathecolamine-induced hypertensive crisis (misalnya, pheochromocytoma). Sodium nitropruside dapat digunakan untuk pasien dengan edema pulmonal akut dan / atau disfungsi ventrikel kiri berat dan pada penderita diseksi aorta. Namun, karena sodium nitropruside sangat rapid-acting dan menrupakan agen antihipertensi yang sangat poten, pemantauan tekanan darah sangat diperlukan sehingga obat ini jarang digunakan di IGD. Nifedipine oral dan sublingual berbahaya bagi penderita krisis hipertensi sehingga tidak direkomendasikan. Clonidine dan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-i) bersifat long-acting dan sulit dititrasi, namun masih dapat digunakan untuk keadaan hipertensi urgensi. ACE-i dikontraindikasikan untuk kehamilan.19

EsmololEsmolol adalah agen yang mem-blok -adrenergik, bersifat kardio-selektif, dan sangat short-acting. Onset kerja dari obat ini adalah dalam 60 detik, dengan durasi kerja 10 20 menit. Obat ini dapat diberikan secara intravena dengan bolus ataupun infus. Esmolol terutama berguna untuk hipertensi post operatif yang berat. Agen ini cocok diberikan pada keadaan dimana curah jantung, denyut jantung, dan tekanan darah mengalami peningkatan. Secara umum, obat ini diberikan dengan dosis loading 0.5 1 mg/kg selama 1 menit, diikuti pemberian melalui infus dengan dosis awal 50 mcg/kg/menit dan dapat ditingkatkan hingga 300 mcg/kg/menit bila diperlukan.19

LabetalolEfek hipotensi dari Labetalol dimulai dalam 2-5 menit setelah pemberian melalui intravena, mencapai puncak dalam 5-15 menit setelah administrasi dan bertahan selama 2-4 jam. Karena efek -blocking-nya, denyut jantung akan dipertahankan tetap atau sedikit menurun. Tidak seperti agen -adrenergic blocking murni yang lain, yang biasanya menurunkan curah jantung, Labetalol akan mempertahankan volume curah jantung. Labetalol menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa mengurangi aliran darah perifer total. Labetalol dapat diberikan dengan dosis loading sebesar 20 mg, didikuti peningkatan dosis hingga 20-80 mg dengan interval waktu pemberian selama 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.19

FenoldopamFenoldopam adalah agonis dopamin (DA1) yang bersifat short-acting dan dapat meningkatkan aliran darah renal dan ekskresi natrium. Fenoldopam bersifat sangat spesifik terhadap reseptor DA1 dan 10 kali lipat lebih poten sebagai vasodilator renal dibandingkan dengan dopamin. Massa kerja obat ini adalah antara 30 sampai 60 menit. Dosis inisial sebesar 0.1 mcg/kg/menit merupakan dosis yang direkomendasikan. Fenoldopam terbukti memperbaiki klirens kreatinin, aliran urin, dan ekskresi natrium pada pasien hipertensi berat dengan fungsi ginjal yang baik maupun terganggu, sehingga merupakan obat pilihan untuk penderita hipertensi yang disertai dengan gangguan fungsi ginjal.19

NicardipineNicardipine adalah generasi kedua dari calcium channel blocker derivat dihidropiridine dengan selektivitas terhadap pembuluh darah yang tinggi dan vasodilator serebral dan koroner yang kuat. Obat ini 100 kali lipat lebih larut air dibandingkan Nifedipine, sehingga dapat diberikan melalui intravena dan dapat dititrasi. Onset dari Nicardipine yang diberikan secara intravena adalah antara 5-15 menit dengan durasi kerja selama 4-6 jam. Nicardipine intravena telah terbukti menurunkan inskemia jantung dan otak. Dosis yang tepat dari Nicardipine tanpa memperhatikan berat badan adalah 5 mg/jam sebagai laju infus insial, dinaikkan 2.5 mg/jam setiap 5 menit hingga maksimal 30 mg/jam sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.19

Pasien dengan peningkatan tekanan darah yang signifikan disertai dengan kerusakan organ target (misalnya ensefalopati, infark miokard, angina pektoris tak stabil, edema pulmonal, eklampsia, diseksi aorta) memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi dengan obat-obatan parenteral. Sedangkan pasien dengan peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target akut biasanya dapat berobat jalan, namun juga memerlukan kombinasi obat antihipertensi oral segera. Pasien-pasien ini perlu dievaluasi dan dipantau secara hati-hati terhadap kerusakan jantung dan ginjal yang disebabkan oleh hipertensi.17

Berikut adalah beberapa panduan yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan hipertensi yang disertai dengan perdarahan intraserebral spontan:1. Apabila tekanan darah sistolik > 200 mmHg atau MAP > 150 mmHg, pertimbangkan penurunan tekanan darah secara agresif dengan infus IV secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.2. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dan terdapat bukti yang mengarah kepada peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemantauan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan darah menggunakan obat-obatan IV secara intermiten ataupun kontinu untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral > 60-80 mmHg.3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg dan tidak terdapat bukti atau kecurigaan adanya peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan penurunan tekanan darah secara sederhana (misalnya MAP sebesar 110 mmHg atau target tekana darah sebesar 160/90 mmHg) menggunakan obat-obatan IV secara intermiten atau kontinu dan dievaluasi kembali setiap 15 menit.17

BAB 3LAPORAN KASUS DAN DISKUSI

3.1 AnamnesisNy. E, 30 tahun, 65 kg, G1P0Ao, Karo, Islam, Pedagang, SMA i/d Tn.S, 30 tahun, Karo, Islam, buruh bayaran, SD, datang ke IGD RSUP HAM dengan keluhan utama kejang (Alloanamnesa). Hal ini sudah dialami pasien sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit sebanyak 3x. Setelah kejang, pasien tidak sadarkan diri. Riwayat tekanan darah tinggi sebelum hamil tidak dijumpai. Riwayat pandangan kabur dijumpai. Riwayat sakit kepala dijumpai. Riwayat mulas-mulas mau melahirkan tidak dijumpai. Riwayat darah tinggi saat control kehamilan tidak dijumpai. BAB dan BAK dalam batas normal. RPT : - RPO: -

Time Sequence

3.2 Pemeriksaan Fisik dan Penanganan di Blue Line IGD RSUP HAMTanda dan Gejala KesimpulanPenanganan Hasil

A (airway) Snoring (+) Gargling (-) Crowing (-) Airway unclear karena jatuhnya pangkal lidah dan akumulasi cairan Adanya obstruksi jalan napas parsial Triple airway maneuver (head tilt, chin lift, jaw thrust) Pemasangan oropharingheal airwaySnoring (-) airway clear

B (breathing) Napas spontan SP/ST: vesikuler/ronki (-), wheezing (-) SaO2: 91% RR: 36 x/i Takipnea Saturasi O2 rendah

Memasang posisi semi fowler Oksigen via sungkup non-rebreathing 10 l/i

RR: 28x/i, SaO2 99%

C (circulation ) CRT