efek anestesi

10
Efek Anestesi Menggunakan obat bius sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, obat anestesi juga memiliki risiko tersendiri. Pada bius lokal, efek samping bisanya merupakan reaksi alergi. Namun pada anestesi regional dan umum menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian. 1. Cukup sering Dengan angka kejadian 1:100 pasien, prosedur anestesi bisa menyebabkan risiko efek samping berupa mual, muntah, batuk kering, mata kabur, nyeri kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara. 2. Jarang Pada angka kejadian 1:1.000 pasien, anestesi dapat menyebabkan infeksi dada, inkontinensia urin, nyeri otot, cedera pada bibir, gigi, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk. 3. Sangat jarang Risiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1:10.000 pasien diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf, kelumpuhan, dan kematian. Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan, atau pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung yang lebih serius. (Damayanti, 2010) Kerusakan saraf dapat disebabkan anestesi lokal, regional, maupun umum. Pada kebanyakan kasus, kerusakan bersifat sementara dan rasa ketidaknyamanan berkurang beberapa minggu setelah pembiusan. Tetapi, beberapa persen pasien tidak menunjukkan gangguan persarafan. Selama peemberian anestetik lokal atau umum, kerusakan dapat terjadi saat obat mengenai jaringan saraf. Kerusakan juga dapat terjadi di spinal epidural pada penggunaan anestetik umum, jika saat penyuntikan melukai sumsum tulang belakang (spinal cord). Kerusakan saraf juga dapat terjadi selama pemberian anestetik umum, jika posisi pasien selama operasi berlangsung menyebabkan terhalangnya atau berkurangnya aliran darah menuju otak. Selama ansetesi umum, obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja di banyak area tubuh. Pada beberapa pasien juga terjadi paralisis otot kandung kemih, sehingga

Upload: syukron-chalim-sardjono

Post on 18-Dec-2014

54 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Efek Anestesi

Efek AnestesiMenggunakan obat bius sangat penting untuk melakukan tindakan

medis tertentu. Sebagaimana penggunaan obat-obatan, obat anestesi juga memiliki risiko tersendiri. Pada bius lokal, efek samping bisanya merupakan reaksi alergi. Namun pada anestesi regional dan umum menggolongkan efek samping berdasarkan tingkat kejadian.1.      Cukup seringDengan angka kejadian 1:100 pasien, prosedur anestesi bisa menyebabkan risiko efek samping berupa mual, muntah, batuk kering, mata kabur, nyeri kepala, nyeri punggung, gatal-gatal, lebam di area injeksi, dan hilang ingatan sementara.2.      JarangPada angka kejadian 1:1.000 pasien, anestesi dapat menyebabkan infeksi dada, inkontinensia urin, nyeri otot, cedera pada bibir, gigi, dan lidah, perubahan mood atau perilaku, dan mimpi buruk.3.      Sangat jarangRisiko yang sangat jarang terjadi dengan angka kejadian 1:10.000 pasien diantaranya dapat menyebabkan cedera mata, alergi obat yang serius, cedera saraf, kelumpuhan, dan kematian. Efek samping ini bisa permanen jika sampai menyebabkan komplikasi seperti cedera saraf yang menyebabkan kelumpuhan, atau pada kasus infeksi dada disertai penyakit jantung, memperbesar risiko komplikasi penyakit jantung yang lebih serius. (Damayanti, 2010)

Kerusakan saraf dapat disebabkan anestesi lokal, regional, maupun umum. Pada kebanyakan kasus, kerusakan bersifat sementara dan rasa ketidaknyamanan berkurang beberapa minggu setelah pembiusan. Tetapi, beberapa persen pasien tidak menunjukkan gangguan persarafan. Selama peemberian anestetik lokal atau umum, kerusakan dapat terjadi saat obat mengenai jaringan saraf. Kerusakan juga dapat terjadi di spinal epidural pada penggunaan anestetik umum, jika saat penyuntikan melukai sumsum tulang belakang (spinal cord). Kerusakan saraf juga dapat terjadi selama pemberian anestetik umum, jika posisi pasien selama operasi berlangsung menyebabkan terhalangnya atau berkurangnya aliran darah menuju otak.

Selama ansetesi umum, obat-obatan menyebabkan paralisis muskulus yang bekerja di banyak area tubuh. Pada beberapa pasien juga terjadi paralisis otot kandung kemih, sehingga menyebabkan pasien tidak dapat berkemih. Ketidakmampuan BAK ini dapat terjadi dalam 24 jam, tetapi selama waktu itu kandung kemih akan terus terisi dan penuh, sehingga dibutuhkan kateter. (Heisler, 2011)

Page 2: Efek Anestesi

Meskipun komplikasi dari pemberian anestesi umum rendah, tetapi beberapa yang dapat terjadi adalah serangan jantung, stroke, brain damage, dan kematian. Komplikasi tersebut bergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, alergisitas, kesehetan secara umum, dan riwayat pemakaian obat-obatan terlarang, alkohol, serta rokok. Resiko kematian dari anestetik umum sulit dievaluasi karena banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari keadaan pasien, prosedur operasi, sampai skill operator anestesi. Perbandingan terjadinya resiko tersebut berkisar 1:1.000 dan 1:100.000, dengan anak-anak dan pasien lebih dari 70 tahun lebih beresiko. (Uretsky dan Hilton, 2011)

Resiko pemberian anestetik pada lansia lebih berat dibandingkan pada dewasa muda. Para manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesi  dan pembedahan kaerna terdapat kemunduran sistem fisiologis dan farmakologis sejalan dengan penambahan usia yang mulai jelas terlihat setalah 40 tahun. Setelah usia tersebut terjadi penurunan kekuatan otot pernafasan dan komplaien dinding dada, kemampuan kardiovaskular, kemampuan cadangan ginjal yang menyebabkan menurunnya toleransi terhadap kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut, serta perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris, dan otonom, juga berkurangnya perfusi darah ke otak menyebabkan manula lebih rentan dan lebih besar berkemungkinan mengalami efek buruk anestesi.

Diasumsikan kesulitan untuk bernafas pascabedah dini lebih sering terjadi pada manula. Bila memungkinkan, sebaiknya diberikan analgesik regional nonsistemik, sehingga petugas lebih mudah dan cepat mengenal serangan angina atau perubahan serebral akut. Dosis obat obat anestetik umum atau lokal pada lansia harus dikurangi dan diberikan sesuai kebutuhan, secara titrasi dengan mengingat bahwa waktu sirkulasi memanjang dan kemungkinan terjadinya interaksi dengan obat-obat yang sudah diminum oleh pasien praanastesi.(Hartono, dkk, 2011)

Efek Anestesi LokalObat anstesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik,

sehingga untuk setiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat bersifat lokal atau sistemik.

Komplikasi lokal:a.      terjadi di tempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis, dan

gangreneb.      komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis

dan antisepsisc.       iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor

yang disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.

Page 3: Efek Anestesi

Komplikasi sistemik dapat dilihat manifestasi klinis, yang umumnya berupa reaksi neurologis dan kardivaskular. Pengaruh pada korteks srebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa perangsangan pada pons dan batang otak berupa depresi. Pengaruh kardivaskular adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung. (Mc. Intyre dalam buku Complications of Regional Anesthesia oleh Finucane, 2007)

Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian obat. Jika kadar obat dalam darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul efek pada berbagai sistem organ.1.      Sistem saraf pusat

Efek SSP yang kuat dapat diperoleh setelah menyedot bubuk kokain dan mengisap rokok basanya. Kokain kini telah menjadi salah satu penyalahgunaaan yang paling tinggi digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euphoria seperti kokain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa pecandu kokain tidak dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lodokain intranasal.

Efek SSP lainnya termasuk mengantuk, kepala terasa ringan, gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi dapat timbul nistagmus dan menggigil. Akhirnya kejang tonik klonik yang terus menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya menimbulkan depresi jalur penghambatan kortikal, sehingga komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul. Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SSP, umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.

Reaksi toksik pada anestesi lokal yang paling serius yaitu timbulnya kejang karena kadar obat dalam darah berlebihan. Keadaan ini dapat dicegah hanya dengan memberikan anestesi lokal dalam dosis yang kecil sesuai dengan kebutuhan.

2.      Sistem saraf perifer (neurotoksisitas)Bila diberikan dalam dosis yang sngat berlebihan, semua anestesi

lokal akan menjadi toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan menunjukkan timbulnya kasus deficit sensoris dan motoris yang berlanjut setelah cedera anestesi spinal dengan kloroprokain bervolume besar.3.      Sistem kardiovaskular

Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek langsung terhadap jantung  dan membrane otot polos, serta efek secara tidak langsung melalui saraf otonomanestesi lokal menghambat saluran natrium jantung sehingga meningkatkan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi abnormal. Dengan pengecualian kokain, obat anestesi lokal juga menekan kontraksi jantung,

Page 4: Efek Anestesi

sehingga terjadi dilatasi arteriol, dimana kedua efek ini dapat menyebabkan hipotensi. Walaupun kolaps vascular dan kematian biasanya timbul setelah memberikan dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi pada pemberian dosis kecil secara infiltrasi anestesi.

Seperti telah disebutkan, kokain memiliki efek berbeda terhadap kardiovaskular. Hambatan ambilan kembali norepinefrin menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebabkan aritmiajantung. Efek vasokonstriksi kokain dapat menimbulkan iskemia pada mukosa hdung, dan pada pemakai jangka panjang bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan kerusakan septum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara klinis untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.

Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan anestesi lokal lainnya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena tidak saja menyebabkan kejang, tetapi juga kolaps kardiovaskular, dimana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak akan berhasil.4.      Darah

Pemberian prilokain dosis berat selama anestesi regional akan menimbulkan penumpukan metabolit o-toluidin, suatu zat oksidasi yang dapat mengubah haemoglobin menjadi methemoglobin. Bila kadarnya cukup besar, maka pasien tampak sianosis dan darah berwarna coklat. Kadar 3-5  mg/dL masih dapat ditolerir pada individu sehat, tetapi mungkin menimbulkan dekompensasi pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga perlu pengobatan segera.5.      Reaksi alergi

Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam p-aminobenzoat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok kecil orang. Amida tidak dimetabolisir menjadi p-aminobenzoat, sehingga reaksi alergi pada amida ini jarang sekali terjadi. (Katzung, 1998)Efek Anestesi Spinal

Penggunaan anestetik spinal juga menyebabkan beberapa komplikasi, yaitu yang bersifat akut, hipotensi karena dilatasi pembuluh darah maksimal; bradikardi karena blok terlalu tinggi; hipoventilasi yang perlu dilakukan pemberian O2; mual muntah karena hipotensi yang terlalu tajam, serta total spinal akibat obat anestesi naik ke atas, dan komplikasi pasca tindakan, nyeri di tempat suntuikan, nyeri punggung, nyeri kepala, serta retensi urin.

Komplikasi dini spinal anestesi dapat berupa:1.      Hipotensi

Page 5: Efek Anestesi

Hipotensi seringkali terjadi dengan derajat yang bervariasi dan bersifat individual. Ini dapat menjadi lebih berat pada pasien dengan hipovolemik.Biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat anestesi lokal. Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid dan meluasnya blok simpatis.         Pada pasien dengan penggunaan anestesi spinal juga dapat terjadi

kehilangan penglihatan pasca operasi (POVL).         Hipovolemia dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler

selama spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer.

         Merupakan kontraindikasi relatif spinal anestesi, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bisa dikerjakan.

         Pasien hamil sensitif terhadap blokade simpatis dan hipotensi, hal ini karena obstruksi mekanis venous return, sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi miring lateral segera setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava.

         Pasien tua dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi dibanding dengan pasien muda.

         Obat lokal anestesi juga berpengaruh terhadap derajat hipotensi.         Tetrakain menyebabkan hipotensi lebih berat dibanding bupivakain.

Hal ini mungkin disebabkan karena blokade simpatis tetrakain lebih besar dibanding bupivakain. 

2.      Blokade spinal tinggi/totalBlokade spinal total jarang terjadi jika dosis obat yang digunakan

sesuai dengan yang disarankan. Gejala yang dialami pasien dapat berupa:         Sesak nafas dan sukar bernafas sebagai gejala utama.

Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung.

         Sering disertai dengan mual, muntah, precordial discomfort, dan gelisah.

3.      Mual dan muntahHal ini terjadi karena hipotensi, disamping itu juga adanya aktifitas

parasimpatik yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus, juga karena tarikan nervus dan pleksus, khususnya N. Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pilorus dan sphincter duktus biliverus, faktor psikologis, dan terakhir hipoksia.4.      Penurunan panas tubuh

Page 6: Efek Anestesi

Hipotermia terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme berkurang. Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya hipotermi.

Sedangkan komplikasi lanjut dari spinal anestesi adalah sebagai berikut:

1.      Post Dural Puncture Headache (PDPH)PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur

dan diplopia, mual dan penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi. PDPH terjadi karena adanya kebocoran cairan cerebrospinalis (LCS) akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS, akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada volume LCS.  Kondisi ini akan menyebabkan tarian pada struktur intrakranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh darah, saraf, falk serebri dan meninges, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring.

2.      Nyeri Punggung (Backache)Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot dan ligamentum dapat

menyebabkan nyeri punggung, tetapi jarang terjadi pada spinal anestesi. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasanya bersifat ringan, sehingga analgetik post operatif biasanya bisa menutup nyeri ini. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Adakalanya spasme otot paraspinosus menjadi penyebab.3.      Cauda Equina Sindrom

Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas. Tanda-tandanya meliputi disfungsi otonomis, perubahan pengosongan kandung kemih dan usus besar, pengeluaran keringat yang abnormal, kontrol temperatur yang tidak normal, dan kelemahan motorik. Ketika tidak terjadi injeksi yang traumatik intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi kontaminan seperti detergen atau antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.

4.      MeningitisMunculnya bakteri pada ruang subarachnoid tidak mungkin terjadi

jika penanganan klinis dilakukan dengan baik. Meningitis aseptik mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi, tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni lokal yang memadai.

5.      Retensi Urine

Page 7: Efek Anestesi

Blokade sakral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin di vesika urinaria jadi lebih banyak. Blokade simpatik eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang menghasilkan retensi urine.  Spinal anestesi menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemia. Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonomik kecil dan paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar.6.      Spinal hematoma

Meski angka kejadiannya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinisi karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologis yang membahayakan. Hal ini terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medula spinalis yang dapat terjadi secara spontan atau ada hubungannya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medula spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis dan paraplegi.

Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi: mati rasa, kelemahan otot, kelainan BAB, kelainan sfinkter kandung kemih dan jarang terjadi adalah sakit pinggang yang berat. Faktor resiko abnormalitas medula spinalis berupa kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesiculer, penusukan yang berulang-ulang. (Fettes dan Wildsmith, 2002)

Efek Anestesi Umuma. Efek anestetik inhalasi

1.      Efek terhadap kardivaskularHalotan, desfluran, enfluran, dan isofluran menurunkan tekanan arteri rata-rata yang berbanding langsung dengan konsentrasi alveolarnya. Dengan halotan dan enfluran, penurunan tekanan arteri tampaknya disebabkan penurunan curah jantung karena sedikitnya perubahan dalam tahanan vascular sistemik (misalnya peningkatan darah serebral). Sebaliknya, isofluran dan desfluran mempunyai efek depresi terhadap tekanan arteri sebagai akibat penurunan tahanan vascular sistemik; mereka mempunyai efek yang kecil terhadap curah jantung.

Anestetik inhalasi mengubah denyut jantung dengan mengubah depolarisasi nodus sinus secara langsung atau dengan mengubah keseimbangan saraf ototnom. Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi langsung atas kecepatan atrium. Sebaliknya, metoksifluran dan ensifluran meningkatkan denyut jantung. Semua perubahan dalam denyut jantung tersebut telah ditentukan pada orang normal yang menjalani operasi. Pada penderita prabedah atau trauma

Page 8: Efek Anestesi

operasi selama operasi berlangsung sering mengubah respon jantung terhadap anestetik inhalasi.

Semua obat anestetik inhalasi cenderung meningkatkan tekanan atrium kanan yang bergantung pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi miokardium. Anestetik inhalasi mengurangi konsumsi oksigen jantung, terutama dengan menurunkan variable yang menegontrol kebutuhan oksigen, seperti tekanan darah arteri dan kekuatan kontraktilitas.

Banyak faktor yang mempengaruhi efek kardiovaskular pada pemberian anestetik inhalasi. Perangsangan selama operasi, hiperkapnia, dan lamanya operasi berlangsung akan menurunkan efek depresi obat anestetik   inhalasi. Hiperkapnia akan membebaskan katekolamin yang melemahkan penurunan tekanan darah. Tekanan darah menurun lebih sedikit 5 jam pemberian anestesi dibandingkan setelah pemberian 1 jam. Halotan dapat mensensitasi otot jantung terhadap katekolamin dan dapat terjadi aritmia ventrikel pada penderita dengan penyakit jantung yang diberikan obat simpatomimetik yang bekerja langsung atau tidak langsung yang tinggi dalam darah. Obat inhalasi modern lainnya sudah jarang menimbulkan aritmia. (Katzung, 1998)

Salah satu studi klinis dilakukan oleh Sedic F., dkk dalam  The FASEB Journal tahun 2007 dan dengan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian desflurane dan sevoflurane sebelumnya dapat mengurangi kematian sel masing-masing sebesar 34% dan 15%. Dalam penelitian tersebut juga dibandingkan efek sevoflurane dan desflurane pada status redoks mitokondria dengan menganalisis mitochondrial flavoproteins fluorescente (MFF). Hasilnya menunjukkan bahwa terapi dengan masing-masing anestetik menyebabkan peningkatan MFF. Derajat oksidasi flavoprotein meningkat lebih besar dengan desflurane dibanding sevoflurane (68% vs 41%).

Kesimpulan dari hasil studi tersebut adalah bahwa desflurane menawarkan derajat proteksi jatung yang lebih besar dibanding sevoflurane, dan mekanismenya mungkin melibatkan interaksi anestetik dengan status oksidatif mitokondria. (EKM, 2011)

Pemberian sevofluran tidak berhubungan dengan takikardi atau vasodilatasi koroner pada konsentrasi anestetik, berlawanan dengan isofluran. Berbeda dengan halotan dan enfluran, sevofluran tidak berhubungan dengan sensitasi miokardium terhadap adrenalin. Sevofluran mendepresi kontraktilitas jantung secara ringan. Sistemik vascular resisten dan tekanan darah arterial menurun sangat sedikit dibandingkan isofluran dan desfluran. (Tandjung, 2008)

Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Ed. VI. Jakarta: Penerbit EGC.

Page 9: Efek Anestesi

Finucane, B. T. 2007. Complications of Regional Anesthesia. USA: Springer Science and Business Media, LLC.

Damayanti, Laili. 2010. Seputar Obat Anestesi: Lain Jenis, Lain Kegunaannya.Diunduh dari www.hypnosis45.com/download/Seputar%20Obat%20Bius.pdfpada tanggal 23 Mei 2011.

Hilton, Lisette dan Sam Uretsky. 2011. Seputar Obat Bius: Bag. 2. Diunduh dariwww.ikatanapotekerindonesia.net/.../1464-seputar-obat-bius-bagian-2.htmlpada tanggal 28 Mei 2011.

Heisler, Jennifer. 2011. Understanding the Risks of Anesthesia. Diunduh darisurgery.about.com/od/proceduresaz/ss/AnesthesiaRisks.htm pada tanggal 23 Mei 2011.

Fettes, P. D., Wildsmith, J. A. W. Someone Else’s Nervous System, Br J Anaesth 2002; 88: 760–3, Complications of Regional Anesthesia. Edinburgh: Churchill Livingstone. 

Hartono, R., Virginia, D., dan Arditayasa, I. Pertimbangan Anastasia untuk Usia Lanjut, dinduh dari http://yosefw.wordpress.com/2010/03/29/anestesi-pada-lansia-gimana-ya.

.Tandjung, Q. F. 2008. Perbandingan Sevofluran 8% + N2O 50% dengan

Propofol 2 mg/kg BB IV Sebagai Obat Induksi Anestesi dalam Hal Kecepatan dan Perubahan Hemodinamik: Tesis. Diunduh darihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6198/1/08E00384.pdf