editor bagian
DESCRIPTION
jhjhbjhTRANSCRIPT
E. Merumuskan Tujuan Belajar
1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi
2. Etiologi Dermatitis Kontak Alergi
3. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi
4. Faktor Resiko Dermatitis Kontak Alergi
5. Faktor Predisposisi Dermatitis Kontak Alergi
6. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi
7. Patofisiologis Dermatitis Kontak Alergi
8. Penegakan Diagnosis Dermatitis Kontak Alergi
9. Penatalaksanaan Dermatitis Kontak Alergi
10. Prognosis Dermatitis Kontak Alergi
11. Komplikasi Dermatitis Kontak Alergi
12. Efloresensi Dermatitis Kontak Alergi
F. Belajar Mandiri
Sudah dilakukan
G. Menarik atau Mengambil Informasi yang Dibutuhkan
1. Definisi Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak adalah kondisi dimana kulit menjadi merah,
nyeri, gatal atau proses inflamasi yang terjadi setelah mengalami kontak
dengan suatu substansi (Vorvick, 2011). Sedangkan alergi adalah reaksi
berlebihan oleh tubuh terhadap zat asing yang tidak berbahaya bagi
kebanyakan orang (Abbas & Litchtman, 2004).
Dermatitis Kontak Alergi adalah dermatitis kontak yang
disebabkan karena sensitisasi alergi terhadap suatu zat, dengan reaksi
inflamasi pada kulit, hal ini terutama terjadi pada orang yang
mengalami hipersensitivitas terhadap alergen akibat pajanan zat
tersebut sebelumnya (Dorland, 2010).
2. Etiologi Dermatitis Kontak Alergi
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia dengan berat kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi
oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi
di kulit (Baratawijaya, 2006).
Dermatitis kontak alergi terjadi bila alergen atau senyawa sejenis
menyebabkan reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang.
Dermatitis ini biasnaya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam
beberapa jam sampai 72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit
memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila tidak
terjadi paparan ulang. Reaksi yang paling umum adalah dermatitis rhus,
yaitu reaksi alergi terhadap poison ivy dan poison cak. Faktor
predisposisi yang menyebabakn kontak alergik adalah setiap keadaan
yang menyebabakan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis
statis (Baratawijaya, 2006).
3. Epidemiologi Dermatitis Kontak Alergi
Epidemiologi DKA sering terjadi. Penyakit ini terhitung sebesar
7% dari penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat
(Lingga, 2011). Berikut ini epidemiologi DKA berdasarkan insiden dan
prevalensi penyakit, usia, pol paparan, penyakit penyerta, pekerjaan
yang umumnya terkait dengan DKA :
a. Insiden dan Prevalensi Penyakit
Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, insiden dan
tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen tertentu.
Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%) ditemukan
memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Namun, harus
dipahami bahwa angka ini mengacu pada prevalensi DKA dalam
populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial menderita DKA
bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka insiden
(yaitu, jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu
tertentu). Tidak ada data yang cukup tentang epidemiologi
dermatitis kontak alergi di Indonesia, namun berdasarkan penelitian
pada penata rias di Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek
samping kosmetik, dimana 25, 4 persen dari angka itu menderita
DKA (Lingga, 2011).
b. Usia
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih
muda (18 sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi
cepat untuk terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi
reaksi imun yang dimediasi sel T pada anak-anak masih
kontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-anak jarang
mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum
matang, namun Strauss menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang
jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan
bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi alergi
terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi
sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau wewangian
(Belsito, 2003).
c. Pola Paparan
Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi
bervariasi tidak hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial,
lingkungan, kegemaran, dan pekerjaan. Meskipun sebagian besar
variasi yang berkaitan dengan jenis kelamin dan geografis pada
DKA telah dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan lingkungan,
kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang lebih menonjol
(Lingga, 2011).
d. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta yang sering adalah gangguan yang terkait
dengan defisiensi imun, seperti AIDS atau imunodefisiensi berat,
penyakit yang beragam seperti limfoma, sarkoidosis, kusta
lepromatosa, dan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan
kurangnya reaktivitas atau anergi (Belsito, 2003).
e. Pekerjaan yang umumnya terkait dengan DKA
Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal
itu berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan
tertentu. Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja
konstruksi, elektronik dan industri lukisan, rambut, industri sektor
makanan dan logam, dan industri produk pembersih (Belsito,
2003).
Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang
melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada
kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan
yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan
rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi
dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di
intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar
(dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap
pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35
kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis
tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Lingga, 2011).
Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000
pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut
(46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan
tukang masak (Lingga, 2011).
4. Faktor Resiko Dermatitis Kontak Alergi
Kelompok yang berisiko mengalami alergi lateks adalah sebagai
berikut (Carpenito, 2009):
1. Pekerja industri karet.
2. Individu dengan spina bifida.
3. Riwayat barium enma.
4. Riwayat pemasangan kateter tetap atau katerisasi berulang.
5. Abnormalitas urogenitalia.
6. Riwayat pembedahan berulang atau lama atau pajanan lateks pada
membran mukosa.
7. Individu dengan riwayat atopik atau alergi makanan (pisang,
avokat, mangga, kiwi, melon, kacang, kacang, passion fruit,
chestnut, melon, tomat, seledri).
Faktor risiko tentang energi lateks dibagi menjadi beberapa
karakteristik, diantaranya (Carpenito, 2009) :
1. Biopatofisiologis
Dibagi menjadi :
a. Berhubungan dengan riwayat ekzema atopik
b. Berhubungan dengan rinitis alergik
c. Berhubungan dengan riwayat asma
2. Terkait pengobatan
a. Berhubungan dengan katerisasi urin
b. Berhubungan dengan pengeluaran impaksi rektal
c. Berhubungan dengan prosedur pembedahan
d. Berhubungan dengan barium enema (sebelum 1992)
3. Situasional (personal dan lingkungan)
a. Faktor risiko situasional dapat dikaitkan dengan riwayat alergi
makanan terhadap pisang, avokat, mangga, kiwi, melon, kacang,
kacang, passion fruit, chestnut, melon, tomat.
b. Riwayat alergi terhadap sarung tangan, kondom, dan bahan
bahan lain khususnya yang terbuat dari lateks
c. Pajanan yang sering dengan lateks karet alam tempat kerja,
misalnya :
1) Tenaga kesehatan
2) Pembantu rumah tangga
3) Pembuat makanan
4) Pekerja di rumah kaca
5) Pekerja pembuat produl NRL
5. Faktor Predisposisi Dermatitis Kontak Alergi
Kapasitas perlindungan antara satu individu berbeda dengan
individu lainnya. Seperti pada kasus dermatitis kontak yang berkaitan
dengan kepekaan individu. Beberapa faktor yang menjadi pencetus
dermatitis kontak antara lain berbagai zat dan bahan iritan yang karena
pekerjaan atau hobi seseorang, misalnya antiseptik, detergen, pemutih
pakaian, bahan kimia makanan, air liur, feses (tinja), dan sabagainya
(Dwikarya, 2008).
Banyak sumber yang menyatakan faktor-faktor yang menjadi
faktor predisposisi dermatitis. Pernyataan tersebut mengarah pada dua
kategori penyebab dermatitis kontak, yaitu (Lestari & Utomo, 2007) :
1. Direct causes
a. Bahan kimia
Berikut ini bahan kimia yang paling banyak menimbulkan
dermatitis kontak alergi di Amerika Serikat :
Alergen Sumber kontak
Nickel sulfat logam, logam dalam pakaian, perhiasan, agen
katalisator
Neomycin sulfat Biasanya terdapat dalam krim, salep
Balsam Peru Obat topikal
Fragrance mix Fragrances, kosmetik
Thimerosal Antiseptik
Sodium gold thiosulfate Obat
Formaldehyde Disinfektan, plastik
Quaternium-15 Disinfektan
Cobalt chloride semen, galvanisasi, minyak industri, agen pendingin,
eyeshades
Bacitracin Salep, bubuk
Tabel 1. 10 bahan kimia yang menyebabkan dermatitis kontak alergi
terbanyak di Amerika Serikat (Wolff, Johnson, and Suurmond, 2004).
b. Mekanik
Faktor mekanik misalnya gesekan, tekanan, dan trauma. Hal
ini menyebabkan hilangnya barier sehingga memudahkan
terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan
penebalan kulit seperti yang terjadi pada kuli kuli pelabuhan
(Ernasari, 2012).
c. Fisika
Faktor fisika yang berperan dalam dermatitis kontak alergi
antara lain (Ernasari, 2012):
1) Suhu tinggi di tempat kerja yang dapat menyebabkan
miliaria, combustio, dan intertrigo excoreasi.
2) Suhu terlalu rendah dapat menyebabkan chilblains, trench
foot, frosbite.
3) Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput
lendir saluran
4) pernapasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat
terjadi perdarahan pada kulit dan selaput lendir.
5) Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan
infra merah.
6) Kelembaban yang tinggi menyebabkan kulit menjadi basah,
sehingga dapat menyebabkan maserasi, paronychia dan
penyakit jamur.
7) Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan
kemungkinan kontak dengan bahan kimia dalam bentuk gas,
uap, asap, kabut atau fume menjadi lebih besar.
d. Racun tanaman
Racun makanan yang paling terkenal adalah yang berasal dari
famili Anacardiacea, yaitu yang disebut sebagai Poison ivy
(Toxicodendron radicans) dan poison oak (T. querifolium, T.
Diversilobum) dan terkadang poison sumac (T. vernix). Beberapa
tanaman yang memiliki toksin sejenis poison ivy misalnya
Brazilian pepper, pohon cashew nut, tanaman Ginkgo biloba,
Indian marker nut tree, pohon mangga, dan rengas tree (Wolff,
Johnson, and Suurmond, 2004).
e. Biologi
Contoh dari faktor predisposisi biologi adalah bakteri, virus,
jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit kulit pada
karyawan perkebunan, rumah potong, peternakan, pertambangan,
tukang cuci (Ernasari, 2012).
2. Indirect causes
a. Faktor genetik
Penyebab alergi sebenarnya tidaklah jelas walaupun
tampaknya terdapat predisposisi genetik. Predisposisi tersebut
dapat berupa pengikatan IgE berlebihan, mudahnya sel mast
dipicu untuk berdegranulasi, atau respons sel T helper yang
berlebihan. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa defisiensi
sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan dari
sistem imun dan alergi. Pajanan pajanan berlebihan terhadap
alergen-alergen tertentu setiap saat, termasuk selama gestasi,
dapat menyebabkan respons alergi (Corwin, 2007).
b. Penyakit yang telah ada sebelumnya
Pekerja yang sebelumnya atau yang sedang sakit kulit non
occupational cenderung lebih mudah mendapat occupational
dermatoses, seperti pekerja-pekerja dengan acne yang bekerja
terpapar dengan cutting oil dan ter, sering menderita dermatitis.
Pekerja dengan riwayat atopic dermatitis bila bekerja di
lingkungan panas atau terpapar debu kimia dan pengaruh faktor
psikis, akan kambuh dalam stadium yang lebih berat. Karyawan
dengan psoriasis atau dermatitis kronik akan menjadi lebih berat
bila tempat lesi dikenai bahan kimia atau terjadi penekanan.
Pekerja dengan hyperhidrosis mudah mendapat penyakit kulit bila
kontak dengan bahan yang larut dalam air (Ernasari, 2012;
Jeyaratnam & Koh, 2009; Price & Wilson, 2005).
c. Usia
Dermatitis kontak alergi biasanya menyerang usia muda
sampai dewasa. Penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan
pada orang tua lebih dari 70 tahun (Wolff, Johnson, and
Suurmond, 2004).
d. Lingkungan
Berhubungan dengan exposure atau pajanan. Pada faktor
lingkungan pun faktor mental psikologis juga turut berpengaruh,
misalnya adanya hubungan kerja yang kurang baik, pekerjaan-
pekerjaan yang monoton dan faktor-faktor psikis lainnya
(Ernasari, 2012).
e. Personal hygiene
Seseorang yang kurang bersih misalnya tidak membersihkan
badan sehabis bekerja, tidak memakai alat pelindung atau
memakai pakaian yang telah terkontaminer akan lebih mudah
dermatoses akibat kerja (Ernasari, 2012).
f. Jenis kelamin
Jenis kelamin sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, hanya
saja pada beberapa penelitian ditemukan penderita alergi lebih
banyak adalah wanita namun perbedaan antara wanita dan laki
laki tidak terlalu signifikan (Nadraja, 2011).
g. Ras
Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri
karena kulitnya kaya akan melanin. Mereka jarang menderita
tumor kulit oleh radiasi ultraviolet, kurang peka terhadap debu
kimia, bahan pelarut dan alkali (Ganong, 2012).
h. Tekstur kulit (ketebalan kulit, pigmentasi, daya serap, hardening)
Kulit yang berminyak lebih tahan terhadap sabun, bahan
pelarut dan zat-zat yang larut dalam air, sedangkan kulit kering
kurang tahan terhadap chemical dehydration seperti asam, basa,
detergen dan bahan pelarut lemak, misalnya terpentine, benzol
dan sabun. Kulit yang banyak rambutnya mudah terkena
folliculitis bila kontak dengan minyak, gemuk, coklat ataupun
debu (Ganong, 2012).
i. Musim
Dermatitis kontak alergi paling sering terjadi pada musim
panas karena pengeluaran keringat meningkat dan pekerja kurang
senang memakai alat pelindung diri bahkan lebih suka pakai
celana pendek, kaus singlet atau tanpa baju sehingga lebih mudah
kontak dengan bahan kimia. Namun, pada cuaca dingin juga
terdapat kebiasaan kurang baik yaitu pekerja menjadi malas
mandi atau mencuci tangan (Ernasari, 2012).
j. Keringat
Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan
menghanyutkan bahan-bahan iritan. Hyperhidrosis menyebabkan
miliaria dan macerasi kulit di lipatan ketiak, pangkal paha atau
pusat, dan mudah terjadi sekunder infeksi. Keringat dapat juga
merubah bahan-bahan yang larut dalam air menjadi bentuk lain
dan mempermudah absorbsi melalui pori-pori kulit. Gas-gas yang
mudah larut dalam air seperti hydrogen chlorida dan ammonia
bila dihisap akan segera larut dalam cairan mucosa saluran napas
bagian atas yang selalu basah sehingga sering menyebabkan
iritasi dan lesi seperti rhinitis dan infeksi saluran napas bagian
atas lainnya (Ernasari, 2012).
k. Obat / pengobatan
Obat obatan khususnya imunosupresan misalnya
kortikosteroid dapat menurunkan sistem imun yang
mempermudah infeksi virus dan bakteri (Davey, 2005).
6. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
merupakan respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV, yang umumnya
terjadi dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV terbagi menjadi dua fase, yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).
a. Fase sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga sebagai fase induksi atau fase
aferen penyakit dermatitis kontak alergi yang terjadi setelah kontak
kulit dengan hapten. Fase pertama ini umumnya tidak mempunyai
konsekuensi klinis, tetapi pada beberapa kasus dapat muncul
sebagai dermatitis kontak alergi primer akut (Tončić, 2011).
Menurut Djuanda (2010), terjadi perubahan spesifik reaktivitas
pada kulit pasien sebelum menderita dermatitis kontak alergi.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya kontak dengan bahan
kimia sederhana yang disebut hapten, yaitu alergen yang memiliki
berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh
jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap.
Kemampuan hapten mensensitisasi adalah dengan
menggunakan beberapa hal berikut (Mezzard, et al., 2004) :
1) Properti pro-inflamasi
Dengan menggunakan properti pro-inflamasi, hapten
mengaktivasi sistem imunitas bawaan kulit dan mengirim
sinyal untuk menginduksi maturasi dan migrasi sel dendritik
kutaneus
2) Berikatan dengan residu asam amino
Dengan berikatan bersama residu asam amino, hapten
memodifikasi proteinnya sendiri dan mengizinkan ekspresi
kulit terhadap antigen determinan baru
Kontak pertama kulit dengan hapten menginduksi generasi sel
T spesifik hapten di limfonodi dan menyebabkan migrasi sel T
spesifik hapten ke dalam kulit. Hapten berikatan dengan residu
asam amino agar dapat mengsensitisasi sistem imun bawaan kulit.
Hapten atau protein yang berikatan dengan hapten diload oleh
antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel
langerhans serta diekspresikan sebagai peptide hapten melalui
sistem MHC I dan MHC II pada permukaan sel. Ikatan antara
hapten dengan APC mengalami beberapa proses, seperti proses
endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari
alergen, atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dengan
HLA-DR (Mezzard, et al., 2004; Hogan, 2009; dan Crowe, 2009).
Hapten yang menempel pada sel dendritik kutaneus bermigrasi
dari kulit menuju limfonodi regional yang spesifik sel T CD8+ and
sel T CD4+ terutama di area parakortikal. APC akan
mempresentasikan hapten kepada sel T naïve (Mezzard, et al., 2004
dan Hernita, 2011).
Sel T naive mengalami proliferasi membentuk sel T efektor
yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori serta melakukan
emigrasi keluar dari limfonodi regional ke dalam aliran darah dan
mengalami resirkulasi ke seluruh tubuh, di antara organ-organ
limfoid dan kulit, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang
sama di seluruh kulit tubuh (Mezzard, et al., 2004, Hernita, 2011,
dan Lingga, 2011).
Fase sensitisasi tidak menimbulkan konsekuensi klinis dan
berlangsung antara 10 sampai 15 hari pada manusia dan 5 sampai 7
hari pada tikus. Kontak hapten dengan kulit yang dapat
menimbulkan dermatitis kontak alergi adalah hapten yang memiliki
kemampuan kuat, sementara hapten dengan kekuatan rendah dan
sedang jarang menimbulkan dermatitis kontak alergi pada kontak
pertama, tetapi dengan pajanan berulang (Mezzard, et al., 2004).
b. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen atau fase challenge terjadi
apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang
telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis,
serta akan menginduksi dermatitis kontak alergi dalam 24 atau 72
jam (Mezzard, et al., 2004 dan Hernita, 2011).
Hapten yang berdifusi di kulit diuptake oleh sel di kulit melalui
MHC I dan II atau kompleks peptide hapten. Limfosit T spesifik
diaktifkan di dermis dan epidermis, akan memicu proses inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap lesi kutaneus (Mezzard, et al.,
2004).
Sel Langerhans, satu-satunya sel epidermal yang
mengekspresikan antigen HLA-DR kelas II pada permukaannya,
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi IL-2 yang akan merangsang INFγ. IL-1 dan INFγ akan
merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule-1) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR
yang langsung beraksi dengan limfosit T dan leukosit, serta
mensekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas. Akibatnya timbul berbagai macam
kelainan kulit, seperti eritema, edema, dan vesikula yang tampak
sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan
terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan
sel keratinosit, serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2)
oleh sel makrofag akibat stimulasi INFγ. PGE-1,2 berfungsi
menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T
dengan keratisonit. Sel mast dan basofil ikut berperan dengan
memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen,
histamin yang dikeluarkan sel mast berefek merangsang molekul
CD8+ yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,
seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, akhirnya menekan
atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa sel limfosit
T sitotoksik CD8+ merupakan efektor utama CHS terhadap hapten
kuat. CHS dan hapten kuat tersebut direkruit dini setelah kontak
sebelum infiltrasi massif leukosit yang berisi down-regulatory cells
dari CHS, ditemukan dalam subset CD4+ T (Mezzard, et al., 2004).
Fase eferen memerlukan waktu 72 jam pada manusia dan 24
hari pada tikus. Reaksi inflamasi terjadi hanya beberapa hari dan
dengan cepat menurun akibat adanya mekanisme down regulatory
(Mezzard, et al., 2004).
Berikut adalah ilustrasi patogenesis dermatitis kontak alergi :
Gambar1. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (Mezzard, et al., 2004).
Gambar 2. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi (Health and Safety
Executive, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, K. A. & Litchtman, H. A. 2004. Basic Immunoligy. 2th ed. China:
Elsevier.
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik
Klinis. Edisi 9. Jakarta : EGC.
Crowe, M. A., 2009. Contact Dermatitis. http://www.Contact
Dermatitis_eMedicine PediatricsGeneralMedicine.mht. (Diakses 10
November 2013).
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Djuanda, S., dan Sri A.S. 2010. Dermatitis. Dalam Djuanda, A. 2010. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Dorland, W. A. N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. 31th ed. Jakarta: EGC.
Dwikarya, Maria. 2008. Merawat Kesehatan Kulit & Wajah. Jakarta: Kawan
Pustaka.
Ernasari. 2012. Pengaruh Penyuluhan Dermatitis Kontak Terhadap Pengetahuan
Dan Sikap Perajin Tahu Di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun
2011. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masayarakat. Universitas
Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/32834?
mode=full&submit_simple=Show+full+item+record 19 November 2013
(05:24).
Barret, Kim E., Susan M. B., Scott B., & Heddwen B. 2012. Ganong’s Review of
Medical Physiology. 24th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Belsito DV. 2003. Allergic Contact Dermatitis. 6th ed. New York: The McGraw-
Hill. h. 1164-1179.
Hernita, S. 2011. Dermatitis Kontak Nikel. USU e-Journals (UJ). USU
Institutional Repository.
Hogan, D. J., 2009. Contact Dermatitis, Allergic. http://www.Contact Dermatitis,
Allergic_ eMedicineDermatology.mht. (Diakses 10 November 2013)
Jeyaratnam, J. & David Koh. 2009. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Edisi 1.
Jakarta : EGC.
Lestari, Fatma & Hari S. U. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan
Dermatitis Kontak Pada Pekerja Di PT Inti Pantja Press Industri. Makara
Kesehatan 11(2): 61-68.
http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/view/257/253. 18 November
2013 (15:27).
Lingga, I.N. 2011. Dermatitis Kontak. USU e-Journals (UJ). USU Institutional
Repository.
Mezzard, PS., Rosieres, A., Krasteva, M., Berard, F., Dubois, B., Kaiserlian, D.,
and Jean, F.N. 2004. Allergic Contact Dermatitis. Eur J Dermatol. Vol. 14,
No.5 : 284-95.
Nadraja, I. 2011. Rhinitis Alergi yang Tejadi Pada Anak-Anak. Skripsi. Program
S1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/5/Chapter%20I.pdf
19 November 2013 (05:35).
Price, Sylvia A. & Lorraine M. W. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Tončić1, R.J., Lipozenčić, J., Martinac, I., and Sanja, G. 2011. Immunology of
Allergic Contact Dermatitis. Acta Dermatovenerol Croat. 2011;19(1):51-68.
Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis Kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan [Tesis]. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wolff, Klaus, Richard A. J. and Dick S. 2004. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. Fifth Edition. New York : Mc Graw Hill.
Vorvick, L. J. 2011. Contact Dermatitis. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000869.htm [Accessed 18
November 2013].