editor : m. yusuf asry
TRANSCRIPT
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
GERAKAN DAKWAH ISLAM
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :M. Yusuf Asry
Buku Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama di Indonesia ini diterbitkan untuk memperkaya wawasan mengenai persoalan-persoalan dakwah dalam konteks kerukunan umat beragama pada berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai sebuah hasil penelitian, isi buku ini mengungkapkan realitas pelaksanaan dakwah di masyarakat, yang berbeda daerah dengan instrumen yang sama. Pelaku dakwah di sini ialah organisasi kemasyarakatan Islam dan kelompok gerakan dakwah Islam.
Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: (1) Bagaimana karekter dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok gerakan dakwah atau harakah Islam, sekalipun diakui secara umum masalah “khilafiyah” sudah kurang pupuler untuk dipermasalahkan pada dekade terakhir ini.
Umat Islam dalam berdakwah dituntut mengaplikasikan teknologi informasi, untuk dapat mengemas pesan-pesan keagamaan yang makin efektif dengan jaungkauan yang luas. Jika menggunakan teknologi informasi, maka aktivitas dakwah akan makin dapat ditingkatkan.
Gerakan D
akwah Islam
dalam
Perspektif K
erukunan Um
at Berag
ama
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
GERAKAN DAKWAH ISLAM
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :M. Yusuf Asry
ISBN 978-602-8739-08-5
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
i
GERAKAN DAKWAH ISLAMdalam
Perspektif Kerukunan Umat Beragama
Editor :M. Yusuf Asry
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Kata Pengantar
ii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
gerakan dakwah islam dalam perspektif kerukunan umat beragama/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIEd. I. Cet. 1. ----Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012xxvi + 350 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN 978-602-8739-08-5
Hak Cipta pada Penerbit
....................................................................................................................................................................Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit ....................................................................................................................................................................Cetakan Pertama, Oktober 2012....................................................................................................................................................................
GERAKAN DAKWAH ISLAM DALAM PERSPEKTIF KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
....................................................................................................................................................................Editor :M. Yusuf Asry
Tata Letak :Sugeng
Design CoverFirdaus....................................................................................................................................................................
Foto Ilustrasi Cover :Siluet orang-orangan kertas di atas bola dunia
Penerbit:Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIJl. MH. Thamrin No. 6 JakartaTelp/Fax. (021) 3920425, [email protected]
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
iii
Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT.,
Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku
Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini,
sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami
menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam
menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini
yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian
menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca
yang budiman.
Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku
yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:
1. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan
Kontemporer di Indonesia.
2. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia.
Kata Pengantar
iv
3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi
Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat
Beragama
6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat.
7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,
Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-
tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program
penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga
penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak
menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai
bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang
pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang
terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara
simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk
memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang
amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.
Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa
kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
v
berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami
haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan
dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Jakarta, Oktober 2012
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan
NIP. 19691110 199403 1 005
3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi
Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat
Beragama
6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat.
7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,
Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-
tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program
penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga
penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak
menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai
bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang
pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang
terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara
simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk
memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang
amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.
Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa
kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas
Kata Pengantar
vi
Dakwah di Kalangan Umat Islam
dalam Perspektif Kerukunan
Editor
M. Yusuf Asry
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
2012
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
vii
Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt,
kami menyambut baik diterbitkan buku ini. Sebuah buku yang
berisi hasil penelitian para peneliti Puslitbang Kehidupan
Keagamaan.
Masyarakat Indonesia dikenal sangat majemuk di antara
bangsa-bangsa dunia dewasa ini dalam etnis dan agama. Karena
itu, adalah sangat tepat apabila pembangunan bidang agama
yang berlangsung secara berkelanjutan menjadi sasaran. Di antara
pembangunan tersebut adalah peningkatan kualitas kehidupan
beragama dan harmonisasi hubungan umat beragama.
Salah satu upaya mencapai sasaran pembangunan
tersebut adalah melalui penyiaran atau dakwah.Secara umum,
dakwah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, dakwah eksternal,
yaitu dakwah keluar komunitasnya untuk memperkenalkan ajaran
suatu agama guna tercipta suasana saling memahami, dan
Dakwah di Kalangan Umat Islam
dalam Perspektif Kerukunan
Editor
M. Yusuf Asry
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
2012
Sambutan
viii
kemudian diharapkan memperkuat toleransi antarumat beragama
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua,
dakwah internal, yaitu dakwah ke dalam komunitas sendiri yang
berorientasi pada peningkatan kualitas pemahaman dan
pengamalan agama, serta kerukunan hidup internal masing-
masing umat beragama. Dengan demikian, agama akan
bermakna bagi pemeluknya dan dapat berkonstribusi bagi
kemajuan dan kesejahteran bersama, serta kerukunan.
Setiap muslim pada hakikatnya adalah da’i sesuai masing-
masing kemampuan, sehingga wajar terjadi perbedaan dalam
mengartikulasikan dakwahnya. Namun, semua menuju pada
“amar makruf nahi mungkar”. Karena itu, dakwah multikultural
merupakan suatu keniscayaan dengan visi “rahmatan lil’alamin”.
Berdakwah merupakan tugas mulia yang diemban oleh umat Islam
dalam rangka memperluas nilai-nilai Islam agar mewarnai seluruh
aspek kehidupan.
Buku ini mendeskripsikan dakwah yang dilakukan, baik
oleh ormas Islam maupun kelompok-kelompok gerakan dakwah
Islam. Sosialisasi dan desiminasi hasil penelitian bisa dalam bentuk
tulisan dalam jurnal, majalah dan media cetak seperti dalam
bentuk tulisan ini. Buku ini dipandang penting, untuk referensi
mengenai dakwah yang tergolong masih langka. Dalam konteks
itulah penerbitan buku ini berarti salah satu sosialisasi dan
publikasi hasil penelitian bidang kehidupan keagamaan yang
dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Atas diterbitkan buku ini, kami ucapkan terima kasih kepada
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang mendesain dari
awal hingga tersusun buku ini. Semoga buku ini memberikan
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
ix
konstribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan,
sekaligus pencerahan kepada masyarakat dan bangsa yang kita
cintai ini.
Jakarta, Oktober 2012
Pgs. Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Prof. Dr. H. Machasin, MA
NIP. 19561013 198103 1 003
kemudian diharapkan memperkuat toleransi antarumat beragama
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua,
dakwah internal, yaitu dakwah ke dalam komunitas sendiri yang
berorientasi pada peningkatan kualitas pemahaman dan
pengamalan agama, serta kerukunan hidup internal masing-
masing umat beragama. Dengan demikian, agama akan
bermakna bagi pemeluknya dan dapat berkonstribusi bagi
kemajuan dan kesejahteran bersama, serta kerukunan.
Setiap muslim pada hakikatnya adalah da’i sesuai masing-
masing kemampuan, sehingga wajar terjadi perbedaan dalam
mengartikulasikan dakwahnya. Namun, semua menuju pada
“amar makruf nahi mungkar”. Karena itu, dakwah multikultural
merupakan suatu keniscayaan dengan visi “rahmatan lil’alamin”.
Berdakwah merupakan tugas mulia yang diemban oleh umat Islam
dalam rangka memperluas nilai-nilai Islam agar mewarnai seluruh
aspek kehidupan.
Buku ini mendeskripsikan dakwah yang dilakukan, baik
oleh ormas Islam maupun kelompok-kelompok gerakan dakwah
Islam. Sosialisasi dan desiminasi hasil penelitian bisa dalam bentuk
tulisan dalam jurnal, majalah dan media cetak seperti dalam
bentuk tulisan ini. Buku ini dipandang penting, untuk referensi
mengenai dakwah yang tergolong masih langka. Dalam konteks
itulah penerbitan buku ini berarti salah satu sosialisasi dan
publikasi hasil penelitian bidang kehidupan keagamaan yang
dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Atas diterbitkan buku ini, kami ucapkan terima kasih kepada
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang mendesain dari
awal hingga tersusun buku ini. Semoga buku ini memberikan
Sambutan
x
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xi
Prolog
DAKWAH, AKTIVITAS DISKURSIF DAN TANTANGAN
GLOBALISASI
Noorhaidi Hasan
(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Muslim kontemporer hidup dalam situasi yang semakin
kompleks akibat perubahan sosial yang sangat cepat pada era
globalisasi. Masalah-masalah baru muncul setiap saat,
mempersulit upaya mereka mengkontekstualisasi agama dengan
kehidupan sehari-hari (everyday life). Menariknya, menghadapi
tantangan-tantangan perubahan global, semakin banyak Muslim
berupaya menyatakan identitas keagamaan mereka secara
terbuka di ruang publik. Simbol-simbol Islam hadir semakin
mencolok. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Islam malah
mempertunjukkan vitalitasnya sebagai sistem simbolik dan
kolektif identitas yang mempengaruhi gerak sosial dan politik
Muslim di seluruh dunia. Sejalan dengan kesadaran dan hasrat
mereka yang semakin meningkat untuk mempertunjukkan
kedirian agama (religious self) mereka di ruang publik, Islam
Prolog
xii
bergerak ke tengah mewarnai transaksi politik, kegiatan ekonomi,
dan hubungan sosial-budaya. Sebagaimana kita saksikan di
Indonesia, negara Muslim yang paling banyak penduduknya di
dunia, pengaruh Islam yang semakin meningkat di ruang publik
terjadi bersamaan dengan pertumbuhan institusi dan gaya hidup
baru Islami.
Masjid megah dengan gaya arsitektur baru bercorak Timur
Tengah bermunculan, penuh jamaah menghadiri ibadah sehari-
hari maupun acara pengajian dan zikir bersama. Semakin banyak
orang pergi melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah, sebagian
mereka menggunakan paket perjalanan mahal yang menawarkan
pelayanan berbintang. Jilbab dan baju koko muncul menjadi trend
berpakaian masa kini. Produk dandanan dan perawatan kulit
istimewa dengan label halal secara luas diiklankan dan dijual baik
di pasar tradisional maupun counter khusus toko serba-ada yang
menjual barang-barang mewah. Melengkapi keberadaan qasyidah,
nasyid yang memakai aliran musik beraneka dari pop sampai
reggae berkembang semakin populer dan kerap berhasil
menapaki tangga atas industri musik nasional.
Bersamaan dengan berkembangnya budaya pop Islami,
majalah, buletin, pamflet, buku, dan novel yang mengangkat
tema-tema Islami terus bermunculan meraih oplah yang
mengesankan. Saluran radio dan televisi bersaing menyiarkan
sinetron bermuatan agama. Dakwah melalui dunia maya
menjamur menawarkan pesan agama lewat layanan SMS dan
jaringan internet.1
Bank-bank syariah dan asuransi syariah (takaful) terus
tumbuh mengimbangi persemaian Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dan Bait al-Mal wa al-Tamwil, lembaga keuangan berskala
mikro yang tumbuh menjamur sampai pelosok kecamatan dan
desa.2
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xiii
Budaya pop Islami sarat dengan simbol-simbol yang bukan
hanya telah berkembang menjadi identitas penting seorang
Muslim, tetapi sekaligus status sosial dan mobilitas ekonomi. Hal
ini malah lambat laun berubah menjadi lambang elitisme, yang
terkait dengan kesuksesan seseorang. Simbol-simbol itu
memungkinkan orang dari latar belakang sosial yang berbeda
membangun jejaring sosial virtual maupun nyata yang bisa
diupayakan menjadi modal sosial (social capital) untuk
peningkatan produktivitas kolektif. Lewat jaringan ini, Islam
diinterpretasikan dan diberikan makna baru seiring semangat
perubahan zaman. Jaringan ini, pada gilirannya, menyediakan jalur
mobilitas sosial dan ekonomi maupun pasar untuk produk
komersial.3
Landskap dunia Islam tampaknya tengah mengalami
transformasi menuju terciptanya ruang publik baru yang disebut
ruang publik Islam (Islamic public space). Dalam ruang publik yang
baru ini kontras antara agama dan modernitas menjadi semakin
tidak relevan karena globalisasi mendorong terciptanya budaya
global homogen yang mensinkronkan selera, konsumsi dan gaya
hidup masyarakat global. Globalisasi sekaligus memperdalam
penetrasi nilai-nilai modern seperti demokrasi, toleransi, dan hak-
hak asasi manusia. Proses ini melahirkan apa yang disebut “Islam
publik” (public Islam), ekspresi, simbol dan pernyataan keagamaan
yang ramah terhadap nilai-nilai modern dan globalisasi.4
Konsep Islam publik tidak bisa dipisahkan dari perdebatan
seputar agama publik (public religion) yang dicetuskan Jose
Casanova. Membantah tesis-tesis sekularisasi, sosiolog Amerika ini
berpandangan bahwa agama pada era globalisasi mengalami
proses repolitisisasi dan sekaligus deprivatisasi, ketika ia masuk ke
dalam gelanggang kontestasi politik dan menolak untuk disekat
dalam ruang privat.5 Namun karena globalisasi berkembang
bergerak ke tengah mewarnai transaksi politik, kegiatan ekonomi,
dan hubungan sosial-budaya. Sebagaimana kita saksikan di
Indonesia, negara Muslim yang paling banyak penduduknya di
dunia, pengaruh Islam yang semakin meningkat di ruang publik
terjadi bersamaan dengan pertumbuhan institusi dan gaya hidup
baru Islami.
Masjid megah dengan gaya arsitektur baru bercorak Timur
Tengah bermunculan, penuh jamaah menghadiri ibadah sehari-
hari maupun acara pengajian dan zikir bersama. Semakin banyak
orang pergi melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah, sebagian
mereka menggunakan paket perjalanan mahal yang menawarkan
pelayanan berbintang. Jilbab dan baju koko muncul menjadi trend
berpakaian masa kini. Produk dandanan dan perawatan kulit
istimewa dengan label halal secara luas diiklankan dan dijual baik
di pasar tradisional maupun counter khusus toko serba-ada yang
menjual barang-barang mewah. Melengkapi keberadaan qasyidah,
nasyid yang memakai aliran musik beraneka dari pop sampai
reggae berkembang semakin populer dan kerap berhasil
menapaki tangga atas industri musik nasional.
Bersamaan dengan berkembangnya budaya pop Islami,
majalah, buletin, pamflet, buku, dan novel yang mengangkat
tema-tema Islami terus bermunculan meraih oplah yang
mengesankan. Saluran radio dan televisi bersaing menyiarkan
sinetron bermuatan agama. Dakwah melalui dunia maya
menjamur menawarkan pesan agama lewat layanan SMS dan
jaringan internet.1
Bank-bank syariah dan asuransi syariah (takaful) terus
tumbuh mengimbangi persemaian Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dan Bait al-Mal wa al-Tamwil, lembaga keuangan berskala
mikro yang tumbuh menjamur sampai pelosok kecamatan dan
desa.2
Prolog
xiv
seiring meluasnya pendidikan dan komunikasi massal, agama
yang masuk ke ruang publik zaman ini terpaksa menerima prinsip
rasionalitas komunikatif.6 Pendidikan dan komunikasi massal
memfasilitasi tumbuhnya kemandirian dan kesadaran di kalangan
Muslim tentang perlunya merekonstruksi pemikiran dan tindakan
keagamaan mereka, serta membuat format baru ruang publik
yang diskursif, performatif, dan partisipatif.7 Seturut
perkembangan prinsip volunterisme modern yang mempengaruhi
rasionalitas publik, pengertian tentang kesalehan bergeser ke arah
yang menekankan keislaman personal (personalized Muslimhood).8
Apakah trend perkembangan global semacam ini
berpengaruh terhadap format dan arah dakwah ormas-ormas
maupun gerakan Islam di Indonesia masa kini? Pertanyaan ini
penting diajukan karena Indonesia merupakan contoh negara di
mana pertarungan memperebutkan pusat medan wacana (centre
of the discursive field) berlangsung sangat intens. Berbagai macam
ormas dan gerakan keagamaan dari yang bercorak radikal, militan,
moderat, progresif sampai liberal berupaya mengekspresikan
identitas dan kepentingan masing-masing melalui aktivitas
diskursif yang dinamis. Simbol-simbol dimunculkan, diberikan
makna dan diinterpretasikan. Ketegangan dan negosiasi
berlangsung mewarnai pertarungan wacana ini.
Dakwah merupakan aktivitas diskursif yang berpusat pada
produksi, penyemaian, otorisasi dan appropriasi pengetahuan
keislaman. Berdasar teori Talal Asad tentang Islam sebagai tradisi
diskursif, persepsi Muslim tentang bagaimana pengetahuan
keislaman itu diterjemahkan ke dalam perkataan, prilaku, tindakan
dan perbuatan selalu dikontekstualisasi dan sekaligus
diperebutkan (contested).9 Persepsi-persepsi ini sangat sentral
dalam kaitan dengan pandangan-pandangan dan debat-debat
tentang interaksi Muslim dengan dunia sosial di sekitarnya.
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xv
Sekalipun tidak ada standard tunggal yang universal tentang
definisi, lingkup dan cakupan pengetahuan keislaman, memahami
dakwah merupakan hal krusial sebagai prasyarat dalam mengerti
apa makna menjadi seorang Muslim dan bagaimana kedirian
Muslim modern terbentuk dalam konteks yang terus berubah.
Dakwah sebagai sarana produksi pengetahuan yang berlangsung
secara diskursif dipercaya mempunyai fungsi penting dalam
membentuk watak dan prilaku Muslim, seperti terefleksi dalam
cara mereka berpikir, bersikap dan bertindak sehari-hari. Melalui
aktivitas keagamaan yang melibatkan pendakwah, ulama dan
otoritas keagamaan lainnya, dakwah berlangsung dinamis tidak
hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga mendorong lahirnya
individu yang berkepribadian istimewa (tahdhib).10
Buku yang ada di hadapan pembaca ini sangat relevan
dibaca untuk mengetahui bagaimana dinamika dakwah ormas-
ormas dan gerakan keagamaan di Indonesia berlangsung di
tengah menguatnya pengaruh radikalisme yang mengancam
kerukunan intern ataupun ekstern umat beragama. Beragam
ormas dan gerakan keagamaan dari berbagai spektrum disorot,
dibandingkan dan ditelaah menyangkut bagaimana cara mereka
menghadirkan dakwah dan pengaruhnya terhadap kerukunan
umat beragama. Ormas dan gerakan keagamaan yang tersebar di
berbagai kota provinsi di Indonesia itu meliputi Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Mathla’ul Anwar,
Persatuan Umat Islam (PUI), Front Anti Pemurtadan, Nahdlatul
Wathan, Gerakan Salafi, Majelis Tafsir Al Qur’an, Al-Khairaat, dan
Dar ud Da’wah Wal Irsyad. Mereka menghadirkan corak dakwah
yang beraneka melalui ibadah, pengajian, zikir bersama, pendidikan,
sosial, karitas, dan aktivitas kemanusiaan lainnya. Mereka juga
mengembangkan aktivitas filantropik melalui zakat, sadaqah dan
amal jariyah. Dakwah ormas dan gerakan-gerakan keagamaan ini
seiring meluasnya pendidikan dan komunikasi massal, agama
yang masuk ke ruang publik zaman ini terpaksa menerima prinsip
rasionalitas komunikatif.6 Pendidikan dan komunikasi massal
memfasilitasi tumbuhnya kemandirian dan kesadaran di kalangan
Muslim tentang perlunya merekonstruksi pemikiran dan tindakan
keagamaan mereka, serta membuat format baru ruang publik
yang diskursif, performatif, dan partisipatif.7 Seturut
perkembangan prinsip volunterisme modern yang mempengaruhi
rasionalitas publik, pengertian tentang kesalehan bergeser ke arah
yang menekankan keislaman personal (personalized Muslimhood).8
Apakah trend perkembangan global semacam ini
berpengaruh terhadap format dan arah dakwah ormas-ormas
maupun gerakan Islam di Indonesia masa kini? Pertanyaan ini
penting diajukan karena Indonesia merupakan contoh negara di
mana pertarungan memperebutkan pusat medan wacana (centre
of the discursive field) berlangsung sangat intens. Berbagai macam
ormas dan gerakan keagamaan dari yang bercorak radikal, militan,
moderat, progresif sampai liberal berupaya mengekspresikan
identitas dan kepentingan masing-masing melalui aktivitas
diskursif yang dinamis. Simbol-simbol dimunculkan, diberikan
makna dan diinterpretasikan. Ketegangan dan negosiasi
berlangsung mewarnai pertarungan wacana ini.
Dakwah merupakan aktivitas diskursif yang berpusat pada
produksi, penyemaian, otorisasi dan appropriasi pengetahuan
keislaman. Berdasar teori Talal Asad tentang Islam sebagai tradisi
diskursif, persepsi Muslim tentang bagaimana pengetahuan
keislaman itu diterjemahkan ke dalam perkataan, prilaku, tindakan
dan perbuatan selalu dikontekstualisasi dan sekaligus
diperebutkan (contested).9 Persepsi-persepsi ini sangat sentral
dalam kaitan dengan pandangan-pandangan dan debat-debat
tentang interaksi Muslim dengan dunia sosial di sekitarnya.
Prolog
xvi
ternyata di satu sisi berpotensi meningkatkan kerukunan, tetapi
juga di sisi lain menimbulkan konflik di masyarakat.
Dinamisasi dakwah dan pemaknaannya yang dibingkai
dalam kerangka multikulturalisme rupanya dapat berfungsi sebagai
faktor integrasi di dalam masyarakat yang pluralistik.
Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme
kerjasama dan reciprocity (timbal-balik) dengan mana setiap
individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan
tempat, menenggang perbedaan dan bahkan membantu individu
dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan
perhormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip
dasar multikulturalisme. Terkait dengan kerangka
kewarganegaraan (framework of citizenship), multikulturalisme
muncul sebagain mekanisme yang terpenting bagi pendidikan
demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia mencegah
adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri
paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran,
mengembangkan prilaku eksklusif yang mengabaikan hak-hak
orang lain.11
Sebaliknya, dakwah yang dikembangkan dalam bingkai
eksklusivitas akan cenderung berperan menyemai bibit
permusuhan dan keretakan antar umat beragama. Eksklusivitas
berkembang di dalam mekanisme ingroup love-outgroup hate dan
jalin menjalin dengan persepsi dan pemahaman pengikut-
pengikut ormas atau gerakan keagamaan tertentu yang eksklusif
dengan lingkungan sosial yang kompleks dan berada di luar diri
mereka. Melalui kategorisasi sosial (social categorization) individu-
individu dan kelompok (yang tergabung di dalam gerakan
eksklusif) membagi dunia sosial ke dalam 2 kategori yang kontras.
Kemudian, mereka membangun apa yang disebut ingroup-
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xvii
positivity, dengan mengidealkan diri dan kelompok mereka. Pada
tahap selanjutnya, mereka membangun intergroup comparison
dengan membandingkan betapa beruntungnya diri mereka
dengan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok mereka.
Dengan cara itu kemudian mereka membangun outgroup hostility,
kebencian terhadap orang-orang yang hidup di luar batas-batas
kelompok mereka.12
Dengan lingkup bahasan maupun jangkauan obyek yang
sangat beragam, kehadiran buku ini menjadi penting untuk
menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang
perkembangan dakwah ormas dan gerakan-gerakan keagamaan
masa kini di Indonesia. Buku ini juga sangat berguna sebagai
referensi awal menelusuri trend-trend baru dakwah ormas-ormas
dan gerakan keagamaan di Indonesia dan jaringan maknanya yang
terus berubah berhadapan dengan globalisasi.
Catatan
1 Greg Fealy “Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism
in Contemporary Indonesia,” dalam Greg Fealy and Sally White, eds., Expressing Islam,
Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 15-39.
2 Minako Sakai, “Community Development through Islamic Microfinance: Serving
the Financial Needs of the Poor in a Viable Way,” dalam Greg Fealy dan Sally White, eds.,
Expressing Islam, Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 267-
285.
3 Noorhaidi Hasan, ‘The Making of Public Islam: Piety, Agency and
Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere.’ Contemporary Islam 3,
3 (2009): 229-250.
4 Armando Salvatore dan Dale Eickelman, “Public Islam and the Common Good,”
dalam Armando Salvatore and Dale F. Eickleman (eds.), Public Islam and the Common Good
(Leiden, Boston: Brill, 2004), hlm. xi-xxv.
5 Jose Casanova, Public Religions in the Modern World (Chicago: University of
Chicago Press, 1994), hlm. 23-27.
ternyata di satu sisi berpotensi meningkatkan kerukunan, tetapi
juga di sisi lain menimbulkan konflik di masyarakat.
Dinamisasi dakwah dan pemaknaannya yang dibingkai
dalam kerangka multikulturalisme rupanya dapat berfungsi sebagai
faktor integrasi di dalam masyarakat yang pluralistik.
Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme
kerjasama dan reciprocity (timbal-balik) dengan mana setiap
individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan
tempat, menenggang perbedaan dan bahkan membantu individu
dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan
perhormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip
dasar multikulturalisme. Terkait dengan kerangka
kewarganegaraan (framework of citizenship), multikulturalisme
muncul sebagain mekanisme yang terpenting bagi pendidikan
demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia mencegah
adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri
paling benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran,
mengembangkan prilaku eksklusif yang mengabaikan hak-hak
orang lain.11
Sebaliknya, dakwah yang dikembangkan dalam bingkai
eksklusivitas akan cenderung berperan menyemai bibit
permusuhan dan keretakan antar umat beragama. Eksklusivitas
berkembang di dalam mekanisme ingroup love-outgroup hate dan
jalin menjalin dengan persepsi dan pemahaman pengikut-
pengikut ormas atau gerakan keagamaan tertentu yang eksklusif
dengan lingkungan sosial yang kompleks dan berada di luar diri
mereka. Melalui kategorisasi sosial (social categorization) individu-
individu dan kelompok (yang tergabung di dalam gerakan
eksklusif) membagi dunia sosial ke dalam 2 kategori yang kontras.
Kemudian, mereka membangun apa yang disebut ingroup-
Catatan Editor
xviii
6 Ibid., hlm. 228-229.
7Armando Salvatore, “The Genesis and Evolution of ‘Islamic Publicness’ under
Global Constraints,” Journal of Arabic, Islamic and Middle Eastern Studies 3, 1(1996): 51-70 dan
Dale Eickelman, “Islam and the Language of Modernity,” Daedalus 129 (2000): 119-135.
8 Jenny B. White, (2005). “The End of Islamism? Turkey’s Muslimhood Model,”
dalam Robert W. Hefner (ed.). Remaking Muslim Politics. Princeton: Princeton University
Press, pp. 87-111; Nilufer Gole, “Islamic Visibilities and Public Sphere,” dalam Nilufer Göle
dan Ludwig Ammann (Eds.), Islam in Public Turkey, Iran, and Europe (Istanbul: Istanbul Bilgi
University Press, 2006), hlm. 3-43; lihat juga Asef Bayat, Making Islam Democratic, Social
Movements and the Post-Islamist Turn (Stanford, CA: Stanford University Press, 2007).
9 Talal Asad, ‘The idea of an Anthropology of Islam.’ Occasional paper Center for
Contemporary Arab Studies (Washington DC: Georgetown University, 1986).
10 Patrick D Gaffney. The Prophet’s Pulpit: Islamic Preaching in Contemporary Egypt.
Berkeley: University of California Press, 1994), hlm. 8-11 dan Muhammad Qasim Zaman, The
Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton and Oxford: Princeton
University Press, 2002), hlm. 23-28.
11 Lebih jauh tentang multikulturalisme dan kewarganegaraan, periksa Will
Kymlicka, Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford
University Press, 1995).
12 Lihat Richard D. Ashmore, Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen,
“Toward a Social Identity Framework for Intergroup Conflict,” dalam Richard D. Ashmore,
Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen (eds.), Social Identity, Intergroup Conflict dan
Conflict Reduction, vol 3 (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 189-225.
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xix
6 Ibid., hlm. 228-229.
7Armando Salvatore, “The Genesis and Evolution of ‘Islamic Publicness’ under
Global Constraints,” Journal of Arabic, Islamic and Middle Eastern Studies 3, 1(1996): 51-70 dan
Dale Eickelman, “Islam and the Language of Modernity,” Daedalus 129 (2000): 119-135.
8 Jenny B. White, (2005). “The End of Islamism? Turkey’s Muslimhood Model,”
dalam Robert W. Hefner (ed.). Remaking Muslim Politics. Princeton: Princeton University
Press, pp. 87-111; Nilufer Gole, “Islamic Visibilities and Public Sphere,” dalam Nilufer Göle
dan Ludwig Ammann (Eds.), Islam in Public Turkey, Iran, and Europe (Istanbul: Istanbul Bilgi
University Press, 2006), hlm. 3-43; lihat juga Asef Bayat, Making Islam Democratic, Social
Movements and the Post-Islamist Turn (Stanford, CA: Stanford University Press, 2007).
9 Talal Asad, ‘The idea of an Anthropology of Islam.’ Occasional paper Center for
Contemporary Arab Studies (Washington DC: Georgetown University, 1986).
10 Patrick D Gaffney. The Prophet’s Pulpit: Islamic Preaching in Contemporary Egypt.
Berkeley: University of California Press, 1994), hlm. 8-11 dan Muhammad Qasim Zaman, The
Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton and Oxford: Princeton
University Press, 2002), hlm. 23-28.
11 Lebih jauh tentang multikulturalisme dan kewarganegaraan, periksa Will
Kymlicka, Multicultural Citizenship. A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford
University Press, 1995).
12 Lihat Richard D. Ashmore, Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen,
“Toward a Social Identity Framework for Intergroup Conflict,” dalam Richard D. Ashmore,
Lee Jussim, David Wilder, dan Jessica Heppen (eds.), Social Identity, Intergroup Conflict dan
Conflict Reduction, vol 3 (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 189-225.
CATATAN EDITOR
Buku Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia ini diterbitkan untuk memperkaya
wawasan mengenai persoalan-persoalan dakwah dalam konteks
kerukunan umat beragama pada berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai sebuah hasil penelitian, isi buku ini
mengungkapkan realitas pelaksanaan dakwah di masyarakat yang
berbeda daerah dengan instrumen yang sama. Pelaku dakwah di
sini ialah organisasi kemasyarakatan Islam dan kelompok gerakan
(harakah) dakwah Islam. Isi buku memuat tulisan dari para peneliti
pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan:
Pertama, Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di
Kabupaten Pandegelang, Provinsi Banten oleh Mursyid Ali dan
Syuhada Abduh.
Kedua, Dakwah Persatuan Islam dan Persatuan Umat Islam
di Kota Bandung oleh M. Yusuf Asry, serta Kelompok Front Anti
Pemurtadan di Bekasi Provinsi Jawa Barat oleh Ibnu Hasan
Muchtar.
Catatan Editor
xx
Ketiga, Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan
Gerakan Salafi di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat oleh
Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz.
Keempat, Dakwah Kelompok Majelis Tafsir Al Qur’an,
Jamura dan Muhammadiyah di Kota Surakarta, Provinsi Jawa
Tengah oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati.
Kelima, Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan
Persatuan Islam di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Keenam, Dakwah Al Khairat, Darud Dakwah wal Irsyad dan
Muhammadiyah di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah oleh Akmal
Salim Ruhama.
Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan
pokok, yaitu: (1) Bagaimana karakter dakwah ormas dan kelompok
gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja
potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan
dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok
gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama?
Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam
rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan
kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di
sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok
gerakan dakwah atau harakah Islam, maka sekalipun diakui secara
umum masalah “khilafiyah” yang pada masa lalu merupakan “ikon”
konflik internal umat Islam pada dekade terakhir ini sudah kurang
pupuler untuk dipermasalahkan.
Saat ini dan kedepan dalam berdakwah dituntut
mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dakwah,
untuk dapat mengemas pesan-pesan keagamaan yang makin
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xxi
efektif dengan jaungkauan yang luas. Jika menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi, maka aktivitas dakwah akan
dapat ditingkatkan dan makin dirasakan makna bagi peningkatan
kualitas kehidupan keagamaan keagamaan dan kerukunan umat
beragama.
Suatu harapan dengan kahadiran buku ini akan
memperkaya khazanah referensi mengenai wajah dakwah Islam di
lapangan. Referensi yang berkenaan dengan karakter, potensi
konflik dan faktor integrasi, relasi pemeliharaan dalam kegiatan
dakwah. Apa yang ditampilkan dalam buku ini belumlah
sempurna, tetapi bermanfaat untuk merencanakan dakwah yang
lebih intensif dan efektif ke depan.
Jakarta, November 2012
Editor
H. M. Yusuf Asry
Ketiga, Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan
Gerakan Salafi di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat oleh
Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz.
Keempat, Dakwah Kelompok Majelis Tafsir Al Qur’an,
Jamura dan Muhammadiyah di Kota Surakarta, Provinsi Jawa
Tengah oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati.
Kelima, Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan
Persatuan Islam di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Keenam, Dakwah Al Khairat, Darud Dakwah wal Irsyad dan
Muhammadiyah di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah oleh Akmal
Salim Ruhama.
Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan
pokok, yaitu: (1) Bagaimana karakter dakwah ormas dan kelompok
gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja
potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan
dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok
gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama?
Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam
rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan
kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di
sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok
gerakan dakwah atau harakah Islam, maka sekalipun diakui secara
umum masalah “khilafiyah” yang pada masa lalu merupakan “ikon”
konflik internal umat Islam pada dekade terakhir ini sudah kurang
pupuler untuk dipermasalahkan.
Saat ini dan kedepan dalam berdakwah dituntut
mengaplikasikan teknologi informasi dan komunikasi dakwah,
untuk dapat mengemas pesan-pesan keagamaan yang makin
Catatan Editor
xxii
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xxiii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan .. iii
Sambutan Kepala Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI ................................................................................................... vii
Prolog ........................................................................................................ xi
Catatan Editor ......................................................................................... xix
Daftar Isi .................................................................................................... xxiii
I. DAKWAH MATHLA’UL ANWAR DAN NAHDLATUL
ULAMA DI KABUPATEN PANDEGELANG, PROVINSI
BANTEN
Oleh Mursyid Ali dan Syuhada Abduh ................................. 1
A. Profil Ormas Mathla’ul Anwar ............................................ 9
B. Profil Nahdlatul Ulama ....................................................... 11
C. Aktivitas Dakwah .................................................................... 14
II. DAKWAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS), PERSATUAN
UMAT ISLAM (PUI) DI KOTA BANDUNG DAN KELOMPOK
FRONT ANTI PEMURTADAN DI KOTA BEKASI JAWA
BARAT
Oleh M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan
Haris Burhani.................................................................................. 23
Kata Pengantar
xxiv
A. Dakwah Persatuan Islam ................................................... 39
B. Dakwah Persatuan Umat Islam ........................................ 49
C. Dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan ................... 53
III. DAKWAH NAHDLATUL WATHAN, MUHAMMADIYAH
DAN GERAKAN SALAFI DI KOTA MATARAM, PROVINSI
NUSA TENGGARA BARAT
Oleh Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz .......................... 67
A. Nahdlatul Wathan (NW) ..................................................... 89
B. Muhammadiyah ................................................................... 98
C. Kelompok Salafi .................................................................... 103
IV. DAKWAH KELOMPOK MAJELIS TAFSIR AL QUR’AN,
JAMURA DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA
SURAKARTA, PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati ............................... 131
A. Jamaah Muji Rasul (Jamura) ............................................... 161
B. Majelis Tafsir Al Qur’an ....................................................... 165
V. DAKWAH NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIAYAH
DAN PERSATUAN ISLAM DI KOTA SURABAYA,
PROVINSI JAWA TIMUR
Oleh Haidlor Ali Ahmad, Sahri dan R. Adang Novandi ... 203
A. Profil Nahdlatul Ulama ....................................................... 231
B. Profil Muhammadiayah ..................................................... 245
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil ............................. 256
Kerukunan Umat Beragama di Berbagai Daerah: Studi tentang Gerakan Dakwah ...
xxv
VI. DAKWAH AL KHAIRAT, DARUD DAKWAH WAL IRSYAD
DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA PALU, PROVINSI
SULAWESI TENGAH
Oleh Akmal salim Ruhama ...................................................... 297
A. Al Khairat ................................................................................. 317
B. Nahdlatul Ulama .................................................................... 324
C. Darud Dakwah Wal Irsyad ................................................. 326
D. Muhammadiyah ................................................................... 328
A. Dakwah Persatuan Islam ................................................... 39
B. Dakwah Persatuan Umat Islam ........................................ 49
C. Dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan ................... 53
III. DAKWAH NAHDLATUL WATHAN, MUHAMMADIYAH
DAN GERAKAN SALAFI DI KOTA MATARAM, PROVINSI
NUSA TENGGARA BARAT
Oleh Bashori A, Hakim dan Muh. Khafidz .......................... 67
A. Nahdlatul Wathan (NW) ..................................................... 89
B. Muhammadiyah ................................................................... 98
C. Kelompok Salafi .................................................................... 103
IV. DAKWAH KELOMPOK MAJELIS TAFSIR AL QUR’AN,
JAMURA DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA
SURAKARTA, PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh Muh. Shulton dan Titik Suwaryati ............................... 131
A. Jamaah Muji Rasul (Jamura) ............................................... 161
B. Majelis Tafsir Al Qur’an ....................................................... 165
V. DAKWAH NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIAYAH
DAN PERSATUAN ISLAM DI KOTA SURABAYA,
PROVINSI JAWA TIMUR
Oleh Haidlor Ali Ahmad, Sahri dan R. Adang Novandi ... 203
A. Profil Nahdlatul Ulama ....................................................... 231
B. Profil Muhammadiayah ..................................................... 245
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil ............................. 256
Kata Pengantar
xxvi
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
1
DAKWAH
MATHLA’UL ANWAR DAN NAHDLATUL ULAMADI KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN
Oleh: Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
I
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
2
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
3
Latar Belakang Masalah
Kajian tentang dakwah dan keterkaitannya dengan ihwal
kerukunan internal Muslim, dipandang penting dilakukan dengan
pertimbangan antara lain: dakwah mengajak umat hidup ke jalan
yang benar, ber-Islam secara benar, memahami dan
mengaktualisasikan ajaran Islam secara benar dan utuh
merupakan kewajiban tiap muslim; dakwah merupakan salah satu
kegiatan penting dan sentral bagi komunitas dan ormas Islam
dalam memelihara dan mengembangkan eksistensinya dalam
masyarakat.
Aktifitas dakwah dapat berkontribusi positif dalam
menggalang kerukunan, tetapi dapat juga berkontribusi negatif
mengundang konflik yang merugikan kerukunan. Mengetahui
perkembangan aktifitas dakwah, khususnya yang dilakukan oleh
ormas Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdlatul Ulama (NU) di
Kabupaten Pandeglang.
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
4
Tujuan
Berbagai informasi yang dihimpun melalui kajian ini, yaitu;
(1) profil dan aktifitas dakwah yang dilakukan ormas Mathlaul
Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) (2) Potensi konflik dan
integrasi dalam kegiatan dakwah (3) Upaya Ormas MA dan NU
dalam mewujudkan kerukunan.
Sasaran dan lokasi.
Sasaran Kajian ini adalah dua ormas Islam, masing-masing
Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) di wilayah
Kabupaten Pandeglang. Ormas tersebut dipilih sebagai sasaran
atas pertimbangan, di lingkungan masyarakat Kabupaten
Pandeglang, ormas MA dan NU relatif besar massa pendukungnya,
pengaruh dan aktifitas dakwahnya lebih besar dibandingkan
ormas Islam setempat lainnya.
Metode
Untuk mendapatkan informasi ditempuh langkah-langkah:
(1) penelusuran dan telaah kepustakaan serta dokumentasi terkait
(2) wawancara dengan para nara sumber (3) pengamatan
lapangan terbatas, (4) Informasi yang berhasil dikumpulkan,
dianalisis secara kualitatif, diseleksi, dikoreksi, diklasifikasi,
dikomparasi, dan diinterpretasi, kemudian ditarik kesimpulan
pokok.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
5
Administrasi Pemerintahan
Kabupaten Pandeglang salah satu dari delapan kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten. Secara administratif terdiri dari 35 kecamatan, 335 desa/kelurahan, dengan luasan wilayah 3.747 km2 atau sekitar 29,98% dari luas Propinsi Banten.
Pada tahun 2010, tercatat jumlah penduduk Kabupaten
Pandeglang sebanyak 1.154.994 jiwa. Sebaran penduduk per kecamatan relatif tidak merata. Kecamatan yang penduduk terjarang ialah kecamatan Sumur, rata-rata hanya 87,98 jiwa per km. Sementara wilayah terpadat adalah kecamatan Labuan dengan rata-rata penduduk sebanyak 3.482,38 jiwa/km2.
Sedangkan rata-rata penduduk Kabupaten Pandeglang 418.31 jiwa per km2. 1
Secara sosial budaya di lingkungan masyarakat Pandeglang dan Banten pada umumnya terdapat tiga kelompok yang pengaruhnya relatif besar yakni: ulama, jawara/pendekar, dan
kelompok pejabat. Ulama berkiprah di bidang keagamaan melalui
1Pandeglang dalam Angka, 2010.
Tujuan
Berbagai informasi yang dihimpun melalui kajian ini, yaitu;
(1) profil dan aktifitas dakwah yang dilakukan ormas Mathlaul
Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) (2) Potensi konflik dan
integrasi dalam kegiatan dakwah (3) Upaya Ormas MA dan NU
dalam mewujudkan kerukunan.
Sasaran dan lokasi.
Sasaran Kajian ini adalah dua ormas Islam, masing-masing
Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama (NU) di wilayah
Kabupaten Pandeglang. Ormas tersebut dipilih sebagai sasaran
atas pertimbangan, di lingkungan masyarakat Kabupaten
Pandeglang, ormas MA dan NU relatif besar massa pendukungnya,
pengaruh dan aktifitas dakwahnya lebih besar dibandingkan
ormas Islam setempat lainnya.
Metode
Untuk mendapatkan informasi ditempuh langkah-langkah:
(1) penelusuran dan telaah kepustakaan serta dokumentasi terkait
(2) wawancara dengan para nara sumber (3) pengamatan
lapangan terbatas, (4) Informasi yang berhasil dikumpulkan,
dianalisis secara kualitatif, diseleksi, dikoreksi, diklasifikasi,
dikomparasi, dan diinterpretasi, kemudian ditarik kesimpulan
pokok.
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
6
pesantren, majelis taklim, masjid dan pranata agama lainnya.
Sementara kelompok jawara /pendekar (unsur adat) terkenal dengan sikap mental keberanianya serta keterampilan/kemahiran ilmu beladiri. Sedangkan kelompok pejabat dengan segenap jajarannya berperan di bidang pemerintahan. Kerjasama dan
sinergisitas antar ketiga kelompok di atas, merupakan salah satu kata kunci bagi keberhasilan atau tidaknya pembangunan setempat.2
Untuk menopang hidup kesehariannya sebagian besar masyarakat setempat yakni sekitar 52,84 persen berkiprah
dibidang pertanian. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 25,16 jasa 9,57 persen industri pengolahan 7, 03 persen dan lainnya sekitar 5,40 persen.
Keagamaan
Selanjutnya mengenai masalah kependudukan menurut agama, masyarakat Pandeglang dapat dikatakan homogen. Dari
penduduk setempat secara keseluruhan sebanyak 1.514.994 jiwa, tercatat di Kemenag kabupaten Pandeglang sejumlah 1.154.375 penduduk (99,95% beragama Islam). Sisanya penganut Katolik hanya 258 orang, Kristen 136 orang, Hindu 134 orang, dan Buddha 91 orang. Sementara Konghucu tidak ada catatan.
Mengenai sarana ibadat tercatat sebanyak 1.462 mesjid dan 277 musholla. Sarana ibadat agama lain (non Islam) sampai saat ini belum ada, karena penganutnya memang sangat sedikit dan terpencar diberbagai wilayah.3
2Ahmad Abrori, Prilaku Politik Jawara, FISIP-UI, 2003 3Laporan Kemenag Kabupaten Pandeglang, 2010
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
7
Masyarakat Pandeglang dan Banten pada umumnya memiliki
semangat keagamaan Islam yang tinggi. Dua Ormas dipandang besar dan berpengaruh dilingkungan masyarakat setempat masing-masing Mathlaul Anwar (MA) dan Nahdhatul Ulama yang keduanya banyak berkiprah di bidang pendidikan, dakwah
keagamaaan dan sosial kemasyarakatan.
pesantren, majelis taklim, masjid dan pranata agama lainnya.
Sementara kelompok jawara /pendekar (unsur adat) terkenal dengan sikap mental keberanianya serta keterampilan/kemahiran ilmu beladiri. Sedangkan kelompok pejabat dengan segenap jajarannya berperan di bidang pemerintahan. Kerjasama dan
sinergisitas antar ketiga kelompok di atas, merupakan salah satu kata kunci bagi keberhasilan atau tidaknya pembangunan setempat.2
Untuk menopang hidup kesehariannya sebagian besar masyarakat setempat yakni sekitar 52,84 persen berkiprah
dibidang pertanian. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 25,16 jasa 9,57 persen industri pengolahan 7, 03 persen dan lainnya sekitar 5,40 persen.
Keagamaan
Selanjutnya mengenai masalah kependudukan menurut agama, masyarakat Pandeglang dapat dikatakan homogen. Dari
penduduk setempat secara keseluruhan sebanyak 1.514.994 jiwa, tercatat di Kemenag kabupaten Pandeglang sejumlah 1.154.375 penduduk (99,95% beragama Islam). Sisanya penganut Katolik hanya 258 orang, Kristen 136 orang, Hindu 134 orang, dan Buddha 91 orang. Sementara Konghucu tidak ada catatan.
Mengenai sarana ibadat tercatat sebanyak 1.462 mesjid dan 277 musholla. Sarana ibadat agama lain (non Islam) sampai saat ini belum ada, karena penganutnya memang sangat sedikit dan terpencar diberbagai wilayah.3
2Ahmad Abrori, Prilaku Politik Jawara, FISIP-UI, 2003 3Laporan Kemenag Kabupaten Pandeglang, 2010
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
8
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
9
A. Profil Ormas Mathlaul Anwar
Latar Belakang Berdirinya
Mathlaul Anwar adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang independen, bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Didirikan pada tanggal 10 syawal 1334 H bertepatan tanggal 4 Agustus 1916 di Menes-Pandeglang, atas prakarsa sejumlah kiyai dan tokoh masyarakat antara lain : Kiyai TB Moh
Soleh – Kiyai EH. Moh.Yasin- Kiyai Mas Abdurrahman (Syekh Muhammad Nawawi Al Bantany) KH. Abdul Mu’ti – KH Salman Cibinglu- KH.Daud – KH.Rusydi – E.Danawi- KH.Mustaghfiri.4
Adapun tujuan awal didirikannya Ormas ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, pondok pesantren dan menyelenggarakan tabligh ke berbagai penjuru tanah air, yang pada saat itu masih
4KH. Syibli Syairjaya, Sejarah dan Khithah Mathlaul Anwar, UNMA Banten, 2009.
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
10
dikuasai pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial membiarkan
rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.5
Setelah mengalami berbagai perkembangan, sekarang ormas ini mempunyai tujuan sesuai dengan AD/ART (pasal 3);
1) Terwujudnya masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetehuan, cakap dan terampil, serta berakhlaqul karimah.
2) Terwujudnya nilai-nilai Islam pada lembaga-lembaga pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.
3) Terwujudnya keluarga dan masyarakat yang bahagia,
sejahtera, adil dan makmur diridhai Allah SWT.
Karakteristik Organisasi
Mathlaul Anwar sebagai organisasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Dalam bidang aqidah/ushuluddin, mengikuti Ulama salaf seperti aqidah para imam empat (Malik-Hanafi-Syafi’i-dan
Hambali), juga Imam Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi.
b) Dalam bidang siyasah (pemerintahan) Ahlusunnah waljamaah yang harus taat kepada Allah, rasul, dan Ulil Amri.
c) Ulil amri (Pemerintahan) yang harus ditaati itu bila keputusan-keputusannya tidak bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadits.
d) Pengikut Ahlu sunnah waljama’ah tidak boleh memberontak kepada pemerintah yang sah yang selalu menjaga kemaslahan ummat dan menghindari kemudharatan/kerusakan.
5Mathlaul Anwar, Program Umum, 2010.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
11
e) Dalam masalah fiqih, berpedoman pada imam mazhab yang
empat sebagimana tersebut di atas, serta sikap yang perlu dijaga jangan terlalu fanatik terhadap suatu mazhab, tapi jangan menyia-nyiakan/ melecehkan mazhab.
f) Tidak berkiprah dibidang politik praktis.
g) Isi dan pesan dakwah fokus pada tema amar ma’ruf nahi munkar.6
h) Keuangan dan kekayaan diperoleh dari anggota zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, usaha yang sah, halal yang tidak mengikat.
Aktivitas Da’wah:
Mathlaul Anwar merupakan ormas agama Islam yang
independen (non politik), berkiprah di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Di bidang pendidian, melalui madrasah dan sekolah umum yang tersebar disetiap kecamatan (mulai dari tingkat TK-SD-SLP-SLA), serta perguruan tinggi (UNMA) yang ada di Menes, Mathlaul Anwar berupaya: 1) memantapkan Akidah Islamiyah- 2)
mengamalkan ibadah-ibadah yang disyari’atkan -3) membekali pengetahuan keislaman, berbagai disiplin ilmu dan skill sesuai tuntunan zaman-4) budaya hidup mandiri dan terbebas dari pengaruh negatif luar.
Dibidang Dakwah, berupaya melaksanakan “amar ma’ruf nahi
munkar” melalui pengajian, ceramah, diskusi, seminar, perayaan hari besar agama, yang dilaksanakan secara rutin hingga ke desa-desa dengan memperhatikan kondisi dan sasaran sesuai dengan tujuan dakwah.
6Khithah Mathlaul Anwar
dikuasai pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial membiarkan
rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.5
Setelah mengalami berbagai perkembangan, sekarang ormas ini mempunyai tujuan sesuai dengan AD/ART (pasal 3);
1) Terwujudnya masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetehuan, cakap dan terampil, serta berakhlaqul karimah.
2) Terwujudnya nilai-nilai Islam pada lembaga-lembaga pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.
3) Terwujudnya keluarga dan masyarakat yang bahagia,
sejahtera, adil dan makmur diridhai Allah SWT.
Karakteristik Organisasi
Mathlaul Anwar sebagai organisasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Dalam bidang aqidah/ushuluddin, mengikuti Ulama salaf seperti aqidah para imam empat (Malik-Hanafi-Syafi’i-dan
Hambali), juga Imam Abu Hasan Asy’ari dan Maturidi.
b) Dalam bidang siyasah (pemerintahan) Ahlusunnah waljamaah yang harus taat kepada Allah, rasul, dan Ulil Amri.
c) Ulil amri (Pemerintahan) yang harus ditaati itu bila keputusan-keputusannya tidak bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadits.
d) Pengikut Ahlu sunnah waljama’ah tidak boleh memberontak kepada pemerintah yang sah yang selalu menjaga kemaslahan ummat dan menghindari kemudharatan/kerusakan.
5Mathlaul Anwar, Program Umum, 2010.
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
12
Sementara aktivitas da’wah di bidang sosial, Mathlaul Anwar
berusaha memerangi kebodohan, kemiskinan dan keter-belakangan melalui pengajian, koperasi, menyantuni kaum dhu’afa dan program sosial kemanusiaan lainnya, seperti mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah.
Berbagai kegiatan seperti di atas, merupakan kegiatan formal organisasi, di bawah koordinasi dan keputusan organisasi melalui mekanisme kepengurusan sesuai dengan tingkat dan wewenangnya masing-masing.
B. Profil Nahdhatul Ulama
Latar belakang berdirinya :
Nahdhatul Ulama didirikan pada tahun 1926 oleh para kiyai pesantren yang dipimpin oleh Hasyim Asy’ari. Menurut Endang
Turmudi7, NU merupakan organisasi sosial keagamaan Islam. Pada mula didirikan bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara ortodoksi Islam yang dipegang oleh kebanyakan ulama Indonesia yaitu ortodoksi Ahlusunnah Waljama’ah. Selain itu pembentukan NU juga sebagai respon terhadap upaya
pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mendorong penalaran independen (ijtihad) sebagai salah satu langkah dalam mengembangkan pemikiran islam, maka kiyai NU tetap mempertahankan perujukan pada empat mazhab yang otoritas keislamannya telah diakui. Hal ini
menyebabkan konflik antara umat Islam yang tergabung dalam NU dengan mereka yang tergabung dalam Muhamadiyah khususnya di Jawa sekitar tahun 1950 s/d 1960-an.
7Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2004
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
13
Beberapa Karakteristik Organisasi
Dalam paham keagamaan NU merujuk pada kelompok
Ahlusunnah waljama’ah yakni mereka yang mengamalkan apa yang diamalkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kelompok sunni ini dalam pengamalan agama kesehariannya merujuk pada empat mazhab yaitu : Imam Malik, Hanafi, Syafi’I, dan Hambali. Namun demikian amalan keagamaan lebih sering
merujuk pada imam Syafi’i dari pada imam-imam lain. Sementara dalam wilayah Akidah, NU merujuk pada Imam Hasan Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Selain itu NU juga merujuk pada dasar atau petunjuk Abul Qasim Al-Junaidi dalam amalan sufismenya.
Dalam struktur organisasi, NU mempunyai dua lembaga
yakni syuriah (lembaga legislative) dan tanfidziyah (lembaga eksekutif). Kendali organisasi dipegang oleh para ulama yang menjadi anggota syuriah. Sementara tanfidziyah bertugas menyebarkan apa yang disusun atau diputuskan ulama syuriah. Meskipun tokoh non ulama diberi kesempatan menjadi anggota
tanfidziyah. Namun dalam kebanyakan kasus, ketua tanfidziyah selalu seorang Ulama.
Dominannya peran pondok pesantren di lingkungan warga NU setempat, menyebabkan kedekatan hubungan warga dengan pesantren lebih kuat dibanding kedekatan mereka
dengan organisasi NU. Kekuatan kepemimpinan NU dibangun dan terfokus pada kepemimpinan kiyai di pondok pesantren. Ikatan emosional masyarakat dengan NU, menurut Endang Turmudi terbangun melalui pesantren. Kedekatan kiyai pesantren dengan masyarakat lokal, membangun komitmen idiologis di kalangan
warga NU dan menghubungkannya dengan NU sebagai organisasi. Dengan kata lain Kiyai yang memimpin pesantren
Sementara aktivitas da’wah di bidang sosial, Mathlaul Anwar
berusaha memerangi kebodohan, kemiskinan dan keter-belakangan melalui pengajian, koperasi, menyantuni kaum dhu’afa dan program sosial kemanusiaan lainnya, seperti mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah.
Berbagai kegiatan seperti di atas, merupakan kegiatan formal organisasi, di bawah koordinasi dan keputusan organisasi melalui mekanisme kepengurusan sesuai dengan tingkat dan wewenangnya masing-masing.
B. Profil Nahdhatul Ulama
Latar belakang berdirinya :
Nahdhatul Ulama didirikan pada tahun 1926 oleh para kiyai pesantren yang dipimpin oleh Hasyim Asy’ari. Menurut Endang
Turmudi7, NU merupakan organisasi sosial keagamaan Islam. Pada mula didirikan bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara ortodoksi Islam yang dipegang oleh kebanyakan ulama Indonesia yaitu ortodoksi Ahlusunnah Waljama’ah. Selain itu pembentukan NU juga sebagai respon terhadap upaya
pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah. Ketika Muhammadiyah mendorong penalaran independen (ijtihad) sebagai salah satu langkah dalam mengembangkan pemikiran islam, maka kiyai NU tetap mempertahankan perujukan pada empat mazhab yang otoritas keislamannya telah diakui. Hal ini
menyebabkan konflik antara umat Islam yang tergabung dalam NU dengan mereka yang tergabung dalam Muhamadiyah khususnya di Jawa sekitar tahun 1950 s/d 1960-an.
7Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2004
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
14
sesungguhnya mempunyai pengikut massa yang diidentifikasi
sebagai warga NU.
NU adalah organisasi sosial keagamaan Islam dimana para tokoh ulama memegang peranan penting. walaupun secara formal NU bukan organisasi politik, Tetapi keterlibatan NU dalam
politik melalui para tokohnya tampaknya sulit dihindari. Posisi ulama selaku pemimpin informal umat islam sekaligus juga bisa berperan selaku pemimpin politik karena di Indonesia hubungan antara politik dan islam sangat kuat. Dalam kenyataannya tidak sedikit tokoh NU yang berkiprah dibidang politik.
Isi dan pesan dakwah difokuskan pada pembinaan keimanan, ibadah dan akhlaqul karimah
C. Aktifitas Dakwah
Organisasi NU merupakan Ormas Islam terbesar di kabupaten Pandeglang. Ormas ini berkiprah di bidang pendidkan, melalui ratusan pondok pesantren yang dipimpin para tokoh NU
dan tersebar dikecamatan dan desa-desa. Selain itu NU setempat aktif melakukan kegiatan dakwah dalam rangka pembinaan akidah, ibadah akhlak melalui majlis taklim, pengajian, perayaan hari besar keagamaan, kelompok yasinan, upacara lingkaran hidup dan kegiatan sosial keagamaan lain.
Potensi kerukunan
Beberapa aktivitas keagamaan dan dakwah yang dipandang menguntungkan bagi upaya kerukunan diantaranya masyarakat Pandeglang yang relatif homogen dari sisi keyakinan agama (Islam), memudahkan dalam rangka mencapai
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
15
kesepakatan, pembinanaan ukhuwah Islamiyah, kebersamaan dan
ikatan kebangsaan.
Dalam kegiatan dakwah ormas Islam, khususnya yang dilakukan NU dan MA setempat, tidak lagi mengusung masalah khilafiah, tidak saling menyalahkan paham kelompok keagamaan
lain, dan mengakomodasi budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Sebagian besar masjid dipedesaan setempat didirikan dan dan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih luas ketimbang oleh kelompok-kelompok islam tertentu, sehingga
masjid merupakan salah satu pemersatu umat Islam setempat.
Kehadiran dan munculnya para tokoh agama setempat, baik dari kelompok MA maupun NU, serta pejabat, menjadi panutan yang sangat dihormati serta kebanggaan dan merupakan simbol pemersatu yang dapat mencairkan suasana bila sewaktu-
waktu terjadi konflik.
Potensi konflik
Penyebarluasan faham dan pengamalan agama tertentu dilingkungan suatu kelompok agama secara kontinyu, dapat menimbulkan fanastisme faham dan kelompok keagamaan yang sempit serta dapat mengundang konflik internal muslim.
Demikian juga penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis seperti dalam pemilu atau pemilukada, berpeluang memicu konflik dan merugikan upaya kerukunan.
Tingkat kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan yang relatif rendah merupakan salah satu faktor yang dapat
mengundang kerawanan sosial dikalangan umat Islam setempat. Berkembangnya budaya global yang tidak sesuai dengan ajaran
sesungguhnya mempunyai pengikut massa yang diidentifikasi
sebagai warga NU.
NU adalah organisasi sosial keagamaan Islam dimana para tokoh ulama memegang peranan penting. walaupun secara formal NU bukan organisasi politik, Tetapi keterlibatan NU dalam
politik melalui para tokohnya tampaknya sulit dihindari. Posisi ulama selaku pemimpin informal umat islam sekaligus juga bisa berperan selaku pemimpin politik karena di Indonesia hubungan antara politik dan islam sangat kuat. Dalam kenyataannya tidak sedikit tokoh NU yang berkiprah dibidang politik.
Isi dan pesan dakwah difokuskan pada pembinaan keimanan, ibadah dan akhlaqul karimah
C. Aktifitas Dakwah
Organisasi NU merupakan Ormas Islam terbesar di kabupaten Pandeglang. Ormas ini berkiprah di bidang pendidkan, melalui ratusan pondok pesantren yang dipimpin para tokoh NU
dan tersebar dikecamatan dan desa-desa. Selain itu NU setempat aktif melakukan kegiatan dakwah dalam rangka pembinaan akidah, ibadah akhlak melalui majlis taklim, pengajian, perayaan hari besar keagamaan, kelompok yasinan, upacara lingkaran hidup dan kegiatan sosial keagamaan lain.
Potensi kerukunan
Beberapa aktivitas keagamaan dan dakwah yang dipandang menguntungkan bagi upaya kerukunan diantaranya masyarakat Pandeglang yang relatif homogen dari sisi keyakinan agama (Islam), memudahkan dalam rangka mencapai
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
16
agama dan kearifan lokal, dapat menimbulkan keresahan sosial.
Potensi konflik lain seperti terbatasnya forum-forum dialog lintas kelompok agama, etnis budaya dan profesi dapat merugikan dan menghambat terjalinnya komunikasi kerukunan.
Hubungan Antar Ormas Islam
Terbatasnya jumlah ormas Islam menguntungkan dan
memudahkan upaya menjalin komunikasi antar kelompok muslim setempat dan mengurangi ketatnya persaingan.
Hubungan antar tokoh ormas Islam dan antar warga pada umumnya terjalin melalui pergaulan hidup keseharian bertetangga, ikatan kekeluargaan, aktivitas ditempat kerja,
upacara lingkaran hidup, peringatan hari besar agama dan nasional serta media komunikasi yang lainnya seperti MUI, FKUB dan sebagainya.
Homogenitas muslim di kalangan masyarakat Pandeglang memudahkan untuk mencapai kesepakatan dan menjalin
kebersamaan termasuk antar ormas Islam.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
17
Kesimpulan
Di lingkungan masyarakat Pandeglang terdapat dua ormas Islam yang relatif besar dan berpengaruh, di bidang pendidikan, dakwah dan sosial yakni Mathlaul Anwar dan Nahdhatul Ulama dengan karakternya masing-masing. Dari sisi faham keagamaan kedua ormas ini sama-sama merujuk paham ahlus sunnah wal
jamah dengan empat mahdzabnya. Dalam pengamalan agama keseharian dibidang Fikih, NU lebih sering merujuk pada mahdzab Syafi’i, sementara kelompok MA cenderung membebaskan anggotanya untuk mengamalkan agama sesuai dengan ajaran mahdzab yang di yakini.
Di bidang pendidikan, MA lebih fokus pada sekolah-sekolah dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang diselenggarakan secara teratur, sesuai dengan tataran organisasi yang berlaku, sedangkan NU fokus pada pondok pesantren dengan kyai selaku tokoh sentralnya. Sedangkan
aktivitas dakwah, MA mengusung tema pokok Amar Ma’ruf Nahi Munkar, sedangkan NU mengarah pada pembinaan keimanan, ibadah, dan akhlakul karimah. Adapun bentuk-bentuk dakwah
agama dan kearifan lokal, dapat menimbulkan keresahan sosial.
Potensi konflik lain seperti terbatasnya forum-forum dialog lintas kelompok agama, etnis budaya dan profesi dapat merugikan dan menghambat terjalinnya komunikasi kerukunan.
Hubungan Antar Ormas Islam
Terbatasnya jumlah ormas Islam menguntungkan dan
memudahkan upaya menjalin komunikasi antar kelompok muslim setempat dan mengurangi ketatnya persaingan.
Hubungan antar tokoh ormas Islam dan antar warga pada umumnya terjalin melalui pergaulan hidup keseharian bertetangga, ikatan kekeluargaan, aktivitas ditempat kerja,
upacara lingkaran hidup, peringatan hari besar agama dan nasional serta media komunikasi yang lainnya seperti MUI, FKUB dan sebagainya.
Homogenitas muslim di kalangan masyarakat Pandeglang memudahkan untuk mencapai kesepakatan dan menjalin
kebersamaan termasuk antar ormas Islam.
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
18
yang dilakukan kedua ormas relatif sama yakni melalui lembaga
pendidikan, majelis taklim, ceramah, aktifitas sosial keagamaan lainnya. Secara formal kedua ormas ini sama-sama organisasi non-politik. Namun kenyataannya tokoh-tokoh NU lebih banyak berkiprah di bidang politik dibandingkan dengan para tokoh MA.
Potensi konflik dalam kegiatan dakwah dapat bersumber dari berbagai hal: 1) wawasan keagamaan yang sempit dari para pelaku dakwah; 2) penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis kelompok / individual; 3) merebaknya budaya global yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan kearifan
lokal; 4) Tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang relatif rendah.
Sementara potensi Integratif: 1) peran dari para tokoh agama, masyarakat dan pemerintah selaku lambang pemersatu; 2) menghindari masalah khilafiyah dan mengakomodasi kearifan
lokal dalam berdakwah; 3) homogenitas pemeluk agama dalam hal ini Islam.
Hubungan baik antar ormas setempat didukung oleh faktor-faktor diantaranya homogenitas muslim warga setempat, tingkat persaingan yang telatif rendah karena jumlah ormas yang
sedikit, dan tersedianya media komunikasi melalui berbagai aktifitas sosial dalam pergaulan hidup keseharian antar warga dan kelompok agama.
Rekomendasi:
Untuk memelihara dan meningkatkan kondisi masyarakat sekarang yang relatif rukun, dipandang perlu dilakukan berbagai
upaya antara lain: menggalakkan dialog multikultural lintas ormas (khusunya ormas Islam), lintas etnis, budaya dan profesi;
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
19
Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat; meningkatkan
kebersamaan dan kerjasama sosial kemanusiaan antar kelompok dan warga masyarakat; Sosialisasi nilai dan pesan kerukunan umat beragama melalui lembaga pendidikan secara kurikuler; Peningkatan pembangunan ekonomi secara merata sampai ke
pedesaan.
yang dilakukan kedua ormas relatif sama yakni melalui lembaga
pendidikan, majelis taklim, ceramah, aktifitas sosial keagamaan lainnya. Secara formal kedua ormas ini sama-sama organisasi non-politik. Namun kenyataannya tokoh-tokoh NU lebih banyak berkiprah di bidang politik dibandingkan dengan para tokoh MA.
Potensi konflik dalam kegiatan dakwah dapat bersumber dari berbagai hal: 1) wawasan keagamaan yang sempit dari para pelaku dakwah; 2) penyalahgunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik praktis kelompok / individual; 3) merebaknya budaya global yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan kearifan
lokal; 4) Tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang relatif rendah.
Sementara potensi Integratif: 1) peran dari para tokoh agama, masyarakat dan pemerintah selaku lambang pemersatu; 2) menghindari masalah khilafiyah dan mengakomodasi kearifan
lokal dalam berdakwah; 3) homogenitas pemeluk agama dalam hal ini Islam.
Hubungan baik antar ormas setempat didukung oleh faktor-faktor diantaranya homogenitas muslim warga setempat, tingkat persaingan yang telatif rendah karena jumlah ormas yang
sedikit, dan tersedianya media komunikasi melalui berbagai aktifitas sosial dalam pergaulan hidup keseharian antar warga dan kelompok agama.
Rekomendasi:
Untuk memelihara dan meningkatkan kondisi masyarakat sekarang yang relatif rukun, dipandang perlu dilakukan berbagai
upaya antara lain: menggalakkan dialog multikultural lintas ormas (khusunya ormas Islam), lintas etnis, budaya dan profesi;
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
20
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
21
Abrori, Ahmad, Prilaku Politik Jawara, FISIP-UI, 2003
BPS, Pandeglang Dalam Angka, 2010
DITPENAIS, Direktori Nama dan Alamat Ormas Islam, 2010
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 –
1900, Gramedia, Jakarta, 1992
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1993
Kustini, Syuhada Abduh, Perkembangan dan Aktivitas Mathlaul
Anwar, Balitbang Agama, 1995
Laporan Tahunan, Kemenag Kabupaten Pandeglang, 2010
Mathlaul Anwar, Program umum, 2010
Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, Khalista, Surabaya, 2006
Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya, Balitbang dan Diklat, Depag,
2008
Syarjaya, Syibi, Sejarah dan Khithah Mathlaul Anwar, UNMA, Banten, 2009
Mursyid Ali dan Syuhada Abduh
22
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS,
Yogyakarta, 2004
Yakan, Fathi, Memotret Wajah Dakwah, Era Adicitra Intermedia, Solo 2010.
- II -
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
23
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS,
Yogyakarta, 2004
Yakan, Fathi, Memotret Wajah Dakwah, Era Adicitra Intermedia, Solo 2010.
- II -
DAKWAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS), PERSATUAN UMAT ISLAM (PUI) DI KOTA BANDUNG DAN KELOMPOK FRONT ANTI PEMURTADAN DI KOTA BEKASIJAWA BARAT
Oleh: M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
II
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
24
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
25
Latar Belakang
Penduduk Indonesia menganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa8, dan hampir seluruhnya mencatatkan diri sebagai pemeluk agama dalam kartu penduduknya (KTP). Beragam agama (multireligious) yang dipeluknya. Karena itu
disebut sebagai bangsa relijius atau masyarakat agamis. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam dari 236,7 juta jiwa9 sehingga kerukunan internal umat Islam sangat berpengaruh terhadap kerukunan umat beragama, dan sekaligus berdampak pada kerukunan nasional. Dalam konteks inilah dari segi kebijakan dan
program pemerintah adalah sangat relevan, bahwa kerukunan umat beragama bagian penting dari pembangunan nasional, dan merupakan salah satu pilar dari kerukunan nasional (RPJMN 2004-2009 dan 2010-2014).
8Ketuhanan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia adalah salah satu dari lima
sila Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara Republik Indonesia, pada urutan pertama, dan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal 29 Bab Agama secara eksplesit disebutkan: ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Tiap penduduk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
9Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
26
Secara antropologis dan sosiologis, penduduk Indonesia
adalah pluralis. Demikian pula di Provinsi Jawa Barat, termasuk di kalangan umat Islam. Keberadaan umat Islam di Jawa Barat beragam dalam etnis, adat-istiadat, budaya, organisasi, dan paham keagamaan. Meskipun di wilayah ini dinyatakan dominan ialah
etnis, bahasa dan budaya Sunda. Sebagian umat Islam dalam paham keagamaan cenderung adaptif terhadap budaya lokal, dan ada pula yang lebih berorientasi pada pemurnian ajaran agama dengan kembali kepada sumber utamanya al Quran dan al Hadits, serta tradisi terdahulu (salafi). Relasi internal umat Islam dinilai
cukup “kondusif rukun”, yang selama ini tidak pernah terjadi konflik terbuka antar kelompok, antar aliran, dan antar organisasi Islam yang berskala besar dan berakibat fatal.
Namun bukan berarti relasi intern umat Islam dan antarumat Islam dengan umat beragama lain bebas dari benturan
dan konflik. Konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan (Jacobus Ranjabar, 2007:195), sekaligus menjadi bagian dari dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam sejarah umat Islam umumnya potensi konflik internal umat Islam berkisar seputar masalah perbedaan pendapat atau ikhtilaf,
baik perbedaan dalam fikih (ikhtilaf furu’iyah) dan perbedaan dalam teologi/kalam (ikhtilaf ushuliyah) maupun perbedaan dalam politik (ikhtilaf siyasah). Di samping itu dapat terjadi pergesekan
karena ikhtilaf organisasi dan etika dakwah. Perbedaan atau ikhtilaf laksana “pisau bermata dua”. Di satu sisi dapat membuat hidup dinamis dan maju jika dikembangkan kejasama yang toleran, dan di sisi lain dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Apalagi dalam perbedaan tersebut saling
menganggap diri dan pahamnya saja yang paling benar, sekaligus yang lain keliru atau salah akan berpotensi potensi “rentan” dan bahkan “laten” konflik berpeluang pada konflik terbuka yang
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
27
dapat mengganggu kerukunan, dan mengancam integrasi sosial
dan nasional.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut merupakan latar belakang menarik dan perlu diungkap dakwah organisasi kemasyarakatan Islam ditengah masyarakat pluralistik. Dengan
mengungkap potensi potensi konflik dan integrasi dalam dakwah, serta relasi pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Permasalahan
Permasalahan pokok penelitian ini ialah bagaimana dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik? Secara khusus
dikembangkan menjadi tiga pertanyaan, yaitu: 1) Bagaimana karakter dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik? 2) Apa saja potensi konflik dan integrasi yang dominan dalam dakwah pada masyarakat pluralistik? 3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Ruang lingkup studi dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik ini meliputi: profil organisasi dakwah, kepemimpinan dan keanggotaan, aktivitas dakwah, potensi konflik dan integrasi dalam dakwah, dan relsasi dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengungkap: 1) karakter dakwah ormas Islam dalam masyarakat pluralistik. 2) Potensi konflik dan integrasi dominan dalam dakwah pada masyarakat pluralistik? 3) Relasi pelaku dakwah dalam pemeliharaan
Secara antropologis dan sosiologis, penduduk Indonesia
adalah pluralis. Demikian pula di Provinsi Jawa Barat, termasuk di kalangan umat Islam. Keberadaan umat Islam di Jawa Barat beragam dalam etnis, adat-istiadat, budaya, organisasi, dan paham keagamaan. Meskipun di wilayah ini dinyatakan dominan ialah
etnis, bahasa dan budaya Sunda. Sebagian umat Islam dalam paham keagamaan cenderung adaptif terhadap budaya lokal, dan ada pula yang lebih berorientasi pada pemurnian ajaran agama dengan kembali kepada sumber utamanya al Quran dan al Hadits, serta tradisi terdahulu (salafi). Relasi internal umat Islam dinilai
cukup “kondusif rukun”, yang selama ini tidak pernah terjadi konflik terbuka antar kelompok, antar aliran, dan antar organisasi Islam yang berskala besar dan berakibat fatal.
Namun bukan berarti relasi intern umat Islam dan antarumat Islam dengan umat beragama lain bebas dari benturan
dan konflik. Konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan (Jacobus Ranjabar, 2007:195), sekaligus menjadi bagian dari dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam sejarah umat Islam umumnya potensi konflik internal umat Islam berkisar seputar masalah perbedaan pendapat atau ikhtilaf,
baik perbedaan dalam fikih (ikhtilaf furu’iyah) dan perbedaan dalam teologi/kalam (ikhtilaf ushuliyah) maupun perbedaan dalam politik (ikhtilaf siyasah). Di samping itu dapat terjadi pergesekan
karena ikhtilaf organisasi dan etika dakwah. Perbedaan atau ikhtilaf laksana “pisau bermata dua”. Di satu sisi dapat membuat hidup dinamis dan maju jika dikembangkan kejasama yang toleran, dan di sisi lain dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Apalagi dalam perbedaan tersebut saling
menganggap diri dan pahamnya saja yang paling benar, sekaligus yang lain keliru atau salah akan berpotensi potensi “rentan” dan bahkan “laten” konflik berpeluang pada konflik terbuka yang
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
28
kerukunan umat beragama. Hasil penelitian ini berguna sebagai
masukan dalam penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama dan jajarannya di daerah, serta pemerintah daerah untuk pengembangan dakwah yang kondusif bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama. Selain itu juga dapat bermanfaat
sebagai referensi materi dakwah bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi kemasyarakatan serta kelompok Islam dalam pengembangan wawasan keagamaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Dengan mengacu pada judul dan pokok pembahasan
dalam tulisan ini, maka sejumlah kata kunci perlu diberikan definisi operasionalnya. Dakwah ialah aktivitas mengajak orang agar hidup sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang Islami. Sebagai suatu sistem, dakwah terdiri dari komponen atau bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain sebagai suatu
kesatuan. Komponen dakwah di sini mencakup pelaku dakwah (da’i), penerima dakwah (mad’u), materi dakwah (maddah), sarana dan media dakwah (washilah), metode dakwah (thariqah), dan dampak dakwah (atsar).
Organisasi kemasyarakatan Islam ialah organisasi nonpemerintah dan nonpolitik dengan visi agama Islam dan berorientasi dakwah, baik yang terdaftar maupun tidak pada kantor pemerintahan. Kerukunan umat beragama adalah
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi dalam kehidupan asosiasi dan/atau keseharian. Toleransi (tasamuh) ialah membiarkan seseorang melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu ketertiban umum.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
29
Konflik ialah perlawanan satu pihak dengan pihak lain
yang disertai ancaman dan atau kekerasan. Konflik laten ialah potensi rawan terjadi konflik terbuka. Integrasi ialah kerjasama dalam suasana kesatuan dan kebersamaan.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berangkat dari kerangka pemikiran, bahwa
suatu agama tidak tersebar kecuali dengan dakwah. Karenanya agenda kegiatan keagamaan yang paling dominan adalah dakwah. Semua aspek kehidupan dapat menjadi garapan dakwah, seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Pelaku dakwah menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat dengan berbagai
metode, sarana dan media. Sekalipun diakui pesan dakwah yang disampaikan banyak mendapat tantangan. Ada yang memandang dakwah itu mengusik kebiasaan hidup sesuai budaya setempat, dan ada pula sebaliknya, terutama yang tidak sepaham dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suasana tarik-menarik-pun
terjadi antara yang mendukung tradisi lokal dengan yang menentang pendekatan dakwah yang berorientasi pada pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Gesekan dalam dakwah berfluktuasi, adakalanya merendah atau meninggi. Namun dibalik itu semua terdapat
penyampaian dakwah yang damai, ada yang dinamis dan tegas, dan adapula yang kontra produktif atau radikal. Perbedaan paham keagamaan “khilafiyah” seakan tidak dipandang sebagai hal yang memperkaya khasanah pemikiran keagamaan, tetapi dicap sebagai lawan. Dalam membela kelompok tidak segan-segan
menggunakan ideologi yang berbasis agama.
Dalam kehidupan keagamaan harus dicari titik temu guna menggalang kerjasama yang positif dan konstruktif, tetapi yang
kerukunan umat beragama. Hasil penelitian ini berguna sebagai
masukan dalam penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama dan jajarannya di daerah, serta pemerintah daerah untuk pengembangan dakwah yang kondusif bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama. Selain itu juga dapat bermanfaat
sebagai referensi materi dakwah bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi kemasyarakatan serta kelompok Islam dalam pengembangan wawasan keagamaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Dengan mengacu pada judul dan pokok pembahasan
dalam tulisan ini, maka sejumlah kata kunci perlu diberikan definisi operasionalnya. Dakwah ialah aktivitas mengajak orang agar hidup sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang Islami. Sebagai suatu sistem, dakwah terdiri dari komponen atau bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain sebagai suatu
kesatuan. Komponen dakwah di sini mencakup pelaku dakwah (da’i), penerima dakwah (mad’u), materi dakwah (maddah), sarana dan media dakwah (washilah), metode dakwah (thariqah), dan dampak dakwah (atsar).
Organisasi kemasyarakatan Islam ialah organisasi nonpemerintah dan nonpolitik dengan visi agama Islam dan berorientasi dakwah, baik yang terdaftar maupun tidak pada kantor pemerintahan. Kerukunan umat beragama adalah
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi dalam kehidupan asosiasi dan/atau keseharian. Toleransi (tasamuh) ialah membiarkan seseorang melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu ketertiban umum.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
30
sering dilihat pada perbedaan bukan kesamaan. Perbedaan paham
keagamaan kemudian mengedepan dalam bingkai organisasi kemasyarakatan Islam, sehingga organisasi yang hakikatnya alat menuju terciptanya nilai-nilai Islami dalam masyarakat justeru dapat menjadi sekat pemisah yang menghalangi kerjasama
(ta’awwun) dan berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqulkhairat).
Berbagai potensi konflik terdapat dalam masyarakat pluralistik, dan di antaranya menjadi konflik terbuka. Begitu pula
terdapat potensi integrasi, dan di antarannya menjadi faktor integrasi nyata. Konflik muncul dalam masyarakat sebagai akibat penafsiran terhadap ajaran agama, dan faktor politik serta dampak dari globalisasi yang ditandai kemajuan informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran Islam
yang dipahami dengan cara pandang berbeda melahirkan polarisasi jamaah. Oleh karena itu, sikap yang sehat dalam menghadapi perbedaan paham keagamaan dan polarisasi jamaah ialah dengan mengkaji kembali kepada sumber agama, dan metode memahaminya.
Dalam kehidupan msyarakat pluralistik, dakwah berlangsung umumnya secara damai, dan hanya bagian kecil yang melaksanakannya dengan keras atau radikal. Namun kelompok-kelompok kecil yang keras itulah biasanya menarik bagi media massa mengeksposnya secara berlebihaan, sehingga seolah-olah
Islam itu keras, dan umat Islam dicitrakan sebagai pelaku kekerasan. Dakwah dilakukan oleh ormas Islam lebih terprogram dan luas jangkauannya daripada yang dilakukan oleh perorangan tokoh agama. Kehandalan dakwah individual selalu pasang-surut, yang pada akhirnya tenggelam dalam waktu yang tidak begitu
lama. Sedangkan dakwah lewat ormas Islam relatif lebih permanen.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
31
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan alur pikir
dalam tulisan ini, sebagai berikut:
Kajian Terdahulu
Di antara hasil penelitian yang diterbitkan ada yang memuat karakter ormas kemasyarakatan Islam. Jamhari dan Jajang Jahroni dalam buku Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (terbitan Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004) memasukkan kelompok Islam
pada kategori salafi radikal yaitu; Front Pembala Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
sering dilihat pada perbedaan bukan kesamaan. Perbedaan paham
keagamaan kemudian mengedepan dalam bingkai organisasi kemasyarakatan Islam, sehingga organisasi yang hakikatnya alat menuju terciptanya nilai-nilai Islami dalam masyarakat justeru dapat menjadi sekat pemisah yang menghalangi kerjasama
(ta’awwun) dan berlomba-lomba berbuat kebajikan (fastabiqulkhairat).
Berbagai potensi konflik terdapat dalam masyarakat pluralistik, dan di antaranya menjadi konflik terbuka. Begitu pula
terdapat potensi integrasi, dan di antarannya menjadi faktor integrasi nyata. Konflik muncul dalam masyarakat sebagai akibat penafsiran terhadap ajaran agama, dan faktor politik serta dampak dari globalisasi yang ditandai kemajuan informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ajaran Islam
yang dipahami dengan cara pandang berbeda melahirkan polarisasi jamaah. Oleh karena itu, sikap yang sehat dalam menghadapi perbedaan paham keagamaan dan polarisasi jamaah ialah dengan mengkaji kembali kepada sumber agama, dan metode memahaminya.
Dalam kehidupan msyarakat pluralistik, dakwah berlangsung umumnya secara damai, dan hanya bagian kecil yang melaksanakannya dengan keras atau radikal. Namun kelompok-kelompok kecil yang keras itulah biasanya menarik bagi media massa mengeksposnya secara berlebihaan, sehingga seolah-olah
Islam itu keras, dan umat Islam dicitrakan sebagai pelaku kekerasan. Dakwah dilakukan oleh ormas Islam lebih terprogram dan luas jangkauannya daripada yang dilakukan oleh perorangan tokoh agama. Kehandalan dakwah individual selalu pasang-surut, yang pada akhirnya tenggelam dalam waktu yang tidak begitu
lama. Sedangkan dakwah lewat ormas Islam relatif lebih permanen.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
32
Abdurrahman Wahid pada tulisannya sebagai editor buku
Ilusi Negara Islam (terbitan The Wahid Institute dan Ma’arif Intitute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, tahun 2009) juga menyatakan bahwa gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari negara-negara Timur Tengah, yaitu: gerakan
Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Hal ini berbeda dengan organisasi keagamaan yang sejak awal tumbuh dan berkembang di Indonesia yang umumnya sejuk sekalipun ada yang mengarah kepada sikap dinaminis hingga radikal.
Badri Khaeruman dalam bukunya yang berasal dari tesis
berjudul Persatuan Islam: Sejarah Pembaharuan Pemikiran “Kembali
kepada Al Qur’an dan Al Sunnah” diterbitkan pada tahun 2010. Penulis mengungkapkan pergumulan pemikiran keagamaan Persis penuh dengan nilai-nilai jihad Islam memiliki pola pemikiran yang
khas dan berbeda dari ormas islam lainnya. Memperjuangakan ajaran Islam yang dipandang telah terkontaminasi oleh ajaran lain. Melakukan pembaharuan dengan mengedepankan rasionalitas dalam memahami ajaran Islam, dan menentang sikap taklid pada ulama sebagaimana umumnya kaum tradisional. Titik beratnya
pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan dakwah, sehingga prinsip perjuangannya kembali kepada al Qur’an dan al Sunnah menjadi identitas Persis (2010: v dan 244).
Namun sejauh bacaan penulis, belum ditemukan
penelitian secara khusus diterbitkan berkenaan dengan gerakan dakwah di kalangan umat Islam yang mengungkap potensi konflik dan potensi integrasi secara khusus. Begitu pula belum ada kajian yang komprehensif tentang peran dakwah dan relasi antar ormas Islam dalam memelihara kerukunan umat beragama, baik intern
maupun antar umat beragama. Oleh karena itu, penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya yang menekankan pada
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
33
dakwah ormas Islam dalam memelihara kerukunan, sebagaimana
terlihat pada konflik dan integrasi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan diskriptif, yaitu menggambarkan situasi dan sasaran kajian secara cermat untuk memecahkan permasalahan Asep Saiful Muhtadi,
2003: 126 dan 128). Lokasi penelitian di Provinsi Jawa Barat. Keriteria pemilihan lokasi yaitu: banyak organisasi Islam yang bergerak di bidang dakwah, heterogen dalam budaya dan agama, serta umat Islam heterogen dalam paham dan organisasi keagamaan. Sesuai keriteria tersebut lokasi penelitian lebih khusus
dipilih Kota Bandung, serta Kota dan Kabupaten Bekasi. Sedangkan keriteria pemilihan ormas Islam terdiri dari: kecenderungan karakteristik dakwah (tegas, keras, dan moderat/toleran) dan legalisasinya (terdaftar atau tidak pada administrasi pemerintahan), dan bentuk eksistensi (ormas Islam
dan kelompok dakwah). Dengan kriteria tersebut ormas yang terpilih ialah Persatuan Islam (PERSIS), dan Persatuan Umat Islam (PUI) di Kota Bandung, dan kelompok dakwah yaitu Front Gerakan Anti Pemurtadan Bekasi (GAPB) di Kota dan Kabupaten Bekasi. Ketiga organisasi tersebut lahir di Provinsi Jawa Barat, yaitu Persis
di Bandung. PUI di Majelangka, dan FAPB di Bekasi.
Data dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan, wawancara dan observasi. Dalam studi kepustakaan dilakukan telaah dokumen pada sekretariat ormas Persis dan PUI di Kota Bandung. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap kegiatan
ormas yang menajdi sasaran penelitian, antara laini menghadiri dan mengamati pengajian-pengajian. Adapun yang menjadi nara sumber ialah pengurus ormas, khususnya bidang dakwah, dan
Abdurrahman Wahid pada tulisannya sebagai editor buku
Ilusi Negara Islam (terbitan The Wahid Institute dan Ma’arif Intitute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, tahun 2009) juga menyatakan bahwa gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari negara-negara Timur Tengah, yaitu: gerakan
Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Hal ini berbeda dengan organisasi keagamaan yang sejak awal tumbuh dan berkembang di Indonesia yang umumnya sejuk sekalipun ada yang mengarah kepada sikap dinaminis hingga radikal.
Badri Khaeruman dalam bukunya yang berasal dari tesis
berjudul Persatuan Islam: Sejarah Pembaharuan Pemikiran “Kembali
kepada Al Qur’an dan Al Sunnah” diterbitkan pada tahun 2010. Penulis mengungkapkan pergumulan pemikiran keagamaan Persis penuh dengan nilai-nilai jihad Islam memiliki pola pemikiran yang
khas dan berbeda dari ormas islam lainnya. Memperjuangakan ajaran Islam yang dipandang telah terkontaminasi oleh ajaran lain. Melakukan pembaharuan dengan mengedepankan rasionalitas dalam memahami ajaran Islam, dan menentang sikap taklid pada ulama sebagaimana umumnya kaum tradisional. Titik beratnya
pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan dakwah, sehingga prinsip perjuangannya kembali kepada al Qur’an dan al Sunnah menjadi identitas Persis (2010: v dan 244).
Namun sejauh bacaan penulis, belum ditemukan
penelitian secara khusus diterbitkan berkenaan dengan gerakan dakwah di kalangan umat Islam yang mengungkap potensi konflik dan potensi integrasi secara khusus. Begitu pula belum ada kajian yang komprehensif tentang peran dakwah dan relasi antar ormas Islam dalam memelihara kerukunan umat beragama, baik intern
maupun antar umat beragama. Oleh karena itu, penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya yang menekankan pada
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
34
atau yang kerhubungan, serta anggota organisasi dan simpatisan.
Selain itu juga diwawancarai unsur majelis Ulama Indonesia (MUI), dan aparat pemerintah terkait, yaitu: Kanwil Kementerian Agama, Kantor Kesbangpol dan Linmas, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan warga masyarakat.
Analisis data dilakukan dengan diskriftif analitik. Analisis bertahap: klasifikasi data, reduksi data dan interpretasi. Selanjutnya ditarik kesimpulan dan rekomendasi. Kegiatan lapangan dilakukan oleh penulis bersama Ibnu Muchtar selaku peneliti, dan dibantu Haris Burhani, berlangsung selama 11 hari
dari tanggal 22 September hingga 2 Oktober 2011. Secara keseluruhan tulisan ini terdiri atas empat bagian, yaitu pendahuluan, gambaran wilayah, Dakwah Persis, PUI dan Front Gerakan Anti Pemurtadan. Bagian akhir berisi penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Sebagai kesempurnaan tulisan ini
dilengkapi referensi dan daftar nara sumber utama.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
35
Geografi
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat, dengan lokus pada tiga lokasi dimana organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang diteliti berada, yaitu Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Provinsi ini memiliki luas wilayah 371.164,54
km2. Dari segi administrasi pemerintahan terdiri atas 26 kabupaten/ kota (17 Kabupaten dan 9 Kota). Penduduk pada tahun 2010 mencapai 43.021.826 jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,89 persen dan tingkat kepadatan 1.159 orang/km.
Penduduk Provinsi Jawa Barat dari segi agama mayoritas
Islam. Komposisinya menururut Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terdiri dari: pemeluk Islam 39.473.845 jiwa (93,23%), Kristen 2.062.504 jiwa (4,86%), Katolik, 522.819 jiwa (1,23%), Hindu 114.086 jiwa (o,27%, Buddha 200.824 jiwa (0,47%) dan Konghucu 161 jiwa (0,037%). Masing-masing pemeluk agama
memiliki rumah ibadat yang tercatat: 44.588 masjid, 70.746 langgar, 41.218 mushalla, 2.028 gereja Kristen, 117 gereja Katolik, 29 Pura/kuil/sanggah, dan 142 vihara.
atau yang kerhubungan, serta anggota organisasi dan simpatisan.
Selain itu juga diwawancarai unsur majelis Ulama Indonesia (MUI), dan aparat pemerintah terkait, yaitu: Kanwil Kementerian Agama, Kantor Kesbangpol dan Linmas, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan warga masyarakat.
Analisis data dilakukan dengan diskriftif analitik. Analisis bertahap: klasifikasi data, reduksi data dan interpretasi. Selanjutnya ditarik kesimpulan dan rekomendasi. Kegiatan lapangan dilakukan oleh penulis bersama Ibnu Muchtar selaku peneliti, dan dibantu Haris Burhani, berlangsung selama 11 hari
dari tanggal 22 September hingga 2 Oktober 2011. Secara keseluruhan tulisan ini terdiri atas empat bagian, yaitu pendahuluan, gambaran wilayah, Dakwah Persis, PUI dan Front Gerakan Anti Pemurtadan. Bagian akhir berisi penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Sebagai kesempurnaan tulisan ini
dilengkapi referensi dan daftar nara sumber utama.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
36
Dalam hal organisasi kemasyarakatan keagamaan pada
tahun 2011 terdaftar 48 ormas. Dari jumlah tersebut ormas Islam
merupakan yang terbesar jumlahnya (38 buah). Selain itu pada
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terdapat
1.908 lembaga dakwah. Sebagaimana telah dikemukakan Kota
Bandung dan Kota serta Kabupaten Bakasi dipilih menjadi lokasi
penelitian sesuai tujuan (purposive).
Kota Bandung secara geografis cukup dekat dengan
ibukota negara, Jakarta. Jarak Bandung–Jakarta sekitar 180 km
yang dapat ditempuh dengan kenderaan umum antara dua
setengah hingga tiga jam. Bandung yang dikenal sebagai “kota
kembang” merupakan kota terbesar ke-3 di Indonesia setelah
Jakarta dan Surabaya. Darah ini menjadi target wisatawan
domestik dan wisatawan mancanegara.
Demografi dan Agama
Dari segi demografi, Kota Bandung dihuni beragam etnik,
suku bangsa, bahasa, warna kulit, status sosial dan agama. Namun
yang dominan ialah etnik, kebudayaan dan bahasanya adalah
Sunda (Setda Kota Bandung, 2009:6). Dari segi agama mayoritas
penduduknya Islam. Komposisinya pemeluk Islam 1.880.2204 jiwa
(81,56), Kristen 107.414 jiwa (10%), Katolik 70.756 jiwa (6,55%),
Hindu 7.316 jiwa (0,67%), Buddha 11.662 jiwa (1,07%), dan
Khongucu 1.517 jiwa (0,14%). Masing-masing pemeluk agama
memiliki rumah ibadat 1.517 masjid/mushalla/langgar. Lembaga
dakwah berjumlah 1.124 buah. Selain itu juga terdapat penyuluh
PNS 84 orang dan penyuluh nonPNS 495 orang. Da’i/mubaligh
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
37
terdaftar 4.111 orang. Dalam kondisi seperti itulah Kota Bandung
dinobatkan sebagai Kota Agamis10.
Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan daerah penyangga ibukota negara RI, Jakarta. Dari segi administratif terdiri atas 12 kecamatan, 56 kelurahan, 945 RW dan 6.643 RT. Secara demografi
pada bulan Juli 2009 jumlah penduduk mencapai 2.457.585 jiwa. Mayoritas penduduk Kota Bekasi memeluk agama Islam sebanyak 2.145.447 jiwa (87.30%), selebihnya Kristen 156.800 (8,05%), Katolik 73.223 jiwa (2,98%), Hindu 27.482 jiwa (1,12%), Buddha 5.615 (0,23%), dan Konghucu 201 jiwa (0,008%) dan lainnya 8.861 jiwa
(0,35%) (FKUB Kota Bekasi, 2009). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat: 881 masjid, 81 gereja, ruko yang difungsikan sebagai kegiatan ibadat 69 tempat, rumah untuk kegiatan ibadat 49 tempat, 8 gereja Katolik, 11 vihara, serta pura dan kelenteng masing-masing sebuah (FKUB Kota Bekasi, 2009)
Sebagai daerah penyangga, banyak penduduk pendatang terutama dari Jakarta yang menempati berbagai lingkungan perumahan. Terjadi keragaman agama dan budaya sehingga berpotensi konflik. Misalnya para pendatang memerlukan tempat ibadat, sementara warga masyarakat setempat menolaknya,
seperti penolakan pendirian sejumlah gereja dan santernya isu Kristenisasi.
Kabupaten Bekasi berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Secara geografis luasnya 127.388 Ha. Dari segi administrasi pemerintahan terdiri atas 23 kecamatan dan 187 desa.
Penduduk daerah ini pada tahun 2010 tercatat 2.321.478 jiwa. Mayoritas beragama Islam. Komposisnya: Islam 1.926.635 jiwa
10Beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Bandung telah mencanangkan tujuh
program prioritas, yang mencakup bidang: pendidikan, kesehatan, kemakmuran, lingkungan hidup, seni budaya, olahraga, dan agama. Lihat Buku Bandung Agamis, diterbitkan oleh Setda Kota Bandung tahun 2009, halaman 18.
Dalam hal organisasi kemasyarakatan keagamaan pada
tahun 2011 terdaftar 48 ormas. Dari jumlah tersebut ormas Islam
merupakan yang terbesar jumlahnya (38 buah). Selain itu pada
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terdapat
1.908 lembaga dakwah. Sebagaimana telah dikemukakan Kota
Bandung dan Kota serta Kabupaten Bakasi dipilih menjadi lokasi
penelitian sesuai tujuan (purposive).
Kota Bandung secara geografis cukup dekat dengan
ibukota negara, Jakarta. Jarak Bandung–Jakarta sekitar 180 km
yang dapat ditempuh dengan kenderaan umum antara dua
setengah hingga tiga jam. Bandung yang dikenal sebagai “kota
kembang” merupakan kota terbesar ke-3 di Indonesia setelah
Jakarta dan Surabaya. Darah ini menjadi target wisatawan
domestik dan wisatawan mancanegara.
Demografi dan Agama
Dari segi demografi, Kota Bandung dihuni beragam etnik,
suku bangsa, bahasa, warna kulit, status sosial dan agama. Namun
yang dominan ialah etnik, kebudayaan dan bahasanya adalah
Sunda (Setda Kota Bandung, 2009:6). Dari segi agama mayoritas
penduduknya Islam. Komposisinya pemeluk Islam 1.880.2204 jiwa
(81,56), Kristen 107.414 jiwa (10%), Katolik 70.756 jiwa (6,55%),
Hindu 7.316 jiwa (0,67%), Buddha 11.662 jiwa (1,07%), dan
Khongucu 1.517 jiwa (0,14%). Masing-masing pemeluk agama
memiliki rumah ibadat 1.517 masjid/mushalla/langgar. Lembaga
dakwah berjumlah 1.124 buah. Selain itu juga terdapat penyuluh
PNS 84 orang dan penyuluh nonPNS 495 orang. Da’i/mubaligh
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
38
(97,48%), Kristen 27.653 jiwa (1,39%), Katolik 14.844 jiwa (0,75%),
Hindu 5.659 jiwa (0,28%), Buddha 1.031 jiwa (0,05%) dan konghucu 556 jiwa (0,02%). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat terdiri dari 2.634 masjid, 2.028 mushalla, 2.001 langgar, 27 gereja Kristen, sejumlah gereja Katolik, 3 pura, 6
vihara (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2001).
Organisasi kemasyarakatan keagamaan tumbuh dan berkembang di kabupaten Bekasi. Di antarnya ialah NU, Fatayat, IPNU, Lakpesdam, Muhammadiyah, Aisyiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan Mathlaul Anwar. Selain itu juga terdapat Dewan
Masjid Indonesia (DMI), BKMT, Majelis Dakwah Islam (MDI), Ikatan Cendiawan Islam Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Muslim Indonesia (BKPRMI) dan MUI, DDII, Front Hisbullah, FPI, KISDI dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUKHIS) (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2011). Organisasi tersebut mengembangkan
dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” dengan caranya sendiri.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
39
A. Dakwah Persatuan Islam
Profil Persatuan Islam
Persatuan Islam, selanjutnya disingkat Persis, didirikan oleh H. Zamzam dan Muhammad Yunus di Bandung Jawa Barat
pada tanggal 12 September 1923 bertepatan tanggal 1 Shofar 1342 H. Saat penelitian ini alamat sekertariat Pimpinan Pusat Persis menempati sebuah Gedung Baru di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 2 Bandung (Viaduct) Telepon 022-4220704 fax. 022-4220702 Website: http://www.persis.or.id Email: [email protected]).
Persatuan Islam berawal dari sebuah kelompok pengajian dan pengkajian agama Islam, sebagai kelompok tadarusan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammmad Yunus. Dari kelompok tadarusan inilah kemudian ditingkatkan menjadi sebuah organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Persis mengandung
maksud dan harapan (tafa’ulan), yaitu untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad; mencapai harapan cita-cita organisasi yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam dan persatuan usaha Islam (PP Persis, 2011:2)
(97,48%), Kristen 27.653 jiwa (1,39%), Katolik 14.844 jiwa (0,75%),
Hindu 5.659 jiwa (0,28%), Buddha 1.031 jiwa (0,05%) dan konghucu 556 jiwa (0,02%). Masing-masing pemeluk agama memiliki rumah ibadat terdiri dari 2.634 masjid, 2.028 mushalla, 2.001 langgar, 27 gereja Kristen, sejumlah gereja Katolik, 3 pura, 6
vihara (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2001).
Organisasi kemasyarakatan keagamaan tumbuh dan berkembang di kabupaten Bekasi. Di antarnya ialah NU, Fatayat, IPNU, Lakpesdam, Muhammadiyah, Aisyiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan Mathlaul Anwar. Selain itu juga terdapat Dewan
Masjid Indonesia (DMI), BKMT, Majelis Dakwah Islam (MDI), Ikatan Cendiawan Islam Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Muslim Indonesia (BKPRMI) dan MUI, DDII, Front Hisbullah, FPI, KISDI dan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUKHIS) (Kantor Kemenag Kab. Bekasi: 2011). Organisasi tersebut mengembangkan
dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” dengan caranya sendiri.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
40
Persis ini dikembangkan oleh ustadz Ahmad Hasan
bersama salah seorang muridnya Muhammad Natsir (Qonun Asasi, 2010:5). Eksitensinya sebagai sebuah organisasi mendapat pengesahan dari Direkteur Van Justice (Badan Kehakiman) No. A.43/30/20/24 Agustus 1939. Selanjutnya mendapat legalisasi
yuridis sebagai “perkumpulan” dengan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. C-07.HT.01.06 TH.2007 tanggal 25 Januari 2007.
Persis lahir dilatar belakangi oleh kondisi umat Islam sedang mengalami krisis yang memperihatinkan. Pertama,
tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir). Kedua, terperosok dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan. Ketiga, tumbuh subur khurafat, bid’ah, takhayul, syirik dan musyrik. Keempat, terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang
berusaha memadamkan cahaya Islam. (PP Persis, 2011:1). Kondisi itulah dinyatakan sebagai faktor utama yang mengilhami lahirnya gerakan reformisme Islam, termasuk mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Dan itu pulalah yang melatar-belakangi didirikannya Persis.
Esensi rumusan tujuan Persis sejak awal tetap konsisten. Tujuannya ialah “terlaksananya syariat Islam berlandaskan al Qur’an dan al Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan” (Qanun Asasi, 2010: 6).
Secara organisasi Persis termasuk barisan organisasi
“modern”, karena dikelola dengan prinsip-prinsip organisasi modern. Roda organisasi terus berputar sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. Saat penelitian ini dilakukan telah memilik sebuah Pimpinan Pusat, 13 Pimpinan Wilayah, 55 Pimpinan daerah, dan 329 Pimpinan Cabang yang
tersebar di seluruh persada kepulauan Nusantara ini. Belum termasuk organisasi otonom (ortom), yaitu: Persatuan Islam Isteri
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
41
(Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa
(HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi (HIMI) Persis, dan Himpunan Pelajar (HIJAR) Persis. Kepemimpinan Persis saat ini periode 2010 – 2015 diketuai oleh Prof. Dr. K.H. M. Abdurrahman, dan sekretaris Dr.H. Irfan Syafrudin, M.Ag. dalam rangka penelitian ini adalah juga
mengkaji Persis Wilayah Jawa Barat, dan Cabang Kota Bandung, sehingga dapat terungkap pada tataran kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan di lapangan.
Dari segi keanggotan, sistem yang berlaku di Persis sebagai organisasi “kader” tergolong ketat dengan persyaratan
antara lain di samping loyalitas juga kemampuan simpatisan menjadi imam shalat dan khatib Jum’at (wawancana Irfan Syafrudin 24-09-2011). Hal inilah antara lain yang membuat pada periode awal Persis “jalan di tempat” untuk jumlah anggotanya. Di samping itu karena oleh sebagian “rival”nya dicitrakan sebagai
“aliran keras”. Memang dakwahnya menolak takhayul, bid’ah dan churafat, yang disingkat TBC. Namun pada dekade terakhir ini anggota Persis mengalami kenaikan yang signifikan. Sebagai contoh, jika pada tahun 1995 anggota Persis tercatat 10.604 orang (Dadan Wildan, 1999:11). Sedangkan pada tahun 2010 menjadi
34.300 orang (Asep Ihsan, 25 September 2011), yang berarti dalam kurun waktu 15 tahun mengalami kenaikan 69%.
Persis memiliki jenis keaggotaan, yaitu anggota biasa dan anggota tersiar yang diberikan nomor induk anggota (NIAT oleh Pimpinan Pusat). Sedangkan anggota kehormatan dengan surat
keputusan pimpinan pusat (Pasal 21). Keanggotaan yang tercatat pada sekretariat Jam’iyah tercatat anggota biasa sebanyak 34.300 orang dan anggota tersiar 141 orang. Sedangkan anggota kehormatan belum ada (Asep Ihsan, 25 September 2011).
Persis ini dikembangkan oleh ustadz Ahmad Hasan
bersama salah seorang muridnya Muhammad Natsir (Qonun Asasi, 2010:5). Eksitensinya sebagai sebuah organisasi mendapat pengesahan dari Direkteur Van Justice (Badan Kehakiman) No. A.43/30/20/24 Agustus 1939. Selanjutnya mendapat legalisasi
yuridis sebagai “perkumpulan” dengan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. C-07.HT.01.06 TH.2007 tanggal 25 Januari 2007.
Persis lahir dilatar belakangi oleh kondisi umat Islam sedang mengalami krisis yang memperihatinkan. Pertama,
tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir). Kedua, terperosok dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan. Ketiga, tumbuh subur khurafat, bid’ah, takhayul, syirik dan musyrik. Keempat, terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang
berusaha memadamkan cahaya Islam. (PP Persis, 2011:1). Kondisi itulah dinyatakan sebagai faktor utama yang mengilhami lahirnya gerakan reformisme Islam, termasuk mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Dan itu pulalah yang melatar-belakangi didirikannya Persis.
Esensi rumusan tujuan Persis sejak awal tetap konsisten. Tujuannya ialah “terlaksananya syariat Islam berlandaskan al Qur’an dan al Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan” (Qanun Asasi, 2010: 6).
Secara organisasi Persis termasuk barisan organisasi
“modern”, karena dikelola dengan prinsip-prinsip organisasi modern. Roda organisasi terus berputar sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. Saat penelitian ini dilakukan telah memilik sebuah Pimpinan Pusat, 13 Pimpinan Wilayah, 55 Pimpinan daerah, dan 329 Pimpinan Cabang yang
tersebar di seluruh persada kepulauan Nusantara ini. Belum termasuk organisasi otonom (ortom), yaitu: Persatuan Islam Isteri
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
42
Aktitas Dakwah
Dakwah Persis sebagaimana ormas Islam lainnya
menggunakan pendekatan dakwah bi al lisan (dengan ucapan), dakwah bi al qalam (dengan pena) dan dakwah bi al hal (aksi nyata). Dakwah bi al lisan melalui pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarusan; menyelenggarakan
khutbah dan tabligh di berbagai daerah, baik diselenggarakan sendiri maupun atas undangan ormas Islam dan masyarakat. Kagiatan ini berlangsung terjadwal rapi dengan waktu ada yang bersamaan di beberapa tempat, dan umumnya berbeda, yang meliputi mingguan, dua mingguan dan bulanan.
Dakwah bi al hal ialah mendirikan sekolah-sekolah/ pesantren, Pesantren Persis pertama berdiri pada tanggal 4 Maret 1946, dan dari pesantren ini berkembang lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Atfal (TK) hingga perguruan tinggi. Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat, Persis membentuk
Lembaga Pendidikan Islam yang disponsori oleh M. Natsir, yaitu: Taman Kanak-Kanak dan HIS (1930), sekolah Mulo (1931) dan sekolah guru (1932). Semuanya berada di kota Bandung. Mulai tahun 1938 Persatuan Islam sudah memillki sekolah HIS di lima tempat lain.
Persis juga mendirikan pesantren yang diberi nama “Pesantren Persis” di Bandung pada tahun 1935 di bawah asuhan Hasan Hamid dan E. Abdurrahman. Pesantren ini disebut Pesantren Kecil untuk pendidikan anak-anak. Pada tahun 1936, A.Hassan juga mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren
Besar. Pesantren ini membentuk kader-kader mubaligh yang siap mengajar, menyiarkan dan membela Islam. Menurut MD Idad Soemarta, Ketua Persis Wilayah Jawa Barat, bahwa misi itulah yang hakikatnya berlangsung hingga sekarang (27 Setember 2011).
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
43
Untuk jenjang pendidikan tinggi semula disebut Pesantren
Tinggi kemudian dirubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Persis (STAIPI). Suryanegara memberikan penilaian bahwa Persis sebagai organisasi dakwah (Dadan Wildan 1999, 197) dalam rangka mendukung kegiatan dakwah tersebut didirikan Sekolah
Tinggi Agama Islam Persis (STIAPI) dengan membuka jurusan Dakwah dan Tafsir Hadits. Menurut A. Latief Muchtar yang pernah menduduki Ketua Umum Persis, bahwa pendirian STIAPI tersebut didasarkan pada kebutuhan tenaga da’i yang menguasai bidang dakwah, baik secara teoritis maupun praktis, dan yang mampu
mengaktualisasikannya kepada masyarakat, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan (Dadan Wildan 1999:149). STAIPI yang didirikan pada tahun 1998, dengan fakultas-fakultas yang ada saat ini makin berkembang, dan berfungsi sebagai laboratorium penyiapan kader intelektual yang mendukung kiprah dakwah
Persis dan umat Islam (Yusuf Badri 25 September 2011).
Dakwah bi al qalam tampak Persis sejak periode awal dan dekade terakhir ini para pengurus dan anggota Pesis mulai menggalakkan menulis tentang ke-Persis-an dalam bentuk buku dan skripsi atau tesis. Pengalaman Persis dapat dianggap kuat
dalam mengelola bulletin dan majalah sebagai media dakwah. Persis menerbitkan majalah-majalah dan buku. Pada saat penelitian ini dilakukan, penulis sempat mendapat banyak buku yang deprjual-belikan justeru bukan oleh Persis tetapi oleh masyarakat yang dijual dengan cara menggelarnya pada saat
pengajian Mingguan. Majalah yang pernah diterbitkan oleh Persis, dan sebagian masih eksis hingga saat ini. Di antanya ialah majalah Pembela Islam (1929), Majalah Al-Fatwa (1931), Majalan Al-Lisan (1935), Majalah At-Taqwa (1937), Majalah Al-Hikam (1939), Majalah
Aliran Islam (1948), Majalah Risalah (1962) dan Majalah berhasa
Aktitas Dakwah
Dakwah Persis sebagaimana ormas Islam lainnya
menggunakan pendekatan dakwah bi al lisan (dengan ucapan), dakwah bi al qalam (dengan pena) dan dakwah bi al hal (aksi nyata). Dakwah bi al lisan melalui pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarusan; menyelenggarakan
khutbah dan tabligh di berbagai daerah, baik diselenggarakan sendiri maupun atas undangan ormas Islam dan masyarakat. Kagiatan ini berlangsung terjadwal rapi dengan waktu ada yang bersamaan di beberapa tempat, dan umumnya berbeda, yang meliputi mingguan, dua mingguan dan bulanan.
Dakwah bi al hal ialah mendirikan sekolah-sekolah/ pesantren, Pesantren Persis pertama berdiri pada tanggal 4 Maret 1946, dan dari pesantren ini berkembang lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Atfal (TK) hingga perguruan tinggi. Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat, Persis membentuk
Lembaga Pendidikan Islam yang disponsori oleh M. Natsir, yaitu: Taman Kanak-Kanak dan HIS (1930), sekolah Mulo (1931) dan sekolah guru (1932). Semuanya berada di kota Bandung. Mulai tahun 1938 Persatuan Islam sudah memillki sekolah HIS di lima tempat lain.
Persis juga mendirikan pesantren yang diberi nama “Pesantren Persis” di Bandung pada tahun 1935 di bawah asuhan Hasan Hamid dan E. Abdurrahman. Pesantren ini disebut Pesantren Kecil untuk pendidikan anak-anak. Pada tahun 1936, A.Hassan juga mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren
Besar. Pesantren ini membentuk kader-kader mubaligh yang siap mengajar, menyiarkan dan membela Islam. Menurut MD Idad Soemarta, Ketua Persis Wilayah Jawa Barat, bahwa misi itulah yang hakikatnya berlangsung hingga sekarang (27 Setember 2011).
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
44
Sunda, Iber (1967). Belum termasuk majalah yang diterbitkan oleh
cabang-cabang Persis.
Paradigma dakwah Persis selama ini dapat dibedakan kepada dua metode pendekatan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1970-an bersifat gebrakan “shock teraphy” Kemudian
menjadi bersifat pendidikan “low profil”. Dalam istilah yang digunakan Dadan Wildan bersifat persuasif educative (1999: 12-15).
Dari segi materi dakwah menyesuaikan diri dengan
kebutuhan masyarakat, tidak terbatas pada persoalan ibadah, tetapi pada hal-hal strategis yang diperlukan oleh umat Islam (Dadan Wildan 1999: 10-12). Di antaranya bidang garapan pendidikan, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, pembangunan masjid-masjid, menyelenggarakan
seminar-seminar, pelatihan dan diskusi (halaqah) pengkajian Islam. Di bidang agama, Persis memiliki Dewan Hisbah, Dewan Hisab, dan Dewan Tafkir yang melaksanakan tugas sesuai kewenangan masing-masing.
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan dan dakwah, materi dakwah Persis konsisten pada prinsip khittah perjuangannya memberantas takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) dan bentuk-bentuk kemusyrikan lainnya (Penjelasan QA, 2010: 62). Sebagai jam’iyyah, Persis bersifat harakah tajdid dalam pemikiran Islam dan penerapannya, dan
sebagai gerakan, berkiprah dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan dan dakwah.
Sasaran atau penerima dakwah Persis sebagaimana pada ormas Islam lainnya dapat dibedakan kepada dua yaitu: dakwah internal dan eksternal. Ada suatu landasan yang menarik dan
selalu menjadi acuan Persis dalam berdakwah yaitu sebagaimana dikemukakan Isa Anshary (Mantan Ketua Umum Persis 1953 –
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
45
1960) yang dikenal dengan “singa mimbar” dan penulis yang
tajam. Pada rapat akbar Persis di lapangan Tegalega Bandung tanggal 20 September 1953, beliau menyatakan sebagai berkut:
Apa bagiannya Persis dalam perjuangannya? Dalam perjuangan-
nya adalah 2 rupa, 2 muka, 2 frontstrijd. 2 muka dalam meng-
hadapi perjuangan, yang pertama perjuangan kedalam dan
perjuangan kedua yaitu perjuangan keluar.
Apa itu perjuangan kedalam? Perjuangan kedalam adalah
mengembalikan umat Islam, membersihkan tauhidnya umat Islam.
Jangan sampai bercampur musyrik. Tauhid ulah bobogohan jeung
kafir. Ini kedalam. Selama umat Islam belum membersihkan
tauhidnya, syiriknya, selama masih ada sifat munafik, selama itu
pula menurut keyakinan dan pegangan Persis, umat Islam tidak
akan dapat bantuan daripada Allah SWT.
Perjuangan kedua, ialah perjuangan keluar. Apa itu? Pertama,
mempertahankan kesucian Islam dari serangan-serangan,
pukulan-pukulan, daripada orang-orang yang tidak doyan kepada
Islam. Saudara-saudara, sejarah Indonesia telah mencatat, kalau
ada satu organisasi yang paling rajin tampil kemuka, kedepan
orang yang menghina Islam, ialah Persis.
Saudara-saudara. Paling tidak segan-segan dan malu-malu seperti
tadi dikatakan, tidak segan-segan, tidak ajrihing untuk melakukan
amar ma’ruf nahi munkar (Isa Anshary, 1995)).
Esensi pidato Isa Anshary tersebut mewarnai spirit dakwah Persis hingga dewasa ini. Pertama dakwah iternal kepada pengikut Persis dan umat Islam yaitu membersihkan tauhid dari kemusyrikan. Kedua, dakwah eksternal kapada non muslim yaitu
membela Islam dari serangan dan penghinaan. Persis sangat kental dengan Al-Qur’an dan Hadits, dengan motto “kembali kepada al Qur’an dan al Sunnah” (Badri Khairuman, 2010:iii). Persis dikenal antinya kepada bid’ah, kepada khurafat, kepada takhayul.
Sunda, Iber (1967). Belum termasuk majalah yang diterbitkan oleh
cabang-cabang Persis.
Paradigma dakwah Persis selama ini dapat dibedakan kepada dua metode pendekatan. Pada awal berdirinya hingga tahun 1970-an bersifat gebrakan “shock teraphy” Kemudian
menjadi bersifat pendidikan “low profil”. Dalam istilah yang digunakan Dadan Wildan bersifat persuasif educative (1999: 12-15).
Dari segi materi dakwah menyesuaikan diri dengan
kebutuhan masyarakat, tidak terbatas pada persoalan ibadah, tetapi pada hal-hal strategis yang diperlukan oleh umat Islam (Dadan Wildan 1999: 10-12). Di antaranya bidang garapan pendidikan, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, pembangunan masjid-masjid, menyelenggarakan
seminar-seminar, pelatihan dan diskusi (halaqah) pengkajian Islam. Di bidang agama, Persis memiliki Dewan Hisbah, Dewan Hisab, dan Dewan Tafkir yang melaksanakan tugas sesuai kewenangan masing-masing.
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan dan dakwah, materi dakwah Persis konsisten pada prinsip khittah perjuangannya memberantas takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) dan bentuk-bentuk kemusyrikan lainnya (Penjelasan QA, 2010: 62). Sebagai jam’iyyah, Persis bersifat harakah tajdid dalam pemikiran Islam dan penerapannya, dan
sebagai gerakan, berkiprah dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan dan dakwah.
Sasaran atau penerima dakwah Persis sebagaimana pada ormas Islam lainnya dapat dibedakan kepada dua yaitu: dakwah internal dan eksternal. Ada suatu landasan yang menarik dan
selalu menjadi acuan Persis dalam berdakwah yaitu sebagaimana dikemukakan Isa Anshary (Mantan Ketua Umum Persis 1953 –
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
46
Akan tetapi Persis cukup dewasa. Kalau kami hendak membantah
bid’ah, khurafat dan takhayul kami cukup dewasa, jangan sampai pekerjaan ini tidak dilakukan dan sebagainya. Ruhamaa’bainakum
(kasih sayang di antara kamu, penulis) tercermin pada segala usaha, pekerjaan, dan perjuangan antar umat Islam itu harus
diupayakan dengan ukhuwah yang merupakan watak dan karakter perjuangan Persis menghadapi lawan anti Islam (Badri Yusuf, 24 September 2011).
Persatuan Islam lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah anggotanya. Karena itu, pada tahun-tahun
pertama kemunculan organisasi ini anggotanya kurang dari 20 orang dan kegiatannya terpusat pada shalat berjama’ah pada hari Jum’at. Para anggota hadir bersama untuk mendengar ceramah agama.
Persis dalam penyebaran anggota agak lambat, sebab
sejak berdirinya lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas. Deliar Noer memberikan kometarnya, “Persis tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambang sebanyak mungkin anggota”.
Potensi Konflik dan Integrasi
Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkah dakwahnya, yaitu menitikberatkan pada
pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui berbagai bidang seperti bidang pendidikan. Dalam dakwah misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam
untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia. Setiap aktivis dakwah yang diusung oleh misi Persatuan Islam terkandung prinsip-prinsip perjuangan
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
47
kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al Sunnah, sekaligus sebagai
identitas yang mewarnai seluruh gerak langkah organisasi dan anggota-anggotanya. Pernyataan ini tertulis dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanun Dakhili (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Persatuan Islam mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat, dan menempatkan kaum muslimin pada ajaran akidah dan syari’ah berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah. Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk berjamaah, berimamah,
berimarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap terarah dalam mengemban misi perjuangannya, Persis menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunah.
Sehubungan dengan tantangan dakwah yang kian hari
kian berat dan semakin kompleks, maka pada Muktamar XIV tahun 2010 terdapat pengembangan dalam hal organisasi berkenaan dengan dakwah (Irfan Syafruddin, 24-09-2011). Perubahan tersebut ialah pada jajaran tingkat Pimpinan Pusat terdapat struktur penyempurnaan, yaitu bidang dakwah dengan tujuan
untuk mempercepat, memperluas, dan meningkatkan syi’ar dakwah secara luas dan pengembangan jam’iyyah Persis (Penjelasan QA, 20190:63). Dalam pelaksanaan jihad jam’iyyah Persis dikelompokkan kedalam bidang dan bidang garapan yang terdiri dari 4 (empat) bidang yaitu: bidang jam’iyyah, bidang
tarbiyah, bidak dakwah, bidang maaliyah, bidang kesekretariatan dan bidang keuangan. (Pasal 4). Untuk bidang dakwah terdiri atas 4 (empat) bidang garapan yaitu: 1) pengembangan dakwah dan kajian pemikiran Islam 2) sumber daya dakwah 3) komunikasi dakwah dan kemasjidan, dan 4) bimbingan haji dan umroh.
Akan tetapi Persis cukup dewasa. Kalau kami hendak membantah
bid’ah, khurafat dan takhayul kami cukup dewasa, jangan sampai pekerjaan ini tidak dilakukan dan sebagainya. Ruhamaa’bainakum
(kasih sayang di antara kamu, penulis) tercermin pada segala usaha, pekerjaan, dan perjuangan antar umat Islam itu harus
diupayakan dengan ukhuwah yang merupakan watak dan karakter perjuangan Persis menghadapi lawan anti Islam (Badri Yusuf, 24 September 2011).
Persatuan Islam lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah anggotanya. Karena itu, pada tahun-tahun
pertama kemunculan organisasi ini anggotanya kurang dari 20 orang dan kegiatannya terpusat pada shalat berjama’ah pada hari Jum’at. Para anggota hadir bersama untuk mendengar ceramah agama.
Persis dalam penyebaran anggota agak lambat, sebab
sejak berdirinya lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas. Deliar Noer memberikan kometarnya, “Persis tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambang sebanyak mungkin anggota”.
Potensi Konflik dan Integrasi
Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkah dakwahnya, yaitu menitikberatkan pada
pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui berbagai bidang seperti bidang pendidikan. Dalam dakwah misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam
untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia. Setiap aktivis dakwah yang diusung oleh misi Persatuan Islam terkandung prinsip-prinsip perjuangan
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
48
Adapun struktur organisasi dan kempemimpinan di bidang
dakwah sebagai berikut:
Pimpinan Pusat Persis Masa Jihad 2010-2015 yang berke-naan dengan dakwah sebagai berikut:
Ketua Bidang Dakwah : H. Wawan Sofwan, SH
Sekretaris Bidang Dakwah : Drs.H.Komaruddin Saleh, M.Pd.I
Ketua Bidang Garapan Pe-
ngembangan Dakwah dan
Kajian Pemikiran Islam : Drs. H. Jeje Zaenudin, M.Ag
Ketua Bidang Garapan Sum-
ber Daya Dakwah : Nurmawan, S.Ag
Ketua Bidang Garapan Ke-
munikasi Dakwah dan Ke-
masjidan : Drs. H. Yusuf Badri, M.Ag
Ketuan Bidang Garapan
Bimbingan Haji dan Umrah : H. Thoha Kahfi.
Relasi Pelaku Dakwah dalam memelihara Kerukunan
Sejauh ini relasi antar ormas Islam, sebagai pelaku dakwah dalam upaya memelihara kerukunan belum diformalkan. Namun jika terdapat kasus yang melibatkan antar anggota ormas Islam
segera diselesaikan, baik secara pribadi, dan jika perlu antarorganisasi. Namun kasusnya hampir tidak pernah terjadi (MD
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
49
Idad Soemarta 27 September 2011 dan M Iding Baharuddin, 28
Sepetember 2011).
Dalam relasi antarormas, Persis menggariskan melalui ukhuwah. Istilah yang digunakan ialah “ruhamaa-u bainakum” (kasih sayang di antara kamu”.
B. Dakwah Persatuan Umat Islam
Profil Persatuan Umat Islam
Persatuan Umat Islam, selanjutnya disingkat dengan PUI adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang didirikan oleh K.H. Abdul Halim dan Ahmad Sanusi di Bogor, Jawa Barat pada tangga 5 April 1952/bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1373 H.
PUI merupakan hasil fusi dari Perikatan Ummat Islam (PUI)
yang berkedudukan di Majelangka didirikan oleh K.H. Abdul Halim dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) didirikan oleh Ahmad Sanusi di Sukabumi. Fusi PUI dan PUII selain karena gerak dan perjuangannya sama juga kedua pimpinan organisasi tersebut “satu guru dan satu ilmu”. Keduanya berguru kepada Syekh
Ahmad Syurkati dan Syekh Khayat di Mekkah.
Sasaran penelitian ini ialah PUI Jawa Barat yang berdiri pada tahun 1975 dengan ketua yang pertamanya K.H.E.Z. Abidin. Setelah terjadi beberapa kali pergantian kepengurusan, maka pada saat penelitian ini dilakukan diketuai oleh Drs. M. E. Iding
Bahruddin,. M.M. Pd. Sekretariat PUI wilayah Jawa Barat terletak di Jalan Sandang No. 1 Cirengot, Ujungberung Bandung 406014.
PUI sebagai ormas Islam bersifat independen berpedoman kepada al Qur’an dan al-Hadits menurut pemahaman ahlul sunnah waljama’ah dengan tujuan “terwujudnya pribadi, keluarga,
Adapun struktur organisasi dan kempemimpinan di bidang
dakwah sebagai berikut:
Pimpinan Pusat Persis Masa Jihad 2010-2015 yang berke-naan dengan dakwah sebagai berikut:
Ketua Bidang Dakwah : H. Wawan Sofwan, SH
Sekretaris Bidang Dakwah : Drs.H.Komaruddin Saleh, M.Pd.I
Ketua Bidang Garapan Pe-
ngembangan Dakwah dan
Kajian Pemikiran Islam : Drs. H. Jeje Zaenudin, M.Ag
Ketua Bidang Garapan Sum-
ber Daya Dakwah : Nurmawan, S.Ag
Ketua Bidang Garapan Ke-
munikasi Dakwah dan Ke-
masjidan : Drs. H. Yusuf Badri, M.Ag
Ketuan Bidang Garapan
Bimbingan Haji dan Umrah : H. Thoha Kahfi.
Relasi Pelaku Dakwah dalam memelihara Kerukunan
Sejauh ini relasi antar ormas Islam, sebagai pelaku dakwah dalam upaya memelihara kerukunan belum diformalkan. Namun jika terdapat kasus yang melibatkan antar anggota ormas Islam
segera diselesaikan, baik secara pribadi, dan jika perlu antarorganisasi. Namun kasusnya hampir tidak pernah terjadi (MD
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
50
masyarakat, negara, dan peradaban dunia yang diridhoi oleh Allah
swt (AD PUI Bab II Pasal 4).
Organisasi PUI terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Pakar, dan Pimpinan Harian yang dilengkapi sejumlah Biro. Salah satu dari Biro tersebut ialah Biro Dakwah dan Tarbiyah. Sedangkan
pada struktur Pengurus Wilayah Wanita PUI juga terdapat salah satu Bidang yaitu Bidang Dakwah dan Publikasi. Organisasi pendukungnya terdiri dari Himpunan Pejalar (HIJAR), Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pemuda PUI dan Wanita PUI. Organisasi dibawah PW Jawa Barat terdiri dari 26 Pengurus Daerah, 118
Pengurus Cabang, 225 Majelis Taklim, 130 RA/TK/TPA, 33 Koperasi dan 44 PAUD. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh pengurus daerah wanita PUI (Eri Jauhariah, 29 September 2011). Materi dakwah selain al-Qur’an dan Sunnah juga ke-PUI-an, intisabi, ishlahus samaniyah dan ahlul sunnah waljama’ah.
Anggota PUI sejauh ini belum terdata secara kongkrit.
Aktivitas Dakwah
Dakwah PUI menggunakan metode pendekatan terdiri dari dakwah bi al-lisan, bi al-qalam dan bi al-hal. Dakwah Bi al lisan dalam bentuk ceramah dan tabligh akbar yang dilakukan oleh para mubaligh/da’i PUI melalui majelis-majelis taklim/pengajian
intisabi. Dakwah juga dilakukan melalui siaran Radio Antasalam, TV
internet go to School, TVRI, PJTV, dan TV Bandung yang umumnya diisi oleh Djadja Djahari dan Iding Bahruddin. Dakwah bi al qalam PUI menerbitkan secara berkala bulletin dan majalah di antaranya
Risalah Penunjuk Bagi Sekalian Manusia (bahasa Sunda), bulletin
dan majalah Intisabi. Di samping itu juga menerbitkan buku,
seperti seri dalam Mawa’idh, ke-PUI-an, dan Ishlahul akidah.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
51
Dakwah bi al hal, PUI mendirikan sekolah dan madrasah
tersebar di 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sejak berdiri tanggal 5 April 1952 hingga penelitian ini dilakukan. PW PUI Jawa Barat telah memiliki 1.474 lembaga pendidikan yang terdiri dari 1.832 Madrasah Ibtiddaiyah (MI) dan Madrasah Diniah (MA), 70
SMP/MTs, 20 SMA/MA/SMK/ dan 3 Perguruan Tinggi. Perguruan Tingggi PUI ialah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul Ulum Sukabumi, STIA PUI Majalangka dan STIA Putra Galuh Ciamis (Profile PUI Jabar, 2007:18). Dakwah PUI Provinsi Jawa Barat oleh pimpinannya diarahkan pada prinsip “Kahartos” (yang dapat
dipahami dan dilaksanakan) dan “Karaos” (dakwah bil hal). (Djadja Djahari dalam Laporan Muswil VII 2011:8).
Potensi Konflik dan Integrasi
PUI memegang teguh paham ahlul sunnah wal jama’ah. Mazhab merupakan kunci untuk mengajak kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah (Nur Hasan Zaidi, 2009:23). Sikap PUI dalam
paham keagamaan terbuka bagi anggotanya sehingga dalam peribadatan dapat saja berbeda satu dengan yang lain, dan tanpa dipermasalahkan dengan prinsip Ishlahul samaniah dengan bermazhab aswajah (Maman Abdul Rahman dalam Nur Hasan Zaidi, 2009:82).
Paham keagamaan yang dianut secara tegas tercermin dari ungkapan seorang ulama PUI Maman Abdurrahman, “…umat Islam pada masa sekarang ini dalam memegang ajaran Rasul dan sahabatnya sangat sulit sekali kalau tidak bermazhab. Siapapun yang menghendaki dan dapat mendapatkan dalil al-Qur’an dan
Sunnah tapi karena kemampuan beristimbath tidak ada, maka dia itu wajib bermahzab”. Tidak boleh taklid dalam satu pekerjaan
masyarakat, negara, dan peradaban dunia yang diridhoi oleh Allah
swt (AD PUI Bab II Pasal 4).
Organisasi PUI terdiri dari Dewan Pembina, Dewan Pakar, dan Pimpinan Harian yang dilengkapi sejumlah Biro. Salah satu dari Biro tersebut ialah Biro Dakwah dan Tarbiyah. Sedangkan
pada struktur Pengurus Wilayah Wanita PUI juga terdapat salah satu Bidang yaitu Bidang Dakwah dan Publikasi. Organisasi pendukungnya terdiri dari Himpunan Pejalar (HIJAR), Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pemuda PUI dan Wanita PUI. Organisasi dibawah PW Jawa Barat terdiri dari 26 Pengurus Daerah, 118
Pengurus Cabang, 225 Majelis Taklim, 130 RA/TK/TPA, 33 Koperasi dan 44 PAUD. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh pengurus daerah wanita PUI (Eri Jauhariah, 29 September 2011). Materi dakwah selain al-Qur’an dan Sunnah juga ke-PUI-an, intisabi, ishlahus samaniyah dan ahlul sunnah waljama’ah.
Anggota PUI sejauh ini belum terdata secara kongkrit.
Aktivitas Dakwah
Dakwah PUI menggunakan metode pendekatan terdiri dari dakwah bi al-lisan, bi al-qalam dan bi al-hal. Dakwah Bi al lisan dalam bentuk ceramah dan tabligh akbar yang dilakukan oleh para mubaligh/da’i PUI melalui majelis-majelis taklim/pengajian
intisabi. Dakwah juga dilakukan melalui siaran Radio Antasalam, TV
internet go to School, TVRI, PJTV, dan TV Bandung yang umumnya diisi oleh Djadja Djahari dan Iding Bahruddin. Dakwah bi al qalam PUI menerbitkan secara berkala bulletin dan majalah di antaranya
Risalah Penunjuk Bagi Sekalian Manusia (bahasa Sunda), bulletin
dan majalah Intisabi. Di samping itu juga menerbitkan buku,
seperti seri dalam Mawa’idh, ke-PUI-an, dan Ishlahul akidah.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
52
antara ke 4 mahzab tersebut (Maman Abdul Rahman dalam Nur
Hasan Zaidi, 2009:96).
Potensi konflik yang dominan hanya dalam hal politisasi. Adanya tokoh ormas Islam yang memasuki politik praktis dengan memanfaatkan ormas Islam untuk kepentingan politiknya. Hal
inilah yang menyebabkan ormas Islam stagnan dalam kinerjanya, bahkan dapat mengalami kemunduran karena energi tersedot pada persoalan politik. Ini berpotensi konflik ditubuh ormas akibat benturan kepentingan politik para anggota atau pengurusnya (ASM. Ramli dalam Intisabi Nomor 3 Tahun 2009:16-17). Sedangkan
potensi konflik antar umat Islam tidak ada yang dominan dalam kaitannya dengan PUI karena penerapan strategi dakwah yang toleran dan moderat.
Potensi integrasi yang dikembangkan dalam PUI ialah kebebasan dalam bermahzab. PUI memberikan kebebasan
mahzab yang dipilih oleh anggotanya, tetapi dalam bingkai Aswaja. Internal PUI nampak tidak muncul persoalan paham keagamaan. Sikap ini juga berarti pengembangan ukhuwah dalam perbedaan paham keagamaan dengan ormas Islam lain yang memiliki kekhasannya (Iding Bahruddin, 29 September 2011).
Paham aswaja wajib berpedoman tegas-tegas tentang akidah dan ibadah berdasarkan dalil mutawatir dan qath’i. tetapi harus mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) dalam masalah furu’ yang mengandung hilafiyah (Abu Muslih dalam Nur Hasan Zaidi:102).
Relasi antar Ormas Islam dalam Memelihara Kerukunan
Relasi PUI selaku dakwah dengan ormas lainnya pada dasarnya baru sebatas kerjasama dalam forum lintas ormas.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
53
Wadah yang telah terbentuk ialah Forum Silaturahmi Ormas Islam
Kota Bandung, Badan Kerjasama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat yang berdiri sejak tahun 1998 yang diketuai oleh aktivis PUI. Di samping juga terdapat kerja sama dalam usaha ekonomi 5 ormas Islam dan IAIN Sunan Gunung Jati melalui program air minum
mineral “Aquazam”.
Namun dalam realita forum tersebut belum memiliki kegiatan yang monumental dan rutin. Wadah tersebut dapat dioptimalkan untuk memelihara kerukunan intern umat Islam (Iding Bahruddin, 29 Sepatember 2011).
C. Dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan
Profil Front Anti Pemurtadan Bekasi
Front Gerakan Anti Pemurtadan, selanjutnya disingkat
(FAPB) didirikan pada tanggal 22 Nopember 2008 di Bekasi. Ada kesepahaman penggunaan kata “front” yaitu diharapkan organisasi ini tetap eksis sesuai harapan.
Kelahiran FAPB dilatar belakangi pentingnya keistiqamahan dalam beragama. Istiqamah dalam islam dan
terhindar dari pemurtadan. Pada tahun 2007 nampak upaya pemurtadan orang Islam di Pondok Mitra Lestari Bekasi. Kegiatan bakti sosial dari pemeluk agama tertentu. Kondisi demikian berlanjut, dan pada tahun 2008 melalui program Bekasi Berbagi Bahagia, selanjutnya disingkat B3 oleh Yayasan Mahanaim. B3
mengundang warga masyarakat untuk acara perlombaan, ketangkasan dan pernikahan massal. Dibalik acara formal tersebut terdapat indikasi pemurtadan, untuk pindah agama ke Kristen.
Kasus tersebut bagian dari sejumlah kejadian lainnya adalah menjadi latar belakang Forum Silaturrahim Masjid dan
antara ke 4 mahzab tersebut (Maman Abdul Rahman dalam Nur
Hasan Zaidi, 2009:96).
Potensi konflik yang dominan hanya dalam hal politisasi. Adanya tokoh ormas Islam yang memasuki politik praktis dengan memanfaatkan ormas Islam untuk kepentingan politiknya. Hal
inilah yang menyebabkan ormas Islam stagnan dalam kinerjanya, bahkan dapat mengalami kemunduran karena energi tersedot pada persoalan politik. Ini berpotensi konflik ditubuh ormas akibat benturan kepentingan politik para anggota atau pengurusnya (ASM. Ramli dalam Intisabi Nomor 3 Tahun 2009:16-17). Sedangkan
potensi konflik antar umat Islam tidak ada yang dominan dalam kaitannya dengan PUI karena penerapan strategi dakwah yang toleran dan moderat.
Potensi integrasi yang dikembangkan dalam PUI ialah kebebasan dalam bermahzab. PUI memberikan kebebasan
mahzab yang dipilih oleh anggotanya, tetapi dalam bingkai Aswaja. Internal PUI nampak tidak muncul persoalan paham keagamaan. Sikap ini juga berarti pengembangan ukhuwah dalam perbedaan paham keagamaan dengan ormas Islam lain yang memiliki kekhasannya (Iding Bahruddin, 29 September 2011).
Paham aswaja wajib berpedoman tegas-tegas tentang akidah dan ibadah berdasarkan dalil mutawatir dan qath’i. tetapi harus mengembangkan sikap tasamuh (toleransi) dalam masalah furu’ yang mengandung hilafiyah (Abu Muslih dalam Nur Hasan Zaidi:102).
Relasi antar Ormas Islam dalam Memelihara Kerukunan
Relasi PUI selaku dakwah dengan ormas lainnya pada dasarnya baru sebatas kerjasama dalam forum lintas ormas.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
54
Mushalla (FSMM) Bekasi Selatan berkonsultasi dengan Tim
Pengacara Muslim (TPM) pada tanggal 17 Nopember 2008. Di antara tindak lanjut hasil pertemuan ialah mengirim surat ke Pemerintah Kota Bekasi yang menginformasikan kemungkinan adanya upaya pemurtadan, dengan tembusan surat disampaikan
kepada Polres Metro Bekasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi.
Pertemuan berlanjut pada tanggal 22 Nopember 2008, dengan hasilnya mendirikan organisasi Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB). Organisasi ini terdiri dari Dewan Syuro, Dewan
Tafidziyah yang diketuai oleh Abu Al-Iz dan sekertaris A. Syukri dan Wakil sekertaris Syaifuddin. Struktur kepungurusan dilengkapi enam bidang, yaitu: informasi dan data, advokasi dan pembelaan, humas, dakwah, dan kepedulian umat. Di samping itu dibentuk Koordinator Wilayah (Korwil) yaitu: Korwil Kota Bekasi yang
diketuai Assyifa Palestina al Kahfi, dan Korwil Kabupaten Bekasi yang diketuai oleh Sawabi.
Misi FGAB terdiri dari tiga: Pertama, menangani dan mencegah pemurtadan. Kedua, menangani dan mencegah
pendirian rumah ibadat yang illegal. Ketiga, memberantas praktik rentenir. Di sini FAPB berperan memberi bantuan kepada mereka yang terjerat rentenir, mengawal umat dari misi pemurtadan, dan mennyadarkan mereka yang murtad kembali kepada agamanya semula, Islam.
FABP sebagai organisasi terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tanfidz yang diketuai oleh Abu Al-Iz, dilengkapi lima bidang, yaitu: Bidang Informasi dan Data, Bidang Advokasi dan Penindakan, Bidang Humas, Bidang Dakwah, Bidang Kepedulian Umat, dan Pembinaan Muslimah. Di samping terdapat koordinator wilayah,
yaitu Koordinator Wilayah Kota Bekasi diketuai oleh Assyifa
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
55
Palestina Al Kahfi, dan Wilayah Kabupaten Bekasi diketuai oleh
Sawabi.
FAPB memiliki kepengurusan sebagimana organisasi modern lainnya. Kepengurusan sesuai struktur yang ada. Tidak memiliki sistem keanggotaan secara formal diluar kepengurusan.
Ruang lingkup kawasan kegiatan meliputi kota dan kabupaten Bekasi.
Aktivitas Dakwah
Dakwah FAPB sebagaimana ormas Islam umumnya menggunakan pendekatan dakwah bi al lisan (dengan ucapan), dakwah bi al qalam (dengan pena) dan dakwah bi alhal (aksi
nyata). Dakwah bi al lisan melalui ceramah, dialog, diskusi dan tabligh akbar di masjid-masjid, dan di rumah-rumah. Kagiatan ini dilakukan baik di kalangan FAPB maupun bersama ormas Islam. Waktunya mingguan, dua mingguan dan bulanan.
Dakwah bi al qalam bagi FAPB masih belum prioritas. Baru
beberapa contoh saja, yaitu membuat penjelasan tentang peristiwa HKBP Ciketing karena informasinya merugikan umat. Berbeda dengan dakwah bi al hal cukup beragam mulai dari memberi dana beasiswa bagi siswa Sekolah Dasar yang menjadi sasaran pemurtadan karena kemiskinan, seperti di SD Jatibening
Baru, bantuan sosial seperti kepada warga yang tertimpa musibah letupan Genung Merapi yang mengungsi di gereja-gereja, memindahkan para pengungsi dari gereja Paroki Kebun Arum Klaten, dan solidaritas terhadap keperihatinan umat Islam diluar negeri, seperti Solidaritas Gaza (Palestina). Tabligh akbar
menggunakan tema tertentu, seperti “Solidaritas Umat Islam untuk Muslim Ambon di Masjid Muhammad Ramadhan di Taman Galaxi, Bekasi pada tanggal 2 Oktober 2011. Melakukan audiensi
Mushalla (FSMM) Bekasi Selatan berkonsultasi dengan Tim
Pengacara Muslim (TPM) pada tanggal 17 Nopember 2008. Di antara tindak lanjut hasil pertemuan ialah mengirim surat ke Pemerintah Kota Bekasi yang menginformasikan kemungkinan adanya upaya pemurtadan, dengan tembusan surat disampaikan
kepada Polres Metro Bekasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bekasi.
Pertemuan berlanjut pada tanggal 22 Nopember 2008, dengan hasilnya mendirikan organisasi Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB). Organisasi ini terdiri dari Dewan Syuro, Dewan
Tafidziyah yang diketuai oleh Abu Al-Iz dan sekertaris A. Syukri dan Wakil sekertaris Syaifuddin. Struktur kepungurusan dilengkapi enam bidang, yaitu: informasi dan data, advokasi dan pembelaan, humas, dakwah, dan kepedulian umat. Di samping itu dibentuk Koordinator Wilayah (Korwil) yaitu: Korwil Kota Bekasi yang
diketuai Assyifa Palestina al Kahfi, dan Korwil Kabupaten Bekasi yang diketuai oleh Sawabi.
Misi FGAB terdiri dari tiga: Pertama, menangani dan mencegah pemurtadan. Kedua, menangani dan mencegah
pendirian rumah ibadat yang illegal. Ketiga, memberantas praktik rentenir. Di sini FAPB berperan memberi bantuan kepada mereka yang terjerat rentenir, mengawal umat dari misi pemurtadan, dan mennyadarkan mereka yang murtad kembali kepada agamanya semula, Islam.
FABP sebagai organisasi terdiri dari Dewan Syuro, Dewan Tanfidz yang diketuai oleh Abu Al-Iz, dilengkapi lima bidang, yaitu: Bidang Informasi dan Data, Bidang Advokasi dan Penindakan, Bidang Humas, Bidang Dakwah, Bidang Kepedulian Umat, dan Pembinaan Muslimah. Di samping terdapat koordinator wilayah,
yaitu Koordinator Wilayah Kota Bekasi diketuai oleh Assyifa
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
56
dan silaturahim kepada berbagai pihak, seperti ke pimpinan DPR-D
Kota Bekasi. Membentuk Tim Pembela Hukum untuk kasus Murhali Barda atas insiden tanggal 12 September 2010 yang meminta perobohan Patung Tiga Mojang di Harapan Indah, Bekasi.
Sesuai nama FAPB digunakan teknik testimoni terhadap
suatu kejadian. Materi dakwah yang dikembangkan secara khusus ialah seperti penegakkan syariat Islam.
Potensi Konflik dan Integrasi
Dalam pelaksanaan dakwah sesuai metode, materi, sasaran dan media yang digunakan FAPB, maka terdapat potensi konflik dan integrasi. Di antaranya intern umat Islam. Pertama “siaran anti
bid’ah”. Radio Dakta dan Radio Roja’ menyiarkan pesan dakwah yang nampak mengusung paham keagamaan tertentu. Anti bid’ah seperti tahlilan, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, dan upacara menyambut kelahiran bayi. Kedua, “purifikasi tata cara
peribadatan (fikih)”. Di antara jamaah masjid BPN di Cikarang Pusat menjadi pengurus DKM berupaya merobah tata cara peribadatan dengan model salafi. Terjadi perselisihan dengan jamaah. Namun dapat dieselesaikan dengan memberhentikan yang bersangkutan dari pengurus masjid.
FAPB dengan umat beragama lain. Secara khusus karena mengkonter penyiaran agama yang dinilai melanggar SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969. Di samping itu berupaya mengklarifikasi keabsahan proses dan persyaratan pendirian rumah ibadat dengan tolok ukur Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. FAPB mempertanyakan jumlah warga masyarakat yang mendukung pendirian Gereja Galelea di Kompleks Galaxi.
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
57
Dukungan warga sebayak 61 orang, sedangkan yang menolak 350
orang.
Potensi integrasi dengan umat beragama lain. Bakti sosial bersama umat beragama lain. FAPB kerjasama dengan Gereja Saksi Yehova. Bakti sosial masyarakat Karang Kitri, kelurahan Margahayu
juga dibangun kesepahaman terhadap rencana pendirian balai pertemuan/gereja Saksi Yahova.
Faktor integrasi intern umat Islam yang dominan ialah peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bekasi. Dalam kepengurusan MUI terdapat unsur-unsur dari ormas-ormas Islam dan kalangan
professional. Tiap ada kasus dibahas dan diselesaikan melalui peran MUI.
Relasi Antar Ormas Islam dalam Memelihara Kerukunan
Relasi antar ormas Islam dalam memelihara kerukunan intern umat secara formal dan kelembagaan belum terlihat. Namun fungsi ini diperankan oleh kelompok gerakan yang biasa
dinamakan dan/atau menamakan diri dengan forum. Di Bekasi telah terbentuk Forum Silaturahim Masjid dan Mushalla (FSMM). Jika ada keperluan bersama, dan/atau terjadi kesalah-pahaman di kalangan umat, maka dibahas dan segera diselesaikan memalui peran FSMM. Fungsi yang sama juga diperankan oleh MUI.
Permasalahan berkaitan relasi antar umat beragama ditampung dan diselesaikan oleh Forum Kerukunan Umat beragama (FKUB). Hal ini merupakan bagian tugas pokok FKUB yang diatur dalam PBM Tahun 2006. FKPB bukan anti Kristen, tetapi anti pemurtadan.
dan silaturahim kepada berbagai pihak, seperti ke pimpinan DPR-D
Kota Bekasi. Membentuk Tim Pembela Hukum untuk kasus Murhali Barda atas insiden tanggal 12 September 2010 yang meminta perobohan Patung Tiga Mojang di Harapan Indah, Bekasi.
Sesuai nama FAPB digunakan teknik testimoni terhadap
suatu kejadian. Materi dakwah yang dikembangkan secara khusus ialah seperti penegakkan syariat Islam.
Potensi Konflik dan Integrasi
Dalam pelaksanaan dakwah sesuai metode, materi, sasaran dan media yang digunakan FAPB, maka terdapat potensi konflik dan integrasi. Di antaranya intern umat Islam. Pertama “siaran anti
bid’ah”. Radio Dakta dan Radio Roja’ menyiarkan pesan dakwah yang nampak mengusung paham keagamaan tertentu. Anti bid’ah seperti tahlilan, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, dan upacara menyambut kelahiran bayi. Kedua, “purifikasi tata cara
peribadatan (fikih)”. Di antara jamaah masjid BPN di Cikarang Pusat menjadi pengurus DKM berupaya merobah tata cara peribadatan dengan model salafi. Terjadi perselisihan dengan jamaah. Namun dapat dieselesaikan dengan memberhentikan yang bersangkutan dari pengurus masjid.
FAPB dengan umat beragama lain. Secara khusus karena mengkonter penyiaran agama yang dinilai melanggar SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 1969. Di samping itu berupaya mengklarifikasi keabsahan proses dan persyaratan pendirian rumah ibadat dengan tolok ukur Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. FAPB mempertanyakan jumlah warga masyarakat yang mendukung pendirian Gereja Galelea di Kompleks Galaxi.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
58
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
59
Analisis
Dalam strategi dakwah, Persis berbeda dengan PUI yang mengakomodir perbedaan paham keagamaan para anggotanya. Namun sikap moderat yang penuh toleran ini nampak berdampak pada kurang kuatnya solidaritas organisasi PUI. Bagi Persis dalam masalah paham keagamaan seakan tidak
mengenal istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur’an dan al-Sunnah secara tegas ditolak, sedangkan apa yang dianggap benar akan disampaikan walaupun pahit. Sedangkan FAPB netral dalam paham keagamaan.
Sesungguhnya cita ormas Islam dalam dakwah terdapat
titik temu, yaitu semua memiliki landasan fisofi untuk terlaksananya syariat Islam, melalui perbaikan akidah, ibadah, moral dan akhlak, serta kehidupan ekonomi. Di kalangan Persis menggunakan “Islam kaffah berdasarkan al Qur’an dan al Hadits, sedangkan di kalangan PUI memperkenalkan konsep Ishlah
Tsamaniyah (Delapan Jalur Pokok Perbaikan)”.
Potensi konflik dalam pelaksanaan dakwah internal umat Islam setidaknya pada dua dekade terakhir ini mengalami
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
60
pergeseran dari persoalan khilafiyah fikih kepada khlilafiyah politik
(siyasah). Persoalan khilafiyah dalam akidah (ushuliyah) secara murni hampir tidak pernah terjadi, kecuali umat Islam arus utama (streammain) dengan Ahmadiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad setelah Nabi Muhammad saw. Perdebatan soal ini telah
terjadi pada tahun 1935, antara Ahmad Hasan dari Persis dengan pihak Ahmadiyah. Namun tidak terselesaikan hingga sekarang. Sewaktu-waktu konflik tak terhindarkan. Sedangkan khilafiyah organisasi semakin berkurang dengan dengan meningkatnya wawasan umat dan terbentuknya forum-forum lintas ormas Islam,
seperti Forum Silaturahmi Ormas Islam (PSOI) Kota Bandung yang terbentuk pada tahun 2002, dengan anggota 13 ormas Islam. Bisa jadi termasuk FAPB. Badan Kerjasama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat (LPEM), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla (PSMM) Bekasi.
Pada aspek sosial-budaya dan ekonomi ada kesamaan dalam penanggulangan bencana, mengatasi serangan permurtadan, dn menolak radikalisme dalam segala bentuknya. Organisasi yang radikal pada dasarnya tidak mendapat respon dukungan dari masyarakat dan ormas Islam. Kerjasama terjadi
dalam menanggulangi kemiskinan di daerah tertentu, sekaligus rawan pada pemurtadan. Dalam hal ini Persis bersama ormas Islam lain bekerja sama seperti di Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur Selatan. Hanya saja relasi dalam bentuk dialog antar ormas Islam dan antar agama secara struktural masih merupakan
kebijakan internal masing-masing ormas Islam. Dalam bidang ekonomi telah terjadi kerjasama dalam wadah Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) yang didirikan oleh ormas Islam (NU, Persis, Muhammadiyah, PUI, dan IAIN Sunan Gunung Jati). Bentuk usahanya ialah produksi air minun kemasan
dengan merek “Air Minum Aquazam”. Dalam perkembangannya
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
61
justeru kurang dukungan dari ormas Islam sendiri. Berbeda halnya
yang dilakukan Persis, yaitu investasi melalui toko emas di Sumedang sekitar RP. 3. 3 milyar, dengan keuntungan tiap bulan yang diterima Persis sebesar Rp. 40 juta, dan memiliki sebuah Bait al Mal wa al Tamwil (BMT).
Kesimpulan
Dari temuan lapangan dan pembahasan diambil kesimpulan, bahwa dakwah ormas Islam secara umum berlangsung dengan karakter masing-masing, dan berjalan sendiri-sendiri. Karakter dakwah Persis lebih teragenda, formal, tegas, keras dan konsisten tentang paham keagamaan yang
disosialisasikan. Sedangkan dakwah PUI adalah nampak lemah dalam agenda, lunak dan moderat dengan mengakomodir perbedaan paham keagamaan. Adapun dakwah Front Gerakan Anti Pemurtadan Bekasi cenderung netral, keras, tegas dan lugas dalam membela Islam dan umat. Ketiga ormas Islam secara
organisasi tidak masuk partai politik Partisipasi politik anggota ormas Islam dinilai sebagai hak masing-masing.
Paradigma dakwah Persis mengalami transformasi dari pada awalnya bernuansa agresif melalui stimulasi gebrakan (shock
teraphy) kepada penampilan ramah (low profile). Dari isu-isu dakwah yang konvensional yang kokoh dalam paham keagamaan diikuti metode debat dan bi al qalam kepada isu-isu yang relatif sama dengan lebih mengedepankan metode bi al hal dan bi al qalam seiring dengan kedewasaan berpikir umat Islam. Perubahan
tersebut berdampak pada perkembangan keanggotaan yang signikan. Dakwah PUI bernuansa normatif melalui “pintu terbuka” bagi perbedaan paham keagamaan yang mengepankan ukhuwah
pergeseran dari persoalan khilafiyah fikih kepada khlilafiyah politik
(siyasah). Persoalan khilafiyah dalam akidah (ushuliyah) secara murni hampir tidak pernah terjadi, kecuali umat Islam arus utama (streammain) dengan Ahmadiyah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad setelah Nabi Muhammad saw. Perdebatan soal ini telah
terjadi pada tahun 1935, antara Ahmad Hasan dari Persis dengan pihak Ahmadiyah. Namun tidak terselesaikan hingga sekarang. Sewaktu-waktu konflik tak terhindarkan. Sedangkan khilafiyah organisasi semakin berkurang dengan dengan meningkatnya wawasan umat dan terbentuknya forum-forum lintas ormas Islam,
seperti Forum Silaturahmi Ormas Islam (PSOI) Kota Bandung yang terbentuk pada tahun 2002, dengan anggota 13 ormas Islam. Bisa jadi termasuk FAPB. Badan Kerjasama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat (LPEM), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla (PSMM) Bekasi.
Pada aspek sosial-budaya dan ekonomi ada kesamaan dalam penanggulangan bencana, mengatasi serangan permurtadan, dn menolak radikalisme dalam segala bentuknya. Organisasi yang radikal pada dasarnya tidak mendapat respon dukungan dari masyarakat dan ormas Islam. Kerjasama terjadi
dalam menanggulangi kemiskinan di daerah tertentu, sekaligus rawan pada pemurtadan. Dalam hal ini Persis bersama ormas Islam lain bekerja sama seperti di Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur Selatan. Hanya saja relasi dalam bentuk dialog antar ormas Islam dan antar agama secara struktural masih merupakan
kebijakan internal masing-masing ormas Islam. Dalam bidang ekonomi telah terjadi kerjasama dalam wadah Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) yang didirikan oleh ormas Islam (NU, Persis, Muhammadiyah, PUI, dan IAIN Sunan Gunung Jati). Bentuk usahanya ialah produksi air minun kemasan
dengan merek “Air Minum Aquazam”. Dalam perkembangannya
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
62
yang berdampak pada relatif lemah dalam soliditas jamaah dan
belum memiliki suatu pedoman/khiththah dalam dakwah.
Potensi konflik yang nampak dalam pelaksanaan dakwah internal umat Islam pada dekade terakhir ini bergeser dari soal khilafiyah paham keagamaan (fikih) kepada fenomena khilafiyah
politik (siyasah). Namun dalam ikhtilaf siyasah tidak terjadi konflik terbuka. Ikhtilaf dalam fikih sebagai materi dakwah dan metode pendekatan dakwah hampir tidak lagi menjadi sumber konflik internal umat. Kondisi ini terjadi pada kalangan elite ormas Islam, sedangkan pada lapisan akar rumput (grassroot) masih berpotensi
rawan konflik. Kegiatan dakwah berorientasi pemurtadan berpotensi konflik antar umat beragama, yang secara khusus antara Islam dengan Kristen/Katolik.
Potensi integrasi dalam pelaksanaan dakwah yang
dominan ialah terbentuk dan berperannya forum-forum lintas ormas Islam yaitu Forum Silaturahmi Ormas Islam (FSOI) Kota Bandung, Badan Kerja sama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat/LPEM (produksi air mineral Aquazam), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla
(PSMM) Bekasi. Bisa jadi termasuk FAPB.
Relasi antar ormas Islam sebagai pelaku dakwah dalam memelihara kerukunan intern umat Islam nampak belum terkon-disikan melembaga. Kerjasama dalam dakwah mudah terbangun jika ormas Islam menghadapi serangan terhadap Islam dan Umat.
Bersatu dan rukun jika ada tantangan bersama.
Rekomendasi
Akhirnya sampai pada sejumlah rekomendasi yaitu: perlu diversifikasi metode dakwah oleh ormas Islam seiring
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
63
perkembangan informasi dan teknologi yang pesat dewasa ini.
Untuk hal ini kiranya dapat difasilitasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama dan jajarannya dengan kerjasama pemerintah daerah. Sudah waktunya ormas Islam menyusun peta dakwah pada masyarakat pluralistik yang memuat potensi konflik
khususnya pada ikhtilaf fikih dan etika dakwah.
Revitalisasi potensi integrasi tersedia organisasi forum lintas ormas Islam dan usaha ekonomi bersama ormas Islam model “Air Mineral Aquzam”. Forum yang ada hendaknya diefektifkan, dan diarahkan pada dakwah pluralistik. Dalam hal ini diharapkan
peran Majelis Ulama Indonesia setempat dalam koordinasi dan fasilitasinya. Jika belum dimungkinkan, maka dapat dibentuk wadah kejasama di bidang dakwah dengan fasilitasi Pemerintah Daerah yang dibantu Kantor Wilayah dan Kementerian Agama kabupaten/ kota. Dengan demikian dapat berbagi pengalaman
lapangan dan koordinasi sasaran dakwah yang menjangkau area dan lapisan umat yang lebih luas, sekligus dapat dihindari tumpang tindih kegiatan dakwah.
Untuk meminimalisasi ikhtilaf paham keagamaan (ikhtilaf fikih) yang berpotensi konflik pada akar rumput (grassroots), maka
perlu digalakkan saling tukar da’i atau khatib antar ormas Islam dengan koordinasi dan fasilitasi oleh Kementerian Agama Wilayah dan Kabupaten/Kota. Sudah selayaknya dakwah ormas Islam lebih mengedepankan dakwah pluralistik, baik internal umat Islam maupun ekternal kepada umat beragama lain yang menunjukkan
kerahmatan Islam bagi semua.
yang berdampak pada relatif lemah dalam soliditas jamaah dan
belum memiliki suatu pedoman/khiththah dalam dakwah.
Potensi konflik yang nampak dalam pelaksanaan dakwah internal umat Islam pada dekade terakhir ini bergeser dari soal khilafiyah paham keagamaan (fikih) kepada fenomena khilafiyah
politik (siyasah). Namun dalam ikhtilaf siyasah tidak terjadi konflik terbuka. Ikhtilaf dalam fikih sebagai materi dakwah dan metode pendekatan dakwah hampir tidak lagi menjadi sumber konflik internal umat. Kondisi ini terjadi pada kalangan elite ormas Islam, sedangkan pada lapisan akar rumput (grassroot) masih berpotensi
rawan konflik. Kegiatan dakwah berorientasi pemurtadan berpotensi konflik antar umat beragama, yang secara khusus antara Islam dengan Kristen/Katolik.
Potensi integrasi dalam pelaksanaan dakwah yang
dominan ialah terbentuk dan berperannya forum-forum lintas ormas Islam yaitu Forum Silaturahmi Ormas Islam (FSOI) Kota Bandung, Badan Kerja sama Umat Islam (BKUI) Jawa Barat, Lembaga Pengembangan Ekonomi masyarakat/LPEM (produksi air mineral Aquazam), dan Forum Sillatrahim Masjid dan Mushalla
(PSMM) Bekasi. Bisa jadi termasuk FAPB.
Relasi antar ormas Islam sebagai pelaku dakwah dalam memelihara kerukunan intern umat Islam nampak belum terkon-disikan melembaga. Kerjasama dalam dakwah mudah terbangun jika ormas Islam menghadapi serangan terhadap Islam dan Umat.
Bersatu dan rukun jika ada tantangan bersama.
Rekomendasi
Akhirnya sampai pada sejumlah rekomendasi yaitu: perlu diversifikasi metode dakwah oleh ormas Islam seiring
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
64
Dakwah Mathla’ul Anwar dan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Pandeglang, Provinsi ...
65
Abdurahman, E., Recik-Recik Dakwah, Algesindo Bandung (tanpa tahun).
Anshari, M. Isa, Mujahid Da’wah, Diponegoro, Bandung, 1995.
Buletin Intisabi Nomor 03/Tahun I/Nopember 2009.
Daulay, Hamdan, Dakwah di Tengah Budaya dan Politik, Lembaga Studi Filsafat lslam, Yogjakarta, 2001.
Dewan Pengurus Wilayah Persatuan Umat Islam Jawa Barat “Profile Persatuan Umat Islam PUI”, Bandung, 2011
------,Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam
tentang Akidah dan Ibadah, Bandung, 2008.
------,Nomor 05/Tahun II/Agustus 2010.
------,Revitalisasi Peran PUI dalam Pemberdayaan Ummat, Bandung,
2006
Khaeruman, Badri, Persatuan Islam:Sejarah Pembaruan Pemikiran, FAPPI dan IRIS PRESS, Bandung, 2010.
Lubis, Nina Herlina, dkk., Sejarah Perkembangan Islam di Jawa
Barat, Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Bandung, 2011.
M. Yusuf Asry, Ibnu Hasan Muchtar dan Haris Burhani
66
Ma’arif, Bambang S, Komunikasi Dakwah : Paradigma untuk Aksi,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2010.
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005”, Bandung, 2005
Muhtadi, Asep Saeful, Metode Penelitian Dakwah, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Persatuan Islam, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam.
Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Kumpulan Kaifiyyah dan Pedoman
Jam’iyyah Persatuan Islam, Bandung 2006.
Pimpinan Wilayah Persatuan Umat Islam Jawa Barat, Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Umat Islam,
Bandung, 2009..
Ranjabar, Jakobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.
Sekretariat Daerah Kota Bandung, Bandung Agamis, 2009.
Wildan, Dadan, Sejarah Perjuangan Persis, 1923-1983, Gemna Shahida, Bandung, 1995.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
67
Ma’arif, Bambang S, Komunikasi Dakwah : Paradigma untuk Aksi,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2010.
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005”, Bandung, 2005
Muhtadi, Asep Saeful, Metode Penelitian Dakwah, Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Persatuan Islam, Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persatuan Islam.
Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Kumpulan Kaifiyyah dan Pedoman
Jam’iyyah Persatuan Islam, Bandung 2006.
Pimpinan Wilayah Persatuan Umat Islam Jawa Barat, Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Umat Islam,
Bandung, 2009..
Ranjabar, Jakobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.
Sekretariat Daerah Kota Bandung, Bandung Agamis, 2009.
Wildan, Dadan, Sejarah Perjuangan Persis, 1923-1983, Gemna Shahida, Bandung, 1995.
DAKWAH NAHDLATUL WATHAN, MUHAMMADIYAH DAN GERAKAN SALAFI DI KOTA MATARAMPROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
Oleh: Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
III
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
68
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
69
Latar Belakang
Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku, budaya maupun agama, mengakibatkan usaha untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa menjadi hal penting yang harus diupayakan secara terus-menerus. Kerukunan umat beragama sebagai salah satu pilar kerukunan nasional dengan demikian merupakan kondisi yang juga harus senantiasa diupa-yakan. Kerukunan umat beragama itu sendiri meliputi kerukunan
antar umat beragama dan kerukunan internal umat beragama. Kerukunan di kalangan internal umat beragama merupakan pilar dari kerukunan umat beragama dan menjadi bagian pilar dari kerukunan nasional. Di antara kerukunan internal umat beragama adalah kerukunan di kalangan internal umat Islam.
Dilihat dari segi agama, umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia. Dengan posisi tersebut upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan di kalangan internal umat Islam merupakan suatu keniscayaan dalam rangka upaya pelanggengan kerukunan nasional. Apabila kerukunan internal
umat Islam terganggu, maka kerukunan nasional dengan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
70
sendirinya terganggu pula, yang pada gilirannya mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan program pembangunan nasional, utamanya di daerah yang kerukunan internal umat Islamnya tidak kondusif. Semakin banyak organisasi atau kelompok keagamaan di suatu daerah, maka akan semakin rentan bagi kemungkinan
timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam yang terjadi sehubungan praktek dakwah.
Ditengarai, banyak faktor yang dapat menimbulkan terganggunya kerukunan di kalangan internal umat beragama termasuk umat Islam. Salah satu faktor dimaksud adalah
pelaksanaan dakwah/penyiaran agama. Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh organisasi ataupun kelompok keagamaan Islam yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip kebersamaan, tidak saling menghormati dan menghargai perbedaan serta toleransi, dapat dipastikan akan dapat memicu timbulnya konflik di
kalangan internal umat Islam. Praktek dakwah demikian pada gilirannya dapat mengganggu kerukunan internal umat Islam. Sebaliknya, apabila dakwah di atas dilakukan dengan tata-cara yang santun, bijak dan mengedepankan pemeliharaan ukhuwah Islamiyah, maka akan jauh dari kemungkinan timbulnya konflik
lantaran praktek dakwah.
Betapapun, keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dengan keragaman perbedaannya mengandung potensi ketidak-rukunan. Konflik mungkin dapat terjadi di kalangan organisasi keagamaan. Dakwah Islam yang semestinya untuk memberikan
pencerahan dan pengajaran tentang ajaran agama, mungkin saja dalam praktek di lapangan dipergunakan sebagai ajang mencari pengaruh untuk kepentingan tertentu atau untuk upaya perekrutan dan penambahan anggota oleh organisasi atau kelompok agama tertentu. Selain itu, dalam perkembangannya
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
71
dakwah Islam menghadapi berbagai tantangan baik secara
internal maupun eksternal.
Secara internal, dakwah Islam mengalami variasi akibat adanya pemahaman keagamaan seperti liberalisme dan fundamentalisme. Kalangan liberalis memiliki kecenderungan
dakwah yang lebih bercorak rasional, longgar dan permisif. Sedangkan kalangan fundamentalis cenderung lebih kaku, literis dan bahkan dalam tataran tertentu terkesan radikal. Belum lagi tantangan yang bersifat klasik seperti: keterbatasan dana, sarana dan prasarana serta keterbatasan daya jangkau karena luasnya
wilayah. Keterbatasan dana ini seringkali dipergunakan sebagai alasan kurangnya kaderisasi tenaga dakwah. Selain itu, adanya pergesekan antar individu di kalangan kelompok atau organisasi keagamaan sehubungan dinamika politik praktis, serta kompetisi aktifitas dakwah antara kelompok mainstream dengan kelompok
yang bukan mainstream. Adapun secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi terasa mempengaruhi aktivitas dakwah. Dalam tingkat tertentu, bahkan, kedua hal di atas dapat melemahkan missi utama dakwah. Arus teknologi informasi yang
demikian dahsyat setidaknya telah memberi andil bagi maraknya budaya materialistik di kalangan masyarakat yang cenderung dapat menimbulkan pendangkalan akidah. Selain itu, agresivitas dan kreativitas missi penyiaran agama lain juga menjadi tantangan eksternal dakwah Islam.
Praktek dakwah Islam biasanya dilakukan oleh para juru dakwah yang tergabung dalam organisasi/lembaga keagamaan maupun secara individual. Dakwah yang dilakukan melalui organisasi keagamaan biasanya dilakukan secara terstruktur melalui jaringan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah,
misalnya dakwah Islam yang dilakukan NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya. Selain itu ada pula dakwah Islam yang
sendirinya terganggu pula, yang pada gilirannya mengakibatkan
terganggunya pelaksanaan program pembangunan nasional, utamanya di daerah yang kerukunan internal umat Islamnya tidak kondusif. Semakin banyak organisasi atau kelompok keagamaan di suatu daerah, maka akan semakin rentan bagi kemungkinan
timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam yang terjadi sehubungan praktek dakwah.
Ditengarai, banyak faktor yang dapat menimbulkan terganggunya kerukunan di kalangan internal umat beragama termasuk umat Islam. Salah satu faktor dimaksud adalah
pelaksanaan dakwah/penyiaran agama. Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh organisasi ataupun kelompok keagamaan Islam yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip kebersamaan, tidak saling menghormati dan menghargai perbedaan serta toleransi, dapat dipastikan akan dapat memicu timbulnya konflik di
kalangan internal umat Islam. Praktek dakwah demikian pada gilirannya dapat mengganggu kerukunan internal umat Islam. Sebaliknya, apabila dakwah di atas dilakukan dengan tata-cara yang santun, bijak dan mengedepankan pemeliharaan ukhuwah Islamiyah, maka akan jauh dari kemungkinan timbulnya konflik
lantaran praktek dakwah.
Betapapun, keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dengan keragaman perbedaannya mengandung potensi ketidak-rukunan. Konflik mungkin dapat terjadi di kalangan organisasi keagamaan. Dakwah Islam yang semestinya untuk memberikan
pencerahan dan pengajaran tentang ajaran agama, mungkin saja dalam praktek di lapangan dipergunakan sebagai ajang mencari pengaruh untuk kepentingan tertentu atau untuk upaya perekrutan dan penambahan anggota oleh organisasi atau kelompok agama tertentu. Selain itu, dalam perkembangannya
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
72
dilakukan oleh sejumlah kelompok atau gerakan keagamaan yang
non-ormas namun justru memiliki aktivitas dakwah dan pengaruh cukup signifikan dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Gerakan dakwah dimaksud misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut-Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.
Terlepas dari tantangan internal dan eksternal dakwah Islam serta pelaksanaan dakwah Islam yang dilakukan melalui organisasi keagamaan maupun secara individu di atas, penelitian ini lebih menekankan kajian tentang gerakan dakwah Islam dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan di kalangan internal
umat Islam.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas penduduknya beragama Islam, relatif terdapat banyak organisasi dan kelompok keagamaan Islam yang rentan bagi timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam. Kerukunan internal umat
Islam di provinsi ini sempat terusik sehubungan pernah timbul beberapa kasus kerusuhan sosial bernuansa agama di kalangan internal umat Islam, misalnya: pada tahun 2002 terjadi kasus kerusuhan massa sehubungan keberadaan Ahmadiyah di Mataram, tahun 2006 terjadi kasus kerusuhan sosial sehubungan
adanya kelompok Salafi di Sekotong – Lombok Barat dan pada tahun 2006 terjadi kasus konflik di kalangan internal komunitas Nahdlatul Wathan (NW) di Pancor – Lombok Timur.
Di Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam, keberadaan
berbagai organisasi atau kelompok keagamaan Islam sedikit banyak mewarnai dinamika kehidupan keagamaan umat Islam di kota itu, khususnya terkait kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah organisasi keagamaan maupun oleh kelompok gerakan dakwah Islam non-organisasi keagamaan, di
samping pernah timbul kasus-kasus konflik sosial yang pernah
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
73
terjadi di kalangan internal umat Islam sebagaimana diungkapkan
di atas.
Keadan di atas melatar belakangi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat melakukan penelitian Kerukunan Umat Beragama (Studi tentang Gerakan Dakwah di
Kalangan Umat Islam) di berbagai daerah, yang salah satunya di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Permasalahan
Permasalah pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dakwah Islam di kalangan organsasi keagamaan maupun kelompok gerakan keagamaan dilakukan, terkait dengan upaya pemeliharaan kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota
Mataram. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan yaitu: (1) Bagaimana profil pelaku dakwah (organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan dakwah, tenaga/juru dakwah) Islam di Kota Mataram; (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah yang
dilakukan oleh para pelaku dakwah di kalangan umat Islam di Kota Mataram; (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah Islam dalam memelihara kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota Mataram.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengungkap profil para pelaku dakwah Islam di Kota Mataram; (2) Mengungkap potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah yang dilakukan para pelaku dakwah di kalangan umat Islam di Kota Mataram; (3) Mengungkap upaya para pelaku dakwah Islam dalam
dilakukan oleh sejumlah kelompok atau gerakan keagamaan yang
non-ormas namun justru memiliki aktivitas dakwah dan pengaruh cukup signifikan dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Gerakan dakwah dimaksud misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut-Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.
Terlepas dari tantangan internal dan eksternal dakwah Islam serta pelaksanaan dakwah Islam yang dilakukan melalui organisasi keagamaan maupun secara individu di atas, penelitian ini lebih menekankan kajian tentang gerakan dakwah Islam dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan di kalangan internal
umat Islam.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mayoritas penduduknya beragama Islam, relatif terdapat banyak organisasi dan kelompok keagamaan Islam yang rentan bagi timbulnya konflik di kalangan internal umat Islam. Kerukunan internal umat
Islam di provinsi ini sempat terusik sehubungan pernah timbul beberapa kasus kerusuhan sosial bernuansa agama di kalangan internal umat Islam, misalnya: pada tahun 2002 terjadi kasus kerusuhan massa sehubungan keberadaan Ahmadiyah di Mataram, tahun 2006 terjadi kasus kerusuhan sosial sehubungan
adanya kelompok Salafi di Sekotong – Lombok Barat dan pada tahun 2006 terjadi kasus konflik di kalangan internal komunitas Nahdlatul Wathan (NW) di Pancor – Lombok Timur.
Di Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam, keberadaan
berbagai organisasi atau kelompok keagamaan Islam sedikit banyak mewarnai dinamika kehidupan keagamaan umat Islam di kota itu, khususnya terkait kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah organisasi keagamaan maupun oleh kelompok gerakan dakwah Islam non-organisasi keagamaan, di
samping pernah timbul kasus-kasus konflik sosial yang pernah
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
74
memelihara kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota
Mataram.
Kegunaan
Hasil penelitian ini berguna untuk pimpinan Kementerian Agama sebagai bahan untuk menyusun kebijakan tentang dakwah agama Islam dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan
internal umat Islam, terutama di daerah penelitian.
Definisi Operasional
Kerukunan umat beragama, yaitu keadaan hubungan
antar sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
(Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)
Nomor 9 & 8 Tahun 2006). Kerjasama dalam konteks kerukunan
internal umat Islam sebagaimana fokus kajian dalam penelitian ini
tidak terbatas hanya dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga
kerjasama dalam kegiatan keagamaan.
Gerakan, yaitu usaha atau kegiatan yang memiliki arah
tertentu. Sedangkan dakwah, secara semantik berarti memanggil,
mempersilakan, memohon, propaganda dan menyebarkan, baik
ke arah yang baik maupun yang buruk. Menurut istilah, dakwah
merupakan aktivitas mengajak orang kepada ajaran Islam yang
dilakukan secara damai, lembut dan penuh komitmen. Cakupan
dakwah lebih luas daripada tabligh. Dakwah meliputi ajakan
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
75
secara verbal (billisan) dan non verbal (bil hal), sedangkan tabligh
hanya mencakup ajakan secara verbal (Bambang S. Ma’arif,
2010:22). Jelasnya, dakwah adalah penyiaran agama di kalangan
masyarakat berikut pengembangannya, meliputi seruan untuk
memeluk (agama), mempelajari, memahami dan mengamalkan
ajaran (agama) yang dilakukan secara damai. Adapun yang
dimaksud gerakan dakwah dalam penelitian ini adalah gerakan
dakwah yang dilakukan oleh kalangan organisasi massa (Ormas)
keagamaan dan kelompok gerakan keagamaan Islam.
Dengan demikian, yang dimaksud gerakan dakwah dalam
penelitian ini adalah usaha secara terarah menyiarkan ajaran Islam
termasuk penyebaran tentang pemikiran ataupun faham
keagamaan tertentu dalam Islam yang disampaikan oleh kalangan
organisasi keagamaan dan/atau kelompok gerakan keagamaan
Islam melalui para juru/tenaga dakwahnya (da’i), untuk diikuti
oleh pihak/umat Islam yang didakwahi (mad’u).
Organisasi keagamaan adalah organisasi non pemerintah
yang bergerak di bidang keagamaan, bervisi kebangsaan,
dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara
Indonesia secara sukarela, berbadan hukum dan bukan organisasi
sayap partai politik. Dalam konteks penelitian ini, kelompok atau
gerakan keagamaan non ormas seperti: Salafi, Ikhwanul Muslimin
dan sejumlah kelompok tarekat diperlakukan dalam kategori
organisasi keagamaan.
Umat Islam yaitu komunitas Islam baik yang tergabung
maupun yang tidak tergabung dalam organisasi keagamaan
maupun kelompok atau gerakan keagamaan Islam.
memelihara kerukunan di kalangan internal umat Islam di Kota
Mataram.
Kegunaan
Hasil penelitian ini berguna untuk pimpinan Kementerian Agama sebagai bahan untuk menyusun kebijakan tentang dakwah agama Islam dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan
internal umat Islam, terutama di daerah penelitian.
Definisi Operasional
Kerukunan umat beragama, yaitu keadaan hubungan
antar sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
(Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)
Nomor 9 & 8 Tahun 2006). Kerjasama dalam konteks kerukunan
internal umat Islam sebagaimana fokus kajian dalam penelitian ini
tidak terbatas hanya dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga
kerjasama dalam kegiatan keagamaan.
Gerakan, yaitu usaha atau kegiatan yang memiliki arah
tertentu. Sedangkan dakwah, secara semantik berarti memanggil,
mempersilakan, memohon, propaganda dan menyebarkan, baik
ke arah yang baik maupun yang buruk. Menurut istilah, dakwah
merupakan aktivitas mengajak orang kepada ajaran Islam yang
dilakukan secara damai, lembut dan penuh komitmen. Cakupan
dakwah lebih luas daripada tabligh. Dakwah meliputi ajakan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
76
Kerangka Konseptual
Kualifikasi dan bobot kerukunan di kalangan internal umat
Islam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain oleh aktifitas dakwah yang dilakukan oleh para juru/tenaga dakwah. Dalam aktualisasi ajaran agama dan dalam kehidupan sosial keagamaan, sehubungan adanya kesamaan visi, missi dan tujuan, umat Islam pada umumnya bergabung dalam komunitas-komunitas yang
terorganisasi dalam suatu organisasi keagamaan dan ada pula yang tergabung dalam suatu kelompok yang cenderung berupa gerakan keagamaan. Dalam upaya mempertahankan eksistensi dan mengembangkan pengaruh di kalangan masyarakat, masing-masing organisasi dan kelompok keagamaan mempunyai aktivitas
berupa dakwah. Dengan demikian, tenaga dakwah merupakan salah satu perangkat penting dalam suatu organisasi maupun kelompok atau gerakan keagamaan.
Kegiatan dakwah yang bersifat mengajak, menjadi suatu gerakan dakwah bagi organisasi atau kelompok keagamaan. Oleh
karena obyek yang didakwahi (mad’u) nya sama yakni komunitas Islam, jika materi dakwah yang disampaikan oleh para juru dakwah (da’i) masing-masing organisasi dan kelompok keagamaan seirama, saling mendukung dan saling menguatkan maka dapat
menghasilkan interaksi yang positif (misalnya: take and give,
collaboration) antar organisasi dan kelompok keagamaan. Namun apabila materi dakwah yang disampaikan cenderung lebih mengedepankan prinsip-prinsip perbedaan misalnya tentang
aktualisasi ajaran, pemahaman dan pemikiran keagamaan, maka akan menghasilkan interaksi yang negatif yakni konflik. Dengan demikian gerakan dakwah yang dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan keagamaan melalui juru dakwah (dalam konteks kajian ini disebut “pelaku dakwah”),
berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi kerukunan di
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
77
kalangan internal umat Islam. Kokoh maupun renggangnya
hubungan antar organisasi dan kelompok keagamaan, banyak dipengaruhi oleh corak gerakan dakwah di kalangan organisasi keagamaan maupun kelompok/gerakan keagamaan yang bersangkutan.
Untuk mengungkap corak gerakan dakwah di kalangan organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan keagamaan dalam kaitannya dengan kerukunan di kalangan internal umat Islam, dapat ditelusuri melalui: profil pelaku dakwah (meliputi profil organisasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah dan profil
tenaga/juru dakwahnya), potensi integrasi dan konflik sehubungan kegiatan dakwah, hubungan antar pelaku dakwah serta upaya-upaya yang dilakukan untuk memelihara kerukunan internal umat Islam.
Untuk meneliti gerakan dakwah dalam konteks kerukunan
di kalangan internal umat Islam, di lokasi penelitian diambil tiga pelaku dakwah (yakni organisasi atau kelompok/gerakan keaga-maan), terdiri atas: satu pelaku dakwah mayoritas, satu pelaku dakwah yang diduga potensial dapat menimbulkan konflik dan satu pelaku dakwah yang diduga potensial integratif.
Kajian Terdahulu
Ada beberapa penelitian maupun kajian tentang dakwah atau penyiaran agama yang pernah dilakukan baik oleh para peneliti maupun pengamat keagamaan, antara lain: (i) Menguak
Tabir Dakwah Kontemporer, sebuah kajian oleh Zulkifli M, (2005).
Dalam kajiannya, penulis menggagas perlunya dakwah dilakukan tidak hanya cara billisan, di mimbar saja, tetapi perlu disesuaikan dengan perkembangan da konteks jamannya, misalnya dengan cara dialog. Di samping itu, jangkauan dakwah hendahnya sampai
Kerangka Konseptual
Kualifikasi dan bobot kerukunan di kalangan internal umat
Islam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain oleh aktifitas dakwah yang dilakukan oleh para juru/tenaga dakwah. Dalam aktualisasi ajaran agama dan dalam kehidupan sosial keagamaan, sehubungan adanya kesamaan visi, missi dan tujuan, umat Islam pada umumnya bergabung dalam komunitas-komunitas yang
terorganisasi dalam suatu organisasi keagamaan dan ada pula yang tergabung dalam suatu kelompok yang cenderung berupa gerakan keagamaan. Dalam upaya mempertahankan eksistensi dan mengembangkan pengaruh di kalangan masyarakat, masing-masing organisasi dan kelompok keagamaan mempunyai aktivitas
berupa dakwah. Dengan demikian, tenaga dakwah merupakan salah satu perangkat penting dalam suatu organisasi maupun kelompok atau gerakan keagamaan.
Kegiatan dakwah yang bersifat mengajak, menjadi suatu gerakan dakwah bagi organisasi atau kelompok keagamaan. Oleh
karena obyek yang didakwahi (mad’u) nya sama yakni komunitas Islam, jika materi dakwah yang disampaikan oleh para juru dakwah (da’i) masing-masing organisasi dan kelompok keagamaan seirama, saling mendukung dan saling menguatkan maka dapat
menghasilkan interaksi yang positif (misalnya: take and give,
collaboration) antar organisasi dan kelompok keagamaan. Namun apabila materi dakwah yang disampaikan cenderung lebih mengedepankan prinsip-prinsip perbedaan misalnya tentang
aktualisasi ajaran, pemahaman dan pemikiran keagamaan, maka akan menghasilkan interaksi yang negatif yakni konflik. Dengan demikian gerakan dakwah yang dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan dan kelompok/gerakan keagamaan melalui juru dakwah (dalam konteks kajian ini disebut “pelaku dakwah”),
berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi kerukunan di
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
78
lapisan bawah terutama daerah yang belum tersentuh akses
informasi dan komunikasi. Tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2005, hal. 24; (ii) Aliran Sempalan, Dawah dan Peran
Ulama, sebuah kajian oleh Imam Syaukani, (2007),
mengungkapkan hasil jajak pendapat terhadap sejumlah pengakses Harian Republika yang membuktikan bahwa sinyalemen yang mengatakan timbulnya aliran sempalan secara dominan akibat tata cara dakwah, adalah tidak benar; (iii) Pandangan Masyarakat tentang Penyiaran Agama di Kabupaten
Sleman, sebuah penelitian oleh Asnawati (2007) yang mengungkap antara lain dampak dari dakwah atau penyiaran agama terhadap perilaku keagamaan umat Islam dalam hubungannya dengan sesama mereka dan dengan umat Katolik. Dua tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2007, hal.5 dan
hal. 96.
Berbeda dengan penelitian dan kajian di atas, penelitian ini memfokuskan kajian tentang aktivitas gerakan dakwah dari tiga organisasi keagamaan Islam yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi dalam hubungannya dengan
kerukunan internal umat Islam.
Metode
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan bentuk studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara, studi dokumentasi dan pustaka, serta pengamatan.
Wawancara secara mendalam menggunakan pedoman wawancara yang disusun sebelum wawancara dilakukan dengan mengacu kepada tujuan penelitian (Ida Bagus Mantra, 2004:86). Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang dianggap
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
79
banyak mengetahui perihal yang diteliti (informan kunci), terdiri
atas unsur-unsur: pengurus organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan Islam, para juru/tenaga dakwah, para tokoh agama/pengurus pondok pesantren, unsur pejabat Pemerintah Daerah/pejabat Kantor Kementerian agama, Pengurus MUI Daerah
dan unsur masyarakat. Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah buku-buku dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek dan sarana kegiatan keagamaan, seperti: lembaga pendidikan, pondok
pesantren, dan kegiatan shalat Jum’at organisasi keagamaan yang dijadikan obyek penelitian.
Untuk menghasilkan data yang akurat, dilakukan uji data dengan teknik triangulasi, yakni membandingkan antara data sejenis yang satu dengan yang lain yang diperoleh dari teknik
yang berbeda atau hasil informasi dari informan yang berbeda.
Data yang berhasil dikumpulkan diolah melalui tahapan: editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi untuk memperoleh pengertian baru yang selanjutnya dipergunakan untuk bahan penyusunan laporan hasil penelitian. Karena menggunakan
metode kualitatif maka dalam proses pengumpulan berikut penafsiran data tidak menggunakan rumus statistik (Suharsimi
Arikunto, 2002:10).
Dalam melakukan kajian, peneliti menggunakan assumsi
desain kualitatif sebagaimana ditawarkan Merriam (1988), antara lain: peneliti merupakan instrumen pokok untuk pengumpulan dan analisis data, data didekati melalui instrumen manusia, secara fisik berhubungan dengan orang, lokasi dan institusi untuk komunikasi dan mengamati perilaku dalam latar alamiyahnya,
serta lebih menekankan aspek makna (John W. Creswell, 2002:140).
lapisan bawah terutama daerah yang belum tersentuh akses
informasi dan komunikasi. Tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2005, hal. 24; (ii) Aliran Sempalan, Dawah dan Peran
Ulama, sebuah kajian oleh Imam Syaukani, (2007),
mengungkapkan hasil jajak pendapat terhadap sejumlah pengakses Harian Republika yang membuktikan bahwa sinyalemen yang mengatakan timbulnya aliran sempalan secara dominan akibat tata cara dakwah, adalah tidak benar; (iii) Pandangan Masyarakat tentang Penyiaran Agama di Kabupaten
Sleman, sebuah penelitian oleh Asnawati (2007) yang mengungkap antara lain dampak dari dakwah atau penyiaran agama terhadap perilaku keagamaan umat Islam dalam hubungannya dengan sesama mereka dan dengan umat Katolik. Dua tulisan di atas dimuat dalam Jurnal Harmoni, 2007, hal.5 dan
hal. 96.
Berbeda dengan penelitian dan kajian di atas, penelitian ini memfokuskan kajian tentang aktivitas gerakan dakwah dari tiga organisasi keagamaan Islam yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi dalam hubungannya dengan
kerukunan internal umat Islam.
Metode
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan bentuk studi kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik wawancara, studi dokumentasi dan pustaka, serta pengamatan.
Wawancara secara mendalam menggunakan pedoman wawancara yang disusun sebelum wawancara dilakukan dengan mengacu kepada tujuan penelitian (Ida Bagus Mantra, 2004:86). Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang dianggap
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
80
Untuk mengungkap gerakan dakwah di kalangan umat
Islam dalam konteks kerukunan internal umat Islam, penelitian ini mengambil studi kasus gerakan dakwah yang dilakukan oleh tiga organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan, dengan kriteria masing-masing yaitu: (1) kategori organisasi atau
kelompok/gerakan keagamaan yang memliki anggota mayoritas, (2) organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang cenderung integratif dengan organisasi keagamaan mayoritas, serta (3) organisasi atau gerakan keagamaan yang berpotensi konflik dengan organisasi keagamaan mayoritas.
Lokasi penelitian ini yaitu Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemilihan NTB didasarkan atas pertimbangan bahwa di provinsi ini terdapat organisasi keagamaan terbesar yakni “Nahdlatul Wathan”, yang tidak didapati di provinsi lain. Berdasarkan kriteria di atas maka
organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini adalah: Nadlatul Wathan (sebagai organisasi keagamaan mayoritas), Muhammadiyah (sebagai organisasi keagamaan yang adaptif) dan Salafi (sebagai kelompok keagamaan yang cenderung berpotensi konflik). Adapun
dipilihnya Kota Mataram sebagai lokasi penelitian karena sebagai ibukota provinsi dimungkinkan dinamika kegiatan dakwah Islam di kalangan organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan lebih intens dibanding dengan kabupaten lain di Nusa Tengara Barat (NTB).
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
81
Geografi Dan Pemerintahan
Kota Mataram dengan luas wilayah 6.130 ha, terletak di antara Kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara, sebelah Timur dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat dan sebelah Barat
dengan Selat Lombok.
Dari segi pemerintahan, Kota Mataram secara administratif terbagi atas 6 kecamatan dan 50 kelurahan serta 289 lingkungan. Enam kecamatan dimaksud adalah Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Sandubaya. Dari lima puluh
kelurahan, sebanyak 26 kelurahan masuk kategori kelurahan swadaya dan 24 kelurahan swakarya (BPS Kota Mataram, 2010: 39-
40).
Dari seluruh luas wilayah Kota Mataram penggunaan
terluas adalah untuk lahan pertanian 2.880 ha dan untuk perumahan 2.313 ha. Selebihnya dipergunakan untuk bangunan perkantoran, pendidikan, pasar, terminal, pertokoan, industri, pergudangan, lapangan olah raga, kuburan, ibadah, hotel, taman
Untuk mengungkap gerakan dakwah di kalangan umat
Islam dalam konteks kerukunan internal umat Islam, penelitian ini mengambil studi kasus gerakan dakwah yang dilakukan oleh tiga organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan, dengan kriteria masing-masing yaitu: (1) kategori organisasi atau
kelompok/gerakan keagamaan yang memliki anggota mayoritas, (2) organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang cenderung integratif dengan organisasi keagamaan mayoritas, serta (3) organisasi atau gerakan keagamaan yang berpotensi konflik dengan organisasi keagamaan mayoritas.
Lokasi penelitian ini yaitu Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemilihan NTB didasarkan atas pertimbangan bahwa di provinsi ini terdapat organisasi keagamaan terbesar yakni “Nahdlatul Wathan”, yang tidak didapati di provinsi lain. Berdasarkan kriteria di atas maka
organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan yang dijadikan fokus kajian dalam penelitian ini adalah: Nadlatul Wathan (sebagai organisasi keagamaan mayoritas), Muhammadiyah (sebagai organisasi keagamaan yang adaptif) dan Salafi (sebagai kelompok keagamaan yang cenderung berpotensi konflik). Adapun
dipilihnya Kota Mataram sebagai lokasi penelitian karena sebagai ibukota provinsi dimungkinkan dinamika kegiatan dakwah Islam di kalangan organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan lebih intens dibanding dengan kabupaten lain di Nusa Tengara Barat (NTB).
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
82
kota, dan tanah tidak diusahakan. Lahan pertanian terutama
merupakan lahan sawah menghasilkan padi, jagung, kacang tanah, kedelai, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat berbagai jenis pohon atau tanaman buah-buahan.
Demografi
Jumlah penduduk Kota Mataram pada tahun 2009
sebanyak 375.506 jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki 185.321 jiwa dan perempuan 190.185 jiwa, dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.126 jiwa/km2. Wilayah terpadat adalah Kecamatan Ampenan dengan jumlah penduduk 74.592 jiwa dengan kepadatan 7.879 jiwa/km2. Kecamatan dengan penduduk terkecil 46.648 jiwa
adalah Kecamatan Sekarbela dengan kepadatan 4.520 jiwa/km2. Jumlah Rumah Tangga sebanyak 104.443 dengan rata-rata anggota rumah tangga 3 jiwa (BPS. Kota Mataram, 2010: 82-83 dan
87) .
Dilihat dari segi umur, penduduk Kota Mataram terdiri dari penduduk usia 0-4 tahun (balita) 37.666 jiwa, penduduk usia sekolah 5-19 tahun sebanyak 102.598 jiwa, penduduk usia 20-59 tahun (usia kerja/usia produktif) 212.803 jiwa dan penduduk usia 60 tahun ke atas (usia lanjut) sebanyak 22.439 jiwa (Diolah dari
Data BPS Kota Mataram, 2010:86).
Pendidikan
Kondisi pendidikan masyarakat dapat dilihat melalui sarana pendidikan yang tersedia dan jumlah murid di tiap jenjang
pendidikan. Sarana pendidikan Taman Kanak-kanak sebanyak 88 buah terdiri atas 4 buah TK Negeri dan 84 buah TK Swasta. Sekolah Dasar sebanyak 156 buah terdiri atas 143 SD Negeri dan 13 SD
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
83
Swasta. Sekolah Menengah Pertama sebanyak 40 buah terdiri atas
SMP Negeri 23 buah, SMP Swasta 12 buah, dan SMP Negeri Terbuka 5 buah. Sekolah Menengah Atas sebanyak 42 buah, terdiri atas SMA Negeri 8 buah, SMA Swasta 16 buah, SMK Negeri 8 buah, dan SMK Swasta 10 buah (BPS. Kota Mataram, 2010:107-111).
Sarana pendidikan lainnya berupa Raudhatul Athfal 31 buah, Madrasah Ibtidaiyah 20 buah, Madrasah Tsanawiyah 21 buah, dan Madrasah Aliyah 11 buah. Sarana pendidikan tinggi terdapat 4 buah Perguruan Tinggi Negeri dan 20 buah Perguruan Tinggi Swasta (BPS. Kota Mataram, 2010:119-123).
Adapun jumlah penduduk yang masih aktif bersekolah di berbagai jenjang pendidikan, yakni: murid TK Negeri 340 anak dan murid TK Swasta 4.705 anak; murid Sekolah Dasar Negeri 40.781 anak dan murid Sekolah Dasar Swasta 2.375 anak; siswa SMP
Negeri 17.023 anak dan siswa SMP Swasta 1.471 anak; siswa SMA Negeri 6.662 anak dan SMA Swasta 2.773 anak; siswa SMK Negeri 5.750 anak dan siswa SMK Swasta 2.070 anak (BPS. Kota Mataram, 2010:107-111). Selain itu, mereka yang menempuh pendidikan di madrasah yaitu murid Raudhatul Athfal 704 anak, murid Madrasah
Ibtidaiyah 2.739 anak, siswa Madrasah Tsanawiyah 3.460 anak, dan siswa Madrasah Aliyah 1.627 anak (BPS. Kota Mataram, 2010:119-122). Tidak diperoleh data penduduk yang sedang menempuh pendidikan tinggi.
Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Politik
Di Kota Mataram terdapat sarana kesehatan berupa rumah
sakit umum sebanyak 8 buah, rumah sakit jiwa 1 buah, rumah sakit bersalin 7 buah, Puskesmas 9 buah, Puskesmas Pembantu 16 buah dan Puskesmas Keliling 17 buah. Selain itu, terdapat 86
kota, dan tanah tidak diusahakan. Lahan pertanian terutama
merupakan lahan sawah menghasilkan padi, jagung, kacang tanah, kedelai, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat berbagai jenis pohon atau tanaman buah-buahan.
Demografi
Jumlah penduduk Kota Mataram pada tahun 2009
sebanyak 375.506 jiwa, terdiri atas penduduk laki-laki 185.321 jiwa dan perempuan 190.185 jiwa, dengan rata-rata kepadatan sebesar 6.126 jiwa/km2. Wilayah terpadat adalah Kecamatan Ampenan dengan jumlah penduduk 74.592 jiwa dengan kepadatan 7.879 jiwa/km2. Kecamatan dengan penduduk terkecil 46.648 jiwa
adalah Kecamatan Sekarbela dengan kepadatan 4.520 jiwa/km2. Jumlah Rumah Tangga sebanyak 104.443 dengan rata-rata anggota rumah tangga 3 jiwa (BPS. Kota Mataram, 2010: 82-83 dan
87) .
Dilihat dari segi umur, penduduk Kota Mataram terdiri dari penduduk usia 0-4 tahun (balita) 37.666 jiwa, penduduk usia sekolah 5-19 tahun sebanyak 102.598 jiwa, penduduk usia 20-59 tahun (usia kerja/usia produktif) 212.803 jiwa dan penduduk usia 60 tahun ke atas (usia lanjut) sebanyak 22.439 jiwa (Diolah dari
Data BPS Kota Mataram, 2010:86).
Pendidikan
Kondisi pendidikan masyarakat dapat dilihat melalui sarana pendidikan yang tersedia dan jumlah murid di tiap jenjang
pendidikan. Sarana pendidikan Taman Kanak-kanak sebanyak 88 buah terdiri atas 4 buah TK Negeri dan 84 buah TK Swasta. Sekolah Dasar sebanyak 156 buah terdiri atas 143 SD Negeri dan 13 SD
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
84
buah apotik dan 23 buah toko obat (BPS Kota Mataram, 2010:127-
128).
Di bidang usaha terdapat sarana perindustrian, antara lain: 685 buah perusahaan hasil pertanian, 368 buah perusahaan
industri aneka serta 377 buah perusahaan kimia, logam, mesin, dan elektronika (BPS Kota Mataram, 2010:261). Sedangkan di bidang perdagangan terdapat 681 buah perusahaan besar, 1.608 buah perusahaan menengah dan 7.057 buah perusahaan kecil (BPS. Kota Mataram, 2010:301).
Di bidang pariwisata terdapat situs bersejarah yaitu: Taman Mayura, Pura Meru dan Makam Fan Ham di Kecamatan Cakranegara, makam Bintaro di Kecamatan Ampenan dan Makam Loang Baloq di Kecamatan Sekarbela. Sarana perhotelan, terdapat
7 buah hotel berbintang dan 63 buah hotel non bintang (BPS. Kota
Mataram, 2010:359-360, 378).
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi anak-anak yatim yang tidak mampu, telah tersedia panti asuhan
tahun 2009 sebanyak 16 buah dengan anak asuh 706 orang. Selain itu terdapat Panti Asuhan milik pemerintah meliputi Panti Sosial Asuhan Anak terdapat 49 laki-laki dan 31 perempuan sebagai penghuni, Panti Sosial Karya Wanita terdapat 50 perempuan penghuni, dan Panti Sosial Tresna Werdha terdapat 38 laki-laki dan
62 perempuan sebagai penghuni (BPS. Kota Mataram, 2010:194).
Kehidupan ekonomi penduduk dapat digambarkan melalui bidang pekerjaan berikut: jumlah pegawai negeri sipil dan guru pada pemerintah Kota Mataram tahun 2009 yaitu PNS sebanyak 1.895 laki-laki dan 1.224 perempuan, sedang guru
sebanyak 1.091 laki-laki dan 1974 perempuan (BPS. Kota Mataram,
2010:47). Selain itu, jumlah tenaga kerja di bidang usaha industri tercatat ada 1.430 usaha industri formal dengan tenaga kerja 7.933
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
85
orang, 2.819 usaha industri non formal dengan tenaga kerja 8.992
orang, dan 4.249 usaha potensi industri dengan tenaga kerja 16.925 orang. Selain itu terdapat perusahaan industri perumahan sebanyak 29 buah dengan tenaga kerja 1.093 orang (BPS. Kota
Mataram, 2010:267, 271).
Pertumbuhan ekonomi Kota Mataram tahun 2009 ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 naik dari tahun sebelumnya yaitu 8,47 persen (7,76 : 2008) (BPS. Kota Mataram,
2010:443).
Di bidang politik, menurut hasil Pemilu Tahun 2009, telah terpilih anggota DPRD sebanyak 35 orang, terdiri dari 32 laki-laki dan 3 perempuan. Adapun partai politik yang memiliki perwakilan
di DPRD paling banyak adalah Partai Demokrat 7 anggota, disusul Partai Golkar dan PDI-P masing-masing 4 anggota. Selanjutnya PPP, PAN, PKS, Hanura dan Gerindra masing-masing 3 anggota, PBR dan PKPB masing-masing 2 anggota, dan PPI 1 anggota (BPS.
Kota Mataram, 2010:64).
Kehidupan Keagamaan
Penduduk Kota Mataram dilihat dari segi agama, penduduk beragama Islam menempati posisi jumlah terbesar yakni mencapai 308.473 jiwa. Jumlah terbanyak kedua adalah
penganut agama Hindu sebanyak 56.369, kemudian umat Katolik 4.046 jiwa, umat Buddha 3.415 jiwa dan umat Kristen 3.203 jiwa. Sedangkan umat Khonghucu belum terdata. Persebaran penduduk sesuai dengan agama di setiap kecamatan secara rinci dapat dilihat dalam Tabel berikut:
buah apotik dan 23 buah toko obat (BPS Kota Mataram, 2010:127-
128).
Di bidang usaha terdapat sarana perindustrian, antara lain: 685 buah perusahaan hasil pertanian, 368 buah perusahaan
industri aneka serta 377 buah perusahaan kimia, logam, mesin, dan elektronika (BPS Kota Mataram, 2010:261). Sedangkan di bidang perdagangan terdapat 681 buah perusahaan besar, 1.608 buah perusahaan menengah dan 7.057 buah perusahaan kecil (BPS. Kota Mataram, 2010:301).
Di bidang pariwisata terdapat situs bersejarah yaitu: Taman Mayura, Pura Meru dan Makam Fan Ham di Kecamatan Cakranegara, makam Bintaro di Kecamatan Ampenan dan Makam Loang Baloq di Kecamatan Sekarbela. Sarana perhotelan, terdapat
7 buah hotel berbintang dan 63 buah hotel non bintang (BPS. Kota
Mataram, 2010:359-360, 378).
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi anak-anak yatim yang tidak mampu, telah tersedia panti asuhan
tahun 2009 sebanyak 16 buah dengan anak asuh 706 orang. Selain itu terdapat Panti Asuhan milik pemerintah meliputi Panti Sosial Asuhan Anak terdapat 49 laki-laki dan 31 perempuan sebagai penghuni, Panti Sosial Karya Wanita terdapat 50 perempuan penghuni, dan Panti Sosial Tresna Werdha terdapat 38 laki-laki dan
62 perempuan sebagai penghuni (BPS. Kota Mataram, 2010:194).
Kehidupan ekonomi penduduk dapat digambarkan melalui bidang pekerjaan berikut: jumlah pegawai negeri sipil dan guru pada pemerintah Kota Mataram tahun 2009 yaitu PNS sebanyak 1.895 laki-laki dan 1.224 perempuan, sedang guru
sebanyak 1.091 laki-laki dan 1974 perempuan (BPS. Kota Mataram,
2010:47). Selain itu, jumlah tenaga kerja di bidang usaha industri tercatat ada 1.430 usaha industri formal dengan tenaga kerja 7.933
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
86
Tabel 1
Penduduk Kota Mataram Menurut Agama per Kecamatan
Tahun 2009
------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khongh. Jumlah
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Ampenan 68.510 608 991 3.876 547 - 74.532 Sekarbela 38.878 348 564 2.206 310 - 42.307 Mataram 59.210 591 719 10.699 118 - 71.338 Selaparang 58.859 588 715 10.635 117 - 70.914 Cakranegara 47.117 605 600 16.432 1.318 - 66.073 Sandubaya 35.899 461 457 12.521 1.005 - 50.342
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah 308.473 3.203 4.046 56.369 3.415 - 375.506
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : BPS Kota Mataram, Mataram Dalam Angka, 2010:160.
Berdasarkan Data Keagamaan Tahun 2010 di Kantor
Kementerian Agama Kota Mataram, jumlah umat Islam 379.358 jiwa atau (87,71 %) dari jumlah penduduk, Kristen 3.739 jiwa (0, 86 %), Katolik 2.847 jiwa (0,66 %), Hindu 42.975 jiwa (9,94 %), Budha 3.566 jiwa (0,82 %) dan Khonghucu 50 jiwa (0,01 %). Mereka tersebar di seluruh kecamatan, kecuali Khonghucu hanya ada di
Kecamatan Cakranegara.
Dalam melaksanakan peribadatan bagi masing-masing umat beragama telah tersedia rumah ibadat yaitu masjid 244 buah, mushalla 350 buah, gereja Kristen 15 buah, gereja/kapel Katolik 4 buah, pura 123 buah, dan vihara 5 buah. Rumah ibadat
umat muslim tersebar di semua kecamatan di Kota Mataram, sedang rumah ibadat umat agama lainnya tidak di semua kecamatan ada. Di Kecamatan Sekarbela tidak ada gereja, pura dan vihara, di Kecamatan Sandubaya tidak ada gereja dan pura, di Kecamatan Selaparang tidak ada pura dan vihara, dan di
Kecamatan Mataram tidak ada vihara (BPS. Kota Mataram,
2010:157).
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
87
Berdasarkan penuturan beberapa informan yang terdiri
atas para pimpinan organisasi Islam dan pejabat Kantor Kemenag Kota Mataram, dari keseluruhan masjid dan mushalla di Kota Mataram sebagian besar jamaah melaksanakan peribadatan sebagaimana paham NW dan NU seperti shalat subuh dengan
qunut, karena para pengurusnya pada umumnya dari anggota yang sepaham dengan kedua ormas tersebut. Kecuali di Masjid Raya At-Taqwa Mataram pengurusnya gabungan dari paham yang berbeda, seperti dari NW, NU dan Muhammadiyah. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan shalat tarawih ada yang melakukan
23 rakaat dan ada yang 11 rakaat. Cara pengaturan waktu shalatnya yaitu setelah tarawih 8 rakaat, jamaah yang 11 rakaat melanjutkan shalat witir dan yang 23 rakaat melanjutkan tarawih setelah jamaah yang 11 rakaat selesai.
Umat Islam di Mataram sangat antusias untuk
melaksanakan ibadah haji, hal ini dapat dilihat pada kuota haji yang disediakan oleh pemerintah untuk Mataram selalu penuh. Jumlah umat Islam di Mataram yang menunaikan ibadah haji pada tahun 2009 sebanyak 667 orang terdiri atas 314 orang laki-laki dan 353 orang perempuan. Jumlah tersebut sedikit lebih banyak dari
jamaah haji tahun 2008 yaitu 656 orang (BPS. Kota Mataram,
2010:158). Jumlah jamaah haji pada tahun 2010 sebanyak 660 orang dan tahun 2011 menjelang keberangkatan sebanyak 701 orang. Demikian penuturan Kasi Bidang Haji Kantor Kemenag Kota
Mataram.
Kegiatan dakwah Islam di Kota Mataram yang dilakukan oleh ormas-ormas dan kelompok keagamaan Islam berlangsung damai, tidak pernah terjadi konflik intern umat beragama Islam. Ormas Islam di Kota Mataram terbesar anggotanya adalah
Nahdhatul Wathan (NW) yang pusatnya di Lombok Timur. Ormas Islam dan kelompok keagamaan Islam lainnya di Kota Mataram
Tabel 1
Penduduk Kota Mataram Menurut Agama per Kecamatan
Tahun 2009
------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khongh. Jumlah
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Ampenan 68.510 608 991 3.876 547 - 74.532 Sekarbela 38.878 348 564 2.206 310 - 42.307 Mataram 59.210 591 719 10.699 118 - 71.338 Selaparang 58.859 588 715 10.635 117 - 70.914 Cakranegara 47.117 605 600 16.432 1.318 - 66.073 Sandubaya 35.899 461 457 12.521 1.005 - 50.342
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah 308.473 3.203 4.046 56.369 3.415 - 375.506
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : BPS Kota Mataram, Mataram Dalam Angka, 2010:160.
Berdasarkan Data Keagamaan Tahun 2010 di Kantor
Kementerian Agama Kota Mataram, jumlah umat Islam 379.358 jiwa atau (87,71 %) dari jumlah penduduk, Kristen 3.739 jiwa (0, 86 %), Katolik 2.847 jiwa (0,66 %), Hindu 42.975 jiwa (9,94 %), Budha 3.566 jiwa (0,82 %) dan Khonghucu 50 jiwa (0,01 %). Mereka tersebar di seluruh kecamatan, kecuali Khonghucu hanya ada di
Kecamatan Cakranegara.
Dalam melaksanakan peribadatan bagi masing-masing umat beragama telah tersedia rumah ibadat yaitu masjid 244 buah, mushalla 350 buah, gereja Kristen 15 buah, gereja/kapel Katolik 4 buah, pura 123 buah, dan vihara 5 buah. Rumah ibadat
umat muslim tersebar di semua kecamatan di Kota Mataram, sedang rumah ibadat umat agama lainnya tidak di semua kecamatan ada. Di Kecamatan Sekarbela tidak ada gereja, pura dan vihara, di Kecamatan Sandubaya tidak ada gereja dan pura, di Kecamatan Selaparang tidak ada pura dan vihara, dan di
Kecamatan Mataram tidak ada vihara (BPS. Kota Mataram,
2010:157).
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
88
yaitu NU, Muhammadiyah, Muslimat NU, Aisyiyah, Yayasan
Athohiriyah Al-Fadhiliyah (Yatofa), Hidayatullah, Tarbiyah Islamiyah, Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Al-Hidayah, dan Jamaah Salafi (Data Kantor Kemenag Kota Mataram,
2010).
Kegiatan dakwah agama Islam terutama dilakukan oleh para da’i ormas dan kelompok keagamaan tersebut serta para penyuluh agama. Data Mataram Dalam Angka Tahun 2010
mencatat jumlah penyuluh agama 84 orang, imam sebanyak 741 orang, khatib 763 orang, mubaligh 58 orang, Majelis Taklim 193, TPA 157, Remaja Masjid 244, Pondok Pesantren 23, Diniyah 25. Berdasarkan data keagamaan di Kantor Kementerian Agama Kota Mataram tercatat jumlah ulama/Tuan Guru (TG) sebanyak 58
orang, penyuluh agama (honorer) 84 orang dan PNS Fungsional 11 orang (Data Keagamaan Kantor Kemenag Kota Mataram, 2010).
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
89
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab I bahwa untuk meng-
ungkap gerakan dakwah di kalangan umat Islam dalam kaitannya dengan kerukunan internal umat Islam di Kota Mataram, penelitian ini memfokuskan kajian terhadap tiga organisasi atau kelompok/ gerakan keagamaan (Islam). Tiga organisasi atau kelompok/gerakan keagamaan dimaksud adalah: (1) Nahdlatul
Wathan (NW), sebagai organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram, (2) Muhammadiyah, sebagai organisasi keagamaan yang integratif dan (3) Kelompok/gerakan Salafi, sebagai gerakan keagamaan yang cenderung berpotensi konflik dalam gerakan dakwah dengan organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram.
A. Nahdlatul Wathan (NW)
Nahdlatul Wathan ditinjau dari segi nama, berasal dari kata “nahdlatun” yang berarti kebangkitan atau pembangunan/mem-bangun dan “al-wathan” yang berarti tanah air atau bangsa. Jadi
ditinjau dari segi bahasa, Nahdlatul Wathan yang kemudian disingkat dengan NW berarti “kebangkitan bangsa/tanah air,
yaitu NU, Muhammadiyah, Muslimat NU, Aisyiyah, Yayasan
Athohiriyah Al-Fadhiliyah (Yatofa), Hidayatullah, Tarbiyah Islamiyah, Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Al-Hidayah, dan Jamaah Salafi (Data Kantor Kemenag Kota Mataram,
2010).
Kegiatan dakwah agama Islam terutama dilakukan oleh para da’i ormas dan kelompok keagamaan tersebut serta para penyuluh agama. Data Mataram Dalam Angka Tahun 2010
mencatat jumlah penyuluh agama 84 orang, imam sebanyak 741 orang, khatib 763 orang, mubaligh 58 orang, Majelis Taklim 193, TPA 157, Remaja Masjid 244, Pondok Pesantren 23, Diniyah 25. Berdasarkan data keagamaan di Kantor Kementerian Agama Kota Mataram tercatat jumlah ulama/Tuan Guru (TG) sebanyak 58
orang, penyuluh agama (honorer) 84 orang dan PNS Fungsional 11 orang (Data Keagamaan Kantor Kemenag Kota Mataram, 2010).
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
90
membangun bangsa dan tanah air”. Dari segi istilah, Nahdlatul
Wathan adalah organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a. dan bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah didirikan oleh Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainudin Abdul Majid (Abdul
Hayyi Nu’man & Muhni Sn., S.S., 2005:12).
Latarbelakang berdiri organisasi Nahdlatul Wathan secara singkat dapat dijelaskan berikut: Tiga bulan setelah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pulang dari Makkah, beliau
terdorong keinginan untuk memajukan masyarakat khususnya di Pulau Lombok yang ketika itu berada dalam keterbelakangan dan kebodohan akibat penjajahan kolonial Belanda. Untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam, menurut beliau perlu adanya lembaga pendidikan sebagai bekal meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan keinginan tersebut mula-mula (tahun 1934) beliau mendirikan Pesantren Al-Mujahidin di Kapung Bermi-Pancor. Lambat-laun pesantren ini menampakkan kemajuan, sehingga menyulut kemarahan orang-orang yang hasad dan takut kehilangan pengaruh. Hasutan dan
fitnahan orang-orang yang tidak suka itu tidak menyurutkan cita-cita beliau memajukan umat Islam melalui pendidikan. Didirikanlah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) pada tanggal 22 Agustus tahun 1937, yang khusus mendidik kaum laki-laki. Hari lahir Madrasah NWDI itu setiap
tahun diperingati oleh warga Nahdlatul Wathan yang dikenal dengan HULTAH NWDI. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 21 April tahun 1943 didirikan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang khusus mendidik kaum perempuan dari berbagai daerah.
Murid-murid Madrasah NWDI dan NBDI berasal dari berbagai daerah di NTB. Di antara alumni (abiturien) Madrasah di
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
91
atas yang kembali ke daerah masing-masing ada yang mendirikan
madrasah cabang NWDI dan NBDI, di samping aktif melakukan kegiatan dakwah. Pada tahun 1953 tercatat sebanyak 66 cabang Madrasah NWDI dan NBDI, terebar di seluruh wilayah Pulau Lombok, termasuk wilayah Lombok Barat yang sebagian
wilayahnya menjadi wilayah Kota Mataram sekarang. Untuk melakukan pembinaan, koordinasi dan mempertanggung-jawabkan lembaga pendidikan serta kegiatan sosial dan dakwah Islamiyah, maka TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan pada tanggal 1 Maret
1953 di Pancor-Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan beliau aktif di organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU) Wilayah Nusa Tenggara Barat.
Keberadaan Organisasi Nahdlatul Wathan di Kota Mataram dengan demikian seiring dengan keberadaannya di Pancor yang
didirikan pada tahun 1953. Keberadaan Madrasah NWDI dan NBDI di Mataram yang pengembangannya melalui para abituriennya dari Pancor sebagaimana dipaparkan di atas, menjadi cikal bakal dan embrio keberadaan organisasi Nahdlatul Wathan di Kota Mataram. Demikian penuturan beberapa informan dari unsur
Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Kota Mataram. Alamat sekretariat pengurusnya di Jl. Kaktus I, nomor 1 s/d 3, Mataram.
Asas organisasi Nahdlatul Wathan sejak didirikan sampai Muktamar ke-8 Tahun 1986 adalah “Islam Ahlussunnah wal
Jama’ah ‘ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a.”. Tetapi sejak Muktamar
ke-8 Tahun 1986 asas di atas berubah menjadi “Pancasila”. Perubahan asas tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia ketika itu yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985. Namun yang
menjadi faham keagamaan tetap Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kemudian sejak Muktamar ke-11 kembali lagi ke asas semula,
membangun bangsa dan tanah air”. Dari segi istilah, Nahdlatul
Wathan adalah organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala Madzhabil Imamisy Syafi’i r.a. dan bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah didirikan oleh Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainudin Abdul Majid (Abdul
Hayyi Nu’man & Muhni Sn., S.S., 2005:12).
Latarbelakang berdiri organisasi Nahdlatul Wathan secara singkat dapat dijelaskan berikut: Tiga bulan setelah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pulang dari Makkah, beliau
terdorong keinginan untuk memajukan masyarakat khususnya di Pulau Lombok yang ketika itu berada dalam keterbelakangan dan kebodohan akibat penjajahan kolonial Belanda. Untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam, menurut beliau perlu adanya lembaga pendidikan sebagai bekal meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mewujudkan keinginan tersebut mula-mula (tahun 1934) beliau mendirikan Pesantren Al-Mujahidin di Kapung Bermi-Pancor. Lambat-laun pesantren ini menampakkan kemajuan, sehingga menyulut kemarahan orang-orang yang hasad dan takut kehilangan pengaruh. Hasutan dan
fitnahan orang-orang yang tidak suka itu tidak menyurutkan cita-cita beliau memajukan umat Islam melalui pendidikan. Didirikanlah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) pada tanggal 22 Agustus tahun 1937, yang khusus mendidik kaum laki-laki. Hari lahir Madrasah NWDI itu setiap
tahun diperingati oleh warga Nahdlatul Wathan yang dikenal dengan HULTAH NWDI. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 21 April tahun 1943 didirikan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang khusus mendidik kaum perempuan dari berbagai daerah.
Murid-murid Madrasah NWDI dan NBDI berasal dari berbagai daerah di NTB. Di antara alumni (abiturien) Madrasah di
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
92
karena peraturan perundangan ketika itu yakni pada era reformasi
membolehkan hal itu.
Adapun tujuan organisasi Nahdatul Wathan yaitu “li i’laa’i
kalimatillah (meninggikan kalimat Allah) wa ‘izzil Islam wal muslimin
(kejayaan Islam dan kaum muslimin) dan keselamatan serta
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat”. Sedangkan lambang organisasi ini adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima” .Untuk mencapai tujuan di atas, Nahdlatul Wathan melaksanakan amal
usaha di bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah (TGH. AH
Nu’man & Mughni, 2005:15-17).
Struktur kepengurusannya yaitu: Pengurus Besar di tingkat pusat, Pengurus Wilayah di tingkat provinsi, Pengurus
Daerah di tingkat kabupaten/kota, Pengurus Cabang di tingkat kecamatan, Pengurus Anak Cabang di tingkat desa/kelurahan, Pengurus Ranting di tingkat dusun, serta Pengurus Perwakilan di daerah-daerah yang dipandang perlu. Di tiap tingkat kepengurusan ada unsur penasehat. Penasehat di tingkat
Pengurus Besar disebut Dewan Mustasyar, di tingkat Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah disebut Dewan Penasehat, sedangkan untuk pengurus di bawah Pengurus Daerah disebut Penasehat (TGH. AH Nu’man & Mughni, 2005:19).
Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathan memiliki
dinamika tersendiri terutama mengenai pusat tempat kedudukan dan pusat tempat utama kegiatan organisasi. Pusat tempat kedudukan Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) sejak didirikan pada tahun 1935 hingga Muktamar ke 10 tahun 1998, berkedudukan di Pancor. Namun setelah Muktamar ke 10 tersebut
tempat kedudukan PBNW berpindah di Mataram (Ibukota Provinsi NTB) dan di Jakarta (Ibukota Negara RI). Perpindahan itu sebagai konsekuensi dari ketentuan AD-ART Nahdlatul Wathan hasil Muktamar ke 10 tahun 1998 di Praya Lombok Tengah.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
93
Pusat atau tempat utama kegiatan Organisasi Nahdlatul
Wathan yang pada mulanya di Pancor pindah ke Kalijaga Keca-matan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur. Kemudian sejak bulan Maret 2001 berpindah ke Anjani Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur.
Perpindahan itu terjadi akibat adanya sebagian unsur NW Pancor yang tidak setuju terhadap Ummi Hj. Sitti Raihanun (putri pendiri NW) menjadi Ketua Umum PBNW yang terpilih melalui Muktamar ke 10. Alasannya, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin organisasi. Sedangkan pihak yang memilih Ummi Hj.
Sitti Raihanun beralasan bahwa dalam Madzhab Syafi’i tidak ada larangan bagi perempuan menjadi pemimpin. TGKH Muhammad Zainuddin sendiri mengangkat putri-putrinya menjadi pimpinan madrasah, bahkan ada yang direstui menjadi Kepala Desa. Konflik antara pendukung Ummi Hj. Sitti Raihanun sebagai Ketua Umum
PBNW dengan pihak yang tidak setuju, tidak terelakkan. Perpindahan pusat Organisasi NW dari Pancor ke Kalijaga, yang kemudian dipindahkan ke Anjani sebagaimana diutarakan di atas, dimaksudkan oleh Ummi Hj. Sitti Raihanun sebagai Ketua Umum PBNW sekaligus selaku penerima kuasa, semata-mata untuk
peyelamatan dan kelangsungan Organisasi NW. Akhirnya, sejak Bulan Maret 2001 itulah maka pusat kegiatan Organisasi NW di Anjani Kecamatan Suralaga dan pusat Perguruan NW adalah Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin Nahdlatul Wathan Anjani Lombok Timur (Disarikan dari Buku: “Mengenal Nahdlatul Wathan”,
PB NW, 2005:23-25).
Sementara itu orang-orang NW Pancor yang tidak setuju atas kepemimpinan Ummi Hj. Sitti Raihanun menjalankan aktivitas Organisasi NW sesuai versi mereka, dengan pimpinan Sitti
Rauhun. Keduanya putri pendiri Organisasi NW., TGKH. Muhammad Zainudin. Dengan demikian hinga kini terdapat dua
karena peraturan perundangan ketika itu yakni pada era reformasi
membolehkan hal itu.
Adapun tujuan organisasi Nahdatul Wathan yaitu “li i’laa’i
kalimatillah (meninggikan kalimat Allah) wa ‘izzil Islam wal muslimin
(kejayaan Islam dan kaum muslimin) dan keselamatan serta
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat”. Sedangkan lambang organisasi ini adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima” .Untuk mencapai tujuan di atas, Nahdlatul Wathan melaksanakan amal
usaha di bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah (TGH. AH
Nu’man & Mughni, 2005:15-17).
Struktur kepengurusannya yaitu: Pengurus Besar di tingkat pusat, Pengurus Wilayah di tingkat provinsi, Pengurus
Daerah di tingkat kabupaten/kota, Pengurus Cabang di tingkat kecamatan, Pengurus Anak Cabang di tingkat desa/kelurahan, Pengurus Ranting di tingkat dusun, serta Pengurus Perwakilan di daerah-daerah yang dipandang perlu. Di tiap tingkat kepengurusan ada unsur penasehat. Penasehat di tingkat
Pengurus Besar disebut Dewan Mustasyar, di tingkat Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah disebut Dewan Penasehat, sedangkan untuk pengurus di bawah Pengurus Daerah disebut Penasehat (TGH. AH Nu’man & Mughni, 2005:19).
Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathan memiliki
dinamika tersendiri terutama mengenai pusat tempat kedudukan dan pusat tempat utama kegiatan organisasi. Pusat tempat kedudukan Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) sejak didirikan pada tahun 1935 hingga Muktamar ke 10 tahun 1998, berkedudukan di Pancor. Namun setelah Muktamar ke 10 tersebut
tempat kedudukan PBNW berpindah di Mataram (Ibukota Provinsi NTB) dan di Jakarta (Ibukota Negara RI). Perpindahan itu sebagai konsekuensi dari ketentuan AD-ART Nahdlatul Wathan hasil Muktamar ke 10 tahun 1998 di Praya Lombok Tengah.
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
94
kelompok Organisasi NW dengan kegiatan dan amal usahanya
masing-masing, yakni Organisasi NW Anjani dan NW Pancor. Akhir-akhir ini kedua kelompok NW itu telah melakukan ishlah dan bersepakat untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Prinsip demikian secara politis justeru menguntungkan organisasi NW.
Demikian penuturan beberapa informan.
Terlepas dari adanya dua kelompok NW, untuk kepentingan penelitian ini di Kota Mataram diambil satu figur Organisasi NW yakni Organisasi NW Anjani. Pemilihan NW Anjani didasarkan atas pertimbangan bahwa Organisasi NW Anjani
khususnya di Kota Mataram secara kelembagaan lebih besar sehingga aktivitas-aktivitas keagamaannya, termasuk bidang pendidikan dan dakwahnya mempunyai pengaruh lebih besar dalam masyarakat (Jalal, Syamsul Hd., H. Badr., L.Siraj. H.,
Wawancara, Sept. 2011).
Jumlah Pengurus Organisasi Nahdlatul Wathan Kota Mataram Periode 2010-2015 sebanyak 36 orang, terdiri atas: Dewan Penasehat 4 orang, Ketua 1 orang, Wakil Ketua 4 orang, Sekretaris 1 orang, Wakil Sekretaris 4 orang, Bendahara 1 orang,
Wakil Bendahara 1 orang, Bagian Pendidikan dan Kebudayaan 5 orang, Bagian Sosial, Ekonomi dan Keuangan 5 orang, Bagian Dakwah dan Penerangan 5 orang, serta Bagian Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi 5 orang (Lampiran SK Pengurus
Wilayah NW Nusa Tenggara Barat, Nomor:69/Kpts/PWNW-
NTB/III/2010, Tanggal 14 Februari 2010).
Jumlah tenaga da’i organisasi ini tidak diketahui secara pasti karena tidak ada pendataan secara resmi. Yang jelas, jumlah mereka ratusan tersebar di berbagai lembaga dakwah di bawah
naungan Organisasi NW terutama Pondok Pesantren NW di Kota Mataram. Tidak ada pengkaderan secara khusus terhadap para tenaga dakwah. Sekalipun demikian, mereka di bidang pengasaan
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
95
pengetahuan agama relatif memadai, karena kebanyakan berlatar
belakang pendidikan Ma’had Darul Qur’an wal Hadits NW induk di Pancor. Di Ma’had mereka selain diberi pelajaran pengamalan dan ilmu agama, juga dibekali pengetahuan tentang metode dakwah. Di antara mereka berlatar belakang pendidikan/alumni Timur
Tengah antara lain Assholatiyah- Makkah, yakni tempat TGKH Muhammad Zainuddin/pendiri Organisasi NW menuntut ilmu pada masa mudanya.
Dalam hal keanggotaan, Organisasi NW sebagai organisasi keagamaan mempunyai aturan tersendiri dalam keanggotaan.
Sebagaimana disebutkan dalam Anggaan Dasar NW, ada dua macam anggota NW, yaitu anggota biasa dan anggota kehormatan. Anggota biasa adalah setiap orang Islam yang seasas dan setujuan dengan Organisasi NW dan bersedian memenuhi segala ketentuan organisasi. Sedangkan anggota
kehormatan adalah setiap orang Islam yang mendukung dan berjasa kepada organisasi NW. Selain itu ada simpatisan, yakni setiap orang yang senang dan setuju dengan perjuangan NW. Di antara cara yang dilakukan untuk menarik calon anggota NW yaitu melalui jalur lembaga pendidikan dan pengajian-pengajian. Calon
anggota dinyatakan sah sebagai anggota NW jika sudah didaftar dan mendapat Kartu Anggota yang ditanda-tangani oleh Pengurus Besar atau pengurus di bawah Pengurus Besar yang diberikan mandat untuk itu (TGH. Abd.Hayyi N & Mughni Sn,
2005:22-23). Jumlah anggota NW di Kota Mataram –dan di daerah
lain- sejauh ini tidak teregistrasi secara tertib, sehingga tidak ada data secara akurat tentang jumlah mereka. Yang jelas, para anggota NW terwadahi dalam organisasi NW yang secara sruktural terkoordinasi dalam kepegurusan mulai dari tingkat Pengurus
Ranting, Pengurus Anak Cabang, Pengurus Cabang hingga
kelompok Organisasi NW dengan kegiatan dan amal usahanya
masing-masing, yakni Organisasi NW Anjani dan NW Pancor. Akhir-akhir ini kedua kelompok NW itu telah melakukan ishlah dan bersepakat untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Prinsip demikian secara politis justeru menguntungkan organisasi NW.
Demikian penuturan beberapa informan.
Terlepas dari adanya dua kelompok NW, untuk kepentingan penelitian ini di Kota Mataram diambil satu figur Organisasi NW yakni Organisasi NW Anjani. Pemilihan NW Anjani didasarkan atas pertimbangan bahwa Organisasi NW Anjani
khususnya di Kota Mataram secara kelembagaan lebih besar sehingga aktivitas-aktivitas keagamaannya, termasuk bidang pendidikan dan dakwahnya mempunyai pengaruh lebih besar dalam masyarakat (Jalal, Syamsul Hd., H. Badr., L.Siraj. H.,
Wawancara, Sept. 2011).
Jumlah Pengurus Organisasi Nahdlatul Wathan Kota Mataram Periode 2010-2015 sebanyak 36 orang, terdiri atas: Dewan Penasehat 4 orang, Ketua 1 orang, Wakil Ketua 4 orang, Sekretaris 1 orang, Wakil Sekretaris 4 orang, Bendahara 1 orang,
Wakil Bendahara 1 orang, Bagian Pendidikan dan Kebudayaan 5 orang, Bagian Sosial, Ekonomi dan Keuangan 5 orang, Bagian Dakwah dan Penerangan 5 orang, serta Bagian Organisasi, Keanggotaan dan Kaderisasi 5 orang (Lampiran SK Pengurus
Wilayah NW Nusa Tenggara Barat, Nomor:69/Kpts/PWNW-
NTB/III/2010, Tanggal 14 Februari 2010).
Jumlah tenaga da’i organisasi ini tidak diketahui secara pasti karena tidak ada pendataan secara resmi. Yang jelas, jumlah mereka ratusan tersebar di berbagai lembaga dakwah di bawah
naungan Organisasi NW terutama Pondok Pesantren NW di Kota Mataram. Tidak ada pengkaderan secara khusus terhadap para tenaga dakwah. Sekalipun demikian, mereka di bidang pengasaan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
96
Pengurus Besar. Jumlah mereka di Kota Mataram mencapai ribuan,
belum termasuk simpatisan.
Pendanaan Organisasi NW selain berasal dari uang pangkal dan iuran Anggota Biasa juga sumbangan dari para abiturien, para pencinta NW setiap HULTAH NW, Pemda Mataram
dan sumbangan-sumbangan lain yang tidak mengikat.
Untuk memperkokoh kedudukan organisasi baik di bidang ekonomi maupun ubudiyah, sekaligus untuk merealiasikan tujuan organisasi, NW memiliki amal usaha meliputi bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah. Dalam bidang
pendidikan, NW mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat Taman Kanak-Kanak Islam, Madrasah, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi. Di bidang sosial dan ekonomi, mendirikan Panti Asuhan, Klinik Keluarga Sejahtera, Klinik Bersalin, Pos Kesehatan Pondok Pesantren dan Koperasi.
Aktivitas Dakwah
Aktivitas Dakwah Nahdlatul Wathan (NW)
Metode ataupun cara yang dipergunakan oleh para tenaga
dakwah Organisasi NW bermacam-macam, yakni: billisan, bil hal
dan bil-qalam. Dakwah billisan biasanya dilakukan oleh para da’i NW dalam bentuk ceramah di masjid-masjid, di dalam forum majelis taklim atau tempat-tempat pengajian lainnya; selain itu
dilakukan pula lewat Radio Dakwah Syekh TGH Zainuddin. Dakwah bentuk ceramah juga dilakukan oleh para da’i/muballigh NW pada saat acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Dakwah bil-hal dilakukan melalui praktek-praktek ubudiyah dalam pendidikan agama kepada para murid/santri di lembaga pendidikan. Dakwah
bil-qalam dilakukan oleh para da’i melalui jurnal berkala milik NW,
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
97
disebar-luaskan kepada anggota NW dan masyarakat pada
umumnya melalui lemaga-lembaga pendidikan NW dan lembaga pendidikan/ keagamaan lain serta instansi-instansi Pemda Kota Mataram. Selain itu, di antara para da’i alumnus lembaga pendidikan NW mengisi jurnal di beberapa media cetak seperti:
Lombok Pos, NTB Pos, Radar Lombok serta Media Pembaharuan (Lalu S.Hd,, Wawancara, Sept. 2011).
Sasaran dakwah (mad’u) yang dilakukan NW melalui tiga metode dakwah di atas, tidak hanya tertuju kepada komunitas NW,
tetapi kepada segenap umat Islam yang tertarik mendengarkan dakwah NW. Bahkan dakwah yang disampaikan melalui media radio dan media cetak, dapat menjangkau seluruh komunitas umat Islam di Kota Mataram, bahkan umat beragama lain. Dengan demikian jumlah mad’u NW tidak terbatas. Tentu saja prioritas
utamanya adalah anggota NW.
Materi yang disampaikan oleh para tenaga da’i beragam, mencakup berbagai ajaran Islam meliputi: aqidah, ibadah, muammalah, akhlaq dan sebagainya. Materi tentang kerukunan hidup beragama disampaikan sesuai konteks dan situasi. Teknik
penyampaiannya tidak secara khusus, melainkan digabung dengan materi pokok dakwah. Rujukan materi dakwah para da’i pada dasarnya sama dengan yang dipergunakan oleh para da’i Nahdlatul Ulama (NU), antara lain: Tafsir Jalalain, Alfiyah, Ta’lim al-Muta’ali, dan sebagainya. Sebagai organisasi keagamaan, NW
terbilang sangat menghormati tokoh pendirinya yakni Syeikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang sekaligus sebagai tokoh rujukan. Adapun dalam aktivitas peribadatan, sebagaimana dituangkan dalam asas organisasi, maka NW merujuk kepada madzhab Imam as-Syafi’i.
Dalam berdakwah, para da’i NW menyampaikan materi ajaran-ajaran agama secara santun, cenderung tidak eksklusif,
Pengurus Besar. Jumlah mereka di Kota Mataram mencapai ribuan,
belum termasuk simpatisan.
Pendanaan Organisasi NW selain berasal dari uang pangkal dan iuran Anggota Biasa juga sumbangan dari para abiturien, para pencinta NW setiap HULTAH NW, Pemda Mataram
dan sumbangan-sumbangan lain yang tidak mengikat.
Untuk memperkokoh kedudukan organisasi baik di bidang ekonomi maupun ubudiyah, sekaligus untuk merealiasikan tujuan organisasi, NW memiliki amal usaha meliputi bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah. Dalam bidang
pendidikan, NW mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat Taman Kanak-Kanak Islam, Madrasah, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi. Di bidang sosial dan ekonomi, mendirikan Panti Asuhan, Klinik Keluarga Sejahtera, Klinik Bersalin, Pos Kesehatan Pondok Pesantren dan Koperasi.
Aktivitas Dakwah
Aktivitas Dakwah Nahdlatul Wathan (NW)
Metode ataupun cara yang dipergunakan oleh para tenaga
dakwah Organisasi NW bermacam-macam, yakni: billisan, bil hal
dan bil-qalam. Dakwah billisan biasanya dilakukan oleh para da’i NW dalam bentuk ceramah di masjid-masjid, di dalam forum majelis taklim atau tempat-tempat pengajian lainnya; selain itu
dilakukan pula lewat Radio Dakwah Syekh TGH Zainuddin. Dakwah bentuk ceramah juga dilakukan oleh para da’i/muballigh NW pada saat acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Dakwah bil-hal dilakukan melalui praktek-praktek ubudiyah dalam pendidikan agama kepada para murid/santri di lembaga pendidikan. Dakwah
bil-qalam dilakukan oleh para da’i melalui jurnal berkala milik NW,
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
98
tidak ekstrim, tidak mencela orang yang pendapatnya berbeda,
sehingga tidak menimbulkan efek konflik di kalangan umat Islam. Para da’i pada umunya menyikapi perbedaan faham keagamaan di kalangan umat Islam secara dewasa, bahwa perbedaan mereka sikapi sebagai rahmat. Hal ini sejalan dengan sikap Ahlus Sunnah
terhadap “kesalahan” ulama atau orang lain, bahwa orang yang salah tidak perlu diikuti, namun kesalahan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencelanya dan menjauhkan diri dari mereka (Syaikh ‘Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr, 2009:49).
B. Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah di Mataram dipimpin oleh
sebuah kepengurusan daerah Kota Mataram dengan alamat
kantor di Jl. Anyelir No. 2-4 Mataram. Sejarah keberadaannya di
Kota Mataram bermula dari keberadaannya di Kabupaten Lombok
Barat. Ketika itu wilayah Kota Mataram menjadi bagian dari
wilayah Kabupatem Lombok Barat. Awal mula masuknya
Muhammadiyah di Lombok Barat tidak terlepas dari peran seorang
ustadz asal Klaten-Jawa Tengah, benama Umar Faroqi. Pada tahun
1930, ia didatangkan oleh Mekel Alimudin di Desa Lekok Lombok
Barat untuk mengajar agama (sebagai guru Ngaji) Encik Siti
Aminah, anak seorang saudagar kaya dan tuan tanah bernama
Muhammad Ali asal Palembang yang telah lama menetap di
Karang Tuban Desa Lekok, Lombok Barat. Kedatangan Umar Faroqi
di Desa Lekok menggemparkan umat Islam setempat karena
mengajarkan Islam yang berbeda dengan ajaran yang biasa
diamalkan warga. Bahkan di antara warga ada yang menuduh
Umar Faroqi membawa ajaran Wahabi. Namun Umar Faroqi
dengan sabar menghadapi mereka. Setahun setelah tinggal di
Desa Lekok, Umar Faroqi mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
99
Kampung Tuban Desa Lekok. Ketika itu ia memiliki murid 20 anak
dari Kampung Tuban termasuk Hj Encik Siti Aminah yang hingga
kini masih hidup (91 tanun) dan kemudian berkembang ada
murid-murid yang agak besar di antaranya dari Kampung Pagutan.
Di antara para tokoh masyarkat Kampung Pagutan yang mengikuti
ajaran Muhammadiyah ketika itu adalah: H. Sulaiman, Amaq
Mu’min, Amaq Syafi’i dan Amaq Rakyah. Perjuangan mereka
kemudian dilanjutkan oleh anak cucu mereka, di antaranya yaitu
Drs. Subartono dan Johan Syamsu yang kini menjabat sebagai
Sekda Lombok Utara. Perkembangan madrasah di Kampung
Tuban tidak mulus, sering ada gangguan dari pihak lain maka atas
inisiatif para tokoh di Kampung Pagutan, madrasah mereka
pindahkan ke Kampung Pagutan Desa Lekok. Demikian
keterangan Tafsif. Menurut Mahyun, setelah dua tahun madrasah
berjalan, kolonial Belanda melarang keberadaan sekolah agama
(madrasah) dengan alasan sulit dikontrol. Seluruh murid
diperintahkan Belanda belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Gondang
yang dibangun Belanda Tahun 1920, namun anak-anak menolak.
Kemudian Ustad Umar Faroqi Ampenan dan mengajar di
Madrasah al-Irsyad di Kampung Melayu, Ampenan. Di situ
Muhammadiyah berkembang pesat, bahkan murid-murid al-Irsyad
tersebut menjadi cikal-bakal murid SMI Gomong di Mataram.
Sekitar tahun 1950 an berdiri SMP Muhammadiyah Mataram. Para
lulusannya yang bertempat tinggal menyebar di berbagai wilayah
di Mataram dan sekitarnya, kemudian menyebar-luaskan ajaran
Muhammadiyah di Mataram (Disarikan dari Naskah: Merajut
Perjalanan Muhammadiyah Lombok Barat, PDM Lombok Barat,
2009:3-11).
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan
mempunyai maksud dan tujuan, sekalipun perumusannya dapat
tidak ekstrim, tidak mencela orang yang pendapatnya berbeda,
sehingga tidak menimbulkan efek konflik di kalangan umat Islam. Para da’i pada umunya menyikapi perbedaan faham keagamaan di kalangan umat Islam secara dewasa, bahwa perbedaan mereka sikapi sebagai rahmat. Hal ini sejalan dengan sikap Ahlus Sunnah
terhadap “kesalahan” ulama atau orang lain, bahwa orang yang salah tidak perlu diikuti, namun kesalahan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencelanya dan menjauhkan diri dari mereka (Syaikh ‘Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr, 2009:49).
B. Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah di Mataram dipimpin oleh
sebuah kepengurusan daerah Kota Mataram dengan alamat
kantor di Jl. Anyelir No. 2-4 Mataram. Sejarah keberadaannya di
Kota Mataram bermula dari keberadaannya di Kabupaten Lombok
Barat. Ketika itu wilayah Kota Mataram menjadi bagian dari
wilayah Kabupatem Lombok Barat. Awal mula masuknya
Muhammadiyah di Lombok Barat tidak terlepas dari peran seorang
ustadz asal Klaten-Jawa Tengah, benama Umar Faroqi. Pada tahun
1930, ia didatangkan oleh Mekel Alimudin di Desa Lekok Lombok
Barat untuk mengajar agama (sebagai guru Ngaji) Encik Siti
Aminah, anak seorang saudagar kaya dan tuan tanah bernama
Muhammad Ali asal Palembang yang telah lama menetap di
Karang Tuban Desa Lekok, Lombok Barat. Kedatangan Umar Faroqi
di Desa Lekok menggemparkan umat Islam setempat karena
mengajarkan Islam yang berbeda dengan ajaran yang biasa
diamalkan warga. Bahkan di antara warga ada yang menuduh
Umar Faroqi membawa ajaran Wahabi. Namun Umar Faroqi
dengan sabar menghadapi mereka. Setahun setelah tinggal di
Desa Lekok, Umar Faroqi mendirikan Madrasah Ibtidaiyah di
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
100
berubah-ubah, namun intisarinya tetap sama yaitu: menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tafsir dari rumusan
tersebut yaitu, membangkitkan dan memelihara agama yang
diberikan oleh Allah swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
dalam al-Qur’an dan Sunnah sahih, berupa perintah dan larangan
untuk kebaikan hamba-Nya di dunia dan akhirat, dan
menanamkan rasa cinta dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya
melebihi dari ajaran-ajaran yang lain (HA. Latief Malik, Sejarah
Pergerakan Muhammadiyah di Sumbawa, 1993:48-49).
Kepengurusan Muhammadiyah di tingkat kabupaten/kota
disebut Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD). Untuk
mengurus dakwah agama, di dalam kepengurusan Muham-
madiyah terdapat Majelis Tabligh dan Dakwah mulai tingkat pusat
sampai dengan tingkat cabang.
Tentang jumlah tenaga dakwah, belum ada pendataan
secara khusus. Tidak sedikit di antara para kader Muhammadiyah
baik dari unsur IPM, IMM, guru di pendidikan Muhammadiyah
maupun pengurus/Pimpinan Muhammadiyah yang berperan
sebagai juru dakwah. Diproyeksikan jumlah mereka di Kota
Mataram tidak kurang dari 100 orang. Sebagian besar tenaga
dakwah berpendidikan pesantren dan perguruan tingi/sarjana
agama. Sebagian kecil mereka tamatan Timur Tengah, dengan
tingakat pendidikan S-2 dan S-3.
Jumlah anggota Muhammadiyah di Kota Mataram
diperkirakan sekitar 20.000 orang, Dari jumlah itu, terdapat sekitar
10.000 anggota aktif. Tidak semua anggota Muhammadiyah
memiliki Kartu Anggota, termasuk para pengurus. Direncanakan
mulai tahun 2011 ini akan diaktifkan kembali program Kartu
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
101
Anggota tersebut. Pengkaderan anggota dilakukan, selain melalui
pengajian-pengajian di masjid dan tempat-tempat lain, juga
melalui pendidikan/sekolah Muhammadiyah dari tingkat TK
sampai dengan Perguruan Tinggi.
Pendanaan organisasi diperoleh dari antara lain: infak
anggota, infak dari para simpatisan, serta dari berbagai amal usaha
Muhammadiyah. Di antara amal usaha dimaksud ialah: pendidikan
termasuk Perguruan Tinggi, koperasi 4 buah, warung Kaki Lima 10
buah, kantin dan percetakan iklan.
Aktivitas Dakwah Organsasi Muhammadiyah
Metode dakwah yang dilakukan oleh para da’i Muham-
madiyah meliputi: billisan, biasanya dilakukan melalui ceramah di
masjid-masjid dan di antaranya ada yang dari rumah ke rumah dan
di televisi, seperti di Lombok TV dan TV 9 dengan mengisi dalam
acara dialog mingguan dan bulanan; bil-hal, dilakukan melalui
praktek di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah,
termasuk di Panti Asuhan milik Muhammadiyah; bil-qalam,
dilakukan oleh para tenaga dakwah yang telah memiliki
kemampuan/berprofesi menulis di media cetak seperti Lombok
Pos. Untuk meningkatkan kemampuan menulis artikel bagi para
anggota, diadakan pelatihan jurnalistik yang diselengarakan oleh
Pemuda Muhammadiyah Mataram.
Tidak ada program pengkaderan secara khusus terhadap
para juru dakwah. Namun melalui koordinasi Pimpinan
Muhammadiyah Daerah Mataram mereka di antaranya ada yang
dikirim ke sekolah-sekolah/perguruan tinggi seperti di UMS Solo
dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Kaliurang.
berubah-ubah, namun intisarinya tetap sama yaitu: menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tafsir dari rumusan
tersebut yaitu, membangkitkan dan memelihara agama yang
diberikan oleh Allah swt yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw
dalam al-Qur’an dan Sunnah sahih, berupa perintah dan larangan
untuk kebaikan hamba-Nya di dunia dan akhirat, dan
menanamkan rasa cinta dan taat kepada ajaran-ajaran-Nya
melebihi dari ajaran-ajaran yang lain (HA. Latief Malik, Sejarah
Pergerakan Muhammadiyah di Sumbawa, 1993:48-49).
Kepengurusan Muhammadiyah di tingkat kabupaten/kota
disebut Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD). Untuk
mengurus dakwah agama, di dalam kepengurusan Muham-
madiyah terdapat Majelis Tabligh dan Dakwah mulai tingkat pusat
sampai dengan tingkat cabang.
Tentang jumlah tenaga dakwah, belum ada pendataan
secara khusus. Tidak sedikit di antara para kader Muhammadiyah
baik dari unsur IPM, IMM, guru di pendidikan Muhammadiyah
maupun pengurus/Pimpinan Muhammadiyah yang berperan
sebagai juru dakwah. Diproyeksikan jumlah mereka di Kota
Mataram tidak kurang dari 100 orang. Sebagian besar tenaga
dakwah berpendidikan pesantren dan perguruan tingi/sarjana
agama. Sebagian kecil mereka tamatan Timur Tengah, dengan
tingakat pendidikan S-2 dan S-3.
Jumlah anggota Muhammadiyah di Kota Mataram
diperkirakan sekitar 20.000 orang, Dari jumlah itu, terdapat sekitar
10.000 anggota aktif. Tidak semua anggota Muhammadiyah
memiliki Kartu Anggota, termasuk para pengurus. Direncanakan
mulai tahun 2011 ini akan diaktifkan kembali program Kartu
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
102
Di antara pesan-pesan yang disampaikan para da’i dalam
ceramah mereka pada umumya selain penguatan keimanan,
peningkatan pengamalan ajaran agama dan akhlak, juga
memberikan penekanan kepada jamaah diajak untuk keluar dari
belenggu kemanusiaan serta menghindari perbuatan yang
mengarah kepada tahayul, bid’ah, dan khurafat. Pesan-pesan
tentang kerukunan hidup beragama disampaikan para da’i secara
kontekstual dalam dakwah mereka, baik melalui metode billisan
maupun bil-qalam. Materi kerukunan beragama disampaikan
dengan mengedepankan pluralitas, dan di bidang sosial
mengusung issu kemiskinan, kesehatan serta SDM yang rendah.
Kitab-kitab rujukan yang dipergunakan oleh para da’i
Muhammadiyah beragam, antara lain: Tafsir Ibnu Katsir,
Subulussalam, Shahih Bukhari-Muslim, Kutubus Sittah, Fathul
Barry, Fathul Majid (tauhid), serta Keputusan Majlis Tarjih dan CD
Maktabah Samilah.
Ada sejumlah tokoh agama yang menjadi rujukan/idola
para tokoh Muhammadiyah Mataram, antara lain: Muhammad
Abduh, Muh. Rasyid Ridlo, Muh. Natsir, HAMKA, KH Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh terakhir ini adalah murid KH
Ahmad Khatib al-Munangkabawy).
Untuk menunjang kegiatan dakwah billisan, Organisasi
Muhammadiyah Mataram memiliki program siaran Radio yakni
Radio Komunitas SMK. Sedangkan untuk dakwah bi-qalam
memiliki Bulletin, yakni Bulletin Ulul Albab dan Lughotuna di
Kampus, Bulletin Fas Tabiqul Khairat di Pimpinan Wilayah (PW),
serta Bulletin Pemuda Muhammadiyah Mataram.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
103
C. Kelompok Salafi
Kata Salafi, merupakan nisbat dari kata “salaf” yang berarti
orang-orang terdahulu, bermaksud mengikuti praktek ibadah yang dilakukan oleh para Ulama Salaf yakni para ulama pada jaman Nabi Muhammad saw. Kelompok Salafi tak mempunyai pemimpin secara struktural, tetapi mempunyai wadah. Di Kota
Mataram, Salafi mempunyai wadah berupa Yayasan al-Khunafa’,
beralamat di Jl. Soromandi, No. 1 Lawata, Kota Mataram.
Tujuan Yayasan al-Khunafa’ dari sisi dakwah adalah: mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah menurut Hadits shahih berdasarkan pemahaman Ulama-ulama Salaf.
Intinya, mengajak ke arah kemurnian ajaran Islam (Johan Sp., dan
Gun. Try, tokoh Salafi, Wawancara, Sept. 2011).
Susunan Pengurus Yayasan al-Khunafa’ terdiri atas: Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan beberapa Bidang. Jumlah
pengurusnya tidak kurang dari 8 orang.
Sejarah keberadaannya di Mataram, bahwa sebelum ada Yayasan al-Khunafa’ telah ada kegiatan dakwah Salafi sejak tahun 1995. Tokoh penggeraknya seorang pengusaha asal Lombok bernama H. Abdurrahman Nizam. Ajaran Salafi diperolehnya dari
Ustadz Yazid Abdul Qodir Jawaz ketika berdakwah di Surabaya, serta Ustadz Mubarok alumni Universitas Madinah dan Ustadz Abd. Rahman at-Tamimi dari Surabaya. Dakwah di Mataram, mula-mula dilakukan para ustadz tersebut dengan mengisi pengajian di Islamic Senter Cakranegara dan Masjid Raya pada tahun 1995.
Timbullah inisiatif dari 5 orang yakni: Ustadz Khalid Bawazir, Abd. Rahman Izam, Moh. Izam, Umar Zuber, (keempatnya pengusaha di Mataram) dan Ustadz Fauzi Ath-har (alumnus Mekah), mereka sepakat untuk membentuk sebuah yayasan yang bergerak di bidang dakwah dan sosial. Ciri dakwahnya yaitu; mengembalikan
Di antara pesan-pesan yang disampaikan para da’i dalam
ceramah mereka pada umumya selain penguatan keimanan,
peningkatan pengamalan ajaran agama dan akhlak, juga
memberikan penekanan kepada jamaah diajak untuk keluar dari
belenggu kemanusiaan serta menghindari perbuatan yang
mengarah kepada tahayul, bid’ah, dan khurafat. Pesan-pesan
tentang kerukunan hidup beragama disampaikan para da’i secara
kontekstual dalam dakwah mereka, baik melalui metode billisan
maupun bil-qalam. Materi kerukunan beragama disampaikan
dengan mengedepankan pluralitas, dan di bidang sosial
mengusung issu kemiskinan, kesehatan serta SDM yang rendah.
Kitab-kitab rujukan yang dipergunakan oleh para da’i
Muhammadiyah beragam, antara lain: Tafsir Ibnu Katsir,
Subulussalam, Shahih Bukhari-Muslim, Kutubus Sittah, Fathul
Barry, Fathul Majid (tauhid), serta Keputusan Majlis Tarjih dan CD
Maktabah Samilah.
Ada sejumlah tokoh agama yang menjadi rujukan/idola
para tokoh Muhammadiyah Mataram, antara lain: Muhammad
Abduh, Muh. Rasyid Ridlo, Muh. Natsir, HAMKA, KH Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy’ari. Kedua tokoh terakhir ini adalah murid KH
Ahmad Khatib al-Munangkabawy).
Untuk menunjang kegiatan dakwah billisan, Organisasi
Muhammadiyah Mataram memiliki program siaran Radio yakni
Radio Komunitas SMK. Sedangkan untuk dakwah bi-qalam
memiliki Bulletin, yakni Bulletin Ulul Albab dan Lughotuna di
Kampus, Bulletin Fas Tabiqul Khairat di Pimpinan Wilayah (PW),
serta Bulletin Pemuda Muhammadiyah Mataram.
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
104
cara beragama seperti pada jaman sahabat saerta memberantas
tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC).
Di bidang pendidikan, Yayasan al-Khunafa’ memiliki lembaga pendidikan mulai Sekolah Dasar (SD) s/d SMA dan Madrasah Aliyah. Di bidang sosial, pihak Yayasan al-Khunafa’ Salafi
memberikan bea siswa kepada murid-murid yang tergolong ekonomi lemah. Sekitar 10 % dari seluruh murid (799 siswa) mendapat bea siswa.
Jumlah anggota kelompok Salafi tidak terdata secara konkrit, apalagi pemberian Kartu Anggota. Namun menurut
Pengurus Yayasan, diperkirakan jumlah anggota pengurus inti yang terdiri atas Pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan/pondok sekitar 150 orang, ditambah 799 murid si sekolah milik Salafi. Masyarakat yang mengikuti pengajian Salafi diproyeksikan sebagai simpatisan Salafi, yang jumlahnya sekitar
1.000 orang. Dalam rekruitmen anggota tidak ada cara khusus, kecuali hanya melalui tabligh secara terbuka.
Tenaga da’i Salafi terkonsentrasi di lembaga pendidikan Salafi/pondok pesantren. Jumlah mereka sekitar 17 orang. Sealain aktif mengajar di lembaga pendidikan Salafi di Mataram, mereka
menjadi khotib di masjid Islamic Center/ Masjid Aisah Cakranegara dan beberapa masjid lain. Selain itu mengisi ceramah rutin Bintal Prajurit di Polda dan di Kantor Gubernur setiap Jum’at pagi, berupa pengajian Imtak.
Profil tenaga da’i, sebagian besar tamatan Pondok
Pesantren Salafi, Pondok Pesantren al-Furqon –Jawa Timur, alumni Pondok Gontor dan Pondok Bangil. Di antara mereka (5 orang) tamatan Timur Tengah.
Dana operasional yayasan diperoleh antara lain dari SPP murid/santri, bantuan pemerintah (BOS), sumbangan orang tua
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
105
murid/santri dan para simpatisan. Sebagai contoh, bangunan
Pondok Putra (SD s/d SMA) adalah sumbangan jamaah Masjid Ibnu Taimiya Kuwait pada tahun 2010 melalui Yayasan Lajnah al-Khairiyah di Jakarta. Sedangkan bangunan Pondok Putri sumbangan dari Mantan Menteri Dalam Negeri Kuwait pada tahun
2005, juga melalui yayasan di atas. Sumbangan diberikan atas permohonan dari Yayasan Lajnah al-Khairiyah. Selain itu pihak Yayasan al-Khunafa’ dalam menggalang dana memiliki usaha berupa toko buku, kantin dan apotek (Ust. Hasby., Ust.Bahrd., Ust.
Zahd. Dan Abu. Kin., Wawancara, Sept. 2011).
Aktivitas Dakwah Kelompok Salafi
Dalam berdakwah, kelompok Salafi berpegang kepada Enam Pilar Dakwah Salafiyah, yakni: (i) Mengikhlaskan agama kepada Allah swt., (ii) Jalan menuju Allah swt. hanya satu, (iii) Mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sesuai dengan
pemahaman Salafus Shalih, (iv) Menggapai kemuliaan dengan Ilmu, (v) Membantah orang yang menyelisihi (al-haq) adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar, dan (vi) Tashfiyah dan tarbiyah (‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, 2009:33-253).
Metode yang dipergunakan para da’i dalam berdakwah meliputi: billisan yakni khutbah dan pengajian di masjid-masjid, muhadloroh atau ceramah dalam acara seperti pernikahan dan di Kantor Pemda; bil-qalam yakni melalui bulletin dakwah di sebar di
masjid-masjid setiap hari Jum’at, seperti Bulletin Dakwah “al-Hujjah” vol: 054/Thn.XI/Dzulqo’dah-1432 H dengan judul “Agungnya Istihgatsah Pada Allah, Menyibak Tirai Samar Praktek Kesyirikan” oleh Ust. Abdulla Taslim, Lc, MA, yang disebar di Masjid BKKBN Provinsi NTB Mataram pada hari Jum’at bulan September
2011. Selain itu melalui buku-buku yang dijual di Toko-toko Buku,
cara beragama seperti pada jaman sahabat saerta memberantas
tahayul, bid’ah dan khurafat (TBC).
Di bidang pendidikan, Yayasan al-Khunafa’ memiliki lembaga pendidikan mulai Sekolah Dasar (SD) s/d SMA dan Madrasah Aliyah. Di bidang sosial, pihak Yayasan al-Khunafa’ Salafi
memberikan bea siswa kepada murid-murid yang tergolong ekonomi lemah. Sekitar 10 % dari seluruh murid (799 siswa) mendapat bea siswa.
Jumlah anggota kelompok Salafi tidak terdata secara konkrit, apalagi pemberian Kartu Anggota. Namun menurut
Pengurus Yayasan, diperkirakan jumlah anggota pengurus inti yang terdiri atas Pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan/pondok sekitar 150 orang, ditambah 799 murid si sekolah milik Salafi. Masyarakat yang mengikuti pengajian Salafi diproyeksikan sebagai simpatisan Salafi, yang jumlahnya sekitar
1.000 orang. Dalam rekruitmen anggota tidak ada cara khusus, kecuali hanya melalui tabligh secara terbuka.
Tenaga da’i Salafi terkonsentrasi di lembaga pendidikan Salafi/pondok pesantren. Jumlah mereka sekitar 17 orang. Sealain aktif mengajar di lembaga pendidikan Salafi di Mataram, mereka
menjadi khotib di masjid Islamic Center/ Masjid Aisah Cakranegara dan beberapa masjid lain. Selain itu mengisi ceramah rutin Bintal Prajurit di Polda dan di Kantor Gubernur setiap Jum’at pagi, berupa pengajian Imtak.
Profil tenaga da’i, sebagian besar tamatan Pondok
Pesantren Salafi, Pondok Pesantren al-Furqon –Jawa Timur, alumni Pondok Gontor dan Pondok Bangil. Di antara mereka (5 orang) tamatan Timur Tengah.
Dana operasional yayasan diperoleh antara lain dari SPP murid/santri, bantuan pemerintah (BOS), sumbangan orang tua
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
106
seperti: Buku “Mengagungkan Sunnah” dan Buku “Lima Prinsip
Pokok Aqidah”; dan bil-hal yang dilakukan melalui contoh berpakaian, bermuammalah dan beribadah serta pengamalan ajaran agama berdasarkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. sesuai pengamalan pada masa Nabi dan Sahabat.
Kitab-kitab rujukan yang dipergunakani sebagai bahan materi dakwah antara lain: Sarah Shahih Bukhari karangan Ibnu Hajar al-Atsqalani, Sarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi (Kutubus-Sittah). Dalam menyikapi Imam Madzhab, Salafi tidak berpegang kepada salah satu madzhab. Dalam bermadzhab,
mengambil Imam Madzhab yang paling rajih.
Pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah antara lain: pentingnya menuntut ilmu agar tak ikut-ikutan, bertauhid yang benar agar tak syirik, beribadah yang benar dan mengajak mengamalkan sunnah Nabi agar tak bid’ah, himbauan
meninggalkan bid’ah, pentingnya berakhlak mulia, bermu’ammalah dengan sesama secara baik termasuk hidup yang rukun, penyucian jiwa melalui al-Qur’an dan Hadits, serta tentang kewajiban salat berjamaah.
Kelompok Salafi termasuk para da’i Salafi, dalam mengkaji
dan mendakwahkan ajaran-ajaran Islam terlebih masalah akidah, ada beberapa kaidah penting yang harus dipedomani, antara lain: al-Qur’an sebagai sumber dalil naqli dan akli, dalam menafsirkan nash-nash harus mengikuti Salafus Shalih, menolak takwil, membatasi akal dari memikirkan perkara yang bukan bidangnya,
mengambil qiyas aula dalam mengisbat dan menafikan hak Allah swt., membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa seluruh ayat-ayat al-Qur’an jelas dan dapat ditafsiri, tak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar karena kesalahan
(Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, 1995:158-184).
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
107
Untuk meningkatkan kemampuan para da’i, tidak ada
pengkaderan secara khusus. Apabila di antara santri ada yang terlihat berbakat, disarankan dan disalurkan meneruskan pendidikan ke Libia Jakarta yakni perwakilan dari Riyad.
seperti: Buku “Mengagungkan Sunnah” dan Buku “Lima Prinsip
Pokok Aqidah”; dan bil-hal yang dilakukan melalui contoh berpakaian, bermuammalah dan beribadah serta pengamalan ajaran agama berdasarkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. sesuai pengamalan pada masa Nabi dan Sahabat.
Kitab-kitab rujukan yang dipergunakani sebagai bahan materi dakwah antara lain: Sarah Shahih Bukhari karangan Ibnu Hajar al-Atsqalani, Sarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi (Kutubus-Sittah). Dalam menyikapi Imam Madzhab, Salafi tidak berpegang kepada salah satu madzhab. Dalam bermadzhab,
mengambil Imam Madzhab yang paling rajih.
Pesan-pesan yang disampaikan dalam dakwah antara lain: pentingnya menuntut ilmu agar tak ikut-ikutan, bertauhid yang benar agar tak syirik, beribadah yang benar dan mengajak mengamalkan sunnah Nabi agar tak bid’ah, himbauan
meninggalkan bid’ah, pentingnya berakhlak mulia, bermu’ammalah dengan sesama secara baik termasuk hidup yang rukun, penyucian jiwa melalui al-Qur’an dan Hadits, serta tentang kewajiban salat berjamaah.
Kelompok Salafi termasuk para da’i Salafi, dalam mengkaji
dan mendakwahkan ajaran-ajaran Islam terlebih masalah akidah, ada beberapa kaidah penting yang harus dipedomani, antara lain: al-Qur’an sebagai sumber dalil naqli dan akli, dalam menafsirkan nash-nash harus mengikuti Salafus Shalih, menolak takwil, membatasi akal dari memikirkan perkara yang bukan bidangnya,
mengambil qiyas aula dalam mengisbat dan menafikan hak Allah swt., membatasi makna mutasyabih dan menjelaskan bahwa seluruh ayat-ayat al-Qur’an jelas dan dapat ditafsiri, tak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar karena kesalahan
(Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, 1995:158-184).
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
108
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
109
Potensi Konflik
Ketiga organisasi atau kelompok keagamaan yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah maupun Salafi, secara
umum sama-sama mempunyai tujuan yang hampir sama dalam berdakwah, yakni penguatan dan peningkatan iman serta peningkatan pengamalan ajaran agama. Namun sebagai organisasi dan kelompok keagamaan, masing-masing memiliki
tujuan spesifik yang membedakan antara satu dengan yang lain. Di samping itu dalam mengaplikasikan ajaran agama, masing-masing organisasi atau kelompok keagamaan memiliki ciri pengamalan keagamaan yang cenderung berbeda antara satu dengan yang lain akibat adanya perbedaan dalam meng-
interpretasi teks-teks ajaran sekalipun dari sumber teks yang sama. Perbedaan interpretasi ajaran agama itu rentan bagi timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan di atas.
Secara spesifik, organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai tujuan “meninggikan kalimatullah, kejayaan Islam dan kaum
muslimin serta keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia dan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
110
akherat”. Organisasi Muhammadiyah mempunyai tujuan
“menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Sedangkan Salafi mempunyai tujuan “mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah menurut Hadits shahih berdasarkan
pemahaman ulama salaf”. Intinya pemurnian ajaran Islam.
Untuk mencapai tujuan di atas, memang masing-masing organisasi atau kelompok keagamaan menggunakan bentuk dan pola berdakwah yang cenderung sama, yaitu melalui media ceramah, media cetak dan melalui lembaga pendidikan yang
mereka miliki; namun materi dakwah yang disampaikan cenderung mengacu kepada tujuan dan missi masing-masing organisasi, sehingga memungkinkan terjadi benturan kepentingan akibat perbedaan tujuan spesifik di atas yang dapat memicu timbulnya konflik antar organisasi atau kelompok keagamaan.
Organisasi Muhamadiyah dalam upaya mengajak umat Islam untuk menegakkan ajaran Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya misalnya, di antara para da’inya yang tidak dapat memisahkan antara ajaran agama dengan aspek kultural maka menganggap bahwa acara Peringatan
Hari Besar Islam (PHBI) tidak perlu, demikian pula acara tahlilan. Karenanya dalam berdakwah ia akan mengatakan hal demikian dengan alasan tidak ada dasar perintahnya dalam Islam. Praktek dakwah demikian dimungkinkan akan mengundang konflik dengan kelompok agama yang biasa mengadakan acara PHBI dan
tahlilan. Kelompok Salafi yang cenderung lebih tegas dalam mendakwahkan pemurnian ajaran Islam, praktek-praktek PHBI dan tahlilan di atas jelas termasuk agenda yang ingin mereka berantas. Apabila upaya pemberantasannya tidak mereka lakukan secara santun dan arif maka dapat memicu timbulnya konflik di kalangan
organisasi keagamaan.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
111
Kemungkinan faktor konflik yang lain, menurut penuturan
beberapa pimpinan organisasi keagamaan ada semacam “kekhawatiran” di kalangan sementara para “tokoh/pemuka agama” Islam tertentu akan kehilangan massa pengikut apabila di antara pengikutnya pada umumnya dari kalangan muda tertarik
dengan kelompok keagamaan lain (konfersi organisasi keagamaan). Kondisi demikian jika berkembang dan terjadi eskalasi, dapat menimbulkan konflik.
Di antara masjid-masjid di Kota Mataram ada yang pengisian kegiatan peribadatannya dipercayakan kepada
kelompok keagamaan tertentu dengan maksud untuk memakmurkan masjid. Sementara itu para unsur pengurus masjid tersebut bukan berasal dari/anggota kelompok keagamaan di atas. Hal ini sebagaimana dialami oleh Masjid al-Ikhlas milik Dinas Kesehatan Kota Mataram, yang kegiatan peribadatan di masjid
tersebut pengelolaannya dipercayakan kepada unsur yang kebetulan kelompok Salafi. Akibatnya aktivitas-aktivitas keagamaan di masjid tersebut cenderung bernuansa Salafi. Di antara kegiatan keagamaannya, setiap Selasa sore seminggu sekali ada pengajian oleh tenaga da’i /ustadz dari Salafi. Imam salat
termasuk salat Jum’at berikut khatibnya juga dari unsur Salafi (Sahln, Tokoh masyarakat, Wawancara, Sept. 2011). Kondisi seperti ini dapat meresahkan tokoh dan anggota organisasi keagamaan lain yang berdomisili di lingkungan masjid tersebut sehingga dapat memicu kemungkinan timbulnya konflik di kalangan
organisasi keagamaan.
Terdapatnya para murid/santri yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan milik organisasi/kelompok keagamaan lain, sekalipun dari satu sisi menunjukkan adanya kebersamaan, namun di sisi lain dapat memicu konflik jika ada upaya penanaman ajaran
keagamaan melalui forum pendidikan di lembaga pendidikan
akherat”. Organisasi Muhammadiyah mempunyai tujuan
“menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Sedangkan Salafi mempunyai tujuan “mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah menurut Hadits shahih berdasarkan
pemahaman ulama salaf”. Intinya pemurnian ajaran Islam.
Untuk mencapai tujuan di atas, memang masing-masing organisasi atau kelompok keagamaan menggunakan bentuk dan pola berdakwah yang cenderung sama, yaitu melalui media ceramah, media cetak dan melalui lembaga pendidikan yang
mereka miliki; namun materi dakwah yang disampaikan cenderung mengacu kepada tujuan dan missi masing-masing organisasi, sehingga memungkinkan terjadi benturan kepentingan akibat perbedaan tujuan spesifik di atas yang dapat memicu timbulnya konflik antar organisasi atau kelompok keagamaan.
Organisasi Muhamadiyah dalam upaya mengajak umat Islam untuk menegakkan ajaran Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya misalnya, di antara para da’inya yang tidak dapat memisahkan antara ajaran agama dengan aspek kultural maka menganggap bahwa acara Peringatan
Hari Besar Islam (PHBI) tidak perlu, demikian pula acara tahlilan. Karenanya dalam berdakwah ia akan mengatakan hal demikian dengan alasan tidak ada dasar perintahnya dalam Islam. Praktek dakwah demikian dimungkinkan akan mengundang konflik dengan kelompok agama yang biasa mengadakan acara PHBI dan
tahlilan. Kelompok Salafi yang cenderung lebih tegas dalam mendakwahkan pemurnian ajaran Islam, praktek-praktek PHBI dan tahlilan di atas jelas termasuk agenda yang ingin mereka berantas. Apabila upaya pemberantasannya tidak mereka lakukan secara santun dan arif maka dapat memicu timbulnya konflik di kalangan
organisasi keagamaan.
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
112
tersebut yang tidak sejalan dengan faham keagamaan
murid/santri.
Keberadaan Kelompok Salafi yang diduga mendapat dukungan berupa “dana operasional” dari pihak “luar” sekalipun perorangan yakni dari Kuwait, menjadikan kelompok keagamaan
yang eksistensinya di Kota Mataram relatif tidak besar ini terlihat lambat-laun semakin berkembang. Sebagai kelompok keagamaan yang relatif masih muda usianya di Kota Mataram dibanding dengan Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah keberadaan Kelompok Salafi setidaknya dapat menimbulkan rasa “kurang
bahkan tidak nyaman” bagi para tokoh organisasi keagamaan lain terkait dengan pengaruhnya dalam masyarakat. Ketidak-nyamanan demikian apabila memuncak menjadi ketidak-sukaan, kebencian dan bahkan ancaman, dapat menimbulkan konflik antar kelompok keagamaan.
Dari beberapa kondisi yang memungkinkan timbulnya konflik antar organisasi/kelompok keagamaan di atas, menggambarkan bahwa sekalipun selama ini terlihat nyaris belum pernah terjadi konflik namun sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah berupa konflik laten, yang jika tidak disikapi dan
diantisipasi secara dini bukan mustahil akan dapat menimbulkan konflik manifes.
Potensi Integrasi
Ada beberapa aktivitas dan perilaku dakwah di kalangan organisasi/kelompok keagamaan di atas yang mengindikasikan adanya potensi integrasi di kalangan mereka. Beberapa indikasi dimaksud misalnya tidak adanya dakwah yang
cenderung eksklusif, radikal dan upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk mengikuti ajaran atau pemahaman
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
113
organisasi/kelompok keagamaan tertentu, serta adanya
kebersamaan di bidang pendidikan. Sementara itu, sikap dan perilaku unsur aparat Pemda termasuk Kepolisian yang menunjukkan rasa kebersamaan terhadap organisasi keagamaan yang ada, juga dapat menjadi potensi integrasi.
Tidak adanya organisasi/kelompok keagamaan yang eksklusif dalam kegiatan dakwah, menjadikan setiap kegiatan dakwah yang diadakan baik oleh Organisasi Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah maupun Kelompok Salafi dapat diikuti oleh semua unsur organisasi keagamaan dan itulah kenyataan kegiatan
dakwah di Kota Mataram. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing organisasi keagamaan di atas memiliki masjid-masjid sebagai basis tempat peribadatan dan sentra kegiatan dakwah bagi para anggotanya. Namun karena terbuka untuk umum maka anggota organisasi keagamaan lain dapat
mengikutinya sebagai simpatisan. Selain itu, terdapatnya Masjid Raya Kota Mataram secara tidak langsung dapat menjadi simbol kebersamaan dakwah di kalangan organisasi keagamaan, karena selain para pengurusnya terdiri atas berbagai unsur organisasi keagamaan seperti: NU, NW dan Muhammadiyah, jamaahnya juga
terdiri dari berbagai unsur organisasi keagamaan. Demikian pula para khatib dan imamnya. Bahkan pada setiap bulan Ramadlan, penyelenggaraan salat tarawihnya pun akomodatif, terdiri atas jamaah yang mengikuti faham 8 rakaat dan yang mengikiti faham 20 rakaat.
Di bidang pendidikan, murid-murid/santri di lembaga-lembaga pendidikan milik NW, Muhammadiyah, maupun Salafi tidak hanya terdiri atas murid/santri dari kalangan organisasi yang bersangkutan. Anak-anak dari kalangan organisasi keagamaan lain dapat sekolah di lembaga pendidikan milik NW, Muhammadiyah
maupun Salafi. Hanya saja masing-masing lembaga pendidikan
tersebut yang tidak sejalan dengan faham keagamaan
murid/santri.
Keberadaan Kelompok Salafi yang diduga mendapat dukungan berupa “dana operasional” dari pihak “luar” sekalipun perorangan yakni dari Kuwait, menjadikan kelompok keagamaan
yang eksistensinya di Kota Mataram relatif tidak besar ini terlihat lambat-laun semakin berkembang. Sebagai kelompok keagamaan yang relatif masih muda usianya di Kota Mataram dibanding dengan Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah keberadaan Kelompok Salafi setidaknya dapat menimbulkan rasa “kurang
bahkan tidak nyaman” bagi para tokoh organisasi keagamaan lain terkait dengan pengaruhnya dalam masyarakat. Ketidak-nyamanan demikian apabila memuncak menjadi ketidak-sukaan, kebencian dan bahkan ancaman, dapat menimbulkan konflik antar kelompok keagamaan.
Dari beberapa kondisi yang memungkinkan timbulnya konflik antar organisasi/kelompok keagamaan di atas, menggambarkan bahwa sekalipun selama ini terlihat nyaris belum pernah terjadi konflik namun sesungguhnya yang terjadi saat ini adalah berupa konflik laten, yang jika tidak disikapi dan
diantisipasi secara dini bukan mustahil akan dapat menimbulkan konflik manifes.
Potensi Integrasi
Ada beberapa aktivitas dan perilaku dakwah di kalangan organisasi/kelompok keagamaan di atas yang mengindikasikan adanya potensi integrasi di kalangan mereka. Beberapa indikasi dimaksud misalnya tidak adanya dakwah yang
cenderung eksklusif, radikal dan upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk mengikuti ajaran atau pemahaman
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
114
belum memprogramkan adanya tenaga guru/ustadz dari unsur
organisasi keagamaan lain yang diterima untuk mengajar.
Sikap dan kebijakan Pejabat Pemda (Gubernur) dan pihak kepolisian (Polda) yang akomodatif terhadap Kelompok Salafi dengan mengikutsertakan para tenaga dakwahnya untuk mengisi
pengajian Imtak setiap Jum’at pagi (oleh Pemda Mataram) dan mengisi Bintal kepada anggota polisi (oleh Polda), menunjukkan upaya pembauran sekaligus kebersamaan dengan organisasi keagamaan yang ada.
Sikap sementara kalangan umat Islam yang tergabung
dalam berbagai organisasi keagamaan dan para tokoh agama yang cukup toleran akibat kedewasaan mereka dalam menyikapi perbedaan faham keagamaan dan pengaruh budaya/kearifan lokal “besiru” yakni saling membantu, menolong, kebersamaan ikut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana yang integratif di
kalangan organisasi keagamaan.
Hubungan Antarorganisasi Keagamaan dalam Memelihara
Kerukunan
Dalam kehidupan sosial keagamaan, terdapat hubungan-hubungan antara ketiga organisasi atau kelompok keagamaan yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi baik secara formal maupun informal. Hubungan yang bersifat formal
dan informal antar organisasi atau kelompok keagamaan tersebut setidaknya berpengaruh bagi penciptaan hubungan yang kondusif dan harmonis dalam upaya pemeliharaan kerukunan di kalangan organisasi keagamaan di atas.
Di antara hubungan formal yang tercipta misalnya menghadiri undangan dalam acara resmi yang diadakan
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
115
organisasi keagamaan seperti: peringatan hari lahir organisasi dan
acara hala bi halal. Tradisi mengundang dalam acara-acara di atas biasanya dilakukan oleh Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah. Selain itu, undangan untuk menghadiri acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Acara yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul
Wathan ini selain mengundang unsur Pengurus dan anggota Nahdlatul Wathan serta unsur pejabat Pemda setempat, juga mengundang unsur pimpinan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Salafi.
Adapun hubungan informal yang terjadi adalah lebih
bersifat perorangan dan tidak dikoordinir oleh pengurus organisasi. Sekalipun hubungan yang terjadi lebih bersifat perorangan antar anggota organisasi keagamaan, namun cukup signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap jalinan kerukunan antar anggota organisasi keagamaan yang pada
gilirannya berdampak positif bagi hubungan yang harmonis antar organisasi keagamaan yang bersangkutan. Hubungan bersifat perorangan ini terjadi akibat adanya hubungan kekerabatan, persahabatan atau pertemanan. Bentuk hubungan yang terjadi biasanya ketika menghadiri acara yang berkaitan dengan silkus
hidup seperti: kelahiran, perkawinan, khitanan, kematian, serta menjenguk orang sakit.
Ada pula hubungan yang terjadi antara organisasi keagamaan dengan unsur anggota organisasi keagamaan lainnya. Hubungan yang terjadi misalnya (secara perorangan) menghadiri
acara pengajian atau dakwah yang diselenggarakan oleh kelompok organisasi keagamaan lain, atau menjadi murid sekolah di lembaga pendidikan milik yayasan pendidikan organisasi keagamaan lain. Di Kota Mataram, merupakan hal biasa anak seorang anggota Nahdlatul Wathan sekolah di lembaga
pendidikan milik Yayasan Pendidikan Muhammadiyah ataupun
belum memprogramkan adanya tenaga guru/ustadz dari unsur
organisasi keagamaan lain yang diterima untuk mengajar.
Sikap dan kebijakan Pejabat Pemda (Gubernur) dan pihak kepolisian (Polda) yang akomodatif terhadap Kelompok Salafi dengan mengikutsertakan para tenaga dakwahnya untuk mengisi
pengajian Imtak setiap Jum’at pagi (oleh Pemda Mataram) dan mengisi Bintal kepada anggota polisi (oleh Polda), menunjukkan upaya pembauran sekaligus kebersamaan dengan organisasi keagamaan yang ada.
Sikap sementara kalangan umat Islam yang tergabung
dalam berbagai organisasi keagamaan dan para tokoh agama yang cukup toleran akibat kedewasaan mereka dalam menyikapi perbedaan faham keagamaan dan pengaruh budaya/kearifan lokal “besiru” yakni saling membantu, menolong, kebersamaan ikut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana yang integratif di
kalangan organisasi keagamaan.
Hubungan Antarorganisasi Keagamaan dalam Memelihara
Kerukunan
Dalam kehidupan sosial keagamaan, terdapat hubungan-hubungan antara ketiga organisasi atau kelompok keagamaan yakni Nahdlatul Wathan (NW), Muhammadiyah dan Salafi baik secara formal maupun informal. Hubungan yang bersifat formal
dan informal antar organisasi atau kelompok keagamaan tersebut setidaknya berpengaruh bagi penciptaan hubungan yang kondusif dan harmonis dalam upaya pemeliharaan kerukunan di kalangan organisasi keagamaan di atas.
Di antara hubungan formal yang tercipta misalnya menghadiri undangan dalam acara resmi yang diadakan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
116
Yayasan Pendidikan milik Salafi. Demikian pula, anak seorang
anggota Muhammadiyah sekolah di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Nahdlatul Wathan ataupun Yayasan Pendidikan milik Salafi. Dengan demikian terbina hubungan yang kondusif antara anak murid berikut orang tuanya dengan
organisasi keagamaan yang memiliki yayasan pendidikan tersebut, yang pada gilirannya dapat merajut kerukunan antar organisasi keagamaan, dalam hal ini Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
117
Ditinjau dari segi tujuan, ketiga organisasi keagamaan yakni Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi, masing-masing memiliki tujuan yang relatif tidak sama. Tujuan Organisasi Nahdlatul Wathan adalah meninggikan kalimatullah demi
kejayaan Islam dan kaum, serta keselamatan dan kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut para anggota Nahdlatul Wathan mengamalkan ajaran agama sesuai sesuai interpretasi dan pemahaman keagamaan yang dianut oleh para pemimpin mereka yang bertumpu kepada asas organisasi
yaitu “Islam Ahlussunnah wal Jama’ah ala Madzhabil Imamisy Syafi’i
r.a”. Pemahaman keagamaan dan asas demikian menghasilkanan praktek keagamaan para anggota Nahdlatul Wathan yang cenderung terdapat sisi-sisi yang berbeda dengan dua organisasi
atau kelompok keagamaan lainnya, yakni Muhammadiyah dan Salafi.
Sementara itu Organisasi Muhammadiyah mempunyai tujuan “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut Muhammadiyah mengajak umat Islam terutama para anggotanya untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai yang dicontohkan Nabi
Yayasan Pendidikan milik Salafi. Demikian pula, anak seorang
anggota Muhammadiyah sekolah di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Nahdlatul Wathan ataupun Yayasan Pendidikan milik Salafi. Dengan demikian terbina hubungan yang kondusif antara anak murid berikut orang tuanya dengan
organisasi keagamaan yang memiliki yayasan pendidikan tersebut, yang pada gilirannya dapat merajut kerukunan antar organisasi keagamaan, dalam hal ini Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
118
Muhammad saw. dengan mengusung ajakan kepada umat Islam
untuk tidak mempercayai tahayul, melakukan bid’ah dan khurafat dalam dakwahnya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah manganggap masih ada kalangan umat Islam yang dalam pengamalan ajaran agama di antaranya masih terkontaminasi
dengan perbuatan yang tergolong syirik, bid’ah dan khurafat.
Kelompok Salafi mempunyai tujuan tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, yaitu mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah saw. menurut Hadits Shahih berdasarkan pemahaman ulama salaf. Dapat dikatakan, misi utamanya antara
lain mengajak kepada pemurnian ajaran Islam. Karena itu maka ada tokoh agama yang mengatakan bahwa Kelompok Salafi adalah Muhammadiyah yang ekstrem.
Menyimak bahwa adanya penekanan-penekanan tertentu dalam merumuskan tujuan organisasi oleh tiga organisasi
keagamaan di atas terutama antara Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan Salafi yang tentu saja memberikan dampak terhadap misi dakwah mereka, logis kiranya apabila terjadi persinggungan kalaupun tidak disebut “perbedaan” dalam pengamalan ajaran agama serta materi dakwah yang disampaikan.
Keadaan demikian jelas rentan bagi timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan. Namun kenyataan menunjukkan, hubungan antara ketiga organisasi keagamaan di atas sejauh ini di Kota Mataram terkesan kondusif. Ketiga organisasi keagamaan terlihat rukun. Perbedaan pengamalan aspek tertentu ajaran
agama antara anggota Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan bahkan Salafi, ternyata tidak dibawa ke ranah dakwah yang frontal oleh masing-masing kelompok agama. Tidak adanya unsur pemaksaan untuk mengikuti suatu faham keagamaan, tidak adanya klaim-klaim yang mengarah kepada sikap merasa paling
benar dan yang lain salah, tata cara berdakwah yang disampaikan
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
119
secara santun dan tidak mendiskreditkan organisasi keagamaan
yang lain, serta sikap dewasa dalam menghadapi perbedaan pengamalan ajaran agama, rupanya menjadi kunci utama hubungan antara ketiga organisasi keagamaan di atas kondusif. Jelasnya, sikap integratif dan kompromis dalam berdakwah yang
ditampilkan oleh ketiga organisasi atau kelompok keagamaan, menjadikan ketiga organisasi keagamaan tersebut relatif rukun-rukun saja.
Sikap Organisasi Muhammadiyah yang cenderung kompromis dalam arti tidak menjelek-jelekkan dan memilih diam
dalam menghadapi perbedaan dengan Nahdlatul Wathan, dan demikian juga Nahdlatul Wathan dalam menyikapi perbedaan dengan Muhammadiyah. Sikap demikian menjadikan hubungan mereka kondusif. Posisi Muhammadiyah dan apalagi Salafi yang dari segi jumlah anggota relatif kecil dibanding dengan Nahdlatul
Wathan yang jumlah anggotanya mayoritas di Kota Mataram bahkan di seluruh Nusa Tenggara Barat (NTB), kiranya menjadikan Muhammadiyah dan Kelompok Salafi lebih bersikap “lunak” dalam arti tidak larut dalam faham keagamaan Nahdlatul Wathan. Kelompok Salafi yang dalam tataran amaliyah keagamaan
semestinya lebih tegas menyuarakan pemberantasan perilaku tahayul, bid’ah dan khurafat dalam kegiatan dakwahnya, ternyata juga tidak terlalu menunjukkan sikap yang frontal. Agaknya pengalaman kasus Sekotong – Lombok Barat pada masa yang lalu yakni sekitar tahun 2004-an sekalipun masalah mendasarnya lebih
pada persoalan politik menjadikan kelompok keagamaan ini lebih berhati-hati dalam berdakwah menyebarluaskan faham keagamaannya. Selain itu, terdapatnya sejumlah anak-anak dari unsur anggota Nahdlatul Wathan yang belajar di lembaga pendidikan milik Yayasan Pendidikan Salafi, secara sosial
menimbulkan jalinan hubungan yang kodusif antara kelompok
Muhammad saw. dengan mengusung ajakan kepada umat Islam
untuk tidak mempercayai tahayul, melakukan bid’ah dan khurafat dalam dakwahnya. Dalam konteks ini, Muhammadiyah manganggap masih ada kalangan umat Islam yang dalam pengamalan ajaran agama di antaranya masih terkontaminasi
dengan perbuatan yang tergolong syirik, bid’ah dan khurafat.
Kelompok Salafi mempunyai tujuan tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah, yaitu mengajak umat Islam kembali ke ajaran Rasulullah saw. menurut Hadits Shahih berdasarkan pemahaman ulama salaf. Dapat dikatakan, misi utamanya antara
lain mengajak kepada pemurnian ajaran Islam. Karena itu maka ada tokoh agama yang mengatakan bahwa Kelompok Salafi adalah Muhammadiyah yang ekstrem.
Menyimak bahwa adanya penekanan-penekanan tertentu dalam merumuskan tujuan organisasi oleh tiga organisasi
keagamaan di atas terutama antara Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan Salafi yang tentu saja memberikan dampak terhadap misi dakwah mereka, logis kiranya apabila terjadi persinggungan kalaupun tidak disebut “perbedaan” dalam pengamalan ajaran agama serta materi dakwah yang disampaikan.
Keadaan demikian jelas rentan bagi timbulnya konflik di kalangan organisasi keagamaan. Namun kenyataan menunjukkan, hubungan antara ketiga organisasi keagamaan di atas sejauh ini di Kota Mataram terkesan kondusif. Ketiga organisasi keagamaan terlihat rukun. Perbedaan pengamalan aspek tertentu ajaran
agama antara anggota Nahdlatul Wathan dengan Muhammadiyah dan bahkan Salafi, ternyata tidak dibawa ke ranah dakwah yang frontal oleh masing-masing kelompok agama. Tidak adanya unsur pemaksaan untuk mengikuti suatu faham keagamaan, tidak adanya klaim-klaim yang mengarah kepada sikap merasa paling
benar dan yang lain salah, tata cara berdakwah yang disampaikan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
120
organisasi keagamaan tersebut. Demikian pula antara Nahdlatul
Wathan dengan Muhammadiyah. Kerjasama di bidang pendidikan ini sekalipun tidak secara formal dijalin oleh kedua organisasi keagamaan namun memberikan kontribusi bagi kerukunan di kalangan organisasi keagamaan.
Sekalipun kondisi kerukunan di kalangan organisasi keaga-maan di atas terlihat kondusif dan terjadi suasana yang integratif, namun bukan berarti bahwa di antara ketiga organisasi dan kelompok keagamaan tersebut tidak menyimpan potensi konflik. Keberadaan tiga organisasi atau kelompok keagamaan berikut
anggotanya masing-masing itu sendiri pada dasarnya sudah mengindikasikan adanya perbedaan yang potesial bagi timbulnya konflik. Terdapatnya perbedaan tujuan masing-masing organisasi keagamaan yang secara praktis berbeda dalam misi dan materi dakwah, juga potensial bagi kemungkinan timbulnya konflik.
Belum lagi terdapatnya perbedaan dalam hal pendanaan. Kelompok Salafi yang dana pembangunan gedung Pondok Putra dan Pondok Putri berasal dari sumbangan Kuwait, sedikit banyak dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi organisasi keagamaan lain dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul
Wathan- karena sumbangan seperti itu tidak mereka peroleh. Dengan bentuk bantuan “dari luar” seperti itu dapat menjadikan Kelompok Salafi di Mataram semakin berkembang, yang pada mulanya merupakan kelompok keagamaan yang kecil dari segi jumlah anggota. Perbedaan-perbedaan demikian, sudah barang
tentu menyimpan potensi konflik yang apabila tidak diantisipasi secara dini melalui kegiatan-kegiatan yang dapat memelihara dan menjalin kebersamaan serta mengembangkan sikap saling menghormati dan toleransi antar ketiga organisasi dan kelompok keagamaan di atas, bukan tidak mungkin timbul konflik di
kalangan mereka. Oleh karena itu maka tidaklah keliru jika
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
121
dikatakan bahwa kondisi integratif dalam kehidupan keagamaan
yang tercipta dengan situasi rukun di kalangan ketiga organisasi keagamaan di Kota Mataram di atas sesungguhnya tidak lebih dari “kerukunan yang bersifat sementara” yang tidak dilandasi oleh fondasi yang kuat. Dengan demikian, kondisi kerukunan yang
tercipta adalah “kerukunan semu” atau secara ekstrem berada dalam kondisi “konflik laten”.
organisasi keagamaan tersebut. Demikian pula antara Nahdlatul
Wathan dengan Muhammadiyah. Kerjasama di bidang pendidikan ini sekalipun tidak secara formal dijalin oleh kedua organisasi keagamaan namun memberikan kontribusi bagi kerukunan di kalangan organisasi keagamaan.
Sekalipun kondisi kerukunan di kalangan organisasi keaga-maan di atas terlihat kondusif dan terjadi suasana yang integratif, namun bukan berarti bahwa di antara ketiga organisasi dan kelompok keagamaan tersebut tidak menyimpan potensi konflik. Keberadaan tiga organisasi atau kelompok keagamaan berikut
anggotanya masing-masing itu sendiri pada dasarnya sudah mengindikasikan adanya perbedaan yang potesial bagi timbulnya konflik. Terdapatnya perbedaan tujuan masing-masing organisasi keagamaan yang secara praktis berbeda dalam misi dan materi dakwah, juga potensial bagi kemungkinan timbulnya konflik.
Belum lagi terdapatnya perbedaan dalam hal pendanaan. Kelompok Salafi yang dana pembangunan gedung Pondok Putra dan Pondok Putri berasal dari sumbangan Kuwait, sedikit banyak dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi organisasi keagamaan lain dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul
Wathan- karena sumbangan seperti itu tidak mereka peroleh. Dengan bentuk bantuan “dari luar” seperti itu dapat menjadikan Kelompok Salafi di Mataram semakin berkembang, yang pada mulanya merupakan kelompok keagamaan yang kecil dari segi jumlah anggota. Perbedaan-perbedaan demikian, sudah barang
tentu menyimpan potensi konflik yang apabila tidak diantisipasi secara dini melalui kegiatan-kegiatan yang dapat memelihara dan menjalin kebersamaan serta mengembangkan sikap saling menghormati dan toleransi antar ketiga organisasi dan kelompok keagamaan di atas, bukan tidak mungkin timbul konflik di
kalangan mereka. Oleh karena itu maka tidaklah keliru jika
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
122
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
123
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan berikut:
1) Profil gerakan dakwah di kalangan Nahdlatul Wathan,
Muhammadiyah dan Salafi pada dasarnya tidak jauh berbeda, baik dari segi keorganisasian maupun aktivitas dakwahnya.
2) Dari segi keorganisasian, masing-masing memiliki pimpinan termasuk bidang dakwah yang tergabung dalam suatu kepengurusan, bertugas menjalankan kegiatan-kegiatan
organisasi. Hanya saja, bentuk kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah sacara terstruktur ada mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah kecamatan/desa. Sedangkan kepengurusan Salafi tidak berupa organisasi, hanya berupa wadah berbentuk yayasan
dan tidak terstruktur, tidak mempunyai pemimpin pusat.
3) Dari segi tujuan, pada prinsipnya sama yakni sama-sama ingin meninggikan dan menegakkan Islam dengan pengamalan ajaran-ajaran agama oleh para anggotanya untuk kebahagiaan dunia dan akherat. Namun dalam aktualisasi
ajaran agama, masing-masing organisasi/kelompok
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
124
keagamaan mempunyai penekanan-penekanan dalam aspek
tertentu sehingga menimbulkan adanya ruang perbedaan di kalangan mereka dalam pengamalan dan prakek ubudiyah tertentu.
4) Dari segi keanggotaan, Nahdlatul Wathan (NW) memiliki
anggota jauh lebih besar dibanding dengan Muhammadiyah dan Salafi. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram dan NTB pada umumnya, anggota NW tersebar di berbagai kecamatan. Tidak ada data konkrit jumlah anggota masing-masing organisasi/kelompok keagamaan.
5) Dari segi tenaga dakwah, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan tidak ada program pengkaderan secara khusus, namun para da’i mereka cukup profesional dengan mengetahuan agama yang cukup. Sebagian besar tenaga dakwah mereka tamatan pondok pesantren, sebagian
tamatan perguruan tinggi agama dan bahkan beberapa orang tamatan dari Timur-Tengah.
6) Di bidang aktivitas dakwah, para da’i masing-masing organisasi/ kelompok keagamaan menggunakan metode yang sama dalam berdakwah, yakni: billisan, bil-hal dan bil-
qalam. Tidak ada kegiatan dakwah yang dilakukan secara tertutup (eksklusif) oleh masing-masing organisasi keagamaan. Untuk media dakwah bil-qalam, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan memiliki bulltin dakwah; selain itu ada sebagian para da’i yang mengisi artikel
dakwahnya di media massa/surat kabar daerah Mataram. Untuk dakwah billisan, di samping dilakukan di masjid-masjid dan sentra kegiatan dakwah masing-masing, juga dilakukan melalui stasiun radio dakwah yang mereka miliki seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah. Ada
pula di antara para da’i yang menyampaikan dakwahnya
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
125
lewat pesawat televisi daerah Kota Mataram. Untuk dakwah
bil-hal, para da’i yang juga berprofesi sebagai guru/ustadz melakukannya melalui lembaga pendidikan miliki masing-masing organisasi/lembaga keagamaan, disamping melalui amalan berupa perbuatan untuk dicontoh oleh orang lain.
7) Materi dakwah yang disampaikan di antaranya penguatan keimanan, tentang muammalah dan akhlak, serta peningkatan pengamalan ajaran agama sesuai pemahaman keagamaan masing-masing organisasi/kelompok keagamaan. Pesan-pesan tentang kerukunan disampaikan para da’i disela-
sela ceramah yang materi ceramah/dakwahnya relefan dengan masalah kerukunan. Adapun kitab keagamaan yang dipakai rujukan oleh para da’i beragam. Pada umumnya kitab –kitab klasik karangan para ulama masa lalu.
8) Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh ketiga organisasi/
kelompok keagamaan, ada potensi-potensi konflik dan potensi integrasi.
9) Di antara potensi konflik dimaksud yaitu: (i) Adanya spesifikasi tujuan yang dimiliki masing-masing orgnisasi/kelompok keagamaan dan masing-masing kelompok keagamaan
memiliki ciri pengamalan ajaran keagamaan yang cenderung berbeda dengan kelompok keagamaan lain. Perbedaan tersebut rentan terhadap timbulnya konflik antar organisasi/kelompok keagamaan; (ii) Materi dakwah yang disampaikan oleh para d ‘i cenderung lebih mengacu kepada
tujuan spesifik masing-masing organisasi/kelompok keagamaan, sehingga memungkinkan terjadi benturan materi dakwah sehubungan adanya perbedaan kepentingan yang pada gilirannya memungkinkan timbulnya konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iii) Adanya
semacam “kekhawatiran” dari sementara kalangan
keagamaan mempunyai penekanan-penekanan dalam aspek
tertentu sehingga menimbulkan adanya ruang perbedaan di kalangan mereka dalam pengamalan dan prakek ubudiyah tertentu.
4) Dari segi keanggotaan, Nahdlatul Wathan (NW) memiliki
anggota jauh lebih besar dibanding dengan Muhammadiyah dan Salafi. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Kota Mataram dan NTB pada umumnya, anggota NW tersebar di berbagai kecamatan. Tidak ada data konkrit jumlah anggota masing-masing organisasi/kelompok keagamaan.
5) Dari segi tenaga dakwah, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan tidak ada program pengkaderan secara khusus, namun para da’i mereka cukup profesional dengan mengetahuan agama yang cukup. Sebagian besar tenaga dakwah mereka tamatan pondok pesantren, sebagian
tamatan perguruan tinggi agama dan bahkan beberapa orang tamatan dari Timur-Tengah.
6) Di bidang aktivitas dakwah, para da’i masing-masing organisasi/ kelompok keagamaan menggunakan metode yang sama dalam berdakwah, yakni: billisan, bil-hal dan bil-
qalam. Tidak ada kegiatan dakwah yang dilakukan secara tertutup (eksklusif) oleh masing-masing organisasi keagamaan. Untuk media dakwah bil-qalam, masing-masing organisasi/lembaga keagamaan memiliki bulltin dakwah; selain itu ada sebagian para da’i yang mengisi artikel
dakwahnya di media massa/surat kabar daerah Mataram. Untuk dakwah billisan, di samping dilakukan di masjid-masjid dan sentra kegiatan dakwah masing-masing, juga dilakukan melalui stasiun radio dakwah yang mereka miliki seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Wathan dan Muhammadiyah. Ada
pula di antara para da’i yang menyampaikan dakwahnya
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
126
“tokoh/pemuka agama” tertentu akan kehilangan massa
pengikut apabila di antara pengikutnya yang pada umumnya terdiri atas kaum muda tertarik mengikuti kelompok keagamaan lain (konfersi organisasi keagamaan). Perasaan khawatir ini jika berkembang dan memuncak/terjadi
eskalasi, maka dapat menimbulkan konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iv) Di antara masjid di Kota Mataram ada yang pengelolaan kegiatan keagamaannya dipercayakan kepada kelompok keagamaan tertentu untuk memakmurkan masjid yang bersangkutan. Akibatnya
kegiatan peribadatan dan aktivitas keagamaan di masjid itu diwarnai oleh faham keagamaan pengelolanya. Sementara itu unsur pengurus dan jamaah sekitar masjid terdiri atas orang-orang yang bukan pengikut kelompok keaagamaan tertentu tersebut. Sekalipun hingga saat sekarang belum pernah ada
keberatan dari pihak pengurus masjid maupun jamaah sekitar, namun kondisi demikian pada suatu saat dapat meresahkan jamaah sekitar masjid yang kebetulan tidak sefaham dengan pengelola masjid sehingga dapat memicu timbunya konflik di kalangan internal umat Islam; (v)
Terdapatnya anak-anak dari organisasi/kelompok keagamaan tertentu yang belajar di lembaga pendidikan milik kelompok keagamaan lain, apabila dipengaruhi untuk mengikuti faham keagamaan yang dianut oleh organisasi/kelompok keagamaan lembaga pendidikan tersebut maka dapat
memicu timbulnya konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan.
10) Potensi integrasi atau kerukunan di antaranya yaitu: (i) Tidak adanya praktek dakwah yang eksklusif, radikal, yang mengarah kepada pemaksaan dari organisasi/kelompok
keagamaan tertentu untuk mengikuti faham keagamaan
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
127
mereka; (ii) Adanya masjid yaitu Masjid Raya Kota Mataram
yang menjadi simbol kebersamaan dalam beribadah di kalangan umat Islam. Unsur pengurus dan jamaah masjid ini terdiri atas berbagai unsur organisasi/kelompok keagamaan yang ada di Kota Mataram dan mengakomodasikan faham
keagamaan yang berbeda di kalangan umat Islam; (iii) Adanya kebersamaan di bidang pendidikan dan sosial di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iv) Sikap Pemda Kota Mataram yang melibatkan secara bersama unsur organisasi/kelompok keagamaan yang ada di wilayahnya
dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan; dan (v) Sikap toleran, saling menghargai dan saling menghormati di kalangan umat Islam yang berbeda organisasi/lembaga keagamaan.
11) Upaya-upaya yang dilakukan oleh ketiga organisasi/kelompok
keagamaan untuk pemeliharaan kerukunan:
12) Pada dasarnya tidak terlihat ada indikasi dari ketiga organisasi/kelompok keagamaan yang secara proaktif berupaya untuk pemeliharaan kerukunan di kalangan mereka. Namun ada beberapa kegiatan keagamaan dan sosial yang
secara tidak langsung dapat menimbulkan penguatan hubungan untuk menciptakan kerukunan. Kegiatan dimaksud antara lain:
(a) Adanya kebersamaan di bidang pendidikan di kalangan organisasi/kelompok keagamaan;
(b) Adanya kebersamaan di bidang kegiatan keagamaan termasuk bidang dakwah;
(c) Adanya kebersamaan di bidang sosial termasuk acara dalam kaitannya dengan siklus hidup; dan
“tokoh/pemuka agama” tertentu akan kehilangan massa
pengikut apabila di antara pengikutnya yang pada umumnya terdiri atas kaum muda tertarik mengikuti kelompok keagamaan lain (konfersi organisasi keagamaan). Perasaan khawatir ini jika berkembang dan memuncak/terjadi
eskalasi, maka dapat menimbulkan konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan; (iv) Di antara masjid di Kota Mataram ada yang pengelolaan kegiatan keagamaannya dipercayakan kepada kelompok keagamaan tertentu untuk memakmurkan masjid yang bersangkutan. Akibatnya
kegiatan peribadatan dan aktivitas keagamaan di masjid itu diwarnai oleh faham keagamaan pengelolanya. Sementara itu unsur pengurus dan jamaah sekitar masjid terdiri atas orang-orang yang bukan pengikut kelompok keaagamaan tertentu tersebut. Sekalipun hingga saat sekarang belum pernah ada
keberatan dari pihak pengurus masjid maupun jamaah sekitar, namun kondisi demikian pada suatu saat dapat meresahkan jamaah sekitar masjid yang kebetulan tidak sefaham dengan pengelola masjid sehingga dapat memicu timbunya konflik di kalangan internal umat Islam; (v)
Terdapatnya anak-anak dari organisasi/kelompok keagamaan tertentu yang belajar di lembaga pendidikan milik kelompok keagamaan lain, apabila dipengaruhi untuk mengikuti faham keagamaan yang dianut oleh organisasi/kelompok keagamaan lembaga pendidikan tersebut maka dapat
memicu timbulnya konflik di kalangan organisasi/kelompok keagamaan.
10) Potensi integrasi atau kerukunan di antaranya yaitu: (i) Tidak adanya praktek dakwah yang eksklusif, radikal, yang mengarah kepada pemaksaan dari organisasi/kelompok
keagamaan tertentu untuk mengikuti faham keagamaan
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
128
(d) Praktek dakwah oleh masing-masing organisasi/
kelompok keagamaan yang dilakukan secara santun, menghormati perbedaan pengamalan ajaran agama dan lebih mengedepankan sikap toleran.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, direkomendasikan
berikut:
1) Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya eskalasi konflik yang selama ini berupa konflik laten di kalangan organisasi/ kelompok keagamaan yakni: Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi di Kota Mataram, diharapkan
Pimpinan Kementerian Agama Kota Mataram mengupayakan penangkalan terhadap kemungkinan timbulnya konflik manifest. Upaya yang dilakukan misalnya melakukan kegiatan kerjasama secara terprogram, dialog atau temu tokoh/pimpinan organisasi/kelompok keagamaan untuk
penguatan kerukunan di kalangan internal umat Islam.
2) Kantor Kementerian Agama Kota Mataram bekerjasama dengan instansi terkait dan para tokoh/pimpinan organisasi/lembaga keagamaan diharapkan memfasilitasi organisasi/kelompok keagamaan terkait untuk melakukan kegiatan pengembangan
dan penguatan potensi-potensi integrasi yang telah mereka miliki dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan organisasi/kelompok keagamaan, meliputi Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
Dakwah Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Gerakan Salafi di Kota Mataram ...
129
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, 1995, Dasar-Dasar Aqidah
Para Imam Salaf (Ahlussunnah wal Jamaah), Judul Asli: Mujmal I’tiqad Aimmati As Salaf, Penerjemah: Nabhani Idris, Gema Insani Press, Cet. Pertama.
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, Edisi Revisi V, Cet. Keduabelas.
Asnawati, 2007, Pandangan Masyarakat tentang Penyiaran Agama
di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dalam Jurnal Harmoni, Vol. VI. Nomor 24, Oktober-Desember 2007, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
Bagus, Ida Mantra, 2004, Filsafat Studi dan Metode Studi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Budiman, Aris, et.all (Ed.), 2002, Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, (Judul Asli: Research Design, Qualitative &
Quantitative Approaches oleh John W. Creswell), Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cet. Kedua.
Ma’arif, Bambang, S., 2010, Komunikasi Dakwah, Paradigma Untuk
Aksi, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, Cet. Pertama.
(d) Praktek dakwah oleh masing-masing organisasi/
kelompok keagamaan yang dilakukan secara santun, menghormati perbedaan pengamalan ajaran agama dan lebih mengedepankan sikap toleran.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, direkomendasikan
berikut:
1) Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya eskalasi konflik yang selama ini berupa konflik laten di kalangan organisasi/ kelompok keagamaan yakni: Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi di Kota Mataram, diharapkan
Pimpinan Kementerian Agama Kota Mataram mengupayakan penangkalan terhadap kemungkinan timbulnya konflik manifest. Upaya yang dilakukan misalnya melakukan kegiatan kerjasama secara terprogram, dialog atau temu tokoh/pimpinan organisasi/kelompok keagamaan untuk
penguatan kerukunan di kalangan internal umat Islam.
2) Kantor Kementerian Agama Kota Mataram bekerjasama dengan instansi terkait dan para tokoh/pimpinan organisasi/lembaga keagamaan diharapkan memfasilitasi organisasi/kelompok keagamaan terkait untuk melakukan kegiatan pengembangan
dan penguatan potensi-potensi integrasi yang telah mereka miliki dalam upaya peningkatan kerukunan di kalangan organisasi/kelompok keagamaan, meliputi Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Salafi.
Bashori A Hakim dan Muh. Khafidz
130
Malik, Latief, HA., 1993, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di
Sumbawa, Surabaya, Penerbit: Rinta.
Muhsin, Syaikh Abdul al-Abbad al-Badr, 2009, Lembutnya Dakwah
Ahlus Sunnah, Judul Asli: Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis
Sunah, Penerjemah: Ali Musri Semjan Putra, Cileungsi-Bogor, Pustaka Darul Ilmi, Cet. Ketiga.
Nu’man, Abdul Hayyi & Mugni, Sn., 2005, Mengenal Mahdlatul
Wathan, Selong, Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, Cet. Ketiga.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lombok Barat, 2009, (Naskah)
Merajut Perjalanan Muhammadiyah Lombok Barat ,
Narmada, PDM Lombok Barat.
Ramadhani, ‘Abdul Malik bin Ahmad, 2009, Pilar Utama Dakwah
Salafiyyah, Judul Asli: Sittu Durar Min Ushuuli Ahlil Atsar, Penerjemah: Mubarak BM. Bamuallim, Jakarta, Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, Cet.Ketiga.
Syaukani, Imam, 2007, Aliran Sempalan, Dakwah dan Peran Ulama,
dalam Jurnal Harmoni, Vol.VI, Nomor 24, Oktober-Desember 2007, Jakarta, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
Taslim, Abdullah, 2011, Agungnya Istighatsah Pada Allah, Menyibak
Tirai Samar Praktek Kesyirikan, (Bulltin Dakwah) al-Hujjah,
Vol.: 054/Thn. XI/Dzulqo’dah-1432H, Mataram, Bidang Dakwah Yayasan al-Hunafa’ Mataram.
Zulkifli, M., 2005, Menguak Tabir Dakwah Kontemporer, dalam Jurnal Harmoni, Vol.IV, Nomor 14, April-Juni 2005, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan
Diklat, Kementerian Agama RI.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
131
Malik, Latief, HA., 1993, Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di
Sumbawa, Surabaya, Penerbit: Rinta.
Muhsin, Syaikh Abdul al-Abbad al-Badr, 2009, Lembutnya Dakwah
Ahlus Sunnah, Judul Asli: Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis
Sunah, Penerjemah: Ali Musri Semjan Putra, Cileungsi-Bogor, Pustaka Darul Ilmi, Cet. Ketiga.
Nu’man, Abdul Hayyi & Mugni, Sn., 2005, Mengenal Mahdlatul
Wathan, Selong, Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, Cet. Ketiga.
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lombok Barat, 2009, (Naskah)
Merajut Perjalanan Muhammadiyah Lombok Barat ,
Narmada, PDM Lombok Barat.
Ramadhani, ‘Abdul Malik bin Ahmad, 2009, Pilar Utama Dakwah
Salafiyyah, Judul Asli: Sittu Durar Min Ushuuli Ahlil Atsar, Penerjemah: Mubarak BM. Bamuallim, Jakarta, Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, Cet.Ketiga.
Syaukani, Imam, 2007, Aliran Sempalan, Dakwah dan Peran Ulama,
dalam Jurnal Harmoni, Vol.VI, Nomor 24, Oktober-Desember 2007, Jakarta, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
Taslim, Abdullah, 2011, Agungnya Istighatsah Pada Allah, Menyibak
Tirai Samar Praktek Kesyirikan, (Bulltin Dakwah) al-Hujjah,
Vol.: 054/Thn. XI/Dzulqo’dah-1432H, Mataram, Bidang Dakwah Yayasan al-Hunafa’ Mataram.
Zulkifli, M., 2005, Menguak Tabir Dakwah Kontemporer, dalam Jurnal Harmoni, Vol.IV, Nomor 14, April-Juni 2005, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan
Diklat, Kementerian Agama RI.
DAKWAH MAJELIS TAFSIR AL-QUR’AN, JAMURA, DAN MUHDAMMADIYAHDI KOTA SURAKARTA,PROVINSI JAWA TENGAH
Oleh: Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
IV
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
132
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
133
Latar Belakang
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman
bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya
kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya.
Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia
berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan
sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
134
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid11, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.12
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
11 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara
Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
12 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
135
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan
untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu.
Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan
yang berhadapan diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat
tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting,
dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus
berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam.
Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan?) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya
masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal
dakwah Islam.
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid11, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.12
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
11 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara
Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
12 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
136
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.13 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah
13 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul_Ulama
diunduh tanggal 9 Mei 2011.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
137
Muhammadiyah.14 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya ratusan
juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.15 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah yang
cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam gerakan dakwah,
baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksis organisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan pemeliharaan
kerukunan intern umat beragama (Islam).
Permasalahan
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian yaitu (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat?; (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah?; (3) Bagaimana upaya para pelaku
dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
14 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringan-
muhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011. 15 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam
Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.13 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah
13 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul_Ulama
diunduh tanggal 9 Mei 2011.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
138
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan
peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat; (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah; (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeli-haraan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah
berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu.
Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan
kesamaan agama Islam, seperti: NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, tercakup pula kelompok/gerakan keagamaan yang non-ormas, seperti: Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah
kelompok tarekat.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
139
Sedangkan kerukunan umat beragama, sebagaimana
didefinisikan di dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kerangka Konseptual
Dakwah by nature berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah).
Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi (mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media
dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada
identitas para pelaku dakwah penting untuk memberikan latar atas asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap manifest keberagamaan, misalnya.
Demikian juga, ada kaitan erat antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan karakter sikap anggotanya.
Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan
(comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan
peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat; (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah; (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeli-haraan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah
berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu.
Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan
kesamaan agama Islam, seperti: NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, tercakup pula kelompok/gerakan keagamaan yang non-ormas, seperti: Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah
kelompok tarekat.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
140
adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas,
yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antar umat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti
dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antar umat beragama.
Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah
‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take
and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran
dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan
yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai
efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Editor), Islam dan
Radikalisme di Indonesia.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
141
2) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic
Activism: A Social Movement Theory Approach16 , sesuai judulnya, memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan
sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam (gerakan islam) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang
hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual.
3) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,17 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi-radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI,
dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi-radikal itu
ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.
4) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam:
Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,18 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus
16 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach,
USA: Indiana University Press, 2004. 17 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004. 18 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas,
yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antar umat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti
dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antar umat beragama.
Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah
‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take
and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran
dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan
yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai
efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Editor), Islam dan
Radikalisme di Indonesia.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
142
dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak
memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya.
5) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam19 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan
memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah, seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang menganut ideologi totalitarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis atas ambisi politisnya.
6) Tolkhah (dkk), Budaya Damai Masyarakat Karimunjawa, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2010. Hasil penelitian ini menemukan beberapa unsur lokal yang membentuk budaya damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur
dimaksud, (pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat
identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas Jawa-Madura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multi-languages ini tidak hanya terjadi dalam
19 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
143
pergaulan sosial antar warga, akan tetapi juga banyak terjadi
dalam satu keluarga yang terdiri dari etnik yang beragam. Kelima, pendidikan keragaman. Di Karimunjawa, pendidikan keragaman telah diperkenalkan oleh orang tua sejak dini khususnya bagi mereka yang melakukan perkawinan antar
etnik. Dalam pendidikan formal sekolah, guru-guru yang multi etnik mengajar murid-murid yang multi etnik pula. Keenam, kearifan lokal, seperti budaya wirang, budaya penyelesaian sengketa non-pengadilan, gotong royong dan mitos-mitos. Mitos-mitos itu dipahami sebagai pendorong upaya mereka
untuk secara kolektif menjaga kelestarian sejarah dan lingkungan mereka serta berfungsi sebagai peneguh identitas mereka. Mitos-mitos yang masih bertahan antara lain mitos pohon dewandaru, mitos pohon sitigi, mitos air Mbah Hasan, mitos Mustaka Masjid Amir Hasan.
7) Musahadi (dkk), Segregasi Etno-Religius di Pulau Lombok (Studi
Identifikasi atas Potensi-potensi yang dapat Dikembangkan untuk
Resolusi Konflik dan Pengembangan Damai, Semarang,
Walisongo Mediation Center, 2009. Segregasi etno-religius di wilayah Lombok, khususnya di Mataram terjadi karena migrasi penduduk dan juga merupakan implikasi dari penerapan kebijakan politik kerajaan Hindu Karangasem Mataram yang berkuasa selama 1,5 abad. Kebijakan itu antara lain dalam
bentuk mempertahankan stratifikasi sosial masyarakat dalam pemukiman, sehingga melahirkan komunitas Hindu-Bali sebagai komunitas bangsawan dan komunitas Sasak-Islam sebagai kelompok rakyat kelas bawah. Warisan sejarah itu menjadi hambatan psikologis-sosial kedua komunitas tersebut
untuk berinteraksi secara terbuka dan saling mempercayai. Segregasi etno-religius berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama ketika ada pemicu yang berkaitan dengan sentimen
dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak
memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya.
5) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam19 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan
memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah, seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang menganut ideologi totalitarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis atas ambisi politisnya.
6) Tolkhah (dkk), Budaya Damai Masyarakat Karimunjawa, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2010. Hasil penelitian ini menemukan beberapa unsur lokal yang membentuk budaya damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur
dimaksud, (pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat
identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas Jawa-Madura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multi-languages ini tidak hanya terjadi dalam
19 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
144
etnis dan agama. Namun, tidak berarti tidak ada potensi di
dalamnya untuk pengembangan interaksi damai antara kedua komunitas itu. Potensi damai berkembang melalui local wisdom, seperti tradisi nyongkol, tradisi saling ngejot dan saling besila’ antara kedua komunitas tersebut.
8) Djamaluddin Darwis dan Imam Taufiq, Human Security dalam
Relasi Dayak-Madura, Studi Atas Kearifan lokal Desa Korek
Pontianak, Kalimantan Barat, Semarang: Walisongo Mediation
Center, 2009. Hasil temuan penelitian ini dapat mengungkapkan potret keharmonisan relasi etnis yang terbentuk antara Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Peran tokoh Adat yang menonjol dari etnis Madura dan Dayak, serta dukungan dari pemerintah telah memberi kontribusi
signifikan dalam membangun integrasi sosial di lokasi penelitian. Para tokoh dari masing-masing etnis berperan sebagai katalisator informasi dan problem solver terhadap persoalan yang timbul di masyarakat. Ada dua pola resolusi konflik yang digunakan. Pola kuratif mengambil bentuk
implementasi hukum adat yang mengikat para pihak sedang pola preventif berbentuk usaha membangun komunikasi intensif di kalangan tokoh adat, agama dan masyarakat luas.
9) Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama,
Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini
meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
145
lain peristiwa konflik antara Umar bin Khaththab dengan
Fatimah; konflik Umar bin Khaththab dengan Khalid bin Walid. Penyelesaian atas konflik komunal, misalnya konflik Umar bin Khaththab dengan kerumunan umat Islam; konflik antar warga Madinah terkait tempat tinggal Nabi di Madinah; konflik
kepala-kepala suku Makkah dalam peletakan hajar Aswad; konflik antara Muhajirin dan Anshar; konflik suku Aus dan Khajrat di Madinah; konflik warga Madinah dengan bani Mustaliq. Penyelesaian atas konflik dalam keluarga, seperti konflik nabi dengan Aisyah dan konflik antar istri-istri nabi.
Institusi pencegahan konflik yang direkonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari hilful fudul dan piagam Madinah.
10) M Mukhsin Jamil (dkk), Reintegrasi Mantan Kombatan dan
Transformasi Konflik di Aceh Pasca MOU Helsinki, Semarang:
Walisongo Mediation Center, 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses reintegrasi damai di Aceh telah mengakibatkan penguatan lembaga adat dan agama. Hal ini sekaligus sebagai hasil dari keterlibatan panjang tokoh adat dan agama dalam proses perjuangan perdamaian di Aceh.
Mereka telah terlibat dalam inisiasi dan proses perdamaian di Aceh baik melalui lembaga-lembaga adat, agama maupun secara individu.
11) Muhammad Sulthon dan Solihan, Dimensi Politis Dalam Konflik
Keagamaan di Indonesia, Studi Kasus Terhadap Pendirian Gereja
Pantekosta di Indonesia (GpdI) Jemaat Hosana Ngaliyan
Semarang, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 dan 8/2007 tentang pendirian tempat ibadah sulit dipenuhi oleh kelompok minoritas. Kelompok beragama minoritas, karena tuntutan agamanya, mereka kemudian menempuh jalan pintas dalam
etnis dan agama. Namun, tidak berarti tidak ada potensi di
dalamnya untuk pengembangan interaksi damai antara kedua komunitas itu. Potensi damai berkembang melalui local wisdom, seperti tradisi nyongkol, tradisi saling ngejot dan saling besila’ antara kedua komunitas tersebut.
8) Djamaluddin Darwis dan Imam Taufiq, Human Security dalam
Relasi Dayak-Madura, Studi Atas Kearifan lokal Desa Korek
Pontianak, Kalimantan Barat, Semarang: Walisongo Mediation
Center, 2009. Hasil temuan penelitian ini dapat mengungkapkan potret keharmonisan relasi etnis yang terbentuk antara Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Peran tokoh Adat yang menonjol dari etnis Madura dan Dayak, serta dukungan dari pemerintah telah memberi kontribusi
signifikan dalam membangun integrasi sosial di lokasi penelitian. Para tokoh dari masing-masing etnis berperan sebagai katalisator informasi dan problem solver terhadap persoalan yang timbul di masyarakat. Ada dua pola resolusi konflik yang digunakan. Pola kuratif mengambil bentuk
implementasi hukum adat yang mengikat para pihak sedang pola preventif berbentuk usaha membangun komunikasi intensif di kalangan tokoh adat, agama dan masyarakat luas.
9) Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama,
Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini
meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
146
pendirian tempat ibadah. Sementara itu, kelompok mayoritas
menjadikan aturan itu untuk membenarkan tindakan mereka dalam mencegah pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung lain untuk tempat ibadah. Penelitian mendeskripsikan bagaimana pihak-pihak yang berkonflik
terkait dengan pendirian tempat ibadah Gereja Pantekosta di Ngaliyan, dapat menemukan penyelesaiannya dalam suatu rapat warga yang difasilitasi oleh lembaga RW (Rukun Warga). Deskripsi itu membuktikan bahwa di lingkungan masyarakat masih berkembang sikap toleransi antar umat beragama.
12) Mustain (dkk), Memahami Konflik dalam Pembangunan Bandara
Internasional Lombok (BIL), Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Konflik terkait pembangunan bandara internasional di Lombok melibatkan para petani pemilik lahan
yang enggan menjual tanahnya dengan pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Petani menolak menjual tanahnya didasarkan pada tradisi yang berakar pada konsep Gumi Paer
dan keyakinan tradisional masyarakat Sasak, bahwa tanah yang akan dijadikan lahan bandara itu dinilai sebagai tanah atho’.
Konsep Gumi Paer menilai tercela anak keturunan yang menjual tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Di samping itu, berkembang pula keyakinan bahwa tanah yang dipilih oleh Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat
tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training
Skills. Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya
dapat menyelesaikan konflik.
Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
147
dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat
Islam di Indonesia. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Metode Penelitian
Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara mendalam.
Bahan pustaka tentang gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan data melalui wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara. Yang diwawancarai di setiap lokasi adalah para informan kunci (key informan) yang terdiri atas
anggota/pimpinan struktural dan kultural pada ormas-ormas Islam dan/atau gerakan keagamaan yang dinilai diikuti banyak umat Islam di lokasi penelitian, ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai memiliki potensi konflik dan integratif dengan ormas besar itu. Selain itu, pihak otoritas seperti Kementerian Agama dan
Pemerintah Daerah (Kesbanglinmas) serta FKUB juga diwawancarai sebagai informan.
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Solo, Jawa Tengah; Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya kekhasan karakter masyarakat dan pola dakwah Islam yang mungkin dilakukan di tempat-tempat tersebut. Dalam pelaksanaannya, meski penentuan
pendirian tempat ibadah. Sementara itu, kelompok mayoritas
menjadikan aturan itu untuk membenarkan tindakan mereka dalam mencegah pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung lain untuk tempat ibadah. Penelitian mendeskripsikan bagaimana pihak-pihak yang berkonflik
terkait dengan pendirian tempat ibadah Gereja Pantekosta di Ngaliyan, dapat menemukan penyelesaiannya dalam suatu rapat warga yang difasilitasi oleh lembaga RW (Rukun Warga). Deskripsi itu membuktikan bahwa di lingkungan masyarakat masih berkembang sikap toleransi antar umat beragama.
12) Mustain (dkk), Memahami Konflik dalam Pembangunan Bandara
Internasional Lombok (BIL), Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Konflik terkait pembangunan bandara internasional di Lombok melibatkan para petani pemilik lahan
yang enggan menjual tanahnya dengan pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Petani menolak menjual tanahnya didasarkan pada tradisi yang berakar pada konsep Gumi Paer
dan keyakinan tradisional masyarakat Sasak, bahwa tanah yang akan dijadikan lahan bandara itu dinilai sebagai tanah atho’.
Konsep Gumi Paer menilai tercela anak keturunan yang menjual tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Di samping itu, berkembang pula keyakinan bahwa tanah yang dipilih oleh Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat
tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training
Skills. Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya
dapat menyelesaikan konflik.
Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
148
ormas atau gerakan keagamaan ini sangat tergantung realitas
lapangan, namun ormas atau gerakan dominan itu harus disertakan sebagai salah satu pihak yang diteliti. Maka, setidaknya ada tiga kategori/pihak ormas atau gerakan keagamaan yang diteliti di setiap lokasi itu, yakni: (1) Ormas atau gerakan keagamaan yang
dinilai dominan; (2) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai berpotensi bergesekan/berkonflik dengan ormas dominan atau gerakan keagamaan itu; dan (3) Ormas atau gerakan keagamaan yang relatif memiliki potensi integratif/damai dengan ormas atau gerakan keagamaan yang dominan itu. Pada prinsipnya, lebih
banyak pihak (ormas atau gerakan keagamaan) dikaji, akan lebih baik menggambarkan dinamika hubungan antar para pelaku dakwah ini.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
149
Geografis dan Demografis
Kota Surakarta terletak antara 1100 45’ 15” dan 1100 45’ 35” Bujur Timur dan antara 70 36’ dan 70 56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun
Yogyakarta.
Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo” merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut. Solo berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Boyolali, sebelah Timur dengan Kabupaten
Karanganyar, sebelah selatan dengan Kabupaten Sukoharjo. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 Km² yang terbagi dalam 5 kecamatan yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 60% lebih.
ormas atau gerakan keagamaan ini sangat tergantung realitas
lapangan, namun ormas atau gerakan dominan itu harus disertakan sebagai salah satu pihak yang diteliti. Maka, setidaknya ada tiga kategori/pihak ormas atau gerakan keagamaan yang diteliti di setiap lokasi itu, yakni: (1) Ormas atau gerakan keagamaan yang
dinilai dominan; (2) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai berpotensi bergesekan/berkonflik dengan ormas dominan atau gerakan keagamaan itu; dan (3) Ormas atau gerakan keagamaan yang relatif memiliki potensi integratif/damai dengan ormas atau gerakan keagamaan yang dominan itu. Pada prinsipnya, lebih
banyak pihak (ormas atau gerakan keagamaan) dikaji, akan lebih baik menggambarkan dinamika hubungan antar para pelaku dakwah ini.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
150
Luas Penggunaan Tanah Tiap Kecamatan di Kota Surakarta
Tahun 2009
Kecamatan Perumahan Jasa Perusahaan Industri Tanah Tegalan Laweyan 563,83 88,61 42,20 39,40 7,28 0,00 Serengan 210,43 17,17 30,16 6,11 2,52 0,00 Pasar Kliwon 308,94 37,69 39,73 9,77 16,38 0,00 Jebres 673,37 176,75 87,00 25,38 16,19 81,46 Banjarsari 980,91 106,91 88,39 20,76 11,01 2,50 Jumlah 2.737,48 427,13 287,48 101,42 53,38 83,96
Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20 % dari luas lahan
yang ada. Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,70 C sampai dengan 27,90 C. sedangkan kelembaban udara berkisar antara 64 persen sampai dengan 85 persen.
Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta tercatat sebanyak 500.642, dimana
jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yakni 257.279 jiwa perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, sejumlah 157.438 jiwa atau 31,45 persen.
Jumlah Penduduk Surakarta Menurut Kecamatan
Tahun 2010
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Laweyan 41.912 44.403 86.315 Serengan 21.246 22.874 44.120 Pasar Kliwon 36.653 37.492 74.145 Jebres 66.848 71.776 138.624 Banjarsari 76.704 80.734 157.438 Kota Surakarta 243.363 257.279 500.642
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
151
Sedangkan Serengan merupakan kecamatan dengan jumlah
penduduk paling sedikit sebesar 8,81 persen atau 44.120 jiwa. Dengan luas wilayah 44,04 Km² membuat tingkat kepadatan penduduk di Kota Surakarta sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa Tengah, yaitu sebesar 11.137 jiwa/Km².
Adapun kecamatan yang paling tinggi kepadatannya adalah Kecamatan Pasar Kliwon dengan tingkat kepadatan sebesar 15.383 jiwa/Km², sedangkan terendah 10.002 jiwa/Km² pada kecamatan Laweyan. Dengan kondisi demikian merupakan PR (Pekerjaan Rumah) yang besar bagi Pemrintah Kota Surakarta untuk
menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk masyarakat Kota Surakarta. Belum lagi dengan adanya keberadaan kaum communiters yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan penduduk Kota Surakarta sendiri.
Kepadatan Penduduk Kota Surakarta Menurut Kecamatan
Tahun 2010
Kecamatan Luas Wilayah
(Km²)
Penduduk Kepadatan Penduduk
Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjasari
8.63 3.19 4.82
12.58 14.81
86,315 44,120 74,145
138,624 157,438
10,001,74 13,830,72 15,382,78 11,019,40 10,630,52
Kota Surakarta 44.03 500.642 11,370,47
Kehidupan Sosial Budaya
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Tengah. Dengan mengusung slogan “Solo the Spirit of Java”
bukan suatu yang berlebihan, karena kota ini mampu menjadi
Luas Penggunaan Tanah Tiap Kecamatan di Kota Surakarta
Tahun 2009
Kecamatan Perumahan Jasa Perusahaan Industri Tanah Tegalan Laweyan 563,83 88,61 42,20 39,40 7,28 0,00 Serengan 210,43 17,17 30,16 6,11 2,52 0,00 Pasar Kliwon 308,94 37,69 39,73 9,77 16,38 0,00 Jebres 673,37 176,75 87,00 25,38 16,19 81,46 Banjarsari 980,91 106,91 88,39 20,76 11,01 2,50 Jumlah 2.737,48 427,13 287,48 101,42 53,38 83,96
Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar juga yaitu berkisar antara 20 % dari luas lahan
yang ada. Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,70 C sampai dengan 27,90 C. sedangkan kelembaban udara berkisar antara 64 persen sampai dengan 85 persen.
Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta tercatat sebanyak 500.642, dimana
jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yakni 257.279 jiwa perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, sejumlah 157.438 jiwa atau 31,45 persen.
Jumlah Penduduk Surakarta Menurut Kecamatan
Tahun 2010
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Laweyan 41.912 44.403 86.315 Serengan 21.246 22.874 44.120 Pasar Kliwon 36.653 37.492 74.145 Jebres 66.848 71.776 138.624 Banjarsari 76.704 80.734 157.438 Kota Surakarta 243.363 257.279 500.642
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
152
Trend Setter bagi kota/kabupaten lainnya terutama di sekitar kota
solo, dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi. Walaupun Kota Surakarta hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan saja, kota ini menyimpan potensi yang luar biasa.
Usia muda dan produktif, merupakan penduduk yang
menghuni kota Surakarta. Usia 20 sampai 24 tahun merupakan jumlah terbanyak. Kota Solo yang merupakan magnet bagi dunia pendidikan dan bisnis ternyata telah mendorong terjadinya penumpukan di kelompok usia tersebut. Berbagai sarana perekonomian menyebabkan penduduk dari luar kota ikut
bersaing dan menghuni di Kota Solo. Demikian pula dalam hal pendidikan. Adanya berbagai macam perguruan tinggi mendorong orang di luar kota tinggal di kota bengawan ini.
Penduduk Usia 15 + Menurut Kelompok Umur Di Kota Surakarta Tahun 2009
Kelompok Usia
Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan
15 – 19 20 - 24 25 - 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 -69 70 – 74 75 – 79
80 +
26.700 28.500 27.840 21.228 19.035 17.625 12.880 17.250 11.613 6.399 5.214 3.555 3.318 3.555
23.490 30.276 30.360 22.110 21.068 18.320 18.468 16.188 12.276 6.336 6.732 6.732 4.158 2.574
50.190 58.776 58.200 43.338 40.103 35.945 31.348 33.438 23.889 12.735 11.946 10.287 7.476 6.129
Jumlah 204.712 219.088 423.800
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
153
Penduduk Usia 15+ Menurut Kegiatan Ekonomi
Di Kota Surakarta Tahun 2009
Kelompok Usia Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan
Angkatan Kerja - Bekerja - Penangguran Bukan Angkatan Kerja - Sekolah - Mengurus Rumah
Tangga - Lainnya
156.781 139.231
17.550
47.931 26.592
6.543 14.796
118.765 107.537
11.228
100.323 26.430 66.094
7.799
275.546 246.768
28.778
148.254 53.022 72.637 22.595
Jumlah 204.712 219.088 423.800
Sebagai kota pariwisata, sektor perdagangan, rumah
makan dan jasa akomodasi merupakan sektor usaha yang paling dominan dalam penyerapan tenaga kerja yaitu 43,13 persen diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan 24,23 persen dan sektor industri 17,05 persen. Sektor perdagangan mendominasi perekonomian dari sisi tenaga kerja di Kota
Bengawan ini. Infrastruktur sangat menunjang, seperti jumlah pusat-pusat perbelanjaan, baik yang modern seperti mall, swalayan maupun pasar-pasar tradisional yang terus dibangun untuk mempermudah sarana transaksi. Dilihat dari gender ternyata kaum perempuan adalah tenaga kerja lebih dominan di
sektor perdagangan ini yaitu sebanyak 48,98%.
Ada gambaran yang cukup menggembirakan pada tahun 2009. Jiwa kewirausahaan penduduk kota Surakarta cukup tinggi, bahkan hampir imbang dengan penduduk yang menjadi
Trend Setter bagi kota/kabupaten lainnya terutama di sekitar kota
solo, dalam bidang sosial, budaya dan ekonomi. Walaupun Kota Surakarta hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan saja, kota ini menyimpan potensi yang luar biasa.
Usia muda dan produktif, merupakan penduduk yang
menghuni kota Surakarta. Usia 20 sampai 24 tahun merupakan jumlah terbanyak. Kota Solo yang merupakan magnet bagi dunia pendidikan dan bisnis ternyata telah mendorong terjadinya penumpukan di kelompok usia tersebut. Berbagai sarana perekonomian menyebabkan penduduk dari luar kota ikut
bersaing dan menghuni di Kota Solo. Demikian pula dalam hal pendidikan. Adanya berbagai macam perguruan tinggi mendorong orang di luar kota tinggal di kota bengawan ini.
Penduduk Usia 15 + Menurut Kelompok Umur Di Kota Surakarta Tahun 2009
Kelompok Usia
Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan
15 – 19 20 - 24 25 - 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 -69 70 – 74 75 – 79
80 +
26.700 28.500 27.840 21.228 19.035 17.625 12.880 17.250 11.613 6.399 5.214 3.555 3.318 3.555
23.490 30.276 30.360 22.110 21.068 18.320 18.468 16.188 12.276 6.336 6.732 6.732 4.158 2.574
50.190 58.776 58.200 43.338 40.103 35.945 31.348 33.438 23.889 12.735 11.946 10.287 7.476 6.129
Jumlah 204.712 219.088 423.800
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
154
buruh/pekerja dibayar. Terlihat bahwa 42,05 persen penduduk
yang bekerja dengan status berusaha (berusaha sendiri, dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, dibantu tetap/dibayar) hampir mendekati penduduk bekerja dengan status buruh/karyawan/ pekerja dibayar yaitu sebesar 45,52 persen. Keadaan ini berarti
banyak, diantaranya kurang memadainya lapangan kerja yang ada padahal mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga dalam keterpaksaan mereka malah bisa berusaha. Hal ini didukung dengan tingginya prosentase berusaha sendiri non professional yaitu sebesar 22,52 persen.
Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Di Kota Surakarta
Kecamatan Petani sendiri
Buruh Tani
Pengusaha Buruh Industri
Buruh Bangunan
1 2 3 4 5 6
Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjasari
50 0 0
84 344
40 0 0 0
412
996 1.089 2.506 1.721 3.087
14.980 5.258
10.433 16.519 21.366
12.486 3.135 7.134
16.012 19.579
Kota 478 452 9.399 68.556 58.346
Kecamatan Pedagang Angkutan PNS/TNI/POLRI Pensiunan Lain-lain Jumlah 1 7 8 9 10 11 12
Laweyan Serengan Pasar Klw Jebres Banjasari
5.700 4.259 8.029 5.047
10.491
2.744 1.928 4.909 2.748 6.315
5.056 1.614 2.848 8.025 9.392
3.705 907
4.376 3.680 6.934
42.263 32.150 32.602 49.061 37.935
88.020 50.340 72.837
102.897 116.336
Kota 33.526 18.644 26.935 19.602 194.011 430.430
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
155
Prosentase Penduduk Berumur 15 Tahun keatas Menurut
Pendidikan yang ditamatkan di Surakarta Tahun 2009
Pendidikan 2007 2008 2009
Tidak/Belum Pernah Sekolah
Tidak punya Ijazah SD
SD/MI
SMP
SMU/MA
SMK
DI/DII
DIII
DIV/S1 dan S2/S3
6.24
4.95
18.66
21.88
24.09
10.16
1.56
4.68
7.80
2.99
6.03
17.59
20.98
26.44
10.92
1.21
4.89
8.97
4.66
5.43
17.41
20.37
26.39
11.39
1.42
4.25
8.68
Prosentase penduduk berusia 15 tahun keatas menurut pendidikan yang ditamatkan dapat dilihat pada table di atas.
Selama tiga tahun terakhir, komposisi penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pendidikan SMP dan SMU/MA masih diatas 20 persen. Kualitas SDM salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan ketrampilan. Di Kota Surakarta lulusan tertinggi masih
didominasi oleh lulusan SMU/MA sebesar 26,39 persen. SMK sebesar 11,39 persen, sehingga tingkat SLTA sebanyak 37,78 persen. Penduduk menurut pendidikan diatas SLTA sudah mencapai 14,35, sedangkan lulusan DIV/S1 dan S2/S3 mencapai 8,68 persen. Banyaknya sekolah tinggi di Surakarta diharapkan
dapat terus meningkatkan jumlah lulusan pendidikan diatas SLTA bagi penduduk Kota Surakarta. Penduduk dengan tamatan di bawah Sekolah Dasar, tidak/belum pernah sekolah dan tidak punya ijasah SD masih cukup besar yaitu sebesar 10.09%
buruh/pekerja dibayar. Terlihat bahwa 42,05 persen penduduk
yang bekerja dengan status berusaha (berusaha sendiri, dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, dibantu tetap/dibayar) hampir mendekati penduduk bekerja dengan status buruh/karyawan/ pekerja dibayar yaitu sebesar 45,52 persen. Keadaan ini berarti
banyak, diantaranya kurang memadainya lapangan kerja yang ada padahal mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga dalam keterpaksaan mereka malah bisa berusaha. Hal ini didukung dengan tingginya prosentase berusaha sendiri non professional yaitu sebesar 22,52 persen.
Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Di Kota Surakarta
Kecamatan Petani sendiri
Buruh Tani
Pengusaha Buruh Industri
Buruh Bangunan
1 2 3 4 5 6
Laweyan Serengan Pasar Kliwon Jebres Banjasari
50 0 0
84 344
40 0 0 0
412
996 1.089 2.506 1.721 3.087
14.980 5.258
10.433 16.519 21.366
12.486 3.135 7.134
16.012 19.579
Kota 478 452 9.399 68.556 58.346
Kecamatan Pedagang Angkutan PNS/TNI/POLRI Pensiunan Lain-lain Jumlah 1 7 8 9 10 11 12
Laweyan Serengan Pasar Klw Jebres Banjasari
5.700 4.259 8.029 5.047
10.491
2.744 1.928 4.909 2.748 6.315
5.056 1.614 2.848 8.025 9.392
3.705 907
4.376 3.680 6.934
42.263 32.150 32.602 49.061 37.935
88.020 50.340 72.837
102.897 116.336
Kota 33.526 18.644 26.935 19.602 194.011 430.430
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
156
Pemerintahan
Sebagai kota perdagangan dan jasa, sumber pendapatan
yang perlu di kaji adalah dari retribusi dan pajak-pajak daerah. Pajak hotel dan hiburan sangat potensial untuk menambah sumber pendapatan daerah. Akan tetapi perlu dikaji lebih dalam , dalam pemungutan retribusi dan pajak, jangan sampai justeru mematikan usaha-usaha tersebut. Iklim perusahaan yang kondusif
dan retribusi yang wajar akan menggerakan iklim perekonomian.
Banyaknya Kelurahan RT, RW dan Kepala Keluarga
Di Surakarta Tahun 2009
Kecamatan Keluraha
n
RW RT Kepala
Keluarga
Laweyan 11 105 454 25.899
Serengan 7 72 309 14.033
Pasar Kliwon 9 100 424 22.035
Jebres 11 149 631 37.605
Banjarsari 13 169 851 45.965
Surakarta 51 595 2.669 145.537
Kota Surakarta mempunyai 51 kelurahan yang terdiri dari Kecamatan Laweyan 11 kelurahan, Serengan 7, Pasar Kliwon 9, Jebres 11 dan Banjarsari 13. Selain itu terbagi dalam 595 Rukun Warga (RW), 2.669 Rukun Tetangga (RT) serta 145.537 Kepala
Keluarga (KK). Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan luas paling besar terdiri dari 169 RW, 851 RT dan 45.965 KK. Jumlah penduduk di kecamatan ini juga terbesar. Potensi Banjasari juga sangat besar secara ekkonomi seperti adanya Stasiun Balapan, terminal Tirtonadi, menjamurnya hotel serta serta
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
157
wilayahnya luas. Sedangkan untuk perdagangan terpusat di pusat
kota seperti Serengan, Laweyan dan Pasar Kliwon. Kecamatan Serengan merupakan wilayah dengan luas wilayah terkecil, RW dan RT serta KK juga terkecil. Kecamatan Jebres lebih banyak didominasi oleh pendidikan seperti berdirinya Universitas Sebelas
Maret. Penyebaran kegiatan ekonomi dan sosial di Surakarta cukup merata. Tata ruang kota hendaknya tetap dipelihara dengan baik karena akan memberikan kenyaman dan kepastian tempat usaha atau pemukiman. Keadaan sosial kemasyarakatan juga cukup baik di Surakarta. Banyaknya jumlah RW dan RT selain
menandakan banyaknya penduduk juga semakin baiknya interaksi sosial kemasyarakatan. Diharapkan semakin banyak pertemuan dan perkumpulan warga akan menimbulkan kekeluargaan yang erat, sehingga tidak mudah terjadinya gejolak di masyarakat
Kehidupan Keagamaan
Mayoritas penduduk Surakarta beragama Islam dan
pemeluk agama Hindu menempati posisi minoritas. Pemeluk agama Islam paling banyak bertempat tinggal di kecamatan Jebres sedangkan sebagian besar pemeluk agama Hindu bertempat tinggal di kecamatan Kliwon. Agama yang jumlah pemeluknya menempati urutan kedua di Surakarta adalah Kristen. Paling
banyak pemeluk agama Kristen bertempat tinggal di kecamatan Jebres dan mayoritas urutan kedua bertempat tinggal di Kliwon. Di kedua kecamatan itu pula (Jebres dan Kliwon) jumlah pemeluk Islamnya adalah mayoritas urutan pertama dan kedua. Sedangkan jumlah penduduk Katolik terbanyak kedua bertempat tinggal di
kecamatan Jebres, yaitu kecamatan yang ditempati oleh jumlah pemeluk Islam mayoritas urutan pertama. Di Surakarta, sebagian besar pemeluk agama bertempat tinggal di kecamatan Kliwon,
Pemerintahan
Sebagai kota perdagangan dan jasa, sumber pendapatan
yang perlu di kaji adalah dari retribusi dan pajak-pajak daerah. Pajak hotel dan hiburan sangat potensial untuk menambah sumber pendapatan daerah. Akan tetapi perlu dikaji lebih dalam , dalam pemungutan retribusi dan pajak, jangan sampai justeru mematikan usaha-usaha tersebut. Iklim perusahaan yang kondusif
dan retribusi yang wajar akan menggerakan iklim perekonomian.
Banyaknya Kelurahan RT, RW dan Kepala Keluarga
Di Surakarta Tahun 2009
Kecamatan Keluraha
n
RW RT Kepala
Keluarga
Laweyan 11 105 454 25.899
Serengan 7 72 309 14.033
Pasar Kliwon 9 100 424 22.035
Jebres 11 149 631 37.605
Banjarsari 13 169 851 45.965
Surakarta 51 595 2.669 145.537
Kota Surakarta mempunyai 51 kelurahan yang terdiri dari Kecamatan Laweyan 11 kelurahan, Serengan 7, Pasar Kliwon 9, Jebres 11 dan Banjarsari 13. Selain itu terbagi dalam 595 Rukun Warga (RW), 2.669 Rukun Tetangga (RT) serta 145.537 Kepala
Keluarga (KK). Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan dengan luas paling besar terdiri dari 169 RW, 851 RT dan 45.965 KK. Jumlah penduduk di kecamatan ini juga terbesar. Potensi Banjasari juga sangat besar secara ekkonomi seperti adanya Stasiun Balapan, terminal Tirtonadi, menjamurnya hotel serta serta
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
158
baik terbanyak urutan kedua atau pertama. Seperti tampak pada
tabel berikut ini, pemeluk Islam dan Kristen yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati posisi mayoritas urutan kedua dari jumlah mereka masing-masing, sedangkan pemeluk Kristen, Budha dan Hindu yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati
posisi mayoritas pertama dari jumlah pemeluk agama masing-masing.
Jumlah penduduk menurut agama
Kecamatan Islam Katolik Kristen Budha Hindu Jumlah
Laweyan
Serengan
Pasar Klw
Jebres
Banjasari
89.652
49.444
69.571
98.764
130.892
10.980
6.609
8.996
20.984
20.059
9.313
7.197
8.662
21.282
22.843
399
118
667
1.420
1.158
210
91
148
869
320
110.555
63.659
88.044
143.319
175.272
Kota 438.323 67.628 69.497 3.762 1.638 580849
Jika dilihat dari tempat ibadah yang tersedia, jumlah Masjid terbanyak ada di kecamatan Jebres, berikutnya Laweyan dan Kliwon. Jumlah gereja Kristen terbanyak ada di kecamatan Kliwon berikutnya di Serengan dan Laweyan. Jumlah tempat
ibadah untuk umat Katolik cukup memprihatinkan dibandingkan dengan tempat ibadah pemeluk Buddha. Katolitk yang jumlah pemeluk agamanya menempati urutan ketiga jumlah tempat ibadahnya tidak sebanyak tempat ibadah untuk pemeluk Budha yang jumlah pemeluknya menempati urutan keempat. Sementara
itu, jumlah tempat ibadah untuk pemeluk Kristen lebih memadahi dibandingkan dengan jumlah masjid untuk pemeluk agama Islam. Setiap gereja di Surakarta harus dapat menampung jamaah Kristen
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
159
sebanyajk 400-an jamaah sedangkan masjid di Surakarta harus
dapat menampung minimal 850-an jamaah pemeluk Islam.
Banyaknya Tempat Ibadah Menurut Jenis dan Kecamatan
di Kota Surakarta
Kecamatan Masjid Gereja Katolik
Gereja Kristen
Kuil/Vihara Pura Surau/Langga
r/ Mushola
Laweyan
Serengan
Pasar Klw
Jebres
Banjasari
132
43
79
105
146
2
-
2
1
-
20
21
11
55
6
2
1
1
3
4
-
0
-
1
1
38
224
23
74
57
Jumlah 505 5 169 11 2 214
Di samping itu, Kemenag Kota Surakarta mencatat daftar da’i
yang tersebar di Surakarta. Da’i itu terdiri dari muballigh (sebanyak 299) dan penyuluh agama non-PNS (sebanyak 169 orang) yang tersebar di berbagai daerah. Kemenag kota Surakarta melaporkan di Banjarsari ada 74 orang muballigh, Jebres 108, Pasar Kliwon 35, Serengan 18, dan Laweyang 64. Sebagian dari mereka berdakwah
secara perorangan dan ada pula yang berdakwah secara berkelompok dalam wadah suatu organisasi soisal keislaman tertentu.
baik terbanyak urutan kedua atau pertama. Seperti tampak pada
tabel berikut ini, pemeluk Islam dan Kristen yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati posisi mayoritas urutan kedua dari jumlah mereka masing-masing, sedangkan pemeluk Kristen, Budha dan Hindu yang tinggal di kecamatan Kliwon menempati
posisi mayoritas pertama dari jumlah pemeluk agama masing-masing.
Jumlah penduduk menurut agama
Kecamatan Islam Katolik Kristen Budha Hindu Jumlah
Laweyan
Serengan
Pasar Klw
Jebres
Banjasari
89.652
49.444
69.571
98.764
130.892
10.980
6.609
8.996
20.984
20.059
9.313
7.197
8.662
21.282
22.843
399
118
667
1.420
1.158
210
91
148
869
320
110.555
63.659
88.044
143.319
175.272
Kota 438.323 67.628 69.497 3.762 1.638 580849
Jika dilihat dari tempat ibadah yang tersedia, jumlah Masjid terbanyak ada di kecamatan Jebres, berikutnya Laweyan dan Kliwon. Jumlah gereja Kristen terbanyak ada di kecamatan Kliwon berikutnya di Serengan dan Laweyan. Jumlah tempat
ibadah untuk umat Katolik cukup memprihatinkan dibandingkan dengan tempat ibadah pemeluk Buddha. Katolitk yang jumlah pemeluk agamanya menempati urutan ketiga jumlah tempat ibadahnya tidak sebanyak tempat ibadah untuk pemeluk Budha yang jumlah pemeluknya menempati urutan keempat. Sementara
itu, jumlah tempat ibadah untuk pemeluk Kristen lebih memadahi dibandingkan dengan jumlah masjid untuk pemeluk agama Islam. Setiap gereja di Surakarta harus dapat menampung jamaah Kristen
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
160
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
161
Profil Keorganisasian Ormas/Gerakan Keagamaan
Dinamika kehidupan keagamaan di Kota Surakarta ditandai dengan adanya berbagai organisasi keagamaan yang cukup beragam seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS),
Jundullah, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), NU, Muhammadiyah, Majlis Pengajian Islam, Jamaah Muji Rasul, Ahbabul Musthofa, Majlis al-Hidayah, Majlis Tafsir al-Qur’an dan lainnya. Dari berbagai informasi yang diperoleh di Kantor Kemenag Kota Surakarta, maka dengan berbagai alasan
ditentukan objek penelitian adalah Jamaah Muji Rasul (Jamura) dan Majelis Tafsir Al Quran (MTA).
A. Jamaah Muji Rasul (Jamura)
Terbentuknya Jamaah Muji Rasul (Jamura) berawal dari keprihatinan beberapa orang yang merasakan tidak ada lagi
aktifitas pembacaan barjanji, shalawat maupun yasin setelah shalat maupun mengaji seperti dahulu sehingga dirasakan
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
162
suasana di malam hari setelah shalat isya terasa hambar dan sepi.
Berangkat dari keprihatinan ini, maka diadakan shalawatan, barjanji atau tahlil setelah ba’da shalat isya. Dan pada tahun 2005, pada saat memperingati Maulid Nabi beberapa ulama yang dipimpin oleh Gus Karim melakukan pembacaan Al Qur’an selama
12 hari berturut-turut sampai khatam. Acara ini diikuti oleh 400 orang. Setelah acara tersebut, kemudian diadakan yasin dan tahlil secara bergilir di rumah yang kemudian diisi juga dengan tausyiah setiap selapan sekali. Acara ini dimulai jam 9 malam, diawali dengan membaca tahlil, shalawat qubra, barjanji, dan doa, barulah
dilakukan tausyiyah atau sambutan panitia. Pembaca solawat harus qori semua yang dipimpin oleh ini banyak yang lulusan pondok jadi mereka semua sudah bisa Bapak Ibrahim, Makhsum Kamal, dan lainnya, semula ada 6 orang, tetapi sekarang sudah banyak kadernya. Untuk pengkaderan dilihat orangnya yang aktif
ke masjid dan suaranya bagus. Karena pengkaderan membaca berjanji.
Pada awalnya, proses peenyelenggaraan dakwah terdiri dari pembacaan berjanji, shalawat dan tahlil, namun sekarang ditambah dengan tausyiyah atau ceramah agama. Kalau misalnya
ada orang yang ingin ngunduh (menjadi tuan rumah) Jamura memperbolehkan, asal memberitahu dulu, karena jadwal Jamura yang sangat padat diundang kemana-mana. Dana untuk kegiatan jamura dari jamaah.
Nama Jamura awalnya bermula dari usulan beberapa
ustadz. Ada yang mengusulkan nama Muhibin, namun ditolak oleh salah seorang pengurus yang kebetulan ayahnya bernama mubidin, ada pula yang usul mahabah rosul. Namun akhirnya ada yg mengusulkan jamura (yang kebetulan selaras dengan arti istilah itu dalam bahasa Indonesia yang disetujui oleh banyak pihak, yaitu
asal kata jamur atau menjamur). Nama ini diusulkan oleh Gus
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
163
Karim, yang kemudian disetujui sebagai nama gerakan mereka.
Istilah itu kemudian menjadi lazim, bahkan kemudian mempunyai istilah khusus untuk perempuan, yaitu Jamuri. Selain Gus Karim, yang termasuk tokoh jamura adalah Ibrahim, Idris, Samachin, Faqih. Jamura tidak memiliki bendera walaupun amaliahnya NU.
Salah seorang tokoh Jamura adalah KH. Abdul Karim Ahmad yang sekarang beliau bertindak sebagai salah seorang penasehat. Di Yayasan Majlis al-Hiayah, dia mennempati beberapa jabatan, antara lain, sebagai anggota Mustasyar di Majlis Khotmil Qur’an al-Hidayah dan sebagai penasehat Radio 107,6 FM Solo al-
Hiayah FM. Dia seorang Kyai kharismatik, alumni pondok Pesantren al-Munawwir Yogyakarta. Kyai Karim sering bertindak sebagai muballigh dalam setiap acara jamura digelar. Seringkali kegiatan Jamura yang dipimpinnya dihadiri oleh banyak jamaah, seperti yang terjadi di Gladak. Dalam acara Jamura ini dihadiri oleh
ribuan jamaah sehingga jalan Gladak ditutup. Kegiatan ini difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam rangka memperingati Maulid Nabi.
Tokoh lain yang berperan aktif dalam kegiatan Jamura adalah Habib Syekh bin Abdul Qadir Asseggaf. Suaranya yang
merdu dalam melantunkan bacaan Shalawat mempunyai daya tarik tersendiri. Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf (tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang
diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya. Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaut. Habib Syekh juga mendapat pendidikan, dukungan
penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib
suasana di malam hari setelah shalat isya terasa hambar dan sepi.
Berangkat dari keprihatinan ini, maka diadakan shalawatan, barjanji atau tahlil setelah ba’da shalat isya. Dan pada tahun 2005, pada saat memperingati Maulid Nabi beberapa ulama yang dipimpin oleh Gus Karim melakukan pembacaan Al Qur’an selama
12 hari berturut-turut sampai khatam. Acara ini diikuti oleh 400 orang. Setelah acara tersebut, kemudian diadakan yasin dan tahlil secara bergilir di rumah yang kemudian diisi juga dengan tausyiah setiap selapan sekali. Acara ini dimulai jam 9 malam, diawali dengan membaca tahlil, shalawat qubra, barjanji, dan doa, barulah
dilakukan tausyiyah atau sambutan panitia. Pembaca solawat harus qori semua yang dipimpin oleh ini banyak yang lulusan pondok jadi mereka semua sudah bisa Bapak Ibrahim, Makhsum Kamal, dan lainnya, semula ada 6 orang, tetapi sekarang sudah banyak kadernya. Untuk pengkaderan dilihat orangnya yang aktif
ke masjid dan suaranya bagus. Karena pengkaderan membaca berjanji.
Pada awalnya, proses peenyelenggaraan dakwah terdiri dari pembacaan berjanji, shalawat dan tahlil, namun sekarang ditambah dengan tausyiyah atau ceramah agama. Kalau misalnya
ada orang yang ingin ngunduh (menjadi tuan rumah) Jamura memperbolehkan, asal memberitahu dulu, karena jadwal Jamura yang sangat padat diundang kemana-mana. Dana untuk kegiatan jamura dari jamaah.
Nama Jamura awalnya bermula dari usulan beberapa
ustadz. Ada yang mengusulkan nama Muhibin, namun ditolak oleh salah seorang pengurus yang kebetulan ayahnya bernama mubidin, ada pula yang usul mahabah rosul. Namun akhirnya ada yg mengusulkan jamura (yang kebetulan selaras dengan arti istilah itu dalam bahasa Indonesia yang disetujui oleh banyak pihak, yaitu
asal kata jamur atau menjamur). Nama ini diusulkan oleh Gus
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
164
Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan
pemegang maqom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rasul yang diawali dari Kota Solo,20 dengan mendirikan Ahbabul Musthofa dan aktif
sebagai da’i di Jamura.
Secara rutin kegiatan Jamura dilakukan selapan (36 hari, penghitungan Jawa) dengan lokasi berpindah-pindah. Jamura juga sering diundang secara perseorangan, instansi maupun kelompok tertentu. Pada saat peneliti berkunjung di rumah bapak
Samachin, Jamura diundang Polda Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan tabligh akbar pada hari Sabtu malam minggu. Dalam mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh Jamura, para peserta berpakaian putih-putih yang melambangkan kesederhanaan dan kesucian.
Kepengurusan Jamura terdiri atas :
Penasehat : Habib Syekh bin Abdul Qadir Asseggaf
KH. Abdul Karim Ahmad
KH. Sofwan Fauzi
Ketua I : KH. Idris Safawi
Ketua II : KH. Drs. Aswawi, SH
Sekretaris : H. Samachin
Bendahara : H. Ahmad Fatchin
Tim : KH. Ibrahim Anshari
20 Arifianto Muhammad Lukman, “Tradisi ‘Shalawatan’ dalam Perspektif Habib
Syekh dan Ahbabul Musthofa,” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisi-shalawatan-dalam-perspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/ diunduh 19 Nopember 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
165
KH. Ahmad Maksum Kamal
KH. Abdul Muin Sofani
KH. Chairul Mustamil
Ustadz Ahmad Royan
Ustadz Agus Ma’arif, Lc
Ustadz Muchlas
Penceramah : Gus Karim
B. Majelis Tafsir Al Qur’an
Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah
lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di
Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail
Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan
tujuan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai
dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan
tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-
Qur’an menjadi kegiatan utama MTA. Pada tanggal 23 Januari
tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R.
Soegondo Notodiroerjo.
Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam pada
akhir dekade 60 dan awal dekade 70. Sampai pada waktu itu, umat
Islam yang telah berjuang sejak zaman Belanda untuk melakukan
emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural, justeru
semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputra, seorang
mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat
kesempatan untuk berkeliling hampir ke seluruh Indonesia, kecuali
Irian Jaya, melihat bahwa kondisi umat Islam di Indonesia yang
Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan
pemegang maqom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rasul yang diawali dari Kota Solo,20 dengan mendirikan Ahbabul Musthofa dan aktif
sebagai da’i di Jamura.
Secara rutin kegiatan Jamura dilakukan selapan (36 hari, penghitungan Jawa) dengan lokasi berpindah-pindah. Jamura juga sering diundang secara perseorangan, instansi maupun kelompok tertentu. Pada saat peneliti berkunjung di rumah bapak
Samachin, Jamura diundang Polda Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan tabligh akbar pada hari Sabtu malam minggu. Dalam mengikuti pengajian yang dilaksanakan oleh Jamura, para peserta berpakaian putih-putih yang melambangkan kesederhanaan dan kesucian.
Kepengurusan Jamura terdiri atas :
Penasehat : Habib Syekh bin Abdul Qadir Asseggaf
KH. Abdul Karim Ahmad
KH. Sofwan Fauzi
Ketua I : KH. Idris Safawi
Ketua II : KH. Drs. Aswawi, SH
Sekretaris : H. Samachin
Bendahara : H. Ahmad Fatchin
Tim : KH. Ibrahim Anshari
20 Arifianto Muhammad Lukman, “Tradisi ‘Shalawatan’ dalam Perspektif Habib
Syekh dan Ahbabul Musthofa,” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisi-shalawatan-dalam-perspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/ diunduh 19 Nopember 2011
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
166
semacam itu tidak lain karena umat Islam di Indonesia kurang
memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi
s.a.w. bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali
dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya,
yaitu Al-Qur’an, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa
umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi
apabila umat Islam mau kembali ke Al-Qur’an. Demikianlah, maka
Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai
rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.
Sebelum mendirikan MTA, Abdullah Thufail sudah aktif
menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan dakwah bersama
dengan Abdullah Marzuki. Bentuk kegiatan mereka terutama
adalah majlis taklim di Jl. Yosodipuro no 46 Punggawan Surakarta,
sejak tahun 1970. Kegiatan majlis taklim itu sesungguhnya
merupakan rintisan yang kemudian menjadi salah satu kegiatan
utama Yayasan pendidikan Majlis Pengajian Islam (MPI), yang
didirikan oleh Abdullah Marzuki. Kegiatan Majlis Pengajian Islam
itu dikelola oleh Abdullah Thufail, yang sekaligus bertindak
sebagai guru ngaji. Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail
dan Abdullah Marzuki berbeda pendapat tentang “hak-hak Imam
dan Hak-hak Makmum.” Menurut Trisnojoyo, salah satu guru
Pondok Pesantren as-Salam, seperti dikutip Mutohharun Jinan:
perbedaan Pendapat itu melahirkan petisi dalam bentuk Surat
Nomor 01/MPI/P/79 kepada Abdullah Thufail tentang tasrihun
biihsan (berpisah dengan cara yang baik). Petisi tersebut berisi, (1)
penarikan diri dari baiat kepada Imam Abdullah Thufail; (2) tetap
memilih MPI sebagai wadah pengajian; (3) keputusan dipilih untuk
kebaikan bersama. Abdullah Thufail akhirnya memilih untuk
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
167
mengembangkan Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA) berpisah dengan
MPI secara baik-baik.”21
Setelah Abdullah Thufail meninggal dunia (1992), kepemimpinan MTA beralih ke Sukina. Proses penggantian dan pemilihan pimpinan berlangsung melalui musyawarah antar
pengurus. Meskipun ada kelompok-kelompok yang menginginkan jabatan pimpinan, musyawarah secara aklamasi memilih Sukina sebagai pimpinan yayasan dan sekaligus sebagai imam dalam jamaah MTA. Hal itu ditandai dan dimulai dengan adanya salah seorang dari mereka yang membaiatkan diri kepadanya, kemudian
diikuti dengan beberapa orang lainnya. Di antara alasan dipilihnya Sukina adalah karena kedekatan dan ketulusan dalam mengabdikan diri kepada Abdullah Thufail. Susunan Pengurus Yayasan Majlis Tafsir al-Qur’an sebagai berikut:
Ketua Umum : Drs. Ahmad Sukina
Ketua I : Suharto Sag.
Ketua II : Dahlan Harjotaroeno
Sekretaris I : Drs. Yoyok Mugiyatno, MSi
Sekretaris II : Drs. Medi
Bendahara I : Mansyur Masyhuri
Bendahara II : Sri Sadono
21 Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011, hlm. 588.
semacam itu tidak lain karena umat Islam di Indonesia kurang
memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi
s.a.w. bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali
dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya,
yaitu Al-Qur’an, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa
umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi
apabila umat Islam mau kembali ke Al-Qur’an. Demikianlah, maka
Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai
rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.
Sebelum mendirikan MTA, Abdullah Thufail sudah aktif
menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan dakwah bersama
dengan Abdullah Marzuki. Bentuk kegiatan mereka terutama
adalah majlis taklim di Jl. Yosodipuro no 46 Punggawan Surakarta,
sejak tahun 1970. Kegiatan majlis taklim itu sesungguhnya
merupakan rintisan yang kemudian menjadi salah satu kegiatan
utama Yayasan pendidikan Majlis Pengajian Islam (MPI), yang
didirikan oleh Abdullah Marzuki. Kegiatan Majlis Pengajian Islam
itu dikelola oleh Abdullah Thufail, yang sekaligus bertindak
sebagai guru ngaji. Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail
dan Abdullah Marzuki berbeda pendapat tentang “hak-hak Imam
dan Hak-hak Makmum.” Menurut Trisnojoyo, salah satu guru
Pondok Pesantren as-Salam, seperti dikutip Mutohharun Jinan:
perbedaan Pendapat itu melahirkan petisi dalam bentuk Surat
Nomor 01/MPI/P/79 kepada Abdullah Thufail tentang tasrihun
biihsan (berpisah dengan cara yang baik). Petisi tersebut berisi, (1)
penarikan diri dari baiat kepada Imam Abdullah Thufail; (2) tetap
memilih MPI sebagai wadah pengajian; (3) keputusan dipilih untuk
kebaikan bersama. Abdullah Thufail akhirnya memilih untuk
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
168
Profil Aktivitas Dakwah
A. Jamaah Muji Rosul (Jamura)
Jamura mengembangkan model dakwah bil-lisan dengan
tambahan muatan tradisi pembacaan berjanji dan sholawat. Gerakan dakwahnya dimotivasi oleh kecintaanya kepada Nabi Muhammad. Kecintaan itu ditunjukkan terutama dengan prosesi pembacaan sholawat secara massal, sebagai inti gerakan dakwahnya. Aktualisasi itu seringkali juga dilahirkan dengan
kegiatan berdzikir, Maulid berzanji dan pengajian umum. Gerakan dakwah itu dilakukan secara berturut-turut selama dua belas hari. Pada tahun 2009, Jamura menggelar dua belas malam berdzikir dan bershalawat di berbagai tempat sebagai berikut:
a) 25 Pebruari 2009, Pon. Pes. AL-MANSHUR Popongan,
Tegalgondo, Klaten.
b) 26 Pebruari 2009, Gedung BATARI Jl. Slamet Riyadi Surakarta
c) 27 Pebruari 2009, THE SUNAN HOTEL Jl. Ahmad Yani Kerten Surakarta
d) 28 Pebruari 2009, MASJID TEGALSARI Jl. dr. Wahidin Tegalsari
Surakarta (Utara Sabar Motor ).
e) 1 Maret 2009, Gedung Kecamatan Pasarkliwon, Jl.Kapten Mulyadi No. 278 Joyosuran Surakarta, (Perempatan Baturono
ke selatan ± 200 m)
f) 2 Maret 2009, Gedung STSI / ISI Kentingan Jebres Surakarta.
g) 3 Maret 2009, MASJID JAMI' Gedangan (depan Balai Desa Gedangan) Solo Baru Grogol Sukoharjo.(Bunderan Tanjunganom ke Selatan, DAIHATSU ke barat).
h) 4 Maret 2009, Asrama Kostrad YONIF 413 Palur Mojolaban Palang Kereta Palur ke Timur, Bangjo (pertigaan) ke Selatan / arah Bekonang ± 1 Km.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
169
i) 5 Maret 2009, Masjid AL FAJRU Perumahan Fajar Indah Baturan
Surakarta.
j) 6 Maret 2009, Rumah Bp Suparmin (PT. Media Tama) Sumber Surakarta (sebelah utara Graha Sabha Buana Sumber).
k) 7 Maret 2009, PLN JI. Slamet Riyadi Purwosari Surakarta
l) 8 Maret 2009, MASJID AGUNG SURAKARTA
Pada tahun 2011, kegiatan yang sama digelar, diberbagai tempat dengan jadwal sebagai berikut:
a) Kamis, 3 Februari: PP. Al-Manshur, Popongan, Klaten.
b) Jum'at, 4 Februari: RM. Bebek Goreng Pak Slamet Kartasura.
c) Sabtu, 5 Februari: Masjid Baabussalam, komplek Kantor PLN Purwosari Surakarta.
d) Ahad, 6 Februari: Gedung UNU Mojosongo.
e) Senin, 7 Februari: Masjid Agung Surakarta.
f) Selasa, 8 Februari: Depan PP. Al-Muayyad Surakarta.
g) Rabu, 9 Februari: The Sunan Hotel.
h) Kamis, 10 Februari: Lapangan. Ex. Atrium Solo Baru.
i) Jum'at, 11 Februari: Masjid Nurul Hikmah, Ngringo, PALUR.
j) Sabtu, 12 Februari: Masjid Tegalsari.
k) Ahad, 13 Februari: Kantor PCNU Surakarta.
l) Senin, 14 Februari: Pendapi Ageng Balaikota Surakarta.22
22 Kegiatan duabelas malam berdzikir, mauled nabi dan bersholawat yang digelas
Jamura pada tahun 2009 diumumkan tanggal 27 Pebruari 2009, yakni dua hari setelah kegiatan itu dimulai. Sedangkan kegiatan pada tahun 2011, diumumkan tanggal 26 Januari 2011, seminngu sebelum kegiatan itu berlangsung. Pengumumam dilakukan bukan di situs Jamura akan tetapi di situs milik pondok pesantren al-Muayyad. lihat http://almuayyad.org/kabar/50-jamura, diunduh 9 Nopember 2011
Profil Aktivitas Dakwah
A. Jamaah Muji Rosul (Jamura)
Jamura mengembangkan model dakwah bil-lisan dengan
tambahan muatan tradisi pembacaan berjanji dan sholawat. Gerakan dakwahnya dimotivasi oleh kecintaanya kepada Nabi Muhammad. Kecintaan itu ditunjukkan terutama dengan prosesi pembacaan sholawat secara massal, sebagai inti gerakan dakwahnya. Aktualisasi itu seringkali juga dilahirkan dengan
kegiatan berdzikir, Maulid berzanji dan pengajian umum. Gerakan dakwah itu dilakukan secara berturut-turut selama dua belas hari. Pada tahun 2009, Jamura menggelar dua belas malam berdzikir dan bershalawat di berbagai tempat sebagai berikut:
a) 25 Pebruari 2009, Pon. Pes. AL-MANSHUR Popongan,
Tegalgondo, Klaten.
b) 26 Pebruari 2009, Gedung BATARI Jl. Slamet Riyadi Surakarta
c) 27 Pebruari 2009, THE SUNAN HOTEL Jl. Ahmad Yani Kerten Surakarta
d) 28 Pebruari 2009, MASJID TEGALSARI Jl. dr. Wahidin Tegalsari
Surakarta (Utara Sabar Motor ).
e) 1 Maret 2009, Gedung Kecamatan Pasarkliwon, Jl.Kapten Mulyadi No. 278 Joyosuran Surakarta, (Perempatan Baturono
ke selatan ± 200 m)
f) 2 Maret 2009, Gedung STSI / ISI Kentingan Jebres Surakarta.
g) 3 Maret 2009, MASJID JAMI' Gedangan (depan Balai Desa Gedangan) Solo Baru Grogol Sukoharjo.(Bunderan Tanjunganom ke Selatan, DAIHATSU ke barat).
h) 4 Maret 2009, Asrama Kostrad YONIF 413 Palur Mojolaban Palang Kereta Palur ke Timur, Bangjo (pertigaan) ke Selatan / arah Bekonang ± 1 Km.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
170
Lokasi tempat diselenggarakannya kegiatan dakwah
Jamura terdiri dari: (1) Panggung utama. Mereka yang ada di lokasi ini terdiri dari orang-orang yang ditokohkan, baik terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat maupun tokoh politik. Di antara mereka adalah pembaca utama sholawat dan muballigh yang
memberikan taushiyah di akhir kegiatan dakwah Jamura; (2) Tempat di dekat panggung utama, memuat kira-kira 20-50an orang yang terdiri dari para pembaca sholawat dan pemain alat music rebana untuk mengiringi pembacaan sholawat mereka; (3) Tempat untuk peserta yang terhampar di depan panggung utama.
Mereka yang menempati lokasi ini adalah jamaah dakwah Jamura yang berjumlah ribuan orang. Mereka duduk bersila sambil membaca, mengikuti dan menirukan bacaan sholawat yang dilantunkan oleh pembaca utama atau tim pembaca.
Sementara itu, dalam prosesi pembacaan sholawat,
peserta dakwah (unsur manusia dalam dakwah jamura) membaca, melafalkan dan melagukan teks berjanji dan sholawat secara bersama-sama. Pada saat tim pembaca yang duduk di panggung melantunkan teks berjanji dan sholawat, maka jamaah bertindak sebagai pendengar, namun pada saatnya yang telah ditentukan
mereka bersama-sama membaca teks berjanji dan sholawat, menirukan apa yang telah dibaca oleh tim pembaca di atas panggung itu.
Pembacaan shalawat sebagai ciri khas dakwah Jamura melibatkan beberapa pihak. Jadwal tersebut di atas menunjukkan
hal itu, bahwa beberapa pondok pesantren, masjid, perguruan tinggi, kantor ormas keagamaan, kantor pemerintah, hotel dan rumah perorangan diijinkan untuk menjadi tempat kegiatan dakwah Jamura. Di samping itu, ada yang cukup menarik bahwa publikasi kegiatan Jamura justru dilakukan oleh organisasi lain,
seperti Pondok Pesantren al-Muayyad, yang mempublikasikan
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
171
jadwal kegiatan jamura melalui situsnya, Majlis al-Hidayah,23
melalui radio al-Hidayah, majlis mempublikasikan secara luas kegiatan dakwah Jamura, hasil rekaman audio-visual proses dakwah Jamura dipubliksaikan lewat situs internet secara luas sehingga dapat didownload oleh siapapun.
Tradisi pembacaan shalawat Nabi atau yang sering kita dengar dengan istilah shalawatan sebenarnya adalah sebuah tradisi lisan yang turun menurun dari leluhur sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih Allah, dan sebagai manusia terbaik sepanjang masa.
Perkembangannyapun dinilai cukup signifikan, selain difungsikan sebagai sarana untuk berdzikir dan mendoakan Rasulullah SAW, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat pemersatu bahkan tidak menutup kemungkinan digunakan sebagai sarana politik untuk mendapatkan suara dan dukungan. Gerakan dakwah Jamura di
Surakarta mengambil visi penyebarluasan tradisi bershalawat di masyarakat. Gerakan itu menjangkau mad’u di luar kota Surakarta dalam keikut sertaannya dalam penyebarluasan tradisi bershalawat di masyarakat pecinta Nabi Muhammad. Berbagai komunitas yang tersebar di mana-mana yang mengambil visi yang
sama dalam kegiatan dakwah mereka, mendapat dukungan baru dengan kegiatan dakwah Jamura di Surakarta itu.
Gerakan dakwah itu cukup menarik perhatian sebagian umat Islam. Ketertarikan bapak Yunus, salah seorang pengikut Abu Bakar Baasyir yang telah mengajukan permohonannya untuk
ngunduh Jamura menjadi catatan khusus bagi pengelola Jamura. Kata salah seorang pengurusnya, permintaan itu menandai bahwa
23 Majlis al-Hidayah mempunyai berbagai forum dan kegiatan lain seperti Majlis
khotmil Qur’an (berdiri 28 Oktober 2008), Satuan Tugas al-Hidayah (berdiri 2 Desember 2008); Al-Hidayah FM 107,6 fm Solo (berdiri 9 mei 2010); Pengajian Muslimat al-Hidayah (berdiri 24 Nopember 2010); Gerakan Pemuda al-Hidayah (berdiri 26 September 2010). Lihat http://majlisalhidayah.org/index.php/10-tentang-kami?start=4. Diunduh 9 nopember 2011
Lokasi tempat diselenggarakannya kegiatan dakwah
Jamura terdiri dari: (1) Panggung utama. Mereka yang ada di lokasi ini terdiri dari orang-orang yang ditokohkan, baik terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat maupun tokoh politik. Di antara mereka adalah pembaca utama sholawat dan muballigh yang
memberikan taushiyah di akhir kegiatan dakwah Jamura; (2) Tempat di dekat panggung utama, memuat kira-kira 20-50an orang yang terdiri dari para pembaca sholawat dan pemain alat music rebana untuk mengiringi pembacaan sholawat mereka; (3) Tempat untuk peserta yang terhampar di depan panggung utama.
Mereka yang menempati lokasi ini adalah jamaah dakwah Jamura yang berjumlah ribuan orang. Mereka duduk bersila sambil membaca, mengikuti dan menirukan bacaan sholawat yang dilantunkan oleh pembaca utama atau tim pembaca.
Sementara itu, dalam prosesi pembacaan sholawat,
peserta dakwah (unsur manusia dalam dakwah jamura) membaca, melafalkan dan melagukan teks berjanji dan sholawat secara bersama-sama. Pada saat tim pembaca yang duduk di panggung melantunkan teks berjanji dan sholawat, maka jamaah bertindak sebagai pendengar, namun pada saatnya yang telah ditentukan
mereka bersama-sama membaca teks berjanji dan sholawat, menirukan apa yang telah dibaca oleh tim pembaca di atas panggung itu.
Pembacaan shalawat sebagai ciri khas dakwah Jamura melibatkan beberapa pihak. Jadwal tersebut di atas menunjukkan
hal itu, bahwa beberapa pondok pesantren, masjid, perguruan tinggi, kantor ormas keagamaan, kantor pemerintah, hotel dan rumah perorangan diijinkan untuk menjadi tempat kegiatan dakwah Jamura. Di samping itu, ada yang cukup menarik bahwa publikasi kegiatan Jamura justru dilakukan oleh organisasi lain,
seperti Pondok Pesantren al-Muayyad, yang mempublikasikan
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
172
Jamura diterima juga di kalangan kelompok garis keras.24 Pada
tanggal 23 Mei 2011, Jamura menggelar kegiatan dakwahnya, hasil kerja sama dengan Qolbun Salim.25 Pada 29 Juni 2011, Jamura kembali menggelar kegiatan dakwah dengan nama “Parade Sholawat.” Parade bershalawat memuji Rasulullah Muhammad
SAW dilakukan dari Lapangan Kota Barat menuju Balaikota Surakarta, yang melibatkan beberapa lembaga dakwah seperti Majelis Ahbaabul Musthofa, Al Hidayah, Ar Raudhah. Beberapa kelompok komunitas juga ikut meramaikan parade tersebut, seperti Korp Drumband Hizbul Wathan Kwarda Surakarta, 4 kereta
kencana dan komunitas dari tarian sufi.26
Dakwah penyebarluasan tradisi bershalawat yang dikem-bangkan Jamura itu sedemikian unik, bahwa ada sebagian dari prosesinya yang peserta dakwahnya tidak dapat diidentifikasi siapa da’I dan siapa mad’u secara dikotomik. Jika da’i diartikan
orang yang menyampaikan pesan dakwah sedangkan mad’u dipahami sebagai penerima pesan dakwah, maka dalam dakwah Jamura ada bagian dari proses dakwah, di mana status da’i dan mad’u tidak menetap pada orang perorang yang terlibat di dalamnya. Proses itu menggeser secara terus menerus status da’i
dan madu pada setiap peserta secara silih berganti. Bagian dari proses itu misalnya ketika semua peserta menirukan, membaca, dan melafalkan kalimah-kalimah thoyyibah dalam bahasa Arab. Setiap individu dalam prosesi itu saling mempengaruhi emosi keagamaan mereka dengan lantunan yang disuarakan dengan
keras secara bersama-sama itu. Mereka terlibat secara intensif
24 Wawancara dengan Samahin, pengurus Jamura, Sepetember 2011. 25 Anisaul Karimah, “Lantunkan Solawat, Raih Ketentraman”, dalam Harian Joglo
Semar, 24 Mei 2011. Lihat http://harianjoglosemar.com/berita/lantunkan-solawat-raih-ketentraman-44429.html. Diunduh 9 Nop 2011
26 Niza, “Parade Sholawat Peringati Istra Mi’raj 1432 H” dalam Timlo.net, http://senibudaya.timlo.net/baca/11294/parade-sholawat-peringati-isra-miraj-1432-h. Diunduh 9 Nopember 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
173
dalam jiwa massa yang terbentuk akibat lantunan puji-pujian
kepada Allah, sholawat untuk nabi Muhammad dan bacaan doa-doa yang membahana.27 Proses saling mempengaruhi itu menyentuh aspek kejiwaan dan spiritualitas setiap peserta sehingga membentuk jiwa massa. Jiwa massa itu semakin
menyedot setiap individu ketika proses itu sampai pada perubahan posisi peserta dari duduk bersila ke posisi berdiri, sambil melantunkan shalawat badar bersama-sama. Peserta dapat merasakan bahwa seolah-olah nabi Muhammad hadir bersama mereka, melintas di sekitar tempat mereka berdiri.
Namun ada saatnya dimana pembaca utama melantunkan bacaannya dan yang lain mendengarkan. Dalam bagian inilah, maka dapat diidentifikasi bahwa pembaca bertindak sebagai da’I sedang lainnya bertindak sebagai mad’u. Kecuali itu, identifikasi siapa da’i dan siapa mad’u dapat dijumpai juga dengan mudah
pada saat prosesi ada pada bagian taushiyah. Acara taushiyah berisi ceramah agama oleh seorang muballigh. Dalam setiap penampilan dakwah jamura, biasanya yang bertindak sebagai muballigh adalah Bapak Abdul Karim.
Dengan demikian, maka juru dakwah yang terlibat dalam
dakwah jamura bukan hanya muballigh, akan tetapi meliputi juga para pembaca teks berjanji dan sholawat serta para peserta lain pada umumnya yang berada di sekitar panggung. Yang dibaca adalah syiir pujian untuk nabi Muhammad yang dikembangkan oleh Habib Syekh. Bacaan-bacaan itu seluruhnya berbahasa Arab.
Diperkirakan tidak semua peserta mengetahui arti teks syiir yang dilantunkan itu secara leksikal, akan tetapi mereka dapat merasakan secara emosional bahwa mereka sedang terlibat dalam
27 Bandingkan dengan Muhammad Sulthon, “Fungsi Dakwah dalam
Penyebarluasan Ajaran Sadaqat pada Masa Nabi Muhammad,” tidak diterbitkan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010, hal 56-77
Jamura diterima juga di kalangan kelompok garis keras.24 Pada
tanggal 23 Mei 2011, Jamura menggelar kegiatan dakwahnya, hasil kerja sama dengan Qolbun Salim.25 Pada 29 Juni 2011, Jamura kembali menggelar kegiatan dakwah dengan nama “Parade Sholawat.” Parade bershalawat memuji Rasulullah Muhammad
SAW dilakukan dari Lapangan Kota Barat menuju Balaikota Surakarta, yang melibatkan beberapa lembaga dakwah seperti Majelis Ahbaabul Musthofa, Al Hidayah, Ar Raudhah. Beberapa kelompok komunitas juga ikut meramaikan parade tersebut, seperti Korp Drumband Hizbul Wathan Kwarda Surakarta, 4 kereta
kencana dan komunitas dari tarian sufi.26
Dakwah penyebarluasan tradisi bershalawat yang dikem-bangkan Jamura itu sedemikian unik, bahwa ada sebagian dari prosesinya yang peserta dakwahnya tidak dapat diidentifikasi siapa da’I dan siapa mad’u secara dikotomik. Jika da’i diartikan
orang yang menyampaikan pesan dakwah sedangkan mad’u dipahami sebagai penerima pesan dakwah, maka dalam dakwah Jamura ada bagian dari proses dakwah, di mana status da’i dan mad’u tidak menetap pada orang perorang yang terlibat di dalamnya. Proses itu menggeser secara terus menerus status da’i
dan madu pada setiap peserta secara silih berganti. Bagian dari proses itu misalnya ketika semua peserta menirukan, membaca, dan melafalkan kalimah-kalimah thoyyibah dalam bahasa Arab. Setiap individu dalam prosesi itu saling mempengaruhi emosi keagamaan mereka dengan lantunan yang disuarakan dengan
keras secara bersama-sama itu. Mereka terlibat secara intensif
24 Wawancara dengan Samahin, pengurus Jamura, Sepetember 2011. 25 Anisaul Karimah, “Lantunkan Solawat, Raih Ketentraman”, dalam Harian Joglo
Semar, 24 Mei 2011. Lihat http://harianjoglosemar.com/berita/lantunkan-solawat-raih-ketentraman-44429.html. Diunduh 9 Nop 2011
26 Niza, “Parade Sholawat Peringati Istra Mi’raj 1432 H” dalam Timlo.net, http://senibudaya.timlo.net/baca/11294/parade-sholawat-peringati-isra-miraj-1432-h. Diunduh 9 Nopember 2011
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
174
suasana mengagungkan Allah, membacakan sholawat untuk nabi
Muhammad dan memohonkan kepada Allah untuk diri mereka sendiri.
B. Majelis Tafsir Al Qur’an
Ahmad Sukina mengembangkan model dakwah bil-lisan sebagai metode dakwah yang pokok dalam gerakan dakwah MTA.
Dakwah Islam yang diselengggarakan MTA berisi ajakan agar umat Islam kembali kepada al-Qur’an dengan kegiatan utamanya berupa pengkajian al-Qur’an. Pengkajian al-Qur’an itu dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti bimbingan cara baca al-Qur’an yang dilakukan melalui Radio atau melalui pengajian rutin
yang berisi telaah terhadap isi al-Qur’an untuk diamalkan.
Pengajian
Pengajian yang diselenggarakan MTA dapat dibedakan menjadi pengajian khusus, pengajian umum dan pengajian binaan. Pengajian khusus adalah pengajian yang mad’unya (juga
disebut dengan istilah peserta) terdaftar dan setiap masuk diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan muballigh yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabang-
cabang yang tidak memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta biaya yang besar, pengajian yang diisi oleh muballigh dari pusat diselenggarakan lebih dari satu minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan dan
cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
175
pengajian seminggu-sekali sendiri-sendiri. Konsultasi ke pusat
dilakukan setiap saat melalui telpun.
Materi yang diberikan dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an dengan acuan tafsir Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir lain baik karya
ulama-ulama Indonesia maupun karya ulama-ulama dari dunia Islam yang lain, baik karya ulama-ulama salafi maupun ulama-ulama kholafi. Kitab tafsir yang sekarang sedang dikaji antara lain adalah kitab tafsir oleh Ibn Katsir yang sudah ada terjemahannya dan kitab tafsir oleh Ibn Abas. Kajian terhadap kitab tafsir oleh Ibn
Abas dilakukan khusus oleh warga MTA yang kemampuan bahasa Arabnya telah memadai.
Proses dakwah dalam pengajian khusus ini dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Mubballigh menyajikan meteri yang dibawakannya kemudian diikuti dengan pertanyaan-
pertanyaan dari mad’u. Dengan tanya jawab ini pokok bahasan dapat berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari sinilah, kajian tafsir Al-Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, kajian syariat, kajian akhlak, kajian tarikh, dan kajian masalah-masalah aktual sehari-hari. Dengan demikian, meskipun materi
pokok dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an, tidak berarti cabang-cabang ilmu agama yang lain tidak disinggung. Bahkan, sering kali kajian tafsir hanya disajikan sekali dalam satu bulan dan apabila dipandang perlu kajian tafsir untuk sementara dapat diganti dengan kajian-kajian masalah-masalah lain yang
mendesak untuk segera diketahui oleh mad’u. Disamping itu, pengkajian tafsir Al-Qur’an yang dilakukan di MTA secara otomatis mencakup pengkajian Hadits karena ketika pembahasan berkembang ke masalah-masalah lain mau tidak mau harus merujuk Hadits.
suasana mengagungkan Allah, membacakan sholawat untuk nabi
Muhammad dan memohonkan kepada Allah untuk diri mereka sendiri.
B. Majelis Tafsir Al Qur’an
Ahmad Sukina mengembangkan model dakwah bil-lisan sebagai metode dakwah yang pokok dalam gerakan dakwah MTA.
Dakwah Islam yang diselengggarakan MTA berisi ajakan agar umat Islam kembali kepada al-Qur’an dengan kegiatan utamanya berupa pengkajian al-Qur’an. Pengkajian al-Qur’an itu dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti bimbingan cara baca al-Qur’an yang dilakukan melalui Radio atau melalui pengajian rutin
yang berisi telaah terhadap isi al-Qur’an untuk diamalkan.
Pengajian
Pengajian yang diselenggarakan MTA dapat dibedakan menjadi pengajian khusus, pengajian umum dan pengajian binaan. Pengajian khusus adalah pengajian yang mad’unya (juga
disebut dengan istilah peserta) terdaftar dan setiap masuk diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan muballigh yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabang-
cabang yang tidak memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta biaya yang besar, pengajian yang diisi oleh muballigh dari pusat diselenggarakan lebih dari satu minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan dan
cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
176
Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk
umum, pesertanya tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang diselenggarakan satu
minggu sekali pada hari Minggu pagi.
Pengajian binaan adalah pengajian yang diselenggarakan oleh warga MTA di tingkat desa atas persetujuan dari pusat. Pengajian binaan dapat diselenggarakan di rumah-rumah warga MTA, dengan peserta terbatas. Proses dakwah dalam pengajian
binaan, utamanya adalah mengkaji brosur yang dikeluarkan oleh MTA, yang dipimpin oleh ustad yang bertindak sebagai muballigh, dibuka tanya jawab untuk lebih memahami isi pesan dakwah yang dikaji. Apabila waktu masih tersisa, muballigh diperbolehkan membicarakan tema lain di luar brosur sebagai tambahan
pengkayaan pesan dakwah untuk warga. Proses itu diakhiri dengan pembahasan problem kehidupan yang secara nyata dihadapi warga MTA. Pembahasan problem ini mengarah pada penyelesaian problem, yang apabila tidak dapat diselesaikan sendiri, maka problem itu akan disampaikan ke tingkat yang lebih
tinggi untuk diselesaikan.
Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Qur’an, melainkan mengkaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Qur’an agar dapat dihayati dan selanjutnya diamalkan. Pengajian merupakan metode
utama penyebarluasan pesan dakwah MTA kepada mad’u, terutama warga MTA. Penyelenggaraan pengajian itu dipadukan dengan penggunaan media elektronik serta media cetak lainnya. Pengajian yang diselenggarakan di pusat selalu disiarkan secara langsung melalui Radio MTA FM dan disiarkan ulang pada waktu
yang telah ditentukan. Dengan demikian, pesan itu dapat
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
177
disampaikan secara luas kepada warganya di berbagai tempat.
Bahkan warga MTA dapat mengulang-ulang sendiri pengajian itu, karena warga juga diperbolehkan untuk mendapatkan rekaman pengajian itu, baik dalam bentuk cd maupun media dengar lainnya.
Jika pengajian hanya dapat menjangkau warga terbatas, yaitu mereka yang hadir dalam forum pengajian, baik di tingkat pusat di Surakarta, di perwakilan, cabang atau desa, maka untuk mengatasi keterbatasan itu, MTA mengembangkan dakwahnya dengan penggunaan media elektronik dan cetak untuk keperluan
penyebarluasan pesan dakwah kepada masyarakat mad’u yang lebih luas. Media elektronik yang dimiliki adalah Stasiun Radio MTA-FM dan MTA-TV. Sedangkan media cetak yang dimiliki adalah brosur MTA, majalah Mar’ah dan majalah Respon.
Stasiun Radio yang dimiliki MTA bernama Radio MTA-FM
yang mengudara di frekuensi 107,9 MHz. Sejak pertama kali mengudara dari awal tahun 2007, keberadaan radio MTA FM mampu menarik para pendengar untuk setia mendengarkan radio MTA FM. Format siaran dikemas dalam nuansa dakwah sehingga mampu menarik minat para pendengar yang haus akan syari’at
islam yang sesuai dengan Al-qur’an maupun Assunnah. Di antara program siarannya adalah Tahsin al-Qur’an, Fajar Hidayah, Hikmah, Seputar haji. Program Tahsin, berisi tanya jawab untuk memperbaiki cara membaca al-Qur’an yang benar. Program siaran itu dipandu oleh seorang Ustadz yang membimbing bacaan al-
Quran, bisa dibacakan oleh pendengar melalui telpun atau bisa juga dari pembaca di stasiun Radio. Bacaan itu kemudian diulas, sesuai dengan ketentuan yang benar. Program Fajar Hidayah, program siaran radio yang berisi nasehat-nasehat untuk memperbaiki akhlak pendengar. Program ini merupakan
pengembangan dari metode mauidhah hasanah yang
Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk
umum, pesertanya tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang diselenggarakan satu
minggu sekali pada hari Minggu pagi.
Pengajian binaan adalah pengajian yang diselenggarakan oleh warga MTA di tingkat desa atas persetujuan dari pusat. Pengajian binaan dapat diselenggarakan di rumah-rumah warga MTA, dengan peserta terbatas. Proses dakwah dalam pengajian
binaan, utamanya adalah mengkaji brosur yang dikeluarkan oleh MTA, yang dipimpin oleh ustad yang bertindak sebagai muballigh, dibuka tanya jawab untuk lebih memahami isi pesan dakwah yang dikaji. Apabila waktu masih tersisa, muballigh diperbolehkan membicarakan tema lain di luar brosur sebagai tambahan
pengkayaan pesan dakwah untuk warga. Proses itu diakhiri dengan pembahasan problem kehidupan yang secara nyata dihadapi warga MTA. Pembahasan problem ini mengarah pada penyelesaian problem, yang apabila tidak dapat diselesaikan sendiri, maka problem itu akan disampaikan ke tingkat yang lebih
tinggi untuk diselesaikan.
Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Qur’an, melainkan mengkaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Qur’an agar dapat dihayati dan selanjutnya diamalkan. Pengajian merupakan metode
utama penyebarluasan pesan dakwah MTA kepada mad’u, terutama warga MTA. Penyelenggaraan pengajian itu dipadukan dengan penggunaan media elektronik serta media cetak lainnya. Pengajian yang diselenggarakan di pusat selalu disiarkan secara langsung melalui Radio MTA FM dan disiarkan ulang pada waktu
yang telah ditentukan. Dengan demikian, pesan itu dapat
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
178
diselenggarakan menggunakan media radio. Dari dokumen yang
peneliti terima, program ini menyampaikan mauidhah hasanah tentang persoalan berbakti kepada orang tua. Seperti pola yang dipakai dalam pengajian, muballigh membacakan ayat al-Qur’an tentang birrul walidain, kemudian diterjemahkan dan dijelaskan
maksudnya. Tanya jawab dibuka untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan.
Program Hikmah, termasuk program yang cukup menarik. Dalam program ini, radio memberi kesempatan kepada pendengar untuk memberikan testimoni, menyampaikan kisah yang terjadi di
masyarakat, untuk diperbaiki. Siaran pada tanggal 11 April 2009 berisi penuturan pelaku yang mengalami proses perubahan dan kini sudah meninggalkan ketergantungannya pada benda-benda keramat yang dipercaya dapat membawa keselamatan. Dalam program itu, pendengar menyampaikan kisahnya secara langsung
dan dikupas oleh nara sumber. Dalam wawancara dengan pengurus, di kantor Pusat MTA, terkumpul sejumlah benda-benda yang dikeramatkan. Benda-benda itu dikumpulkan dengan sukarela oleh para pemiliknya yang sudah sadar dan tidak bergantung lagi kepada nya.28
Program seputar haji, berisi siaran tentang ketentuan-ketentuan haji. Dalam dokumen yang diterima peneliti, program seputar haji menyampaikan laporan pandangan mata dari tanah suci, yang dilakukan oleh Ustadz Suprapto dan dipandu oleh Ustadz Zaenal Ahmad. Laporan pandangan mata ini cukup
menarik, karena seolah-seolah membawa pendengar berada di tanah suci. Secara kognitif, pendengar dapat mengetahui ketentuan-ketentuan tentang haji, disamping itu, secara
28 Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
179
emosional, pendengar seolah-olah merasakan berada di tanah suci
bersama jamaah haji yang lain.
Radio MTA-FM juga melayani kelompok tertentu di masyarakat, seperti program Gurit macapat, sebuah program untuk para pendengar yang menyukai tembang-tembang
macapat; Mitra Tani, untuk para petani yang menghadapi masalah pertanian; Taman Indria, program lagu-lagu anak-anak, untuk pendengar anak-anak; Saatnya Wanita Berbicara, sebuah program untuk para wanita, pembahasan tentang hal-hal yang terkait dengan segala persoalan wanita, psikologi anak-anak. Dari
dokumen yang peneliti terima, program Saatnya Wanita Berbicara 6 April 2011 membahas tentang persoalan memulyakan anak; Tamago, program pelajaran bahasa Jepang, untuk para pelajar yang menyukai dan sedang mendalami bahasa Jepang; program Bahasa Arab, sebuah probram berisi obrolan singkat
menggunakan bahasa Arab, yang penyajiannya diselingi dengan bahasa Indonesia, untuk para pelajar yang sedang mendalami bahasa Arab.
Di samping itu, Radio MTA-FM juga menyiarkan problem-problem kesehatan dan psikologi dalam program yang disebut
dengan Dokter dan program lainnya yang disebut dengan Psikologi. Dari dokumen yang diterima peneliti, pada tanggal 7 Januari 2009, program psikologi diasuh oleh Adi Nugroho, berisi tanya jawab tentang persoalan karir, pada siaran sebelumnya berbicara tentang konsep ego dan emosi. Program ini membatasi
diri, tidak berbicara tentang psikologi anak. Tentang anak dibahas dalam program Saatnya Wanita Berbicara (SWB). Sedangkan program Dokter, tentang konsultasi kesehatan diisi oleh Dewi Anggorowati sebagai nara sumber. Kedua acara itu dikemas dalam bentuk tanya jawab.
diselenggarakan menggunakan media radio. Dari dokumen yang
peneliti terima, program ini menyampaikan mauidhah hasanah tentang persoalan berbakti kepada orang tua. Seperti pola yang dipakai dalam pengajian, muballigh membacakan ayat al-Qur’an tentang birrul walidain, kemudian diterjemahkan dan dijelaskan
maksudnya. Tanya jawab dibuka untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan.
Program Hikmah, termasuk program yang cukup menarik. Dalam program ini, radio memberi kesempatan kepada pendengar untuk memberikan testimoni, menyampaikan kisah yang terjadi di
masyarakat, untuk diperbaiki. Siaran pada tanggal 11 April 2009 berisi penuturan pelaku yang mengalami proses perubahan dan kini sudah meninggalkan ketergantungannya pada benda-benda keramat yang dipercaya dapat membawa keselamatan. Dalam program itu, pendengar menyampaikan kisahnya secara langsung
dan dikupas oleh nara sumber. Dalam wawancara dengan pengurus, di kantor Pusat MTA, terkumpul sejumlah benda-benda yang dikeramatkan. Benda-benda itu dikumpulkan dengan sukarela oleh para pemiliknya yang sudah sadar dan tidak bergantung lagi kepada nya.28
Program seputar haji, berisi siaran tentang ketentuan-ketentuan haji. Dalam dokumen yang diterima peneliti, program seputar haji menyampaikan laporan pandangan mata dari tanah suci, yang dilakukan oleh Ustadz Suprapto dan dipandu oleh Ustadz Zaenal Ahmad. Laporan pandangan mata ini cukup
menarik, karena seolah-seolah membawa pendengar berada di tanah suci. Secara kognitif, pendengar dapat mengetahui ketentuan-ketentuan tentang haji, disamping itu, secara
28 Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
180
Program siaran Radio yang dikerjakan dengan menjalin
kerjasama dengan lembaga lain antara lain adalah TKP dan Wedangan. Program TKP (Tanya Kepada Polisi) berisi siaran terkait dengan persoalan kriminal dengan menghadirkan pihak kepolisian. Pada tanggal 15 Nopember 2010, siaran TKP dipandu
oleh pembawa acara Rudi sedang dari pihak kepolisian diwakili oleh Suprihadi, dari kasubag Binmas. Wedangan, program siaran yang dikemas dalam bentuk obrolan sambil ngombe wedang (minum teh/kopi), hasil kerja sama MTA dengan Menkominfo, membahas tentang persoalan internet, handphone (infrastruktur)
dan diseminasi informasi. Pengajian MTA di tingkat pusat disiarkan secara langsung di Radio MTA FM dan disiar ulang pada waktu yang telah ditentukan di radio yang sama. Kata pengurus MTA, “Siaran langsung atau siar ulang itu dilakukan agar warga yang tidak sempat datang di pengajian, dapat mengikuti pengajian dari
rumah atau di tempat lain yang terjangkau oleh siaran Radio MTA FM.”29
Siaran radio MTA FM menjangkau wilayah yang cukup luas. Dari wilayah eks karisedenan Surakarta seperti Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo dan
Kodya Surakarta sampai sebagian wilayah Semarang selatan, gunung kidul, Pacitan, Bojonegoro, Ponorogo, Ngawi, Blora, Purwadadi, Cepu, Rembang dan Tuban. Bahkan sampai sekarang sudah menjamah luar negeri, yaitu melalui internet live streaming.
Potensi Konflik dan Integrasi Dalam Dakwah
Penelusuran terhadap potensi konflik dan integrasi dalam dinamika dakwah di Surakarta dapat dilakukan melalui kajian
29 Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
181
terhadap visi purifikasi keagamaan. Ini bukan maksudnya bahwa
siapapun yang melakukan gerakan dakwah puritan menjadi aktor munculnya konflik atau integrasi berbasis agama di Surakarta. Namun maksudnya bahwa gerakan purifikasi keagamaan telah disikapi secara berbeda oleh beberapa gerakan dakwah yang ada
di Surakarta.
Secara harfiah, purifikasi berarti pemurnian. Gerakan purifi-kasi yang muncul dalam konteks Islam biasanya disebut dengan gerakan Tajdid/Ishlah dan gerakan salaf. Tajdid/ishlah artinya ialah gerakan yang berusaha untuk memperbaiki kondisi umat yang
lemah akibat tradisi, praktik dan kepercayaan yang salah. Gerakan salaf ialah gerakan yang mencoba mengembalikan kondisi Islam seperti pada masa generasi salaf (lampau) ketika Islam masih murni dan belum bercampur dengan konsep-konsep teologi asing.
Beberapa karakter umum gerakan purifikasi adalah: (1) Anggapan terjadi penyimpangan pengamalan ajaran Islam di kalangan umat Islam hingga agama yang mereka anut bukan lagi Islam yang murni; (2) Penyimpangan terjadi karena penyalahgunaan tokoh-tokoh agama dan karena pengaruh dari
ajaran non-Islam yang secara sengaja atau tidak, mempengaruhi pikiran umat Islam; (3) Sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari berbagai penyimpangan dengan jalan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”; (4) Tipe ideal masyarakat yang dijadikan rujukan agama secara murni adalah generasi salaf,
yaitu mereka yang hidup pada abad pertama Islam; (5) Ijtihad merupakan metode untuk memahami sumber ajaran Islam.30
30 Syafiq A Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 4. Lihat juga Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai
Program siaran Radio yang dikerjakan dengan menjalin
kerjasama dengan lembaga lain antara lain adalah TKP dan Wedangan. Program TKP (Tanya Kepada Polisi) berisi siaran terkait dengan persoalan kriminal dengan menghadirkan pihak kepolisian. Pada tanggal 15 Nopember 2010, siaran TKP dipandu
oleh pembawa acara Rudi sedang dari pihak kepolisian diwakili oleh Suprihadi, dari kasubag Binmas. Wedangan, program siaran yang dikemas dalam bentuk obrolan sambil ngombe wedang (minum teh/kopi), hasil kerja sama MTA dengan Menkominfo, membahas tentang persoalan internet, handphone (infrastruktur)
dan diseminasi informasi. Pengajian MTA di tingkat pusat disiarkan secara langsung di Radio MTA FM dan disiar ulang pada waktu yang telah ditentukan di radio yang sama. Kata pengurus MTA, “Siaran langsung atau siar ulang itu dilakukan agar warga yang tidak sempat datang di pengajian, dapat mengikuti pengajian dari
rumah atau di tempat lain yang terjangkau oleh siaran Radio MTA FM.”29
Siaran radio MTA FM menjangkau wilayah yang cukup luas. Dari wilayah eks karisedenan Surakarta seperti Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo dan
Kodya Surakarta sampai sebagian wilayah Semarang selatan, gunung kidul, Pacitan, Bojonegoro, Ponorogo, Ngawi, Blora, Purwadadi, Cepu, Rembang dan Tuban. Bahkan sampai sekarang sudah menjamah luar negeri, yaitu melalui internet live streaming.
Potensi Konflik dan Integrasi Dalam Dakwah
Penelusuran terhadap potensi konflik dan integrasi dalam dinamika dakwah di Surakarta dapat dilakukan melalui kajian
29 Wawancara dengan Sekeratris MTA Pusat , Medi, September 2011
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
182
Salah satu dari sejumlah organisasi yang berdakwah di
Surakarta, yang visi dakwahnya melakukan purifikasi keagamaan adalah Majlis Tafsir al-Qur’an. Di antara pesan dakwah MTA yang disampaikan kepada mad’u dalam kegiatan pengajian-pengajian berisi hasil penilaian tokohnya terhadap praktik beragama yang
selama ini telah mentradisi di masyarakat. Dalam menyampaikan pesan dakwah, MTA berpedoman pada pemahamannya terhadap al-Qur’an dan Hadits. Ketika juru dakwah MTA tidak dapat menemukan keterangan secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits tentang praktik beragama dalam kehidupan masyarakat, maka hal
itu dianggap sebagai bid’ah. Dalam membangun argumentasinya, MTA memaknai konsep bid’ah sebagai semua praktik beragama yang dianggap tidak Islam murni karena tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Semua yang termasuk dalam kategori bid’ah, apabila dilakukan apalagi dilestarikan, maka
pelakunya dianggap menyimpang dari ajaran nabi Muhammad. Oleh karena itu, MTA mendorong semua anggotanya untuk menolak dan menghentikan semua praktik beragama Islam yang termasuk dalam kategori bid’ah, dimanapun mereka menjumpai hal itu.
Menurut pandangan MTA, berdakwah sejatinya bukan hanya dimonopoli oleh tokoh MTA akan tetapi semua anggota MTA harus berdakwah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Di antara praktik dakwah yang mudah dilihat dari gerakan MTA adalah keaktifan anggota MTA dalam mengamalkan
pesan dakwah yang mereka pahami dari hasil pengajian yang mereka ikuti. Hal itu berpotensi menimbulkan konflik karena dakwah yang dilakukannya bersinggungan dengan tradisi beragama yang telah hidup di masyarakat. Dilihat dari pesan
Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011, hlm. 583.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
183
dakwahnya, praktek dakwah yang berpotensi menimbulkan
konflik misalnya kegiatan anggota MTA dalam menyampaikan dan mengkritik praktik beragama di masyarakat yang dinilai bid’ah. Semua hal yang dinilai bid’ah harus ditolak. Hal itu dapat berdampak pada kerenggangan hubungan anak dan ibu, seperti
kisah yang disiarkan MTA melalui radio. Didorong oleh ajaran bahwa tahlil itu bid’ah sehingga harus dihindari, anggota MTA yang orang tuanya masih mengamalkan ajaran tahlil, menolak perintah orang tuanya untuk membeli semua hal yang diperlukan sebagai persiapan kegiatan tahlil. Tindakan menolak perintah
orang tua itu ditanyakan benar tidaknya oleh anggota MTA kepada Sukino. Hal itu dinilai oleh Sukino sebagai tindakan yang sudah benar. Praktik beragama seperti yang ditunjukkan oleh anak tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pengamalan ajaran yang murni, karena keterangan tentang kegiatan tahlil dianggap
tidak ada pembenarannya dari nabi Muhammad. Namun demikian, secara sosial, ternyata praktik beragama itu berdampak pada kerenggangan hubungan antara anak dan orang tua dalam keluarga tersebut.
Secara internal, dakwah MTA telah menyatukan anggota
MTA. Semua anggota terjalin dalam kesatuan ukhuwah yang kuat. Mereka bahu membahu, saling menolong baik dalam menghidupkan dan meramaikan pengajian-pengajian tingkat kecamatan atau desa yang diselenggarakan oleh anggota MTA di tingkat kecamatan dan desa maupun dalam mengamalkan ajaran
Islam yang memerlukan kerja sama sejumlah orang seperti ibadah penyembelihan hewan qurban dan pendistribusiannya. Namun dalam hubungannya dengan anggota kelompok non-MTA, dakwah MTA direspon secara beranekaragam oleh anggota masyarakat yang praktik beragamanya dinilai bid’ah, seperti tradisi
membaca tahlil, yasin, shalawatan, ziarah qubur, bersalaman
Salah satu dari sejumlah organisasi yang berdakwah di
Surakarta, yang visi dakwahnya melakukan purifikasi keagamaan adalah Majlis Tafsir al-Qur’an. Di antara pesan dakwah MTA yang disampaikan kepada mad’u dalam kegiatan pengajian-pengajian berisi hasil penilaian tokohnya terhadap praktik beragama yang
selama ini telah mentradisi di masyarakat. Dalam menyampaikan pesan dakwah, MTA berpedoman pada pemahamannya terhadap al-Qur’an dan Hadits. Ketika juru dakwah MTA tidak dapat menemukan keterangan secara ekplisit dalam al-Qur’an dan Hadits tentang praktik beragama dalam kehidupan masyarakat, maka hal
itu dianggap sebagai bid’ah. Dalam membangun argumentasinya, MTA memaknai konsep bid’ah sebagai semua praktik beragama yang dianggap tidak Islam murni karena tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Semua yang termasuk dalam kategori bid’ah, apabila dilakukan apalagi dilestarikan, maka
pelakunya dianggap menyimpang dari ajaran nabi Muhammad. Oleh karena itu, MTA mendorong semua anggotanya untuk menolak dan menghentikan semua praktik beragama Islam yang termasuk dalam kategori bid’ah, dimanapun mereka menjumpai hal itu.
Menurut pandangan MTA, berdakwah sejatinya bukan hanya dimonopoli oleh tokoh MTA akan tetapi semua anggota MTA harus berdakwah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Di antara praktik dakwah yang mudah dilihat dari gerakan MTA adalah keaktifan anggota MTA dalam mengamalkan
pesan dakwah yang mereka pahami dari hasil pengajian yang mereka ikuti. Hal itu berpotensi menimbulkan konflik karena dakwah yang dilakukannya bersinggungan dengan tradisi beragama yang telah hidup di masyarakat. Dilihat dari pesan
Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011, hlm. 583.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
184
setelah salam dalam sholat lima waktu, membaca wiridan secara
berjamaah setelah sholat berjamaah dan lain-lain. Sebagian dari respon itu adalah pengembangan dan penyebarluasan praktik beragama yang justru dinilai bid’ah oleh MTA. Bentuk respon tersebut dilakukan antara lain oleh Jamura, yang mengembangkan
penyelenggaraan tradisi bershalawat secara massal. Juru dakwah Jamura juga berusaha memberi penjelasan kepada mad’u bahwa tradisi yang dinilai bid’ah itu, ada dalilnya dalam al-Qur’an atau hadits. Respon tersebut dilakukan dengan dakwah bil-lisan (seperti pesan dakwah dalam tausyiyah, pengajian dan melalui radio),
dengan dakwah bil-hal (seperti mentradisikan kegiatan bersholawat secara massal) dan bil-qalam (seperti diterbitkannya buku Jamura Menjawab dan Ahlul Bid’ah Hasanah, Jawaban Untuk
Mereka yang Mempersoalkan Amalan Para Wali).
Hubungan antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan
Kerukunan
Upaya memelihara kerukunan kehidupan beragama selalu diusahakan oleh tokoh-tokoh agama di Surakarta. Kerukunan hidup beragama antar umat beragama diupayakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Surakarta. Sedangkan pemeliharaan kerukunan hidup beragama intern umat Islam dilakukan oleh
Majlis Ulama Indonesia Surakarta.
Forum Kerukunan Umat Beragama menghimpun dan mensosialisasikan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang berisi regulasi tentang kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam pemahaman FKUB Surakarta, peraturan bersama
Menteri Agama dan Menteri dalam negeri nomor 8/9 tahun 2007 masih memuat beberapa pasal dan ayat yang dapat menimbulkan multi tafsir yang berpotensi melahirkan konflik antar pengikut
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
185
agama. Oleh karena itu pada tanggal 27-28 Maret 2007 FKUB
menggelar Workshop yang diantara tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi dan merumuskan kesepakatan-kesepakatan sebagai pedoman dalam mengatasi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik antar umat
beragama.
Menurut Solekhan, Ketua FKUB Surakarta, penyelenggaraan workshop itu sebenarnya merupakan puncak dari serangkaian pertemuan-pertemuan tokoh-tokoh agama yang mewakili agama-agama Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha
dan Konghucu. Pertemuan itu diselenggarakan di kantor FKUB, mempersiapkan naskah yang akan dibicarakan dalam Workdhop tersebut.31 Pertemuan-pertemuan sebelum Workshop itu menghasilkan berbagai rumusan terkait dengan: (1) Bab, pasal dan ayat-ayat yang dianggap sudah jelas sehingga tidak memerlukan
penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaannya; (2) Bab, pasal dan ayat-ayat yang dianggap belum cukup jelas dan dapat menimbulkan multi tafsir sehingga memerlukan penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaannya; (3) Hal yang belum diatur secara jelas oleh
peraturan bersama tersebut, sehingga perlu dirumuskan pedoman tambahannya; (4) Rumusan-rumusan penjelasan dan rincian yang ditambahkan sebagai pedoman pelaksanaan dari bab, pasal dan ayat yang belum cukup jelas dan menimbulkan multi tafsir serta yang belum diatur dalam peraturan, sehingga ada penjelasan dan
penafsiran tunggal sebagai pedoman pelaksanaan peraturan tersebut
Rumusan yang sebenarnya sudah disepakati itu, kemudian menjadi naskah utama untuk dibicarakan dalam workshop tanggal
31 Wawancara dengan Solekhan, Ketua FKUB Surakarta, September 2011.
setelah salam dalam sholat lima waktu, membaca wiridan secara
berjamaah setelah sholat berjamaah dan lain-lain. Sebagian dari respon itu adalah pengembangan dan penyebarluasan praktik beragama yang justru dinilai bid’ah oleh MTA. Bentuk respon tersebut dilakukan antara lain oleh Jamura, yang mengembangkan
penyelenggaraan tradisi bershalawat secara massal. Juru dakwah Jamura juga berusaha memberi penjelasan kepada mad’u bahwa tradisi yang dinilai bid’ah itu, ada dalilnya dalam al-Qur’an atau hadits. Respon tersebut dilakukan dengan dakwah bil-lisan (seperti pesan dakwah dalam tausyiyah, pengajian dan melalui radio),
dengan dakwah bil-hal (seperti mentradisikan kegiatan bersholawat secara massal) dan bil-qalam (seperti diterbitkannya buku Jamura Menjawab dan Ahlul Bid’ah Hasanah, Jawaban Untuk
Mereka yang Mempersoalkan Amalan Para Wali).
Hubungan antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan
Kerukunan
Upaya memelihara kerukunan kehidupan beragama selalu diusahakan oleh tokoh-tokoh agama di Surakarta. Kerukunan hidup beragama antar umat beragama diupayakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama Surakarta. Sedangkan pemeliharaan kerukunan hidup beragama intern umat Islam dilakukan oleh
Majlis Ulama Indonesia Surakarta.
Forum Kerukunan Umat Beragama menghimpun dan mensosialisasikan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang berisi regulasi tentang kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam pemahaman FKUB Surakarta, peraturan bersama
Menteri Agama dan Menteri dalam negeri nomor 8/9 tahun 2007 masih memuat beberapa pasal dan ayat yang dapat menimbulkan multi tafsir yang berpotensi melahirkan konflik antar pengikut
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
186
27-28 Maret 2007. Workshop dihadiri perwakilan dari unsur umat
Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Workshop diselenggarakan di Balai Tawangarum Kompleks Balai Kota Surakarta, yang menghasilkan kesepakatan diantaranya: (1) Umat
beragama di kota Surakarta mempunyai komitmen bersama untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri Agama No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 dan siap melakukan sosialisasi dan mentaati hasil workshop agar tercapai kerukunan hidup antar umat beragama; (2) Terkait dengan penjelasan dan rincian yang
perlu ditambahkan karena dipandang belum ada ketentuan untuk itu; bab, pasal dan ayat-ayat di dalamnya yang dipandang belum cukup jelas dan menimbulkan multi tafsir, peserta workshop menyepakati penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaan peraturan tersebut.32
Hasil kesepakatan dalam workshop tersebut, kesepakatan dan berbagai peraturan lainnya yang relevan untuk pedoman kerukunan umat beragama dikumpulkan menjadi sebuah naskah. Peraturan dan kesepakatan lain yang dilampirkan dalam naskah itu adalah salinan lengkap
a) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 tahun 2006
b) Peraturan Menteri Agama No 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama di Indonesia
c) Undang-undang Sisdiknas no 20 tahun 2003
d) Undang-undang dasar 1945 yang sudah diamandemen
32 FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat
Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428)
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
187
e) Laporan Prof Dr. H.M. Rasjidi tentang Konferensi Meja Bundar
Da’wah Islam dan Misi Kristen di Genewa tanggal 26-30 Juni 1976
f) Deklarasi HAM PBB versi bahasa Inggris dan versi bahasa Indonesia
Kasus konflik yang pernah diselesaikan oleh FKUB antara lain pendirian tempat ibadah untuk umat Kristani di Pucang sawit kecamatan Jebres, yang dalam pemenuhan persyaratan administrasinya melibatkan wakil dari para pejabat yang berwenang untuk itu, tidak dengan pucuk pimpinannya. Persoalan
ini sempat muncul ke permukaan dalam bentuk open-konflik. FKUB melalui forum rapat yang melibatkan semua pihak yang terkait menyelseasikan persoalan itu dengan cara pihak umat Kristiani diminta merubah persyaratan administratif tersebut. Konflik lainnya pendirian gereja sion di Srengan yang ditolak oleh
masyarakat setempat. Sousinya gereja itu dipindah ke Kadipiro, banjarsari. Kasus-kasus itu diselesaikan dengan merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 sebagai salah satu pedomannya. Peraturan tersebut dilengkapi dengan berbagai penjelasan dan rincian
untuk pedoman pelaksanaannya dan diterbitkan dalam bentuk naskah kesepakatan. Naskah itulah yang kemudian digandakan dan menjadi bahan sosialisasi untuk masing-masing pengikut agama-agama di Surakarta, sebagai salah satu rujukan bagi para tokoh, pengikut agama dan FKUB dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang muncul, terkait dengan hubungan antar agama di Surakarta.
Meskipun naskah kesepakatan hasil workshop FKUB dimaksudkan sebagai pedoman untuk menjamin kerukunan antar umat beragama, namun dalam perkembangannya juga digunakan
sebagai salah satu rujukan untuk mengatur dan menjamin
27-28 Maret 2007. Workshop dihadiri perwakilan dari unsur umat
Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Workshop diselenggarakan di Balai Tawangarum Kompleks Balai Kota Surakarta, yang menghasilkan kesepakatan diantaranya: (1) Umat
beragama di kota Surakarta mempunyai komitmen bersama untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri Agama No 8/2006 dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 dan siap melakukan sosialisasi dan mentaati hasil workshop agar tercapai kerukunan hidup antar umat beragama; (2) Terkait dengan penjelasan dan rincian yang
perlu ditambahkan karena dipandang belum ada ketentuan untuk itu; bab, pasal dan ayat-ayat di dalamnya yang dipandang belum cukup jelas dan menimbulkan multi tafsir, peserta workshop menyepakati penjelasan dan rincian tambahan sebagai pedoman pelaksanaan peraturan tersebut.32
Hasil kesepakatan dalam workshop tersebut, kesepakatan dan berbagai peraturan lainnya yang relevan untuk pedoman kerukunan umat beragama dikumpulkan menjadi sebuah naskah. Peraturan dan kesepakatan lain yang dilampirkan dalam naskah itu adalah salinan lengkap
a) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 tahun 2006
b) Peraturan Menteri Agama No 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama di Indonesia
c) Undang-undang Sisdiknas no 20 tahun 2003
d) Undang-undang dasar 1945 yang sudah diamandemen
32 FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat
Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428)
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
188
kerukunan internal umat Islam. Dalam wawancara dengan
pengurusnya, MUI mensosialisasikan hasil kesepakatan yang dicapai dalam workshop FKUB tersebut.
Majlis Ulama Indonesia adalah organisasi tempat berhimpunnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim. Salah satu
perannya, adalah sebagai pelopor gerakan perbaikan umat. Dalam peran itu, MUI dituntut untuk berfungsi sebagai pendamai dan pembina kehidupan beragama umat Islam. MUI memainkan peran pendamai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ada dua cara yang
ditempuh untuk menyelesaikan konflik perbedaan paham keagamaan. Pertama, kompromi dan persesuaian (al-Jam’u wat
Taufiq); kedua, mencari hukum yang lebih kuat (tarjih). Kedua metode itu merupakan alternatif-alternatif untuk menjaga
kerukunan dan persaudaraan di lingkungan umat Islam. Sedangkan peran MUI sebagai pembina dilakukannya dengan cara-cara: (1) Memelihara dan membina kehidupan umat (hiamayah al-ummah) terutama dalam akidah, syariah dan akhlak; (2) Penguatan dan pemberdayaan kehidupan umat (taqwiyah al-
Ummah); (3) Berusaha terus menerus menyatukan umat (tauhid al-
ummah).33; (4) MUI kota Surakarta harus memainkan perannya dalam membina kerukunan umat islam di Surakarta. Secara rutin,
MUI kota Surakarta menyelenggarakan rapat dengan mengundang berbagai organisasi sosial islam yang ada di Surakarta. Melalui rapat, MUI berusaha untuk membangun dan menjamin kerukunan antar pengikut Islam di organisasi-organisasi keagamaan Islam yang ada. Dalam pandangan pengurus MUI,
konflik antar umat Islam dipicu oleh kesalahpahaman pemikiran
33 MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang
Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010), halaman 32-33
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
189
agama yang ditablighkan oleh organisasi. Setiap organisasi yang
berdakwah di Surakarta, tentu menyampaikan kepada orang lain, baik anggotanya maupun bukan anggotanya, pesan dakwah yang berdasarkan pada pemahaman keagamaan tokohnya. Pesan dakwah itu tentu yang bersesuaian dan ada pula yang saling
menafikan. Praktek dakwah demikian dalam kenyataannya telah menimbulkan persinggungan inter umat Islam. Untuk menjamin kerukunan, MUI menyelenggarakan rapat untuk memfasilitasi terjalinnya komunikasi di antara pengikut berbagai organisasi sosial Islam itu. Dengan memperbanyak komunikasi, diharapkan
perbedaan pemahaman tidak sampai muncul dalam bentuk tindakan kekerasan, paling jauh hanya muncul dalam kekerasan berkomunikasi, seperti yang pernah muncul dalam forum-forum rapat yang diselenggarakan FKUB ketika merumuskan penyikapan mereka terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri no 8/9 tahun 2006.
MUI kota Surakarta dipimpin oleh Zaenal Abidin, seorang Dokter yang sehari-harinya bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran UNS. Dia bekerja pada salah satu amal usaha Muhammadiyah yaitu sebagai dokter di PKU (Pertolongan
Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah kota Surakarta namun bukan pengurus Muhammadiyah.34 Baik pengurus Jamura maupun Muhammadiyah mengakui bahwa Zaenal Abdin adalah penasehat MTA, barangkali berkaitan dengan keaktifannya secara terbuka dan kesengajaan MTA mempublikasikan Zaenal Abidin
sebagai penasehat MTA. Zaenal Abidin merupakan salah satu sosok yang menunjukkan adanya usaha menjalin kerukunan antara MTA dengan Muhammadiyah. Upaya lain untuk menjalin kerukunan antar anggota Jamura dan MTA ditunjukkan antara lain oleh ijin yang diterima salah seorang pengurus Majlis Wakil
34 Wawancara dengan Abdul Ghofar, anggota Muhammadiyah, September 2011
kerukunan internal umat Islam. Dalam wawancara dengan
pengurusnya, MUI mensosialisasikan hasil kesepakatan yang dicapai dalam workshop FKUB tersebut.
Majlis Ulama Indonesia adalah organisasi tempat berhimpunnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim. Salah satu
perannya, adalah sebagai pelopor gerakan perbaikan umat. Dalam peran itu, MUI dituntut untuk berfungsi sebagai pendamai dan pembina kehidupan beragama umat Islam. MUI memainkan peran pendamai ketika menghadapi konflik yang berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ada dua cara yang
ditempuh untuk menyelesaikan konflik perbedaan paham keagamaan. Pertama, kompromi dan persesuaian (al-Jam’u wat
Taufiq); kedua, mencari hukum yang lebih kuat (tarjih). Kedua metode itu merupakan alternatif-alternatif untuk menjaga
kerukunan dan persaudaraan di lingkungan umat Islam. Sedangkan peran MUI sebagai pembina dilakukannya dengan cara-cara: (1) Memelihara dan membina kehidupan umat (hiamayah al-ummah) terutama dalam akidah, syariah dan akhlak; (2) Penguatan dan pemberdayaan kehidupan umat (taqwiyah al-
Ummah); (3) Berusaha terus menerus menyatukan umat (tauhid al-
ummah).33; (4) MUI kota Surakarta harus memainkan perannya dalam membina kerukunan umat islam di Surakarta. Secara rutin,
MUI kota Surakarta menyelenggarakan rapat dengan mengundang berbagai organisasi sosial islam yang ada di Surakarta. Melalui rapat, MUI berusaha untuk membangun dan menjamin kerukunan antar pengikut Islam di organisasi-organisasi keagamaan Islam yang ada. Dalam pandangan pengurus MUI,
konflik antar umat Islam dipicu oleh kesalahpahaman pemikiran
33 MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang
Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010), halaman 32-33
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
190
Cabang NU Banjarsari Surakarta yang sekaligus anggota Jamura
(Bapak Jupri) beserta rombongan haji lainnya untuk bergabung dengan bimbingan haji yang dikelola oleh MTA pada tahun 2011. Demikian juga ada pengurus MTA yang berguru al-Qur’an kepada Kyai Abdul Karim (pengurus Jamura).35
35 Wawancara dengan Ustadz safwan, Pengurus Jamura, Sepetember 2011.
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
191
Kegiatan dakwah dibedakan ke dalam dakwah kelompok dan dakwah perorangan. Dakwah kelompok menunjuk pada
gerakan dakwah yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terhimpun dalam suatu organisasi. Sedangkan dakwah perorangan menunjuk pada kegiatan dakwah yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dengan organisasi tertentu. Kegiatan dakwah dilakukan oleh perorangan yang tidak dikelola dalam dan
oleh suatu organisasi.
Di Surakarta ada beberapa organisasi sosial keislaman yang melakukan kegiatan dakwah secara kelompok. Di antara organisasi itu adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majlis Pengajian Islam, Ahbabul Musthofa, Majlis Tafsir al-Qur’an, al-
Islam, Front Pemuda Islam Surakarta, Jamaah Muji Rasul (Jamura), Lembaga Dewan Dakwah Indonesia dan lain lain. Di samping itu, ditemukan pula sejumlah da’i yang terdiri dari muballigh (sebanyak 299) dan penyuluh agama non-PNS (sebanyak 169 orang) yang tersebar di berbagai daerah. Kemenag Kota Surakarta
melaporkan di Banjarsari ada 74 orang muballigh, Jebres 108, Pasar Kliwon 35, Serengan 18, dan Laweyang 64. Sebagian dari
Cabang NU Banjarsari Surakarta yang sekaligus anggota Jamura
(Bapak Jupri) beserta rombongan haji lainnya untuk bergabung dengan bimbingan haji yang dikelola oleh MTA pada tahun 2011. Demikian juga ada pengurus MTA yang berguru al-Qur’an kepada Kyai Abdul Karim (pengurus Jamura).35
35 Wawancara dengan Ustadz safwan, Pengurus Jamura, Sepetember 2011.
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
192
mereka berdakwah secara perorangan dan ada pula yang
berdakwah secara berkelompok.
Mereka yang berdakwah melalui wadah organisasi, ada yang dakwahnya dimaksudkan untuk membina kehidupan agama anggota kelompok masing-masing dan ada pula yang ditujukan
untuk mempengaruhi orang-orang di luar kelompoknya, agar bergabung baik secara terselubung maupun terang-terangan. Gerakan dakwah demikian dilakukan oleh masing-masing organisasi dan setiap orang Islam secara individual yang terpanggil untuk berdakwah, yang hidup di Kota Surakarta.
Kesemarakan dakwah di Kota Surakarta itu juga tercermin pada pemanfaatan sarana komunikasi dan tradisi yang berkembang di masyarakat, untuk media dakwah. Pesan-pesan dakwah itu diterpakan kepada mad’u dengan berbagai cara dan dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang tersedia.
Di antara pesan-pesan itu ada yang saling mendukung dan ada pula yang saling menafikan. Persinggungan dan pertemuan isi pesan-pesan dakwah yang dibawakan oleh berbagai media itu menjadi bagian dari muatan informasi yang menimpa warga Masyarakat Kota Surakarta. Sehingga dapat dibayangkan bahwa
penduduk Kota Surakarta hampir tidak dapat melepaskan diri dari jeratan proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi dengan pesan ajaran Islam.
Dakwah umat Islam sesungguhnya dilakukan untuk membela, mempertahankan, menyebarluaskan dan
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam di muka bumi. Sebagian dari Umat Islam berdakwah untuk memurnikan ajaran Islam. Dakwah puritan itu didasarkan pada asumsi (pertama), pengamalan ajaran Islam di kalangan umat Islam telah menyimpang dari Islam yang murni, (kedua) penyimpangan itu
terjadi karena ajaran-ajaran non-Islam mempengaruhi pemikiran
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
193
umat Islam, yang (dengan sengaja maupun tidak disengaja)
dimasukkan oleh tokoh-tokoh agama, dengan berbagai motif yang melatar belakanginya, (ketiga) sebagai jalan keluar dari keadaan itu, Islam harus dibersihkan dari berbagai penyimpangan dengan jalan kembali “kepada al-Qur’an dan Sunnah.” (keempat)
tipe ideal masyarakat yang dijadikan rujukan beragama secara murni adalah generasi awal Islam, (kelima) ijtihad merupakan cara untuk memahami sumber ajaran Islam.36
Dakwah puritan mengembangkan dikotomi bid’ah dan sunnah. Perilaku bid’ah, maksudnya pengamalan yang tidak ada
rujukannya pada al-Qur’an dan Sunnah, sedang perilaku sunnah adalah perilaku yang ada rujukannya pada al-Qur’an dan Sunnah, yaitu perilaku yang ada contohnya pada masa nabi atau generasi Islam awal. Dakwah puritan mempertahankan argumentasinya bahwa berdakwah merupakan proses mengembalikan dan
mempertahankan kemurnian Islam, seperti didakwahkan Nabi Muhammad. Bagi mereka, berdakwah secara sederhana merupakan proses mengganti perilaku yang masuk kategori bid’ah dengan sunnah.
Majlis Tafsir al-Qur’an (MTA)
Salah satu organisasi yang aktif melakukan kegiatan
dakwah puritan adalah MTA. Para da’i yang terhimpun dalam Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) berdakwah melalui berbagai bentuk kegiatan seperti kegiatan pengajian, kegiatan pendidikan, kegiatan sosial, kesehatan, ekonomi serta penerbitan, komunikasi dan informasi, untuk mengembalikan dan mempertahankan
kemurnian Islam.
36 Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam, Perumusan jaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), halaman 4.
mereka berdakwah secara perorangan dan ada pula yang
berdakwah secara berkelompok.
Mereka yang berdakwah melalui wadah organisasi, ada yang dakwahnya dimaksudkan untuk membina kehidupan agama anggota kelompok masing-masing dan ada pula yang ditujukan
untuk mempengaruhi orang-orang di luar kelompoknya, agar bergabung baik secara terselubung maupun terang-terangan. Gerakan dakwah demikian dilakukan oleh masing-masing organisasi dan setiap orang Islam secara individual yang terpanggil untuk berdakwah, yang hidup di Kota Surakarta.
Kesemarakan dakwah di Kota Surakarta itu juga tercermin pada pemanfaatan sarana komunikasi dan tradisi yang berkembang di masyarakat, untuk media dakwah. Pesan-pesan dakwah itu diterpakan kepada mad’u dengan berbagai cara dan dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang tersedia.
Di antara pesan-pesan itu ada yang saling mendukung dan ada pula yang saling menafikan. Persinggungan dan pertemuan isi pesan-pesan dakwah yang dibawakan oleh berbagai media itu menjadi bagian dari muatan informasi yang menimpa warga Masyarakat Kota Surakarta. Sehingga dapat dibayangkan bahwa
penduduk Kota Surakarta hampir tidak dapat melepaskan diri dari jeratan proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi dengan pesan ajaran Islam.
Dakwah umat Islam sesungguhnya dilakukan untuk membela, mempertahankan, menyebarluaskan dan
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam di muka bumi. Sebagian dari Umat Islam berdakwah untuk memurnikan ajaran Islam. Dakwah puritan itu didasarkan pada asumsi (pertama), pengamalan ajaran Islam di kalangan umat Islam telah menyimpang dari Islam yang murni, (kedua) penyimpangan itu
terjadi karena ajaran-ajaran non-Islam mempengaruhi pemikiran
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
194
Mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang ahli dalam
bidangnya, berdakwah dengan menyampaikan keahliannya untuk
membangun dan memperbaiki kehidupan warganya. Sementara
itu, orang-orang yang tergabung sebagai warga MTA dengan rutin
mendatangi pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh MTA.
Mereka yang tidak hadir, diberi kesempatan untuk mengikuti
pengajian melalui media Radio atau rekaman, untuk
mengembalikan Umat audial yang dapat diperoleh warga MTA.
Kegiatan dakwah MTA memberi peluang kepada semua
anggota MTA untuk dapat mengembangkan ketaatannya dalam
beragama melalui berbagai kegiatan sosial, kesehatan dan lain-
lain. MTA memberi kesempatan kepada mereka yang kompeten
dalam bidangnya masing-masing, mengimplementasikan ilmunya
untuk kepentingan dakwah. Para dokter berdakwah melalui
pelayanan kesehatan, demikian juga petani dan anggota-anggota
dengan berbagai keahlian lainnya. MTA mengelola
penyembelihan dan pendistribusian daging Qurban kepada yang
berhak secara kolektif, sebagai bagian dari kegiatan dakwah sosial
mereka.
Pembinaan keagamaan untuk anggota MTA lainnya
dilakukan melalui pengajian rutin dalam bentuk monolog dan
dialog. Pengajian rutin itu diikuti oleh anggota MTA baik yang
berasal dari Kota Surakarta maupun dari luar. Dalam pengajian
rutin itu, para da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang
bersumber dari al-Qur’an, yang mengacu pada terjemah al-Qur’an
yang diterbitkan oleh kementerian agama dan beberapa kitab
tafsir lain.
Struktur organisasi MTA di tingkat pusat terletak di
Surakarta, pengurus perwakilan terletak di tingkat Kabupaten,
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
195
pengurus cabang di tingkat kecamatan. Selain itu, anggota MTA
dapat membuka pengajian binaan yang terletak di tingkat desa.
Pembukaan pengajian binaan di tingkat desa tidak ada batasan,
bahkan satu atau dua anggota MTA di suatu desa yang merasa
mampu menyelenggarakan pengajian, mereka dapat membuka
pengajian binaan.
Pengajian di tingkat pusat di atur berbeda dengan di
tingkat bawahnya. Prosesi pengajian binaan,di tingkat cabang
maupun perwakilan pada dasarnya mempunyai pola yang sama.
Prosesi itu terdiri dari pembukaan, pembacaan dan pembahasan
brosur, laporan anggota MTA yang tidak dapat hadir. Penjelasan
dan dialog tentang isi brosur, jika masih ada waktu maka da’i
diberi kesempatan untuk menjelaskan tema lain sebagai
tambahan isi ceramahnya. Kemudian di akhiri dengan penutup.
Dakwah MTA menyebarluaskan beberapa ajaran Islam
yang terkadang tidak sama dengan praktek beragama yang telah
berlaku di masyarakat. Materi dakwah mereka ada yang berkaitan
dengan pengamalan sebagian umat Islam yang telah terbiasa
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, yang dinilai MTA sebagai
tindakan menyimpang. Di antara perilaku yang dimaksud adalah
tindakan berjabat tangan setelah salam dalam setiap shalat lima
waktu yang dilakukan secara berjamaah; pembacaan tahlil,
barzanji, manaqib seperti yang mentradisi di sebagian lingkungan
umat Islam dan merayakan ulang tahun termasuk acara mauludan
(perayaan memperuingati hari lahir nabi Muhammad, yang
biasanya diperingati dengan pembacaan solawat dan puji-pujian
untuk nabi Muhammad).
Untuk lebih memperluas jangkauan terpaan pesan
dakwah, MTA juga menggunakan media massa sebagai sarana
Mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang ahli dalam
bidangnya, berdakwah dengan menyampaikan keahliannya untuk
membangun dan memperbaiki kehidupan warganya. Sementara
itu, orang-orang yang tergabung sebagai warga MTA dengan rutin
mendatangi pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh MTA.
Mereka yang tidak hadir, diberi kesempatan untuk mengikuti
pengajian melalui media Radio atau rekaman, untuk
mengembalikan Umat audial yang dapat diperoleh warga MTA.
Kegiatan dakwah MTA memberi peluang kepada semua
anggota MTA untuk dapat mengembangkan ketaatannya dalam
beragama melalui berbagai kegiatan sosial, kesehatan dan lain-
lain. MTA memberi kesempatan kepada mereka yang kompeten
dalam bidangnya masing-masing, mengimplementasikan ilmunya
untuk kepentingan dakwah. Para dokter berdakwah melalui
pelayanan kesehatan, demikian juga petani dan anggota-anggota
dengan berbagai keahlian lainnya. MTA mengelola
penyembelihan dan pendistribusian daging Qurban kepada yang
berhak secara kolektif, sebagai bagian dari kegiatan dakwah sosial
mereka.
Pembinaan keagamaan untuk anggota MTA lainnya
dilakukan melalui pengajian rutin dalam bentuk monolog dan
dialog. Pengajian rutin itu diikuti oleh anggota MTA baik yang
berasal dari Kota Surakarta maupun dari luar. Dalam pengajian
rutin itu, para da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang
bersumber dari al-Qur’an, yang mengacu pada terjemah al-Qur’an
yang diterbitkan oleh kementerian agama dan beberapa kitab
tafsir lain.
Struktur organisasi MTA di tingkat pusat terletak di
Surakarta, pengurus perwakilan terletak di tingkat Kabupaten,
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
196
dakwah mereka. Di antara media elektronik yang digunakan MTA
adalah Stasiun Radio MTA dan MTA-Televisi (MTA-TV) sedangkan
media cetak antara lain brosur, majalah Mar’ah, majalah Respon.
Media massa itu berfungsi untuk menyampaikan kepada anggota
dan masyarakat, pesan dakwah pemimpin mereka atau para da’i
MTA pada umumnya, juga berfungsi untuk menyampaikan
informasi tentang berbagai kegiatan dan kemajuan organisasi
kepada anggota.
Jamaah Muji Rasul (Jamura)
Dakwah kelompok lainnya di Kota Surakarta adalah ritual
kolosal yang diselenggarakan oleh Jamaah Muji Rosul. Dakwah
Jamaah Muji Rasul (Jamura) itu mengambil bentuk
penyelenggaraan tradisi membaca tahlil, barzanji dan shalawat
yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat Surakarta secara
luas, sebagai manifestasi kecintaan umat kepada nabi Muhammad.
Kecintaan kepada Nabi Muhammad, yang telah mentradisi dalam
bentuk pembacaan barzanji dan shalawat dilestarikan oleh
Jamura, diharapkan dapat membangkitkan kembali tradisi lama
yang bermanfaat untuk meningkatkan ketaatan umat Islam
kepada nabi Muhammad.
Dakwah Jamura itu dalam kenyataannya dapat menarik
masyarakat luas untuk ikut ambil bagian. Mereka yang mengelola
dakwah Jamura terdiri dari orang-orang yang ditokohkan secara
kultural sebagai orang Nahdlatul Ulama. Namun demikian,
penyelenggaraan dakwah jamura itu bersifat terbuka, artinya siapa
saja dapat “mengunduh” kegiatan itu. Kegiatan dakwah Jamura
pernah ditawarkan kepada Muhammadiyah. Kalangan birokrat,
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
197
kyai pondok pesantren, tokoh-tokoh masyarakat merasa
mendapat kepuasan beragama melalui kegiatan tersebut.
Prosesi dakwah Jamura diawali dengan pembacaan Tahlil,
Barzanji, sholawat dan diakhiri dengan taushiyah. Pembacaan
barzanji dan shalawat dilagukan oleh mereka yang fasih
melafalkan teks barzanji dan sholawaat, diiringi dengan musik
tradisional rebana. Seluruh prosesi itu kemudian
didokumentasikan untuk dipublikasikan melalui media Radio al-
Hidayah, internet dan bahkan ada juga yang mendokumen-
tasikannya dalam bentuk CD untuk diperjual belikan.
Kegiatan dakwah Jamura telah ikut menyemarakan
kegiatan dakwah di Kota Surakarta, dengan slogan
“memasyarakatkan shalawat dan menshalawatkan masyarakat.”
Kata salah seorang pengurus Jamura, Kyai Shofwan Fauzi, berkat
kegiatan Jamura, anak-anakpun sekarang lebih gemar membaca
shalawat. Isi pesan yang disampaikan melalui tausiyah biasanya
berisi penjelasan tentang informasi yang membangkitkan amalan-
amalan keislaman, berfungsi untuk semakin memantapkan amalan
yang selama ini telah mentradisi, yang tidak menyimpang dari
sunnah nabi Muhammad.
Materi dakwah yang disampaikan Jamura sebagian
merespon materi dakwah yang disampaikan oleh MTA. Jika MTA
mengembangkan dakwahnya untuk menghapus praktek-praktek
beragama yang dinilai menyimpang dan dinilai bid’ah, Jamura
justeru berusaha melestarikan praktek pengamalan agama yang
sudah mentradisi, dengan menunjukkan dasar naqlinya sebagai
bantahan atas penilaian bid’ah dari pihak MTA. Meskipun
demikian, jamura berusaha untuk meredam amuk massa yang
mungkin muncul di lingkungan jamaahnya. Para muballigh
dakwah mereka. Di antara media elektronik yang digunakan MTA
adalah Stasiun Radio MTA dan MTA-Televisi (MTA-TV) sedangkan
media cetak antara lain brosur, majalah Mar’ah, majalah Respon.
Media massa itu berfungsi untuk menyampaikan kepada anggota
dan masyarakat, pesan dakwah pemimpin mereka atau para da’i
MTA pada umumnya, juga berfungsi untuk menyampaikan
informasi tentang berbagai kegiatan dan kemajuan organisasi
kepada anggota.
Jamaah Muji Rasul (Jamura)
Dakwah kelompok lainnya di Kota Surakarta adalah ritual
kolosal yang diselenggarakan oleh Jamaah Muji Rosul. Dakwah
Jamaah Muji Rasul (Jamura) itu mengambil bentuk
penyelenggaraan tradisi membaca tahlil, barzanji dan shalawat
yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat Surakarta secara
luas, sebagai manifestasi kecintaan umat kepada nabi Muhammad.
Kecintaan kepada Nabi Muhammad, yang telah mentradisi dalam
bentuk pembacaan barzanji dan shalawat dilestarikan oleh
Jamura, diharapkan dapat membangkitkan kembali tradisi lama
yang bermanfaat untuk meningkatkan ketaatan umat Islam
kepada nabi Muhammad.
Dakwah Jamura itu dalam kenyataannya dapat menarik
masyarakat luas untuk ikut ambil bagian. Mereka yang mengelola
dakwah Jamura terdiri dari orang-orang yang ditokohkan secara
kultural sebagai orang Nahdlatul Ulama. Namun demikian,
penyelenggaraan dakwah jamura itu bersifat terbuka, artinya siapa
saja dapat “mengunduh” kegiatan itu. Kegiatan dakwah Jamura
pernah ditawarkan kepada Muhammadiyah. Kalangan birokrat,
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
198
Jamura selalu menyampaikan tausiyah mereka, agar tidak
menyinggung perasaaan orang lain dalam beragama meapun
berhubungan sosial. Ada mekanisme yang dikembngkan dalam
proses pembacaan shalawat, bahwa setiap kali muballigh
menyinggung atau menyebut tokoh tertentu dengan nada
negatif, maka seseorang pengurus segera menegur dan
menghentikan prosesi taushiyah. Dengan demikian, pengajian
(taushiyah) tidak menghasut jamaah (mad’u) untuk melakukan
kekerasan kepada kelompok lain.37
37 Wawancara dengan, Kyai Samachin, pengurus Jamura di Surakarta, tanggal 21
September 2011
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
199
Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009.
Anisaul Karimah, “Lantunkan Solawat, Raih Ketentraman”, dalam Harian Joglo Semar, 24 Mei 2011, dalam http://harianjoglosemar.com/berita/lantunkan-solawat-raih-ketentraman-44429.html. Diunduh 9 Nopember 2011.
Arifianto Muhammad Lukman, “Tradisi ‘Shalawatan’ dalam Perspektif Habib Syekh dan Ahbabul Musthofa,” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisi-shalawatan-dalam-perspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/ diunduh 19 Nopember 2011
Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010,
Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009.
Burhanuddin Muhtadi, “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011
Jamura selalu menyampaikan tausiyah mereka, agar tidak
menyinggung perasaaan orang lain dalam beragama meapun
berhubungan sosial. Ada mekanisme yang dikembngkan dalam
proses pembacaan shalawat, bahwa setiap kali muballigh
menyinggung atau menyebut tokoh tertentu dengan nada
negatif, maka seseorang pengurus segera menegur dan
menghentikan prosesi taushiyah. Dengan demikian, pengajian
(taushiyah) tidak menghasut jamaah (mad’u) untuk melakukan
kekerasan kepada kelompok lain.37
37 Wawancara dengan, Kyai Samachin, pengurus Jamura di Surakarta, tanggal 21
September 2011
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
200
FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428)
http://almuayyad.org/kabar/50-jamura, diunduh 9 Nopember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama diunduh tanggal 9 Mei 2011
http://majlisalhidayah.org/index.php/10-tentang-kami?start=4. Diunduh 9 Nopember 2011
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringan-
muhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Muhammad Sulthon, “Fungsi Dakwah dalam Penyebarluasan Ajaran Sadaqat pada Masa Nabi Muhammad,” tidak diterbitkan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010
MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010).
Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011,
Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an, Jamura dan Muhammadiyah
201
Niza, “Parade Sholawat Peringati Istra Mi’raj 1432 H” dalam Timlo.net, http://senibudaya.timlo.net/baca/11294/parade-sholawat-peringati-isra-miraj-1432-h. Diunduh 9 Nopember 2011
Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory
Approach, USA: Indiana University Press, 2004
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam, Perumusan jaran dan Upaya
Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
FKUB Kota Surakarta, “Rumusan Hasil Workshop Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Surakarta,” Tidak diterbitkan (Surakarta, 2007/1428)
http://almuayyad.org/kabar/50-jamura, diunduh 9 Nopember 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama diunduh tanggal 9 Mei 2011
http://majlisalhidayah.org/index.php/10-tentang-kami?start=4. Diunduh 9 Nopember 2011
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringan-
muhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Muhammad Sulthon, “Fungsi Dakwah dalam Penyebarluasan Ajaran Sadaqat pada Masa Nabi Muhammad,” tidak diterbitkan, Laporan Penelitian Individual, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo, 2010
MUI Pusat, “Surat Keputusan Musyawarah Nasional VIII MUI tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,” Nomor Kep-02/Munas VIII/2010, tidak diterbitkan, (Jakarta, 27 Juli 2010).
Mutohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan [sic] Majelis Tafsir Al-Quran,” 581-602, dalam Panitia ACIS, “The 11th Annual Conference on Islamic Studies: Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa,” Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011,
Muh. Sulthon, Titik Suwariyati dan Lastriyah
202
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
203
DAKWAH NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIYAH DAN PERSATUAN ISLAMDI KOTA SURABAYAPROVINSI JAWA TIMUR
Oleh: Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
V
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
204
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
205
Latar Belakang Masalah
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara
itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan
hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya.
Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih
lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
206
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidakrukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid38, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.39
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
38 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara
Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
39 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
207
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan
untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu.
Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan
yang berhadapan diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat
tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting,
dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus
berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam.
Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya
masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal
dakwah Islam.
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidakrukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid38, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.39
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
38 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara
Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
39 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
208
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.40 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah
40 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdla-tul_Ulama
diunduh tanggal 9 Mei 2011.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
209
Muhammadiyah.41 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya ratusan
juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.42 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah yang
cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam gerakan dakwah,
baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksis organisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan pemeliharaan
kerukunan intern umat beragama (Islam).
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat? (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana upaya
para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
41 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringan-
muhammadiyah.html diunduh tanggal 9 Mei 2011. 42 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam
Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.40 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan Jamaah
40 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdla-tul_Ulama
diunduh tanggal 9 Mei 2011.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
210
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan
peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah. (4) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeli-haraan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab, da’wah yang berarti
panggilan, seruan atau ajakan. Orang yang berdakwah disebut da’i
dan orang didakwahi disebut mad’u (Munawir, Kamus al-
Munawwir, 1997: 406-407, sebagaimana dikutip Wahiddin Saputra,
2011: 1). Sedangkan menurut istilah kata dakwah banyak didefinisikan oleh para ahli, antara lain: Prof. Dr. Hamka memberikan definisi dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktifitas yang memerintahkan
amar ma’ruf nahi mungkar (Wahidin Saputra, 2011: 2).
Kerangka Konseptual
Dakwah by nature berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi
(mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa
pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
211
identitas para pelaku dakwah penting untuk memberikan latar atas
asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap manifest keberagamaan, misalnya.
Demikian juga, ada kaitan erat antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan karakter sikap anggotanya.
Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan
(comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat
memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan antar umat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni
perihal hubungan antar umat beragama.
Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take
and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain,
baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu, secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan
dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan
peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah. (4) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeli-haraan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab, da’wah yang berarti
panggilan, seruan atau ajakan. Orang yang berdakwah disebut da’i
dan orang didakwahi disebut mad’u (Munawir, Kamus al-
Munawwir, 1997: 406-407, sebagaimana dikutip Wahiddin Saputra,
2011: 1). Sedangkan menurut istilah kata dakwah banyak didefinisikan oleh para ahli, antara lain: Prof. Dr. Hamka memberikan definisi dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktifitas yang memerintahkan
amar ma’ruf nahi mungkar (Wahidin Saputra, 2011: 2).
Kerangka Konseptual
Dakwah by nature berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik, konsep pemikiran yang logis menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi
(mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah (atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa
pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
212
potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada.
Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic
Activism: A Social Movement Theory Approach43 , sesuai judulnya,
memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam (gerakan islam) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada
kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual.
2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,44
Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan
Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini
43 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach,
USA: Indiana University Press, 2004. 44 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
213
menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi radikal itu
ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.
3) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15
ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam:
Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,45 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi
perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya.
4) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam
transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam46 yang dieditori KH. Abdurrahman Wahid. Salahsatu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah,
seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang menganut ideologi totalitarian sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis atas ambisi politisnya.
5) Tholkah (dkk), Budaya Damai Masyarakat Karimunjawa,
Semarang: Walisongo Mediation Center, 2010. Hasil penelitian ini menemukan beberapa unsur lokal yang membentuk budaya
45 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010. 46 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
potensi adanya ketidak rukunan diasumsikan (atau diyakini) ada.
Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah, mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic
Activism: A Social Movement Theory Approach43 , sesuai judulnya,
memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam (gerakan islam) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada
kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok spiritual.
2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,44
Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan
Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini
43 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach,
USA: Indiana University Press, 2004. 44 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
214
damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur dimaksud,
(pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan
antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas Jawa-Madura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multi-
languages ini tidak hanya terjadi dalam pergaulan sosial antar
warga, akan tetapi juga banyak terjadi dalam satu keluarga yang terdiri dari etnik yang beragam. Kelima, pendidikan keragaman. Di Karimunjawa, pendidikan keragaman telah diperkenalkan oleh orang tua sejak dini khususnya bagi mereka yang
melakukan perkawinan antar etnik. Dalam pendidikan formal sekolah, guru-guru yang multi etnik mengajar murid-murid yang multi etnik pula. Keenam, kearifan lokal, seperti budaya wirang, budaya penyelesaian sengketa non-pengadilan, gotong royong dan mitos-mitos. Mitos-mitos itu dipahami sebagai
pendorong upaya mereka untuk secara kolektif menjaga kelestarian sejarah dan lingkungan mereka serta berfungsi sebagai peneguh identitas mereka. Mitos-mitos yang masih bertahan antara lain mitos pohon dewandaru, mitos pohon sitigi, mitos air Mbah Hasan, mitos Mustaka Masjid Amir Hasan.
6) Musahadi (dkk), Segregasi Etno-Religius di Pulau Lombok (Studi
Identifikasi atas Potensi-potensi yang dapat Dikembangkan untuk
Resolusi Konflik dan Pengembangan Damai, Semarang,
Walisongo Mediation Center, 2009. Segregasi etno-religius di wilayah Lombok, khususnya di Mataram terjadi karena migrasi penduduk dan juga merupakan implikasi dari penerapan kebijakan politik kerajaan Hindu Karangasem Mataram yang
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
215
berkuasa selama 1,5 abad. Kebijakan itu antara lain dalam
bentuk mempertahankan stratifikasi sosial masyarakat dalam pemukiman, sehingga melahirkan komunitas Hindu Bali sebagai komunitas bangsawan dan komunitas Sasak-Islam sebagai kelompok rakyat kelas bawah. Warisan sejarah itu menjadi
hambatan psikologis-sosial kedua komunitas tersebut untuk berinteraksi secara terbuka dan saling mempercayai. Segregasi etno religius berpotensi untuk menimbulkan konflik, terutama ketika ada pemicu yang berkaitan dengan sentimen etnis dan agama. Namun, tidak berarti tidak ada potensi di dalamnya
untuk pengembangan interaksi damai antara kedua komunitas itu. Potensi damai berkembang melalui local wisdom, seperti tradisi nyongkol, tradisi saling ngejot dan saling besila’ antara kedua komunitas tersebut.
7) Djamaluddin Darwis dan Imam Taufiq, Human Security dalam
Relasi Dayak-Madura, Studi Atas Kearifan lokal Desa Korek
Pontianak, Kalimantan Barat, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Hasil temuan penelitian ini dapat
mengungkapkan potret keharmonisan relasi etnis yang terbentuk antara Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Peran tokoh Adat yang menonjol dari etnis Madura dan Dayak, serta dukungan dari pemerintah telah memberi kontribusi signifikan dalam membangun integrasi sosial di lokasi
penelitian. Para tokoh dari masing-masing etnis berperan sebagai katalisator informasi dan problem solver terhadap persoalan yang timbul di masyarakat. Ada dua pola resolusi konflik yang digunakan. Pola kuratif mengambil bentuk implementasi hukum adat yang mengikat para fihak sedang
pola preventif berbentuk usaha membangun komunikasi intensif di kalangan tokoh adat, agama dan masyarakat luas.
damai masyarakat Karimunjawa. Unsur-unsur dimaksud,
(pertama) perasaan senasib sebagai pendatang. Kedua, medan budaya, yaitu semacam ruang budaya yang mengikat kebersamaan mereka, seperti Makam Sunan Nyamplungan, Cangkrukan, Lomban dan ritual slametan. Ketiga, perkawinan
antar etnis. Unsur lokal ini telah membuat identitas sebagian masyarakat Karimunjawa menjadi multietnis seperti fenomena ‘Jambu’ yaitu identitas komunitas Jawa-Madura-Bugis. Keempat, penguasaan beragam bahasa. Komunikasi multi-
languages ini tidak hanya terjadi dalam pergaulan sosial antar
warga, akan tetapi juga banyak terjadi dalam satu keluarga yang terdiri dari etnik yang beragam. Kelima, pendidikan keragaman. Di Karimunjawa, pendidikan keragaman telah diperkenalkan oleh orang tua sejak dini khususnya bagi mereka yang
melakukan perkawinan antar etnik. Dalam pendidikan formal sekolah, guru-guru yang multi etnik mengajar murid-murid yang multi etnik pula. Keenam, kearifan lokal, seperti budaya wirang, budaya penyelesaian sengketa non-pengadilan, gotong royong dan mitos-mitos. Mitos-mitos itu dipahami sebagai
pendorong upaya mereka untuk secara kolektif menjaga kelestarian sejarah dan lingkungan mereka serta berfungsi sebagai peneguh identitas mereka. Mitos-mitos yang masih bertahan antara lain mitos pohon dewandaru, mitos pohon sitigi, mitos air Mbah Hasan, mitos Mustaka Masjid Amir Hasan.
6) Musahadi (dkk), Segregasi Etno-Religius di Pulau Lombok (Studi
Identifikasi atas Potensi-potensi yang dapat Dikembangkan untuk
Resolusi Konflik dan Pengembangan Damai, Semarang,
Walisongo Mediation Center, 2009. Segregasi etno-religius di wilayah Lombok, khususnya di Mataram terjadi karena migrasi penduduk dan juga merupakan implikasi dari penerapan kebijakan politik kerajaan Hindu Karangasem Mataram yang
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
216
8) Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama,
Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa
konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode
awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara lain peristiwa konflik antara Umar bin Khaththab dengan Fatimah; konflik Umar bin Khaththab dengan Khalid bin Walid. Penyelesaian atas konflik komunal, misalnya konflik Umar bin Khaththab dengan kerumunan umat Islam; konflik antar warga
Madinah terkait tempat tinggal Nabi di Madinah; konflik kepala-kepala suku Makkah dalam peletakan hajar Aswat; konflik antara Muhajirin dan Anshar; konflik suku Aus dan Khajrat di Madinah; konflik warga Madinah dengan bani Mustaliq. Penyelesaian atas konflik dalam keluarga, seperti konflik nabi dengan Aisyah dan
konflik antar istri-istri nabi. Institusi pencegahan konflik yang direkonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari hilful fudul dan piagam Madinah.
9) M Mukhsin Jamil (dkk), Reintegrasi Mantan Kombatan dan
Transformasi Konflik di Aceh Pasca MOU Helsinki, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses reintegrasi damai di Aceh telah mengakibatkan penguatan lembaga adat dan agama. Hal ini sekaligus sebagai hasil dari keterlibatan panjang tokoh adat dan agama dalam
proses perjuangan perdamaian di Aceh. Mereka telah terlibat dalam inisiasi dan proses perdamaian di Aceh baik melalui lembaga-lembaga adat, agama maupun secara individu.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
217
10) Muhammad Sulthon dan Solihan, Dimensi Politis Dalam Konflik
Keagamaan di Indonesia, Studi Kasus Terhadap Pendirian Gereja
Pantekosta di Indonesia (GpdI) Jemaat Hosana Ngaliyan
Semarang, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008.
Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006 dan 8/2007 tentang pendirian tempat ibadah sulit dipenuhi oleh kelompok minoritas. Kelompok beragama minoritas, karena tuntutan
agamanya, mereka kemudian menempuh jalan pintas dalam pendirian tempat ibadah. Sementara itu, kelompok mayoritas menjadikan aturan itu untuk membenarkan tindakan mereka dalam mencegah pendirian tempat ibadah dan pemanfaatan bangunan gedung lain untuk tempat ibadah. Penelitian
mendeskripsikan bagaimana pihak-pihak yang berkonflik terkait dengan pendirian tempat ibadah Gereja Pantekosta di Ngaliyan, dapat menemukan penyelesaiannya dalam suatu rapat warga yang difasilitasi oleh lembaga RW (Rukun Warga). Deskripsi itu membuktikan bahwa di lingkungan masyarakat masih
berkembang sikap toleransi antar umat beragama.
11) Mustain (dkk), Memahami Konflik dalam Pembangunan Bandara
Internasional Lombok (BIL), Semarang: Walisongo Mediation Center, 2008. Konflik terkait pembangunan bandara
internasional di Lombok melibatkan para petani pemilik lahan yang enggan menjual tanahnya dengan pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Petani menolak menjual tanahnya didasarkan pada tradisi yang berakar pada konsep Gumi Paer dan keyakinan tradisional masyarakat Sasak, bahwa tanah yang akan dijadikan
lahan bandara itu dinilai sebagai tanah atho’. Konsep Gumi Paer
menilai tercela anak keturunan yang menjual tanah yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Di samping itu, berkembang pula keyakinan bahwa tanah yang dipilih oleh
8) Muhammad Sulthon (dkk), Resolusi Konflik Berbasis Agama,
Penyelesaian Konflik pada Periode Awal Sejarah Islam, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Ini merupakan penelitian sejarah nabi yang berhasil merekonstruksi beberapa peristiwa
konflik dan penyelesaiannya pada masa generasi awal sejarah islam. Resolusi konflik yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi penyelesaian atas konflik personal, konflik komunal, konflik dalam keluarga dan rekonstruksi beberapa institusi sosial yang berfungsi sebagai pencegah konflik pada periode
awal sejarah Islam. Penyelesaian atas konflik personal, antara lain peristiwa konflik antara Umar bin Khaththab dengan Fatimah; konflik Umar bin Khaththab dengan Khalid bin Walid. Penyelesaian atas konflik komunal, misalnya konflik Umar bin Khaththab dengan kerumunan umat Islam; konflik antar warga
Madinah terkait tempat tinggal Nabi di Madinah; konflik kepala-kepala suku Makkah dalam peletakan hajar Aswat; konflik antara Muhajirin dan Anshar; konflik suku Aus dan Khajrat di Madinah; konflik warga Madinah dengan bani Mustaliq. Penyelesaian atas konflik dalam keluarga, seperti konflik nabi dengan Aisyah dan
konflik antar istri-istri nabi. Institusi pencegahan konflik yang direkonstruksi dalam penelitian ini terdiri dari hilful fudul dan piagam Madinah.
9) M Mukhsin Jamil (dkk), Reintegrasi Mantan Kombatan dan
Transformasi Konflik di Aceh Pasca MOU Helsinki, Semarang: Walisongo Mediation Center, 2009. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses reintegrasi damai di Aceh telah mengakibatkan penguatan lembaga adat dan agama. Hal ini sekaligus sebagai hasil dari keterlibatan panjang tokoh adat dan agama dalam
proses perjuangan perdamaian di Aceh. Mereka telah terlibat dalam inisiasi dan proses perdamaian di Aceh baik melalui lembaga-lembaga adat, agama maupun secara individu.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
218
Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat
tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training Skills.
Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya dapat menyelesaikan konflik.
12) Berkenaan dengan penelitian tentang Persis sudah cukup banyak, antara dilakukan oleh Howard M. Federspield (1970), untuk disertasi doktoral di Cornell University New York. Ia telah
melakukan pengamatan mendalam tentang organisasi ini dari dimensi sejarah dan sifat gerakan. Sebagaimana yang disebutnya, bahwa Persis merupakan salah satu organisasi pembaharu pemikiran Islam di awal abad ke-20.
13) Dr. Dede Rosyada dari IAIN Jakarta pada tahun 1998 untuk
kepentingan disertasi doktoralnya di IAIN Ciputat. Penelitiannya tentang Persis khusus mengenai Hasil Kajian Ijtihad Dewan Hisbah Periode 1990-1995 dalam dua aspek keagamaan; ibadah dan mu’amalah.
14) Sebelumnya Dr. Deliar Noer meneliti Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, di mana Persis tercakup di dalamnya.
Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat
Islam di Indonesia. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
219
Metode Penelitian
Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam
pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara-mendalam.
Bahan pustaka tentang gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait
lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan
data melalui wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti
menggunakan pedoman wawancara (sebagaimana terlampir). Yang
diwawancarai di setiap lokasi adalah para informan kunci (key
informan) yang terdiri atas anggota/pimpinan struktural dan
kultural pada ormas-ormas Islam dan/atau gerakan keagamaan
yang dinilai diikuti banyak umat Islam di lokasi penelitian, ormas
atau gerakan keagamaan yang dinilai memiliki potensi konflik dan
integratif dengan ormas besar itu. Selain itu, pihak otoritas seperti
Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah (Kesbanglinmas) serta
FKUB juga diwawancarai sebagai informan.
Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik, melalui
tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik
triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain.
Menurut Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu
informasi melalui waktu dan alat yang berbeda, misalnya
membandingkan hasil wawancara denan hasil pengamatan,
dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di
muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara
pendapat rakyat biasa dengan pejabat Pemerintah, serta memban-
Angkasa Pura untuk dijadikan lahan Bandara memiliki sifat
tanah Atho’, yaitu bahwa tanah itu menelan apa saja yang ada di atasnya. Upaya-upaya penyelesaian konflik terdiri dari dua hal, pertama program “uang tali Asih” dan program Training Skills.
Namun kedua program itu ternyata belum sepenuhnya dapat menyelesaikan konflik.
12) Berkenaan dengan penelitian tentang Persis sudah cukup banyak, antara dilakukan oleh Howard M. Federspield (1970), untuk disertasi doktoral di Cornell University New York. Ia telah
melakukan pengamatan mendalam tentang organisasi ini dari dimensi sejarah dan sifat gerakan. Sebagaimana yang disebutnya, bahwa Persis merupakan salah satu organisasi pembaharu pemikiran Islam di awal abad ke-20.
13) Dr. Dede Rosyada dari IAIN Jakarta pada tahun 1998 untuk
kepentingan disertasi doktoralnya di IAIN Ciputat. Penelitiannya tentang Persis khusus mengenai Hasil Kajian Ijtihad Dewan Hisbah Periode 1990-1995 dalam dua aspek keagamaan; ibadah dan mu’amalah.
14) Sebelumnya Dr. Deliar Noer meneliti Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, di mana Persis tercakup di dalamnya.
Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat
Islam di Indonesia. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
220
dingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat
normal sepanjang waktu.47
Penelitian pengumpulan data lapangan dilaksanakan
selama 11 hari, pada bulan Agustus 2011 dengan satu orang peneliti
dan satu orang pembantu peneliti di setiap lokasi penelitian.
Pemilihan Sasaran
Mengacu pada desain operasional penelitian ini, yang menjadi sasaran penelitian yang pertama adalah ormas Islam
terbesar (dominan) di wilayah sasaran (Kota Surabaya) yakni Nahdlatul Ulama (NU); Sasaran kedua, ormas yang fahamnya berseberangan dengan ormas dominan, yaitu Muhammadiyah; Sasaran ketiga, ormas yang fahamnya searah dengan ormas dominan. Untuk menentukan sasaran ketiga, para expert setempat
(dua orang pejabat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan seorang pejabat Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya) sedikit menghadapi kesulitan. Karena menurut mereka bertiga di Kota Surabaya hampir tidak ada ormas Islam yang
sefaham dengan NU, dengan ciri akomodatif terhadap adat istiadat dan tradisi keagamaan lokal, kecuali ormas-ormas yang menjadi underbow-nya. Kalaupun ada terlalu kecil, misal Al-Khoiriyah yang anggotanya dari kalangan orang-orang Arab dan
fahamnya mendekati faham Nahdliyin. Akan tetapi jika Al-Khoiriyah ini dijadikan sasaran penelitian, ormas ini terlalu kecil, meski memiliki lembaga pendidikan tapi tidak tampak dakwahnya, baik yang dilakukan oleh organisasi maupun individu.
47 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 178.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
221
Sementara kelompok-kelompok keagamaan yang
gaungnya dalam dakwah cukup besar adalah Jamaah Tabligh (JT) yang bemarkas di sebuah masjid di Perak Barat tidak masuk kategori ormas, karena kelompok ini tidak berbentuk organisasi. Demikian pula kelompok Salafi juga tidak bebentuk organisasi,
sehingga mereka tidak mau disebut kelompok. Mereka menyebut Salafi sebagai manhaj. Sebenarnya di kalangan mahasiswa banyak kelompok-kelompok keagamaan yang gaungnya cukup besar seperti Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Ihwanul Muslimin, tetapi para pejabat di lingkungan Kementerian Agama di Surabaya tidak
berani menyebut kelompok-kelompok tersebut sebagai ormas, karena mereka tidak pernah mendaftarkan diri ke Kantor Kementerian Agama setempat. Karena masyarakat muslim pada umumnya kesulitan mengidentifikasi masing-masing kelompok keagamaan yang merupakan organisasi tanpa bentuk (OTB) itu,
kecuali terlihat dari cirri fisik pakaian mereka sehingga mereka menyebutnya sebagai pasukan celana cingkrang (PCC). Alasan lain tidak dipilihnya kelompok-kelompok ini sebagai sasaran penelitian, karena faham keagamaan kelompok-kelompok ini tidak bisa dikatakan mendekati NU. Sedangkan Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) sebagai ormas yang cukup besar, faham keagamaannya tidak bisa dikatakan dekat dengan NU maupun Muhammadiyah.
Karena tidak ada ormas Islam yang fahamnya mendekati NU yang layak dijadikan sasaran penelitian, maka sasaran ketiga
dipilih dari ormas yang sefaham dengan Muhammadiyah, sekurang-kurangnya ciri kedekatannya sebagai sesama kelompok puritan. Pilihannya antara Al-Irsyad dan Persatuan Islam (Persis). Dari dua pilihan tersebut para expert setempat lebih memilih
Persis, dengan alasan: 1) Al-Irsyad ormas yang anggotanya terdiri dari orang-orang Arab ini terlalu kecil untuk dijadikan sasaran
dingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat
normal sepanjang waktu.47
Penelitian pengumpulan data lapangan dilaksanakan
selama 11 hari, pada bulan Agustus 2011 dengan satu orang peneliti
dan satu orang pembantu peneliti di setiap lokasi penelitian.
Pemilihan Sasaran
Mengacu pada desain operasional penelitian ini, yang menjadi sasaran penelitian yang pertama adalah ormas Islam
terbesar (dominan) di wilayah sasaran (Kota Surabaya) yakni Nahdlatul Ulama (NU); Sasaran kedua, ormas yang fahamnya berseberangan dengan ormas dominan, yaitu Muhammadiyah; Sasaran ketiga, ormas yang fahamnya searah dengan ormas dominan. Untuk menentukan sasaran ketiga, para expert setempat
(dua orang pejabat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan seorang pejabat Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya) sedikit menghadapi kesulitan. Karena menurut mereka bertiga di Kota Surabaya hampir tidak ada ormas Islam yang
sefaham dengan NU, dengan ciri akomodatif terhadap adat istiadat dan tradisi keagamaan lokal, kecuali ormas-ormas yang menjadi underbow-nya. Kalaupun ada terlalu kecil, misal Al-Khoiriyah yang anggotanya dari kalangan orang-orang Arab dan
fahamnya mendekati faham Nahdliyin. Akan tetapi jika Al-Khoiriyah ini dijadikan sasaran penelitian, ormas ini terlalu kecil, meski memiliki lembaga pendidikan tapi tidak tampak dakwahnya, baik yang dilakukan oleh organisasi maupun individu.
47 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 178.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
222
penelitian dengan fokus gerakan dakwah. Karena gerakan dakwah
Al-Irsyad di Kota Surabaya nyaris tidak terdengar, kalau tidak boleh dikatakan tidak terdengar sama sekali; 2) Sebaliknya Persis, dalam berdakwah memiliki Persis gaung yang lebih besar.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
223
Keadaan Geografi
Luas wilayah kota Surabaya mencapai 33.306,30 Ha yang
terbagi dalam 31 Kecamatan dan 160 Kelurahan/Desa. Selain itu,
kondisi topografi kota ini 80% merupakan dataran rendah
dengan kemiringan kurang dari 3%. Secara geografis kota
Surabaya berada letak, 07° 9 menit - 07° 21 menit Lintang Selatan
dan 112° 36 menit - 112° 54 menit Bujur Timur (data dari
www.surabayakota.go.id).
Kota ini mempunyai ketinggian 3 – 6 meter di atas permukaan
air laut atau dataran rendah, kecuali di bagian selatan terdapat dua
bukit landai di daerah Lidah dan Gayungan dengan ketinggian 25
– 50 meter diatas permukaan air laut dengan kelembaban udara
rata-rata minimum 42% dan maksimum 96%. Batas wilayah kota
ini di sebelah utara dan timur berbatasan dengan selat Madura, di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik.
penelitian dengan fokus gerakan dakwah. Karena gerakan dakwah
Al-Irsyad di Kota Surabaya nyaris tidak terdengar, kalau tidak boleh dikatakan tidak terdengar sama sekali; 2) Sebaliknya Persis, dalam berdakwah memiliki Persis gaung yang lebih besar.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
224
Keadaan Demografis
Berdasarkan data dari BPS Kota Surabaya pada tahun 2010,
jumlah penduduk kota ini mencapai 2.938.225 jiwa, terdiri dari
1.474.874 jiwa penduduk laki-laki dan 1.463.351 jiwa penduduk
perempuan (Data Surabaya Dalam Angka,2010 hal.81). Surabaya
merupakan kota multi etnis yang kaya budaya, beragam etnis ada
di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa.
Etnis Nusantara pun dapat dijumpai, seperti Madura, Sunda, Batak,
Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli
Surabaya membentuk pluralisme budaya yang selanjutnya
menjadi ciri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat
Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura. Ciri khas
masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul dan gaya
bicaranya sangat terbuka. Walaupun tampak terkesan
bertemperamen kasar, masyarakat disini sangat demokratis, serta
toleran.
Berikut adalah data yang menunjukan kondisi kependudukan
berdasarkan jenis kelamin yang dibagi dalam 5 wilayah besar per
kecamatan di kota Surabaya (Data : Surabaya dalam Angka,2010)
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
225
Tabel
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan Hasil Registrasi 2009
Surabaya Dalam Angka 2010
Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
Surabaya Pusat
01 Tegasari 57.124 57.230 114.354
02 Genteng 33.387 34.178 67.565
03 Bubutan 57.205 56.955 114.160
04 Simokerto 50.918 51.264 102.182
Surabaya Utara
05 Pabean Cantikan 46.126 45.206 91.332
06 Semampir 97.813 96.326 194.139
07 Krembangan 61.755 60.806 122.561
08 Kenjeran 66.096 64.513 130.609
09 Bulak 18.370 18.218 36.588
Surabaya
Timur
10 Tambaksari 113.240 113.574 226.814
11 Gubeng 75.837 77.230 153.067
12 Rungkut 49.118 48.612 97.730
13 Tenggilis Mejoyo
28.034 27.803 55.837
Keadaan Demografis
Berdasarkan data dari BPS Kota Surabaya pada tahun 2010,
jumlah penduduk kota ini mencapai 2.938.225 jiwa, terdiri dari
1.474.874 jiwa penduduk laki-laki dan 1.463.351 jiwa penduduk
perempuan (Data Surabaya Dalam Angka,2010 hal.81). Surabaya
merupakan kota multi etnis yang kaya budaya, beragam etnis ada
di Surabaya, seperti etnis Melayu, Cina, India, Arab, dan Eropa.
Etnis Nusantara pun dapat dijumpai, seperti Madura, Sunda, Batak,
Kalimantan, Bali, Sulawesi yang membaur dengan penduduk asli
Surabaya membentuk pluralisme budaya yang selanjutnya
menjadi ciri khas kota Surabaya. Sebagian besar masyarakat
Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura. Ciri khas
masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul dan gaya
bicaranya sangat terbuka. Walaupun tampak terkesan
bertemperamen kasar, masyarakat disini sangat demokratis, serta
toleran.
Berikut adalah data yang menunjukan kondisi kependudukan
berdasarkan jenis kelamin yang dibagi dalam 5 wilayah besar per
kecamatan di kota Surabaya (Data : Surabaya dalam Angka,2010)
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
226
14 Gunung Anyar 24.781 24.435 49.216
15 Sukolilo 51.545 51.227 102.772
16 Mulyorejo 40.561 40.842 81.403
Surabaya
Selatan
17 Sawahan 111.715 111.503 223.218
18 Wonokromo 91.146 90.535 181.684
19 Karangpilang 36.428 35.627 72.055
20 Dukuh Pakis 30.659 30.009 60.668
21 Wiyung 32.191 31.642 63.833
22 Wonocolo 40.601 40.224 80.825
23 Gayungan 23.237 22.902 46.139
24 Jambangan 22.940 22.317 45.257
Surabaya Barat
25 Tandes 47.437 46.763 94.200
26 Sukomanunggal 49.106 48.514 97.620
27 Asemrowo 19.806 18.972 38.778
28 Benowo 23.757 23.466 47.223
29 Lakarsantri 25.488 25.039 50.527
30 Pakal 20.969 20.442 41.411
31 Sambikerep 27.481 26.977 54.458
Jumlah 1.474.874 1.463.351 2.938.225
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
227
Keadaan Sosial Budaya
Kota Surabaya merupakan Ibu kota dari Provinsi Jawa
Timur yang mempunyai julukan sebagai kota pahlawan, julukan kota pahlawan melekat dengan kota ini karena Surabaya mempunyai sejarah heroik ketika zaman Pra Kemerdekaan Republik Indonesia. Dimana pada tanggal 10 November 1945 kota Surabaya menjadi ajang pertempuran yang sengit antara tentara
Sekutu dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia, tentara Sekutu (tentara Inggris) yang di boncengi oleh NICA (Netherland
Indische Civil Administration) dan ingin mengembalikan kekuatan penjajahan Belanda di Indonesia pada masa itu.
Kini Kota Surabaya telah berkembang maju seiring dengan perkembangan zaman, kota ini telah menjelma sebagai kota terbesar kedua setelah Ibu Kota Jakarta Sebagai kota metropolitan, Surabaya menjadi pusat kegiatan perekonomian di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebagian besar penduduknya bergerak
dalam bidang jasa, industri, dan perdagangan sehingga di wilayah ini jarang ditemukan areal persawahan. Surabaya merupakan salah satu pintu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia Timur dengan pelabuhan Tanjung Peraknya. Dengan segala potensi, fasilitas, dan keunggulan geografisnya Surabaya
memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor primer, sekunder, dan tersier di kota ini sangat mendukung untuk semakin memperkokoh sebutan Surabaya sebagai kota perdagangan dan ekonomi.
Kehidupan Keagamaan
Jumlah penganut agama di Kota Surabaya, sebagai
berikut: penganut Islam sebanyak 2.372.720 orang, Kristen 295.186 orang, Katolik 145.290 orang, Hindu 27.115 orang, Budha 48.824
14 Gunung Anyar 24.781 24.435 49.216
15 Sukolilo 51.545 51.227 102.772
16 Mulyorejo 40.561 40.842 81.403
Surabaya
Selatan
17 Sawahan 111.715 111.503 223.218
18 Wonokromo 91.146 90.535 181.684
19 Karangpilang 36.428 35.627 72.055
20 Dukuh Pakis 30.659 30.009 60.668
21 Wiyung 32.191 31.642 63.833
22 Wonocolo 40.601 40.224 80.825
23 Gayungan 23.237 22.902 46.139
24 Jambangan 22.940 22.317 45.257
Surabaya Barat
25 Tandes 47.437 46.763 94.200
26 Sukomanunggal 49.106 48.514 97.620
27 Asemrowo 19.806 18.972 38.778
28 Benowo 23.757 23.466 47.223
29 Lakarsantri 25.488 25.039 50.527
30 Pakal 20.969 20.442 41.411
31 Sambikerep 27.481 26.977 54.458
Jumlah 1.474.874 1.463.351 2.938.225
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
228
orang, lain-lain 2.891.436 orang (Kanwil Kemenag Provinsi Jawa
Timur).
Secara keseluruhan jumlah penyuluh agama Islam di Kota Surabaya sebanyak 235 orang terdiri dari penyuluh PNS/fungsional
sebanyak 33 orang dan non PNS 202 orang. Penyuluh fungsional terdiri dari penyuluh terampil pelaksana 3 orang, penyuluh ahli pertama 20 orang, ahli muda 3 orang, dan penyuluh ahli madya 7 orang. Sedangkan penyuluh non PNS semuanya (202 orang) merupakan penyuluh madya (Kanwil Kementerian Agama Provinsi
Jawa Timur).
Jumlah ormas keagamaan Islam di Kota Subaya, sebanyak 21, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
No Nama Ormas Alamat Sekretariat Nama Pengurus
1 DP Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surabaya
Jl. Jimerto No. 25-27 Surabaya (Komplek Masjid Al Muhajirin) Tlp. 5343051 Psw 239
K: Muchit Murtadlo
2 DPC Nahdlatul Ualama (NU) Kota Surabaya
Jl.Bubutan VI, No. 2 Surabaya Tlp.5340814, 5475184
K: KH. Kholik Marzuki S: Drs. M Syaiful Halim B: Drs. Agus
3 Pengurus Cabang Muslimat NU
Jl. Ahmad Yani 2-4 Surabaya Tlp. 8292313
K: Hj.Lilik Sjafa’atun S: Aisyah Muhaimin,BA B: Muslihah
4 DPD Muhammadiyah Kota Surabaya
Jl. Sutorejo No. 73-77 Surabaya Tlp. 3824240
K: KH Abdul Wachid Syukur S:
5 Pimpinan Daerah Aisyiyah
Jl. Peneleh VIII/19 Surabaya Tlp. 5454472
K: Amini S: Maslichah B: Hartini
6 Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW)
Jl.Nginden Kota II/78-81 Surabaya Tlp.5610929
K: H. Amari Syahir S: Agung Purwoso B: Samin Siswo Miyanto
7 Iftihadul Mubalighin
Jl.Gayungan VII/36 Surabaya Tlp. 8286156
K: Drs. H. Hidayatulloh, MS S: Aris Nurullah B: Hj Rr SA Sulistyowati, SAg
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
229
8 Front Pembela Islam (FPI)
Jl. Karang Menjangan II/18 Surabaya Tlp. 5942734
K: Ustadz Muh. Choiruddin H. Sag. S: Sech.Mukti Amin,ST B: Muhammad Taufik Aljufri
9 Majelis Dakwah Islamiyah
Jl. Simpang Dukuh No. 1 Surabaya Tlp. 5346081
K: S: Drs.Moch.Imron B: Dra.H. Tunik Chalim
10 Dewan Masjid Indonesia
Jl. Masjid Agung Timur 4 Surabaya Tlp. 8285185, 8411876
K: Prof. Dr. Hasanuddin, SH S: Drs.H. Nurhasan B: Drs.H. Hudi Nurwulan
11 DPD Pengajian Al-Hidayah
Jl. Simpang Dukuh 1 Surabaya Tlp. 8280234
K: Hj. Asni Nilam S: Hj. S. Nahariensih Hartoyik H: Hj. Farida Effendi, SH
12 PC Syarikat Islam Jl. Endrosono I/2 Surabaya Tlp.3770097
K: Muhammad Said Yunus, BA S: Kemas Abd Rahman B: Nuslan Djarot
13 PC Muslimat Bulan Bintang
Jl.Manukan Lor VI-B/56 Surabaya Tlp. 5475105, 7404469
K; Ny. Siti Komariyatik Sj, BA S: Nn. Prasetyaningsih, SPd. B: Ny. Hj. Iffah Sirin
14 PC Al-Irsyad Al-Islamiyah
Jl. Sultan Iskandar Muda (Danakarya) No. 46 Surabaya Tlp3297446
K: Geys Muchsin Alkhotib S: Lutfi Ba’adillah B: Yasir Salim Basyrewan
15 Idaroh Syu’biyyah Jl. Asem Jajar XI/15 Surabaya Tlp. 5467440
K: KH.Abd.Muchid Murtadlo S: KH.Moch. Nadjib Wahid B: KH.Mas M. Khotib
16 DPC Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAW)
JL. Manukan Lor IV-K/1 Surabaya Tlp.7404581 Fax. 74142276
K: Mahmud Anshori S: Abu Abdul Azis B: Muslih
17 Jami’ah Ahlith Thoriqoh Syathoriyyah An-Nahdliyyah
Jl. Bogorami I No. 19 Surabaya Tlp 3894832, 5467440
K: KH Muhammad Sofyan S: Moch Najib Wahid B: Yulianto,SE
orang, lain-lain 2.891.436 orang (Kanwil Kemenag Provinsi Jawa
Timur).
Secara keseluruhan jumlah penyuluh agama Islam di Kota Surabaya sebanyak 235 orang terdiri dari penyuluh PNS/fungsional
sebanyak 33 orang dan non PNS 202 orang. Penyuluh fungsional terdiri dari penyuluh terampil pelaksana 3 orang, penyuluh ahli pertama 20 orang, ahli muda 3 orang, dan penyuluh ahli madya 7 orang. Sedangkan penyuluh non PNS semuanya (202 orang) merupakan penyuluh madya (Kanwil Kementerian Agama Provinsi
Jawa Timur).
Jumlah ormas keagamaan Islam di Kota Subaya, sebanyak 21, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
No Nama Ormas Alamat Sekretariat Nama Pengurus
1 DP Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surabaya
Jl. Jimerto No. 25-27 Surabaya (Komplek Masjid Al Muhajirin) Tlp. 5343051 Psw 239
K: Muchit Murtadlo
2 DPC Nahdlatul Ualama (NU) Kota Surabaya
Jl.Bubutan VI, No. 2 Surabaya Tlp.5340814, 5475184
K: KH. Kholik Marzuki S: Drs. M Syaiful Halim B: Drs. Agus
3 Pengurus Cabang Muslimat NU
Jl. Ahmad Yani 2-4 Surabaya Tlp. 8292313
K: Hj.Lilik Sjafa’atun S: Aisyah Muhaimin,BA B: Muslihah
4 DPD Muhammadiyah Kota Surabaya
Jl. Sutorejo No. 73-77 Surabaya Tlp. 3824240
K: KH Abdul Wachid Syukur S:
5 Pimpinan Daerah Aisyiyah
Jl. Peneleh VIII/19 Surabaya Tlp. 5454472
K: Amini S: Maslichah B: Hartini
6 Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW)
Jl.Nginden Kota II/78-81 Surabaya Tlp.5610929
K: H. Amari Syahir S: Agung Purwoso B: Samin Siswo Miyanto
7 Iftihadul Mubalighin
Jl.Gayungan VII/36 Surabaya Tlp. 8286156
K: Drs. H. Hidayatulloh, MS S: Aris Nurullah B: Hj Rr SA Sulistyowati, SAg
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
230
18 Syarikat Indonesia Jl.Manukan Tama Blok 45 M/10 Surabaya Tlp.7405 293, 3534435, 70137085
K: Hariono Ihsan Putra S: Suwondo B: Drs. Sehantopo
19 Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surabaya
Jl.Mojo Klanggru 134 C Surabaya Tlp. 5930546
K: Drs.Husmana, SH, BA S: Drs. H.Apit B: Ir. HM. Wiek Suripto
20 PW Persatuan Islam (Persis)
Gunung Sari Indah Blok N/19 Surabaya Tlp. 031-7661113
K: Drs. Ahmad Busyairi ,MM S: Imam Syafi’i
21 Pembina Iman Tauhid Islam (PITI)
Jl. Gading No. 2 Surabaya Tlp.
K: H.Fuad Sholeh S: Ir.Tony Hartono Bagio, MT B: Trisno Admojo
Sumber: Kantor Kemenag Kota Surabaya, data tahun 2010.
Secara garis besar bahwa kondisi kehidupan keagamaan di kota Surabaya dalam kondisi yang kondusif, agama Islam adalah agama mayoritas penduduk Surabaya. Bagi umat muslim, kota Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam
yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu wali dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Beragam agama lain yang dianut oleh penduduk kota ini, antara lain: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun
Islam merupakan mayoritas di Surabaya, kerukunan umat beragama saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling tolong-menolong untuk sesamanya. Organisasi sosial yang berbasis agama juga banyak terdapat di kota ini, mereka seringkali bertemu dalam suatu forum komunikasi bersama dan bekerja
sama dalam kegiatan yang bersifat sosial. Selain itu terdapat pula beberapa forum Kerukunan Umat Beragama di Surabaya yang menyatukan beberapa majelis agama yang ada di kota ini.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
231
A. Profil Nahdlatul Ulama
DPC Nahdlatul Ulama (NU) Kota Surabaya beralamatkan di Jalan Bubutan VI, No. 2 Surabaya. Koordinator Wilayah Pengurus
Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya sebagai berikut:
Penanggung Jawab :
- KH. Ahmad Dzul Hilmi (Rais)
- KH. Ahmad Asyar Shofwan (Katib)
Koordinator :
- Drs. Ec. H. Ahmad Syaiful Chalim AR (Ketua)
- Drs. H. Fathur Rochman AR, M.Pd.I (Sekretaris)
Bendahara :
- Drs. H. Purwadi MBA, MM
Wilayah Surabaya Utara (meliputi Kecamatan Semampir, Pabean Cantian, Krembangan, Kenjeran dan Bulak)
18 Syarikat Indonesia Jl.Manukan Tama Blok 45 M/10 Surabaya Tlp.7405 293, 3534435, 70137085
K: Hariono Ihsan Putra S: Suwondo B: Drs. Sehantopo
19 Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota Surabaya
Jl.Mojo Klanggru 134 C Surabaya Tlp. 5930546
K: Drs.Husmana, SH, BA S: Drs. H.Apit B: Ir. HM. Wiek Suripto
20 PW Persatuan Islam (Persis)
Gunung Sari Indah Blok N/19 Surabaya Tlp. 031-7661113
K: Drs. Ahmad Busyairi ,MM S: Imam Syafi’i
21 Pembina Iman Tauhid Islam (PITI)
Jl. Gading No. 2 Surabaya Tlp.
K: H.Fuad Sholeh S: Ir.Tony Hartono Bagio, MT B: Trisno Admojo
Sumber: Kantor Kemenag Kota Surabaya, data tahun 2010.
Secara garis besar bahwa kondisi kehidupan keagamaan di kota Surabaya dalam kondisi yang kondusif, agama Islam adalah agama mayoritas penduduk Surabaya. Bagi umat muslim, kota Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam
yang paling awal di tanah Jawa. Masjid Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu wali dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Beragam agama lain yang dianut oleh penduduk kota ini, antara lain: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Walaupun
Islam merupakan mayoritas di Surabaya, kerukunan umat beragama saling menghormati satu sama lain, menghargai dan saling tolong-menolong untuk sesamanya. Organisasi sosial yang berbasis agama juga banyak terdapat di kota ini, mereka seringkali bertemu dalam suatu forum komunikasi bersama dan bekerja
sama dalam kegiatan yang bersifat sosial. Selain itu terdapat pula beberapa forum Kerukunan Umat Beragama di Surabaya yang menyatukan beberapa majelis agama yang ada di kota ini.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
232
Pembina :
- KH. Hasan Bisri Usman
- KH. A. Sholeh Sahal
- KH. Qodly Syafi’I AH
Koordinator :
- Drs. H. Khoirul Anam
- Drs. H. Ghozali Umar
- Rahmat Ikhya, SH.I
Wilayah Surabaya Pusat (meliputi Kecamatan Bubutan, Simokerto, Genteng dan Tegal Sari)
Pembina :
- KH. Saiful Muqoddas
- KH. Drs. Chalimi
- KH. A. Fauzi Effendi
Koordinator :
- M. Sholahuddin Azmi
- M. Syukur, ST
- H. Kaswi
Wilayah Surabaya Barat (meliputi Kecamatan Tandes, Asemrowo, Sukomanunggal, Benowo, Pakal, Lakar Santri dan Sambikerep)
Pembina :
- KH. Imam Hambali
- KH. Imam Syuhada
- KH. Moch. Usman KR
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
233
Koordinator :
- Drs. H. Ali Suparto
- H.M. Agus Diyar
- H. Wasik
Wilayah Surabaya Timur (meliputi Kecamatan Tambaksari, Gubeng, Sukolilo, Mulyorejo, Rungkut, Gunung Nayar dan Tenggilis Mejoyo)
Pembina :
- KH. Hasyim Rowie
- KH. A. Mu’thi Nurhadi
- KH. Mutadlo Ghoni
- KH. Marzuki Abbas
Koordinator :
- Muhammad Thosin, BA
- H. Ahyat
- Teguh Rachmanto, ST
Wilyah Surabaya Selatan (meliputi Kecamatan Sawahan, Wonokromo, Wonocolo, Jambangan, Gayungan, Karang Pilang, Dukuh Pakis dan Wiyung)
Pembina :
- KH. A. Muchit Murtadlo
- KH. Mas Sulaiman
- KH. Ahsanul Haq
- KH. M. Munief, MM
Koordinator :
- Ir. H. Nurul Amin
- Drs. H. Arif Hanafi AH
- Muhibuddin Zuhri, S.Pd
Pembina :
- KH. Hasan Bisri Usman
- KH. A. Sholeh Sahal
- KH. Qodly Syafi’I AH
Koordinator :
- Drs. H. Khoirul Anam
- Drs. H. Ghozali Umar
- Rahmat Ikhya, SH.I
Wilayah Surabaya Pusat (meliputi Kecamatan Bubutan, Simokerto, Genteng dan Tegal Sari)
Pembina :
- KH. Saiful Muqoddas
- KH. Drs. Chalimi
- KH. A. Fauzi Effendi
Koordinator :
- M. Sholahuddin Azmi
- M. Syukur, ST
- H. Kaswi
Wilayah Surabaya Barat (meliputi Kecamatan Tandes, Asemrowo, Sukomanunggal, Benowo, Pakal, Lakar Santri dan Sambikerep)
Pembina :
- KH. Imam Hambali
- KH. Imam Syuhada
- KH. Moch. Usman KR
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
234
Sejarah Kelahiran
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang besar
di Indonesia. Sejarah lahirnya NU dapat dirunut dari munculnya kelompok kajian Tashwirul Afkar (1914), yang berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Syubbanul Wathan (1918), Nahdlatul
Wathan (1924) dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama pada
tanggal 16 Rajab 1344 bertepatan dengan 13 Januari 1926. Sebagai ciri gerakan (nahdlah) dari NU adalah al-muhafadzah alal
qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga dan
memperhatikan tradisi lama yang baik dan berkreasi untuk membuat peradaban baru yang lebih baik) (lihat: Khalimi, 2010: 330). Dari ciri gerakan yang sudah ada sejak masih embrio menjadikan jam’iyah yang beranggotakan para ulama pesantren ini sejak semula akomodatif terhadap tradisi dan adat istiadat yang
sudah berkembang di kalangan masyarakat.
Pada waktu Raja Ibnu Saud yang berkolaborasi dengan gerakan Wahhabi bermaksud menghacurkan benda-benda dan situs-situs sejarah Islam dan pra Islam yang selama ini dijadikan tempat ziarah dan dipandang sebagai sumber bid’ah, di Indonesia
ada dua sikap yang berbeda. Kaum modernis (Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Ahmad Dahlan dan PSII di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto) menyambut gagasan tersebut. Sebaiknya jam’iyah yang beranggotakan para ualama pesantren dengan ciri
nahdlah-nya itu menolak gagasan perhancuran khazanah budaya dan pembatasan bermadzhab itu (lihat: Khalimi, 2010: 330-331).
Karena sikap yang berbeda itu, jam’iyah para ulama pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di
Yogyakarta (1925) dan para ulama pesantren itu tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan gagasan kaum
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
235
Wahhabi itu (lihat: Khalimi,2010: 331). Dari gagasan Raja Ibnu Saud
tersebut telah mengakibatkan suatu tragedi pembunuhan terhadap rombongan pembawa kiswah (kelambu kabah) dari Mesir yang diiringi musik, karena kaum Wahhabi mengharamkan musik.
Didorong oleh hasrat yang kuat untuk memperjuangkan keberadaan situs-situs dan benda-benda budaya Islam yang sebagian sudah dihancurkan oleh gerakan Wahhabi, serta protes terhadap peristiwa pembunuhan terhadap rombongan pembawa kiswah tersebut, para ulama pesatren membentuk komite sendiri
yang disebut Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Wahhab Hasbullah. Atas desakan Komite Hijaz dan tantangan umat Islam dari berbagai penjuru dunia, akhirnya Raja Ibnu Saud membatalkan rencana tersebut. Hasilnya, sekarang di Mekah dan
Madinah umat Islam bebas melakukan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing. Tidak dapat dipungkiri ini merupakan peran internasional para ulama pesantren dalam memberjuangkan kebebasan bermadzhab dan menyelematkan sistus sejarah Islamyang masih tersisa. (lihat: Khalimi, 2010: 331).
Meski ritual-ritual yang dianggap bidah menurut kalangan Wahhabi dilarang dilakukan di Arab Saudi, misalnya pembacaan maulid secara umum dilarang, kecuali di Rusaifah.48
Ada rasa sayang untuk mengabaikan jam’iyah yang telah
berkiparah untuk kepentingan umat Islam di tingkat internasional itu, sehingga bersama organisasi-organisasi yang bersifat embrional dibentuklah organisasi yang lebih besar untuk menjawab tantangan jaman sehingga lahirlah organisasi
48 Rusaifah adalah nama suatu tempat di Kota Mekah. Pembacaan maulid di
Rusaifah dilakukan dengan mengandalkan kekuatan suara yang merdu tanpa iringan musik. Acara tersebut dihadiri para undangan dari beberapa negara di Timur Tengah. Acara dimulai setelah shalat Magrib, setelah selesai pembacaan maulid semua yang hadir melakukan shalat Isya berjamaah dan ditutup dengan acara makan bersama.
Sejarah Kelahiran
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang besar
di Indonesia. Sejarah lahirnya NU dapat dirunut dari munculnya kelompok kajian Tashwirul Afkar (1914), yang berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Syubbanul Wathan (1918), Nahdlatul
Wathan (1924) dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama pada
tanggal 16 Rajab 1344 bertepatan dengan 13 Januari 1926. Sebagai ciri gerakan (nahdlah) dari NU adalah al-muhafadzah alal
qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga dan
memperhatikan tradisi lama yang baik dan berkreasi untuk membuat peradaban baru yang lebih baik) (lihat: Khalimi, 2010: 330). Dari ciri gerakan yang sudah ada sejak masih embrio menjadikan jam’iyah yang beranggotakan para ulama pesantren ini sejak semula akomodatif terhadap tradisi dan adat istiadat yang
sudah berkembang di kalangan masyarakat.
Pada waktu Raja Ibnu Saud yang berkolaborasi dengan gerakan Wahhabi bermaksud menghacurkan benda-benda dan situs-situs sejarah Islam dan pra Islam yang selama ini dijadikan tempat ziarah dan dipandang sebagai sumber bid’ah, di Indonesia
ada dua sikap yang berbeda. Kaum modernis (Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Ahmad Dahlan dan PSII di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto) menyambut gagasan tersebut. Sebaiknya jam’iyah yang beranggotakan para ualama pesantren dengan ciri
nahdlah-nya itu menolak gagasan perhancuran khazanah budaya dan pembatasan bermadzhab itu (lihat: Khalimi, 2010: 330-331).
Karena sikap yang berbeda itu, jam’iyah para ulama pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di
Yogyakarta (1925) dan para ulama pesantren itu tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan gagasan kaum
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
236
Nahdlatul Ulama (NU), dimana KH Hasyim Asyari dikenal sebagai
pendiri dan sebagai Rais Akbar pertama. Untuk menegaskan prinsip organisasi, KH Hasyim Asyari merumuskan kitab Qonun
Asasi (Prinsip Dasar) dan kitab I’tiqat Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan sebagai khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga Nahdliyin dalam berfikir dan bertindak dalam bidang agama, sosial dan politik (Khalimi, 2010: 331).
Faham Keagamaan
NU menganut faham ahlussunah wal jamaah pola fikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis) karena itu sumber pemikiran bagi NU bukan hanya al-Quram dan sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric. Cara pemikiran seperti itu mengacu kepada cara
pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang ilmu kalam. Dalam fiqh mengikuti 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dalam tashawuf mengembangkan metode Imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tashawuf dan syariat (Khalimi, 2010:
331-332).
Tujuan Organisasi
Tujuan organisasi NU adalah untuk menegakkan ajaran Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Khalimi, 2010: 332).
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
237
Usaha Organisasi
Usaha organisasi NU meliputi: (1) Bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. (2) Bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur dan berpengetahuan luas. (3) Bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta
kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan. (4) Bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. (5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas (Khalimi, 2010: 333).
Struktur Organisasi
Struktur organisasi NU terdiri dari:
- Pengurus Besar (tingkat pusat)
- Pengurus Wilayah (tingkat provinsi)
- Pengurus Cabang (tingkat kabupaten/kota) atau Pengurus Cabang Istimewa (untuk kepengurusan di luar negeri)
- Pengurus Majelis Wakil Cabang (tingkat kecamatan)
- Pengurus Ranting (tingkat desa/kelurahan)
Untuk tingkat pusat, wilayah, cabang, dan majelis wakil cabang setiap kepengurusan terdiri dari:
- Mustasyar (penasehat)
- Syuriyah (pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (pelaksana harian)
Nahdlatul Ulama (NU), dimana KH Hasyim Asyari dikenal sebagai
pendiri dan sebagai Rais Akbar pertama. Untuk menegaskan prinsip organisasi, KH Hasyim Asyari merumuskan kitab Qonun
Asasi (Prinsip Dasar) dan kitab I’tiqat Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan sebagai khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga Nahdliyin dalam berfikir dan bertindak dalam bidang agama, sosial dan politik (Khalimi, 2010: 331).
Faham Keagamaan
NU menganut faham ahlussunah wal jamaah pola fikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis) karena itu sumber pemikiran bagi NU bukan hanya al-Quram dan sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric. Cara pemikiran seperti itu mengacu kepada cara
pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang ilmu kalam. Dalam fiqh mengikuti 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dalam tashawuf mengembangkan metode Imam Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tashawuf dan syariat (Khalimi, 2010:
331-332).
Tujuan Organisasi
Tujuan organisasi NU adalah untuk menegakkan ajaran Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Khalimi, 2010: 332).
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
238
Untuk ranting setiap kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (pelaksana harian) (Khalimi: 2010: 333)
Basis Pendukung
Jumlah warga NU diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta
orang. Mereka tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pada umumnya warga NU memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan dan cagar budaya NU (Khalimi, 2010: 332).
Sejak berdiri hingga akhir tahun 1960-an basis pendukung
NU mayoritas berada di daerah pedesaan, terutama dari kalangan petani. Namun sejak awal tahun 1970-an dengan dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong tumbuhnya industri secara pesat di daerah-daerah perkotaan. ada dua jalur yang menjadikan sebagian basis pendukung NU bergeser
dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan. Pertama, melalui jalur industrialisasi, dengan semakin banyaknya industri di daerah perkotaan ditambah semakin terpuruknya pertanian di pedesaan, telah mendorong tenaga dari desa (di antaranya generasi muda
NU) melakukan urbanisasi dan bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak sedikit pula yang kurang beruntung, yang kemudian memasuki sector-sektor non formal, menjadi guru ngaji, marbot masjid, pedagang kaki lima, menjadi sopir, kuli bangunan, tukang becak dan lain-lain. Namun yang pasti gelombang urbanisasi telah
menggeser sebagian basis pendukung NU dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan.
Kedua, melalui jalur pendidikan, dengan semakin mem-baiknya perekonomian masyarakat banyak warga desa yang
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
239
mampu menyekolah anak-anak mereka kejenjang perguruan
tinggi. Pada waktu itu perguruan tinggi hanya terdapat di kota-kota besar seperti Jakarta dan ibukota-ibukota provinsi. Jika ada perguruan tinggi di kota kabupaten hanya berupa akademi, atau fakultas-fakultas cabang dari perguruan tinggi di kota provinsi dan
jenjangnya hanya sampai sarjana muda atau D3. Arus urbanisasi secara besar-besaran generasi muda warga NU ini terutama melalui jalur perguruan tinggi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Pada era sebelumnya pemuda-pemudi NU pada umumnya cukup puas mengakhiri jenjang pendidikannya di pesantren
(tingkat aliyah yang setara dengan SMA). Dengan hadirnya IAIN di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia telah mendorong generasi muda NU melanjutkan pendidikan di IAIN. Melalui jalur pendidikan ini, bukan hanya sekedar mengubah basis pendukung NU dari pedesaan menuju daerah perkotaan, tapi juga mengubah
para pendukung NU secara besar-besaran, baik dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Melalui jalur pendidikan telah melahirkan kaum intelektual NU, pendukung NU telah memenuhi berbagai macam profesi, menduduki berbagai jabatan politik, menduduki berbagai jenjang birokrasi, berada di berbagai sektor
ekonomi, baik formal maupun non-formal. Jika pada masa yang lalu, pendukung NU layak disebut sebagai kaum tradisional, tetapi dengan proses urbanisasi melalui dua jalur tersebut para pendukung NU tidak pada tempatnya lagi disebut sebagai kaum tradisional, demikian pula ormas NU.
Jaringan Organisasi
Hingga akhir tahun 2000, jaringan ormas NU meliputi 31 wilayah, 339 cabang, 12 cabang istimewa, 2.630 majelis wal cabang, dan 37.125 ranting (Khalimi, 2010: 333).
Untuk ranting setiap kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (pimpinan tertinggi)
- Tanfidziyah (pelaksana harian) (Khalimi: 2010: 333)
Basis Pendukung
Jumlah warga NU diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta
orang. Mereka tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Pada umumnya warga NU memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan dan cagar budaya NU (Khalimi, 2010: 332).
Sejak berdiri hingga akhir tahun 1960-an basis pendukung
NU mayoritas berada di daerah pedesaan, terutama dari kalangan petani. Namun sejak awal tahun 1970-an dengan dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong tumbuhnya industri secara pesat di daerah-daerah perkotaan. ada dua jalur yang menjadikan sebagian basis pendukung NU bergeser
dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan. Pertama, melalui jalur industrialisasi, dengan semakin banyaknya industri di daerah perkotaan ditambah semakin terpuruknya pertanian di pedesaan, telah mendorong tenaga dari desa (di antaranya generasi muda
NU) melakukan urbanisasi dan bekerja sebagai buruh pabrik, dan tidak sedikit pula yang kurang beruntung, yang kemudian memasuki sector-sektor non formal, menjadi guru ngaji, marbot masjid, pedagang kaki lima, menjadi sopir, kuli bangunan, tukang becak dan lain-lain. Namun yang pasti gelombang urbanisasi telah
menggeser sebagian basis pendukung NU dari daerah pedesaan menuju wilayah perkotaan.
Kedua, melalui jalur pendidikan, dengan semakin mem-baiknya perekonomian masyarakat banyak warga desa yang
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
240
Profil Aktivitas Dakwah
Jumlah da’i NU yang terdaftar di LDNU Kota Surabaya
sekitar 100 orang, yang tidak terdaftar lebih banyak. Menurut SH, da’i NU meskipun basiknya dari pesantren tapi kemudian banyak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apa lagi da’i yang memiliki pekerjaan formal sebagai PNS banyak yang melajutkan kuliah S2. Tapi da’i yang bukan PNS biasanya enggan
melanjutkan kuliah, karena tidak ada sipil efeknya secara langsung. KH Sayiful memberikan contoh dirinya sendiri, karena profesinya sebagai wirausaha bukan PNS, maka ia tidak berminat untuk melanjutkan kuliah (Wawancara dengan SH).
Menurut pengamatan SJ, profil para da’i dari kalangan NU
di Kota Surabaya telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 1970-an kebawah para da’i NU didominasi oleh alumni pesantren tradisional; pada dekade tahun 1970-an telah mulai mengalami perkembangan, antara da’i dari kalangan pesantren dan da’i dari kalangan akademisi dapat dikatakan fifty-fifty; pada
decade tahun 1980-an dari kalangan akademisi semakin bertambah banyak, sementara da’i dari pesantren semakin jarang dijumpai; dan sejak tahun 1990-an hampir semua da’i dari kalangan akademisi, jika ada yang dari pesantren mereka juga alumni perguruan tinggi. (wawancara dengan SJ). NR
menambahkan, para penceramah/da’i di Kota Surabaya minimal sarjana S2, tidak sedikit pula sarjana S3 dan guru besar. Jika ada da’i sarjana S1 biasanya da’i yang sudah senior (Wawancara dengan NR).
Ciri materi ceramah yang disampaikan oleh
da’i/penceramah dari kalangan pesantren yang belum mengenal pendidikan akademis cenderung monolog, dengan retorika yang khas pesantren, dengan kerangka berfikir yang
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
241
normative/ideologis. Pada dekade 70-an, materi dakwah dengan
memperbincangkan masalah furuiyah masih sering dilakukan para da’i/penceramah. Para da’I masih sering membicarakan doa qunut, tentang jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Setelah tahun 1990
secara umum di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim nyaris tidak ada lagi yang memperbincangkan masalah-masalah furuiyah. Profil dakwah setelah tahun 1990 dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Sudah banyak yang menggunakan metode dialog; 2) kerangka berfikirnya sudah tidak normative/ideologis
lagi, tetapi sudah epistemologis; 3) gagasannya bukan lagi bersifat indoktrinasi, tetapi sudah berupa penawaran gagasan. (Wawancara dengan SJ).
Media yang digunakan
Mulai tahun 1990 para da’i mulai marak menggunakan berbagai macam media, antara lain radio, koran, bulletin, dan TV.
(Wawancara dengan SJ). Namun sejauh ingatan peneliti Masjid Mujahiddin jauh lebih dulu (sejak tahun 1970-an) sudah menggunakan media radio sebagai sarana dakwah. Menurut keterangan WH, Masjid Mujahidin yang memiliki pemacar radio dakwah terbesar di Indonesia sekarang siaran dakwah sudah
kurang efektif lagi, karena sekarang radio tidak sepopuler seperti dulu (wawancara dengan WH).
Menurut SH, dakwah NU Kota Surabaya menggunakan berbagai macam media, dulu pernah memiliki majalah, tetapi karena majalah dianggap kurang efektif dibandingkan dengan
bulletin. Akhirnya malajahnya tidak terbit lagi dan diganti dengan bulletin (bulletin Jum’at). Pelaksana penerbitan bulletin diserahkan kepada MWC, karena MWC dianggap lebih tahu kondisi lapangan (masyarakat). Meski tidak semua MWC menerbitkan bulletin
Profil Aktivitas Dakwah
Jumlah da’i NU yang terdaftar di LDNU Kota Surabaya
sekitar 100 orang, yang tidak terdaftar lebih banyak. Menurut SH, da’i NU meskipun basiknya dari pesantren tapi kemudian banyak yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apa lagi da’i yang memiliki pekerjaan formal sebagai PNS banyak yang melajutkan kuliah S2. Tapi da’i yang bukan PNS biasanya enggan
melanjutkan kuliah, karena tidak ada sipil efeknya secara langsung. KH Sayiful memberikan contoh dirinya sendiri, karena profesinya sebagai wirausaha bukan PNS, maka ia tidak berminat untuk melanjutkan kuliah (Wawancara dengan SH).
Menurut pengamatan SJ, profil para da’i dari kalangan NU
di Kota Surabaya telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 1970-an kebawah para da’i NU didominasi oleh alumni pesantren tradisional; pada dekade tahun 1970-an telah mulai mengalami perkembangan, antara da’i dari kalangan pesantren dan da’i dari kalangan akademisi dapat dikatakan fifty-fifty; pada
decade tahun 1980-an dari kalangan akademisi semakin bertambah banyak, sementara da’i dari pesantren semakin jarang dijumpai; dan sejak tahun 1990-an hampir semua da’i dari kalangan akademisi, jika ada yang dari pesantren mereka juga alumni perguruan tinggi. (wawancara dengan SJ). NR
menambahkan, para penceramah/da’i di Kota Surabaya minimal sarjana S2, tidak sedikit pula sarjana S3 dan guru besar. Jika ada da’i sarjana S1 biasanya da’i yang sudah senior (Wawancara dengan NR).
Ciri materi ceramah yang disampaikan oleh
da’i/penceramah dari kalangan pesantren yang belum mengenal pendidikan akademis cenderung monolog, dengan retorika yang khas pesantren, dengan kerangka berfikir yang
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
242
Jumat. Sekarang yang masih menerbitkan majalah (Aula) adalah
NU Wilayah Jawa Timur, yang di dalamnya juga memuat rubrik tentang dakwah; Selain menggunakan media cetak, dakwah NU Kota Surabaya juga menggunakan radio, yakni Radio Suara NU Surabaya, studionya terdapat di Gedung NU Kota Surabaya di
Jalan Bubutan VI no. 2 Surabaya. Sedangkan NU Wialayah Surabaya menggunkan televisi yakni TV9 (Wawancara dengan SH).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah
Menurut NR, antara masjid NU dan masjid Muhammadiyah sama saja, sama-sama saling “serang” atau saling menyindir
melalui faham keagamaan masing-masing (wawancara dengan NR). Meski masjid NU dan masjid Muhammadiyah yang diamati NR hanya terbatas pada masjid yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. AWS dalam hal ini menunjuk salah satu masjid NU yang juga tidak jauh dari tempat tinggalnya, antara masjid NU dan
masjid Muhammadiyah biasanya terjadi saingan pengeras suara. Sekarang masjid Muhammadiyah menggunakan speker dalam (salon), sedangkan masjid NU masih menggunakan speker luar ditambah lagi setengah jam sebelum adzan dikumandangkan Tembang Gus Dur, kemudian adzan dan pujian. Ada warga yang
sakit pun speker tetap kencang. Jika hal tersebut diingatkan, jawabannya “apa eleke?” (apa jeleknya?) Maksudnya apa jeleknya sesuatu yang sudah biasa dilakukan masyarakat atau sesuatu yang sudah menjadi tradisi? (Wawancara dengan AWS).
Potensi konflik lainnya AWS pernah mendengar ada seorang penceramah dari kalangan NU yang dalam suatu ceramah menerangkan tahlilan menyindir orang-orang yang tidak menyelenggarakan ritual tahlilan dengan kalimat “ngubur orang kok seperti ngubur kucing”. Tetapi AWS mengatakan penceramah-
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
243
penceramah NU yang seperti itu sebenarnya tidak banyak. Yang
suka menyindir seperti itu biasanya penceramah pemula yang masih kurang wawasan, bahkan kekurangan materi ceramah, sehingga berbicara seperti itu (wawancara dengan AWS).
Potensi konflik karena hadirnya gerakan transnasional
yang masuk di lingkungan kampus perguruan tinggi umum (PTU), yang menjadikan kalangan muda berfaham fundamentalis. Fenomena ini dapat dimaklumi karena mahasiswa PTU yang secara umum kurang memiliki dasar pengetahuan agama yang cukup, kemudian dikenalkan dengan faham keagamaan
fundamentalis. Selain itu mereka mempelajari agama secara tekstual. Sebaliknya, mereka tidak dikenalkan kepada makna Islam yang lebih dalam dan nilai-nilai keislaman yang lebih esensial. Dengan hadirnya faham transnasional tersebut di kampus PTU terjadi konflik internal Islam antara mereka yang berfaham
fundamentalis skriptualis (tektualis) dengan mereka yang berfaham moderat yang non tektualis. Kondisi ini menjadikan sebagian mahasiswa terkotak-kotak disamping mereka juga sering melakukan ghazwul fikri (wawancara dengan SJ).
Hubungan Antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan
Kerukunan
Menurut WH, antara NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi masalah khilafiayah/furuiyah tidak sekeras dulu. Karena
sekarang pengetahuan masyarakat sudah lebih baik, sudah lebih dewasa dalam memahami masalah agama, sudah tidak mau mempermasalahkan masalah-masalah furuiyah. Di Surabaya sekarang ada Masjid NU49 yang menyelenggarakan shalat tarawih
49 Sebenarnya tidak ada masjid dengan papan nama masjid NU, biasanya istilah
masjid NU digunakan oleh masyarakat untuk menyebut masjid yang berada ditengah-
Jumat. Sekarang yang masih menerbitkan majalah (Aula) adalah
NU Wilayah Jawa Timur, yang di dalamnya juga memuat rubrik tentang dakwah; Selain menggunakan media cetak, dakwah NU Kota Surabaya juga menggunakan radio, yakni Radio Suara NU Surabaya, studionya terdapat di Gedung NU Kota Surabaya di
Jalan Bubutan VI no. 2 Surabaya. Sedangkan NU Wialayah Surabaya menggunkan televisi yakni TV9 (Wawancara dengan SH).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah
Menurut NR, antara masjid NU dan masjid Muhammadiyah sama saja, sama-sama saling “serang” atau saling menyindir
melalui faham keagamaan masing-masing (wawancara dengan NR). Meski masjid NU dan masjid Muhammadiyah yang diamati NR hanya terbatas pada masjid yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. AWS dalam hal ini menunjuk salah satu masjid NU yang juga tidak jauh dari tempat tinggalnya, antara masjid NU dan
masjid Muhammadiyah biasanya terjadi saingan pengeras suara. Sekarang masjid Muhammadiyah menggunakan speker dalam (salon), sedangkan masjid NU masih menggunakan speker luar ditambah lagi setengah jam sebelum adzan dikumandangkan Tembang Gus Dur, kemudian adzan dan pujian. Ada warga yang
sakit pun speker tetap kencang. Jika hal tersebut diingatkan, jawabannya “apa eleke?” (apa jeleknya?) Maksudnya apa jeleknya sesuatu yang sudah biasa dilakukan masyarakat atau sesuatu yang sudah menjadi tradisi? (Wawancara dengan AWS).
Potensi konflik lainnya AWS pernah mendengar ada seorang penceramah dari kalangan NU yang dalam suatu ceramah menerangkan tahlilan menyindir orang-orang yang tidak menyelenggarakan ritual tahlilan dengan kalimat “ngubur orang kok seperti ngubur kucing”. Tetapi AWS mengatakan penceramah-
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
244
8 rakaat yang biasa dilakukan oleh kalangan orang-orang Muham-
madiyah (wawancara dengan WH).
Menurut SJ sekarang ini di Surabaya jarang sekali terjadi kles antara kelompok NU dan Muhammadiyah, karena kedua kelompok ini sekarang sudah terbiasa jalan bersama dan saling
berkelindan. Misalnya, banyak lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah baik dari tingkat dasar bahkan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang merekrut tenaga pengajar dari kalangan NU demikian pula sebaliknya. Akibatnya sekarang banyak orang-orang Islam yang berfamah “Munu”50 (Wawancara
dengan SJ). Dalam hal ini menurut AWS, kebutuhan tenaga pengajar (dosen) disesuaikan dengan kebutuhan. Jika kebetulan Muhammadiyah tidak memiliki SDM tenaga pengajar disiplin ilmu tertentu maka akan dicari tenaga dari luar termasuk dari NU (wawancara dengan AWS).
Meski AWS mensinyalir ada penceramah di masjid NU yang menyindir faham keagamaan Muhamadiyah, Jika ada penceramah-penceramah muda yang dalam berceramah dapat menimbulkan gesekan, yang bisa mengingatkan adalah para kyai, karena pada umumnya warga NU taat kepada kyainya. Secara
umum sebenarnya hubungan antara NU dengan Muhammadiyah sudah baik. Kyai-kyai NU dalam menjelaskan tentang perbedaan madzhab sangat menarik, semuanya dijelaskan kemudian kyai
tengah masyarakat yang berfaham Nahdliyin dan mayoritas jamaahnya dari kalangan Nahdliyin, demikian pula ritual keagamaan yang biasa dilakukan di masjid tersebut juga ritual-ritual keagamaan yang biasa dilakukan kalangan Nahdliyin, seperti adanya pujian-pujian sambil menunggu imam shalat rawatib, doa qunut waktu shalat Subuh, adzan dua menjelang shalat Jumat, tarawih 20 rakaat, tahlil, dan pembacaan Barzanji.
50 Faham “Munu” faham campuran antara Muhammadiyah dan NU. Hal ini terjadi karena seringnya orang-orang tersebut berinteraksi dengan kelompok Muhammadiyah/NU bahkan aktif di dalamnya terutama dalam lembaga pendidikan, dan dengan kemampuan intelektualnya bisa menyaring dan memilih untuk dijadikan sebagai faham keagamaan pribadinya.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
245
secara pribadi memilih di antara pendapat-pendapat itu,
selanjutnya jamaah dipersilahkan mengikuti atau memilih yang lain (wawancara dengan AWS).
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kehadiran orang-orang yang tidak dikenal, misalnya robongan
Jamaah Tablig (JT) yang sedang khuruj (keluar) antara NU dan Muhammadiyah sudah sepakat jika mereka datang tidak boleh menjadi imam (wawancara dengan AWS).
B. Profil Muhamadiyah
Alamat sekretariat PD Muhammadiyah Kota Surabaya berada
di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jl. Sutorejo No. 73-77 Surabaya. Struktur kepengurusan Pengurus Daerah (PD) Muhammadiyah Surabaya sebagai berikut:
Ketua : Drs. H. Muzayin Khodari, MAg
Wakil Ketua : 1. Dr. Mahsun Jayadi, MAg
2. Akip Zarnuji, SThi, MAg
3. Drs. H. Imam Subari
4. Drs. Wahyu Indrajaya
5. Drs. H. Khoiruddin, MSi
6. Drs. H. Suyatno
7. H. Imanan, SAg
Sekretaris : Drs. H. Hamri Al-Jauhari, MPdi
Wakil Sekretaris : Drs. Andi Hariyadi, MPdi
Bendahara : Drs. H. Marzuki, MA
Wakil Bendahara : Drs. Hasan Majuri, MA
Penasehat : 1. Drs. H. A. Wakhid Syukur
2. Drs. H. Syaifuddin Zaini, MPdi.
8 rakaat yang biasa dilakukan oleh kalangan orang-orang Muham-
madiyah (wawancara dengan WH).
Menurut SJ sekarang ini di Surabaya jarang sekali terjadi kles antara kelompok NU dan Muhammadiyah, karena kedua kelompok ini sekarang sudah terbiasa jalan bersama dan saling
berkelindan. Misalnya, banyak lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah baik dari tingkat dasar bahkan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang merekrut tenaga pengajar dari kalangan NU demikian pula sebaliknya. Akibatnya sekarang banyak orang-orang Islam yang berfamah “Munu”50 (Wawancara
dengan SJ). Dalam hal ini menurut AWS, kebutuhan tenaga pengajar (dosen) disesuaikan dengan kebutuhan. Jika kebetulan Muhammadiyah tidak memiliki SDM tenaga pengajar disiplin ilmu tertentu maka akan dicari tenaga dari luar termasuk dari NU (wawancara dengan AWS).
Meski AWS mensinyalir ada penceramah di masjid NU yang menyindir faham keagamaan Muhamadiyah, Jika ada penceramah-penceramah muda yang dalam berceramah dapat menimbulkan gesekan, yang bisa mengingatkan adalah para kyai, karena pada umumnya warga NU taat kepada kyainya. Secara
umum sebenarnya hubungan antara NU dengan Muhammadiyah sudah baik. Kyai-kyai NU dalam menjelaskan tentang perbedaan madzhab sangat menarik, semuanya dijelaskan kemudian kyai
tengah masyarakat yang berfaham Nahdliyin dan mayoritas jamaahnya dari kalangan Nahdliyin, demikian pula ritual keagamaan yang biasa dilakukan di masjid tersebut juga ritual-ritual keagamaan yang biasa dilakukan kalangan Nahdliyin, seperti adanya pujian-pujian sambil menunggu imam shalat rawatib, doa qunut waktu shalat Subuh, adzan dua menjelang shalat Jumat, tarawih 20 rakaat, tahlil, dan pembacaan Barzanji.
50 Faham “Munu” faham campuran antara Muhammadiyah dan NU. Hal ini terjadi karena seringnya orang-orang tersebut berinteraksi dengan kelompok Muhammadiyah/NU bahkan aktif di dalamnya terutama dalam lembaga pendidikan, dan dengan kemampuan intelektualnya bisa menyaring dan memilih untuk dijadikan sebagai faham keagamaan pribadinya.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
246
Para pengurus Muhammadiyah dianjurkan untuk
mengikuti program pengembangan SDM dengan mengikuti Program Magister Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Program magister (peningkatan SDM) pengurus ini bersubsidi dalam bentuk uang kuliah sebesar 50%. Program ini sudah
berjalan selama 6 tahun (Wawancara dengan HJ).
Jumlah anggota aktif Muhammadiyah Kota Surabaya sekitar 100 ribu orang, sedangkan jumlah anggota non aktif (simpatisan) sekitar 50 ribu orang. Rekrutmen anggota dilakukan melalui ranting (tingkat kelurahan) dan cabang (tingkat
kecamatan). Para calon anggota mengisi formulir khusus diketahui oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) setelah itu diproses di pusat untuk mendapatkan Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Selain itu ada pula yang melaui kampus UMS, dan melalui jalur pendidikan atau
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang selanjutnya diproses melalui PCM (Wawancara dengan HJ).
Sumber dana organisasi berasal dari amal usaha pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, donator, bantuan pemerintah (provinsi dan kota). Perolehan dana dari sumber dana
tersebut yang paling besar adalah dari amal usaha pendidikan. Meski dana dari amal usaha pendidikan yang disetorkan untuk organisasi hanya sebesar 5% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Sedangkan sumber dana yang paling kecil berasal dari donatur. (Wawancara dengan HJ).
Sekilas tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua setelah NU. Tujuan didirikan Muhammadiyah untuk pembaharuan (tajdid) terhadap Islam, masyarkat Muslim dan
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
247
syariat. Metode pembaharuan yang digunakan adalah
memberdayakan penggunaan akal, tetapi harus diselaraskan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunah Rasul. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan
terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekedar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrim. Muhammadiyah cukup terkemuka dalam
bidang pendidikan (Khalimi, 2010: 307).
Dasar-dasar ideologi Muhammadiyah tertuang dalam gagasan maqoshid al-syari’ah, yakni hukum yang memiliki tujuan yang baik, memberi maslahah atau kepentingan umum dalam pengertian pengertian yang luas. Dengan kata lain ideology yang
dimafhumi oleh Muhammadiyah adalah ideologi yang dapat memebrikan “kebaikan yang paling besar”. Namun ideologi Muhammadiyah dibatasi oleh Al-Quran, Sunnah dan akal manusia yang terbatas Dalam pembentukannya Muhammadiyah banyak merefleksikan perintah-perintah Al-Quran di antaranya surat Ali
Imran ayat 104, yang artinya kurang lebih: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Ayat tersebut mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan
dakwah Islam secara terorganisasi. Maka dalam butir ke 6 Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan: “melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya. Hasilnya, Muhammadiyah telah
banyak mendirikan rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-
Para pengurus Muhammadiyah dianjurkan untuk
mengikuti program pengembangan SDM dengan mengikuti Program Magister Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Program magister (peningkatan SDM) pengurus ini bersubsidi dalam bentuk uang kuliah sebesar 50%. Program ini sudah
berjalan selama 6 tahun (Wawancara dengan HJ).
Jumlah anggota aktif Muhammadiyah Kota Surabaya sekitar 100 ribu orang, sedangkan jumlah anggota non aktif (simpatisan) sekitar 50 ribu orang. Rekrutmen anggota dilakukan melalui ranting (tingkat kelurahan) dan cabang (tingkat
kecamatan). Para calon anggota mengisi formulir khusus diketahui oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) dan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) setelah itu diproses di pusat untuk mendapatkan Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Selain itu ada pula yang melaui kampus UMS, dan melalui jalur pendidikan atau
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang selanjutnya diproses melalui PCM (Wawancara dengan HJ).
Sumber dana organisasi berasal dari amal usaha pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, donator, bantuan pemerintah (provinsi dan kota). Perolehan dana dari sumber dana
tersebut yang paling besar adalah dari amal usaha pendidikan. Meski dana dari amal usaha pendidikan yang disetorkan untuk organisasi hanya sebesar 5% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Sedangkan sumber dana yang paling kecil berasal dari donatur. (Wawancara dengan HJ).
Sekilas tentang Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua setelah NU. Tujuan didirikan Muhammadiyah untuk pembaharuan (tajdid) terhadap Islam, masyarkat Muslim dan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
248
lemabaga pendidikan di seluruh wilayah Indonesia (Khalimi, 2010:
307-308).
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tanggal 7-11 Desember 1985,
Bab I pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Muhammadiyah menentang berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakannya non politik, tetapi tidak melarang anggota-anggotanya memasuki
partai politik (Khalimi, 2010: 309).
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (18 November 1912 M). Pada awal didirikan, Muhammadiyah memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian
Sidratul Muntaha. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah dasar dan lanjutan, yaitu Hooge School Muhammadiyah, yang kemudian berganti nama, mejadi Kweek School Muhammadiyah. Selain itu juga didirikan organisasi
underbow untuk kaum ibu yaitu Aisyiyah.
Teologi Muhammadiyah
Muhammadiyah tidak pernah menyatakan secara eksplisit keterikatannya dengan doktrin teologis maupun fiqh ahlus sunnah
wal jamaah kecuali dalam keputusan tarjih. Dalam pandangan
Muhammadiyah aqidah yang benar adalah aqidah yang dianut umat Islam pada zaman Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya seperti
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
249
yang diisaratkan dalam Al-Quran surat Taubah ayat 100 dan
dengan pertimbangan dua buah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dengan derajat Hadits Hasan Shahih, yang artinya kurang lebih, sebagai berikut:
“Dari Abdullah bin Amir, katanya, Rasulullah SAW bersabda:
‘Pasti akan tiba saatnya umatku seperti Bani Israel. Ilustrasinya
seperti dua sandal ini sampai kalau pada jaman kehancuran moral
mereka (Bani Israel), ada seorang anak kandung berbuat mesum
dengan ibunya, demikian juga terjadi pada umatku. Bani Israel
terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku (pada jaman
kemunduran) terpecah belah menjadi 73 golongan, hanya satu
yang selamat, yang lainnya masuk neraka’. Para shahabat
bertanya: ‘Rasul siapa yang selamat itu?’ Rasul SAW menjawab:
‘mereka yang mengikuti jejakku dan jejak shahabatku’”.
Dengan demikian kelompok Islam yang selamat adalah kelompok umat Islam yang mengikuti jejak hidup Nabi SAW dan shahabat-shahabatnya yang disebut oleh Majelis Tarjih dengan ahl
al-haq wa al-sunnah.
Pandangan tentang Khilafah
Muhammadiyah tidak mengenal pandangan tentang
khilafah51. Untuk membangun kehidupan umat yang baik dapat dilakukan melalui pembinaan umat beragama dengan baik. Kalau kehidupan umat sudah baik kehidupan kepemerintahan dan kenegaraan juga akan menjadi baik dan kokoh, dengan tetap mempertahankan negara yang ada sekarang. Dengan demikian
tidak perlu membangun atau menghidupkan kembali khilafah
Islamiyah. (Wawancara dengan MK).
51 Pandangan tentang khilafah dalam arti ingin membangun kembali khilafah
Islamiyah agar umat Islam dapat kembali kepada kehidupan Islam yang kaffah sebagaimana pernah dialami pada jaman Rasul SAW dan para shahabatnya (jaman salaf) .
lemabaga pendidikan di seluruh wilayah Indonesia (Khalimi, 2010:
307-308).
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tanggal 7-11 Desember 1985,
Bab I pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Muhammadiyah menentang berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakannya non politik, tetapi tidak melarang anggota-anggotanya memasuki
partai politik (Khalimi, 2010: 309).
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (18 November 1912 M). Pada awal didirikan, Muhammadiyah memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian
Sidratul Muntaha. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah dasar dan lanjutan, yaitu Hooge School Muhammadiyah, yang kemudian berganti nama, mejadi Kweek School Muhammadiyah. Selain itu juga didirikan organisasi
underbow untuk kaum ibu yaitu Aisyiyah.
Teologi Muhammadiyah
Muhammadiyah tidak pernah menyatakan secara eksplisit keterikatannya dengan doktrin teologis maupun fiqh ahlus sunnah
wal jamaah kecuali dalam keputusan tarjih. Dalam pandangan
Muhammadiyah aqidah yang benar adalah aqidah yang dianut umat Islam pada zaman Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya seperti
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
250
Profil Aktivitas Dakwah
Mubaligh-mubaligh Muhammadiyah seacara formal
diwadahi dalam Korp Mubaligh Muhammadiyah (KMM). Jumlah mubaligh yang terwadahi dalam KMM tingkat daerah (Kota Surabaya) sebanyak 30 orang. Pada umumnya para mubaligh tersebut merupakan alumni Perguruan Tinggi Islam (PTI). Diantara mereka mayoritas sarjana S252, selebihnya sarjana S1 tetapi sudah
merupakan mubaligh senior. Posisi mubaligh-mubaligh junior berada di tingkat cabang (kecamatan). Sedangkan pengkaderan da’i dilaksanakan melalui program Darul Arqom. Di tingkat siswa ada praktek ceramah.53 Di tingkat mahasiswa ada program Pelatihan Da’i Muda. Selain itu, melalui jalur pendidikan formal
yakni pada Fakultas Agama Islam Jurusan Ushuluddin UMS, karena pada jurusan ini stressingnya ke dakwah (Wawancara dengan HJ).
Mekanisme penyebaran mubaligh/da’i yang tergabung dalam KMM dengan mengharuskan masjid-masjid Muhammadiyah54 untuk mengambil imam, khatib Jum’at,
penceramah dari KMM. Selain itu untuk mengisi ceramah pengajian bulanan unsur pimpinan Nuhammadiyah dilakukan sebulan sekali juga diambil dari KMM. Selain itu, penyebaran da’i
52 Pada umumnya mubaligh atau da’i adalah alumni program peningkatan SDM
Pengurus Muhammadiyah melalui Program Magister UMS bersubsidi. 53 Berkenaan dengan praktek ceramah di kalangan siswa, peneliti melihat
langsung di masjid Muhammadiyah yang berada di depan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jimerto.
54 Masjid Muhammadiyah adalah masjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan dikelola oleh Muhammadiyah, dimana pengurusnya diangkat (dengan surat keputusan) yang dikeluarkan oleh PD Muhammadiyah. Muzayin Hudori dan Hamri Al-Jauhari memberikan ciri-ciri masjid Muhammadiyah antara lain: setelah adzan (pada waktu shalat 5 waktu) tidak ada pujian, tidak ada doa qunut pawa waktu shalat subuh, khotib tidak memegang tongkat, pada menjelang shalat Jumat tidak dikumandangkan pembacaan Al-Quran (baik langsung maupun menggunakan kaset) dan hanya satu kali adzan, setelah selesai shalat dzikir dan do’a dilakukan secara munfaridan (individual). Dengan cirri-ciri tersebut orang menilai masjid Muhammadiyah “gersang” .(Wawancara dengan Muzayin Hudori dan Hamri Al-jauhari).
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
251
dilakukan pada Bulan Ramadlan keseluruh cabang di wilayah Kota
Surabaya. Penyebaran da’i ini juga tergantung kebutuhan daerah. KMM Surabaya pernah bekerja sama dengan PD Muhammadiyah Tasikmalaya, pernah mengirim da’i ke Lampung. Bahkan da’i yang dikirim ke Lampung itu kemudian diminta oleh PD
Muhammadiyah Lampung. Di Lampung, da’i tersebut diminta untuk mengurus pesantren dan akhirnya yang bersangkutan menetap di sana (Wawancara dengan HJ).
Model-model dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak dakwah bil lisan saja, tetapi juga dakwah bil
hal. Dakwah bil hal antara lain dilakukan dalam bentuk santunan fakir miskin, bantuan modal usaha dan binaan pengusaha kecil. Daerah binaan yang sekarang sedang digarap oleh PD Muhammadiyah Surabaya yaitu Desa Bulak Kecamatan Kenjeran
Surabaya Utara. Di desa tersebut terdapat 50 pengusaha kecil yang sedang dalam binaan (wawancara dengan HJ).
Sasaran dakwah (mad’u) dari mubaligh-mubaligh Muhammadiyah meliputi masyarakat umum dan anggota/warga Mhammadiyah. Misalnya, di cabang-cabang Muhammadiyah
setiap hari Minggu diadakan pengajian umum di masjid-masjid Muhammadiyah. Dalam hal ini sasarannya selain warga Muhammadiyah juga masyarakat umum (Wawancara dengan HJ).
Materi dakwah Muhammadiyah meliputi masalah aqidah, tafsir, hadits, fiqh dan pemberantasan tahayul, bid’ah dan khurafat
dan hal-hal yang berkaitan dengan praktik-praktik kemusyrikan dengan istilah yang popular pemberantasan TBC. Untuk internal Muhammadiyah diberikan pula Pedoman Faham Agama Muhammadiyah yang merupakan pedoman bagi unsur pimpinan dan anggota Muhammadiyah. Di lingkungan sekolah diberikan
materi tentang Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (Ismuha). Referensi utama dari materi dakwah Muhammadiyah
Profil Aktivitas Dakwah
Mubaligh-mubaligh Muhammadiyah seacara formal
diwadahi dalam Korp Mubaligh Muhammadiyah (KMM). Jumlah mubaligh yang terwadahi dalam KMM tingkat daerah (Kota Surabaya) sebanyak 30 orang. Pada umumnya para mubaligh tersebut merupakan alumni Perguruan Tinggi Islam (PTI). Diantara mereka mayoritas sarjana S252, selebihnya sarjana S1 tetapi sudah
merupakan mubaligh senior. Posisi mubaligh-mubaligh junior berada di tingkat cabang (kecamatan). Sedangkan pengkaderan da’i dilaksanakan melalui program Darul Arqom. Di tingkat siswa ada praktek ceramah.53 Di tingkat mahasiswa ada program Pelatihan Da’i Muda. Selain itu, melalui jalur pendidikan formal
yakni pada Fakultas Agama Islam Jurusan Ushuluddin UMS, karena pada jurusan ini stressingnya ke dakwah (Wawancara dengan HJ).
Mekanisme penyebaran mubaligh/da’i yang tergabung dalam KMM dengan mengharuskan masjid-masjid Muhammadiyah54 untuk mengambil imam, khatib Jum’at,
penceramah dari KMM. Selain itu untuk mengisi ceramah pengajian bulanan unsur pimpinan Nuhammadiyah dilakukan sebulan sekali juga diambil dari KMM. Selain itu, penyebaran da’i
52 Pada umumnya mubaligh atau da’i adalah alumni program peningkatan SDM
Pengurus Muhammadiyah melalui Program Magister UMS bersubsidi. 53 Berkenaan dengan praktek ceramah di kalangan siswa, peneliti melihat
langsung di masjid Muhammadiyah yang berada di depan Gedung Dakwah Muhammadiyah Jimerto.
54 Masjid Muhammadiyah adalah masjid yang didirikan oleh Muhammadiyah dan dikelola oleh Muhammadiyah, dimana pengurusnya diangkat (dengan surat keputusan) yang dikeluarkan oleh PD Muhammadiyah. Muzayin Hudori dan Hamri Al-Jauhari memberikan ciri-ciri masjid Muhammadiyah antara lain: setelah adzan (pada waktu shalat 5 waktu) tidak ada pujian, tidak ada doa qunut pawa waktu shalat subuh, khotib tidak memegang tongkat, pada menjelang shalat Jumat tidak dikumandangkan pembacaan Al-Quran (baik langsung maupun menggunakan kaset) dan hanya satu kali adzan, setelah selesai shalat dzikir dan do’a dilakukan secara munfaridan (individual). Dengan cirri-ciri tersebut orang menilai masjid Muhammadiyah “gersang” .(Wawancara dengan Muzayin Hudori dan Hamri Al-jauhari).
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
252
adalah Himpunan Keputusan Majelis Tarjih (HPT). Sealin itu, dalam
materi tafsir mengacu kepada kitab Fi Dzilalil Quran; dalam bidang tauhid kitab Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh; dalam bidang hadits menggunakan kitab Kutubus Sittah. (Wawancara
dengan Hamri Al-Jauhari). A. Wahid Syukur menambahkan selain materi-materi tersebut masalah furu’iyah masih dibahas tapi tidak dipertajam agar tidak menimbulkan konflik (wawancara dengan AWS).
Media yang digunakan selain menggunakan media konvensional di mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim, menggunakan media cetak berupa bulletin, yakni Ad Dakwah yang di distribusikan ke masjid-masjid setiap Jum’at; majalah bulanan yang di dalamnya memuat materi dakwah; dulu pernah
menggunkan radio, yakni Radio Komunitas. Tetapi sejak pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah studio radio tersebut dibongkar, namun setelah gedung selesai dibangun, studio radio belum diaktivkan kembali, padahal ijinnya masih berlaku sampai sekarang (wawancara dengan HJ).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah
Ada sebuah masjid Muhammadiyah yakni Masjid Al-Ihsan Sabilillah di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir yang “kecolongan” digunakan Abu Bakar Ba’asyir untuk melakukan ceramah hingga berberapa kali. Karena ceramah Ba’asyir yang
“keras”, sehingga masyarakat lingkungan masjid tersebut merasa tersinggung kemudian menduduki masjid tersebut untuk mencegah agar Abu Bakar Ba’asyir tidak melakukan kegiatan lagi. Karena PD Muhammadiyah Kota Surabaya merasa memiliki, ialah yang membangun masjid tersebut, meski tanahnya milik PTKAI,
sehingga PD Muhammadiyah berupaya merebut kembali. Hal ini
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
253
hampir saja menimbulkan kles antara orang-orang
Muhammadiyah dengan masyarakat lingkungan masjid. Namun karena kesigapan aparat kepengurusan masjid tersebut kemudian diambil alih oleh Muspika dan untuk beberapa waktu dijaga polisi. Kejadian tersebut terjadi dua tahun yang lalu (tahun 2009) dan
masalahnya sudah klir, tapi kepengurusan masjidnya belum dikembalikan kepada PD Muhammadiyah, masih menunggu proses penyerahan (Wawancara dengan HJ, AWS dan Kb).
Masuknya Ba’asyir dan melakukan kegiatan di Masjid Al-Ihsan Sabilillah bisa terjadi karena takmir masjidnya tidak pernah
melakukan komunikasi dengan Pengurus Cabang Muhammadiyah Kecamatan Semampir apalagi dengan PD Muhammadiyah Kota Surabaya. Meskipun takmir tersebut diundang oleh pengurus Muhammadiyah tetapi ia tidak mau datang. Dapat dikatakan takmir tersebut berjalan sendiri dan tidak melapor kepada
pengurus Muhammadiyah. Akibatnya ia terkena sangsi, tidak lagi menjadi takmir (Wawancara dengan HJ dan AWS).
Ada seorang dari Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menjadi dosen di UMS, suatu ketika ia berceramah materi ceramahnya keras dan tegas. Sehingga menghawatirkan akan
menimbulkan konflik dengan kelompok lain. Meskipun dia orang HTI tetapi statusnya sebagai dosen UMS, maka masyarakat akan melihatnya sebagai orang Muhammadiyah. Oleh karena itu, untuk mencegah agar terjadi konflik atara Muhammadiyah dengan kelompok lain, PD Muhammadiyah membuat perjanjian “hitam di
atas putih”, ia diminta untuk memilih tetap sebagai dosen atau menjadi penceramah, jika ingin tetap menjadi dosen maka harus meninggalkan profesinya sebagai penceramah. Demikian pula sebaliknya jika ingin menjadi penceramah maka ia akan dikeluarkan dari staf dosen UMS. Yang bersangkutan kemudian
adalah Himpunan Keputusan Majelis Tarjih (HPT). Sealin itu, dalam
materi tafsir mengacu kepada kitab Fi Dzilalil Quran; dalam bidang tauhid kitab Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh; dalam bidang hadits menggunakan kitab Kutubus Sittah. (Wawancara
dengan Hamri Al-Jauhari). A. Wahid Syukur menambahkan selain materi-materi tersebut masalah furu’iyah masih dibahas tapi tidak dipertajam agar tidak menimbulkan konflik (wawancara dengan AWS).
Media yang digunakan selain menggunakan media konvensional di mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim, menggunakan media cetak berupa bulletin, yakni Ad Dakwah yang di distribusikan ke masjid-masjid setiap Jum’at; majalah bulanan yang di dalamnya memuat materi dakwah; dulu pernah
menggunkan radio, yakni Radio Komunitas. Tetapi sejak pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah studio radio tersebut dibongkar, namun setelah gedung selesai dibangun, studio radio belum diaktivkan kembali, padahal ijinnya masih berlaku sampai sekarang (wawancara dengan HJ).
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah
Ada sebuah masjid Muhammadiyah yakni Masjid Al-Ihsan Sabilillah di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir yang “kecolongan” digunakan Abu Bakar Ba’asyir untuk melakukan ceramah hingga berberapa kali. Karena ceramah Ba’asyir yang
“keras”, sehingga masyarakat lingkungan masjid tersebut merasa tersinggung kemudian menduduki masjid tersebut untuk mencegah agar Abu Bakar Ba’asyir tidak melakukan kegiatan lagi. Karena PD Muhammadiyah Kota Surabaya merasa memiliki, ialah yang membangun masjid tersebut, meski tanahnya milik PTKAI,
sehingga PD Muhammadiyah berupaya merebut kembali. Hal ini
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
254
lebih memilih sebagai dosen dan meninggalkan profesinya
sebagai penceramah. (Wawancara dengan AWS).
Hubungan Antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan
Kerukunan
Kerukunan internal umat Islam terpantau melalui pembinaan rohani dan ekonomi. Idikator kerukunan umat terlihat dari keberadaan masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang
berdampingan yang terdapat di Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir. Meskipun letak masjid tersebut berdampingan tetapi tidak terjadi gesekan. Bahkan di Kelurahan Wonorejo Kecamatan Tegal Sari terdapat masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang berhimpitan dengan batas satu tembok.
Kedua masjid tersebut dapat melaksanakan aktivitasnya masing-masing dengan baik dan tetap harmonis (wawancara dengan MK).
Menurut WH dalam komunitas orang Muhammadiyah di Surabaya ada yang menyelenggarakan ritual tahlilan. Dalam pengajian-pengajian komunitas Muhammadiyah jika melarang
ritual yang mereka anggap sebagai bid’ah sudah tidak sekeras dulu. Sekarang masyarakat diberi pemahaman terlebih dahulu tetang ritual-ritual yang dikategorikan sebagai bid’ah, kemudian dianjurkan untuk tidak melakukannya. Tidak seperti pada masa lalu, dengan secara keras hal-hal yang termasuk bid’ah langsung
dikaitkan dengan neraka. Tentu saja orang yang biasa mengerjakan hal tersebut akan merasa tersinggung dan marah. Ibarat orang yang kakinya pincang bila sebut “saudara yang kakinya pincang” pasti marah-marah, meskipun kenyataanya kakinya memang pincang (wawancara dengan WH).
Menurut HJ di Kota Surabaya dari kalangan Muhammadiyah tidak ada tokoh yang “keras”. Sehingga di Kota
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
255
Surabaya tidak ada konflik karena masalah khilafiyah, kalaupun ada
kecil sekali. Muhammadiyah berupaya menghindari pembicaraan tentang perbedaan faham keagamaan yang dapat menimbulkan konflik. Jika terpaksa harus membicarakan masalah perbedaan faham diupayakan untuk menggunakan bahasa yang halus dan
bijak sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan pihak lain. Sebagaimana filosofi Jawa “kenek iwake aja nganti buthek banyune”
(bisa ditangkap ikannya tapi jangan sampai keruh airnya) (Wawancara dengan HJ).
Untuk menghindari konflik yang ditimbulkan oleh materi ceramah yang kemungkinan dapat menimbulkan ketersinggungan kelompok lain dan juga karena suara bising, Masjid Muhammadiyah tidak menggunakan speker luar, tetapi menggunakan speker dalam (salon)(Wawancara dengan AWS).
Dakwah Masa Depan
Dakwah yang perlu digelakkan (diefektifkan) adalah dakwah bil hal, meliputi bidang ekonomi, kesehatan dan kultural. Di bidang ekonomi, melalui lazis Muhammadiyah melakukan pembinaan pengusaha kecil, pengrajin. Selain itu para mubaligh
dan da’i diharapkan mampu mendorong tumbuhnya etos kerja umat akan tetapi tidak keluar dari syariat Islam (Wawancara dengan Muzayin Khudori dan Hamri Al-Jauhari); Di bidang kesehatan menciptakan lingkungan yang sehat, membina masyarakat agar “melek” terhadap pentingnya kesehatan; Di
bidang kultural, mendorong bagaimana agar orang-orang Muhammadiyah memiliki kultur atau peradaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan umat lain (Wawancara dengan MK).
Untuk merealisasikan itu semua perlu adanya piranti. Faktanya di desa-desa pada umumnya masyarakat belum “melek”
lebih memilih sebagai dosen dan meninggalkan profesinya
sebagai penceramah. (Wawancara dengan AWS).
Hubungan Antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan
Kerukunan
Kerukunan internal umat Islam terpantau melalui pembinaan rohani dan ekonomi. Idikator kerukunan umat terlihat dari keberadaan masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang
berdampingan yang terdapat di Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir. Meskipun letak masjid tersebut berdampingan tetapi tidak terjadi gesekan. Bahkan di Kelurahan Wonorejo Kecamatan Tegal Sari terdapat masjid Muhammadiyah dan masjid NU yang berhimpitan dengan batas satu tembok.
Kedua masjid tersebut dapat melaksanakan aktivitasnya masing-masing dengan baik dan tetap harmonis (wawancara dengan MK).
Menurut WH dalam komunitas orang Muhammadiyah di Surabaya ada yang menyelenggarakan ritual tahlilan. Dalam pengajian-pengajian komunitas Muhammadiyah jika melarang
ritual yang mereka anggap sebagai bid’ah sudah tidak sekeras dulu. Sekarang masyarakat diberi pemahaman terlebih dahulu tetang ritual-ritual yang dikategorikan sebagai bid’ah, kemudian dianjurkan untuk tidak melakukannya. Tidak seperti pada masa lalu, dengan secara keras hal-hal yang termasuk bid’ah langsung
dikaitkan dengan neraka. Tentu saja orang yang biasa mengerjakan hal tersebut akan merasa tersinggung dan marah. Ibarat orang yang kakinya pincang bila sebut “saudara yang kakinya pincang” pasti marah-marah, meskipun kenyataanya kakinya memang pincang (wawancara dengan WH).
Menurut HJ di Kota Surabaya dari kalangan Muhammadiyah tidak ada tokoh yang “keras”. Sehingga di Kota
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
256
terhadap pentingnya kesehatan, karena belum ada piranti yang
mendukung; Selain itu, perlu dukungan finansial, dukungan dari orang-orang yang potensial di bidang ekonomi, kesehatan dan budaya. Terutama di bidang budaya ini perlu ada yang bisa memberi contoh bagaimana berbudaya yang tinggi. Sebenarnya
tiga bidang ini saling berkaitan dan bisa dimulai dari pendidikan, sehingga timbul kesadaran akan pentingnya kesehatan, budaya tinggi dan etos kerja (wawancara dengan MK).
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil
Membicarakan Persis Jawa Timur, sepertinya “tidak sah” jika tidak memotret secara langsung Pesantren Persatuan Islam
Bangil yang berlokasi di kawasan jalan JA. Suprapto, sementara Pesantren Persis Putri ada di jalan Pattimura 185 Bangil. Gedung Pesantren Putra bisa menampung 200 murid sedang Gedung Puteri bisa menampung 350 murid.
Struktur Kepengurusan Persis PW Jatim
Ketua : Drs.Ahmad Bushairi, MM
Sekretaris : Imam Syafi’i
Bendahara : Suhadi
Bagian Jam’iyah : Ustadz Umar Fanani
Bagian Perwakafan : Ustadz Burhani
Urusan Zakat : Salam Rasyad
Bagian Sosial : Ustadz Ahsin Lathif
Bagian Pendidikan : Ustadz Luthfi Abdullah Ismail
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
257
Struktur Pengurus Yayasan Pesantren Persis Bangil
Dewan Pembina
Ketua : Prof.Dr.Ir. Zuhal Abdul Qadir
Anggota : Drs.H.Dahlan Bashri Thahiry, MA
Ustadz Abdul Haqq
Husni Abdullah Ismail
Djauhana Manshur
Dewan Pengawas
Ketua : K.H. Aliga Ramli, Lc
Anggota : Zuhriyah Abdul Qadir
Drs.Moh. Triyono
Dewan Pengurus
Ketua : Umar Fanani
Sekretaris : Nadjib Manshur
Bendahara : Ibrahim Baswedan
Persis Bangil agak beda dengan Persis Bandung. Persis Bandung bercorak institusional, sementara Persis Bangil lebih mengarah pada kultural. Bandung lebih bersikap legal-konstitusional, sementara Bangil lebih menitik beratkan pada aspek faham Qur’an-Sunnah. Ini dibuktikan oleh beberapa
indikator; (a) Pesantren Persis yang berafilisasi ke Bandung umumnya bernomor, sementara Bangil tidak didapati memakai tradisi penomoran ini, (b) Pesantren Persis Bandung taat pada Hasil Keputusan Fatwa Dewan Hisbah dan disosialisasikan ke beberapa Pesantren Persis, sedang Persis Bangil tidak merasa
terikat pada keputusan Fatwa Dewan Hisbah. Sebut saja misalnya
terhadap pentingnya kesehatan, karena belum ada piranti yang
mendukung; Selain itu, perlu dukungan finansial, dukungan dari orang-orang yang potensial di bidang ekonomi, kesehatan dan budaya. Terutama di bidang budaya ini perlu ada yang bisa memberi contoh bagaimana berbudaya yang tinggi. Sebenarnya
tiga bidang ini saling berkaitan dan bisa dimulai dari pendidikan, sehingga timbul kesadaran akan pentingnya kesehatan, budaya tinggi dan etos kerja (wawancara dengan MK).
C. Profil Persatuan Islam (Persis) Bangil
Membicarakan Persis Jawa Timur, sepertinya “tidak sah” jika tidak memotret secara langsung Pesantren Persatuan Islam
Bangil yang berlokasi di kawasan jalan JA. Suprapto, sementara Pesantren Persis Putri ada di jalan Pattimura 185 Bangil. Gedung Pesantren Putra bisa menampung 200 murid sedang Gedung Puteri bisa menampung 350 murid.
Struktur Kepengurusan Persis PW Jatim
Ketua : Drs.Ahmad Bushairi, MM
Sekretaris : Imam Syafi’i
Bendahara : Suhadi
Bagian Jam’iyah : Ustadz Umar Fanani
Bagian Perwakafan : Ustadz Burhani
Urusan Zakat : Salam Rasyad
Bagian Sosial : Ustadz Ahsin Lathif
Bagian Pendidikan : Ustadz Luthfi Abdullah Ismail
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
258
soal sedekap, soal isyarat jari telunjuk antara yang menggerakan
dan tidak mengerakan, dalam soal itsbat hilal, Persis Bangil tidak otomatis ikut keputusan itsbat Dewan Hisbah. (c) Dalam hal berorganisasi, alumni Bangil banyak yang bergabung kepada
ormas lain dari pada ikut bergabung ke Persis Bandung. Ringkasnya, Persis Bangil lebih terbuka dari pada Persis Bandung.
Dari awal didirikannya, Persis lebih memilih bidang penerbitan, pendidikan, da‘wah, dan kaderisasi. Sektor lain termasuk sektor ekonomi baru di rumuskan belakangan setelah
melihat pertimbangan baru yang lebih bermashalahat bagi umat untuk mengawal isu tajdidnya yang bisa jadi kelewat ideal, tanpa menyertakan sisi ekonomi. 55
Pemilihan bidang garapan yang terbatas ini juga berlaku di Persis Bangil. Sejak kepindahan Ustadz A. Hassan ke Bangil,
Pesantren Persis Bangil menerapkan sistem angkatan. Tujuannya supaya lebih fokus dan lebih menghasilkan kader da’wah yang handal, unggul dan mumpuni. Ustadz A.Hassan memimpin Pesantren Persis Bangil dalam dua etape, periode awal antara tahun 1931-1941 di Bandung dan periode lanjutan di Bangil antara
tahun 1951-1957. Periode ini menghasilkan alumni 6 angkatan; angkatan-1 (1936) di Bandung. Alumni angkatan ke-2 sampai ke-6 tahun 1951-1963 di Bangil. Setiap angkatan ditempuh selama 5 tahun. Inilah generasi pertama didikan langsung Ustadz A. Hassan.
Generasi kedua, Pesantren Persis Bangil dipimpin oleh
Ustadz Abdul Qadir Hassan (1957-1984), putra sulung Ustadz A. Hassan kelahiran Singapura. A. Qadir Hassan adalah generasi pelanjut yang baik dari Ayahnya. Ia berhasil melanjutkan cita Ayahnya melalui Pesantren Persis yang kemudian dirubahnya dari sistem angkatan perlima tahun menjadi sistem klasikal 6 tahun.
55 Diakselerasi dari hasil-hasil Keputusan Mukernas II PP Persis di Pesantren Persis Puteri Bangil-Jawa Timur, pada hari Ahad 9 Oktober 2011.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
259
Tahun 1964 bersama almarhum Abdullah Musa mengusahakan
penerbitan Majalah Al-Muslimun. Majalah ini adalah mercusuar paham Qur’an-Sunnah Persis Bangil lewat rubrik Kata Berjawab di masa Ustadz A. Qadir Hassan dan berganti nama menjadi rubrik Gayung Bersambut setelah Ustadz Qadir meninggal dunia. Majalah
ini bertujuana untuk menuju kepada ajaran al-Qur'an dan Sunnah secara murni. Pada awal mulanya penerbitan Al-Muslimun tidak teratur dalam mengunjungi pembacanya. Hal ini terjadi karena terbatasnya sumber dana serta teknologi yang sangat minim pada saat itu. Setelah awal tahun 1970 terjadi renegerasi kepemimpinan
yang pada waktu itu dipimpin oleh (alm.) Tajuddin A. Musa, sehingga keteraturan penerbitan mulai diperhatikan, dan pada puncaknya Al-Muslimun mengalami jaman keemasan tahun 1987 dengan omset penjualan 40.000 exp serta minimnya persaingan
penerbitan Majalah Islam saat itu. Kini, majalah ini tidak terbit lagi, sehingga bisa dibayangkan betapa Persis kehilangan cita-cita besarnya di bidang pemikiran dan pemahaman Islam.
Pada 25 Agustus 1984, ustadz A. Qadir Hassan wafat, kepemimpinan Persis Putri Bangil diserahkan kepada putra beliau
Ustadz Ghazie Abdul Qadir, alumni Maroko. Sementara Pesantren Putra diserahkan kepada Ustadz Hud A. Musa, alumni Pakistan. Pada periode ketiga ini, (1984-2002) Persis Bangil mengalami perkembangan pesat terutama dari aspek pembangunan infra-strukturnya. Bangil yang konservatif diputuskan untuk membuka
program Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah dengan ijasah yang diakui oleh Negara. Periode keempat (2002-sekarang) setelah ditinggal wafat oleh Ustad Hud (2001) dan Ustadz Ghazie (2002), kepemimpinan Pesantren Persis Bangil dipercayakan kepada ustadz Luthfi Abdullah Ismail alumni Institut Da’wah Islamiyah
Libya dengan spesifikasi keilmuan bidang Fikh dan Tafsir Ahkam,
soal sedekap, soal isyarat jari telunjuk antara yang menggerakan
dan tidak mengerakan, dalam soal itsbat hilal, Persis Bangil tidak otomatis ikut keputusan itsbat Dewan Hisbah. (c) Dalam hal berorganisasi, alumni Bangil banyak yang bergabung kepada
ormas lain dari pada ikut bergabung ke Persis Bandung. Ringkasnya, Persis Bangil lebih terbuka dari pada Persis Bandung.
Dari awal didirikannya, Persis lebih memilih bidang penerbitan, pendidikan, da‘wah, dan kaderisasi. Sektor lain termasuk sektor ekonomi baru di rumuskan belakangan setelah
melihat pertimbangan baru yang lebih bermashalahat bagi umat untuk mengawal isu tajdidnya yang bisa jadi kelewat ideal, tanpa menyertakan sisi ekonomi. 55
Pemilihan bidang garapan yang terbatas ini juga berlaku di Persis Bangil. Sejak kepindahan Ustadz A. Hassan ke Bangil,
Pesantren Persis Bangil menerapkan sistem angkatan. Tujuannya supaya lebih fokus dan lebih menghasilkan kader da’wah yang handal, unggul dan mumpuni. Ustadz A.Hassan memimpin Pesantren Persis Bangil dalam dua etape, periode awal antara tahun 1931-1941 di Bandung dan periode lanjutan di Bangil antara
tahun 1951-1957. Periode ini menghasilkan alumni 6 angkatan; angkatan-1 (1936) di Bandung. Alumni angkatan ke-2 sampai ke-6 tahun 1951-1963 di Bangil. Setiap angkatan ditempuh selama 5 tahun. Inilah generasi pertama didikan langsung Ustadz A. Hassan.
Generasi kedua, Pesantren Persis Bangil dipimpin oleh
Ustadz Abdul Qadir Hassan (1957-1984), putra sulung Ustadz A. Hassan kelahiran Singapura. A. Qadir Hassan adalah generasi pelanjut yang baik dari Ayahnya. Ia berhasil melanjutkan cita Ayahnya melalui Pesantren Persis yang kemudian dirubahnya dari sistem angkatan perlima tahun menjadi sistem klasikal 6 tahun.
55 Diakselerasi dari hasil-hasil Keputusan Mukernas II PP Persis di Pesantren Persis Puteri Bangil-Jawa Timur, pada hari Ahad 9 Oktober 2011.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
260
pengasuh Gayung Bersambut di Majalah Al-Muslimun dan Mudir
Ma’had ‘Ali Persis Bangil.
Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai
peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi
panutan sekaligus teladan bagi organisasi.
Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A.Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat. Karena masuknya Ustadz A.Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan
merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A.Hassan, tak ada apa-apanya. A.Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A.Hassan. Karena itu, A.Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan
Wildan), A.Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari.
Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua
organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas
pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photocopy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
261
harapan dapat mendekati kondisi ideal yang tidak begitu jauh
dengan pemimpin pertama.
Fase ketiga, fase pengembangan dan verifikasi
lanjutan. Pada fase lanjutan ini para kader organisasi mulai
merampungkan konsep yang ideal sekaligus realistik ke arah menjawab persoalan-persoalan internal organisasi, tantangan, hambatan maupun peluangnya. Saat ini, kesadaran kerja kolektif sangat tinggi, budaya ketergantungan atau saling mengandalkan
mulai ditinggalkan. Organisasi mulai banting orientasi dari pendekatan kharisma tokoh kepada pendekatan kerja sistem, dari pola ketergantungan ke pola kolektifitas. Slogan kerja ikhlas, kerja keras, kerja cerdas, kerja mawas dan kerja cerdas menjadi prioritas utama. (lihat: Nottingham, 1990: 60).
Pada awal berdirinya, Persis secara umum bisa dikata kurang memberikan tekanan pada kegiatan untuk melakukan rekruitmen anggota, membuka cabang atau perwakilan, sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Persis lebih mengkonsentrasikan pembinaannya pada
internal jama‘ah melalui sistem kaderisasi sebagai agen yang dibelakang hari dapat menyebarkan cita-cita tajdid dan ide-ide pemikirannya.
Untuk kepentingan ini, Persis melakukan serangkaian kegiatan di tiga bidang utama; tabligh, pendidikan dan
penerbitan. Tabligh Persis dikonsentrasikan pada ceramah-ceramah, kursus-kursus kemubalighan, pembinaan majelis taklim dan kemasjidan, melakukan al-amru bil ma‘ruf wa an-nahyu ‘anil-munkar. Dengan tabligh, pendidikan, dan penerbitan; Persis menginginkan agar anggotanya memiliki multi-talenta; menjadi
ash’habun (para penggerak da’wah) dan hawariyyun (para penolong da‘wah), sebagai mujtahid sekaligus mujahid, menjadi
pengasuh Gayung Bersambut di Majalah Al-Muslimun dan Mudir
Ma’had ‘Ali Persis Bangil.
Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai
peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi
panutan sekaligus teladan bagi organisasi.
Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A.Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat. Karena masuknya Ustadz A.Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan
merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A.Hassan, tak ada apa-apanya. A.Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A.Hassan. Karena itu, A.Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan
Wildan), A.Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari.
Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua
organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas
pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photocopy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
262
ilmuan sekaligus pejuang, menjadi muballigh yang memiliki
kemahiran olah vokal di mimbar sekaligus punya keterampilan menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karya-karya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Syafiq
Mughni,1980: 53).
Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A. Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke-7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun
itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan.
Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw (fanatik buta) yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Sementara pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw; baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath (ekstrim kiri). Konflik juga dipicu oleh ketidakpatuhan sesama ummat beragama terhadap
peraturan yang berlaku, juga oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik.
Sejarah Berdirinya Persis
Persatuan Islam (Persis) adalah ormas Islam bercorak gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air. Didirikan
pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H di kota Bandung oleh tokoh-tokoh Islam etnik Palembang yang telah
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
263
lama bermukim di kota tersebut dengan suatu tujuan bersatu
dalam berpegang teguh pada al-Quran dan al-Sunnah, serta beramal sesuai dengan ajaran keduanya, dan meninggalkan semua tahayyul, bid‘ah, khurafat serta penyimpangan-penyimpangan praktek keagamaan lainnya. (Eman Sar’an, 1964: 9).
Ide untuk menjalankan praktek-prektek keagamaan sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-Sunnah tersebut, kini telah dituang dalam Anggaran Dasar PERSIS “Qanun Asasi Qanun Dakhili pada bab I pasal 2, “Jam‘iyah mengamalkan ‘aqidah dan syari‘ah Islam menurut al-Quran dan al-Sunnah.” (PP, PERSIS, 1991, Bab I pasal 2).
Nama Persatuan Islam digagas dari hasil pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh kelompok tadarus yang dipimpin oleh K.H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Kepengurusan Persis periode pertama (1923-1942) dipercayakan kepada H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Sedang Ustadz Ahmad Hassan, dan
Muhammad Natsir baru bergabung belakangan. Pemberian nama Persatuan Islam diambil atas keprihatinan pecahnya Sarikat Islam (SI) Bandung pada Kongres Nasional ke-6 Partai ini di Surabaya pada tahun 1921, 2 tahun menjelang Persis didirikan. SI Bandung terpecah dua setelah termakan propaganda kaum Marxis di bawah
pengaruh Semaoen (1899-1971) sejak digelarnya Kongres ke-3 di Semarang. (K.H.M. Isa Anshari, 1958: 6; dan lihat Syafiq Mughni,1980: 52-53).
Ustadz A. Hassan bergabung dengan Persis di Bandung dari tahun 1924-1940, selama kurang lebih 17 tahun, tepatnya
setelah kepulangan beliau dari Surabaya untuk kepentingan niaga yaitu menjaga toko milik pamannya, Abdul Lathif. Tahun 1940, Ustadz A.Hassan lalu pindah ke Bangil. Howard M Federspiel menulis, “A.Hassan-lah yang memberi format pemikiran keagamaan
pada Persis.” (Howard M Federspiel, 1970: 13). Bahkan ada sebuah sumber menyebutkan, peletak dasar ide-ide tajdid Persis adalah
ilmuan sekaligus pejuang, menjadi muballigh yang memiliki
kemahiran olah vokal di mimbar sekaligus punya keterampilan menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karya-karya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Syafiq
Mughni,1980: 53).
Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A. Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke-7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun
itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan.
Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw (fanatik buta) yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Sementara pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw; baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath (ekstrim kiri). Konflik juga dipicu oleh ketidakpatuhan sesama ummat beragama terhadap
peraturan yang berlaku, juga oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik.
Sejarah Berdirinya Persis
Persatuan Islam (Persis) adalah ormas Islam bercorak gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air. Didirikan
pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H di kota Bandung oleh tokoh-tokoh Islam etnik Palembang yang telah
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
264
Tuan A. Hassan yang disiarkan melalui majalah-majalah Persis,
seperti Pembela Islam, al-Fatwa maupun al-Lisan yang terbit pada dekade 1930-an. Pemikiran tajdid A.Hassan kemudian dibukukan dalam buku berjudul “Soal Jawab” Masalah Keagamaan terdiri dari 4 jilid, bersama Moh. Ma’sum dan H. Mahfud Azis.56
Pada tahun 1983 ide-ide tajdid Persis yang tadinya dikonsentrasikan pada pemikiran keagamaan tokoh-tokohnya, kemudian dilembagakan lewat lembaga kajian hukum bernama Dewan Hisbah. Kehadiran Dewan Hisbah ini, tampaknya Persis ingin membenahi pola pengambilan hukumnya menyusul
terjadinya dua peristiwa penting, pertama; meninggalnya tokoh-tokoh utama Persis, seperti Ustadz A. Hassan (1957), K.H.E. Abdurrahman, Ustadz A. Qadir Hassan (1984). Kedua, perasaan trauma atas tragedi muktamar ke-7 Persis di Bangil tahun 1960
yang didominasi oleh tokoh-tokoh terasnya yang berkeinginan agar Persis masuk dalam kegiatan politik di Masyumi. Muktamar ke-7 ini meninggalkan trauma berat, salah satunya adalah konflik antara K.H.E. Abdurrahman (Bandung) dengan Ustadz. A. Qadir Hassan (Bangill). Tadinya isu tajdid dan produk ijtihad Persis
dipercayakan kepada tokoh-tokohnya dalam masa antara tahun 1923-1960, selama kurang lebih 37 tahun. Berdasarkan dua pertimbangan tadi, maka sejak tahun 1960 sampai sekarang petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyah Persis selanjutnya ditangani oleh Dewan Hisbah.
Persis dengan ide-ide tajdidnya telah berkiprah hampir satu abad. Ide-ide pembaharuan Persis telah ikut mengisi khazanah pembangunan bangsa dan berperan aktif dalam menata kemelut ummat di negeri ini, dari zaman kemerdekaan sampai era reformasi hari ini, Persis bisa dikata tidak pernah absen berperan
56 Buku ini pertama kali diterbitkan oleh CV Diponegoro Bandung, namun karena
banyaknya permintaan, maka diterbitkan ulang di Bangil, sejak Pebruari 1996.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
265
aktif mengisi kemajuan bangsa, khususnya pada bab ilmu, iman
dan amal.
Tidak sedikit dari tokoh-tokoh ormas Islam adalah seorang pahlawan pejuang kemerdekaan RI. Hingga Nopember 2010 telah ada 151 tokoh yang ditetapkan oleh Pemerintah RI menjadi
pahlawan nasional, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh ormas Islam, dalam hal ini tokoh Persatuan Islam. Contohnya K.H. Isa Anshary (1916-1969) yang ditetapkan menjadi pahlawanan nasional pada, 3 Nopember 2006 melalui Kepres No. 85/TK/2006, disusul Dr.Mohammad Natsir (1908-1993) pada 6 Nopember 2008
melalui Kepres No. 41/TK/2008.
Semua ini menunjukan, peran besar ormas ini terhadap NKRI, bahkan Natsir yang tokoh teras Persis adalah tokoh utama NKRI lewat mosi-integralnya di DPR Sementara RIS pada tahun 1950. Mosi-integral inilah yang kemudian menjadi dasar
perjalanan bangsa ini selanjutnya dan menjadi 4 pilar penguat kekuatan Negara dan bangsa Indonesia selain Pancasila, UUD ’45, NKRI dan BTI (bhinneka tunggal ika). Dalam konteks ini Natsir dipandang sebagai multi-talenta, sebagai tokoh Persis, tokoh Masyumi, sekaligus seorang tokoh bangsa.
Pada sisi ini, tokoh-tokoh Persis sudah melakukan usaha dan sumbangsih yang besar dalam menyatukan seluruh elemen bangsa ini, sebagaimana peran tokoh-tokoh ormas yang lain. Persis sudah berbuat untuk kerukunan bangsa, punya jasa yang besar dalam menjaga integralitas bangsa ini dan mencegah
timbulnya konflik yang merugikan NKRI.
Meskipun kiprah Persis dan tokoh-tokohnya terhadap NKRI, begitu besar. Namun, oleh sebagian kelompok/golongan yang merasa terganggu dengan ide-ide tajdidnya, Persis kerapkali diposisikan sebagai gerakan dakwah yang performance tajdidnya
Tuan A. Hassan yang disiarkan melalui majalah-majalah Persis,
seperti Pembela Islam, al-Fatwa maupun al-Lisan yang terbit pada dekade 1930-an. Pemikiran tajdid A.Hassan kemudian dibukukan dalam buku berjudul “Soal Jawab” Masalah Keagamaan terdiri dari 4 jilid, bersama Moh. Ma’sum dan H. Mahfud Azis.56
Pada tahun 1983 ide-ide tajdid Persis yang tadinya dikonsentrasikan pada pemikiran keagamaan tokoh-tokohnya, kemudian dilembagakan lewat lembaga kajian hukum bernama Dewan Hisbah. Kehadiran Dewan Hisbah ini, tampaknya Persis ingin membenahi pola pengambilan hukumnya menyusul
terjadinya dua peristiwa penting, pertama; meninggalnya tokoh-tokoh utama Persis, seperti Ustadz A. Hassan (1957), K.H.E. Abdurrahman, Ustadz A. Qadir Hassan (1984). Kedua, perasaan trauma atas tragedi muktamar ke-7 Persis di Bangil tahun 1960
yang didominasi oleh tokoh-tokoh terasnya yang berkeinginan agar Persis masuk dalam kegiatan politik di Masyumi. Muktamar ke-7 ini meninggalkan trauma berat, salah satunya adalah konflik antara K.H.E. Abdurrahman (Bandung) dengan Ustadz. A. Qadir Hassan (Bangill). Tadinya isu tajdid dan produk ijtihad Persis
dipercayakan kepada tokoh-tokohnya dalam masa antara tahun 1923-1960, selama kurang lebih 37 tahun. Berdasarkan dua pertimbangan tadi, maka sejak tahun 1960 sampai sekarang petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyah Persis selanjutnya ditangani oleh Dewan Hisbah.
Persis dengan ide-ide tajdidnya telah berkiprah hampir satu abad. Ide-ide pembaharuan Persis telah ikut mengisi khazanah pembangunan bangsa dan berperan aktif dalam menata kemelut ummat di negeri ini, dari zaman kemerdekaan sampai era reformasi hari ini, Persis bisa dikata tidak pernah absen berperan
56 Buku ini pertama kali diterbitkan oleh CV Diponegoro Bandung, namun karena
banyaknya permintaan, maka diterbitkan ulang di Bangil, sejak Pebruari 1996.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
266
dikesankan agak berlebih-lebihan, khususnya dalam
menstigmasisasi lawan-lawan tajdidnya dari para pelaku jahiliyah, kaum muqallid yang masih mengusung praktek TBC (tahayyul, bid’ah, khurafat). Eksesnya tampak pada ketidak selarasan dan ketidakserasian hubungan mu’amalah sebagai sesama warga NKRI,
khususnya dalam soal ahwal syakhsiyah seperti pernikahan, kontrak kerja, hubungan bisnis, afiliasi politik, pemihakan dan pembelaan (loyalitas). Meskipun bagi kawan-kawan di Persis, persoalan ini dipandang biasa-biasa saja sebagaimana lumrahnya dampak sebuah konsekwensi pemurnian atau puritanisme agama
(tajdid ad-din).
Persis Gerakan Islam Modern
Semua pihak mengakui, bahwa Persatuan Islam adalah gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air, sesudah Muhammadiyah (1912) dan Al-Irsyad (1914). Tiga organisasi ini
bercorak tajdid dan memiliki kesamaan visi gerakan dalam hal pembaruan pemikiran Islam. Sama-sama menolak taqlid dan jumud, anti ashabiyah jahiliyah. Bertujuan memurnikan tauhid, ibadat dan amaliah Islam. Menolak tasyabbuh pada ibadat dan gaya hidup golongan lain. Bersikap bara’ah (berlepas diri)
terhadap praktek-praktek syirik, ritual mistik dan klenik. Sama-sama punya sikap yang jelas terhadap komunisme dan aliran-aliran menyimpang. Khususnya Persis, gerakan ini sama sekali tidak mau kompromi pada gerakan desktuktif (harakah haddamah), dari dulu sampai hari ini. Karena penolakannya pada
simbol tradisonalisme dan liberalisme ini, Persis kerapkali dikategorikan sebagai gerakan radikal. Prof. Dr. Syafiq Mughni, MA. Ph.D yang alumni Persis Bangil menulis buku “Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal.”
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
267
Radikalisme Persis adalah pada worldviewnya, bukan pada
aksi brutalnya. Artinya Persis meyakini bahwa Islam sudah sempurna, holistik dan komprehensif; syamil-kamil dan mutakamil. Bagi Persis, agama adalah dien sekaligus daulah, sistem keyakinan dan pola tindak (‘aqidatan wa akhlaqan) yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Jam’iyah Persis ingin totalitas memahami dan mengamalkan Islam, meskipun dalam prakteknya selalu ada proses dan tahapan. Tidak revolusioner seperti ide-ide liar umumnya kaum fundamentalis.
Perdebatan A. Hassan dan Soekarno di tahun 1941 tentang teori kebangsaan berlanjut pada korespondensi keduanya ketika Soekarno berada di masa pembuangannya di Endeh Flores. Soekarno menghimpun surat-surat itu dalam buku karangannya “Dibawah Bendera Revolusi (1964:325-344) dalam satu bab khusus
surat-surat Islam dari Endeh; dari Ir. Soekarno kepada T. A. Hassan, Guru Persatuan Islam. Sementara Ustadz A.Hassan menuangkannya dalam bentuk risalah “Islam dan Kebangsaan”. Di sana A. Hassan meluruskan pemikiran Soekarno: “Pemisahan agama dari staat sebagaimana di Eropa itu, Tuan Soekarno anggap
modern dan radikal. Tuan Soekarno tidak tahu, bahwa orang Eropa pisahkan agama Kristen dari Staat (UU Negara) itu, tidak lain melainkan lantaran dalam agama Kristen tidak ada cara mengatur pemerintahan. Dari Zaman Nabi Isa sampai sekarang belum terdengar ada satu staat menjalankan hukum agama Kristen,
bukan begitu keadaan Islam. (Hassan: 131-132)
Menurut Abu Adz-Dzahabi (2003) dalam buku “Debat A. Hassan v.s Soekarno” seputar Negara, Hukum dan Sekularisme. Di sini Soekarno menghendaki pemisahan agama dari struktur pemerintahan serta bercermin pada undang-undang Swiss dan
sekulerisme Turki. Di akhir bantahannya, A. Hassan mengajukan
dikesankan agak berlebih-lebihan, khususnya dalam
menstigmasisasi lawan-lawan tajdidnya dari para pelaku jahiliyah, kaum muqallid yang masih mengusung praktek TBC (tahayyul, bid’ah, khurafat). Eksesnya tampak pada ketidak selarasan dan ketidakserasian hubungan mu’amalah sebagai sesama warga NKRI,
khususnya dalam soal ahwal syakhsiyah seperti pernikahan, kontrak kerja, hubungan bisnis, afiliasi politik, pemihakan dan pembelaan (loyalitas). Meskipun bagi kawan-kawan di Persis, persoalan ini dipandang biasa-biasa saja sebagaimana lumrahnya dampak sebuah konsekwensi pemurnian atau puritanisme agama
(tajdid ad-din).
Persis Gerakan Islam Modern
Semua pihak mengakui, bahwa Persatuan Islam adalah gerakan modern Islam yang terbilang awal di tanah air, sesudah Muhammadiyah (1912) dan Al-Irsyad (1914). Tiga organisasi ini
bercorak tajdid dan memiliki kesamaan visi gerakan dalam hal pembaruan pemikiran Islam. Sama-sama menolak taqlid dan jumud, anti ashabiyah jahiliyah. Bertujuan memurnikan tauhid, ibadat dan amaliah Islam. Menolak tasyabbuh pada ibadat dan gaya hidup golongan lain. Bersikap bara’ah (berlepas diri)
terhadap praktek-praktek syirik, ritual mistik dan klenik. Sama-sama punya sikap yang jelas terhadap komunisme dan aliran-aliran menyimpang. Khususnya Persis, gerakan ini sama sekali tidak mau kompromi pada gerakan desktuktif (harakah haddamah), dari dulu sampai hari ini. Karena penolakannya pada
simbol tradisonalisme dan liberalisme ini, Persis kerapkali dikategorikan sebagai gerakan radikal. Prof. Dr. Syafiq Mughni, MA. Ph.D yang alumni Persis Bangil menulis buku “Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal.”
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
268
sebuah buku yang mungkin belum ditelaah Soekarno, “Grey Golf:
An Intimate Study of a Dictator by H.C Armstrong.” Terhadap buku tersebut, A. Hassan memberikan catatan ringkas tentang siapa sebenarnya Musthafa Kamal yang dipuji-puji oleh Soekarno.
Namun, pandangan ini ditolak sejumlah tokoh Islam,
termasuk A.Hassan yang tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang sempurna yang tidak dimiliki agama lain. Meskipun A. Hassan dan Persis bermusuhan secara ideologis dengan Soekarno dan PNI tetapi
ketika Soekarno dipenjara di Banceuy, Bandung, para anggota Persis menjadi orang pertama yang membesuknya
Posisi Persis sebagai gerakan modern Islam dapat dilihat dari berbagai sudut tinjau di antaranya; pertama karena kelahirannya bertujuan untuk menjawab tantangan zaman,
mencoba untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, punya gagasan dan ide-ide radikal untuk melakukan pencerahan masa depan dan keluar dari problematika umat.
Persis lahir pada saat dunia Islam mulai bersemangat untuk bangkit dari imprealisme Barat, khususnya di bidang politik
dan peradaban, yaitu tahun 1800 M sampai sekarang. Di Indonesia, kebangkitan ini tutur Endang Siefuddin Anshari (ESA,1938-1996) ditandai oleh pertumbuhan para Ulama dan Zu’ama yang disusul oleh pemberontakan santri (Wawasan Islam, Bab ke-45).
Pada periode ini, timbul kesadaran sejarah di kalangan
tokoh Islam akan bahaya ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam, tanpa reserve. Budaya taqlid, jumud dan ta’asshub mulai dirasakan bahayanya terhadap keaslian dan kemurnian ajaran Islam, jika tidak segera dilakukan upaya
pembaharuan secara kolektif melalui organisasi kemasyarakatan.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
269
Pada abad 18 ini, Eropa Barat mengalami kemajuan yang pesat,
sementara 3 kerajaan Islam; Safawi di Persia (1501-1736 M), Mughal di India (1526-1858 M) dan Utsmani di Turki (1300-1924) mengalami kemunduran demi kemunduran, kerajaan yang terakhir ini malah dijuluki “the sick man of eurofe”, orang sakit dari
Eropa. Persis lahir dalam periode ini.
Karena kekhawatiran infiltrasi ajaran asing itulah, tulis Karel A.Steenbrink-, maka pada awal tahun 1900-an, muncul banyak pemikiran untuk kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah, melalui gerakan tajdid yang menolak taqlid dan mendorong munculnya
ide-ide pembaharuan pemikiran Islam. Di era ini, gerakan perlawanan terhadap penjajahan bermunculan di mana-mana, termasuk kesadaran sejarah untuk memperkuat basis organisasi Islam di bidang sosial ekonomi. (Steenbrink, 1994: 26-28)
Kedua, dari sejarah kelahirannya. Sejak awal berdirinya,
Persis sudah menggolongkan dirinya sebagai harakah tajdid
(Gerakan Pembaharu) yang bertujuan memurnikan ibadah umat
dari takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Anti taqlid (membeo) dan jumud (statis) serta menentang praktek ritual tradisional. Buku A. Hassan “Debat Taqlid” (1953), “Risalah Madzhab”, “Kenduru Untuk
Kehamilan” dapat mewakili aspek ini. Giat melaksanakan penyebaran paham pemurnian ajaran Islam. Peran tajdid dan ashalah (pembaharuan dan pemurnian) ini dilakukan melalui kegiatan penerbitan, pendidikan dan dakwah, sejak berdirinya pada pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342
H.
Ketiga, karena visi-misi Persis. Visi jam’iyah Persis adalah terwujudnya al-jama’ah sesuai tuntutan al-Qur’an dan Sunnah. Misinya ialah, (a) mengembalikan ummat kepada al-Qur’an dan as-
Sunnah, (b) menghidupkan ruh jihad, ijtihad dan tajdid, (c)
sebuah buku yang mungkin belum ditelaah Soekarno, “Grey Golf:
An Intimate Study of a Dictator by H.C Armstrong.” Terhadap buku tersebut, A. Hassan memberikan catatan ringkas tentang siapa sebenarnya Musthafa Kamal yang dipuji-puji oleh Soekarno.
Namun, pandangan ini ditolak sejumlah tokoh Islam,
termasuk A.Hassan yang tidak menghendaki adanya upaya memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Sebab, menurutnya, Islam memiliki nilai universal yang sempurna yang tidak dimiliki agama lain. Meskipun A. Hassan dan Persis bermusuhan secara ideologis dengan Soekarno dan PNI tetapi
ketika Soekarno dipenjara di Banceuy, Bandung, para anggota Persis menjadi orang pertama yang membesuknya
Posisi Persis sebagai gerakan modern Islam dapat dilihat dari berbagai sudut tinjau di antaranya; pertama karena kelahirannya bertujuan untuk menjawab tantangan zaman,
mencoba untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, punya gagasan dan ide-ide radikal untuk melakukan pencerahan masa depan dan keluar dari problematika umat.
Persis lahir pada saat dunia Islam mulai bersemangat untuk bangkit dari imprealisme Barat, khususnya di bidang politik
dan peradaban, yaitu tahun 1800 M sampai sekarang. Di Indonesia, kebangkitan ini tutur Endang Siefuddin Anshari (ESA,1938-1996) ditandai oleh pertumbuhan para Ulama dan Zu’ama yang disusul oleh pemberontakan santri (Wawasan Islam, Bab ke-45).
Pada periode ini, timbul kesadaran sejarah di kalangan
tokoh Islam akan bahaya ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam, tanpa reserve. Budaya taqlid, jumud dan ta’asshub mulai dirasakan bahayanya terhadap keaslian dan kemurnian ajaran Islam, jika tidak segera dilakukan upaya
pembaharuan secara kolektif melalui organisasi kemasyarakatan.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
270
mewujudkan mujahid, mujtahid dan muwahhid, (d) meningkatkan
kesejahteraan ummat (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005,
hlm. 125). Sedang tujuannya adalah terlaksananya syariat Islam sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek
kehidupan. (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005, hlm. 7).
Keempat: Faktor eksternal bahwa terbentuknya ormas Islam, khususnya Muhammadiyah (1912) di Jogja lewat tokoh utamanya KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), Al Irsyad tahun 1914
oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943) di Jakarta serta Persatuan Islam pada tahun 1923 di Bandung oleh K.H Zamzam dan H. Muhammad Yunus tidak terlepas dari pengaruh tersebarnya pembaharuan di Timur Tengah ke Indonesia. Prof. Deliar Noer (1926-2008) dalam disertasi doktoralnya di Universitas Cornell
memasukkan 3 ormas besar ini sebagai gerakan modern Islam yang terbilang tua di nusantara.
Kelima: Faktor rongrongan misi Kristen dan harakah haddamah (gerakan destruktif), yang menyerang pihak Islam secara halus dengan berbagai cara dan back-up dana yang luar
biasa. Faktor yang terakhir ini, lebih sering disembunyikan dengan berbagai pertimbangan sekuritas; khawatir menganggu kepekaan pemerintah yang dipandang oleh ormas reformis ini terkesan berlebihan dalam menyoroti isu SARA. Fakta konflik berkepanjangan di negeri ini salah satu bukti nyata yang begitu
kuat mempengaruhi terbentuknya ormas Islam dari dulu sampai hari ini. Indikator ini dapat dibuktikan oleh signifikannya laju pertumbuhan golongan dimaksud, kuatnya lobi politik mereka, dominasi kunci-kunci kekuasaan di negeri mayoritas muslim ini. Demikian Alwi Shihab dalam Membendung arus : respon gerakan
Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia Alwi Shihab ; sekapur sirih A. Syafi'i Ma'arif ; pengantar Kuntowijoyo. Bandung : Mizan, 1998.
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
271
Pada Pebruari 1923, tepatnya pada 7 bulan sebelum Persis
terbentuk, Partai Katolik dideklarasikan di Jogjakarta, didirikan oleh umat Katolik Jawa yang dipimpin oleh F.S. Harijadi. Pada tahun 1923 ini juga organisasi komunis revolusioner internasional, yang merupakan perhimpunan partai-partai komunis dari
berbagai negeri yang berbasis di Tiongkok menunjuk Tan Malaka (1896-1949) sebagai sebagai agen “komintern” untuk wilayah Asia Tenggara.
Kehadiran buku A. Hassan “Bibel Lawan Bibel” atau sebelumnya Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Benarkah Isa
Disalib, Isa dan Agamanya, atau perdebatan Ustadz A.Hasan dengan dengan mubaligh Ahmadiyah yang diwakili oleh Abu Bakar Ayyub dan Maulana Rahmat Ali H.A.O.T di Gang Kenari, Batavia, September 1933, mengindikasikan ke arah ini. Perdebatan ini begitu terkenal dalam sejarah keberadaan Ahmadiyah di
Indonesia. Maklum, ketika itu, organisasi bentukan imprealis Inggris ini sedang giat-giatnya menyebarkan ajarannya. Ada tiga hal penting yang menjadi materi perdebatan, dua di antaranya adalah soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan turunnya Isa as dan Imam Mahdi.
Persis Sebagai Harakah Tajdid
Pemikiran tajdid persis dapat ditelusuri dari 3 sudut pandang, pertama: pemikiran atau karya tokoh-tokohnya, kedua: qanun asasi dan qanun dakhlinya (AR/ART), ketiga; dalam program kerja dan kegiatan-kegiatan jam’iyahnya. Tajdid Bagi Natsir, tajdid adalah modernisasi dalam Islam yang harus diartikan sebagai
“kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan menyimpang dari yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”. Sedangkan pengertian “Tajdid”, Natsir mengutip dari tokoh Muhammadiyah
mewujudkan mujahid, mujtahid dan muwahhid, (d) meningkatkan
kesejahteraan ummat (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005,
hlm. 125). Sedang tujuannya adalah terlaksananya syariat Islam sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek
kehidupan. (Qanun Asasi dan Qanun Dakhili Persis 2005, hlm. 7).
Keempat: Faktor eksternal bahwa terbentuknya ormas Islam, khususnya Muhammadiyah (1912) di Jogja lewat tokoh utamanya KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), Al Irsyad tahun 1914
oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943) di Jakarta serta Persatuan Islam pada tahun 1923 di Bandung oleh K.H Zamzam dan H. Muhammad Yunus tidak terlepas dari pengaruh tersebarnya pembaharuan di Timur Tengah ke Indonesia. Prof. Deliar Noer (1926-2008) dalam disertasi doktoralnya di Universitas Cornell
memasukkan 3 ormas besar ini sebagai gerakan modern Islam yang terbilang tua di nusantara.
Kelima: Faktor rongrongan misi Kristen dan harakah haddamah (gerakan destruktif), yang menyerang pihak Islam secara halus dengan berbagai cara dan back-up dana yang luar
biasa. Faktor yang terakhir ini, lebih sering disembunyikan dengan berbagai pertimbangan sekuritas; khawatir menganggu kepekaan pemerintah yang dipandang oleh ormas reformis ini terkesan berlebihan dalam menyoroti isu SARA. Fakta konflik berkepanjangan di negeri ini salah satu bukti nyata yang begitu
kuat mempengaruhi terbentuknya ormas Islam dari dulu sampai hari ini. Indikator ini dapat dibuktikan oleh signifikannya laju pertumbuhan golongan dimaksud, kuatnya lobi politik mereka, dominasi kunci-kunci kekuasaan di negeri mayoritas muslim ini. Demikian Alwi Shihab dalam Membendung arus : respon gerakan
Muhammadiyah terhadap penetrasi misi Kristen di Indonesia Alwi Shihab ; sekapur sirih A. Syafi'i Ma'arif ; pengantar Kuntowijoyo. Bandung : Mizan, 1998.
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
272
dari Gresik, KH Faqih Usman (1904-1968), yaitu “mengintrodusir
kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan. “Yaitu membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh “noda-noda”. (Watik: 25-26).
Melihat definisi ini, maka tajdid Persis bukanlah tajdid yang
membongkar, sehingga patut dicurigai. Tajdid sendiri bukanlah kerja serampangan. Kerja tajdid adalah kerja serius (badzlul-mujtahid), kerja ilmiah yang maksimal dan optimal (istifraghul-wus’i), kerja ilmu oleh para ahli dibidangnya (ahlul-‘ilmi), oleh seorang yang mumpuni dan memenuhi syarat standarisasi sebagai
mujtahid.
Bagi A. Hassan, hukum-hukum agama ini umumnya sudah ada dan pernah dibicarakan oleh ulama klasik. Di Muqaddimah Soal Jawabnya A.Hassan menulis, “kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah dalam agama
kita ini, dengan tidak perlu bersusah payah sebagai dikehendaki oleh ta’rif ijtihad. Terhadap persoalan-persoalan tertentu yang pelik, samar-samar atau tampak adanya persamaan dengan hal yang sudah ada, disitulah diperlukan ijtihad. Tapi persoalan yang seperti ini tidak begitu banyak asal pandai kita mendudukkannya.
Demikian Ustad A. Hassan(Soal Jawab, Juz 1 hlm.25). Dari sini dapat dibaca, tajdid Ustadz A.Hassan bukan tajdid yang bongkar-pasang. Manhaj tajdidnya, cukup jelas.
Terhadap beberapa kelompok yang suka istihza’ dalam persoalan agama, A. Hassan berpandangan:
“Di antara hamba-hamba Allah, ada yang apabila sudah
terdesak dalam satu-satu masalah dan sudah tidak mempunya
alasan yang kuat, lalu berkata: “ini ijtihad saya,” benar atau salah
tetap saya mendapat ganjaran. Begitu juga orang lebih banyak
menggunakan perasaan dan pikirannya, apabila ada sesuatu
hukum agama yang masih berat menerimanya, lalu menggunakan
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
273
“ijtihadnya”, sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan
pikirannya, lalu sudah terdesak dan ditanyakan alasannya atau
pendapatnya itu, sering mengucapkan kata-kata seperti tersebut.
Dan dengan demikian mereka merasa bahwa mereka dalam
kebenaran.Terhadap saudara-saudara yang berpendirian seperti
tersebut, saya harap suka menimbang lebih dahulu, sehingga tidak
mempermudah soal ijitihad.” Soa Jawab, Juz 1:24
Terhadap beberapa masalah agama yang sulit dipecahkan,
A. Hassan punya tiga mekanisme opsi; opsi-1: di-jama‘ yang mengumpulkan data yang ada, diolah lalu didudukkan, sehingga keterangan al-Qur’an atau hadits itu dapat dipakai; Opsi-2: di-tarjih, yaitu: memilih keterangan agama yang lebih kuat. Tarjih,
hanya terdapat dalam hadits; Opsi-3: di-tawaqquf, yaitu mendiamkan keterangan itu sebagaimana adanya. Tawaqquf hanya terdapat pada satu buah buah hadits, tidak didapati dalam al-Qur’an. Men-jama’ keterangan harus dikembalikan pada
keterangan pula. Tidak boleh didasarkan pada perasaan dan
pikiran semata. (Soal Jawab, Juz 1:26).
Tentang pola istinbath hukum Persis, dijelaskan oleh ustadz A. Hassan berikut ini: (a) mengambil dan menetapkan hukum agama harus dengan ilmunya, di antaranya adalah ilmu Ushul Fiqh, (b) memeriksa sumber-sumber hukum yang akan
dirujuk, al-Quran maupun haditsnya. Mulai dari validitas riwayatnya; siapa yang meriwayatkan atau siapa saja yang meriwayatkan hadits-hadits itu, diteliti keshahihan haditsnya, baru diperbincangkan tentang hukum apa saja yang ada dalam hadits itu. (c) Pentingnya mencari keterangan lain sebagai penguat,
penjelas dan penunjuk dalil yang ada, (d) Tetap melakukan penelusuran sumber yang dapat menyempurnakan keterangan dan kesimpulan hukum yang sudah diistinbathkan. (Soal Jawab, Juz 1:26-27).
dari Gresik, KH Faqih Usman (1904-1968), yaitu “mengintrodusir
kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan. “Yaitu membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh “noda-noda”. (Watik: 25-26).
Melihat definisi ini, maka tajdid Persis bukanlah tajdid yang
membongkar, sehingga patut dicurigai. Tajdid sendiri bukanlah kerja serampangan. Kerja tajdid adalah kerja serius (badzlul-mujtahid), kerja ilmiah yang maksimal dan optimal (istifraghul-wus’i), kerja ilmu oleh para ahli dibidangnya (ahlul-‘ilmi), oleh seorang yang mumpuni dan memenuhi syarat standarisasi sebagai
mujtahid.
Bagi A. Hassan, hukum-hukum agama ini umumnya sudah ada dan pernah dibicarakan oleh ulama klasik. Di Muqaddimah Soal Jawabnya A.Hassan menulis, “kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu hukum bagi sesuatu masalah dalam agama
kita ini, dengan tidak perlu bersusah payah sebagai dikehendaki oleh ta’rif ijtihad. Terhadap persoalan-persoalan tertentu yang pelik, samar-samar atau tampak adanya persamaan dengan hal yang sudah ada, disitulah diperlukan ijtihad. Tapi persoalan yang seperti ini tidak begitu banyak asal pandai kita mendudukkannya.
Demikian Ustad A. Hassan(Soal Jawab, Juz 1 hlm.25). Dari sini dapat dibaca, tajdid Ustadz A.Hassan bukan tajdid yang bongkar-pasang. Manhaj tajdidnya, cukup jelas.
Terhadap beberapa kelompok yang suka istihza’ dalam persoalan agama, A. Hassan berpandangan:
“Di antara hamba-hamba Allah, ada yang apabila sudah
terdesak dalam satu-satu masalah dan sudah tidak mempunya
alasan yang kuat, lalu berkata: “ini ijtihad saya,” benar atau salah
tetap saya mendapat ganjaran. Begitu juga orang lebih banyak
menggunakan perasaan dan pikirannya, apabila ada sesuatu
hukum agama yang masih berat menerimanya, lalu menggunakan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
274
Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal
perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya
pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi panutan sekaligus teladan bagi organisasi.
Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A. Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat.
Karena masuknya Ustadz A. Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A. Hassan, tak ada apa-apanya. A. Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A. Hassan.
Karena itu, A. Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan Wildan), A. Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari.
Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas
pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photo-copy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan harapan dapat mendekati kondisi ideal yang tidak begitu jauh dengan pemimpin pertama.
Fase ketiga, fase pengembangan dan verifikasi lanjutan. Pada fase lanjutan ini para kader organisasi mulai merampungkan
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
275
konsep yang ideal sekaligus realistik ke arah menjawab persoalan-
persoalan internal organisasi, tantangan, hambatan maupun peluangnya. Saat ini, kesadaran kerja kolektif sangat tinggi, budaya ketergantungan atau saling mengandalkan mulai ditinggalkan. Organisasi mulai banting orientasi dari pendekatan
kharisma tokoh kepada pendekatan kerja sistem, dari pola ketergantungan ke pola kolektifitas. Slogan kerja ikhlas, kerja keras, kerja cerdas, kerja mawas dan kerja cerdas menjadi prioritas utama.
Tiga fase organisasi ini dapat dibaca dalam buku Dr.
Elizabeth K. Nottingham, Ph.D, Profesor Sosiologi dalam “Agama dan Masyarakat” (terj.) Rajawali Press (Jakarta:1990) hlm.60.
Pada awal berdirinya, Persis secara umum bisa dikata kurang memberikan tekanan pada kegiatan untuk melakukan rekrutmen anggota, membuka cabang atau perwakilan,
sebagaimana layaknya organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Persis lebih mengkonsentrasikan pembinaannya pada internal jama‘ah melalui sistem kaderisasi sebagai agent yang dibelakang hari dapat menyebarkan cita-cita tajdid dan ide-ide pemikirannya.
Untuk kepentingan ini, Persis melakukan serangkaian kegiatan di tiga bidang utama; tabligh, pendidikan dan penerbitan. Tabligh Persis dikonsentrasikan pada ceramah-ceramah, kursus-kursus kemubalighan, pembinaan majelis ta’lim dan kemasjidan, melakukan al-amru bil ma‘ruf wa an-nahyu ‘anil-
munkar. Dengan tabligh, pendidikan, dan penerbitan; Persis menginginkan agar anggotanya memiliki multi-talenta; menjadi ash’habun (para penggerak da’wah) dan hawariyyun (para penolong da‘wah), sebagai mujtahid sekaligus mujahid, menjadi ilmuan sekaligus pejuang, menjadi muballigh yang memiliki
kemahiran olah vokal di mimbar sekaligus punya keterampilan
Umumnya organisasi sosial pada tahap-tahap awal
perkembangannya mengalami beberapa fase pertumbuhan, pertama, fase kharismatik pendirinya, yang dipandang sebagai peletak dasar organisasi dan paling berjasa dalam menata visi-misi organisasi melalui kegigihan perjuangan dan besarnya
pengorbanan pribadi. Kehadiran pemimpin kharismatik punya daya magnet yang kuat bagi para pengikutnya. Ia menjadi panutan sekaligus teladan bagi organisasi.
Persis mengalami fase ini, di mana kehadiran Ustadz A. Hassan di Bandung dari tahun 1923-1940 sangat begitu kuat.
Karena masuknya Ustadz A. Hassan bukan untuk belajar, melainkan untuk membentuk jati diri Persis, menata kadernya dan merekonstruksi masa depan Persis di belakang hari. Bisa dikata, Persis tanpa A. Hassan, tak ada apa-apanya. A. Hassan yang membesarkan Persis. Bukan Persis yang membesarkan A. Hassan.
Karena itu, A. Hassan adalah Ulama Besar dan Guru Utama Persis (Nadia Zoraya), beliau adalah seorang da’i juga politikus (Dadan Wildan), A. Hassan bagi Persis adalah ulama multi-talenta yang posisinya sulit tergantikan oleh tokoh-tokoh persis di kemudian hari.
Fase kedua, fase para pengganti. Pada lapis kedua organisasi ini mengalami sedikit kesulitan mencari sosok yang pas dan tepat memimpin organisasi setelah ditinggal oleh pemimpin dan tokoh kharismatiknya. Kekhawatiran muncul, karena jelas
pemimpin penggantinya memiliki sedikit penurunan talenta dari pemimpin pertama, layaknya photo-copy dengan aslinya. Pada fase kedua ini, mulai dibuat sejumlah persyaratan dan kriteria dengan harapan dapat mendekati kondisi ideal yang tidak begitu jauh dengan pemimpin pertama.
Fase ketiga, fase pengembangan dan verifikasi lanjutan. Pada fase lanjutan ini para kader organisasi mulai merampungkan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
276
menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal
Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karya-karya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Mughni,1980:53).
Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A.
Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke-7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu
yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan.
Pesantren Persis Bangil: Potensi Konflik Dan Integrasi
Pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw
(fanatik buta); baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath
(ekstrim kiri). Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Konflik juga dipicu oleh ketidak patuhan sesama ummat beragama terhadap peraturan
yang berlaku, juga oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik.
Agama adalah rem konflik yang paling pakem. Di hadapan
kaba’ir (dosa-dosa besar) yang jumlahnya sekitar 75-300 item menurut keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anh seperti dilansir oleh guru Imam Bukhari, Imam Adz-Dzahabi (73-842 H) di muqaddimah kitabnya “al-Kaba’ir.” Agamalah yang membuat
imperium Fir’aun dan kekuasaan diktator lainnya takluk. Kekuatan
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
277
Jahiliyah, hanya bisa ditundukan oleh kelemah-lembutan agama;
walaw kunta fazzan ghaliydzal-qalbi la’n-faddhuw min hawlik, Ali imran:159. Agama dikirim dan diturunkan untuk menjadi solusi dan terapi dari kemelut yang dihadapi oleh ummat manusia.
Dalam pandangan Ustadz Abdul Qadir Hassan, tokoh
utama Persis Bangil adalah sesuatu yang wajib dijunjung tinggi supaya kedamaian dan kerukunan dapat tercipta. Akar pertikaian, kebencian dan permusuhan bisa dicegah. Ustadz A. Qadir Hassan menawarkan beberapa opsi pilihan;
(a) Dengan penanaman sifat yakin, taat dan sungguh di hadapan
perintah dan larangan Allah s.w.t. yang haram tetap diharamkan, yang halal tetap dihalalkan, yang sunnah tetap disunnahkan, yuang makruh tetap dimakruhkan, dsb.
(b) Tidak berlepas diri dari mencari-cari jalan untuk berlepas diri dari tuntutan agama, seperti mengentengkan agama dengan
alasan apapun. Baik karena alasan perasaan, psikologi, adat, politik, keadaan, kedudukan, kekeluargaan dan sebagainya, kecuali karena terpaksa seperti dalam kondisi darurat.
(c) Benar-benar mencontoh jejak Nabi saw, terutama dalam urusan ibadat.
(d) Sebelum mengerjakan sesuatu yang kita tidak mengetahui hukum agama padanya, hendaklah terlebih dahulu memeriksa dan mencari tahu boleh atau tidaknya.
(e) Amal-amal, kepercayaan-kepercayaan, anggapan-anggapan, jalan-jalan pikiran yang kita terima turun-temurun itu,
hedaklah lebih dahulu disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama, benar begitu atau tidak.
(f) Bersikap tegas terhadap sesuatu penghinaan yang orang tujukan atau lakukan atas agama kita.
menulis. Ustadz A. Hassan sebagai peletak dasar ide-ide radikal
Persis dalam pola pembinaan murid-muridnya maupun karya-karya gemilangnya banyak menekankan pada sistem ini. (Mughni,1980:53).
Pada Bab sebelumnya dijelaskan, bahwa dominasi Ustad A.
Hassan di Persis Bandung adalah pada dekade 1923-1940 (17 tahun) dan mulai mengendor pada tahun 1960 saat Muktamar ke-7 di Bangil disusul oleh terbentuknya Dewan Hisbah pada tahun itu. Sejak itu, Dewan Hisbah bisa dikata “merajai” pedoman ibadah jam’iyah Persis di semua tingkatan, khususnya pada aspek tertentu
yang sudah difatwakan. Meskipun secara historis melepaskan pengaruh Ustadz A. Hassan dari jam’iyah Persis, juga, sebuah kemustahilan.
Pesantren Persis Bangil: Potensi Konflik Dan Integrasi
Pemicu terjadinya konflik sosial antara lain adalah ghuluw
(fanatik buta); baik dalam bentuk tafrith (ekstrim kanan) dan ifrath
(ekstrim kiri). Persis tidak menghendaki terjadinya ghuluw yang justru ditentang oleh Persis sendiri. Konflik juga dipicu oleh ketidak patuhan sesama ummat beragama terhadap peraturan
yang berlaku, juga oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai wasit yang adil dan bijak dalam menyelesaikan persoalan terkait dengan akar konflik.
Agama adalah rem konflik yang paling pakem. Di hadapan
kaba’ir (dosa-dosa besar) yang jumlahnya sekitar 75-300 item menurut keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anh seperti dilansir oleh guru Imam Bukhari, Imam Adz-Dzahabi (73-842 H) di muqaddimah kitabnya “al-Kaba’ir.” Agamalah yang membuat
imperium Fir’aun dan kekuasaan diktator lainnya takluk. Kekuatan
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
278
(g) Mengadakan sistem tegur-menegur (nahi munkar) atara kita
dengan kita, dengan arti mau menerima dan memberi teguran dengan dasar kejujuran.
Setelah mengemukakan 7 point penting ini, Ustadz A. Qadir Hassan melanjutkan:
“Jalan untuk mempengaruhi rakyat supaya mereka dapat
menjunjung agama itu, memang agak sukar, terutama dalam
negeri seperti Indonesia. Di mana Islam tidak menjadi agama
rakyat, tambahan pula usaha-usaha pembenci Agama yang
hendak memecah-belahkan ikatan-ikatan persaudaraan Islam.
Tetapi kalau di antara kita, sebagian besarnya suka
mengajak orang kepada Islam di mana saja ia berada, suka
bertabligh di sana-sini, suka mengajarkan agama dengan
gambaran yang sebenarnya, suka memperbanyak kitab-kitab
agama, suka mendidik orang supaya tidak bertaqlid saja. Bilamana
semua ini dilakukannya dengan penuh kebijaksanaan, tetap dan
tidak jemu-jemu, maka dalam sedikit masa kita akan dapat melihat
bagaimana besarnya pengaruh Islam kepada khalayak ramai.
Sebaliknya kalau sikap masa bodoh, sikap pasif, sikap
optimis saja yang kita aju-ajukan, karena terpengaruh oleh
besarnya jumlah ummat Islam dan masa keemasan Islam dulu,
bolehlah kita menunggu kemunduran dan kehinaan yang lebih
menyedihkan.”.
Demikian kutipan dari Ustadz A. Qadir Hassan. (Majalah Al-
Muslimun no.10 edisi I tahun 1955 dan Kitab Kata Berjawab, Juz I: 169-170. Bangil: Oktober 1973).
Pemikiran integrasi Persis Bangil ini, sungguh sangat luar biasa, di eranya saat itu. Ustadz Qadir mengeluhkan soal kedudukan dan posisi agama dan konstalasi tata Negara. Beliau
ingin mengatakan, faktor penyebab terjadinya kemelut bangsa seperti soal konflik antara lain disebabkan karena tidak jelasnya
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
279
hubungan agama dan Negara, hubungan antara wahyu dan
budaya, syariat dan adat.
Di sini Ustadz A. Qadir Hassan menyoroti soal sistem dan etika penyiaran agama agar ditata dengan baik sesuai tuntutan dan tuntunan yang berlaku. Kalimat beliau “mengajarkan agama
dengan gambaran yang sebenarnya,” ini bisa jadi perluasan makna dari nilai-nilai universal yang al-Qur’an istilahkan dengan i’tisham dalam Ali Imran:103 terhadap internal ummat beragama dan kalimat “kalimatun sawa’ (Ali Imran:64) terhadap eksternal ummat Beragama.
Pandangan integralisme Ustadz A. Qadir Hassan ia tunjukkan ketika ditanya soal hukum orang Islam bekerja di Gereja Jawaban beliau: Bekerja di dalam gereja itu bisa terdapat dua cara; (1) bekerja sebagai buruh serta menuruti cara-cara yang berisfat peribadatan yang ada di gereja itu. Umpamanya ketika keluar-
masuk gereja, atau melalui tempat yang ada patung Nabi Isa atau Siti Maryam harus merunduk atau merendah diri atau menghormat kepada patung-patung tadi dan sebagainya. (2) Bekerja sebagai buruh dengan tidak menghiraukan cara-cara peribadatan yang ada disitu dan tidak mengerjakannya.
Bekerja sebagai mana terdapat pada nomor (1) terang haram dan menjadikannya (musyrik). Adapun bekerja seperti pada nomor (2) itu sungguh pun tidak terdapat larangan yang tegas, tetapi sepatutnya sebagai seorang muslim yang tidak keputusan pekerjaan untuk hidupnya, tidak akan bekerja disitu menjadi
buruh orang.57
Kaitannya dengan hubungan mu’amalat antara orang kafir dengan orang Islam, seperti soal pendirian/renovasi masjid dan
57 Ustadz A. Qadir Hassan, Kata Berjawab 1 hlm. 168
(g) Mengadakan sistem tegur-menegur (nahi munkar) atara kita
dengan kita, dengan arti mau menerima dan memberi teguran dengan dasar kejujuran.
Setelah mengemukakan 7 point penting ini, Ustadz A. Qadir Hassan melanjutkan:
“Jalan untuk mempengaruhi rakyat supaya mereka dapat
menjunjung agama itu, memang agak sukar, terutama dalam
negeri seperti Indonesia. Di mana Islam tidak menjadi agama
rakyat, tambahan pula usaha-usaha pembenci Agama yang
hendak memecah-belahkan ikatan-ikatan persaudaraan Islam.
Tetapi kalau di antara kita, sebagian besarnya suka
mengajak orang kepada Islam di mana saja ia berada, suka
bertabligh di sana-sini, suka mengajarkan agama dengan
gambaran yang sebenarnya, suka memperbanyak kitab-kitab
agama, suka mendidik orang supaya tidak bertaqlid saja. Bilamana
semua ini dilakukannya dengan penuh kebijaksanaan, tetap dan
tidak jemu-jemu, maka dalam sedikit masa kita akan dapat melihat
bagaimana besarnya pengaruh Islam kepada khalayak ramai.
Sebaliknya kalau sikap masa bodoh, sikap pasif, sikap
optimis saja yang kita aju-ajukan, karena terpengaruh oleh
besarnya jumlah ummat Islam dan masa keemasan Islam dulu,
bolehlah kita menunggu kemunduran dan kehinaan yang lebih
menyedihkan.”.
Demikian kutipan dari Ustadz A. Qadir Hassan. (Majalah Al-
Muslimun no.10 edisi I tahun 1955 dan Kitab Kata Berjawab, Juz I: 169-170. Bangil: Oktober 1973).
Pemikiran integrasi Persis Bangil ini, sungguh sangat luar biasa, di eranya saat itu. Ustadz Qadir mengeluhkan soal kedudukan dan posisi agama dan konstalasi tata Negara. Beliau
ingin mengatakan, faktor penyebab terjadinya kemelut bangsa seperti soal konflik antara lain disebabkan karena tidak jelasnya
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
280
madrasah. Pertanyaannya, bolehkah meminta derma golongan
yang bukan Islam, umpamanya dari orang Tionghoa.
Jawab: Tidak terdapat satu pun keterangan agama, baik
dari ayat Qur’an atau Hadits yang melarang kita minta derma atau merima derma dari orang kafir, orang musyrik, orang Tionghoa dan sebagainya.
Rasulullah tidak pernah mensyaratkan bahwa untuk
menerima derma dari siapa saja luar dari golongan Islam, maupun mereka orang Tionghoa, orang Eropa atau lainnya.
Untuk jelasnya pendapat ini marilah kita melihat riwayat-riwayat berikut:
سیس
Dari Abu Humaid as-Sa'idiy berkata; "Kami pernah pergi perang Tabuk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu
raja Aylah menghadiahi kepada Nabi saw seekor baghal (keledai betina) berwarna putih kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Beliau (membalas) dengan memakaikan burdah kepada raja itu.” HR. Bukhari
Ketika mensyarahkan (menerangkan) riwayat ini, Imam
Nawawi asy-Syafi’i berkata: ی fiyhi qubuwlu hadiyyatil-kaafiri, “Dalam riwayat ini ada kebenaran boleh menerima hadiah orang kafir. (Syarah Shahih Muslim, Juz 15:42)
Selain itu ada lagi riwayat:
س
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
281
Dari Anas bin Malik RA, bahwa Ukaidir Dumah (Raja Nashrani
di Dumata-Jandal, dekat Tabuk) pernah beri hadiah kepada Nabi saw” (HR. Bukhari)
Rena Tionghoa untuk pendirian masjid dan madrasah itu, beranggapan bahwa uang mereka itu haram. Karena mereka
orang yang makan babi, orang yang digambar-gambarkan keburukan dan kedzalimannya. Kalau ini dasarnya, maka seharusnya orang itu jangan pula menerima uang, barang dan sebagainya, jangan membeli es, beras, gula, kacang, bumbu-bumbu dan lain-lainnya dari mereka, karena semua inipun tentu
haram juga.
Tetapi yang kita dapati tidak demikian. Untuk derma masjid mereka tidak mau menerima dari orang Tionghoa, tetapi untuk yang lain dari itu, untuk memajukan perdagangan mereka dengan jalan membeli barang-barang, mau mereka bermuamalah
(bergaul dan berjual-beli) dengan orang-orang Tionghoa. Pendirian demikian, sungguh pincang dan tidak berpadanan (berkonsekwensi).58
Dalam hal bersyarikat semacam berbisnis, bekerja dan bermuamalah dengan orang kafir., Ustadz A. Qadir membolehkan,
kalimat beliau: “malah contoh bersyarikat itu pernah kejadian di zaman Rasulullah saw, sekalipun tidak dalam hal perniagaan. Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar:
ض: س
ییس
ی
58 Dikutip dari Kitab Kata Berjawab, Jilid 2 hlm.81-83
madrasah. Pertanyaannya, bolehkah meminta derma golongan
yang bukan Islam, umpamanya dari orang Tionghoa.
Jawab: Tidak terdapat satu pun keterangan agama, baik
dari ayat Qur’an atau Hadits yang melarang kita minta derma atau merima derma dari orang kafir, orang musyrik, orang Tionghoa dan sebagainya.
Rasulullah tidak pernah mensyaratkan bahwa untuk
menerima derma dari siapa saja luar dari golongan Islam, maupun mereka orang Tionghoa, orang Eropa atau lainnya.
Untuk jelasnya pendapat ini marilah kita melihat riwayat-riwayat berikut:
سیس
Dari Abu Humaid as-Sa'idiy berkata; "Kami pernah pergi perang Tabuk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu
raja Aylah menghadiahi kepada Nabi saw seekor baghal (keledai betina) berwarna putih kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Beliau (membalas) dengan memakaikan burdah kepada raja itu.” HR. Bukhari
Ketika mensyarahkan (menerangkan) riwayat ini, Imam
Nawawi asy-Syafi’i berkata: ی fiyhi qubuwlu hadiyyatil-kaafiri, “Dalam riwayat ini ada kebenaran boleh menerima hadiah orang kafir. (Syarah Shahih Muslim, Juz 15:42)
Selain itu ada lagi riwayat:
س
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
282
Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma menceritakan bahwa pernah
menyerahkan Khaibar (daerah sebelah utara Madinah) kepada orang-orang Yahudi, supaya mereka mengerjakannya dan menanaminya.” (HR Bukhari)
Sedang visi kebangsaan Ustadz A. Qadir Hassan ia sampaikan ketika ada pertanyaan, “Tiap-tiap negara tentu mengambil hukum menurut undang-undangnya masing-masing. Bagaimanakah hukum itu?
Jawab: Agama kita al-Islam ini mempunyai beberapa
banyak undang-undang yang berhubungan dengan hal ibadat dan keduniaan (tata Negara, pergaulan dsb). Kita yang mengaku Beragama Islam, tidak boleh tidak wajib mentaati undang-undang yang sudah diatur agama dengan tidak ada pilihan.
Undang-undang dari negara-negara yang tidak berbentuk Islam, kalau tidak bertentangan dengan salah satu hokum atau
kehendak Islam,. Boleh kita turut dan boleh kita pakai. Tetapi kalau undang-undang itu menyalahi ketetapan Islam, dilarang kita mentaatinya, sebagaimana sabda Nabi saw:
"Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah.
Sesungguhnya ketaatan hanya ada dalam perkara yang baik." (HR Abu Dawud dan Nasai)
Pada kasus pertentangan antara Negara Islam versus Negara Nasionalis, Ustadz A. Qadir Hassan membuat rumusan pendirian sebagai berikut:
Nasionalis berkata: “Jagalah jangan sampai Indonesia menjadi Negara yang Islamistis dan komunistis.”
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
283
Muslim berkata: “jagalah dan berusahalah jangan sampai
Indonesia menjadi Negara yang nasionalistis atau komunistis dsb
Nasionalis berkata: “Tidak boleh negara Islam saja yang berdiri di Indonesia, karena di Indonesia ada banyak macam agama.”
Muslim berkata: “tidak boleh Negara Nasional saja yang berdiri di Indonesia, karena di Indonesia banyak aliran; aliran sosialis, aliran komunis dll.59
Dari jawaban-jawaban ini tergambar begitu adil dan seimbangnya pemikiran keagamaan Ustadz A. Qadir Hassan. Beliau sangat tawasuth (moderat), cenderung ke arah jalan tengah, tidak mau mengambil perilaku yang ekstrim.
Dalam hal mengajar kepada murid-muridnya, beliau menanamkan jiwa korektif dan memberikan kebebasan kepada
setiap santri untuk bertanya, membantah dan berdialog dengan guru sepanjang batas kesopanan Islam.60
Jiwa inilah yang meresap kepada santri-santri beliau, sehingga keberadaan Pesantren Persis Bangil dalam rentan waktu 61 tahun ini, jarang dan hampir tidak pernah terjadi peristiwa konflik sosial sebagaimana terjadi pada tetangganya Pesantren Yapi yang berhaluan syi‘ah dengan aswaja yang sunni.
Memang beberapa sumber menyebutkan bahwa Bangil
termasuk kawasan penyebaran Syi’ah terbesar di Asia Tenggara. Namun Persis tidak terpancing, Persis Bangil tetap konsis membina umat dengan cara yang diyakininya mendatangkan mashlahat bagi pencerdasan umat di masa yang akan datang.
59 Kitab Kata Berjawab, Juz 1 hlm. 126-127 60 Pesantren Persis Bangil, Sejarah Ringkas Pesantren Persis Bangil. Mei 1986
hlm.10
Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma menceritakan bahwa pernah
menyerahkan Khaibar (daerah sebelah utara Madinah) kepada orang-orang Yahudi, supaya mereka mengerjakannya dan menanaminya.” (HR Bukhari)
Sedang visi kebangsaan Ustadz A. Qadir Hassan ia sampaikan ketika ada pertanyaan, “Tiap-tiap negara tentu mengambil hukum menurut undang-undangnya masing-masing. Bagaimanakah hukum itu?
Jawab: Agama kita al-Islam ini mempunyai beberapa
banyak undang-undang yang berhubungan dengan hal ibadat dan keduniaan (tata Negara, pergaulan dsb). Kita yang mengaku Beragama Islam, tidak boleh tidak wajib mentaati undang-undang yang sudah diatur agama dengan tidak ada pilihan.
Undang-undang dari negara-negara yang tidak berbentuk Islam, kalau tidak bertentangan dengan salah satu hokum atau
kehendak Islam,. Boleh kita turut dan boleh kita pakai. Tetapi kalau undang-undang itu menyalahi ketetapan Islam, dilarang kita mentaatinya, sebagaimana sabda Nabi saw:
"Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah.
Sesungguhnya ketaatan hanya ada dalam perkara yang baik." (HR Abu Dawud dan Nasai)
Pada kasus pertentangan antara Negara Islam versus Negara Nasionalis, Ustadz A. Qadir Hassan membuat rumusan pendirian sebagai berikut:
Nasionalis berkata: “Jagalah jangan sampai Indonesia menjadi Negara yang Islamistis dan komunistis.”
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
284
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
285
Faktor-faktor yang Menimbulkan Konflik
NR mengatakan di dekat tempat tinggalnya di Perumahan
Taman Pinang Sidoarjo terdapat masjid yang oleh masyarakat diberi label masjid NU dan masjid Muhammadiyah. Para khatib/ penceramah/da’inya di kedua masjid tersebut sama-sama, ekstrim dan fanatik terhadap faham masing-masing, mereka sama-sama saling mengklaim faham keagamaan mereka sebagai faham yang
paling benar dan sama-sama saling mencaci faham keagamaan dan praktek ubudiyah masing-masing. Akibatnya di kedua masjid tersebut tidak tampak ghirah Islam dan bagaimana menghargai faham orang lain (wawancara dengan NR).
Di luar masjid dan aktivitas-aktivitas keagamaan lainya, konflik intern umat Islam terjadi di Perguruan Tinggi Islam (PTI), karena perebutan jabatan struktural. Hal semacam ini sebenarnya terjadi di mana-mana, di hampir seluruh PTI di Indonesia. Rupa-rupanya fasilitas yang diberikan kepada para pejabat struktural di
kampus demikian menarik bagi para dosen. Di lingkungan PTI perebutan jabatan struktural antara NU dan Muhammadiyah cukup tinggi dan tidak jarang dilakukan dengan memobilisasi mahasiswa (wawancara dengan NR).
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
286
Menurut keterangan SJ, konflik politik berkenaan dengan
pemilukada, antara kelompok Syaifullah dengan Khofifah Indar Parawansa berpengaruh sampai ke tempat-tempat pengajian, bahkan sampai ke ormas keagamaan mahasiswa. Dimana Khofifah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam kalangan
Nahdliyin, sedangkan Syaifullah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam independen. Sedangkan menurut Nani Rofhani interes/pesan politik tidak mendapat tempat-tempat pengajian di kalangan menengah/ terpelajar (wawancara dengan SJ dan NR di tempat yang sama tapi waktunya berbeda).
Telah diinformasikan kepada Kesbanglinmas, di Tandes (nama salah satu tempat di Kota Surabaya) ada pondok pesantren yang mengajarkan kepada santri tentang foto-foto berbagai jenis senjata api. Hal tersebut sudah dipantau oleh intel dari Korem Kota Surabaya (wawancara dengan Kb).
Faktor-faktor yang Mendorong Terciptanya Kerukunan
WH mengatakan bahwa metode dakwah yang digunakan oleh para da’i dari berbagai ormas keagamaan lebih menekankan pada mauidhoh hasanah, meski tentu saja masih ada interes-interes tertentu, tapi tidak terlalu ditonjolkan, sehingga tidak
menimbulkan masalah (Wawancara dengan WH).
WH mengatakan bahwa sikap ekstrofet (blak-blakan) masyarakat Surabaya membuat orang mudah saling memahami apa yang tersimpan di benak masing-masing, sehingga orang lebih mudah bersikap sebagaimana yang diinginkan orang lain.
Dengan sikap blak-blakan orang dengan mudah menumpahkan kekesalannya atau hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, sehingga tidak terjadi akumulasi kejengkelan. Warsito mengibaratkan sebagai mana gunung berapi kalau tidak pernah
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
287
tersumbat, dan energinya dapat keluar terus menerus pasti tidak
akan terjadi eropsi (Wawancara dengan WH).
Menurut Sb faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerukunan di Kota Surabaya karena: pertama, faktor pemimpin, dimana para pemimpin di Kota Surabaya dapat dikatakan cukup
concern terhadap kerukunan warga dan umat beragama. Jika dirasakan adanya potensi konflik segera dilakukan antisipasi. Unsur Muspika segera melakukan koordinasi dengan mengundang tokoh formal lainya, tokoh-tokoh non-formal, baik
tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Dengan demikian dapat dilakukan koordinasi lintas sektoral untuk melakukan deteksi dini atau antisipasi dini; Kedua, peran FKUB yang beranggotakan tokoh-tokoh agama merupakan suatu mekanisme kerja pencegahan konflik keagamaan yang mendapat dukungan dan
fasilitas dari pemkot, sehingga dapat berperan secara optimal; Ketiga, masyarakat perkotaan yang relatif lebih maju dan memiliki kematangan secara sosial, lebih modern, bisa berkomunikasi secara persuasif, dialogis sehingga tidak mudah dihasut maupun
dipropaganda. Karena masyarakat memiliki budaya yang tinggi, komunikasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka toleransi bisa berjalan dengan baik pula. Akhirnya jika ada masalah mudah diatasi; Keempat, peraturan/perudang-undangan berkaitan dengan masalah kerukunan dapat difahami oleh masyarakat.
Misalnya, PBM yang dijabarkan melalui Perwali No.58 Tahun 2007 telah disosialisasikan sampai ketingkat kecamatan (31 kecamatan) dan lembaga-lembaga keagamaan. Pada tahun 2011 disosialisasikan kepada kelompok-kelompok strategis organisasi-organisasi keagamaan, sperti MUI, NU, Muhamadiyah dan gereja-
gereja. Rencananya tahun depan sosialisasi dilakukan di tingkat kelurahan (Wawancara dengan Sb).
Menurut keterangan SJ, konflik politik berkenaan dengan
pemilukada, antara kelompok Syaifullah dengan Khofifah Indar Parawansa berpengaruh sampai ke tempat-tempat pengajian, bahkan sampai ke ormas keagamaan mahasiswa. Dimana Khofifah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam kalangan
Nahdliyin, sedangkan Syaifullah mendapat dukungan dari ormas mahasiswa Islam independen. Sedangkan menurut Nani Rofhani interes/pesan politik tidak mendapat tempat-tempat pengajian di kalangan menengah/ terpelajar (wawancara dengan SJ dan NR di tempat yang sama tapi waktunya berbeda).
Telah diinformasikan kepada Kesbanglinmas, di Tandes (nama salah satu tempat di Kota Surabaya) ada pondok pesantren yang mengajarkan kepada santri tentang foto-foto berbagai jenis senjata api. Hal tersebut sudah dipantau oleh intel dari Korem Kota Surabaya (wawancara dengan Kb).
Faktor-faktor yang Mendorong Terciptanya Kerukunan
WH mengatakan bahwa metode dakwah yang digunakan oleh para da’i dari berbagai ormas keagamaan lebih menekankan pada mauidhoh hasanah, meski tentu saja masih ada interes-interes tertentu, tapi tidak terlalu ditonjolkan, sehingga tidak
menimbulkan masalah (Wawancara dengan WH).
WH mengatakan bahwa sikap ekstrofet (blak-blakan) masyarakat Surabaya membuat orang mudah saling memahami apa yang tersimpan di benak masing-masing, sehingga orang lebih mudah bersikap sebagaimana yang diinginkan orang lain.
Dengan sikap blak-blakan orang dengan mudah menumpahkan kekesalannya atau hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan, sehingga tidak terjadi akumulasi kejengkelan. Warsito mengibaratkan sebagai mana gunung berapi kalau tidak pernah
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
288
Sedangkan menurut Kb faktor-faktor yang mendorong
terciptanya kerukunan di Surabaya karena: 1) Di Kota Surabaya jumlah pengangguran tidak banyak seperti di kota-kota besar lain. Sehingga masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi, berbeda dengan di kota lain dengan “iming-iming” 50 ribu rupiah orang
dengan mudah ikut demonstrasi. Di Surabaya tidak semudah itu mengajak warga untuk demonstrasi; 2) Selain tokoh-tokoh formal, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat di Surabaya iktu serta melakukan sosialisasi berkaitan dengan upaya pemeliharaan kerukunan. Misalnya, sosialisasi Perwali No. 58 Tahun 2007; 3)
Untuk meningkatkan kinerjanya FKUB Kota Surabaya sering melakukan studi banding ke daerah/kota lain, seperti Menado, Denpasar dan Singkawang. Selain itu FKUB setiap bulan melakukan sosialisasi tentang peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan; 4)
Kerukunan di Kota Surabaya dipelihara secara lebih komperhensif, misalnya para pelajar supaya tidak suka melakukan tawuran, sering adakan out bond yang diikuti oleh osis-osis dari beberapa sekolah. Demikian juga di kalangan ormas kepemudaan juga sering diadakan out bond sehingga di antara mereka dapat saling
mengenal dan akrab; 5) Dalam upaya antisipasi dini bagi terjadinya kerusuhan atau konflik Kesbanglinmas buka 24 jam, ada staf yang piket malam. Dengan demikian, kapan pun terjadi konflik Kesbanglinmas segera bisa melakukan koordinasi dengan
berbagai pihak untuk melakukan antisipasi dini (Wawancara dengan Kb).
Menurut keterangan NR, di dekat rumahnya selain ada masjid NU dan masjid Muhammadiyah ada masjid yang “netral”. Masjid ini disamping netral juga akomodatif, misalnya ada puji-
pujian (tradisi masjid NU) dan shalat tarwih 8 rakaat (yang biasa dilakukan oleh oang-orang Muhammadiyah). Masjid yang netral
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
289
dan akomodatif ini ternyata lebih banyak jama’ahnya,
dibandingkan dengan masjid NU dan Muhammadiyah yang ke tiga-tiganya berada di Perumahan Taman Pinang Sidoarjo. Karena masyarakat yang tidak mau terkotak-kotak dengan label NU maupun Muhammadiyah lebih memilih masjid yang netral. Di
masjid ini penceramahnya dari berbagai kalangan, antara lain dari NU, Muhammadiyah, PKS, dan ustadz/kyai dari perkampungan (kampung lama). Tetapi karena para penceramah sudah dibisiki oleh takmir terlebih dahulu bahwa jama’ahnya heterogen agar tidak membicarakan masalah khilafiyah/furuiyah, maka
ceramahnya pun tidak membicarakan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik sesama umat Islam (Wawancara dengan NR). Dengan demikian pengarahan materi khutbah sebenarnya dapat dilakukan oleh takmir masjid. Dengan kata lain, takmir masjid memiliki peran penting untuk mengarahkan materi ceramah
kearah yang kundusif terhadap kerukunan umat.
Sedangkan menurut Kb faktor-faktor yang mendorong
terciptanya kerukunan di Surabaya karena: 1) Di Kota Surabaya jumlah pengangguran tidak banyak seperti di kota-kota besar lain. Sehingga masyarakatnya tidak mudah dipengaruhi, berbeda dengan di kota lain dengan “iming-iming” 50 ribu rupiah orang
dengan mudah ikut demonstrasi. Di Surabaya tidak semudah itu mengajak warga untuk demonstrasi; 2) Selain tokoh-tokoh formal, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat di Surabaya iktu serta melakukan sosialisasi berkaitan dengan upaya pemeliharaan kerukunan. Misalnya, sosialisasi Perwali No. 58 Tahun 2007; 3)
Untuk meningkatkan kinerjanya FKUB Kota Surabaya sering melakukan studi banding ke daerah/kota lain, seperti Menado, Denpasar dan Singkawang. Selain itu FKUB setiap bulan melakukan sosialisasi tentang peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan; 4)
Kerukunan di Kota Surabaya dipelihara secara lebih komperhensif, misalnya para pelajar supaya tidak suka melakukan tawuran, sering adakan out bond yang diikuti oleh osis-osis dari beberapa sekolah. Demikian juga di kalangan ormas kepemudaan juga sering diadakan out bond sehingga di antara mereka dapat saling
mengenal dan akrab; 5) Dalam upaya antisipasi dini bagi terjadinya kerusuhan atau konflik Kesbanglinmas buka 24 jam, ada staf yang piket malam. Dengan demikian, kapan pun terjadi konflik Kesbanglinmas segera bisa melakukan koordinasi dengan
berbagai pihak untuk melakukan antisipasi dini (Wawancara dengan Kb).
Menurut keterangan NR, di dekat rumahnya selain ada masjid NU dan masjid Muhammadiyah ada masjid yang “netral”. Masjid ini disamping netral juga akomodatif, misalnya ada puji-
pujian (tradisi masjid NU) dan shalat tarwih 8 rakaat (yang biasa dilakukan oleh oang-orang Muhammadiyah). Masjid yang netral
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
290
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
291
Kesimpulan
Pada umumnya da’i di Kota Surabaya adalah sarjana S2
atau S3, jika ada sarjana S1 biasanya sudah senior. Dalam berdakwah kalangan NU menggunakan berbagai macam media, antara lain media konvensional (mimbar), radio, koran, bulletin, majalah dan TV; Sedangkan Muhammadiyah selain menggunakan media konvensional di mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim,
menggunakan media cetak berupa bulletin, yakni Ad Dakwah; majalah bulanan yang di dalamnya memuat materi dakwah; dulu pernah menggunkan radio, yakni Radio Komunitas. Model-model dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak hanya dakwah bil lisan saja, tetapi juga dakwah bil hal. Dakwah bil hal antara lain
dilakukan dalam bentuk santunan fakir miskin, bantuan modal usaha dan binaan pengusaha kecil; Sedangkan Persis selain menggunakan media konvensional, cenderung menggunkan media cetak (penerbitan buku), dulu pernah memiliki majalah.
Potensi konflik dalam dakwah antara masjid NU dan Muhamadiyah terdapat kecenderungan saling caci dalam masalah furuiyah, persaingan dalam penggunaan pengeras suara (sekarang
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
292
masjid Muhammadiyah menggunakan pengeras suara dalam).
Namun konflik ini terbatas pada masjid-masjid penggiran dan biasanya dilakukan oleh mubaligh-mubaligh pemula. Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah adanya saling membutuhkan dalam rekruitmen tenaga guru pada lembaga-
lembaga pendidikan yang dimiliki masing ormas. Dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan umat dan semakin luasnya pergaulan banyak orang yang secara kultural dan ubudiyah termasuk kategori “Munu”. Sedangkan antara Muhammadiyah dan Persis yang sering terjadi individu yang sama di satu sisi sebagai
orang Persis, di sisi lain pengurus Muhammadiyah.
Upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama antara, masalah-masalah yang menimbulkan konflik diselesaikan secara musyawarah, di kalangan NU menghadirkan kyai-kyai “sepuh” yang terkenal arif dan muderat,
atau melibatkan aparat sebagai penengah, seperti kasus masjid Muhammadiyah yang diduduki masyarakat karena digunakan ceramah oleh Abu Bakar Ba’asyir. Di kalangan Muhammadiyah yang puritan dalam mengajak umat agar tidak menyinggung yang lain lebih menggunakan kearifan lokal “keneko iwake ning aja nganti
buthek banyune” (bisa ketangkap ikannya tapi jangan sampai keruh airnya).
Saran-Saran:
Ormas-oramas Islam agar lebih meningkatkan kualitas dakwahnya, sehingga lebih bisa meningkatkat pengetahuan dan
wawasan umat dalam ilmu pengetahuan agama di samping dapat meningkatkan kesejahteraan umat.
Hendaknya ormas-ormas Islam dalam kegiatan dakwah menghari hal-hal yang cenderung menimbulkan konflik. Misalnya
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
293
membicarakan masyalah furu’iyah yang mengakibatkan umat
hanya berjalan di tempat. Sebaliknya lebih mendorong kepada kemajuan umat, lebih banyak membicarakan ajaran agama yang mendorong meningkatnya etos kerja umat.
Ulama-ulama senior terutama yang tergabung dalam MUI,
hendaknya lebih peka dalam mengantisipasi munculnya konflik dalam dakwah, serta lebih cepat menyelesaikannya. Kearifan lokal yang berisi pencegahan terhadap konflik dan mendorong kepada kerukunan hendaknya bisa digunakan sebagai acuan pelengkap, tentunya yang lebih utama adalah ajaran agama yang membawa
kepada kedamaian.
masjid Muhammadiyah menggunakan pengeras suara dalam).
Namun konflik ini terbatas pada masjid-masjid penggiran dan biasanya dilakukan oleh mubaligh-mubaligh pemula. Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah adanya saling membutuhkan dalam rekruitmen tenaga guru pada lembaga-
lembaga pendidikan yang dimiliki masing ormas. Dengan semakin tingginya tingkat pengetahuan umat dan semakin luasnya pergaulan banyak orang yang secara kultural dan ubudiyah termasuk kategori “Munu”. Sedangkan antara Muhammadiyah dan Persis yang sering terjadi individu yang sama di satu sisi sebagai
orang Persis, di sisi lain pengurus Muhammadiyah.
Upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama antara, masalah-masalah yang menimbulkan konflik diselesaikan secara musyawarah, di kalangan NU menghadirkan kyai-kyai “sepuh” yang terkenal arif dan muderat,
atau melibatkan aparat sebagai penengah, seperti kasus masjid Muhammadiyah yang diduduki masyarakat karena digunakan ceramah oleh Abu Bakar Ba’asyir. Di kalangan Muhammadiyah yang puritan dalam mengajak umat agar tidak menyinggung yang lain lebih menggunakan kearifan lokal “keneko iwake ning aja nganti
buthek banyune” (bisa ketangkap ikannya tapi jangan sampai keruh airnya).
Saran-Saran:
Ormas-oramas Islam agar lebih meningkatkan kualitas dakwahnya, sehingga lebih bisa meningkatkat pengetahuan dan
wawasan umat dalam ilmu pengetahuan agama di samping dapat meningkatkan kesejahteraan umat.
Hendaknya ormas-ormas Islam dalam kegiatan dakwah menghari hal-hal yang cenderung menimbulkan konflik. Misalnya
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
294
Dakwah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis
295
Anshari, K.H.M. Isa, Manifes Perjuangan Persatuan Islam. Bandung: Pusat Pimpinan Persis, 1958
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: 1998,Paramadina
bekerjasama dengan Yayasan Ibn Sina
Federspiel, Howard M., Persatuan Islam Islamic Reform in Twentieth
Century Indonesia. New York: Cornel Uviversity, 1970 .
Hassan, A., Soal Jawab (1-2-3-4). Bangil: 1996, ttp
Hassan, A. Qadir., Kata Berjawab (1-9). Bangil: Al-Muslimun.
Khalimi, Dr,MA, Ormas-Ormas Islam. Jakarta: Gaung Persada Perss, 2010.
Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya, Kumpulan Regulasi
Untuk Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, 2011.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Mughni, Syafiq, A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya: 1980, PT Bina Ilmu
Haidlor Ali Ahmad, Syamsul Bahri Ismail dan Adang Novandi
296
_______& Endang Saefuddin Anshari, A.Hassan Wajah dan
Wijhah Seorang Mujtahid. Bangil: al-Muslimun,1985.
M. Federspiel, Howard, Kajian Al-Qur’an di Indonesia Dari Mahmud
Yunus Hingga Quraish Shihab. Bandung: Mizan 1996
_______. Persatuan Islam Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. New York: Cornel Uviversity, 1970
Nidia Zuraya, “Ahmad Hassan, sang Guru Utama Persis”, Republika, Ahad, 26 September 2010.
Nottingham, Dr. Elizabeth K. Ph.D., “Agama dan Masyarakat” (terj.). Jakarta: Rajawali Press, 1990.
PP Persatuan Islam, Qanun Asasi Qanun Dakhili Persis, Bab I pasal 2. Bandung: PP PERSIS, 1991
Santosa, Kholid O., Ahmad Hassan dalam Manusia di Panggung
Sejarah Pemikiran dan Pergerakan Tokoh-tokoh Islam. Bandung: 2007
Saidi, Ridwan, Cendikiawan Islam Zaman Belanda. Jakarta:1990,
Yayasan Piranti Ilmu.
Saputra, Wahidin, Drs, MA, Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Sar’an, Eman, “40 Tahun Perjuangan Persatuan Islam”, Majalah
Risalah. Bandung: Pebruari 1964 hlm.9
Wildan, Dadan, Persis (Persatuan Islam) Dalam Pentas Sejarah Islam
Indonesia. Persis Bandung, (tanpa tahun).
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
297
_______& Endang Saefuddin Anshari, A.Hassan Wajah dan
Wijhah Seorang Mujtahid. Bangil: al-Muslimun,1985.
M. Federspiel, Howard, Kajian Al-Qur’an di Indonesia Dari Mahmud
Yunus Hingga Quraish Shihab. Bandung: Mizan 1996
_______. Persatuan Islam Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia. New York: Cornel Uviversity, 1970
Nidia Zuraya, “Ahmad Hassan, sang Guru Utama Persis”, Republika, Ahad, 26 September 2010.
Nottingham, Dr. Elizabeth K. Ph.D., “Agama dan Masyarakat” (terj.). Jakarta: Rajawali Press, 1990.
PP Persatuan Islam, Qanun Asasi Qanun Dakhili Persis, Bab I pasal 2. Bandung: PP PERSIS, 1991
Santosa, Kholid O., Ahmad Hassan dalam Manusia di Panggung
Sejarah Pemikiran dan Pergerakan Tokoh-tokoh Islam. Bandung: 2007
Saidi, Ridwan, Cendikiawan Islam Zaman Belanda. Jakarta:1990,
Yayasan Piranti Ilmu.
Saputra, Wahidin, Drs, MA, Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Sar’an, Eman, “40 Tahun Perjuangan Persatuan Islam”, Majalah
Risalah. Bandung: Pebruari 1964 hlm.9
Wildan, Dadan, Persis (Persatuan Islam) Dalam Pentas Sejarah Islam
Indonesia. Persis Bandung, (tanpa tahun).
DAKWAH AL-KHAIRAAT, NAHDLATUL ULAMA, DARUD DA’WAH WAL IRSYAD DAN MUHAMMADIYAH DI KOTA PALU, SULAWESI TENGAH
Oleh: Akmal Salim Ruhana
VI
Akmal Salim Ruhana
298
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
299
Latar Belakang
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan. Artinya, stabilitas keamanan dan ketentraman bangsa Indonesia serta pelaksanaan pembangunan nasional akan terganggu jika terjadi ketidak rukunan umat beragama. Sementara
itu, bagian terbesar dari penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karenanya, kerukunan di kalangan umat Islam menjadi bagian penting dan faktor yang sangat berpengaruh bagi terciptanya kerukunan nasional Indonesia. Jika umat Islam rukun maka setidaknya 88% penduduk Indonesia dalam suasana kondusif, dan
hal itu akan mewarnai keseluruhan kondisi bangsa Indonesia. Demikian juga sebaliknya.
Secara umum, kondisi kerukunan umat Islam di Indonesia berjalan baik. Budaya saling menghormati, silaturahmi, hingga kerjasama sosial terwujud dalam berbagai bidang kehidupan. Lebih
lagi, umat Islam memiliki konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) di samping konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan
Akmal Salim Ruhana
300
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid61, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.62
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
61 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
62 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
301
pendalaman ajaran agama melainkan sebagai upaya perekrutan
untuk penambahan keanggotaan kelompok tertentu.
Di sisi lain, dakwah Islam terus menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. Secara internal, dakwah Islam menghadapi (atau mengalami) variasi pemahaman keagamaan
yang berhadapan-diametral: liberal dan fundamental. Kalangan liberalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada sisi yang lebih bercorak rasional, longgar, dan permisif. Di sisi lain, kalangan fundamentalis memberi kecenderungan dakwah Islam pada suatu pemahaman yang kaku, literalis, dan kohersif bahkan dalam tingkat
tertentu menjadi cenderung radikal. Selain itu, dakwah mengalami tantangan internal yang bersifat klasik, yakni keterbatasan dana, sarana prasarana, dan daya jangkau wilayah. Dakwah bergerak dengan dana terbatas yang kemudian menjadi alasan terbatasnya aktivitas dan jangkauan wilayah dakwah. Yang tidak kalah penting,
dakwah juga menghadapi tantangan internal berupa kemandegan kaderisasi penyampai dakwah serta pergesekan antar kelompok umat, terutama terkait dinamika politik-praktis tertentu. Belum lagi kompetisi dakwah terjadi antara kalangan Islam mainstream dengan kelompok yang dinilai sempalan atau menyimpang yang terus
berkembang dan dinilai ‘menggerogoti’ umat dari dalam.
Secara eksternal, tantangan globalisasi dan modernisasi cukup mempengaruhi dakwah. Kedua hal ini dalam tingkat tertentu telah melalaikan (atau mematikan?) upaya dakwah. Arus teknologi informasi yang demikian dahsyat telah menumbuhkan budaya
masyarakat yang materialistik, hedonistik, atau bahkan bertendensi pendangkalan akidah hal-hal yang kontradiksi dengan misi utama dakwah. Selain itu, hal klasik, kreativitas dan agresivitas mission dan atau penyiaran agama lain, menjadi bagian dari tantangan eksternal
dakwah Islam.
sesama manusia). Bahkan di dalam kitab sucinya, Al-Quran,
ditegaskan berbagai hal yang mendorong kaum muslimin untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Hal-hal ini menjadi penguat terpeliharanya kondisi kerukunan umat beragama.
Namun demikian, potensi ketidak rukunan diketahui tetap
ada, atau bahkan sesekali termanifestasi. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, di masa lalu terjadi gesekan intern umat Islam terkait persoalan khilafiyah tertentu, mulai dari qunut atau tidak qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, hingga soal perlu tidaknya
perayaan Maulid Nabi. Contoh lain, adanya perebutan (saling klaim) umat, perebutan otoritas penguasaan masjid61, hingga pergesekan umat sebagai akibat kontestasi dan kompetisi dalam panggung politik praktis tertentu.62
Jika dirunut, potensi ketidak rukunan ini antara lain
berhubungan dengan upaya dakwah agama, baik yang dilakukan oleh suatu ormas keagamaan ataupun individu tertentu. Bahwa dakwah agama Islam yang bermaksud memberikan pencerahan dan pengajaran tentang ajaran-ajaran agama Islam, di lapangan tidak jarang dimaknai sebagai diseminasi pengaruh untuk kepen-
tingan tertentu. Dakwah disalah persepsi bukan lagi sebagai upaya
61 Lebih jauh, menarik menyimak pergulatan di tubuh Muhammadiyah tentang
keresahan sebagian kadernya karena pengaruh gerakan Islam tertentu yang mulai mengerogoti Muhammadiyah, termasuk ‘terrebutnya’ sejumlah masjid milik Muhammadiyah. Baca selengkapnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009, hlm. 176-189.
62 Sistem multipartai menyebabkan banyaknya partai Islam peserta Pemilu. Hal ini, dalam kondisi tertentu, telah memecah suara dan aspirasi umat Islam. Ironisnya, yang terjadi adalah proses saling berebut konstituen yang sama (umat Islam) di kalangan partai-partai Islam yang notabene tidak cukup ‘laku’ dan selalu kalah. Lihat artikel Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI, yang menggambarkan ‘kanibalisme’ antar sesama partai politik Islam, berjudul “Partai Politik Islam: Memakan Teman Sendiri” dalam http://www. burhanuddin-
muhtadi.com/?p=24, diunduh 9 Mei 2011.
Akmal Salim Ruhana
302
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.63 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada 33 Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada 417 Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada 3.221 Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada 8.107 Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan
63 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdl-atul_Ulama
diunduh 9 Mei 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
303
Jamaah Muhammadiyah.64 Ormas Islam lainnya yang jumlahnya
ratusan juga memiliki jaringan dakwah masing-masing yang luas meski masih terbatas.65 Bahkan, di samping sejumlah ormas tersebut, terdapat sejumlah kelompok gerakan dakwah Islam yang bersifat non-ormas tetapi memiliki pengaruh dan aktivitas dakwah
yang cukup signifikan juga di masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah gerakan dakwah Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah aliran tarekat. Maka kontestasi dan kompetisi dakwah di tengah masyarakat muslim Indonesia kian semarak. Para pelaku dakwah melakukan beragam
gerakan dakwah, baik gerakan pemikiran maupun gerakan praksis-organisasional, dalam kancah dakwah yang sama. Adu wacana hingga beberapa gesekan tidak jarang terjadi. Maka pada titik inilah, penting untuk melihat peran dan interaksi diantara beragam pelaku dakwah Islam dalam melakukan dakwahnya terutama dalam kaitan
pemeliharaan kerukunan intern umat beragama (Islam).
Dalam konteks Sulawesi Tengah, gerakan keagamaan yang menonjol peran dan interaksinya antara lain Alkhairaat, Nahdlatul Ulama (NU), Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI), dan Muhammadiyah. Di samping empat itu, terdapat pula kelompok Salafi, Wahdah
Islamiyah, LDII, Jamaah Tabligh, HTI, DDII, dan Ahmadiyah.
Permasalahan
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian
64 Informasi dari http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-45-det-jaringan-
muhammadiyah.html diunduh 9 Mei 2011. 65 Jumlah ormas/LSM Islam pada 2009 yang terdata pada Direktorat Penerangan
Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama adalah 1.185 buah lembaga, dengan 60 diantaranya merupakan kepengurusan/kepemimpinan ormas di tingkat pusat. Lihat Bimas Islam Dalam
Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
Tantangan internal dan eksternal tersebut di atas sejatinya
menjadi bahan introspeksi reflektif terhadap manajemen dakwah Islam: apakah gerakan dakwah Islam telah berjalan efektif dan integratif. Jawaban atas pertanyaan ini dapat bermanfaat untuk melihat sukses tidaknya dakwah Islam dilakukan selama ini. Namun
khusus terkait penelitian ini, titik tekannya lebih dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Bahwa gerakan dakwah Islam (baca: para pelaku dakwah Islam) melakukan perannya dan berhubungan dengan berbagai pihak dalam upaya dakwahnya dengan tetap memelihara kerukunan, baik intern
maupun ekstern umat beragama di Indonesia.
Pada praktiknya, dakwah Islam dilakukan oleh para pelaku dakwah melalui sejumlah lembaga/ormas keagamaan ataupun secara individual. Meski dalam beberapa kasus dakwah individual cukup berperan, namun dakwah melalui lembaga biasanya lebih
luas jangkauannya karena tersedianya perangkat organisasi yang massif dan terstruktur, dari pusat ke daerah. Ormas Nahdlatul Ulama, misalnya, memiliki jaringan dakwah dari tingkat pusat hingga daerah yang cukup banyak. Selain ada Pengurus Besar di tingkat pusat, terdapat 33 Pengurus Wilayah di tingkat propinsi, 439
Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota dan 15 Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 5.450 Pengurus Majelis Wakil Cabang/MWC di tingkat Kecamatan, dan 47.125 Pengurus Ranting di tingkat Desa/Kelurahan.63 Demikian juga Muhammadiyah, di tingkat pusat ada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di tingkat
provinsi ada 33 Pimpinan Wilayah, di tingkat kabupaten/kota ada 417 Pimpinan Daerah, di tingkat kecamatan ada 3.221 Pimpinan Cabang, dan di tingkat desa ada 8.107 Pimpinan Ranting, serta terdapat sejumlah kelompok non struktural yang dinamakan
63 Data hingga akhir 2000, dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdl-atul_Ulama
diunduh 9 Mei 2011.
Akmal Salim Ruhana
304
sebagai berikut: (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah
dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng? (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut? (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut. (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan
mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu.
Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan
organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
305
kesamaan agama Islam, seperti: NU, Muhammadiyah, Alkhairaat,
PERSIS, PERTI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Dalam konteks penelitian ini, tercakup pula kelompok/gerakan keagamaan yang non-ormas, seperti Salafi dan Jamaah Tabligh.
Sedangkan kerukunan umat beragama, sebagaimana
didefinisikan di dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kerangka Konseptual
Dakwah secara bahasa berarti upaya mengajak (ud’uu, ajaklah). Bentuknya bisa bermacam ragam: performa yang menarik,
konsep pemikiran yang logis-menjanjikan, strategi yang menentramkan, dan lain sebagainya. Bisa dalam bentuk lisan, tulisan, ataupun sikap. Anasir dakwah sendiri meliputi: pendakwah (da’i), yang didakwahi (mad’u), pesan dakwah (maddah), metode dakwah (thariqoh), media dakwah (wasilah), dan efek dakwah
(atsar). Unsur-unsur seperti inilah yang hendak diwakili kata ‘profil’ dalam penelitian ini. Bahwa pengenalan (identification) dan pemahaman (comprehension) pada identitas para pelaku dakwah
penting untuk memberikan latar atas asumsi-asumsi atau sikap yang dimanifestasikannya dalam konteks hubungan antar umat beragama. Telah banyak teori yang menunjukkan adanya kaitan antara pemahaman keagamaan (religious thought) dengan sikap
manifest keberagamaan, misalnya. Demikian juga, ada kaitan erat
sebagai berikut: (1) Bagaimana profil dan peran pelaku dakwah
dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng? (2) Apa saja potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut? (3) Bagaimana upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui profil dan peran pelaku dakwah dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulteng. (2) Mengetahui berbagai potensi konflik dan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah tersebut. (3) Mengetahui upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Definisi Operasional
Gerakan (movement) berarti usaha atau kegiatan yang memiliki arah tertentu. Adapun dakwah diartikan sebagai penyiaran/propaganda agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; serta seruan untuk memeluk, mempelajari, dan
mengamalkan ajaran agama (Islam). Sedangkan gerakan dakwah berarti usaha yang terarah untuk menyiarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Dalam konteks ini, dakwah dapat berupa penyiaran pemikiran keagamaan atau kegiatan praksis penyebaran paham keagamaan tertentu.
Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan
organisasi sayap partai politik. Dengan demikian, ormas Islam berarti organisasi nonpemerintah yang dibentuk berdasarkan
Akmal Salim Ruhana
306
antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan
karakter sikap anggotanya.
Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan
(comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan
antarumat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antarumat beragama.
Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take
and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu,
secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara
itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidakrukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah,
mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
307
Secara praktis, penelitian ini membagi pihak-pihak pelaku
dakwah setidaknya pada tiga kategori/pihak ormas atau gerakan keagamaan yang diteliti di Kota Palu, yakni: 1) Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai dominan di Kota Palu, yakni Alkhairaat; 2. Ormas atau gerakan keagamaan yang dinilai berpotensi
bergesekan/berkonflik dengan ormas dominan atau gerakan keagamaan itu, dalam hal ini Muhammadiyah; dan 3. Ormas atau gerakan keagamaan yang relatif memiliki potensi integratif/damai dengan ormas atau gerakan keagamaan yang dominan itu, dalam hal ini Nahdlatul Ulama dan Darud Da’wah wal Irsyad. Selain itu,
dilihat pula peranan gerakan dakwah lainnya seperti Salafi dan LDII. Berikut skemanya:
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang gerakan dakwah Islam telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Quintan Wiktorowicz dalam buku yang dieditorinya Islamic
Activism: A Social Movement Theory Approach66 , sesuai judulnya,
memberi gambaran tentang kasus-kasus gerakan keagamaan Islam di berbagai negara dengan pendekatan teori gerakan sosial. Yang menarik, kajian ini mendefinisikan aktivisme Islam
66 Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, USA:
Indiana University Press, 2004.
Pelaku Dakwah 1:
Alkhairaat a. Profil, b. Peran, c.
Pelaku Dakwah 2:
Muhammadiyah a. Profil, b. Peran, c.
Pelaku Dakwah 3: NU
dan DDI a. Profil, b. Peran, c.
antara pengaruh figur tokoh kelompok pelaku dakwah dengan
karakter sikap anggotanya.
Masih termasuk kategori profil di atas, peran pelaku dakwah juga penting dilihat. Peran berarti sikap atau ekspresi nyata dari dakwah: seperti apa dakwah dilakukan. Dengan asumsi keutuhan
(comprehensiveness) peran dakwah, maka yang hendak dilihat adalah segala aspek peran dakwah dalam ranah-ranah yang luas, yakni: politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Pemahaman atas peran-peran dakwah dalam beragam ranah ini juga dapat memberi konteks pada sikap-sikap pelaku dakwah dalam hubungan
antarumat beragama. Secara teoritik, suatu gejala sosial pasti dipengaruhi lebih dari satu faktor, alias banyak faktor. Maka pengayaan ranah semacam ini sejatinya akan sangat membantu memahami suatu gejala tertentu yang hendak diketahui, yakni perihal hubungan antarumat beragama.
Karena dakwah sifatnya mengajak, apalagi menjadi sebuah ‘gerakan’dakwah, maka hal ini meniscayakan adanya interaksi (take
and give, collaborative, atau justeru konflik) dengan pihak-pihak lain, baik yang didakwahi maupun pelaku dakwah lainnya. Selain itu,
secara substansial, interaksi juga terjadi antara da’i dengan sasaran dakwah (mauidzatul hasanah atau mujadalah), da’i dengan media dakwah (bil lisan, bil hal, atau bil qolam), dan da’i dengan pesan dakwah (sumber, pola memahami ajaran, dan ekspresi). Sementara
itu, yang didakwahi adalah komunitas yang sama (umat Islam), dan yang menjadi pelaku dakwah adalah kelompok-kelompok gerakan dakwah yang memiliki profil dan peran yang beragam. Maka potensi adanya ketidakrukunan diasumsikan (atau diyakini) ada. Artinya, aktivitas dakwah dan interaksi antar pelaku dakwah,
mengandung potensi konflik dan/atau potensi integrasi sebagai efek atau atsar dari dakwah.
Akmal Salim Ruhana
308
(gerakan islam?) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas
atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok
spiritual.
2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,67 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi-radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat
muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi-radikal itu ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan
ideologi Islam yang moderat dan toleran.
3) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam:
Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,68 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi
sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya.
4) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas
67 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004. 68 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
309
Islam lokal dipaparkan di buku Ilusi Negara Islam69 yang dieditori
KH. Abdurrahman Wahid. Salahsatu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa sejumlah gerakan keagamaan memiliki hubungan dengan gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menganut ideologi totalitarian-sentralistik.
Berbeda dengan kajian dan penelitian di atas, penelitian kali ini merupakan upaya pendalaman terhadap profil, peran, dan hubungan ormas-ormas Islam dan atau gerakan keagamaan lainnya dalam kaitannya dengan pemeliharaan kerukunan intern umat Islam di Indonesia. Lebih khas lagi, karena konteksnya Kota Palu,
Sulawesi Tengah. Sesuatu yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu tersebut di atas.
Metode Penelitian
Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, pengamatan lapangan, dan wawancara-mendalam. Bahan pustaka (termasuk beberapa bahan dari dunia maya) tentang
gerakan dakwah, ormas, dan tema terkait lainnya menjadi sumber awal yang memandu proses pengumpulan data melalui wawancara. Pengamatan dilakukan dengan mendatangi langsung kantor pengurus atau pusat perkumpulannya. Adapun wawancara dilakukan dengan sejumlah informan kunci, yakni: Drs. Jamaluddin
Mariajang, M.Si. (Sekjen PB Alkhairaat), Ahmadan (Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam Alkhairaat), Drs. KH. M. Dahlan Tangkaderi (Anggota Dewan Pembina Alkhairaat sekaligus Ketua
69 KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009. Bandingkan dengan kajian serupa yang dilakukan oleh Greg Barton dengan horizon yang lebih luas, dalam Barry Rubin (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010, hlm 133-148.
(gerakan islam?) secara lebar, tidak hanya pada sesuatu ormas
atau gerakan terorganisir tertentu, melainkan juga pada kelompok pendemo ‘berbendera’ Islam, aksi yang membawa simbol atau identitas Islam, kelompok teroris, kelompok yang hendak mendirikan negara Islam, dan termasuk kelompok
spiritual.
2) Melalui kajian dalam Gerakan Salafi Radikal di Indonesia,67 Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.) memetakan empat gerakan Islam yang dikategorikan salafi-radikal (FPI, Laskar Jihad, MMI, dan HTI), dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat
muslim Indonesia. Di bagian akhir, sebagai bagian tak terpisahkan, disertakan hasil penelitian PPIM tentang Islam dan Konsolidasi Demokrasi. Temuan penting penelitian ini menunjukkan bahwa meski fenomena gerakan salafi-radikal itu ada di Indonesia, namun mayoritas muslim masih setia dengan
ideologi Islam yang moderat dan toleran.
3) Dr. Khalimi, MA mendaftar dan memberi informasi tentang profil dan aktivitas sejumlah penggiat dakwah, tepatnya 15 ormas Islam. Dalam bukunya berjudul Ormas-ormas Islam:
Sejarah, Akar Teologi dan Politik ini,68 Khalimi menunjukkan adanya ragam karakter ormas Islam yang tetap harus dipandang sebagai rahmat. Kajian kompilatif ini tidak banyak memberi perspektif selain menginformasikan identitas dan posisi
sejumlah ormas yang notabene cukup dikenal sebagiannya karena sifat kontroversialnya.
4) Kajian penting tentang pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional di Indonesia dalam hubungannya dengan ormas
67 Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004. 68 Dr. Khalimi, MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Akmal Salim Ruhana
310
FKUB Provinsi Sulawesi Tengah), Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM
(Ketua PWNU Sulawesi Tengah dan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah), Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd. (Ketua DDI Palu), Drs. H. Baqir Tora, MH. (Sekretaris PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah), Drs. Aminun P. Omolo, M.Ag. (Rektor Universitas
Muhammadiyah Palu), Abdul Hadid (Purek I Unismuh Palu), Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I (Sekretaris PD Muhammadiyah Palu), Drs. Arsyad Said, SH, MH. (Sekretaris MUI Sulawesi Tengah), Muhammad (Ustad pada Pesantren Salafi), Iwan (anggota LDII Palu), Muslimin (Kasi Pontren dan Penamas Kanwil Kemenag Sulawesi
Tengah), Drs. H. Abdullah Latupada, M.Pd.I (Kepala Kankemenag Kota Palu), dan M. Jen Ismail (Kabag. Pontren dan Penamas Kankemenag Kota Palu).
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi sumber dengan cara pemeriksaan informasi melalui informan-informan kunci yang diwawancarai.
Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah,
dengan masa pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama 10 hari, yakni 21-30 September 2011. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan adanya kekhasan karakter masyarakat dan pola dakwah Islam yang dilakukan. Seperti diketahui, di Kota Palu terdapat suatu gerakan keagamaan Islam
yang khas dan dominan, yakni Al-Khairaat.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
311
Gambaran Geografis-Demografis
Palu adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Satu kota dari 11 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah. Palu terletak di antara 0°36” - 0°56” Lintang Selatan dan
119°45 - 121°1” Bujur Timur, tepat berada di bawah garis khatulistiwa, dengan ketinggian 0 - 700 meter dari permukaan laut. Secara administratif, batas-batas wilayahnya adalah: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanantovea Kab. Donggala; Kecamatan Binangga di Sebelah Selatan, Kecamatan Biromeru di
Sebelah Timur, dan Bandara Mutiara di Sebelah Barat.
Dengan jumlah penduduk 336.532 jiwa dan luas wilayah Kota Palu sebanyak 395,06 km², maka kepadatan penduduk Kota Palu pada akhir tahun 2010 tercatat 852 jiwa/km². Palu Selatan merupakan kecamatan yang terpadat, sedangkan Palu Timur yang
terjarang penduduknya. Keadaan populasi penduduk cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Selengkapnya, berikut gambaran luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di Kota Palu.
FKUB Provinsi Sulawesi Tengah), Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM
(Ketua PWNU Sulawesi Tengah dan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah), Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd. (Ketua DDI Palu), Drs. H. Baqir Tora, MH. (Sekretaris PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah), Drs. Aminun P. Omolo, M.Ag. (Rektor Universitas
Muhammadiyah Palu), Abdul Hadid (Purek I Unismuh Palu), Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I (Sekretaris PD Muhammadiyah Palu), Drs. Arsyad Said, SH, MH. (Sekretaris MUI Sulawesi Tengah), Muhammad (Ustad pada Pesantren Salafi), Iwan (anggota LDII Palu), Muslimin (Kasi Pontren dan Penamas Kanwil Kemenag Sulawesi
Tengah), Drs. H. Abdullah Latupada, M.Pd.I (Kepala Kankemenag Kota Palu), dan M. Jen Ismail (Kabag. Pontren dan Penamas Kankemenag Kota Palu).
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi sumber dengan cara pemeriksaan informasi melalui informan-informan kunci yang diwawancarai.
Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah,
dengan masa pengumpulan data lapangan dilaksanakan selama 10 hari, yakni 21-30 September 2011. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan adanya kekhasan karakter masyarakat dan pola dakwah Islam yang dilakukan. Seperti diketahui, di Kota Palu terdapat suatu gerakan keagamaan Islam
yang khas dan dominan, yakni Al-Khairaat.
Akmal Salim Ruhana
312
Tabel 1
Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk menurut
Kecamatan Kota Palu Tahun 2006-2010
No Kecamatan Luas (km2) Jumlah Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Palu Barat 57,47 98.739 1.718
2 Palu Selatan 61,35 122.752 2.001
3 Palu Timur 186,55 75.967 407
4 Palu Utara 89,69 39.074 436
Kota Palu
2010
395,06 336.532 852
Sumber : Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya
Secara umum, penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu: Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan atau Loinang, Balantak, Mamasa, Taa, Bare'e,
Banggai, Buol, Tolitoli, Tomini, Dampal, Dondo, Pendau, dan Dampelas. Di samping 19 kelompok etnis ini, terdapat pula beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Selain penduduk asli,
Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Sedangkan di Kota Palu sendiri, sebagai sebuah ibukota, dihuni berbagai etnis/suku
tersebut. Mereka terutama etnis Kaili, selain itu Jawa, Kulawi, Pamona, Banggai, Tionghoa, dan lain-lain.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
313
Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22
bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang
lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
bahasa pengantar sehari-hari. Demikian halnya di Kota Palu. Adapun
etnis dan budaya Kaili menjadi yang dominan di Kota Palu.
Secara ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Palu
dengan estimasi tahun 2011 mencapai Rp. 422.397.157.000,-
Sedangkan pendapatan regional perkapitanya terus meningkat,
dengan Rp 10.429.377,- pada 2006 meningkat menjadi Rp
11.803.268,- pada 2007. Sedangkan pada 2008 mencapai Rp
14.175.697,- yang kembali mengalami peningkatan pada 2009
menjadi Rp 16.023.983,- Adapun pekerjaan penduduk cukup
beragam, mulai dari pedagang, petani, guru, Pegawai Negeri Sipil,
hingga wiraswasta.
Data mengenai lulusan pendidikan di Kota Palu
menunjukkan angka partisipasi yang cukup. Setidaknya tergambar
dari data murid sekolah di lingkungan Kementerian Agama Kota
Palu. Tercatat ada 647 murid Raudhatul Atfal, 2.664 murid Madrasah
Ibtidaiyah, 3.856 murid Madrasah Tsanawiyah, dan 1.607 murid
Madrasah Aliyah. Demikian juga di sekolah umum, tercatat ada
6.137 murid TK, 40.820 murid SD, 14.547 murid SLTP dan 9.731
murid SLTA. Adapun data jumlah alumni perguruan tinggi (BPS
2011), tergambar sebagai berikut:
Tabel 1
Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk menurut
Kecamatan Kota Palu Tahun 2006-2010
No Kecamatan Luas (km2) Jumlah Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Palu Barat 57,47 98.739 1.718
2 Palu Selatan 61,35 122.752 2.001
3 Palu Timur 186,55 75.967 407
4 Palu Utara 89,69 39.074 436
Kota Palu
2010
395,06 336.532 852
Sumber : Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Kondisi Sosial-Ekonomi-Budaya
Secara umum, penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu: Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan atau Loinang, Balantak, Mamasa, Taa, Bare'e,
Banggai, Buol, Tolitoli, Tomini, Dampal, Dondo, Pendau, dan Dampelas. Di samping 19 kelompok etnis ini, terdapat pula beberapa suku yang hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea dan Suku Ta' di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Selain penduduk asli,
Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Sedangkan di Kota Palu sendiri, sebagai sebuah ibukota, dihuni berbagai etnis/suku
tersebut. Mereka terutama etnis Kaili, selain itu Jawa, Kulawi, Pamona, Banggai, Tionghoa, dan lain-lain.
Akmal Salim Ruhana
314
Tabel 2
Jumlah Mahasiswa Baru dan Lulusan Perguruan Tinggi
(TA 2010-2011)
No Nama Kampus
Jumlah
Mahasiswa
Baru
Jumlah
Mahasiswa
Jumlah
Alumni
Jumlah
Dosen
Negeri
1 Universitas Tadulako 6.665 20.331 3.319 1.207 2 STAIN Dato Karama 490 1.638 346 186 Swasta
1 Universitas Muhammadiyah Palu
1.115 - 5.209 -
2 Sekolah Tinggi Panca Bakti
541 537 2.329 68
3 STISIPOL Panca Bakti 405 799 1.648 54 4 Sekolah Tinggi Panca
Marga 328 678 52 32
5 STIA Pembangunan 357 710 148 45 6 Universitas Alkhairaat
(Unisa) 882 7.616 323 386
Kondisi Kehidupan Keagamaan
Informasi mengenai kehidupan keagamaan diantaranya ditunjukkan oleh jumlah pemeluk agama, jumlah rumah ibadat, dan jumlah kasus keagamaan yang muncul di tempat bersangkutan. Selain itu, jumlah rohaniawan agama dan ormas keagamaan yang
ada juga penting menjadi pengetahuan.
Mengenai jumlah pemeluk agama, mayoritas penduduk Kota Palu beragama Islam, yakni mencapai 87,84%. Selanjutnya secara berurutan, Kristen 9,46%, Katolik 1,46%, Hindu 0,78%, dan Buddha 0,45%. Selengkapnya berikut data jumlah pemeluk agama
di Kota Palu, berdasarkan hasil Sensus BPS tahun 2010.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
315
Tabel 3
Presentase Penduduk menurut Agama dan Kecamatan
Kota Palu Tahun 2006-2010
No Kecamatan Jumlah Pemeluk Agama… (%)
Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Khonghc
1 Palu Barat 93,20 3,17 2,43 0,43 0,78 0
2 Palu Selatan 76,34 20,09 1,51 1,48 0,58 0
3 Palu Timur 95,16 4,16 0,43 0,19 0,05 0
4 Palu Utara 96,85 1,61 0,94 0,56 0,04 0
Kota Palu
2010
87,84 9,46 1,46 0,78 0,45 0
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Data pemeluk agama dari Kementerian Agama Kota Palu menunjukkan hal berbeda, yakni: terdapat 199.284 penganut agama Islam (77%), 37.670 penganut agama Kristen (15%), 8.279 penganut agama Katolik (3,2%), 4.577 penganut agama Hindu (1,8%), dan 7.876 penganut agama Buddha (3%). Adapun data
pemeluk agama Khonghucu belum tersedia. (Sumber: Data pada Kasi Penamas Kementerian Agama Kota Palu Tahun 2011).
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah ibadat, terdapat sejumlah tempat peribadatan di Kota Palu, sebagai berikut:
Tabel 4
Jumlah Tempat Peribadatan menurut Agama
Kota Palu Tahun 2006-2010
No Kecamatan Islam
Kristen Katolik Hindu Buddha Khonghc Masjid Mush Langgr
1 Palu Barat 123 39 - 5 - - 3 -
2 Palu Selatan 118 8 - 57 2 1 1 -
3 Palu Timur 58 11 - 9 - 1 - -
4 Palu Utara 48 6 - 3 - - - -
Kt. Palu
2010
347 64 - 74 2 2 4 -
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Tabel 2
Jumlah Mahasiswa Baru dan Lulusan Perguruan Tinggi
(TA 2010-2011)
No Nama Kampus
Jumlah
Mahasiswa
Baru
Jumlah
Mahasiswa
Jumlah
Alumni
Jumlah
Dosen
Negeri
1 Universitas Tadulako 6.665 20.331 3.319 1.207 2 STAIN Dato Karama 490 1.638 346 186 Swasta
1 Universitas Muhammadiyah Palu
1.115 - 5.209 -
2 Sekolah Tinggi Panca Bakti
541 537 2.329 68
3 STISIPOL Panca Bakti 405 799 1.648 54 4 Sekolah Tinggi Panca
Marga 328 678 52 32
5 STIA Pembangunan 357 710 148 45 6 Universitas Alkhairaat
(Unisa) 882 7.616 323 386
Kondisi Kehidupan Keagamaan
Informasi mengenai kehidupan keagamaan diantaranya ditunjukkan oleh jumlah pemeluk agama, jumlah rumah ibadat, dan jumlah kasus keagamaan yang muncul di tempat bersangkutan. Selain itu, jumlah rohaniawan agama dan ormas keagamaan yang
ada juga penting menjadi pengetahuan.
Mengenai jumlah pemeluk agama, mayoritas penduduk Kota Palu beragama Islam, yakni mencapai 87,84%. Selanjutnya secara berurutan, Kristen 9,46%, Katolik 1,46%, Hindu 0,78%, dan Buddha 0,45%. Selengkapnya berikut data jumlah pemeluk agama
di Kota Palu, berdasarkan hasil Sensus BPS tahun 2010.
Akmal Salim Ruhana
316
Angka yang berbeda, khusus untuk Muslim misalnya, ditunjukkan oleh data jumlah rumah ibadat umat Islam pada Kantor Kementerian Agama Kota Palu. Disebutkan bahwa di Kota Palu terdapat 1 masjid agung, 1 masjid raya, 306 masjid jami’, 71 langgar/mushola, dan berarti secara keseluruhan berjumlah 379 buah. Berbeda dengan data BPS di atas.
Jumlah rohaniawan agama tahun 2006-2012 dari semua jenis agama (kecuali Khonghucu, yang juga belum didapatkan datanya) dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5
Banyaknya Rohaniawan menurut Agama
Kota Palu Tahun 2006-2010
No Jenis
Rohaniwan
Banyaknya Rohaniwan
2006 2007 2008 2009 2010
Islam 1 Ulama 500 500 503 612 620 2 Mubaligh 226 226 231 325 328 3 Khatib 536 536 540 553 556 4 Penyuluh 104 90 559 315 306
Kristen 1 Pendeta 114 114 156 158 158 2 Pendeta Muda 78 78 108 108 108
Katolik 1 Pastor 3 2 5 5 3 2 Suster 6 6 5 6 4 3 Frater/Bruder 4 4 6 5 6
Hindu 1 Pemangku 2 3 3 3 - 2 Pinandita 4 - - - - 3 Pedanda 2 - - - -
Buddha 1 Bhikku - - - - 3 2 Samanera - - - - 1 3 Pandita 3 10 40 49 80
Khonghucu 1 - - - - - -
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
317
Terdapat empat ormas keagamaan Islam yang cukup besar
dan berperan, yakni: Alkhairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad, dan Muhammadiyah. Selain itu, terdapat kelompok-kelompok lainnya meski tidak dalam jumlah dan peranan yang menonjol.
Angka yang berbeda, khusus untuk Muslim misalnya, ditunjukkan oleh data jumlah rumah ibadat umat Islam pada Kantor Kementerian Agama Kota Palu. Disebutkan bahwa di Kota Palu terdapat 1 masjid agung, 1 masjid raya, 306 masjid jami’, 71 langgar/mushola, dan berarti secara keseluruhan berjumlah 379 buah. Berbeda dengan data BPS di atas.
Jumlah rohaniawan agama tahun 2006-2012 dari semua jenis agama (kecuali Khonghucu, yang juga belum didapatkan datanya) dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5
Banyaknya Rohaniawan menurut Agama
Kota Palu Tahun 2006-2010
No Jenis
Rohaniwan
Banyaknya Rohaniwan
2006 2007 2008 2009 2010
Islam 1 Ulama 500 500 503 612 620 2 Mubaligh 226 226 231 325 328 3 Khatib 536 536 540 553 556 4 Penyuluh 104 90 559 315 306
Kristen 1 Pendeta 114 114 156 158 158 2 Pendeta Muda 78 78 108 108 108
Katolik 1 Pastor 3 2 5 5 3 2 Suster 6 6 5 6 4 3 Frater/Bruder 4 4 6 5 6
Hindu 1 Pemangku 2 3 3 3 - 2 Pinandita 4 - - - - 3 Pedanda 2 - - - -
Buddha 1 Bhikku - - - - 3 2 Samanera - - - - 1 3 Pandita 3 10 40 49 80
Khonghucu 1 - - - - - -
Sumber: Kota Palu Dalam Angka 2011, BPS Kota Palu
Akmal Salim Ruhana
318
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
319
Profil Keorganisasian Ormas/Gerakan Keagamaan
Sebagaimana disebutkan di atas, ada empat ormas atau gerakan keagamaan utama yang menjadi fokus kajian penelitian ini
di samping beberapa ormas atau gerakan lainnya. Keempatnya adalah Alkhairaat, NU, Darud Da’wah wal Irsyad, dan Muhammadiyah. Berikut masing-masing profilnya.
D. Alkhairaat
Gerakan keagamaan Alkhairaat berawal dari sebuah
madrasah di Palu, Sulawesi Tengah, yang didirikan oleh Habib Idrus bin Salim Aldjufri (biasa dipanggil Guru Tua) pada 14 Muharram 1349 Hijriah, bertepatan 11 Juni 1930 Masehi. Lembaga pendidikan ini terus berkembang pesat di kota-kota dan kampung-kampung. Lama kelamaan madrasah ini menjadi ormas dan gerakan
keagamaan tersendiri yang established dan mempengaruhi hampir seluruh bagian Timur Indonesia, dan daerah lainnya.
Akmal Salim Ruhana
320
Ditegaskan di dalam anggaran dasarnya, Perhimpunan
Alkhairaat bersifat amaliah dan independen. Berkedudukan pusat di Palu, Sulawesi Tengah. Alkhairaat berazaskan Islam dan berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dengan berfaham Asy’ariyah dan bermadzhab Syafii. Dengan demikian, secara paham keagamaan
(akidah dan ubudiyah), Alkhairaat hampir sama atau bahkan sama sekali tidak berbeda dengan Nahdlatul Ulama atau kelompok Ahlussunnah wal Jamaah lainnya. Bedanya pada penegasan bermadzhab Syafii itu. Bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah Alkhairaat hanya ajaran bermadzhab Syafii, madzhab lainnya tidak
diajarkan. Selain itu, bagi Alkhairaat, bahasa Arab merupakan hal yang penting.70
Alkhairaat bertujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas, arif, bijaksana, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan agama, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia guna terwujudnya masyarakat yang aman, adil, dan makmur yang diridhai Allah swt. Untuk tujuan ini dilakukan usaha pengembangan pendidikan, pembentukan kader da’i, dan pengembangan usaha sosial.
Saat ini Alkhairaat dipimpin oleh H.S. Ali Muhammad Aljufri
dengan Sekretaris Jenderal Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si. Berikut selengkapnya susunan pengurus Pengurus Besar Alkhairaat masa khidmat 2008 - 2013.
Ketua Umum : H.S. Ali Muhammad Aljufri
Ketua : Drs. Sofyan Ing; Drs. Adjimin Ponulele; Prof. Dr.
Hj. Huzaemah T. Yanggo, H.S. Shaleh Muhammad Aldjufri, Lc. MA; Drs. H. Mohsen Alidrus, MM; Drs. H. Husen Habibu, M.HI; Drs. H. Zainal Abidin,
70 Hal-hal pembeda Alkhairaat dari lainnya ini disampaikan Sekjen Alkhairaat,
wawancara 26 September 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
321
M.Ag.; H. Hamdan Rampadio, SH, MH; Drs. H.
Abdullah Latopada, M. Pd.I; KH. Yahya Alamri, S.HI; dan Drs. Ridwan Yalijama, MA
Sekretaris : Jenderal: Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si
Wakil Sekjen : Drs. Muhtadin Dg. Mustafa, M.Hi; Sofyan
Bachmid, SPd, MM; Sy. Ragwan Ahmad Aljufri, SHI, MH; dan Syaifullah Tompo
Bendahara Umum: H. Hasyim Hadado, dengan wakilnya: Saiful Jibran BA; dan Fathum Alhabsyi
Majelis Pendidikan, Ketua: H.S. Alwi Saggaf Aljufri, Lc dan Sekretaris:
Dr. Khairan
Majelis Dakwah , Ketua : KH Mansur Baba, Lc; dan Sekretaris: Abdurrahman Mochsen, S.HI
Majelis Organisasi, Ketua: H. Farid Djavar Nasar, SH; dan Sekretaris: Faisal Attamimi, S.Ag, M.Fil.I
Adapun anggota Dewan Ulama Alkhairaat masa khidmat 2008-2013, adalah sebagai berikut:
Ketua : Dr. KH.S. Salim Saggaf Aldjufri, MA (Sekarang menjabat Menteri Sosial RI)
Wakil Ketua : Drs. Dahlan Tangkaderi; KH.S. Mohsen Ali
Alhabsyi, Lc; dan KH. Mohammad Abubakar, S.Ag
Sekretaris : KH. Mohammad Lationo, dengan wakilnya Drs. KH. Salim Dg. Masuka, Lc; dan Drs. Abd. Basyir Marjudo, M.HI
Anggota : KH. Abd. Salam Tahir; KH. Syamsuddin
Lamalundu; KH. Nawawian Abdullah; KH. Faradj Dhofir; KH. Daud Towandu; KH. Ibrahim Saleh;
Ditegaskan di dalam anggaran dasarnya, Perhimpunan
Alkhairaat bersifat amaliah dan independen. Berkedudukan pusat di Palu, Sulawesi Tengah. Alkhairaat berazaskan Islam dan berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dengan berfaham Asy’ariyah dan bermadzhab Syafii. Dengan demikian, secara paham keagamaan
(akidah dan ubudiyah), Alkhairaat hampir sama atau bahkan sama sekali tidak berbeda dengan Nahdlatul Ulama atau kelompok Ahlussunnah wal Jamaah lainnya. Bedanya pada penegasan bermadzhab Syafii itu. Bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah Alkhairaat hanya ajaran bermadzhab Syafii, madzhab lainnya tidak
diajarkan. Selain itu, bagi Alkhairaat, bahasa Arab merupakan hal yang penting.70
Alkhairaat bertujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas, arif, bijaksana, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan agama, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia guna terwujudnya masyarakat yang aman, adil, dan makmur yang diridhai Allah swt. Untuk tujuan ini dilakukan usaha pengembangan pendidikan, pembentukan kader da’i, dan pengembangan usaha sosial.
Saat ini Alkhairaat dipimpin oleh H.S. Ali Muhammad Aljufri
dengan Sekretaris Jenderal Drs. Jamaluddin Mariajang, M.Si. Berikut selengkapnya susunan pengurus Pengurus Besar Alkhairaat masa khidmat 2008 - 2013.
Ketua Umum : H.S. Ali Muhammad Aljufri
Ketua : Drs. Sofyan Ing; Drs. Adjimin Ponulele; Prof. Dr.
Hj. Huzaemah T. Yanggo, H.S. Shaleh Muhammad Aldjufri, Lc. MA; Drs. H. Mohsen Alidrus, MM; Drs. H. Husen Habibu, M.HI; Drs. H. Zainal Abidin,
70 Hal-hal pembeda Alkhairaat dari lainnya ini disampaikan Sekjen Alkhairaat,
wawancara 26 September 2011.
Akmal Salim Ruhana
322
KH. Hasyim Arsyad; Drs. H.S Muthahar Saleh
Aljufri; Drs. KH. M. Thayeb Sualiman Lc.; KH. Abdurrahman Latopada; KH. Jamaluddin Tiku, BA; KH. Syuaib Muhya.; Drs. KH. Anas Ibrahim; KH.S. Idrus Ali Alhabsyi; KH.S. Umar Idrus
Alhabsyi; dan H. Hafid Hadado.
Di jajaran Dewan Pakar Alkhairaat masa khidmat 2008-2013, terdapat nama-nama berikut:
Ketua : Prof. DR.KH.Moh.Noor Sulaiman Pettalongi (alm.)
Wakil Ketua : Drs. KH. Sofyan Alwi Lahilote, SH; Prof. DR.
Anhulaila Palampanga, SE; dan Dr. H. Lukman S. Tahir, MA
Sekretaris : H. Thaha Aljufri, SE, wakilnya: Ir. H. Faisal Shahab
Anggota : dr. H. Fikri Hamzens; Prof. Dr. H. Ahmad Bachmid; KH. Abdul Ghani Kasuba, Lc; dr. H. Abdullah
Ammari, Sp.PD; Drs. Anwar Ponulele; Drs. H. Syahrir Alatas SE, M.Si; Drs. H. Andiwan Betalembah; H. Syafrun Abdullah BRE; Husen Muh. Saleh SE, M.Si; Drs. H. Mohammad Rumi; Ir. Rahmat Kawaru; Drs. Burhanuddin Maragau; Drs.
Syarifuddin H. Muda; H. Naser Djibran; dan S. Alwi Yahya Assagaf, SH
Selain pengurus di atas, terdapat sejumlah badan otonom Alkhairaat, yaitu: 1. Wanita Islam Alkhairaat (WIA), yang dipimpin oleh Sy. Sa'diyah binti Idrus Aljufri; 2. Himpunan Pemuda Alkhairaat
(HPA) sebagai wahana pengkaderan pemuda penerus; 3. Ikatan Alumni Alkhairaat (IKAAL); 4. Banaat Alkhairaat, yang merupakan organisasi putri-putri Alkhairaat; dan sejak Maret 2010 lalu
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
323
dikukuhkan Persatuan Guru Alkhairaat (PGA), dan Badan Pengawas
Keuangan dan Kekayaan Alkhairaat (BAWASKAL).
Lini pendidikan Alkhairaat dilakukan dalam bentuk madrasah, pondok pesantren, dan universitas. Data jumlah Madrasah/Sekolah Pendidikan Islam Alkhairaat, estimasi tahun 2010,
adalah sebagai berikut: Sulawesi Tengah 1.096 buah, Sulawesi Utara 135 buah, Gorontalo 61 buah, Sulawesi Selatan 7 buah, Sulawesi Barat 18 buah, Sulawesi Tenggara 3 buah, Kalimantan Timur 55 buah, Maluku Utara dan Maluku 162 buah, Papua dan Papua Barat 12 buah, Kalimantan Selatan 1 buah. Sehingga secara keseluruhan
berjumlah 1.550 buah madrasah/ sekolah. Adapun data Pondok Pesantren Alkhairaat adalah: Sulawesi Tengah 16 buah, Sulawesi Utara 4 buah, Gorontalo 5 buah, Sulawesi Tenggara 1 buah, Sulawesi Selatan 1 buah, Kalimantan Selatan 1 buah, Kalimantan Timur 4 buah, Maluku Utara dan Maluku 4 buah. Sehingga
keseluruhan jumlah pondok pesantren Alkhairaat adalah 36 buah. Di samping itu, Alkhairaat memiliki Universitas Islam Alkhairaat dengan 7 fakultasnya.
Di bidang dakwah, kegiatan yang dilaksanakan antara lain: menyiapkan da'i pada peringatan hari-hari besar Islam, khotbah
jum'at dan majelis taklim yang dilaksanakan di masjid-masjid maupun di rumah-rumah. Khusus pada bulan Ramadhan para da'i diterjunkan ke daerah-daerah untuk menyampaikan ceramah-ceramah Ramadhan. Selain itu, Alkhairaat bekerjasama mengantisipasi dan menyukseskan program pemerintah baik pusat
maupun daerah menyampaikan bahasa agama.
Adapun di bidang usaha Alkhairaat membuka Rumah Sakit Umum dengan Nama Sis. Aljufri, supermarket yang dinamai SAL (Supermarket Alkhairaat), penerbitan koran harian “Media Alkhairaat” dan dua stasion radio swasta (Radio Alkhairaat) yang ada
KH. Hasyim Arsyad; Drs. H.S Muthahar Saleh
Aljufri; Drs. KH. M. Thayeb Sualiman Lc.; KH. Abdurrahman Latopada; KH. Jamaluddin Tiku, BA; KH. Syuaib Muhya.; Drs. KH. Anas Ibrahim; KH.S. Idrus Ali Alhabsyi; KH.S. Umar Idrus
Alhabsyi; dan H. Hafid Hadado.
Di jajaran Dewan Pakar Alkhairaat masa khidmat 2008-2013, terdapat nama-nama berikut:
Ketua : Prof. DR.KH.Moh.Noor Sulaiman Pettalongi (alm.)
Wakil Ketua : Drs. KH. Sofyan Alwi Lahilote, SH; Prof. DR.
Anhulaila Palampanga, SE; dan Dr. H. Lukman S. Tahir, MA
Sekretaris : H. Thaha Aljufri, SE, wakilnya: Ir. H. Faisal Shahab
Anggota : dr. H. Fikri Hamzens; Prof. Dr. H. Ahmad Bachmid; KH. Abdul Ghani Kasuba, Lc; dr. H. Abdullah
Ammari, Sp.PD; Drs. Anwar Ponulele; Drs. H. Syahrir Alatas SE, M.Si; Drs. H. Andiwan Betalembah; H. Syafrun Abdullah BRE; Husen Muh. Saleh SE, M.Si; Drs. H. Mohammad Rumi; Ir. Rahmat Kawaru; Drs. Burhanuddin Maragau; Drs.
Syarifuddin H. Muda; H. Naser Djibran; dan S. Alwi Yahya Assagaf, SH
Selain pengurus di atas, terdapat sejumlah badan otonom Alkhairaat, yaitu: 1. Wanita Islam Alkhairaat (WIA), yang dipimpin oleh Sy. Sa'diyah binti Idrus Aljufri; 2. Himpunan Pemuda Alkhairaat
(HPA) sebagai wahana pengkaderan pemuda penerus; 3. Ikatan Alumni Alkhairaat (IKAAL); 4. Banaat Alkhairaat, yang merupakan organisasi putri-putri Alkhairaat; dan sejak Maret 2010 lalu
Akmal Salim Ruhana
324
di Manado dan Palu serta satu stasion radio dalam persiapan di
Gorontalo.
Kantor Sekretariat Pengurus Besar Al-Khairaat beralamat di Jl. SIS Aljufrie No. 44 Palu, Sulawesi Tengah, yang sekaligus menjadi sentral kegiatan Alkhairaat. Di sekitar situ ada Masjid Alkhairaat,
sekolah-sekolah Alkhairaat, dan Swalayan Alkhairaat.
E. Nahdlatul Ulama
Di Palu terdapat ormas keagamaan Nahdlatul Ulama yang secara umum profilnya sama sebagaimana Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, yang berpola pikir jalan tengah antara rasionalis dan skripturalis. Sumber
pemikirannya Al-Qur'an, Sunnah, dan juga kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Dalam Anggaran Dasarnya, tujuan NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tujuan ini dilakukan usaha organisasi,
yaitu:
1) Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2) Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, dan berpengetahuan luas.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
325
3) Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat
serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4) Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.
5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Secara nasional, NU memiliki 31 Pengurus Wilayah di tingkat provinsi, 339 Pengurus Cabang di tingkat kabupaten/kota, 12
Pengurus Cabang Istimewa di luar negeri, 2.630 Majelis Wakil Cabang di tingkat kecamatan, dan 37.125 Pengurus Ranting di tingkat desa/kelurahan.
Selain kepengurusan itu, NU juga memiliki 12 Lembaga, 4 Lajnah, dan 9 Badan Otonom. Kedua belas lembaga adalah:
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU), Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPKNU), Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU), Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI),
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM), Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH), dan Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU).
Keempat lajnah adalah: Lajnah Falakiyah (LF-NU), Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU), Lajnah Auqaf (LA-NU), dan Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU). Sedangkan 9 badan otonom adalah: Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah, Muslimat NU, Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Fatayat NU, Ikatan Pelajar Nahdlatul
di Manado dan Palu serta satu stasion radio dalam persiapan di
Gorontalo.
Kantor Sekretariat Pengurus Besar Al-Khairaat beralamat di Jl. SIS Aljufrie No. 44 Palu, Sulawesi Tengah, yang sekaligus menjadi sentral kegiatan Alkhairaat. Di sekitar situ ada Masjid Alkhairaat,
sekolah-sekolah Alkhairaat, dan Swalayan Alkhairaat.
E. Nahdlatul Ulama
Di Palu terdapat ormas keagamaan Nahdlatul Ulama yang secara umum profilnya sama sebagaimana Nahdlatul Ulama di Pulau Jawa. NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, yang berpola pikir jalan tengah antara rasionalis dan skripturalis. Sumber
pemikirannya Al-Qur'an, Sunnah, dan juga kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Dalam Anggaran Dasarnya, tujuan NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk tujuan ini dilakukan usaha organisasi,
yaitu:
1) Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2) Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang
sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, dan berpengetahuan luas.
Akmal Salim Ruhana
326
Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan
Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa), Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH).
Demikianlah, profil dan posisi keagamaan NU di Palu sama seperti NU di Jawa Timur ataupun Jakarta. Uniknya, secara
struktural, NU di Palu dalam kondisi tertentu terkesan ‘menyaru’ dengan Alkhairaat (atau sebaliknya?) Pimpinan Wilayah NU Sulawesi Tengah saat ini, misalnya, dijabat oleh Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM, yang juga Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah. Di Palu, beliau adalah tokoh tinggi Alkhairaat. Demikian juga, banyak
peran-peran ganda sebagai pengurus Alkhairaat dan sebagai pengurus NU pada tokoh-tokoh tertentu, hingga muncul ujaran: “Fleksibel saja. Kalau di Palu menjadi Alkhairaat, kalau sedang ke Jawa menjadi NU.”71 Dengan adanya peran-ganda ini, resikonya, performa salah satu diantara Alkhairat dan NU menjadi tidak terlalu
menonjol dalam konteks lokal. Tentu saja, performa Alkhairaat lebih menonjol dan kentara di Palu. Sekolah-sekolah dan madrasah, misalnya, pastilah merupakan Madrasah Alkhairaat. NU bahkan tidak punya sekolah, tidak ada sekolah NU, dan karenanya NU seolah tidak eksis.72
F. Darud Da’wah wal Irsyad (DDI)
Secara historis, kelahiran DDI tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual-spiritual al-Mukarram KH. Abd. Rahman
71 Bahkan peran multiganda juga dialami Drs. HM. As’ad Syukur. Selain sebagai
Ketua DDI juga pengurus NU, bahkan pernah menjadi Ketua Alwasliyah Kota Palu. 72 ‘Ketiadaan’ eksistensi NU disampaikan As’ad Syukur dalam wawancara tanggal
27 September 2011. Namun, kondisi ini ternyata merupakan sejenis ‘kesepakatan’ pemuka NU dan Alkhairaat, bahwa NU akan berkiprah di politik dan tidak boleh mendirikan madrasah. Sedangkan Alkhairaat tidak berkiprah di politik tetapi bergerak di pendidikan, sehingga boleh mendirikan madrasah. Hal ini disampaikan Abdullah Latupada dalam wawancara dengan Endang Sulanjari tanggal 28 September 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
327
Ambo Dalle (biasa disebut Gurutta Ambo Dalle). Beliaulah yang
mendirikan DDI. Para pendiri DDI lainnya adalah AGH Daud Ismail, AGH M Abduh Pabbajah, AGH Ali Yafie (pernah menjabat sebagai Ketua MUI Pusat), dan AGM M Tahir Imam Lapeo.
Organisasi Darud Da’wah wal Irsyad didirikan pada 7
Februari 1947 di Watang Soppeng, sebagai pengintegrasian dari Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang didirikan di Mangkoso 11 Januari 1938. Organisasi yang berkedudukan pusat di Makassar ini dalam Anggaran Dasarnya menegaskan akidahnya sebagai Islam menurut Ahlussunnah wal Jamaah dan menganut salahsatu dari
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. DDI berasaskan Pancasila, dan bersifat keagamaan, bergerak dalam pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan.
DDI bertujuan membentuk individu muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlakul karimah yang mengabdi dan mengamalkan
usahanya fisabilillah, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur diridhai Allah SWT. Untuk tujuan ini, dilakukan sejumlah usaha, yakni: mengusahakan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut
Ahlussunnah wal Jamaah, mengupayakan terwujudnya pembangunan ekonomi yang adil, merata, dan mengusahakan hal-hal yang bermanfaat bagi umat guna terwujudnya khaira ummah.
Secara struktural, sudah ada 8 pengurus wilayah, 274 pengurus daerah, 392 pengurus cabang, 127 pengurus ranting,
1.029 sekolah, 18 perguruan tinggi, 89 pesantren, yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Terdapat pula sejumlah badan otonom, antara lain: Ummahat DDI (UMDI), Fatayat DDI (Fadi), Ikatan Pemuda DDI (IPDDI), Ikatan Mahasiswa DDI (IMDI), Ikatan Guru DDI (IGDI), dan Ikatan Alumni DDI (IADI).
Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan
Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa), Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH).
Demikianlah, profil dan posisi keagamaan NU di Palu sama seperti NU di Jawa Timur ataupun Jakarta. Uniknya, secara
struktural, NU di Palu dalam kondisi tertentu terkesan ‘menyaru’ dengan Alkhairaat (atau sebaliknya?) Pimpinan Wilayah NU Sulawesi Tengah saat ini, misalnya, dijabat oleh Dr. H. Mochsen Alaydrus, MM, yang juga Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Tengah. Di Palu, beliau adalah tokoh tinggi Alkhairaat. Demikian juga, banyak
peran-peran ganda sebagai pengurus Alkhairaat dan sebagai pengurus NU pada tokoh-tokoh tertentu, hingga muncul ujaran: “Fleksibel saja. Kalau di Palu menjadi Alkhairaat, kalau sedang ke Jawa menjadi NU.”71 Dengan adanya peran-ganda ini, resikonya, performa salah satu diantara Alkhairat dan NU menjadi tidak terlalu
menonjol dalam konteks lokal. Tentu saja, performa Alkhairaat lebih menonjol dan kentara di Palu. Sekolah-sekolah dan madrasah, misalnya, pastilah merupakan Madrasah Alkhairaat. NU bahkan tidak punya sekolah, tidak ada sekolah NU, dan karenanya NU seolah tidak eksis.72
F. Darud Da’wah wal Irsyad (DDI)
Secara historis, kelahiran DDI tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual-spiritual al-Mukarram KH. Abd. Rahman
71 Bahkan peran multiganda juga dialami Drs. HM. As’ad Syukur. Selain sebagai
Ketua DDI juga pengurus NU, bahkan pernah menjadi Ketua Alwasliyah Kota Palu. 72 ‘Ketiadaan’ eksistensi NU disampaikan As’ad Syukur dalam wawancara tanggal
27 September 2011. Namun, kondisi ini ternyata merupakan sejenis ‘kesepakatan’ pemuka NU dan Alkhairaat, bahwa NU akan berkiprah di politik dan tidak boleh mendirikan madrasah. Sedangkan Alkhairaat tidak berkiprah di politik tetapi bergerak di pendidikan, sehingga boleh mendirikan madrasah. Hal ini disampaikan Abdullah Latupada dalam wawancara dengan Endang Sulanjari tanggal 28 September 2011.
Akmal Salim Ruhana
328
Di Sulawesi Tengah (baca: Palu) DDI masuk pada tahun 1956
terutama di desa-desa. Leading sector perannya di bidang pendidikan. Sejak 1956 sampai saat ini, DDI bahkan telah memiliki 150 berbagai jenjang pendidikan, taman pengajian banyak , panti asuhan 10 buah, pondok pesantren 10 buah, serta perguruan tinggi
jarak jauh 2 buah. DDI di Kota Palu saat ini diketuai Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd.
G. Muhammadiyah
Organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta ini menegaskan dirinya
sebagai gerakan islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dengan berasaskan Islam, Muhammadiyah berdiri karena beberapa alasan dan tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.73
Muhammadiyah yang berasaskan Islam menegaskan identitasnya sebagai adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Kelahiran Muham-madiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itu pula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan
73 Alasan-alasan ini sebagaimana H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar
Nashir, 1990: 332 dalam www.muhammadiyah.or.id diunduh pada 22 September 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
329
Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud
yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal
usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Assunah, sekaligus membersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Termasuk tajdid juga dalah pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan
bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan shalat Id dan pelaksanaan kurban dan sebagainya.
Dalam Anggaran Dasarnya, Pasal 6 dan 7, disebutkan maksud dan tujuan Muhammadiyah yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk itu, dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: (1) melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi
munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang
Di Sulawesi Tengah (baca: Palu) DDI masuk pada tahun 1956
terutama di desa-desa. Leading sector perannya di bidang pendidikan. Sejak 1956 sampai saat ini, DDI bahkan telah memiliki 150 berbagai jenjang pendidikan, taman pengajian banyak , panti asuhan 10 buah, pondok pesantren 10 buah, serta perguruan tinggi
jarak jauh 2 buah. DDI di Kota Palu saat ini diketuai Drs. H.M. As’ad Syukur, M.Pd.
G. Muhammadiyah
Organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta ini menegaskan dirinya
sebagai gerakan islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dengan berasaskan Islam, Muhammadiyah berdiri karena beberapa alasan dan tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.73
Muhammadiyah yang berasaskan Islam menegaskan identitasnya sebagai adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Kelahiran Muham-madiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itu pula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan
73 Alasan-alasan ini sebagaimana H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar
Nashir, 1990: 332 dalam www.muhammadiyah.or.id diunduh pada 22 September 2011.
Akmal Salim Ruhana
330
kehidupan; (2) usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk
amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penye-lenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga; dan (3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.
Dalam konteks Sulawesi Tengah, Muhammadiyah masuk ke Kota Palu di saat kondisi masyarakat Kota Palu yang telah didominasi Alkhairaat. Maka kedatangannya yang berwatak tajdid (pembaharuan) itu pada awalnya kerap mendapat resistensi.74 Proses asimilasi dan kehidupan sosial bersama kemudian hari
menjadikan akseptasi yang cukup baik di kalangan masyarakat tertentu, terutama para pendatang.75
Muhammadiyah menjadikan pendidikan sebagai media dakwahnya. Tak heran, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah di banyak tempat, dan bahkan memiliki
kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu yang cukup luas di sebuah bukit di Jalan Hang Tuah, Kota Palu. Dengan tujuh fakultasnya, Unismuh menampung banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang (baca: termasuk yang bukan Muhammadiyah).
Secara struktural, susunan Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu periode 2010-2015 adalah sebagai berikut:
74 Diceritakan, pada tahun 1970-an pernah masjid-masjid Muhammadiyah
dilempari pihak tertentu sebagai bentuk resistensi ini. Atau, pada saat Muhammadiyah memulai/menginisiasi pelaksanaan Sholat Ied di lapangan, masyarakat banyak yang menolaknya. Kondisi-kondisi ini saat ini tidak terjadi lagi. Wawancara Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Palu, Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I, pada 29 September 2011.
75 Salahsatu indikasi, misalnya, kebanyakan pengikut Muhammadiyah adalah pendatang/transmigran dari Jawa, atau para pedagang yang tinggal berkelompok di daerah pelabuhan atau daerah-daerah lainnya.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
331
Ketua : Hadie Soetjipto, B.Sc., S.Ag.
Wakil Ketua : Drs. Leonar MS; Drs. Burhanuddin H. Arifin; Drs. H. Zainal Honteng; Drs. Abd. Hafid DM; Drs. HM. Ilyas Wella, M.Si.; dan Sitti Aminah M. Amin.
Sekretaris : Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I, dengan wakil
Drs. HM. Ridwan, MM
Bendahara : H. Sudirman M, dengan wakil Ilham A. Djorimi
Alamat Sekretariat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu berada di Jalan Tompi Nomor 15 Kelurahan Lere Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Telp/Fax 0451-
423163/461436, dengan alamat website/blog http://pdmkotapalu.
blogspot.com.
Selain keempat ormas keagamaan di atas, sesungguhnya masih banyak ormas atau gerakan keagamaan lain yang berperan
dalam ladang garapan dakwah yang sama, yakni Kota Palu. Mereka antara lain: Persis, Al-Wasliyah, LDII, Salafi, Wahdah Islamiyah, FPI, HTI, DDII, dan Jamaah Tabligh. Kelompok-kelompok ini ada dan berkembang di Kota Palu, meski performa dan perannya tidak terlalu menonjol (atau tepatnya tidak termasuk yang didalami oleh
penelitian ini).
Profil Aktivitas Dakwah Ormas/Gerakan Keagamaan
Alkhairaat pusat misinya adalah pendidikan. Secara historis hal ini terjelaskan dari pendirinya, al-alim al-‘allamah Habib Sayyid Idrus bin Salim Aldjufri, seorang ulama dari Hadramaut yang
cenderung pada ilmu pengetahuan. Dalam mendukung misi pendidikan ini agar tersebar luas ke masyarakat, maka dilakukan dakwah untuk memperkuatnya. Jadi dakwah itu instrumen yang
kehidupan; (2) usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk
amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penye-lenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga; dan (3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.
Dalam konteks Sulawesi Tengah, Muhammadiyah masuk ke Kota Palu di saat kondisi masyarakat Kota Palu yang telah didominasi Alkhairaat. Maka kedatangannya yang berwatak tajdid (pembaharuan) itu pada awalnya kerap mendapat resistensi.74 Proses asimilasi dan kehidupan sosial bersama kemudian hari
menjadikan akseptasi yang cukup baik di kalangan masyarakat tertentu, terutama para pendatang.75
Muhammadiyah menjadikan pendidikan sebagai media dakwahnya. Tak heran, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah di banyak tempat, dan bahkan memiliki
kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu yang cukup luas di sebuah bukit di Jalan Hang Tuah, Kota Palu. Dengan tujuh fakultasnya, Unismuh menampung banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang (baca: termasuk yang bukan Muhammadiyah).
Secara struktural, susunan Pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu periode 2010-2015 adalah sebagai berikut:
74 Diceritakan, pada tahun 1970-an pernah masjid-masjid Muhammadiyah
dilempari pihak tertentu sebagai bentuk resistensi ini. Atau, pada saat Muhammadiyah memulai/menginisiasi pelaksanaan Sholat Ied di lapangan, masyarakat banyak yang menolaknya. Kondisi-kondisi ini saat ini tidak terjadi lagi. Wawancara Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Palu, Muh. Ilyas Padduntu, S.Ag., M.Pd.I, pada 29 September 2011.
75 Salahsatu indikasi, misalnya, kebanyakan pengikut Muhammadiyah adalah pendatang/transmigran dari Jawa, atau para pedagang yang tinggal berkelompok di daerah pelabuhan atau daerah-daerah lainnya.
Akmal Salim Ruhana
332
mendukung gerakan pendidikan Alkhairaat. Dakwah dan
pendidikan terajut secara sistemik, saling mengisi. Seorang abnaul
Khairaat76 diamanahi oleh pendiri Alkhairaat untuk mengem-bangkan pendidikan, memberi pengetahuan keagamaan pada
masyarakat, dan memperhatikan kesejahteraan umat manusia.
Dari amanah pendiri di atas, tergambar bahwa dakwah Alkhairaat mencakup bil lisan, bil qolam, dan bil hal. Dakwah bil lisan dilakukan dengan ceramah-ceramah agama di masyarakat. Ada dalam bentuk tabligh akbar ketika haul Pendiri Alkhairaat Guru Tua;
ceramah/ diskusi pada instansi/kantor pemerintah, majelis taklim, maupun masjid-masjid; dialog interaktif di Radio Alkhairaat; dan ceramah dalam Safari Ramadhan. Dakwah bil qolam dilakukan dengan menerbitkan Koran Harian “Media Alkhairaat” dan Majalah
Alkhairaat. Sedangkan dakwah bil hal, dilakukan dalam aneka ragam program, mulai membangun usaha ekonomi (Swalayan Alkhairaat dan Alkhairaat Sport Center), membangun Rumah Sakit “SIS Aldjufri”, hingga lini pendidikan yang sangat banyak ragam tingkatannya. Bahkan, secara maknawi, segala performa abnaul
Khairaat adalah (sejatinya) ekspresi dari dakwah bil hal Alkhairaat.77 Secara tegas, Alkhairaat memang menegaskan pendidikan sebagai sentral misinya, dengan dukungan dakwah jenis lainnya. Tak heran, eksistensi dan aktivitas ribuan madrasah Alkhairaat mengonfirmasi
hal ini.
Ketiga macam dakwah dilakukan terhadap semua kalangan umat Islam. Tidak secara khusus menarget orang (mad’u) tertentu atau daerah tertentu. Bahwa dakwah yang dilakukan diupayakan
76 Abnaul Khairaat diartikan sebagai pengikut Alkhairaat, baik pengurus, anggota,
maupun para lulusan madrasah-madrasah dan angggota majelis taklim Alkhairaat, atau bahkan simpatisan Alkhairaat.
77 Disampaikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat, bahwa orang-orang Alkhairaat biasanya menjadi pemuka panutan masyarakat karena ilmunya memadai, bicara/qiraatnya fasih, perilakunya supel, dan sikapnya santun. Wawancara tanggal 26 September 2011.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
333
sebanyak mungkin menjangkau umat. Misalnya ditunjukkan
dengan dibuatnya Koran Harian “Media Alkhairaat” dan Radio Alkhairaat, yang diharapkan dapat dibaca atau didengar umat yang lebih luas. Bahwa Alkhairaat berkembang luas di Kawasan Timur Indonesia dan hampir ‘menguasai’ wilayah ini, nampaknya
merupakan target wilayah dakwah Guru Tua masa lalu.78
Di dalam berbagai jenis media dakwah bil lisan, bil qolam,
dan bil hal itu, senantiasa disampaikan tuntunan ajaran Islam yang baik, sesuai pentunjuk Al-Quran dan Sunnah dalam perspektif Sunni
Syafi’iyyah. Demikian halnya apa-apa yang dahulu dicontohkan sang pendiri Alkhairaat, Guru Tua, misalnya tentang kebiasaan ber-taushiyah, bersahabat dengan sebanyak mungkin orang, berusaha disamping berdakwah, dan sebagainya. Semua diajarkan atau disampaikan dengan cara-cara hikmah, tanpa pemaksaan atau
kekerasan. Karena menggunakan cara dakwah yang soft (bil
hikmah), sejauh ini belum pernah dakwah Alkhairaat mendapat tentangan atau perilaku yang tidak menyenangkan dari pihak lain.
Nahdlatul Ulama, sebagaimana dijelaskan di atas tentang
kebersatuannya dalam hal ‘aktor-aktor’ dengan Alkhairaat, maka dakwahnya dapat dikatakan relatif sama/bersamaan. Hanya saja pamornya tampak lebih menonjol Alkhairaat dibandingkan NU. Setidaknya demikianlah jika bicara di aras lokal Palu, berkebalikan jika bicara untuk aras nasional. NU di Palu tidak memiliki sekolah
78 Menurut sejarahnya, sebelum mengembangkan Islam (berdakwah) di Kawasan
Timur Indonesia, Guru Tua pernah membuka perguruan Islam Ar-Rabitha di Solo. Setelah beberapa tahun lamanya, beliau pindah ke Jombang Jawa Timur dan sempat berkenalan baik dan akrab dengan dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, tepatnya pada 1925. (Baca selengkapnya dalam Riwayat Hidup Pendiri Alkhairaat S.Idrus bin Salim Aldjufri, pidato haul XX tahun 1989 oleh Drs. H.M. Dahlan Tangkaderi. Selain itu, baca juga Sayyid Idrus bin Salim
Al-Jufri “guru Tua”: Modernisasi Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969) karya HM. Noor Sulaiman Pettalongi, Jakarta: Kultura, 2009). Asumsi penulis, Guru Tua pada saat itu melihat bahwa dakwah di Jawa dan sekitarnya telah cukup banyak dilakukan oleh banyak kyai/ustad, sedangkan di Kawasan Timur Indonesia belum cukup banyak yang melakukan, maka beliau menggarapnya.
mendukung gerakan pendidikan Alkhairaat. Dakwah dan
pendidikan terajut secara sistemik, saling mengisi. Seorang abnaul
Khairaat76 diamanahi oleh pendiri Alkhairaat untuk mengem-bangkan pendidikan, memberi pengetahuan keagamaan pada
masyarakat, dan memperhatikan kesejahteraan umat manusia.
Dari amanah pendiri di atas, tergambar bahwa dakwah Alkhairaat mencakup bil lisan, bil qolam, dan bil hal. Dakwah bil lisan dilakukan dengan ceramah-ceramah agama di masyarakat. Ada dalam bentuk tabligh akbar ketika haul Pendiri Alkhairaat Guru Tua;
ceramah/ diskusi pada instansi/kantor pemerintah, majelis taklim, maupun masjid-masjid; dialog interaktif di Radio Alkhairaat; dan ceramah dalam Safari Ramadhan. Dakwah bil qolam dilakukan dengan menerbitkan Koran Harian “Media Alkhairaat” dan Majalah
Alkhairaat. Sedangkan dakwah bil hal, dilakukan dalam aneka ragam program, mulai membangun usaha ekonomi (Swalayan Alkhairaat dan Alkhairaat Sport Center), membangun Rumah Sakit “SIS Aldjufri”, hingga lini pendidikan yang sangat banyak ragam tingkatannya. Bahkan, secara maknawi, segala performa abnaul
Khairaat adalah (sejatinya) ekspresi dari dakwah bil hal Alkhairaat.77 Secara tegas, Alkhairaat memang menegaskan pendidikan sebagai sentral misinya, dengan dukungan dakwah jenis lainnya. Tak heran, eksistensi dan aktivitas ribuan madrasah Alkhairaat mengonfirmasi
hal ini.
Ketiga macam dakwah dilakukan terhadap semua kalangan umat Islam. Tidak secara khusus menarget orang (mad’u) tertentu atau daerah tertentu. Bahwa dakwah yang dilakukan diupayakan
76 Abnaul Khairaat diartikan sebagai pengikut Alkhairaat, baik pengurus, anggota,
maupun para lulusan madrasah-madrasah dan angggota majelis taklim Alkhairaat, atau bahkan simpatisan Alkhairaat.
77 Disampaikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat, bahwa orang-orang Alkhairaat biasanya menjadi pemuka panutan masyarakat karena ilmunya memadai, bicara/qiraatnya fasih, perilakunya supel, dan sikapnya santun. Wawancara tanggal 26 September 2011.
Akmal Salim Ruhana
334
atau pesantren, dakwahnya dilakukan melalui majelis-majelis taklim.
Dakwah bil lisan, dengan demikian, tampak lebih menonjol dari dakwah bil qolam atau bil hal. Targeted group dakwahnya adalah masyarakat secara umum, dan substansi yang didakwahkan tentu
saja ajaran Islam bercorak Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dalam banyak hal adalah juga apa yang didakwahkan Alkhairaat dan DDI.
Darud Da’wah wal Irsyad juga relatif sama dengan Alkhairaat, memiliki sejumlah sekolah atau madrasah. Dakwah
dilakukan dengan melalui wahana pendidikan, di samping dakwah bil lisan secara konvensional. Bedanya, DDI lebih menyasar (prioritas target) ke daerah-daerah pedesaan, perannya lebih di kampung-kampung. Dengan demikian, militansi dakwah DDI relatif lebih
besar karena tantangannya pun cukup besar. DDI memandang justeru di kampong-kampung dan pedalaman masih banyak umat yang belum tersentuh dakwah, sedangkan di kota-kota para pelaku dakwahnya telah cukup banyak dan beragam. Karenanya, sebagaimana dicontohkan Gurutta Ambo Dalle, DDI memiliki
perhatian khusus dalam dakwahnya ke daerah-daerah yang kurang tersentuh di desa-desa, baik dengan sekolah-sekolah maupun majelis taklim.
Ketiga ormas atau gerakan keagamaan di atas dapat dikatakan serumpun dan relatif berperan seiring. Berbeda misalnya
dengan arus dakwah Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah yang menegaskan kelahirannya sebagai mujaddid, pembaharu, pembersih dari berbagai tahayul, bid’ah, dan khurafat dan berbagai amaliyah Islamiyah yang dinilai ‘tidak lurus’, maka kehadiran dan peran dakwahnya, dalam satu dan lain kasus,
bersentuhan atau berhadapan dengan peran dakwah ketiga ormas yang menegaskan corak Ahlussunnah wal Jamaah di atas yang notabene telah masuk dan ‘menguasai’ Kota Palu terlebih dahulu.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
335
Persentuhan ini tidak jarang menimbulkan sesuatu pergesekan atau
konflik, namun hal itu terjadi di masa lalu, di masa-masa awal kedatangan Muhammadiyah. Saat ini persentuhan itu agak lebih mencair.
Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam amar
ma’ruf nahi munkar. Selain dakwah bil lisan dengan ceramah-ceramah agama, dakwah bil qolam dengan berbagai buku dan brosur kemuhammadiyahan, juga terutama semua amal usaha Muhammadiyah merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah
bil hal. Materi yang disampaikannya adalah ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah yang dalam format tertentu menjadi materi Islam Kemuhammadiyahan. Misalnya hal ini yang disampaikan di seluruh jenjang pendidikan milik Muhammadiyah (SMP-SMA-Perguruan Tinggi) sebagai mata pelajaran atau mata
kuliah wajib seluruh anak didiknya.
Potensi Konflik dan Integrasi dalam Dakwah
Potensi Konflik
Aktivitas dakwah berbagai pelaku dakwah dalam ladang garap yang sama meniscayakan adanya interaksi antar, atau boleh jadi bahkan persentuhan, pergesekan, dan konflik, jika ada sesuatu hal yang kurang tepat dilakukan. Potensi ketidakrukunan atau
potensi konflik dapat terjadi di ranah keagamaan (akidah, ibadah, dan akhlak) ataupun di ranah non-keagamaan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
Dalam hal akidah, tidak ada pergesekan antar empat pelaku dakwah ini. Semua meyakini pokok-pokok akidah Islam. Justeru
keberadaan Ahmadiyah yang notabene memiliki Nabi baru, misalnya, malah menguatkan pertahanan bersama soal akidah ini.
atau pesantren, dakwahnya dilakukan melalui majelis-majelis taklim.
Dakwah bil lisan, dengan demikian, tampak lebih menonjol dari dakwah bil qolam atau bil hal. Targeted group dakwahnya adalah masyarakat secara umum, dan substansi yang didakwahkan tentu
saja ajaran Islam bercorak Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang dalam banyak hal adalah juga apa yang didakwahkan Alkhairaat dan DDI.
Darud Da’wah wal Irsyad juga relatif sama dengan Alkhairaat, memiliki sejumlah sekolah atau madrasah. Dakwah
dilakukan dengan melalui wahana pendidikan, di samping dakwah bil lisan secara konvensional. Bedanya, DDI lebih menyasar (prioritas target) ke daerah-daerah pedesaan, perannya lebih di kampung-kampung. Dengan demikian, militansi dakwah DDI relatif lebih
besar karena tantangannya pun cukup besar. DDI memandang justeru di kampong-kampung dan pedalaman masih banyak umat yang belum tersentuh dakwah, sedangkan di kota-kota para pelaku dakwahnya telah cukup banyak dan beragam. Karenanya, sebagaimana dicontohkan Gurutta Ambo Dalle, DDI memiliki
perhatian khusus dalam dakwahnya ke daerah-daerah yang kurang tersentuh di desa-desa, baik dengan sekolah-sekolah maupun majelis taklim.
Ketiga ormas atau gerakan keagamaan di atas dapat dikatakan serumpun dan relatif berperan seiring. Berbeda misalnya
dengan arus dakwah Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah yang menegaskan kelahirannya sebagai mujaddid, pembaharu, pembersih dari berbagai tahayul, bid’ah, dan khurafat dan berbagai amaliyah Islamiyah yang dinilai ‘tidak lurus’, maka kehadiran dan peran dakwahnya, dalam satu dan lain kasus,
bersentuhan atau berhadapan dengan peran dakwah ketiga ormas yang menegaskan corak Ahlussunnah wal Jamaah di atas yang notabene telah masuk dan ‘menguasai’ Kota Palu terlebih dahulu.
Akmal Salim Ruhana
336
Memang, jika ditelisik lebih jauh, dalam kesamaan apa yang diyakini
itu ada area yang menjadi variasi ideologis dalam hal keimanan. Meminjam istilah Al Fadl, ada yang lebih puritan dan ada yang lebih moderat.79 Misalnya tentang upaya ‘puritanisasi’ Muhammadiyah terhadap keimanan umat yang telah dinodai kepercayaan pada
benda keramat tertentu yang bagi Muhammadiyah dapat dikategorikan menodai akidah. Dalam konteks Palu, dakwah Muhammadiyah misalnya sempat mendapat resistansi dari masyarakat yang terbiasa dengan hal bid’ah atau khurafat itu.
Dalam perbedaan masalah fikih (ikhtilaf furuiyah), meski
tidak lagi mewujud pertentangan, perbedaan dalam masalah khilafiyah masih menjadi ancaman bagi umat Islam Kota Palu. Segregasi masyarakat masih terlihat dari terkonsentrasinya umat pengikut Muhammadiyah di sekitar masjid Muhammadiyah, misal-
nya. Namun hal ini dapat dijelaskan, bahwa biasanya pendirian masjid melihat dimana memungkinkan dibangun. Calon lokasi yang secara akseptabilitas maupun aksesibilitas tinggi tentu saja daerah dimana pengikutnya terkonsentrasi. Selain itu, ada juga fenomena pengikut Alkhairaat/NU yang bertarawih 20 rakaat di masjid
Alkhairaat yang cukup jauh, padahal ada masjid Muhammadiyah di depan rumahnya yang bertarawih 8 rakaat, atau sebaliknya.
Terkait perebutan, atau tepatnya peralihan, pengelolaan masjid pernah terjadi. Bahwa masjid di belakang kampus STAIN Palu dahulu didirikan oleh tokoh-tokoh (tua) Muhammadiyah dan praktis
mengamalkan kebiasaan Muhammadiyah dalam kaifiyat ibadatnya. Namun sepeninggal beberapa pendiri masjid itu dan setelah beberapa pendiri tidak lagi menjabat di kepengurusan, masjid
79 Lebih jauh baca Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,
Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 152. Terlepas dari pengistilahan moderat-puritan dalam konteks para pelaku dakwah ini, namun variasi dalam penekanan dalam hal akidah ini kiranya ada.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
337
secara perlahan dikelola pihak lain dengan kaifiyat ibadah yang
berbeda. Hanya saja, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan pihak Muhammadiyah karena merasa masjid milik umat, siapapun boleh mengelolanya.
Dinamika keberanjakan beberapa kader Muhammadiyah ke
aliran atau kelompok tertentu juga menarik dicermati.80 Dalam kadar tertentu hal ini dapat memanifes menjadi konflik internal, misalnya. Meski saat ini Muhammadiyah belum merasa terancam, namun hal ini tidak bisa dipandang biasa. Drs. H. Baqir Tora, MH., Sekretaris PW Muhammadiyah Sulawesi Tengah, mengatakan:
“Itu memang dimana-mana, banyak juga warga Muhammadiyah menambah wawasan pengetahuan keagamaannya lewat seperti itu, lewat Jamaah Tabligh, Salafi, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi,… tetapi kita kita tidak terlalu mempermasalahkan itu. Cuma kita tetap mengatakan kalau memang anda sudah seperti itu, ya anda milih, jangan sampai nanti anda disana membawa atas nama Muhammadiyah padahal anda pribadi. Jadi kami tidak mempermasalahkan, cuma kami bagaimana saling mengingatkan demi kebaikan dan kemaslahatan umat, supaya umat tidak bingung. Memang ada seperti itu, tapi tidak terlalu menonjol. Artinya belum mengganggu, itu intinya belum mengganggu, baik (bagi) kelembagaan Muhammadiyah maupun individu-individu. Bahkan mereka itu karena belum punya tempat ibadat mereka menggunakan fasilitasnya Muhammadiyah. Tapi belum mengganggu. Mereka masih menghargai, mereka tahu itu masjid Muhammadiyah.”81
80 Ada fenomena beberapa kader Muhammadiyah yang berpindah ke Salafi dan
Wahdah Islamiyah karena konon kurang merasa terpenuhi kebutuhan spiritualnya. Mereka merasa Muhammadiyah terlalu sibuk dengan aktivitas organisasionalnya. Hal ini pendapat seseorang yang outsider. Namun bagi Ustad Muhammad, ustad pada Pesantren Salafi di Masjid Imam Muslim, merasa mereka tetap baik dengan Muhammadiyah meski mereka lebih mencari dan menggunakan dalil-dalil yang mereka percayai lebih lurus, dan lalu harus diaplikasikan dalam keseharian. Wawancara pada 30 September 2011.
81 Wawancara pada 28 September 2011. Bandingkan dengan kegundahan beberapa kader Muhammadiyah di Jawa, misalnya Haedar Nashir, yang melihat hal itu
Memang, jika ditelisik lebih jauh, dalam kesamaan apa yang diyakini
itu ada area yang menjadi variasi ideologis dalam hal keimanan. Meminjam istilah Al Fadl, ada yang lebih puritan dan ada yang lebih moderat.79 Misalnya tentang upaya ‘puritanisasi’ Muhammadiyah terhadap keimanan umat yang telah dinodai kepercayaan pada
benda keramat tertentu yang bagi Muhammadiyah dapat dikategorikan menodai akidah. Dalam konteks Palu, dakwah Muhammadiyah misalnya sempat mendapat resistansi dari masyarakat yang terbiasa dengan hal bid’ah atau khurafat itu.
Dalam perbedaan masalah fikih (ikhtilaf furuiyah), meski
tidak lagi mewujud pertentangan, perbedaan dalam masalah khilafiyah masih menjadi ancaman bagi umat Islam Kota Palu. Segregasi masyarakat masih terlihat dari terkonsentrasinya umat pengikut Muhammadiyah di sekitar masjid Muhammadiyah, misal-
nya. Namun hal ini dapat dijelaskan, bahwa biasanya pendirian masjid melihat dimana memungkinkan dibangun. Calon lokasi yang secara akseptabilitas maupun aksesibilitas tinggi tentu saja daerah dimana pengikutnya terkonsentrasi. Selain itu, ada juga fenomena pengikut Alkhairaat/NU yang bertarawih 20 rakaat di masjid
Alkhairaat yang cukup jauh, padahal ada masjid Muhammadiyah di depan rumahnya yang bertarawih 8 rakaat, atau sebaliknya.
Terkait perebutan, atau tepatnya peralihan, pengelolaan masjid pernah terjadi. Bahwa masjid di belakang kampus STAIN Palu dahulu didirikan oleh tokoh-tokoh (tua) Muhammadiyah dan praktis
mengamalkan kebiasaan Muhammadiyah dalam kaifiyat ibadatnya. Namun sepeninggal beberapa pendiri masjid itu dan setelah beberapa pendiri tidak lagi menjabat di kepengurusan, masjid
79 Lebih jauh baca Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan,
Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 152. Terlepas dari pengistilahan moderat-puritan dalam konteks para pelaku dakwah ini, namun variasi dalam penekanan dalam hal akidah ini kiranya ada.
Akmal Salim Ruhana
338
Dinamika politik lokal kerap mengganggu stabilitas internal
ormas keagamaan. Seperti ketika dalam pilkada terdapat dua calon peserta pilkada yang sama-sama berlatar belakang Alkhairaat dan terkesan sama-sama berupaya meraih ‘suara’ umat/jamaah Alkhairaat. Memang, sejatinya sikap Alkhairaat, NU, DDI, dan
Muhammadiyah, terhadap politik praktis rata-rata menyatakan sama. Bahwa secara perseorangan dipersilakan berpolitik asalkan tidak membawa-bawa organisasi. Meski begitu, faktanya, afinitas ketokohan dalam ormas dan ketokohan dalam kancah politik praktis tidak selalu mudah dilepaskan.
Yang cukup menarik adalah soal adanya ‘perasaan’ kesenjangan kebijakan politik keagamaan.82 Bahwa karena tokoh-tokoh Alkhairaat mendominasi pucuk-pucuk pimpinan di berbagai posisi penting di Kota Palu (dan/atau Sulawesi Tengah), misalnya jabatan kepala pada Kementerian Agama, dan rektor atau ketua
pada perguruan tinggi Islam, maka beberapa ormas Islam atau gerakan keagamaan lain merasa adanya nuansa hegemonik yang dapat mengganggu rasa keadilan. Misalnya, yang sangat rawan, dalam soal bantuan sosial keagamaan dan penempatan orang pada jabatan tertentu.83 Meski hal ini masih berupa riak-riak keluhan
namun jika terus menerus terjadi, potensi laten konflik ini dapat terakumulasi menjadi sesuatu yang dapat mengganggu kerukunan.
sebagai ancaman serius. Baca selanjutnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam, loc.cit.
82 Kata ‘perasaan’ penting ditekankan karena boleh jadi faktanya tidak selalu berkesesuaian. Hanya saja, dengan merasa saja sudah cukup untuk menjustifikasi adanya sesuatu.
83 Misalnya, dalam wawancara tanggal 24 dan 27 September 2011, beberapa tokoh DDI dan Muhammadiyah menceritakan bahwa dahulu terjadi pemerataan dalam pembagian bantuan sosial dari Kementerian Agama pusat untuk ormas-ormas keagamaan. Pembagian didasarkan pada pemetaan kebutuhan sesuai eksistensi dan peran ormas yang ada di Kota Palu atau Sulawesi Tengah. Demikian juga soal penempatan penyuluh dan lain-lain. Tertangkap kesan adanya kesenjangan distribusi dan akomodasi terkait kebijakan politik keagamaan.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
339
Potensi Integrasi
Selain potensi konflik dalam dakwah, sesungguhnya
terkandung potensi integratif yang besar yang dapat dan harus dikembangkan.
Umat semakin dewasa dalam beragama, buktinya tidak lagi mudah terpancing isu-isu terkait khilafiyah tertentu. Mengenai
qunut atau tidak qunut, tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, berlebaran hari ini atau besok, dan sebagainya, adalah hal-hal yang diakui berbeda cara pandangnya sehingga berbeda amaliyahnya. Hanya saja hal-hal itu disikapi secara positif dan dimaklumi sebagai perbedaan yang wajar, sehingga tidak berujung pada sikap-sikap
yang tidak tepat. Kedewasaan ini dipengaruhi tingkat pendidikan umat yang semakin baik. Semakin bisa memilih sikap dalam memahami dan menghadapi perbedaan. Misalnya dikatakan Arsyad Said, pengurus MUI yang berlatar belakang Muhammadiyah:
“Masyarakat sekarang juga sudah bisa menilai, Muhammadiyah itu selama ini kan sudah berulang-ulang begini kan. (Orang tahu) itu Muhammadiyah … Walaupun secara organisatoris bukan Muhammadiyah tetapi dia karena kemajuan juga sudah memahami itu. Kemudian tentang yang furu tadi itu, orang sudah biasa begitu lah. Yang suka biasa rebut itu kan mereka yang tidak paham. Orang yang paham hukum kan gak ada (apa-apa). Saya dengan tokoh-tokoh lain biasa saja. Biasa itu.”
Searah dengan ini, terjadi semacam cross-participants dalam proses pendidikan. Bahwa banyak mahasiswa Unisa (Universitas Islam Alkhairaat) berasal dari sekolah-sekolah lanjutan milik
Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya, banyak mahasiswa Unismuh (Universitas Muhammadiyah) berasal dari sekolah-sekolah/madrasah lanjutan Alkhairaat. Artinya, para mahasiswa akan mendapatkan wawasan yang lain dan kemudian memahaminya. Seperti diketahui, di Unismuh ada mata kuliah dasar
Dinamika politik lokal kerap mengganggu stabilitas internal
ormas keagamaan. Seperti ketika dalam pilkada terdapat dua calon peserta pilkada yang sama-sama berlatar belakang Alkhairaat dan terkesan sama-sama berupaya meraih ‘suara’ umat/jamaah Alkhairaat. Memang, sejatinya sikap Alkhairaat, NU, DDI, dan
Muhammadiyah, terhadap politik praktis rata-rata menyatakan sama. Bahwa secara perseorangan dipersilakan berpolitik asalkan tidak membawa-bawa organisasi. Meski begitu, faktanya, afinitas ketokohan dalam ormas dan ketokohan dalam kancah politik praktis tidak selalu mudah dilepaskan.
Yang cukup menarik adalah soal adanya ‘perasaan’ kesenjangan kebijakan politik keagamaan.82 Bahwa karena tokoh-tokoh Alkhairaat mendominasi pucuk-pucuk pimpinan di berbagai posisi penting di Kota Palu (dan/atau Sulawesi Tengah), misalnya jabatan kepala pada Kementerian Agama, dan rektor atau ketua
pada perguruan tinggi Islam, maka beberapa ormas Islam atau gerakan keagamaan lain merasa adanya nuansa hegemonik yang dapat mengganggu rasa keadilan. Misalnya, yang sangat rawan, dalam soal bantuan sosial keagamaan dan penempatan orang pada jabatan tertentu.83 Meski hal ini masih berupa riak-riak keluhan
namun jika terus menerus terjadi, potensi laten konflik ini dapat terakumulasi menjadi sesuatu yang dapat mengganggu kerukunan.
sebagai ancaman serius. Baca selanjutnya dalam KH. Abdurrahman Wahid (Ed.), Ilusi Negara Islam, loc.cit.
82 Kata ‘perasaan’ penting ditekankan karena boleh jadi faktanya tidak selalu berkesesuaian. Hanya saja, dengan merasa saja sudah cukup untuk menjustifikasi adanya sesuatu.
83 Misalnya, dalam wawancara tanggal 24 dan 27 September 2011, beberapa tokoh DDI dan Muhammadiyah menceritakan bahwa dahulu terjadi pemerataan dalam pembagian bantuan sosial dari Kementerian Agama pusat untuk ormas-ormas keagamaan. Pembagian didasarkan pada pemetaan kebutuhan sesuai eksistensi dan peran ormas yang ada di Kota Palu atau Sulawesi Tengah. Demikian juga soal penempatan penyuluh dan lain-lain. Tertangkap kesan adanya kesenjangan distribusi dan akomodasi terkait kebijakan politik keagamaan.
Akmal Salim Ruhana
340
wajib yakni Kemuhammadiyahan, begitu juga di Unisma ada mata
kuliah dasar wajib tentang Aswaja, Ahlussunnah wal Jamaah.
Konflik di Poso juga ternyata memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat Kota Palu. Pada saat konflik terjadi, banyak para pengungsi yang berlari dan berlindung di Kota Palu. Warga Palu melihat bagaimana susahnya menjadi pengungsi dan tidak enaknya hidup berkonflik. Maka pengalaman dan kesadaran ini mendorong pada upaya bersama untuk menjaga perdamaian, saling menghindari untuk terjadinya konflik.
Adanya forum-forum organis yang berisikan lintas ormas, seperti MUI dan FKUB, ataupun forum-forum pertemuan sosial kemasyarakatan lainnya diyakini mencairkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka. Hal itu membuat mereka berkomunikasi dan bersatu, apalagi jika ada isu tertentu yang menyatukan, seperti penolakan terhadap Ahmadiyah. Adanya pertemuan dan kerjasama asosiasional dalam forum-forum ataupun kerjasama interaksional dalam aktivitas keseharian membuat jarak sosial kian berdekatan.84 Hal ini misalnya diindikasikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat:
“Ya, sekarang ini kan kita bertemu di berbagai, apa namanya, peran. Ya misalnya dengan temen-teman Muhammadiyah ada di FKUB, di kampus. Atau menggunakan pendekatan-pendekatan modern yang sudah membuat pikiran-pikiran tradisional itu tersingkir, begitu. Ini karena pertemuan-pertemuan secara interaksional dalam event-event kemasyarakatan itu yang merekatkan itu orang-orang Muhammadiyah dalam suatu skenario misalnya dimana kita berperan bersama untuk mengentaskan kemiskinan, menghadapi tantangan umat islam, khususnya .. itu kita berusaha menyingkirkan perbedaan-perbedaan.”85
84 Teori jarak sosial ini selanjutnya dapat dibaca di Asuthosh Versney, Ethnic
Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India, London: Yale University, 2002. 85 Wawancara dengan Drs. H. Jamaluddin M pada 26 September 2011 di kantor
PB Alkhairaat.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
341
Selain itu, adanya upaya untuk saling mengundang dalam
pertemuan atau diskusi tema tertentu, dapat memupus jarak-jarak perbedaan atau kesalahpahaman yang ada. Misalnya dilanjutkan Jamaluddin terkait pendapatnya tentang DDI, sebagai berikut:
“DDI memang lebih banyak kesamaan dengan kita. Biasanya
mereka apa ya tidak terlalu terbuka karena pusatnya di Makasar.
Dan sikap politik mereka tidak bisa ditebak dia kemana, begitu.
Ada juga mengambil jarak dengan kita, lebih ke Muhammadiyah,
misalnya. ..Ya, kalau amaliyahnya NU dia… Kita punya hubungan
baik dengan mereka, ada beberapa tokohnya seperti siapa itu, nah
itu sering bersama kita , dalam diskusi-dikusi keagamaan sering
kita undang.”
Hubungan antar Ormas dalam Upaya Pemeliharaan Kerukunan
Searah dengan potensi integrasi di atas, hubungan antar ormas dalam pemeliharaan kerukunan internal umat Islam terwujud dalam MUI yang telah menjadi payung bersama. Di dalam MUI ini
berhimpun seluruh perwakilan elemen ormas dan gerakan Islam, meskipun ada beberapa yang tidak atau belum dapat masuk, seperti LDII. Bahwa LDII telah berkali-kali menyatakan keinginannya untuk masuk dan diterima dalam lingkungan MUI dan umat Islam, namun sebagian pihak masih keberatan karena Paradigma Baru
yang didengungkannya pada faktanya belum terealiasasi di lapangan.86
Selain MUI, Forum Kerukunan Umat Beragama, yang secara internal Islam telah membagi keanggotaan dengan memperhatikan pelibatan berbagai ormas Islam, juga menjadi bentuk upaya
pemeliharaan itu. Persoalan-persoalan keumatan dan antar umat
86 Misalnya disampaikan Sekretaris MUI, Arsyad Said, pada wawancara tanggal 27
September 2011.
wajib yakni Kemuhammadiyahan, begitu juga di Unisma ada mata
kuliah dasar wajib tentang Aswaja, Ahlussunnah wal Jamaah.
Konflik di Poso juga ternyata memberikan pelajaran yang baik bagi masyarakat Kota Palu. Pada saat konflik terjadi, banyak para pengungsi yang berlari dan berlindung di Kota Palu. Warga Palu melihat bagaimana susahnya menjadi pengungsi dan tidak enaknya hidup berkonflik. Maka pengalaman dan kesadaran ini mendorong pada upaya bersama untuk menjaga perdamaian, saling menghindari untuk terjadinya konflik.
Adanya forum-forum organis yang berisikan lintas ormas, seperti MUI dan FKUB, ataupun forum-forum pertemuan sosial kemasyarakatan lainnya diyakini mencairkan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka. Hal itu membuat mereka berkomunikasi dan bersatu, apalagi jika ada isu tertentu yang menyatukan, seperti penolakan terhadap Ahmadiyah. Adanya pertemuan dan kerjasama asosiasional dalam forum-forum ataupun kerjasama interaksional dalam aktivitas keseharian membuat jarak sosial kian berdekatan.84 Hal ini misalnya diindikasikan Jamaluddin, Sekjen Alkhairaat:
“Ya, sekarang ini kan kita bertemu di berbagai, apa namanya, peran. Ya misalnya dengan temen-teman Muhammadiyah ada di FKUB, di kampus. Atau menggunakan pendekatan-pendekatan modern yang sudah membuat pikiran-pikiran tradisional itu tersingkir, begitu. Ini karena pertemuan-pertemuan secara interaksional dalam event-event kemasyarakatan itu yang merekatkan itu orang-orang Muhammadiyah dalam suatu skenario misalnya dimana kita berperan bersama untuk mengentaskan kemiskinan, menghadapi tantangan umat islam, khususnya .. itu kita berusaha menyingkirkan perbedaan-perbedaan.”85
84 Teori jarak sosial ini selanjutnya dapat dibaca di Asuthosh Versney, Ethnic
Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India, London: Yale University, 2002. 85 Wawancara dengan Drs. H. Jamaluddin M pada 26 September 2011 di kantor
PB Alkhairaat.
Akmal Salim Ruhana
342
beragama dibicarakan bersama dalam forum ini meski optimalitas
kinerjanya masih perlu ditingkatkan.
Ada program bersama yang melibatkan seluruh perwakilan ormas atau gerakan keagamaan. Ceramah Safari Ramadhan ke mesjid-masjid di Kota Palu diikuti oleh perwakilan semua ormas
dengan penjadualan penceramah dari berbagai ormas. Dan semua pihak berbicara dalam kapasitasnya masing-masing dengan tetap sadar kondisi, dimana mereka berbicara, demi menjaga kondisi kerukunan yang ada.
Dalam isu-isu nasional tertentu, seperti kasus Ahmadiyah,
mereka dapat bersatu. Demikian juga dalam menghadapi isu Kristenisasi atau liberalisasi, kecenderungan ormas-ormas relatif sama meski dalam derajat yang berbeda.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
343
Dari paparan profil dan peran ormas atau gerakan keagamaan di atas, secara sederhana dapat diskemakan hubungan
para pelaku dakwah di Kota Palu, sebagai berikut:
Secara umum, Alkhairaat, NU, dan DDI menjadi satu pihak karena kesamaan corak keagamaannya, berhadapan dengan
Muhammadiyah di pihak lainnya. Terdapat sejumlah kelompok kecil gerakan keagamaan, dalam hal ini Salafi dan Wahdah Islamiyah,
beragama dibicarakan bersama dalam forum ini meski optimalitas
kinerjanya masih perlu ditingkatkan.
Ada program bersama yang melibatkan seluruh perwakilan ormas atau gerakan keagamaan. Ceramah Safari Ramadhan ke mesjid-masjid di Kota Palu diikuti oleh perwakilan semua ormas
dengan penjadualan penceramah dari berbagai ormas. Dan semua pihak berbicara dalam kapasitasnya masing-masing dengan tetap sadar kondisi, dimana mereka berbicara, demi menjaga kondisi kerukunan yang ada.
Dalam isu-isu nasional tertentu, seperti kasus Ahmadiyah,
mereka dapat bersatu. Demikian juga dalam menghadapi isu Kristenisasi atau liberalisasi, kecenderungan ormas-ormas relatif sama meski dalam derajat yang berbeda.
Akmal Salim Ruhana
344
yang secara corak keagamaan lebih dekat atau bersamaan dengan
Muhammadiyah, bahkan sebagian aktornya merupakan orang-orang Muhammadiyah. Terdapat pula kelompok keagamaan yang coraknya berbeda dengan dua pihak utama bahkan cenderung mendapat resistansi dari para pihak, yakni LDII dan Ahmadiyah.
Meski eksistensinya tidak terlalu menonjol, namun dua gerakan keagamaan ini (serta gerakan lainnya, seperti Jamaah Tabligh, Hizbuttahrir, dan FPI) tetap ada dan berkembang di Kota Palu.
Profil dan peran dakwah ormas atau gerakan keagamaan terjadi dalam ladang dakwah yang sama, Kota Palu. Hubungan
interaktif antar ormas atau gerakan keagamaan berlangsung intens dan bersifat resiprokal.
Gambaran skema di atas lebih didasarkan pada profil ormas/gerakannya, sedangkan jika dipandang dari segi peran dakwahnya, mempertimbangkan cakupan dan kuantitas objeknya,
maka Alkhairaat tampak lebih mendominasi jagat dakwah Islam di Kota Palu. Sejumlah sekolah, majelis taklim, dan berbagai fasilitas dakwah Alkhairaat kiranya mengonfirmasi hal ini.
Secara umum, dalam hal pengadministrasian (managing) dan pentahapan dakwah masih kurang, tidak ada pendataan atau
penertiban administrasi keanggotaan misalnya, terlalu longgar, sehingga dalam kadar tertentu sulit untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dakwah (target mad’u, dsb).
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
345
Kesimpulan
Secara umum, profil dan peran pelaku dakwah (Alkhairaat, NU, DDI, dan Muhammadiyah) dalam kehidupan masyarakat Palu, Sulawesi Tengah, cukup variatif. Alkhairaat, NU, dan DDI relatif serupa, karena sama-sama Ahlussunnah wal Jamaah meski Alkhairaat lebih Syafi’i saja. Muhammadiyah ada di sisi yang lain,
sebagai gerakan tajdid. Peran para ormas telah cukup optimal, baik melalui dakwah billisan (konvensional) maupun bilqolam dan bilhal (pendidikan, rumah sakit, swalayan, dsb). Dari segi cakupan dan pengaruhnya, Alkhairaat tampak lebih mendominasi.
Diantara potensi konflik dalam kegiatan dakwah di Kota Palu adalah: (1) Meski tidak lagi kuat, potensi ketidak rukunan dari masalah khilafiyah tersisa masih ada, misalnya dalam penentuan 1 Syawal yang masih belum sama. (2) Kesenjangan distribusi dan akomodasi kebijakan politik keagamaan dapat berkembang pada
kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik. (3) Kehadiran dan gerak berkembang aliran-aliran keagamaan kecil dari arus keagamaan besar, dalam tahap tertentu dapat menimbulkan
yang secara corak keagamaan lebih dekat atau bersamaan dengan
Muhammadiyah, bahkan sebagian aktornya merupakan orang-orang Muhammadiyah. Terdapat pula kelompok keagamaan yang coraknya berbeda dengan dua pihak utama bahkan cenderung mendapat resistansi dari para pihak, yakni LDII dan Ahmadiyah.
Meski eksistensinya tidak terlalu menonjol, namun dua gerakan keagamaan ini (serta gerakan lainnya, seperti Jamaah Tabligh, Hizbuttahrir, dan FPI) tetap ada dan berkembang di Kota Palu.
Profil dan peran dakwah ormas atau gerakan keagamaan terjadi dalam ladang dakwah yang sama, Kota Palu. Hubungan
interaktif antar ormas atau gerakan keagamaan berlangsung intens dan bersifat resiprokal.
Gambaran skema di atas lebih didasarkan pada profil ormas/gerakannya, sedangkan jika dipandang dari segi peran dakwahnya, mempertimbangkan cakupan dan kuantitas objeknya,
maka Alkhairaat tampak lebih mendominasi jagat dakwah Islam di Kota Palu. Sejumlah sekolah, majelis taklim, dan berbagai fasilitas dakwah Alkhairaat kiranya mengonfirmasi hal ini.
Secara umum, dalam hal pengadministrasian (managing) dan pentahapan dakwah masih kurang, tidak ada pendataan atau
penertiban administrasi keanggotaan misalnya, terlalu longgar, sehingga dalam kadar tertentu sulit untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dakwah (target mad’u, dsb).
Akmal Salim Ruhana
346
ketidak rukunan. (4) Efek dinamika politik praktis lokal dapat
memecah belah umat.
Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah di Kota Palu adalah: (1) Peningkatan tingkat pendidikan dan saling pemahaman terhadap ‘yang lain’ dapat mengurangi berbagai
ikhtilaf dalam dan antar ormas. (2) Crosscutting/cross-participants di dunia pendidikan menyebabkan terjadinya saling mempelajari dan memahami pihak lain. (3) Konflik Poso menjadi ibroh untuk saling menghindari konflik. (4) Adanya forum-forum seperti MUI yang
menaungi semua serta FKUB dan forum sosial lainnya dapat mengeratkan hubungan antar person dalam ormas-ormas.
Diantara upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan keru-kunan umat beragama, antara lain: (1) Tidak mempertegas perbedaan, melainkan mencari kesamaan-kesamaannya. (2) Saling
memahami dan menjaga keadaan agar tak berujung konflik. (3) Kegiatan bersama dalam isu-isu agama atau non-keagamaan.
Rekomendasi
Dari pembahasan di atas, dapat disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: (1) Dakwah hendaknya senantiasa diarahkan pada upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan umat,
bukan diutamakan pada rekrutmen keanggotaan ormas/gerakan keagamaan. (2) Dakwah keagamaan hendaknya memperhatikan etika dan tetap menjaga perasaan (emosi keagamaan) masyarakat. (3) Kebijakan keagamaan hendaknya dijaga keseimbangannya sehingga dapat memuaskan rasa keadilan pihak-pihak. (4) Majelis
Ulama Indonesia hendaknya dapat lebih mengkoordinasikan proses dakwah yang dilakukan banyak unsur (ormas, gerakan islam, dll.), bahkan hingga membuat peta dakwah yang terintegrasi dengan program-program ormas.
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
347
SKB No. 1/1979 penting untuk mulai ditinjau dan disesuaikan
dengan perkembangan, karena proses penyiaran agama telah mendapat tantangan, baik karena hubungan internal, eksternal, maupun perkembangan teknologi informasi.
ketidak rukunan. (4) Efek dinamika politik praktis lokal dapat
memecah belah umat.
Sedangkan potensi integrasi dalam kegiatan dakwah di Kota Palu adalah: (1) Peningkatan tingkat pendidikan dan saling pemahaman terhadap ‘yang lain’ dapat mengurangi berbagai
ikhtilaf dalam dan antar ormas. (2) Crosscutting/cross-participants di dunia pendidikan menyebabkan terjadinya saling mempelajari dan memahami pihak lain. (3) Konflik Poso menjadi ibroh untuk saling menghindari konflik. (4) Adanya forum-forum seperti MUI yang
menaungi semua serta FKUB dan forum sosial lainnya dapat mengeratkan hubungan antar person dalam ormas-ormas.
Diantara upaya para pelaku dakwah dalam pemeliharaan keru-kunan umat beragama, antara lain: (1) Tidak mempertegas perbedaan, melainkan mencari kesamaan-kesamaannya. (2) Saling
memahami dan menjaga keadaan agar tak berujung konflik. (3) Kegiatan bersama dalam isu-isu agama atau non-keagamaan.
Rekomendasi
Dari pembahasan di atas, dapat disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: (1) Dakwah hendaknya senantiasa diarahkan pada upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan umat,
bukan diutamakan pada rekrutmen keanggotaan ormas/gerakan keagamaan. (2) Dakwah keagamaan hendaknya memperhatikan etika dan tetap menjaga perasaan (emosi keagamaan) masyarakat. (3) Kebijakan keagamaan hendaknya dijaga keseimbangannya sehingga dapat memuaskan rasa keadilan pihak-pihak. (4) Majelis
Ulama Indonesia hendaknya dapat lebih mengkoordinasikan proses dakwah yang dilakukan banyak unsur (ormas, gerakan islam, dll.), bahkan hingga membuat peta dakwah yang terintegrasi dengan program-program ormas.
Akmal Salim Ruhana
348
Dakwah Al-Khairaat, Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad dan Muhammadiyah ...
349
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Program Umum, dan
Taushiyah (Rekomendasi) Darud Da’wah wal Irsyad (DDI),
Hasil Muktamar XX Darud Da’wah wal Irsyad, Makassar 23-25 Februari 2009.
Anshoriy, Nashruddin, Ch., Anregurutta Ambo Dalle Mahaguru dari
Bumi Bugis, Yogyakarta: Penerbit Tiara wacana, 2009.
Bachmid, Achmad, Sang Bintang dari Timur: Sayyid Idrus Aljufri, Sosok Ulama dan Sastrawan, Jakarta: Studia Press, 2007.
Bimas Islam Dalam Angka 2009, Jakarta: Departemen Agama, 2009. Lampiran hlm. 103-105.
El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2006
Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Alkhairaat 2009, Palu: PB Alkhairaat, 2009.
Hasil Ketetapan Muktamar Besar Al-Khairaat IX Tahun 2008, Palu: Pengurus Besar Alkhairaat, 2008.
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Akmal Salim Ruhana
350
Khalimi, Dr., MA, Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Laporan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Palu Periode 2005-
2010, Musyda VII Muhammadiyah Kota Palu, 9-10 April 2011,
Palu: Pimpinan Daerah Muhammadiyah, 2011.
Perguruan Alkhairaat Dari Masa ke Masa, Palu: PB Alkhairaat, 1991.
Rubin, Barry (Ed.), Guide to Islamist Movement Volume I, New York: ME. Sharpe, 2010.
Versney, Asuthosh, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims
in India, London: Yale University, 2002.
Wahid, Abdurrahman, KH, (Ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009.
Wiktorowicz, Quintan, Islamic Activism: A Social Movement Theory
Approach, USA: Indiana University Press, 2004.
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
GERAKAN DAKWAH ISLAM
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :M. Yusuf Asry
Buku Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama di Indonesia ini diterbitkan untuk memperkaya wawasan mengenai persoalan-persoalan dakwah dalam konteks kerukunan umat beragama pada berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai sebuah hasil penelitian, isi buku ini mengungkapkan realitas pelaksanaan dakwah di masyarakat, yang berbeda daerah dengan instrumen yang sama. Pelaku dakwah di sini ialah organisasi kemasyarakatan Islam dan kelompok gerakan dakwah Islam.
Melalui penelitian ini berupaya menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: (1) Bagaimana karekter dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam pada masyarakat yang pluralis? (2) Apa saja potensi konflik dan faktor integrasi yang dominan dalam kegiatan dakwah? (3) Bagaimana relasi pelaku dakwah ormas dan kelompok gerakan dakwah Islam dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama?
Secara umum misi dakwah adalah “membumikan” Islam rahmatan lil’alamin, dan membela agama serta mewujudkan kerukunan, baik intern maupun antarumat beragama. Namun di sana-sini masih nampak potensi konflik antarormas dan kelompok gerakan dakwah atau harakah Islam, sekalipun diakui secara umum masalah “khilafiyah” sudah kurang pupuler untuk dipermasalahkan pada dekade terakhir ini.
Umat Islam dalam berdakwah dituntut mengaplikasikan teknologi informasi, untuk dapat mengemas pesan-pesan keagamaan yang makin efektif dengan jaungkauan yang luas. Jika menggunakan teknologi informasi, maka aktivitas dakwah akan makin dapat ditingkatkan.
Gerakan D
akwah Islam
dalam
Perspektif K
erukunan Um
at Berag
ama
dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
GERAKAN DAKWAH ISLAM
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :M. Yusuf Asry
ISBN 978-602-8739-08-5