editor bagian

26
E. Merumuskan Tujuan Belajar 1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi 2. Etiologi Dermatitis Kontak Alergi 3. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi 4. Faktor Resiko Dermatitis Kontak Alergi 5. Faktor Predisposisi Dermatitis Kontak Alergi 6. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi 7. Patofisiologis Dermatitis Kontak Alergi 8. Penegakan Diagnosis Dermatitis Kontak Alergi 9. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak Alergi 10. Prognosis Dermatitis Kontak Alergi 11. Komplikasi Dermatitis Kontak Alergi 12. Efloresensi Dermatitis Kontak Alergi F. Belajar Mandiri Sudah dilakukan G. Menarik atau Mengambil Informasi yang Dibutuhkan 1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi Dermatitis kontak adalah kondisi dimana kulit menjadi merah, nyeri, gatal atau proses inflamasi yang terjadi setelah mengalami kontak dengan suatu substansi (Vorvick, 2011). Sedangkan alergi adalah reaksi berlebihan oleh

Upload: regina-wahyu-apriani

Post on 08-Feb-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jhjhbjh

TRANSCRIPT

Page 1: Editor Bagian

E. Merumuskan Tujuan Belajar

1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi

2. Etiologi Dermatitis Kontak Alergi

3. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi

4. Faktor Resiko Dermatitis Kontak Alergi

5. Faktor Predisposisi Dermatitis Kontak Alergi

6. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi

7. Patofisiologis Dermatitis Kontak Alergi

8. Penegakan Diagnosis Dermatitis Kontak Alergi

9. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak Alergi

10. Prognosis Dermatitis Kontak Alergi

11. Komplikasi Dermatitis Kontak Alergi

12. Efloresensi Dermatitis Kontak Alergi

F. Belajar Mandiri

Sudah dilakukan

G. Menarik atau Mengambil Informasi yang Dibutuhkan

1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak adalah kondisi dimana kulit menjadi merah,

nyeri, gatal atau proses inflamasi yang terjadi setelah mengalami kontak

dengan suatu substansi (Vorvick, 2011). Sedangkan alergi adalah reaksi

berlebihan oleh tubuh terhadap zat asing yang tidak berbahaya bagi

kebanyakan orang (Abbas & Litchtman, 2004).

Dermatitis Kontak Alergi adalah dermatitis kontak yang

disebabkan karena sensitisasi alergi terhadap suatu zat, dengan reaksi

inflamasi pada kulit, hal ini terutama terjadi pada orang yang

mengalami hipersensitivitas terhadap alergen akibat pajanan zat

tersebut sebelumnya (Dorland, 2010).

Page 2: Editor Bagian

2. Etiologi Dermatitis Kontak Alergi

Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering

berupa bahan kimia dengan berat kurang dari 500-1000 Da, yang juga

disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi

oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi

di kulit (Baratawijaya, 2006).

Dermatitis kontak alergi terjadi bila alergen atau senyawa sejenis

menyebabkan reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang.

Dermatitis ini biasnaya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam

beberapa jam sampai 72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit

memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila tidak

terjadi paparan ulang. Reaksi yang paling umum adalah dermatitis rhus,

yaitu reaksi alergi terhadap poison ivy dan poison cak. Faktor

predisposisi yang menyebabakn kontak alergik adalah setiap keadaan

yang menyebabakan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis

statis (Baratawijaya, 2006).

3. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi

Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar

7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat

(Lingga, 2011). Berikut ini epidemiologi DKA berdasarkan insiden dan

prevalensi penyakit, usia, pol paparan, penyakit penyerta, pekerjaan

yang umumnya terkait dengan DKA :

a. Insiden dan Prevalensi Penyakit

Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan

tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu.

Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%) ditemukan

memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus

dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam

populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial menderita DKA

bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka insiden

(yaitu, jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu

Page 3: Editor Bagian

tertentu). Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi

dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian

pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek

samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu menderita

DKA (Lingga, 2011).

b. Usia

Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih

muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi

cepat untuk terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi

reaksi imun yang dimediasi sel T pada anak-anak masih

kontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-anak jarang

mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum

matang, namun Strauss menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang

jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan

bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi alergi

terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi

sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau wewangian

(Belsito, 2003).

c. Pola Paparan

Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi

bervariasi tidak hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial,

lingkungan, kegemaran, dan pekerjaan. Meskipun sebagian besar

variasi yang berkaitan dengan jenis kelamin dan geografis pada

DKA telah dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan lingkungan,

kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang lebih menonjol

(Lingga, 2011).

d. Penyakit penyerta

Penyakit penyerta yang sering adalah gangguan yang terkait

dengan defisiensi imun, seperti AIDS atau imunodefisiensi berat,

penyakit yang beragam seperti limfoma, sarkoidosis, kusta

lepromatosa, dan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan

kurangnya reaktivitas atau anergi (Belsito, 2003).

Page 4: Editor Bagian

e. Pekerjaan yang umumnya terkait dengan DKA

Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal

itu berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan

tertentu. Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja

konstruksi, elektronik dan industri lukisan, rambut, industri sektor

makanan dan logam, dan industri produk pembersih (Belsito,

2003).

Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang

melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada

kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan

yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan

rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi

dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di

intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar

(dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap

pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35

kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis

tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Lingga, 2011).

Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000

pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut

(46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan

tukang masak (Lingga, 2011).

4. Faktor Resiko Dermatitis Kontak Alergi

Kelompok yang berisiko mengalami alergi lateks adalah sebagai

berikut (Carpenito, 2009):

1. Pekerja industri karet.

2. Individu dengan spina bifida.

3. Riwayat barium enma.

4. Riwayat pemasangan kateter tetap atau katerisasi berulang.

5. Abnormalitas urogenitalia.

Page 5: Editor Bagian

6. Riwayat pembedahan berulang atau lama atau pajanan lateks pada

membran mukosa.

7. Individu dengan riwayat atopik atau alergi makanan (pisang,

avokat, mangga, kiwi, melon, kacang, kacang, passion fruit,

chestnut, melon, tomat, seledri).

Faktor risiko tentang energi lateks dibagi menjadi beberapa

karakteristik, diantaranya (Carpenito, 2009) :

1. Biopatofisiologis

Dibagi menjadi :

a. Berhubungan dengan riwayat ekzema atopik

b. Berhubungan dengan rinitis alergik

c. Berhubungan dengan riwayat asma

2. Terkait pengobatan

a. Berhubungan dengan katerisasi urin

b. Berhubungan dengan pengeluaran impaksi rektal

c. Berhubungan dengan prosedur pembedahan

d. Berhubungan dengan barium enema (sebelum 1992)

3. Situasional (personal dan lingkungan)

a. Faktor risiko situasional dapat dikaitkan dengan riwayat alergi

makanan terhadap pisang, avokat, mangga, kiwi, melon, kacang,

kacang, passion fruit, chestnut, melon, tomat.

b. Riwayat alergi terhadap sarung tangan, kondom, dan bahan

bahan lain khususnya yang terbuat dari lateks

c. Pajanan yang sering dengan lateks karet alam tempat kerja,

misalnya :

1) Tenaga kesehatan

2) Pembantu rumah tangga

3) Pembuat makanan

4) Pekerja di rumah kaca

5) Pekerja pembuat produl NRL

Page 6: Editor Bagian

5. Faktor Predisposisi Dermatitis Kontak Alergi

Kapasitas perlindungan antara satu individu berbeda dengan

individu lainnya. Seperti pada kasus dermatitis kontak yang berkaitan

dengan kepekaan individu. Beberapa faktor yang menjadi pencetus

dermatitis kontak antara lain berbagai zat dan bahan iritan yang karena

pekerjaan atau hobi seseorang, misalnya antiseptik, detergen, pemutih

pakaian, bahan kimia makanan, air liur, feses (tinja), dan sabagainya

(Dwikarya, 2008).

Banyak sumber yang menyatakan faktor-faktor yang menjadi

faktor predisposisi dermatitis. Pernyataan tersebut mengarah pada dua

kategori penyebab dermatitis kontak, yaitu (Lestari & Utomo, 2007) :

1. Direct causes

a. Bahan kimia

Berikut ini bahan kimia yang paling banyak menimbulkan

dermatitis kontak alergi di Amerika Serikat :

Alergen Sumber kontak

Nickel sulfat logam, logam dalam pakaian, perhiasan, agen

katalisator

Neomycin sulfat Biasanya terdapat dalam krim, salep

Balsam Peru Obat topikal

Fragrance mix Fragrances, kosmetik

Thimerosal Antiseptik

Sodium gold thiosulfate Obat

Formaldehyde Disinfektan, plastik

Quaternium-15 Disinfektan

Cobalt chloride semen, galvanisasi, minyak industri, agen pendingin,

eyeshades

Bacitracin Salep, bubuk

Tabel 1. 10 bahan kimia yang menyebabkan dermatitis kontak alergi

terbanyak di Amerika Serikat (Wolff, Johnson, and Suurmond, 2004).

Page 7: Editor Bagian

b. Mekanik

Faktor mekanik misalnya gesekan, tekanan, dan trauma. Hal

ini menyebabkan hilangnya barier sehingga memudahkan

terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan

penebalan kulit seperti yang terjadi pada kuli kuli pelabuhan

(Ernasari, 2012).

c. Fisika

Faktor fisika yang berperan dalam dermatitis kontak alergi

antara lain (Ernasari, 2012):

1) Suhu tinggi di tempat kerja yang dapat menyebabkan

miliaria, combustio, dan intertrigo excoreasi.

2) Suhu terlalu rendah dapat menyebabkan chilblains, trench

foot, frosbite.

3) Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput

lendir saluran

4) pernapasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat

terjadi perdarahan pada kulit dan selaput lendir.

5) Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan

infra merah.

6) Kelembaban yang tinggi menyebabkan kulit menjadi basah,

sehingga dapat menyebabkan maserasi, paronychia dan

penyakit jamur.

7) Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan

kemungkinan kontak dengan bahan kimia dalam bentuk gas,

uap, asap, kabut atau fume menjadi lebih besar.

d. Racun tanaman

Racun makanan yang paling terkenal adalah yang berasal dari

famili Anacardiacea, yaitu yang disebut sebagai Poison ivy

(Toxicodendron radicans) dan poison oak (T. querifolium, T.

Diversilobum) dan terkadang poison sumac (T. vernix). Beberapa

tanaman yang memiliki toksin sejenis poison ivy misalnya

Brazilian pepper, pohon cashew nut, tanaman Ginkgo biloba,

Page 8: Editor Bagian

Indian marker nut tree, pohon mangga, dan rengas tree (Wolff,

Johnson, and Suurmond, 2004).

e. Biologi

Contoh dari faktor predisposisi biologi adalah bakteri, virus,

jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit kulit pada

karyawan perkebunan, rumah potong, peternakan, pertambangan,

tukang cuci (Ernasari, 2012).

2. Indirect causes

a. Faktor genetik

Penyebab alergi sebenarnya tidaklah jelas walaupun

tampaknya terdapat predisposisi genetik. Predisposisi tersebut

dapat berupa pengikatan IgE berlebihan, mudahnya sel mast

dipicu untuk berdegranulasi, atau respons sel T helper yang

berlebihan. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa defisiensi

sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan dari

sistem imun dan alergi. Pajanan pajanan berlebihan terhadap

alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,

dapat menyebabkan respons alergi (Corwin, 2007).

b. Penyakit yang telah ada sebelumnya

Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non

occupational cenderung lebih mudah mendapat occupational

dermatoses, seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja

terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis.

Pekerja dengan riwayat atopic dermatitis bila bekerja di

lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor

psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat. Karyawan

dengan psoriasis atau dermatitis kronik akan menjadi lebih berat

bila tempat lesi dikenai bahan kimia atau terjadi penekanan.

Pekerja dengan hyperhidrosis mudah mendapat penyakit kulit bila

kontak dengan bahan yang larut dalam air (Ernasari, 2012;

Jeyaratnam & Koh, 2009; Price & Wilson, 2005).

Page 9: Editor Bagian

c. Usia

Dermatitis kontak alergi biasanya menyerang usia muda

sampai dewasa. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan

pada orang tua lebih dari 70 tahun (Wolff, Johnson, and

Suurmond, 2004).

d. Lingkungan

Berhubungan dengan exposure atau pajanan. Pada faktor

lingkungan pun faktor mental psikologis juga turut berpengaruh,

misalnya adanya hubungan kerja yang kurang baik, pekerjaan-

pekerjaan yang monoton dan faktor-faktor psikis lainnya

(Ernasari, 2012).

e. Personal hygiene

Seseorang yang kurang bersih misalnya tidak membersihkan

badan sehabis bekerja, tidak memakai alat pelindung atau

memakai pakaian yang telah terkontaminer akan lebih mudah

dermatoses akibat kerja (Ernasari, 2012).

f. Jenis kelamin

Jenis kelamin sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, hanya

saja pada beberapa penelitian ditemukan penderita alergi lebih

banyak adalah wanita namun perbedaan antara wanita dan laki

laki tidak terlalu signifikan (Nadraja, 2011).

g. Ras

Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri

karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita

tumor kulit oleh radiasi ultraviolet, kurang peka terhadap debu

kimia, bahan pelarut dan alkali (Ganong, 2012).

h. Tekstur kulit (ketebalan kulit, pigmentasi, daya serap, hardening)

Kulit yang berminyak lebih tahan terhadap sabun, bahan

pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering

kurang tahan terhadap chemical dehydration seperti asam, basa,

detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol

dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah terkena

Page 10: Editor Bagian

folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun

debu (Ganong, 2012).

i. Musim

Dermatitis kontak alergi paling sering terjadi pada musim

panas karena pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang

senang memakai alat pelindung diri bahkan lebih suka pakai

celana pendek, kaus singlet atau tanpa baju sehingga lebih mudah

kontak dengan bahan kimia. Namun, pada cuaca dingin juga

terdapat kebiasaan kurang baik yaitu pekerja menjadi malas

mandi atau mencuci tangan (Ernasari, 2012).

j. Keringat

Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan

menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan

miliaria dan macerasi kulit di lipatan ketiak, pangkal paha atau

pusat, dan mudah terjadi sekunder infeksi. Keringat dapat juga

merubah bahan-bahan yang larut dalam air menjadi bentuk lain

dan mempermudah absorbsi melalui pori-pori kulit. Gas-gas yang

mudah larut dalam air seperti hydrogen chlorida dan ammonia

bila dihisap akan segera larut dalam cairan mucosa saluran napas

bagian atas yang selalu basah sehingga sering menyebabkan

iritasi dan lesi seperti rhinitis dan infeksi saluran napas bagian

atas lainnya (Ernasari, 2012).

k. Obat / pengobatan

Obat obatan khususnya imunosupresan misalnya

kortikosteroid dapat menurunkan sistem imun yang

mempermudah infeksi virus dan bakteri (Davey, 2005).

6. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi

merupakan respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated

immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV, yang umumnya

terjadi dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.

Page 11: Editor Bagian

Patogenesis hipersensitivitas tipe IV terbagi menjadi dua fase, yaitu

fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).

a. Fase sensitisasi

Fase sensitisasi disebut juga sebagai fase induksi atau fase

aferen penyakit dermatitis kontak alergi yang terjadi setelah kontak

kulit dengan hapten. Fase pertama ini umumnya tidak mempunyai

konsekuensi klinis, tetapi pada beberapa kasus dapat muncul

sebagai dermatitis kontak alergi primer akut (Tončić, 2011).

Menurut Djuanda (2010), terjadi perubahan spesifik reaktivitas

pada kulit pasien sebelum menderita dermatitis kontak alergi.

Perubahan tersebut terjadi karena adanya kontak dengan bahan

kimia sederhana yang disebut hapten, yaitu alergen yang memiliki

berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh

jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap.

Kemampuan hapten mensensitisasi adalah dengan

menggunakan beberapa hal berikut (Mezzard, et al., 2004) :

1) Properti pro-inflamasi

Dengan menggunakan properti pro-inflamasi, hapten

mengaktivasi sistem imunitas bawaan kulit dan mengirim

sinyal untuk menginduksi maturasi dan migrasi sel dendritik

kutaneus

2) Berikatan dengan residu asam amino

Dengan berikatan bersama residu asam amino, hapten

memodifikasi proteinnya sendiri dan mengizinkan ekspresi

kulit terhadap antigen determinan baru

Kontak pertama kulit dengan hapten menginduksi generasi sel

T spesifik hapten di limfonodi dan menyebabkan migrasi sel T

spesifik hapten ke dalam kulit. Hapten berikatan dengan residu

asam amino agar dapat mengsensitisasi sistem imun bawaan kulit.

Hapten atau protein yang berikatan dengan hapten diload oleh

antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel

langerhans serta diekspresikan sebagai peptide hapten melalui

Page 12: Editor Bagian

sistem MHC I dan MHC II pada permukaan sel. Ikatan antara

hapten dengan APC mengalami beberapa proses, seperti proses

endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari

alergen, atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dengan

HLA-DR (Mezzard, et al., 2004; Hogan, 2009; dan Crowe, 2009).

Hapten yang menempel pada sel dendritik kutaneus bermigrasi

dari kulit menuju limfonodi regional yang spesifik sel T CD8+ and

sel T CD4+ terutama di area parakortikal. APC akan

mempresentasikan hapten kepada sel T naïve (Mezzard, et al., 2004

dan Hernita, 2011).

Sel T naive mengalami proliferasi membentuk sel T efektor

yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori serta melakukan

emigrasi keluar dari limfonodi regional ke dalam aliran darah dan

mengalami resirkulasi ke seluruh tubuh, di antara organ-organ

limfoid dan kulit, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang

sama di seluruh kulit tubuh (Mezzard, et al., 2004, Hernita, 2011,

dan Lingga, 2011).

Fase sensitisasi tidak menimbulkan konsekuensi klinis dan

berlangsung antara 10 sampai 15 hari pada manusia dan 5 sampai 7

hari pada tikus. Kontak hapten dengan kulit yang dapat

menimbulkan dermatitis kontak alergi adalah hapten yang memiliki

kemampuan kuat, sementara hapten dengan kekuatan rendah dan

sedang jarang menimbulkan dermatitis kontak alergi pada kontak

pertama, tetapi dengan pajanan berulang (Mezzard, et al., 2004).

b. Fase elisitasi

Fase elisitasi atau fase eferen atau fase challenge terjadi

apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang

telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis,

serta akan menginduksi dermatitis kontak alergi dalam 24 atau 72

jam (Mezzard, et al., 2004 dan Hernita, 2011).

Hapten yang berdifusi di kulit diuptake oleh sel di kulit melalui

MHC I dan II atau kompleks peptide hapten. Limfosit T spesifik

Page 13: Editor Bagian

diaktifkan di dermis dan epidermis, akan memicu proses inflamasi

yang bertanggung jawab terhadap lesi kutaneus (Mezzard, et al.,

2004).

Sel Langerhans, satu-satunya sel epidermal yang

mengekspresikan antigen HLA-DR kelas II pada permukaannya,

akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk

mensekresi IL-2 yang akan merangsang INFγ. IL-1 dan INFγ akan

merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular

adhesion molecule-1) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR

yang langsung beraksi dengan limfosit T dan leukosit, serta

mensekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan

makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi

dan peningkatan permeabilitas. Akibatnya timbul berbagai macam

kelainan kulit, seperti eritema, edema, dan vesikula yang tampak

sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan

terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu proses skuamasi,

degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan

sel keratinosit, serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)

oleh sel makrofag akibat stimulasi INFγ. PGE-1,2 berfungsi

menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T

dengan keratisonit. Sel mast dan basofil ikut berperan dengan

memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen,

histamin yang dikeluarkan sel mast berefek merangsang molekul

CD8+ yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,

seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, akhirnya menekan

atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa sel limfosit

T sitotoksik CD8+ merupakan efektor utama CHS terhadap hapten

kuat. CHS dan hapten kuat tersebut direkruit dini setelah kontak

sebelum infiltrasi massif leukosit yang berisi down-regulatory cells

dari CHS, ditemukan dalam subset CD4+ T (Mezzard, et al., 2004).

Page 14: Editor Bagian

Fase eferen memerlukan waktu 72 jam pada manusia dan 24

hari pada tikus. Reaksi inflamasi terjadi hanya beberapa hari dan

dengan cepat menurun akibat adanya mekanisme down regulatory

(Mezzard, et al., 2004).

Berikut adalah ilustrasi patogenesis dermatitis kontak alergi :

Gambar1. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (Mezzard, et al., 2004).

Page 15: Editor Bagian

Gambar 2. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (Health and Safety

Executive, 2000).

Page 16: Editor Bagian

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, K. A. & Litchtman, H. A. 2004. Basic Immunoligy. 2th ed. China:

Elsevier.

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI.

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik

Klinis. Edisi 9. Jakarta : EGC.

Crowe, M. A., 2009. Contact Dermatitis. http://www.Contact

Dermatitis_eMedicine PediatricsGeneralMedicine.mht. (Diakses 10

November 2013).

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Djuanda, S., dan Sri A.S. 2010. Dermatitis. Dalam Djuanda, A. 2010. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Dorland, W. A. N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. 31th ed. Jakarta: EGC.

Dwikarya, Maria. 2008. Merawat Kesehatan Kulit & Wajah. Jakarta: Kawan

Pustaka.

Ernasari. 2012. Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak Terhadap Pengetahuan

Dan Sikap Perajin Tahu Di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun

2011. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masayarakat. Universitas

Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/32834?

mode=full&submit_simple=Show+full+item+record 19 November 2013

(05:24).

Barret, Kim E., Susan M. B., Scott B., & Heddwen B. 2012. Ganong’s Review of

Medical Physiology. 24th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.

Belsito DV. 2003. Allergic Contact Dermatitis. 6th ed. New York: The McGraw-

Hill. h. 1164-1179.

Hernita, S. 2011. Dermatitis Kontak Nikel.  USU e-Journals (UJ). USU

Institutional Repository.

Page 17: Editor Bagian

Hogan, D. J., 2009. Contact Dermatitis, Allergic. http://www.Contact Dermatitis,

Allergic_ eMedicineDermatology.mht. (Diakses 10 November 2013)

Jeyaratnam, J. & David Koh. 2009. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Edisi 1.

Jakarta : EGC.

Lestari, Fatma & Hari S. U. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan

Dermatitis Kontak Pada Pekerja Di PT Inti Pantja Press Industri. Makara

Kesehatan 11(2): 61-68.

http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/view/257/253. 18 November

2013 (15:27).

Lingga, I.N. 2011. Dermatitis Kontak.  USU e-Journals (UJ). USU Institutional

Repository.

Mezzard, PS., Rosieres, A., Krasteva, M., Berard, F., Dubois, B., Kaiserlian, D.,

and Jean, F.N. 2004. Allergic Contact Dermatitis. Eur J Dermatol. Vol. 14,

No.5 : 284-95.

Nadraja, I. 2011. Rhinitis Alergi yang Tejadi Pada Anak-Anak. Skripsi. Program

S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/5/Chapter%20I.pdf

19 November 2013 (05:35).

Price, Sylvia A. & Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis dan

Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Tončić1, R.J., Lipozenčić, J., Martinac, I., and Sanja, G. 2011. Immunology of

Allergic Contact Dermatitis. Acta Dermatovenerol Croat. 2011;19(1):51-68.

Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis Kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP

Haji Adam Malik Medan [Tesis]. Program Pendidikan Dokter Spesialis

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Wolff, Klaus, Richard A. J. and Dick S. 2004. Fitzpatrick’s Color Atlas &

Synopsis of Clinical Dermatology. Fifth Edition. New York : Mc Graw Hill.

Vorvick, L. J. 2011. Contact Dermatitis. Available at :

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000869.htm [Accessed 18

November 2013].

Page 18: Editor Bagian