ebook catatan dari aceh

142
Dari Bintang Sampai Lhok Nga: Sebuah Catatan Perjalanan di Aceh Banda Aceh 2010 Oleh: Emil E. Elip

Upload: emil-e-elip

Post on 30-Jun-2015

524 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga:

Sebuah Catatan Perjalanan di Aceh

Banda Aceh 2010

Oleh: Emil E. Elip

Page 2: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 1

Pengantar Penulis

Keinginan saya datang ke Aceh bukannya muncul lantaran kesempatan yang diberikan oleh salah seorang teman saya. Tapi sejak musibah Tsunami memporak-porandakan Aceh, keinginan itu sudah ada untuk merasakan denyut “perubahan” yang luar biasa di tanah rencong ini. Akhirnya setelah sekian lama kesempatan itu datang juga saya menginjakkan kaki di bumi rencong, dengan bergabung dalam “Aceh local Government Support Programme” [Algap – II] yang dikembangkan oleh GTZ-SfDM. Dalam hal ini saya secara pribadi harus mengucapkan syukur, dan juga terima kasih banyak untuk Mas Ruslan dan Binariyanto. Begitu sulit saya ungkapkan dengan kata-kata rasa syukur dan terima kasih saya kepada semua pihak, yang jika ditulis mungkin seperti daftar orang-orang yang begitu panjang. Kepada jajaran elite birokrasi, jajaran DPRK, para staf instansi pemerintah di beberapa kabupaten/kota khususnya di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, teriiring ucapan terima kasih saya. Para rekan dan sahabat perbincangan di warung-warung kopi, yang diantaranya adalah petani, tukang ojek, pedagang sayur, mahasiswa, guru-guru, juga aktivis LSM, para syeck, dan macam-macam lain, terima kasih atas “sharing” dan satir-anekdot-nya yang segar.

Page 3: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 2

Buku kecil ini tentu tidak akan terwujud tanpa mereka semua. Kumpulan tulisan di buku ini mungkin bisa dibayangkan semacam “mosaik” cuplikan refleksi atas catatan-catatan lapangan dari bumi Aceh bagian Tengah, khususnya sekitar Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, serta berbagai tempat di Nanggroe Aceh Darussalam. Memang kesan subyektif mungkin cukup kentara di dalam buku ini, namun melalui usaha pendekatan “perbandingan” dan refleksi antroplogis, semoga mosaik ini ada manfaatnya serta menyuduhkan perspektif lain bagi Anda. Selamat membaca. Salam, Emil E. Elip

Page 4: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 3

Daftar Isi Site View Bener Meriah dan Aceh Tengah | 4 Petani Gunung Yang Multikulturalis | 10 Secangkir Kopi di Singah Mata | 18 Kopi: Secuil Konteks Sosio-Kultural | 28 Dapur, Kuda dan Didong | 53 ”Cik”, Silsilah dan Kesopanan Ber-”Governance” | 66 ”Wajar Tanpa Pengecualian” Kab. Aceh Tengah | 74 Dialog Kawasan: “Pegunungan dan Dataran” | 88 Gampong: Entitas Yang Tak Pernah Usai | 98 Siapa Pemilik ”Kebudayaan” Aceh? | 122 Menyoal ”Katarsis” Kebudayaan Aceh | 131

Page 5: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 4

Site View Bener Meriah dan Aceh Tengah

Bener Meriah dan Aceh Tengah, adalah dua dari

23 kabupaten/kota di Aceh yang letaknya di pegunungan Tengah wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aku ingin menyatakannya sebagai “negeri di atas awan” bagi Bener Meriah dan Aceh Tengah karena hampir sepanjang hari kabut menyelimuti kehidupan. Seluruh wilayah di kedua kabupaten ini adalah perbukitan. Menurutku ketinggiannya kira-kira lebih dari 900 M di atas permukaan laut. Tidak aku bayangkan sebelumnya ternyata Aceh mempunyai wilayah pegunungan yang indah, dengan populasi hutan yang bagiku masih cukup baik.

Lebih kurang 100 Km dari Kota Biereun

(Kabupaten Biereun) menuju Kota Takengon1 (di

1 Nama Takengon memiliki versi yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan

dia berasal dari akar kata ”tikungan” karena memang jalan menuju kota pegunungan ini berliku-liku penuh tikungan. Sebagian masyarakat menjelaskan Takengon itu berarti ”tertegun atau terpesona dalam pandangan pertama”, mungkin karena memang wilayah Takengon yang indah bersama danau Lot Tawar-nya.

Page 6: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 5

Kabupaten Aceh Tengah) dan Redelong2 (di Kabupaten Bener Meriah), kita akan bertemu setidaknya tiga simpangan. Ketiga simpangan itu yakni Simpang Balek, Simpang Raya dan Simpang Tritis. Sekitar 5 Km dari ketiga simpangan itu kita akan sampai di Kota Redelong. Daerah pemukiman di Bener Meriah terletak di hamparan yang relatif datar di kelilingi bukit-bukit dan pohon-pohon Pinus. Di pekarangan-pekarangan dan kebun didominasi pohon kopi. Sementara di tanah-tanah lahan kering didominasi berbagai tanaman sayuran seperti kentang, wortel, bawang daun, cool (kubis), cabai, dll. Memang sumber penghidupan masyarakat di Bener Meriah3 dan Aceh Ternah adalah pertanian dataran tinggi, dengan komoditi utama kopi dan sayuran. Kopi ”Sidikalang” yang berkualitas ekspor dan terkenal itu, diyakini oleh hampir setiap orang Gayo, adalah bijih kopi dari tanah Gayo.

Ketika mulai naik di wilayah Kabupaten Bener

Meriah dan Aceh Tengah aku sudah merasakan perbedaan. Perbedaan bentuk fisik antara orang-orang

2 Kosa kata Aceh tidak mengenal kata “redelong”. Redelong, menurut

masyarakat setempat berasal dari istilah Belanda ”Red Long”. Terjemahan harafiahnya ”merah panjang”. Disekitar Pasar Simpang Tiga, terutama di kanan kiri jalur-jalur jalan menuju pasar tersebut, pada jaman Belanda ditumbuhi jajaran pepohonan berwarna merah, mungkin sejenis pohon kayu Damar.

3 Nama kabupaten ini diambil dari salah satu dari dua anak Raja Linge (kerajaan lokal di tanah Gayo) Sengeda dan Bener Meriah. Keduanya kemudian dinobatkan menjadi raja untuk wilayah yang berbeda. Sengeda menjadi penguasa sebagian daerah yang sekarang ada di Aceh Tengah, sedangkan Bener Meriah diangkat menjadi raja di wilayah yang akhir Januari 2004 diresmikan menjadi Kabupaten Bener Meriah sebagai pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah.

Page 7: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 6

Aceh pesisiran dan orang-orang Aceh pegunungan atau mungkin lebih tepat disebut orang Aceh pedalaman. Kedua dikotomi ini dipakai tidak untuk menunjukkan baik-buruk, modern-tradisional, santri-abangan, dll.

Bener Meriah adalah sepi. Dia merupakan

kabupaten baru sejak 2003 pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah4. Redelong, adalah ibu kota Bener Meriah. Kota ini lebih tepatnya, saat ini, bisa digambarkan seperti kota kecamatan. Denyut Redelong adalah pasar. Pasar Simpang Tiga begitu orang biasa menyebut. Jangan dibayangkan lalu ada ruko-ruko atau supermarket mini. Kios-kios yang ada berbentuk bangunan kayu berderet-deret memanjang persis tipikal ruko Cina jaman kuno, tetapi ornamen hiasan bangunannya bergaya Islami-Melayu. Diseputar pasar, tumpah ruah warung dan berbagai pedagang, mulai dari warung kopi, makan, pakaian, warung kelontong, pedagang-pedagang sayur –karena Bener Meriah

4 Sementara itu Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten

tertua di Aceh. Kabupaten ini berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-Oendang No. 10 Tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-Undang No. 7 (Drt) Tahun 1956. Saat itu wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues dan Tanah Alas (lih. http://www.acehtengahkab.go.id – diakese 3 Februari 2009). Tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dipecah dengan munculnya Kabupaten Aceh Tenggara melalui Undang - undang No. 4 Tahun 1974. Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah dipecah kembali dengan munculnya Kabupaten Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003.

Page 8: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 7

adalah produsen sayur—dll. Hanya ada dua bank di sini yaitu cabang BPD Aceh dan BRI cabang Bener Meriah. Kendaraan umum memang ada, tetapi masih jarang, misalnya becak [becak motor], RBT [ojek].

Berbeda dengan Redelong di Bener Meriah, Kota

Takengon sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Tengah nampak lebih semarak dan menunjukkan kompleksitas ciri perkotaan (kota pegunungan). Sarana jalan dan transportasi lebih tersedia dengan lengkap. Begitu pula sarana perbelanjaan dan perdagangan seperti pasar tradisional, ruko-ruko baik dari beton maupun kayu, sarana-sarana perkantoran, bank, terminal, pasar ikan yang cukup ramai, sekolah-sekolah mulai dari TK sampai universitas, dll. Takengon adalah kota yang dapat dikatakan cukup tua di Aceh, bahkan sejak jaman orang-orang Belanda mulai mengadu perekonomian di sini dengan membuka kebun-kebun kopi, teh, pinus, dll. Lebih dari itu Takengon merupakan jalur perdagangan sayur-mayur yang merupakan basis kebutuhan hampir di sebagian besar kota-kota pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam.

Hanya ada dua jalur transportasi umum yang

menghubungan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah dengan kota-kota sekitarnya yang lebih bawah. Jalur pertama dan lebih ramai adalah Takengon-Biereun. Sampai di Kota Biereun arah ke kiri maka ditemukan serangkaian kota-kota dan kabupaten

Page 9: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 8

wilayah pesisir sampai di Kota Banda Aceh. Sementara kalau belok ke arah kanan maka kita akan melalui kota-kota dan kabupaten pesisir mulai dari Lhokseumawe, Langsa, Kuala Simpang sampai di wilayah Sumatera Utara seperti Kuala Raja, Binjai dan kemudian Kota Medan. Sementara jalur satunya yang membuka wilayah Bener Meriah dan Aceh Tengah yaitu jalur ke Kota Blangkejeren (Kabupaten Gayo Luwes). Melalui wilayah ini baru kita bisa ke kota-kota pesisir lain seperti Meulaboh, Lamno, Kutacane, dll.

Baru penulis tahu kemudian, bahwa masyarakat

wilayah pegunungan Aceh Tengah dan Bener Meriah mengalir akar kebudayaan Gayo. Sedangkan Aceh pesisiran berasal dari asimilasi berbagai kebudayaan seperti Melayu, India, Cina, dan yang terkuat Arab. Browsing internet menelusuri “siapa dan bagaimana Gayo” terus kulakukan tidak terbendung lagi, untuk membasahi dahaga keingintahuanku mengenai keunikan “Aceh Tengah”. Gayo adalah masyarakat kebudayaan yang dari batasan geografis menempati wilayah-wilayah Tengah Propinsi Aceh Naggroe Darussalam (NAD). Komunitas kebudayaan ini kira-kira menempati hamparan pegunungan dari Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), Kabupaten Bener Meriah (Redelong), Kabupaten Gayo Luwes (Blangkejeren), sampai Aceh Tenggara.

Page 10: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 9

Dari sudut kebudayaan memang masyarakat Gayo memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat Aceh (pesisiran), baik dari sudut bahasa, basis kehidupan ekonomi, pola-pola sosialitas, basis kesenian-kesenian, dll. Banyak sumber-sumber sejarah mengatakan akar kebudayaan Gayo lebih mirip dengan kebudayaan Batak Karo di Sumatera Utara. Masyarakat Batak Karo berbasis kebudayaan petani dataran tinggi, dan karena itu memang logis jika komunitas Gayo menyerupai komunitas Batak Karo. Konon abarnya, awalnya sekitar 27 orang Batak Karo berkelana menyusuri rangkaian pegunungan Leuser yang akhirnya sampai di wilayah Aceh Tengah saat ini. Orang-orang tersebut membuka suatu pemukiman dan kemudian beranak pinak menjadi semacam komunitas kampung. Kampung awal itu bernama kampung Bebesen, tidak jauh dari Danau Lot Tawar. [■]

Page 11: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 10

Petani Gunung Yang Multikulturalis

Kalau Anda berjalan-jalan di Pasar Simpang Tiga

(Redelong, Kab. Bener Meriah), dan mencoba masuk ke los-los pasar, atau nongkrong di kedai-kedai kopi, maka akan Anda temukan tidak sedikit orang yang saling bicara dalam bahasa Jawa ”kasar”. Atau kalau Anda mau keluar masuk kampung sedikit, kemudian sampai di Pondok Baru, Pondok Sayur (keduanya di wilayah Bener Meriah), juga Anda berjalan di beberapa kampung pinggiran sekitar Kota Takengon (Aceh Tengah), bahasa Jawa tidak jarang terselip dalam percaturan percakapan kerumunan-kerumunan orang di situ. Sejarah kedatangan orang-orang Jawa di Aceh Tengah seiring dengan dikembangkannya perkebunan-perkebunan oleh Belanda. Mereka di datangkan oleh Belanda antara tahun 1920 – 19305. Pemukiman mereka semula di pinggir kota Takengon, maklum karena mereka adalah para pekerja perkebunan.

Ternyata ada banyak kelompok-kelompok

masyarakat di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh

5 Lih. http://indahnesia.com/indonesia/ACEGAY/gayo_highlands.php -

diakses 5 Februari 2009

Page 12: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 11

Tengah, sebut saja misalnya Cina, Jawa, komunitas asal Sunda, komunitas Batak, Minang, tentu saja orang-orang Aceh, dll. Sudah sejak lama mereka beranak pinak di tanah Gayo, bahkan mereka pun fasih berbahasa Gayo. Perkawinan campur antar komunitas suku ini terjadi tidak sedikit dan telah berlangsung sejak dulu. Ada beberapa orang yang mengaku orang Gayo, namun setelah merunut persaudaraan mereka ada pula generasi-generasi asal usul mereka yang berasal dari Jawa atau wilayah lain seperti Batak, Minang, dan Aceh sendiri.

Orang Gayo, atau kalau boleh disebut dengan

konteks lebih luas ”komunitas Gayo”, adalah sebuah komunitas yang terbuka. Tidak dalam arti hanya rela membagi wilayah dan tanah sebagai tempat penghidupan para pendatang lain, namun juga secara kultural masyarakat Gayo pun mampu mengakomodir kemungkinan perbedaan yang ada. Para petani kopi pun, jika budaya petani kopi boleh kita sebut sebagai aktivitas kultural masyarakat, tidak sedikit yang orang Jawa, Batak, Aceh atau lainnya. Jiwa keterbukaan semacam itu, secara harafiah-mudah, bisa kita sebut sikap ”multikulturalis”. Komunitas Gayo dengan begitu bukan komunitas yang cenderung inklusif, namun komunitas yang bergerak ke arah ”enklusif”. Politik identitasnya bukan melalui mengorganisir diri dengan benteng-benteng fanatisme eksistensi kesukuannya, tetapi politik identitasnya akomodatif

Page 13: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 12

dengan dialog atau negosiasi kultural yang terbuka. Dua pernyataan6 berikut mungkin dapat menjadi pijakan gambaran begitu adaptifnya orang Gayo :

… In the early 1930's the Gayo founded modern schools for normal and religious education. Gayo students got their education somewhere else, often with good results. … … The Gayo are proud on their strong family ties, their attention about the community and the vitality of their poetry and stories, but also over their ability to adapt to modern life. … Secara tidak disadari jiwa enklusif itu mungkin

tumbuh dan dihidupi dari kebiasaan ”bertungku”, berdapur, berkumpul sejak para nenek moyang orang Gayo ini datang ke wilayah tersebut. Bertungku, yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi sebagai cara stragle for life dari hawa dingin pegunungan jangan dianggap aktivitas remeh. Dapur dan bertungku tersebut sudah menjadi ”simbol” jiwa masyarakat bersosialitas, bergaul dengan orang lain dan tidak menutup mata terbawa tatkala mereka berjumpa, bergaul, berdialog, atau bahkan membagi cara hidup mereka dengan kelompok-kelompok pendatang lain.

Itulah pelajaran dari sebuah negeri ”yang selalu

tertutup” awan namun memiliki kelenturan budaya

6 Lihat http://indahnesia.com/indonesia/ACEGAY/gayo_highlands.

php - diakses 5 Februari 2009.

Page 14: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 13

yang luar biasa, sebuah kelenturan yang multikulturalis. Sesunggunya fakta menunjukkan bahwa wilayah Nanggroe Aceh Darussalam adalah wilayah yang multikultur. Menurut penelitian Evelyn Suleeman, tahukah Anda, bahwa NAD merupakan tempat hidup dari tiga kebudayaan dominan, yakni: Aceh, Batak, dan Minangkabau7. Ditambahkan oleh Evelyn Suleeman, berbagai suku yang berakar dari kebudayaan dominan tadi antara lain suku Aceh8 sendiri; Aneuk Jame dan Singkil yang merupakan keturunan Minangkabau; serta Gayo, Alas, Dairi, Kluet dan Pak-Pak yang berakar kebudayaan Batak. Sementara suku Gayo9 sendiri masih dapat dibedakan lagi menjadi Gayo Lues, Gayo Serbe Jadi, dan Gayo Lut. Selain itu, ada suku Jawa yang datang sebagai

7 Lihat tulisan Evelyn Suleeman dalam ”Suku Aceh Hanya Dominan di Dua

Pertiga Daerahnya” (http://www.ihssrc.com/index - diakses 3 Februari 2009). 8 Banyak referensi dan artikel di dunia maya menyatakan suku Aceh

bukanlah penduduk asli dari wilayah yang Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Aceh merupakan hasil asimilasi atau percampuran dari berbagai suku pendatang yang berasal dari Arab, Cina, India, dan Eropa. Memang kurang bijaksana membicarakan mana suku asli mana tidak. Namun itu sama tidak bijaksananya menganggap bahwa suku yang ada di NAD disebut hanya dengan satu istilah ”Aceh”.

9 Penjelasan Yusradi Usman Al-Gayoni, seorang budayawan Gayo, dalam artikelnya ” Pemakaian Tutur Dalam Masyarakat Gayo” relatif lebih lengkap (lih. http://www.gayolinge.com/ - diakses 3 Februari 2009). Masyarakat Gayo dapat digolongkan pada kelompok melayu tua atau proto Melayu. Daerah pesebarannya antara lain Takengon (kabupaten Aceh Tengah) & kabupaten Bener Meriah (Gayo Lut dan Gayo Deret), Gayo Lokop (Serbejadi, Aceh Timur), Gayo Kalul (pulo Tige, Aceh Tamiang), kabupaten Gayo Lues dan sebagian di kabupaten Aceh Tenggara (Gayo Lues) serta sebagian kecil di Aceh Selatan. Biasanya, orang Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara menyebut dirinya sebagai Gayo Alas.

Page 15: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 14

transmigran ke propinsi ini, suku Tamiang dengan kebudayan Melayunya, suku Simeulue, dan juga orang-orang Sunda (dari Jawa Barat). Lebih lanjut Suleeman menjelaskan sebagai berikut:

Seperti di daerah lainnya, setiap suku berkelompok di daerah (baca kabupaten) tertentu sesuai dengan jalur tiga kebudayaan dominan itu. Walaupun suku Aceh dianggap sebagai penduduk asli propinsi NAD, mereka hanya dominan di duapertiga daerah atau 14 dari 21 kabupaten yang terdiri dari 5968 desa. Kabupaten itu umumnya terletak di sebelah utara, barat laut dan timur laut propinsi NAD. Suku-suku dengan akar kebudayaan Batak mendiami daerah tengah dan tenggara seperti kabupaten Gayo Lues dihuni oleh 99% suku Gayo Lues, kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah masing-masing diduduki oleh 79% dan 75% suku Gayo Lut. Mayoritas penduduk desa di kabupaten Tenggara adalah suku Alas (55%). Kabupaten yang terletak di sebelah selatan banyak didiami oleh suku dengan latar belakang kebudayaan Minangkabau dan Batak, seperti kabupaten Singkil yang dihuni oleh suku Dairi (37%), Singkil (26%), dan Pak-pak (12%). Sedangkan kabupaten Aceh Selatan walaupun didominasi oleh suku Aceh, juga dihuni oleh suku Aneuk Jame (30%) dan Kluet (10%). Suku Aneuk Jami juga mendiami sebagian daerah Aceh Barat Daya (12%). Suku Jawa banyak ditemui di daerah sebelah timur, selatan dan sedikit di tengah. Di kabupaten Tamianglah prosentase suku Jawa paling banyak (42%), dan diikuti oleh Kota Langsa (29%). Selain suku Jawa, kabupaten Tamiang juga banyak dihuni oleh suku Tamiang (35%) yang berlatar belakang kebudayaan Melayu. Sedangkan suku Simeulue merupakan mayoritas penduduk (89%) pulau Simeulue yang terletak di sebelah barat propinsi NAD.

Page 16: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 15

Penelitian yang dilakukan Evelyn Suleeman mengenai persebaran suku-suku di wilayah NAD ini disertai dengan tabel persebaran sebagai berikut:

Tabel: Prosentase suku menurut kabupaten di propinsi Naggroe Aceh Darusallam

Kembali kepada sikap-sikap dasar multikulturalis.

Mungkin tidak ada satu wilayahpun di Indonesia saat ini yang dihuni atau menjadi tempat tinggal oleh satu jenis suku saja. Namun itu belum berarti suku asli maupun suku dominan disana bersifat multikulturalis. Penjelasan-penjelasan mengenai petani Gayo yang

Page 17: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 16

multikulturalis di atas, bukan saja lantaran mereka adaptif dari segi diversitas budaya dan kehidupan sehari-hari. Sejarah dialog agama sebagai bagian dari kehidupan diversitas suku dan komunitas di Aceh Tengah ternyata juga sudah berjalan lama.

Di kota yang relatif kecil seperti Takengon, yang

terletak di dataran tinggi dan secara geografis bolehlah disebut terpencil, selain masjid dapat kita temukan pula gereja Katolik, gereja Kristen Protestan, kuil Hindu, dan tempat sembahyang orang Cina. Terlalulah sempit pikiran kita kalau menganggap hal itu perkara ritual biasa atau gedung tempat sembahyang semata. Proses dibalik berdirinya tempat-tempat sembahyang itu bisa kita nilai sebagai sebuah proses ”dialog” yang luar biasa hebat dari masyarakat setempat. Berikut ini petikan dari sebuah artikel10 yang mungkin dapat menggambar mosaik dialog diversitas kehidupan beragama di Aceh Tengah, yang sudah terjadi begitu panjang, dilatarbelakangi enklusifitas budaya Gayo.

... towards the city and visit Mersah Padang, Padang House of Prayer besides the river and close to a new market building. This was built in the end of the 1920's by colonists from Minangkabau, which demanded a modern approach of Islam. Besides the Mersah Padang, a road brings you towards a river and an old pedestrian bridge. The view from the bridge over both banks is very nice. On the left side is the city of Bale, with an old reformed prayer house, and on the right hand side, downstream, the Asir-

10 Lih. http://indahnesia.com/indonesia/ACEGAY/gayo_highlands.php -

05.02.09

Page 18: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 17

Asir community. This house of prayer was built by conservative Moslems which wanted to keep the traditional forms of religion. These three houses of prayers once served as mosques. Cross the river towards Bale to visit the Buddhist temple and the Catholic Church. … A rich Islamic ritual life illustrates the city and the Gayo appreciate it when visitors ask questions about their religion. …

Demikianlah jiwa dasar dari petani dataran tinggi Gayo. Sebuah jiwa yang ”terbuka” atas kemungkinan-kemungkinan perbedaan dari individu, kelompok, komunitas, atau bahkan suku dari daerah lain. Memang banyak kalangan yang meresahkan, bahwa ”pertautan” budaya dengan daerah lain itu tidak diikuti dengan penguatan budaya lokal Gayo oleh orang-orang Gayo sendiri. Tentu saja ini merupakan ”pekerjaan rumah” tersendiri bagi para pegiat penguatan budaya Gayo di masa depan. [■]

Page 19: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 18

Secangkir Kopi di Singah Mata

Kita tidaklah lengkap memperbincangkan atau

sekedar menceritakan kehidupan masyarakat Gayo di Bener Meriah dan Aceh Tengah, tanpa menyinggung tetang ”kopi” dan perbukitan indah di wilayah ini. Kopi telah menjadi salah satu kekuatan hidup orang Gayo, dan telah menggeliatkan kota Takengon sebagai salah satu kota tua sejak jaman Belanda. Salah satu perjalanan atau ekspedisi tertua oleh orang Belanda ke tanah Gayo, menurut laporan Snouck Hurgronje11 (1996: XVIII) dilakukan tahun 1901. Sejak tahun 1904 kedatangan orang Belanda lebih pada urusan bisnis rempah-rempah, dan tahun 1924 dikembangkan perkebunan teh, kopi, tembakau dan damar. Dalam masa kolonial Belanda tersebut di kota Takengon didirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Sejak saat itu pula kota Takengon mulai berkembang menjadi kota pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.

11 lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Gayo (diakses 2 Februari 2009)

Page 20: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 19

Memasuki wilayah Kecamatan Ronga-Ronga mulai terlihat tebaran kebun-kebun kopi12 di tepi-tepi jalan, di pekarangan penduduk, sampai di kebun-kebun di kaki bukit. Panasnya iklim pesisir sedikit demi sedikit tergantikan kesejukan pegunungan. Setelah melewati Ronga-Ronga kita akan terus menanjak berliku-liku di kanan kiri berselang seling antara kebun kopi, hutan pinus, hutan primer, kebun buah-buahan, dll serta melalui beberapa tempat seperti Lampahan, Simpang Balek, Simpang Raya, Simpang Tritit, dan kemudian sampai di sebuah wilayah yang disebut Singgah Mata.

Jika Anda pertama kali datang ke kota Takengon,

penulis sarankan untuk singgah di kedai kopi yang satu ini. Anda akan merasakan langsung dua sentuhan indera yang kita miliki. Mata memandang kebun-kebun kopi yang hijau indah, sedang di mulut Anda merasakan aliran tetes demi tetes kopi Gayo. Dari salah satu kedai kopi di Singgah Mata ini, yang letaknya persis di sebua pengkolan, kita dapat melihat landscape semacam ngarai yang luas dimana seluruh kota Takengon yang tepat di tepi danau Lot Tawar bisa

12 Kopi dari wilayah Gayo, yang sering disebut Gayo mountain organic

coffee ini tak sengaja dibudidayakan secara organik oleh masyarakat. Ternyata warga sejak dahulu tidak biasa memberi pupuk kimia pada tanaman kopi. Alasannya, ongkos produksi yang dikeluarkan lebih mahal bila menggunakan pupuk kimia. Para petani juga telah membentuk organisai yang disebut Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKO) dan usaha produksi telah mendapatkan Fair Trade Certified dari organisasi internasional (lih. http://www.kopigayo. blogspot.com)

Page 21: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 20

terlihat. Di ujung danau masih terlihat jajaran perbukitan sebagai bagian dari keindahan topografi tanah Gayo. Dengan ditemani secangkir kopi Gayo yang hitam hangat, kita dapat melihat hamparan kebun-kebun kopi yang mulai berproduksi dengan baik setelah sempat ditelantarkan para pemiliknya akibat konflik berkepanjangan.

Luas Kabupaten Bener Meriah sekitar 188.871 Ha

dan Kabupaten Aceh Tengah mencapai 431.839 Ha. Total luas kedua kabupaten ini sekitar 620.710 Ha. Hutan lindung di kedua kabupaten tersebut mencapai 246.776 Ha atau 39,76% luas total kedua kabupaten tersebut. Sementara luas kebun kopi di dua daerah tersebut mencapai 81.500 Ha atau sekitar 13,2% luas kedua kabupaten tersebut13. Ada dua jenis kopi14 yang ditanam penduduk, yakni Kopi Robusta dan Kopi Arabika. Kopi Robusta biasanya diedarkan untuk jalur-jalur kebutuhan pasaran internasional melalui para pengusaha (eksportir) kopi di Medan, sementara Kopi Arabika biasanya disebarkan untuk pasaran lokal

13 Diolah dari data-data dalam RPJMD 2007-2012 Kab. Bener Meriah dan

Aceh Tengah 14 Dalam istilah lokal dikenal setidaknya empat jenis kopi, yaitu kopi Tim

Tim, Ateng, Ateng Super dan Kopi Kecil. Tiga kopi jenis pertama, yang buah kopinya relatif besar, menurut penduduk jenis kopi ini yang biasanya dipasarkan untuk eksport melalui eksportir-eksportir kopi di Medan. Sedangkan jenis Kopi Kecil dikenal dengan istilah kopi bubuk, terutama untuk pasaran lokal. Kopi kecil tumbuh baik di daerah yang lebih hangat seperti di wilayah Pane, Bios, Angkup, Kuyuh, dll. Sementara yang lain tumbuh lebih baik didaerah yang lebih dingin seperti di sekitar Takengon, Jagung, dan Pondok.

Page 22: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 21

penduduk setempat melalui kilang-lang kopi, penggilingan kopi, kios-kios atau kedai kopi. Diperkirakan areal kopi di wilayah kedua kabupaten ini (Bener Meriah dan Aceh Tengah) merupakan areal kebun kopi yang terluas di Asia Tengara.

Menurut pengakuan beberapa pemilik kebun

kopi, sesungguhnya kalau dihitung secara ”ekonomi” usaha kebun kopi ini tidak memberi banyak keuntungan, minimal impas. Perawatannya membutuhkan intensitas perhatian dan biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu seorang pemilik kebun kopi, tidak mungkin mengerjakannya sendiri di dalam keluarganya dia akan selalu membutuhkan buruh kebun kopi, baik untuk tahap perawatan maupun pemetikan. Seperti petani padi di Jawa yang sesungguhnya impas bahkan merugi, namun terus dikerjakan karena terlanjur disebut ”petani”, termasuk petani kopi di Gayo.

Seorang petani selain berkebun kopi yang rata-

rata panen enam bulan sekali, selalu berusa bertanam sayur mayur untuk panenan berjangka pendek. Sementara yang berprofesi sebagai pedagang, pemilik kedai, atau toko yang punya kebun kopi, atau pegawai negri15 yang berkebun kopi, hari Sabtu dan Minggu

15 Sampai Desember 2008 kebijakan pemerintah daerah Kab. Bener Meriah dan Aceh Tengah memberlakukan lima hari kerja Sabtu libur. Maka Sabtu dan Minggu dimanfaatkan para PNS sekalgius petani kobi untuk berkebun. Namun sejak Januari 2009 diberlakukan kembali kerja enam hari Sabtu masuk. Sebagian

Page 23: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 22

adalah hari untuk mencurahkan perhatiannya ke kebun kopi. Dari kebun-kebun kopi inilah biji kopi beredar ke para penggiling kopi dan juragan kopi. Dari mereka maka kopi-kopi pasaran lokal beredar ke kedai-kedai kopi yang tersebar di banyak tempat di Kota Takengon atau kota-kota lain.

Begitu tingginya mutu cita rasa kopi Gayo

nampaknya mengundang minat para investor internasional. Saat ini telah beroperasi dua perusahaan kopi luar negeri yang menanamkan modalnya, seperti Holland Coffee Bv. perusahaan kopi dari negeri Belanda, PT. Indocafco perusahaan kopi dari Swiss Amerika serikat dan sementara ini perusahaan kopi Aceh Coffee Company dari New Zealand sedang menjajaki untuk pengembangan perusahaannya di Kabupaten ini. Selain perusahaan kopi luar negeri tersebut, di Bener Meriah juga terdapat Perusahaan Daerah Geunap Mupakat. Geunap Mupakat memproses biji kopi Arabika untuk menjadi komoditi eksport dengan kualitas terjamin, yang mampu memenuhi pasar Eropa, Amerika dan Jepang.

Kesohoran rasa kopi dari wilayah pegunungan

Gayo ini tidak seberuntung klaim atas hak perdagangannya. Klaim hak ”Kopi Gayo” menurut

PNS ini mulai bingung bagaimana memperhatikan curahan waktu ke kebun-kebun mereka karena sebagian kebun terletak jauh di kaki-kaki bukit yang tidak mudah untuk menuju ke sana.

Page 24: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 23

beberapa sumber ternyata di pegang oleh Belanda. Kopi Gayo adalah istilah yang secara perdagangan memiliki pasaran-pasaran lokal. Sementara nama perdagangan yang meluas lebih dikenal dengan klaim nama dagang Kopi Sidikalang (dari Sumatera Utara), dan di taraf internasional klaim dagang kopi dari dari wilayah gayo ini dikenal dengan ”Gayo Coffee” yang konon lisensinya dipegang oleh Belanda.

Berikut ingin penulis tampilkan gambaran harga-

harga kopi tersohor di pasaran internasional, seperti dalam tabel berikut16:

Nama Kopi Keterangan Harga

Yauco Selecto AA Coffee

Berasal dari wilayah Yauco, Puerto Riko. Diproduksi di Pegunungan Southwestern Puerto Riko, kopi ini dihargai karena rasanya yang ringan.

$24 per pon/Rp. 230.000 per stgh Kg

Starbucks Rwanda Blue Bourbon

Starbucks menemukan biji kopi ini di Gatare dan Karengera di Rwanda tahun 2004. Sekarang, para petani Rwanda Blue Bourbon mengolah biji kopi tersebut sebagai tanaman utama.

$24 per pon/Rp 230.000 per stgh Kg

Kona Coffee Hawaii Tahun 1820an Inggris memperkenalkan pohon kopi brazil ini ke daerah dengan tanah vulkanik yang banyak dan Kona sangat cocok untuk budidaya kopi tersebut.

$34 per pon/Rp 320.000 per stgh Kg

16 Lihat “Kopi-Kopi Termahal di Dunia” dalam http://jelajahunik.blogspot.

com/2010/04/ ; Senin, 12 April 2010

Page 25: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 24

Los Planes - Citala, El Salvador

Los Planes mendapatkan peringkat komersial kedua pada kompetisi cup of exellence 2006.

$40 per pon/Rp 370.000 per stgh Kg

Blue Mountain - Wallenford Estate, Jamaika

Kopi ini sangat populer di kalangan pencinta kopi ringan karena rasa dan aroma kopinya yang kuat. Jepang mengimpor sekitar 85% kopi ini.

$ 49 per pon/Rp 460.000 per stgh Kg.

Fazenda Santa Ines- Minas Gerais, Brazil

Selalu meraih juara dalam sejarah kompetisi Cup of Exellence.

$50 per pon/Rp 470.000 per stgh Kg

El Injerto - Huehuetenango, Guatemala

Mendapatkan juara pertama dalam kompetisi Cup of Exelence pada tahun 2006.

$50 per pon/Rp 470.000 per stgh Kg

Island of St. Helena Coffee Company - St. Helena

Diminati karena keeksklusifannya dalam hal kualitas, sejak abad XVIII, kopi ini sudah menjadi kopi yang sangat mahal..

$79 per pound/Rp. 750.000 per stgh Kg

Hacienda La Esmeralda - Boquete, Panama

Terkenal karena rasa dan aromanya yang kuat. Kopi ini diproses dari sebuah pohon jambu biji tua yang berbuah mirip buah cherry.

$104 per pound/Rp 1.000.000 per stgh Kg

Kopi Luwak - Indonesia

Kopi Luwak adalah jenis kopi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak. Kemasyhuran kopi ini telah terkenal sampai luar negeri.

$160 per pon/Rp. 1.500.000 per stgh Kg

Itulah kopi, bak dua sisi mata uang dalam satu koin. Kopi sebagai barang fisik komoditi pertanian mempunya fenomena permasalahan yang begitu ruwet

Page 26: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 25

lantaran kopi menjadi salah satu komoditi ”berharga” sejak berabad-abad lalu. Tetapi di sisi lain, kopi dan segala turunanya seperti warung kopi dan kegiatan ”ngopi bersama”, jika dikupas dari sudut makna sosialnya juga memberikan warna dan nuansa yang amat khas dan bagi para penggemarnya.

Sebuah kedai kopi di Takengon yang konon kesohor cita rasanya adalah kedai kopi di pengkolan dekat Pasar Ikan, tidak jauh dari danau Lot Tawar, dibawah sebuah pohon besar. Isinya sebagian besar orang Gayo yang singgah dari kecamatan-kecamatan sekitarnya sebelum memulai urusan mereka di Kota Takengon, begitu pula mereka sering akan mampir dulu di kedai tersebut sebelum pulang ke wilayah masing-masing. Bahasa Gayo yang terdengar di kedai ini. Mulai dari urusan kopi, sayur-mayur, peternakan kudan dan kerbau, kerja kontraktor, politik lokal, jual beli properti dan mobil, sampai diskusi seni rakyat Didong.

Tidak jarang kita mendengar para orang-orang tua

yang sepertinya saling kenal satu sama lain, melantunkan syair-syair tradisi lisan Didong yang spontan untuk saling menyapa, menyindir kawannya, atau mentertawakan diri sendiri atas nasib yang mungkin kurang beruntung dalam bertani, berdagang, atau lainnya. Kedai itu juga menjadi persinggahan para

Page 27: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 26

chek17 dari berbagai kampung di pelosok. Kelakar dan cekikian para tamu kedai langsung berderai, karena syair-syair itu umumnya bernuansa parodi, parodi atas segala macam kehidupan termasuk kehidupan politik lokal di Bener Meriah dan Aceh Tengah.

Tentu saja ”kopi” tidak terus menerus sebagai

media bertemu dan berkelakar sekadar melepas kepenatan dan kejenuhan. Sambil ngopi bersama ada kalanya beberapa orang ”merefleksi” apa yang terjadi dengan, misalnya tradisi lisan mereka, seperti nasib perkembangan Didong. Dari situ lalu muncul pemikiran-pemikiran, tumbuh kesepakatan-kesepakatan, dan mungkin saja terklistarisasi ide-ide langkah-langkah yang lebih konstruktif ntuk dikomnikasikan kepada siapa saja pelaku-pelaku dan peminat tradisi Gayo yang satu ini.

Beberapa kali penulis menghadiri atau sekedar

lewat dan melihat pesta-pesta perkawinan di Bener Meria maupun Takengon, dan Didong ini selalu dimainkan untuk memeriahkan pesta. Jangan Anda bayangkan bahwa para pemainnya adalah orang-orang tua. Rata-rata hampir separohnya dari para pemain itu anak-anak muda sumuran SMA atau mahasiswa.

17 Check ringkasnya adalah para penyair syair-syair tradisi lisan Didong.

Mereka adalah pemimpin-peminpin seni tradisi Didong. Dalam mencipta syair mereka spontan, langsung merespon setiap kondisi atau keadaan yang ada selain juga merespon setiap kritikan, sapaan, gurauan, atau bahkan intepretasi atas kehidupan yang dilantunkan check lain.

Page 28: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 27

Sungguh penulis merasa ”terharu” melihat anak-anak muda melantunkan syair-syair dan memainkan gerak-gerak tradisi itu di era millenium ini. Semoga saja ini pertanda sedang tumbuh regenerasi dan penerus tradisi Didong. Energi-energi kelakar sambil berdiskusi, di warung kopi dekat pengkolan pasar ikan Takengon, tentang tradisi oleh para chek tua dari kampung-kampung di sekitar kiranya telah menyumbangkan sesuatu. [■]

Page 29: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 28

Kopi: Konteks Sosialitas Aceh

Beberapa gambaran dilematis kopi dan petani

kopi seperti dijelaskan sebelumnya, mungkin terasa sangat tidak adil bagi Anda. Ketidak adilan ini serasa semakin tajam jika Anda meminum kopi dari tanah Gayo ini di wilayah masyarakat Gayo, merasakan nikmatnya18 ditemani landscape yang indah atau hangatnya api unggun di sore hari, atau melihat bagaimana para petani menunggui dan menghidupi keluarganya dari kopi, maka sungguh terasa ketidak adilan itu hadir tidak hanya mengusik ”dikepala” namun meremas tepat diulu hati kita.

18 Citra rasa kopi masyarakat Gayo ini, menurut para ahli kopi, nikmatnya

mencapai tiga tingkatan. Ketika di dalam mulut dan kemudian mengalir ke dalam kerongkongan, kopi ini menyentuk kenikmatan khas indera-indera pengecap. Ketika sudah ditelan dan masuk di dalam perut, ia tidak menumbuhkan kejenuhan atau sakit perut namun justru yang muncul adalah kelegaan. Setelahnya, sementara masih terasa lega di dalam perut kenikmatan yang ada di dalam mulut dan kerongkongan aroma khas kopi tersebut masih dapat dirasakan bersama-sama. Bagi para pecandu kopi, mungkin, saat itulah saat yang tepat untuk memulai sharing, berdiskusi, atau sekedar memulai obrolan dengan kawan berangkat dari obrolan yang enteng-enteng saja sampai soal politik mungkin juga filsafat.

Page 30: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 29

Tetapi sudahlah, kita tidak hendak membahas kopi dari sudut ekonomi semata dan tatakelola perdagangannya yang timpang, yang memang nampaknya sangat ruwet. Yang perlu kita hargai sebagai energi kebudayaan adalah, bahwa kopi telah menjadi media sosialitas masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh umumnya. Lebih dari itu, apapun pahit getirnya dalam konteks ekonomi, kopi telah menjadi alat bertahan hidup (strugling of life) orang Gayo menjaga keluarganya bertumbuh dari jaman ke jaman, entah bagaimanapun sulitnya hidup dan beratnya merawat kebun-kebun kopi.

Marilah kita sedikit meninjau kopi ini dari sudut

sosio-kultural yang agak luas, tidak dalam komunitas Gayo saja tetapi juga komunitas Aceh pada umumnya. Apakah kopi di kedai-kedai kopi di wilayah Aceh Nangroe Darussalam sama saja? Kalau Anda minum kopi di kedai-kedai kopi di kota-kota pesisir seperti Banda Aceh, Biereun, Lhokseumawe, Langsa, Meulaboh, dll maka rasa kopinya dikenal oleh khalayak umum sebagai cita rasa kopi Ule Kareng yang juga kesohor di sana. Namun kalau Anda minum kopi dikedai-kedai di Bener Meriah, Takengon, dan Kutacane maka bukan cita rasa Ule Kareng yang Anda temui, tetapi cita rasa kopi Gayo yang hitam dan lebih keras. Di tiga kota tersebut terakhir cita rasa kopi Ule Kareng bisa juga Anda temui khususnya di kedai-kedai kopi yang dibuka oleh orang Aceh pesisiran.

Page 31: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 30

Kopi dan kedai kopi di Aceh memang

kontekstual. Tergantung dari wilayah dan kebudayaan mana cita rasa, mulut dan perut Anda dibentuk. Bagi mereka yang dibesarkan dalam kebudayaan Gayo maka rindu rasanya kalau seharian belum minum kopi Gayo. Begitu pula sebaliknya, yang dibesarkan dalam kebudayaan Aceh pesisiran rindu untuk minum kopi cita rasa Ule Kareng. Tetapi konon bahan dasar bjih kopi cita rasa Ule Kareng pun berasal dari kopi Gayo, hanya diproses dengan cara, tehnik, dan tambahan bumbu yang berbeda.

Kedai Kopi, Cafe Kopi ”Plus” Kapankah tepatnya nongkrong di warung kopi,

atau kalau di wilayah Eropa disebut ”cafe”, mulai merebak. Kopi dihadirkan pertama kali ke khalayak publik sebagai jasa warung kopi, atau disebut kiva han atau ada juga yang menyebut qahveh khaneh (artinya pencegah kantuk), adalah di Konstatinopel (Istambul) Turki pada tahun 147519. Waktu itu hanya ada satu warung kopi. Tujuh puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1554 dua warung kopi dibuka lagi di Istambul. Di Turki kala itu warung kopi dikenal juga dengan sebutan ”school of wise”. Dengan datang ke warung dan minum kopi orang semakin pintar, karena di sana bisa mendengarkan musik, berbincang-bincang

19 Lihat artikel ”Coffee, The Drink of Choice” oleh Hilda Maria

Sigurdardotir (http://ezinearticles.com)

Page 32: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 31

tentang berbagai, atau sekadar mendengar diskusi-diskusi yang berkembang.

Seiring semakin kuatnya kesultanan Ottoman di

Turki melalui penahklukkan kerajaan-kerajaan di wilayah mediteranian, maka dari Turki kopi merambah masuk ke kota Venice (Italia) sekitar tahun 1615 20. Namun menyebar issu bahwa minuman ini disebut ”minuman setan” sehingga menumbuhkan berbagai kontroversi sampai-sampai membutuhkan keterlibatan Paus Clement ke-VIII untuk mencoba dan memberikan ijin bahwa kopi boleh diminum dan dijual di warung-warung kopi.

Masih di awal-awal abad XVI itu warung kopi pertama di buka di London. Pada awal abad XVII warung kopi yang kemudian sangat kesohor Edward Lloyd’s Coffee dibuka di kota yang sama. Dari Inggris kopi dibawa ke ”dunia Baru” (Amerika) pada abad XVI. Kopi begitu pesat berkembang sehingga di London pada akhir abad ke-XVII tercatat sudah 300 warung kopi beroperasi. Dari Inggris kopi masuk ke Belanda, dan cafe kopi persia dibuka pertama kali di negara initahun 1713. Belanda kemudian menyebarkan kopi ke India dan Indonesia sekitar pertengahan abad XVII. Begitulah sekilas perkembangan minum kopi di warung kopi, yang disinyalir sebagai ”the most consumed baverage in the planet”.

20 Lihat http://www.ncausa.org

Page 33: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 32

Menurut penelaahan banyak kawan bahwa perkembangan binis kopi di Aceh sangat signifikan pasca Tsunami dan MoU Helsinki. Dunia dan atmosfir nongkrong minum kopi telah berkembang bermacam-macam, mulai dari yang bernuansa tradisional-konvensional sampai ke nuansa modern-metropolis, lengkap dengan berbagai fasilitas serta asesoris pelengkap promosi. Ada Kedai Kopi, ada Cafe Kopi, dua nama yang sebetulnya maknanya sama saja sebagaimana ”warung kopi”. Jaman dahulu bayangan mengenai ”kedai” atau ”warung” kopi adalah tempat minum kopi dengan perabot bermeja papan, kursi kayu, rumah warung dari papan, tanpa AC atau kipas angin. Inilah gambaran konvensional-tradisional. Sekarang ”kedai” atau ”warung” kopi mengambil tempat dan design ruang yang lebih mewah persis seperti kita lihat ”cafe-cafe” di film-film luar negeri, bahkan dilengkapi dengan akses internet.

Itulah letak ”plus”-nya, bahwa kedai kopi di Aceh

(khususnya di kota Banda Aceh) dewasa ini dikelola dengan desain yang modern, setting ruang yang enak dan mewah, meubelair yang menunjukkan wajah ”wah”, dengan setting lampu yang romantis, dilengkapi dengan akses internet, dan di beberapa kedai atau cafe pelayannya adalah perempuan-perempuan muda.

Page 34: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 33

Di kedai-kedai kopi ”pinggiran”, maksudnya yaitu kedai kopi yang letakknya di perkampungan, para pelanggan memang didominasi kaum laki-laki. Namun kondisi ini sudah jauh berbeda dengan kedai atau face kopi yang ada di kota. Pelanggannya sudah hampir sebanding antara laki-laki dan perempuan. Para tamu ini datang dari bermacam kalangan entah anak SMA, mahasiswa, para pegawai negeri maupun swata, para pebisnis, para pengangguran, seniman, aktivis LSM, dan berbagai macam lainnya. Nampanya topik-topik yang dibicarakanpun bermacam rupa entah cuma berkelakar biasa, tapi ada pula yang membicarakan perkembangan politik lokal dan nasional, bisnis, diskui kemahasiswaan, atau sekedar menggosip, dan tentu saja ada pula yang berkencan.

Warung kopi, dimana sekarang sering memakai

istilah cafe, bukanlah sekedar institusi sosial yang terkait dengan pedagangan dan jasa saja. Warung kopi cenderung menjelma menjadi institusi sosial yang menjadi arena dimana hampir tidak ada sekat-sekat batas sosial. Jika Anda hendak bernegosiasi ”pekerjaan” dengan para fungsionaris birokrat, akan sangat berbeda nuansanya jika dimulai di cafe kopi. Jika mitra bisnis yang sedang Anda dekati dibawa terlebih dahulu ke cafe-cafe kopi, mungkin naunsa-nuansa negosiasi berikutnya akan menjadi lebih mulus.

Page 35: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 34

Antara pukul 17:00 sampai sebelum mahrib sudah merupakan pemandangan yang biasa di cafe-cafe kopi cukup padat dengan anak-anak muda masih berpakaian rapi ala kantor, bercanda melepas ketegangan pekerjaan dengan rekan-rekan mereka. Saat mahrib cafe-cafe ini sepi karena ditutup sementara, dan setelah mahrib kembali ramai. Kondisi ini mungkin mirip dengan para eksekutif muda di Jakarta yang setelah jam-jam kantor selesai mereka datang ke cafe-cafe, karaoke, atau diskotik untuk melepas lelah dan ketegangan pekerjaan kantor.

Kedai dan cafe kopi (khususnya di kota besar

Banda Aceh) telah menjadi arena ”non-formal”, sekat-sekat struktur sosial yang membelenggu hilang sementara meski masih dalam batas koridor kesopanan. Orang khususnya kaum muda, ingin mencari arena yang lebih ”longgar” dimana untuk sementara terhindar dari beban-beban ekonomi, struktur-sosial, himpitan kekuasaan, atau mungkin (bercampur) bayangan tekanan psikologis masa lalu oleh karena konflik panjang.

Pertanyaan yang menarik diajukan, ”ngopi”

merupakan koteks kekinian masyarakat Aceh, atau ngopi sudah merupakan ”oase” kehidupan dalam historisitas masyarakat Aceh. Jika memang ya, sejak kapan keudai kopi dan ngopi ini kira-kira telah mewarnai fenomena perkembangan masyarakat Aceh.

Page 36: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 35

Kopi dan Historisitas Aceh (Sekedar reintepretasi historis) Sekarang mari kita pertanyakan lebih dalam,

apakah kedai-kedai kopi di Aceh dalam lintasan sejarah Aceh menyumbangkan alternatif-alternatif kritis untuk tatanan “dunia baru”? Ambil misalnya saja, apakah kedai-kedai kopi di era kolonial dulu punya peran sebagai arena kritalisasi gagasan-gagasan kepahlawanan dan praktik-praktik strategi perlawanan demi bangsa yang berdaulat dan terhormat? Entahlah, secara historiografi mungkin tidak ada catatan-catatan sejarah tentang hal itu, dan penulis juga belum pernah menemukan artikel yang mengintepretasi mengenai hal tersebut.

Namun mungkin bisa dilakukan rekonstruksi

antara sejarah perkembangan persebaran kopi, sejarah masuknya pengaruh-pengaruh Islam (terutama Turki dan Arab) dan di sisi lain sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang Aceh. Dari rekonstruksi itu mungkin barang sedikit kita bisa meintepretasi apakah kehidupan “warung kopi” telah mewarnai “Aceh tempo doeloe”.

Mitos awal mengenai kopi ada di daerah Etiopia

dengan legenda pengembala kambing bernama Kaldi pada awal abad 821. Dari sini kemudian kopi menyebar

21 Lihat artikel Azma Putra dalam http://id.ecehinstitute.org, 12 Mei 2009; dan artikel Radinan Maruddany dalam http://www.acehblog.com, 12 April 2010. Di kisahkan si Kildi suatu ketika menemukan kambing-kambingnya dalam

Page 37: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 36

ke Mesir, Yaman, dan Arab. Namun bangsa Arab-lah yang berhasil mengembangbiakkan tanaman kopi ini, bahkan memproduksi dan memperdagangkannya di sekitar abad 1122. Di negara-negara jazirah Arab kopi yang biasa disebut qahweh ini menjadi sangat populer, namun secara formal kopi menjadi jasa perdagangan dalam bentuk ”kedai kopi” terjadi tahun 1475 (tulisan lain menyebutkan abad 16) di Konstantinopel (Istanbul-Turki) dikenal dengan istilah Kiv Han (artikel lain menyebutkan kahve) pada era kejayaan Khalifah Turki Usmani. Dari negeri para khalifah ini kopi kemudian menyebar ke Italian, Inggris, dan Belanda antara abad 16 sampai 17. Namun ngopi di ”warung kopi” waktu itu masih menjadi dominasi kaum elite karena harganya yang selangit.

Belanda akhirnya mendapat bibit-bibit biji kopi

tersebut pada sekitar abad 17, dalam upayanya untuk memotong mata rantai monopoli pedagangan kopi oleh bangsa Arab. Pada tahun 1610, Belanda mencoba mengembanbiakkan tanaman kopi ini di India namun kurang begitu berhasil. Pada tahun 1699 Belanda mencoba kembali mengembangbiakkan tanaman kopi di perkebunan kopi di Srilanka dan tanah Jawa

keadaan sehat bugar dan lebih lincah setelah memakan suatu biji-bijia. Sang pemuda membawa pulang biji-bijian tersebut, merebus dan meminumnya. Sejak itu biji-bijian yang disebut kopi menjadi minuman tradisional di masyarakat Etiopia.

22 Lihat artikel Hilda Maria Siguldardottir dalam ”Coffee The Drink of Choice” (http://www.ezienearticle.com)

Page 38: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 37

(Indonesia) pada tahun 169923. Akhir melalui institusi dagang VOC, Belanda berhasil mengeksport kopi tahun 1711 . Indonesia adalah tempat perkebunan pertama diluar Arabia dan Ethiopia dan VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai 1780. VOC kemudian melebarkan sayap dengan menanam kopi diluar Jawa seperti di Sumatra, Bali, Sulawesi dan Timor. Tanaman kopi tersebut akhirnya masuk ke dataran tinggi Gayo (Aceh) sekitar tahun 192424.

Menilik perkembangan sejarah tanaman kopi,

maka dia baru masuk ke Indonesia pada sekitar abad 17, bahkan penanamannya secara perkebunan baru masuk ke Aceh (Takengon) sekitar tahun 1924. Dalam sudut pandang sejarah yang lain, yaitu sejarah Islam masuk ke Aceh, maka kemungkinan sejarah orang Melayu (termasuk Aceh) minum kopi bisa menunjukkan cerita yang berbeda.

Hubungan komunitas-komunitas masyarakat di

Aceh dengan orang-orang Islam, secara lebih konstruktif dan terorganisir dalam bentuk perdagangan, perkawinan silang maupun kerja sama resmi dua institusi kesultanan, dimulai sejak

23 Lihat artikel Radinan Maruddany dalam http://www.acehblog.com, 12

April 2010 24 Lihat artikel Sejarah Kopi di Indonesia (dalam http://www.

kampoengcoffee.com)

Page 39: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 38

kesultanan Islam Perlak pada sekitar abad VIII. Kemudian juga dengan kesultanan Samudra Pasai sekitar abad X, dan dilanjutkan dengan hubungan yang lebih kuat melalui kesultnan Aceh Darussalam yang dimulai pada abad XII.

Pada masa kejayaan kesultanan di Aceh itu,

terjalin hubungan yang paling kuat dengan Turki yakni pada tahun 1567 dalam bentuk pengiriman armada-armada Angkatan Laut ke Aceh di bawah perintah keluarga kesultatan terkuat saat itu yaitu keluarga Usmaniah yang bernama Sultan Selim II. Bantuan ini bertujuan memperkuat armada laut Aceh dalam memerangi Portugis, dan juga membangun semacam ”akademi angkatan laut” yang kuat di Aceh25. Dikisahkan utusan itu terdiri atas beberapa armada angkatan laut, ulama, ahli kapal, ahli altileri, beserta tukang-tukang. Oleh Sultan Selim mereka diminta tinggal di Aceh selama sultan Aceh masih membutuhkannya. Dikisahkan bahwa akhirnya para utusan tersebut banyak yang kawin dengan penduduk setempat.

Relasi yang kuat ini terjadi sekitar satu abad

setelah budaya ngopi kahve sudah sangat membudaya di Turki (Tahun 1475-an), dimana kopi juga sudah mulai diperdagangkan oleh bangsa Turki ke Italia,

25 ”Malahayati Srikandi Dari Aceh”, oleh Solichin Salam; Jakarta 1995,

Gema Salam.

Page 40: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 39

Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Sementara tanaman kopi baru masuk Indonesia sekitar 1725 oleh Belanda. Relasi orang-orang Aceh yang cukup intens dengan pedagang-pedagang, para ulama, maupun para spesilist (ahli) dari Arab dan Turki tersebut, bukan tidak mungkin telah memperkenal orang-orang Aceh dengan minuman yang disebut ”kopi”.

Ada beberapa intepretasi ”ngopi” yang terjadi

pada masa kesultanan Aceh tersebut. Pertama, kopi masih di minum dalam kalangan elite-elite kesultanan dan bara bangsawan sebagagai jamuan minum bersama. Sebabnya yaitu bahwa kopi belum menjadi barang perdagangan umum, kopi diperoleh sebagai ”cinderamata” mata saja dari para utusan dari dunia Arab dan Turki. Intepretasi Kedua, kalaupun sudah dipasarkan di Aceh26, kuantitasnya masih sangat langka atau harganya sangat mahal, sehingga saudagar kaya, para penyair-pujangga, para bangsawan atau sanak saudara kesultanan saja yang mampu nongkrong

26 Mungkin ini merupakan keterbatasan penulis dalam mengumpulkan fakta

dan artikel sejarah, dimana dari sekian banyak artikel sejarah yang terkait dengan komoditi-komoditi perdagangan belum tercatat nama ”kopi”. Yang dicari para pedagang luar itu antara lain emas, kapur barus, dan rempah-rempah, dan tidak ada catatan komoditi apa yang didagangkan kepada penduduk lokal. Namun perlu diingat bahwa banyak penulis yang menyoroti sejarah masa lalu menulis bahwa Kutaraja (Banda Aceh) waktu adalah kota yang kosmopolitan. Di kota ini merupakan perjumpaan berbagai orang dan bangsa mulai dari Arab, Turki, Yaman, India, Malaysia, Eropa, Thailand, Khemer, Cina, Jawa, dll dengan berbagai profesi dan kepentingan seperti para ulama, penyair-pujangga, para pengelana, pedagang besar antar negara (saudagar), bangsawan-bangsawan kesultanan, atau mungkin juga para bala-tentara, dll.

Page 41: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 40

di ”keudai kopi”. Intepretasi kedua ini pun cukup logis, sebab para pedagang luar dari Arab dan Turki tentu saja bukan pedagang biasa tetapi setingkat saudagar. Merekapun kiranya ingin memasarkan atau membuat keudai kopi, seperti yang telah terjadi di negara-negara eropa.

Bagaimana dengan lintas sejarah para sastrawan-

budayawan dan pahlawan? Hamzah Fansuri, seorang ulama sulu, pujangga dn penyait, namun juga bisa disebut pengelana hidup antara sekitar abad 16, seangkatan dengan Syekh Syamsuddin bin Abdullah Al Sumatrani, Syekh Ibrahim Al Syami dan Syekh Nurruddin Al Raniri dari Gujarat. Tiga ulama terakhir telah lebih dulu menjadi ulama sekaligus pujangga kesultanan, baru kemudian Hamzah Fansuri menyusul. Cik Di Tiro hidup tahun 1836-1891, Teuku Umar hidup pada 1854 – 1899, Cut Nyak Dien antara 1850-1908, Cut Meutia 1870-1910, dll. Jika pada masa kedekatan sultan-sultan di Aceh dengan orang-orang Turki yaitu sekitar abad 15, dimana kemungkinan besar ”ngopi” bersama sudah ada meski di kalangan terbatas, maka penulis kira hal yang sama sudah ada pulan pada masa para pujangga-ulama, penyair dan pengelana, dan kemudian diikuti masa hidup para ”pahlawan”.

Jadi ”ngopi” (bersama) sejak zaman kesultanan

(besar) Aceh penulis kira sudah menjadi arena

Page 42: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 41

”dialog”, dimana orang saling membagi energi penyegaran dan pembaharuan pemikiran27. Bukan tidak mungkin keunggulan-keunggulan Aceh sejak zaman itu, disumbangkan oleh peran ”tempat ngopi”. Strategi ketatanageraan yang hebat zaman Iskandar Muda, qanun-qanun yang sahih, syair-syair pujangga ternama, strategi-strategi perang samudera, majunya mazhab-mazgab pemikiran Islam, dll kiranya satu dan lain hal ditopang oleh ”hidupnya” perbincangan di arena-arena ngopi.

Peran ”ngopi” dalam perkembangan sejarah

masyarakat Aceh ini tentu saja terus berlanjut sampai pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan masa konflik panjang antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Pusat (Indonesia). Pada era-era tersebut pasti warung kopi di Aceh kuantitasnya sudah jauh lebih banyak dibanding masa kesultanan dan penjajahan. Kopi sudah merakyat dimana-mana sebagai komoditi merakyat (publik). Dan tentu saja, peran warung kopi sebagai arena ”ngopi” bersama, pada intinya mirip dengan jaman-jaman sebelumnya, bahwa dia menjadi arena mencari ”energi baru”: menganalisi kondisi kekinian—memperbincangan

27 Banyak artikel yang mengupas mengenai budaya ”ngopi” di Aceh

menyebutkan bahwa ngopi ”sudah membudaya sejak lama di Aceh”. Namun dari berbagai artikel-artikel tersebut kurang jelas dapat dirunut ”sudah lama membudaya” tersebut kira-kira kapan periodesasinya. Lebih dari tidak ada gambaran bagaimana ”ngopi” tersebut berperan dalam konteks masyarakat dari waktu ke waktu.

Page 43: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 42

secara kritis, setara dan lintas individu—format ulang gagasan-gagasan baru.

”Ngopi”: Liminalitas Kehidupan28 Ada semacam pameo bahwa Kota Banda Aceh

(mungkin) merupakan kota dengan kedai kopi terbanyak di dunia. Kedai kopi di Aceh khususnya di Kota Banda Aceh telah berkembang sangat pesat dengan berbagai ragam gaya dan fasilitas. Kebiasaan ”ngopi” di masyarakat Aceh memang luar biasa. Sampai-sampai beberapa pemerintah kabupaten/kota sempat khawatir mengenai kedisiplinan pegawainya oleh karena budaya duduk di warung kopi. Sesungguhnya ”ngopi” ini sekedar ingin jajan saja, sekedar tradisi saja yang telah jadi kebiasaan turun temurun, ataukah dalam sudut yang lain ”ngopi” memiliki makna tersembunyi (unconciusness) dalam kehidupan.

Kalau orang hanya sekedar ingin minum kopi

tentu saja bisa dilakukan di rumah, lebih murah, dan bubuk-bubuk kopi enak bisa dibeli di warung, kios, atau supermarket terdekat. Jelaslah alasan sekedar ingin kopi ini tidaklah benar. ”Ngopi” di cafe adalah arena yang dicari serta diinginkan. Warung kopi bukan saja arena pemilik warung untuk berperan ekonomi. Lebih dari itu warung kopi telah menjadi arena yang

28 Versi alih ubah dari sub-bab ini pernah dimuat di harian Serambi, Banda

Aceh.

Page 44: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 43

dicari dan diinginkan para konsumennya. Ngopi telah menjadi simbol kebutuhan komunitas-komunitas di Aceh.

Warung kopi dan ngopi bersama bukanlah

wilayah ”formal”. Dia merupakan ruang ”informal” dimana batas-batas strukturasi vertikal maupun horisontal telah menjadi ”abu-abu” meski masih dalam batas norma kesopanan. Di dalam arena ”ngopi” sudah tidak amat penting lagi atasan dan bawahan, kaya maupun miskin, bekerja maupun pengangguran, priyayi maupun rakyat biasa, bangsawan atau bukan, ulama bisa berkelakar dengan umat, tengku bisa berdebat dengan orang awam, perempuan bisa duduk bersama laki-laki, dll.

Menurut pandangan penulis di dalam diri orang

Aceh mengalir darah dari India dan Arab, dimana orang-orang ini sering disebut sebagai ”macan mimbar” alias suka berbicara (bukan dalam pengertian negatif). Di luar sana dalam ”ritual” kehidupan nyata sesorang terbelenggu oleh batasan-batasan sosiologis dan kultural, sehingga tidak bisa sembarangan berbicara semaunya dalam hubungan yang sepadan. Maka di warung kopi ekspresi keinginan bicara bisa ditumpahkan tanpa terlalu direpotkan dengan sekat-sekat dan struktur yang membelenggu.

Page 45: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 44

Itu salah satu alasan. Alasan berikutnya adalah bahwa kehidupan ini penuh dengan ”ritus”, yang didalamnya sarat dengan aturan dan norma yang membatasi, penuh dengan sekat struktur sosial dan budaya. Hampir tidak ada atau sangat sedikit ”kebebasan” di sana. Semunya itu menumbuhkan kejenuhan, keputusasaan, sinisme, tekanan-tekanan psikologis, energi amarah dan konflik invidual maupun kelompok. Begitulah gambaran para ahli sosilologi dan antroplogi mengenai ritus dan kehidupan, yang salah satunya diwakili oleh pemikiran Van Gennep dan Victor Turner29.

Dalam setiap komunitas kebudayaan, menurut

para ahli tadi, pasti ada sebuah ”ruang” sebagai mekanisme untuk melepaskan diri dari ritual yang membelenggu tersebut, sejenak lepas dari struktur. Itulah ”liminalitas”, atau oleh Victor Turner sering disebut juga ”kondisi anti-struktur”. Bentuk dan media situasi anti-struktur tersebut bisa berbeda-beda di setiap masyarakat sesuai perkembangan ruang dan waktu. Saya kira kegiatan ”ngopi” di warung-warung

29 Lihat tulisan Irma Ratiani dalam “Theory of Liminality” (http://

www.litinfo.ge/issue-1/ratianiirma.htm); volume 1, 2007; lihat juga artikel “What About Liminality” (dalam http://www.liminality.org/about/whatisliminality); Artikel Mathieu Deflem dalam “Ritual, Anti-Structure, and Religion: A Discussion of Victor Turner's Processual Symbolic Analysis”, Journal for the Scientific Study of Religion 30(1):1-25, 1991 (dalam http://www. cas.sc.edu/socy/faculty/deflem/zturn.htm); dan Artikel Lauro Zavala tentang “Towards a Dialogical Theory of Cultural Liminality, Arizona Journal of Hispanic Cultural Studies, Volume 1, 1997.

Page 46: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 45

kopi di Aceh merupakan representasi salah satu arena liminal masyarakat Aceh.

Apakah sitauai liminal tersebut merupakan

sesuatu yang ”negatif”? Kalau dijawab dengan pemikiran sempit ”kaca mata kuda”, maka jawabannya cenderung negatif. Misalnya saja, budaya ngopi dianggap mengganggu kinerja pegawai. Padahal mengukur kinerja pegawai tidak hanya dari apakah seorang pegawai membolos atau terlambat demi duduk di warung kopi. Ada pula disinyalir bahwa banyak ibu-ibu yang menjadi kesal karena lelakinya sering menghabiskan waktu di warung kopi dari pada di rumah membantu pekerjaan rumah tangga. Jika dicari-cari mungkin masih banyak daftar yang masih bisa ditulis. Namun bukan di situ letak problematikanya.

Liminalitas warung kopi di Aceh harus dilihat

dalam konteks yang lebih luas masyarakat Aceh sebagai kesatuan ritus kehidupan sosio-kultural. Bayangkan saja jika dikeluarkan Qanun tidak boleh ada warung kopi di Aceh, apa jadinya?! Fungsi-fungsi sosialitas di Aceh mungkin justru menjadi kacau sebab warung kopi dan ngopi sudah menjadi bagian dari kultur Aceh. Persis seperti diungkapkan Victor Turner: ”So where does that leave liminality? Exactly where it started: betwixt and between. It is not outside of the social

Page 47: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 46

structure or on its edges, it is in the cracks within the social structure itself”.

Ritus “ngopi” di warung kopi di masyarakat Aceh

dari sudut teori liminalitas kebudayaan, justru merupakan arena untuk memaknai kembali atau memberikan energi produktif kepada bangunan tata sosial masyarakat Aceh. Ada lima fenomena yang bisa dipelajari dari situasi liminalitas tersebut30, namun di sini penulis ambil dua tema saja yang sekiranya bisa dipakai untuk “pisau analisa” situasi liminal ngopi di Aceh.

Pertama, kondisi liminalitas bisa dikatakan

sebagai ritus pembebasan yang dimulai dari pra-liminal, tahan liminal, dam post-liminal. Pra-liminal adalah situasi di bawah tekanan tatanan dan struktur sosial dalam kehidupan keseharian. Kemudian memasuki arena (kondisi) liminal dimana di kasus kita ini adalah arena warung kopi (ngopi), dimana format-format tatanan dan struktur sosial dilepaskan sehingga setiap individu menjadi “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dengan individu (kelompok) lainnya. Victor Turner menggambarkan sebagai berikut:

“… isolation from the previous or fixed social structure; “liminal”, which denotes transition period; … the individual

30 Lihat tulisan Irma Ratiani dalam “Theory of Liminality” (http://

www.litinfo.ge /issue-1/ratianiirma.htm); volume 1, 2007.

Page 48: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 47

is no more under the influence of the effects of “preceding” and “future” statuses and finds himself in an undefined position”.

Selama “ngopi” bersama di warung kopi, selain

menanggalkan tekanan-tekanan sosio-kultural, sesungguhnya sekaligus sedang terjadi negosiasi relasi-relasi terhadap bentuk-bentuk hubungan sosial baru (new alternative social structure). Hubungan-hubungan inkorporasi ini tidak saja dalam level individual namun bermakna pula dalam level hubungan-hubungan lebih luas di tingkat komunitas (masyarakat). Itulah tahap post-liminal dimana para “warga” warung kopi yang sedang saling mereposisikan diri tersebut mengharapkan terjadinya relasi-relasi kultural baru, dimana Turner mengatakannya dengan : “…awaiting for the realization of reconstructed and renewed cultural models and paradigms”. Jadi ringkasnya, ngopi di warung kopi sudah menjadi semacam seremoni sosial di Aceh untuk mereposisikan-membaharukan bentuk-bentuk baru relasi sosial yang diharapkan.

Tema kedua, menggambarkan bahwa liminalitas

berperan untuk memungkinkan tumbuhnya alternatif-alternatif baru, kreasi positif, bahkan oposisi-kritis terhadap kondisi, aturan dan tatanan sosial yang ada. Relasi-relasi pemikiran, ruang-ruang bicara di warung-warung kopi di Aceh, saya kira kita semua setuju justru lebih kritis barangkali di banding di forum-forum

Page 49: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 48

seminar, di ruang kelas, di rapat-rapat para dewan, dll. Sebab orang bicara persis pada apa yang disebut “obyektif” dengan hampir tidak ada rasa takut lagi dirinya siapa. Relasi dan negosiasi-negosiasi “obyektif” yang ada menumbuhkan sintesa alternatif dalam berbagai bidang, yang jika ditransformasikan ulang berintikan pada harapan “tata kehidupan baru” (new order) baik dalam berinteraksi sosial, aturan-aturan baru, kondisi sosial yang lebih baik dan adil, sampai tata kehidupan bernegara yang setara.

Belajar ke Depan Dari ”Liminalitas” Pembacaan penulis terhadap artikel-artikel di

dunia maya dan media cetak tentang Aceh menunjukkan adanya kecenderungan skeptisisme. Pertama, skeptisisme yang mengungkap bahwa norma-norma agama yang Islami tergerus dengan begitu derasnya oleh fenomena hedonisme modernitas. Pergaulan anak muda semakin longgar, pakaian ketat dimana-mana, kecenderungan mencari ”hiburan” keluar daerah, kasus-kasus khalwat terus saja terjadi, dll. Jika hal itu terus terjadi tidak terbendung, akan hancurlah Aceh kira-kira begitu intinya.

Kedua, skeptisisme yang ingin mengatakan

bahwa sudah ”hacur harga diri Aceh” karena semakin berkurangnya orang-orang yang meneladani nilai-nilai kepahlawanan Aceh tempo dulu, semakin buruk Acek kini dibanding masa kesultanan-kesultanan Aceh yang

Page 50: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 49

berjaya, baik dalam tatanan aturan sosial dan ketatanegaraan, kemakmuran, bahkan Aceh menjadi pusat-pusat pemikiran Islam di Asia Tenggara, dll. Tesis lebih lanjut adalah, lantara tidak ada harga diri lagi itu maka Aceh kini terpuruk dalam kemiskinan (ketidakmakmuran), SDM yang minimal, dll. Begitulah kira-kira logika skeptisisme dalam tema ini.

Dalam benak penulis ”skeptisisme” –yang

berlebihan-- ini agak mengganjal karena tidak sebangun dengan pembacaan yang panjang historisitas masyarakat Aceh, yang bagi penulis, berlandaskan pada ”adaptif-kritis-progresif”. Jangan-jangan sesuatu hal besar mendasar sedang terjadi di dalam masyarakat Aceh –ini sekadar dugaan kritis penulis—dimana konsolidasi sosio-kultural masyarakat Aceh telah menganga ”retak” satu sama lain. Jangan-jangan pula ada ”energi” praksis sosial-kebudayaan yang sedang berbenturan saling ingin mendominasi. Keretakan ini, yang dalam banyak perbincangan sosiologis sering disebut ”transisi”, jangan serta merta kemudian dinilai buruk negatif, apalagi berpandangan: ”matilah kebudayaan kita sekarang ini”.

Setiap sejarah, zaman, era, selalu memiliki

kontekstualisasinya masing-masing. Yang hanya bisa diteladani dari era sebelumnya, menurut penulis, adalah nilai dan prinsip-prinsinya bukan praktik praksisnya. Skeptisisme tergambar di atas mengemuka

Page 51: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 50

karena kebimbangan kemana mau mencari ”rujukan” yang kontekstual di dalam nafas sosio-budaya Aceh sendiri. Dalam hal ini penulis ingin menyubang secuil saja pemikiran, mengapa kita tidak ”belajar” dari fenomena ngopi di warung kopi, yang dalam pemaparan sebelumnya telah setidaknya berperan sebagai ”arena oase” energi-energi pemikiran baru.

Studi etnografi-partisipatif yang komprehensi

mendalam kiranya perlu dilakukan terhadap liminalitas ”ngopi” di warung-warung kopi, untuk menganalisis ide-ide nilai alternatif sosio-kultural ke depan. Pada ritual nyata kehidupan sehari-hari Aceh kini adalah Aceh kosmopolitan era millenium, bukan Aceh satu atau dua abad lalu. Studi ini harus dimulai dengan ”kanvas putih kosong” supaya terbuka luas atas fenomena liminalitas yang ada, dan menghindari kecenderungan hipotesis-hipotesis awal yang dogmatis apalagi dominasi pemikiran.

Transformasi nilai-nilai ke-Aceh-an yang

kontekstual penulis yakin pasti bisa dilakukan, bersumber dari liminalitas ”ngopi” warung kopi, kemudian digodok dengan pemikiran-pemikiran terbuka non-dominasi. Sepatutnya kita belajar dari Jepang dalam belajar tentang ”transformasi nilai” ini. Sebagai secuil contoh saja: Jepang adalah negara

Page 52: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 51

dengan ”seribu gempa” 31. Mereka sebetulnya memiliki rumah tradisionil yang tahan gempa peninggalaan pemikiran besar nenek moyangnya beradab-abad. Tapi yang tengah diujicobakaan dan sebagian sudah diterapkan, bukan membangun rumah tradisional ditambah pondasi pencakar bumi yang kian kuat, atau bukan pula terus membangun gedung-gedung modern dengan pondasi cakar bumi yang menghuja ke tanah semakin kuat. Nilai yang diambil dari tradisi rumah tradisional Jepang yaitu ”fleksibilitas” terhadap gempa (gerakan bumi). Kini jepang sudah membangun dan terus menerus melakukan pembelajaran terhadap ”pondasi rumah yang fleksibel” terhadap gerakan bumi akibat gempa, fleksibel secara horisontal maupun fertikal.

Masyarakat Jepang sesungguhnya memiliki tiga

pilihan model berpikir. Pertama, model berpikir konvensional masa lalu kembali mengintrodusir model rumah tradisional dengan berbagai modifikasinya. Model berpkir kedua, terus saja membangun gedung-gedung modern dengan mengeksplorasi tehnik memperkuat cakar-cakar pondasi. Ketiga, yakni model

31 Lihat artikel Nabuo Ito “A Historical Review of the Techniques in

Japanese Buildings for Resisting Various Loads, Focusing on Seismic Attacks”; XVI International Symposium – Florence, Venice and Vicenza 11th -16th November 2007 (dalam http://www.icomos.org/iiwc/16/ito.pdf); lihat juga artikel Cledy E Witt: It Can’t Happen here: “Seismic Isolation System Patented in Japan Has Applicability in Earthquake Prone US-Location” dalam http://www .prologis.com/docs/1934E_MHM_PRLO+eprint.pdf

Page 53: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 52

berpikir alternatif dengan tetap membuat gedung modern namun mengeksplorasi untuk menemukan pondasi gedung yang ”fleksibel” (nilai prinsip rumah tradisional) terhadap seismic.

Sebagai arena ”transisional”, ruang berpikir

alternatif, serta media liminalitas multi pemikiran, ngopi di warung kopi tersebut akan mampu memberikan format baru sosio-kultural Aceh yang kontekstual dengan kekinian dan masa depan. So...mengapa kita tidak belajar dari sana secara konstruktif?! [■]

Page 54: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 53

Dapur, Kuda dan Didong

Dari ”dapur”-lah sesungguhnya sosialitas dan

kebermasyarakatan orang Gayo dibentuk. Jangan lupa iklim di Bener Meriah, Aceh Tengah, dan sebagian wilayah Gayo Luwe rata-rata dingin sepanjang tahun. Kalau kemarau tiba atau musim hujan tiba, dinginnya sungguh tidak bersahabat. Bahkan di desa-desa orang keluar rumah dengan berbalut sarung, jaket atau selimut. Maka dapur adalah tempat paling hangat. Di dapur makanan diolah, sekaligus anggota keluarga, saudara, atau tetangga berkumpul menghangatkan diri. Hidangan kopi Gayo tentu tidak ketinggalan untuk mempererat hangatnya suasana.

Pada saat itulah segala sesuatu diperbincangkan

baik diantara keluarga inti dan atau keluarga luas, baik antar orang tua, orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, serta kepada saudara-saudara atau tetangga yang bertandang dengan segala macam urusan dan tentu saja harapan-harapan mengenai nilai-nilai keluarga, kemasyarakat, dan tata pemerintahan. Di sanalah setiap individu dibentuk kesadaran akan posisinya di dalam nilai struktur keluarga-keluarga

Page 55: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 54

mereka. Dari garis mana keluarga mereka berasal dan kepada siapa harus berhormat.

Ketika kehidupan mulai kompleks, banyak orang

Gayo memiliki rumah beton, atau kalau yang kurang beruntung ekonominya ukuran rumah lebih kecil karena semakin terbatasnya lahan untuk membuat rumah besar, representasi ”dapur” tetap saja ada. Bagi yang rumahnya beralih menjadi beton/tembok tentu dapurnya tidak berbentuk tanah dengan tungku dan potongan kayu disekitarnya, tapi berubah keramik dengan kompor minyak atau kompor gas. Tapi tetap saja sampai saat ini, representasi ”dapur” hadir berubah menjadi tempat perapian semacam tungku sederhana, yang diletakkan di salah satu ruangan tempat keluarga tersebut berbincang-bincang, baik dengan anggota keluarganya sendiri atau saudara dan tetangga yang bertandang. Dari situ perbincangan apa saja pun dimulai, dan kopi tetap hadir memperhangat tali persahabatan dan persaudaraan.

Tanah yang datar dan relatif aman untuk tempat

tinggi di pegunungan Gayo ini terbatas. Tanah semacam ini semakin terfragmentasi dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendatang. Tidak mungkin lagi mendirikan rumah yang luas tempat bernaung keluarga luas. Rumah menjadi semakin kecil cukup hanya untuk keluarga inti, seiring dengan itu semakin banyak bentuk rumah-rumah petak dari

Page 56: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 55

papan. Di dalam rumah tipe semacam ini, meski dapur mungkin masih dari tanah dan tungku, tetapi hanya cukup untuk berkumpul keluarga inti. Dengan begitu apakah budaya ”dapur-tungku” lantas hilang? Jawabannya adalah tidak.

Berkumpul dan berdiang dihadapan tungku, atau

juga api unggun, semacam sudah menjadi trade mark atau lebih tepatnya budaya orang Gayo. Di kampung-kampung atau desa-desa, di komunitas yang rumah-rumahnya petak papan, orang berkumpul di luar rumah sambil berdiang di api unggun. Di pos-pos ronda, atau persimpangan jalan kampung, di terminal, atau di sudut-sudut pasar, apalagi di kebun-kebun, beberapa orang berkumpul berdiang bersama api unggun hampir setiap hari apalagi pada musim-musim kemarau yang dingin. Di sanalah dialog tentang apapun digulirkan, diiringi dengan canda, dan tentu saja sang kopi hitam di hidangkan entah beli dari warung atau membuat sendiri dari rumah terdekat.

Budaya ”dapur” dan perapiannya ”tungku” (yang

kemudian disebut ”dapur-tungku”) dibawa pula oleh para penggembala kuda ketika mereka mengelana di padang-padang penggembalaan yang banyak tersebar di wilayah Bener Meriah dan Aceh Tengah. Konon kabarnya dahulu ternak andalan orang Gayo adalah kuda. Jaman dulu hampir setiap keluarga petani memiliki kuda. Kuda menjadi bagian dari kehidupan

Page 57: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 56

budaya Gayo. Kuda-kuda ini tidak dikandangkan namun dibiarkan bebas di padang-padang penggembalaan sementara para penggembalanya mengawasi dari jauh.

Kuda bukan sekedar hewan ternak piaraan. Ada

sebagian kuda yang dipelihara sebagai ”kuda pacu”. Maka itu semacam sudah tradisi sejak dulu, baik di Bener Meriah maupun Aceh Tengah, setiap tahun selalu diadakan pacuan kuda. Biasanya pacuan ini dilakukan pada saat perayaan Hari Kemerdekaan. Kuda-kuda yang menjadi juara pasti harga pasarannya melonjak, juga memberikan keuntungan dan prestise bagi pemiliknya. Bagi kalayak ramai yang menonton, terutama para ”game player” kuda-kuda inipun memberikan kuntungan.

Bagi sebagian orang Gayo kuda menjadi identitas

pretise seseorang. Mungkin mirip dengan burung ”perkutut” di Jawa, dia menjadi bagian dari simbol prestise sebagian priyayi. Para pejabat pemerintah lokal yang berduit biasanya mencoba membeli kuda-kuda juara itu, dan tentu kuda-kuda ini semakin melambung harganya karena tidak hanya satu dua pejabat yang memburunya. Dan ketika kuda juara sudah berada di satu tangan pejabat, maka mulailah kuda itu masuk dalam sistem jaringan jual-beli klas tinggi seiring dengan naik-turun prestasinya pertempuran pacuan-pacuan berikutnya. Bergilirlah sang kuda itu dari satu

Page 58: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 57

tangan ke tangan para pejabat, cukong, atau para juragan-juragan kopi.

Kepanitian pacuan kuda melibatkan brokrat dan

pejabat pemerintahan lokal karena memang dijadikan satu denga rangkaian perayaan Kemerdekaan RI. Dua sampai tiga minggu sebelum pacuan dimulai, sebagian pejabat memang agak susah ditemui karena sibuk mengurus sana-sini. Belum lagi jika sebagian dari mereka adalah orang-orang yang berkepentingan dengan tradisi pacuan dan prestise melalui pacuan. Di berbagai tempat berkumpul, tentu saja juga di kedai-kedai kopi, orang sibuk diskusi membuka sejarah dan trac-record kuda-kuda kesohor, bagaiman dia perangainya, milik siapa kuda itu sekarang, siapa yang kira-kira akan menjadi jokinya, dll. Bagi para ”game-player” analisis dan isu-isu kuda-kuda tadi menjadi penting, karena dari sana dia harus memasang ”kuda-kuda” untuk terlibat dalam permainan di balik pacuan itu sendiri.

Saat ini sudah tidak banyak orang memiliki atau

beternak kuda. Seiring dengan kebutuhan dan kompleksitas masyarakat yang terus berkembang, muncullah usaha-usaha ternak lain yang lebih bernuansa ekonomis. Di antaranya adalah kian berkembangnya ternak kerbau. Kerbau-kerbau inipun dibiarkan dipadang penggembalaan, ditunggui para

Page 59: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 58

pejangganya dari jauh di gubuk-gubuk papan tempat menginap mereka.

Pada malam-malam sepi yang dingin tentu saja

para penggembala kuda jaman itu berkumpul berkelompok-kelompok dan berdiang di ”tungku api unggun”, memperbincangkan keluarga, pertanian, kopi, ternak kuda, karapan kuda, apa saja untuk membunuh dingin dan sang malam. Tentu tidak lupa bubuk kopi bekal mereka dibuat minuman kopi dan dihidangkan seiring gurauan mereka. Hari berganti hari, minggu berganti minggu tentu saja bahan perbincangan mulai membosankan dan itu-tiu saja. Maka mulailah tercetus ide lain untuk melawan sang waktu, dingin, dan malam. Satu dua orang penggembala ini mulai ”bersyair”, dan seperti sifat dasar penggembala yang bebas dan egaliter, syair-syair mereka bernuansa parodi.

Syair-syair parodi mereka muncul spontan dan

langsung dilantunkan sesuai lagu-lagu tradisi lisan Gayo. Syair-syair itu memparodikan atau mentertawakan segala macam problema, seperti: kondisi lingkungan yang kian lama kian buruk, mengapa kuda-kuda sulit gemuk, petuah-petuah sekaligus sindiran perkawinan, kehidupan bertani dan harga-harga yang tidak bersahabat, cerita-cerita kepahlawanan Gayo, tentang kehidupan beragama, kehidupan yang rukun dan bersatu, cerita tentang

Page 60: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 59

politik, korupasi, kepemimpinan dan pengkhianatan, dll.

Melantunkan lagu-lagu bersyair parodi akan

semakin asik dan menumbuhkan gelak tawa penghiburan, jika dimainkan bersautan antar dua atau beberapa kelompok. Dahulu musik pengiringpun sederhana saja, tepuk tangan, memuku-mukul batu, atau memukul-mukul bilah kayu dengan irama-irana ritmis tertentu sesuai lagu yang dimainkan. Jadilah kemudian semacam kelompok musik syair yang sederhana. Masing-masing kelompok saling bersautan menggemakan gelak tawa di padang-padang penggembalaan. Dari orang-orang atau kelompok penggembala Gayo ini tentu saja muncul satu atau dua orang yang cerdas mencipta syair-syair dan sekaligus melantunkannya. Dia lah disebut chek, sang seniman musik-syair tradisi lisan ini yang tumbuh silih berganti dari generasi ke generasi. Chek ini biasanya kemudian menjadi ”panglima” (pemimpin) kelompok karena dari dialah arah substansi syair, nada pilihan lagu, bahkan dinamisasi kekompakan kelompok dimainkan.

Mem-”parodi”-kan Kehidupan Setiap komunitas kebudayaan nampaknya

mempunyai arena dan caranya sendiri dalam melakukan semacam ”refleksi-otokritik” atas

Page 61: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 60

perkembangan sosialitas masyarakatnya32. Lenong dalam kebudayaan Betawi adalah semacam panggung tradisi lisan, dimana para aktor memainkan cerita-cerita rakyat yang diselipi dengan tema-tema kekinian yang terjadi di masyarakat berikut dengan pantun-pantun yang parodis, bahkan sifatnya sangat partisipatif dimana penonton bisa ikut berceloteh. Di komunitas-komnitas berbasis kebudayaan Melayu, tradisi lisan sahut-menyahut pantun sudah sangat merakyat, mulai dari pantun yang bermuatan syariat agama, kepahlawanan, petuah norma, sampai pantun parodi sosial bahkan yang menyerempet cerita ”jorok”.

Didong merupakan tradisi lisan parodis yang

sangat melekat di hati masyarakat Gayo, dengan syair-syair yang sangat partisipatif terhadap kehidupan yang sedang berkembang. Sebagai contoh saja syair Didong ”Renggali” berikut ini, yang dibuat oleh Abdul Kadir seorang seniman tradisi lisan dan sejak muda sudah dikenal dengan ”ceh kucak” (ceh kecil)33, berikut syairnya :

RENGGALI wahai renggali yang harum harum harum mewangi renggali ini si tajuk hias

32 Masih banyak di wilayah-wilayah Indonesia yang memiliki tradisi

semacam ini, yang berbentuk arena panggung “sandiwara” atau semacamnya sebagai media internalisasi nilai, norma sekaligus juga kritik parodis terhadap masyarakatnya sendiri.

33 Lihat http://acehpedia.org/Abdul_Kadir

Page 62: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 61

ini lagu baru dekat tengah malam wahai renggali yang harum harum harum mewangi ceh sekarang semakin banyak tetapi lagunya banyak tak mengena yang membeli kenderaan semakin banyak tetapi minyaknya semakin menyala wahai renggali yang harum harum harum mewangi renggali ini si tajuk hias ini laguku bukan harta pinjam benih sawah semakin banyak tapi zakatnya semakin berkurang (Terjemahan dari bahasa Gayo oleh L.K.Ara)

Renggali ini bukan sekedar syair, tetapi syair yang

dilagukan. Coba kita simak bahwa setidaknya ada tiga tema sosial otokritik dari Abdul Kadir terhadap masyarakatnya. Pertama, ceh-ceh baru memang mulai bertambah banyak tetapi Abdul Kadir menganggap syairnya jelek-jelek dan tidak bermakna. Tentu saja secara tidak langsung dia juga ingin mengkritik bahwa menjadi ceh janganlah dengan cara instant tetapi perlu kesenimanan yang matang dan teruji. Kedua, Abdul Kadir ingin mengajak refleksi bersama atas kesadaran berzakat yang semakin berkurang padahal mungkin penghasilan dan harta semakain menumpuk, yang ditulisnya dalam bait benih sawah semakin banyak tapi zakatnya semakin berkurang.

Page 63: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 62

Berikut ini petikkan sebuah syair Didong cukup panjang dari Abd. Rauf tahun 1978 berjudul ”Sedenge”34 :

SEDENGE Hoi, coba kenang masa silam Orang muda beria senang Suara-suara gemerincing Suara 'teganing' di pintu senja Di ujung beranda, gempita, gemerlap Bunga menguntai, rangkai Hoi, betapa semaraknya Tawa rayu, aduhai Bercubitan manja Jemari menari Dalam cengkerama Mengenang bunga 'renggali' Yang baru dipetik di pematang Hoi, cobalah kenang lagi Istiadat di kampung halaman Orang dulu berbasa tutur teatur Mengangkat santun Bertingkah cermat Bagai bertongkat hakikat Semua tergapai, rangkai

Hoi, dalam pesta pakaian gemerlap Dengan sanggul adatnya Saling mengenal rasa, pinang Mimpi pun indah Teriring kapur sirih Jelas Dengan cerana tembaga, mama Hoi, mengiring mempelai yang santai Beramai-ria, aduhai Mempelai bersunting Merah kuning Dengan wajah santun Bagai disanding Di atas pelamin, bergandeng Hoi, insan yang berpikir, takdir Kembalilah dari kelalaian Di atas ilmu dalam akal Di atas pematang di tengah sawah Pada pikir dalam dada Menimbang untung rugi,

34 Lihat blog dari LK. Ara (http://lkara2000.blogspot.com), seorang seniman

Didong. Yang disajikan ini hanyalah terjemahan bahasa Indonesianya saja.

Page 64: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 63

Hoi, tertibnya tata kerama Mengurai pikir, aduhai Bunga disuntingnya Merangkai pantunnya Dunia para muda menjaganya Kupiah yang teleng, sumbang Hoi, masa yang silam Orang muda dalam canda Di tepian Tak sembarangan Para muda membagi kasmaran Bagi kekasihnya Bertutur adat Bila di keramaian Musti ditunda, pemali Ya itu adatnya, merangkai Hoi, kita tatap masa kini Semrautnya, aduhai Tiada batas, bebas Berakhir sesal Bagai ayam Meronta terbang, elang jalang Hoi, orang dahulu Dalam tatak-krama Penuh sungkan adik-abang Sekarang tak lagi berbeda, sayang Yang terpandang Anak dan bapak Bercanda, biasa Biasa berbangkang, sayang

sayang Hoi, ketakburan yang angkuh Pertanda kerugian, aduhai Bertutur halus Bertingkah lembut Menghindar dari khianat Bernasib bagai sampah Isi keranjang, sayang Hoi, himbauan terakhir Kenanglah Ibaratnya sanggan kacang Tingkah pongah tak dianggap Pesta pora mengundang murka Bila sesat kembalikan sesal Tanpa murka Jangan menyimpang, sayang Hoi, bila tiba bala Terhadap saudaraku, aduhai Tolonglah bantu Apa yang perlu Saling merasa Seia-sekata Tanpa batas-batas Hoi, bila dikenang adat dahulu Mulia kita pandang Kita pandang masa sekarang Orang tua tinggal tercengang Bila dikenang adat dahulu Mulia kita pandang Kita pandang masa sekarang

Page 65: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 64

Hoi, bila ada rezeki Sahabat pun ramai, aduhai Tertawa angkuh Bagai gemerincing uangnya Bila papa melanda Cuma kerabat yang sayang, menopang

Orang tua tinggal tercengang.

Syair di atas bermakna mengingatkan kepada kita tentang tata norma adat dan agama, pentingnya memperkuat tali persaudaraan, hubungan persahabatan, dll. Syair ini membandingkan ”masa lalu” dan ”masa kini”, namun tidak hendak mengindoktrinasi agar kembali ke masa lalu. Meski syair Sedenge ini sarat muatan makna, yang menarik di simak adalah ”bahasa”-nya yang dipakai begitu lugas apa adanya meski terangkai dalam koridor makna kesopanan. Itulah menurut penulis salah satu ciri Didong sebagai kesenian tradisi lisan yang lahir dari komunitas egaliter masyarakat dataran tinggi yang sebagian besar petani, pemanfaat hutan dan penggembala. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, masa berganti masa, dan dikenalah seni tradisi lisan para penggembala itu dengan seni Didong. Seni ini terus bergema hingga kini, bertumbuh dari generasi ke generasi tidak hanya untuk kaum tua tetapi juga para kaum muda Gayo. Seni yang dulunya dimainkan oleh

Page 66: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 65

kaum ”pinggiran” (para penggembala desa) itu kini merambah menuju pusat-elite: ke pesta-pesta perkawinan, di pertemuan-pertemuan resmi pemerintahan, di pesta-pesta apapun sebagai ungkapan rasa syukur, di upacara kemerdekaan, di upacara-upacara pesta penyambutan tamu penting, dll. Dia menjadi cirikhas identitas kebudayaan Gayo35. Kini seni ini menjadi salah satu dari banyak seni tradisi kebanggaan Aceh, dan semakin kesohor di nasional bahkan vestifal-vestifal seni tradisi internasional. [■]

35 Beberapa informan menceritakan bahwa pada mulanya Didong dimainkan

dalam satu babak permainan hanya oleh satu kelompok. Kemudian berkembang dalam satu babak permainan dimainkan oleh dua atau lebih kelompok, dimana mereka saling bersautan mengisi syair-syair petuah, tuntunan-tununan kaidah hidup bermasyarakat, kepahlawanan, solidaritas, dll. Kini dikenal permainan Didong Jalu. Dalam satu babak dimainkan dua atu lebih kelompok, namun syair-syairnya cenderung berupa sindiran terhadap kelompok lawan, saling mencari sisi negative lawan, bahkan kadang-kadang mengungkan kebobrokan pribadi seseorang. Tidak sedikit orang yang merasa kurang “pas” dengan kecenderungan Didong dimainkan dann dilantunkan dalam babak Didong Jalu ini.

Page 67: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 66

”Cik”, Silsilah dan Kesopanan Ber-”Governance”

Sebagian besar orang Gayo cenderung akan

memanggil orang lain, terutama laki-laki, yang umurnya bertaut cukup panjang di atasnya dengan sebutan ”cik” (mungkin dapat diterjemahkan paman). Tidak peduli orang itu masih bertalian saudara atau bukan, bahkan mungkin baru saja bertemu. Ada nuansa kekeluargaan, kedekatan, dan lebih dari itu adalah ”kehangatan” yang ingin selalu ditunjukkan oleh orang Gayo. Sadar atau tidak konsepsi berpikir semacam ini dibangun dari budaya ”dapur”, dimana orang selalu berkumpul menghidupkan suasana kehangatan keluarga.

Meskipun kadarnya tidak serapat orang-orang

Batak dalam memakai dan menyadari marganya, orang-orang Gayo pun mengenal sistem marga meskipun dalam banyak hal nama-nama marga itu tidak dipakai. Seperti orang-orang Batak, atau masyarakat lain yang mengenal marga, orang-orang Gayo relatif paham dari mana dan siapa rumpun keluarga-keluarga saudaranya berasal. Memang dalam

Page 68: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 67

kehidupan kondisi saat ini, dimana dinamika migrasi dan merantau cukup tinggi di Gayo36, kadar ikatan-ikatan keluarga jauh berkurang. Namun dalam kebutuhan-kebutuhan tertentu misalnya pesta perkawinan, pesta kelahiran, atau saling membantu dalam kebutuhan-kebutuhan ekonomi, ikatan persaudaraan keluarga ini muncul menjadi nilai ikatan untuk mempersatukan mereka.

Ada semacam ”struktur” dalam bangunan tata

nilai kebudayaan Gayo. Struktur tata nilai dalam budaya ”berdiang”, berkumpul di dapur, dimana orang satu sama lain harus mengenal siapa kerabat dan saudaranya, dan dalam posisi ”dimana” dia dalam bangunan struktur kekerabatannya (ikatan keluarga). Struktur nilai sosialitas –-berwarga baik sebagai warga keluarga maupun warga komunitas gayo—ini termanifestasikan, atau gampangnya terwujudkan dalam sistem komunikasi melalui ”bahasa” Gayo. Sepertinya kita semua sepakat, jika bahasa merupakan wujud kebudayaan. Semua tata nilai, aturan, maupun sistem di dalam ”berbahasa” sebuah masyarakat dengan kata lain membuktikan struktur nailai-nilai yang dianut masyarakat tersebut.

36 Banyak orang mengamini kadar ikatan kekeluargaan yang jauh berkurang

saat ini. Menurut mereka pada sisi lain orang Gayo, adalah orang yang terbuka, akomodatif dan inkulturatif terhadap orang, komunitas, atau masyarakat lain.

Page 69: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 68

Dalam bahasa Gayo dikenal sistem ”tutur”, yaitu tata nilai kesopanan dalam memanggil orang lain. Yusradi Usman Al-Gayoni dalam artikelnya ”Pemakaian Tutur Dalam Bahasa Gayo”37, hendak mengatakan bahwa tutur berisi serangkaian sebuatan panggilan sesuai dengan struktur kekerabatan-keluarga yang dikenal orang Gayo untuk menunjukkan sikap hormat dan kesopanan. Bahkan ”tutur” ini penerapannya mengenal dua jalur, yaitu tutur yang dipakai untuk jalur keluarga baik jalur dari pihak perempuan (istri) maupun jalur pihak laki-laki (suami). Kita ambil contoh saja beberapa, misalnya:

... Awan Pedih : Kakek ( bapak dari ayah ); Anan Pedih : Nenek ( ibu dari ayah ); Awan Alik : Kakek ( bapak dari ibu ); Anan Alik : Nenek ( ibu dari ibu ); Uwe : Kakak tertua dari ibu kandung; Ama Kul : Bapak Wo ( saudara laki-laki sulung dari bapak ); Ine Kul : Mak Wo ( istri dari Pak Wo/ istri abang tertua dari bapak ); Ama : Bapak; Ine : Ibu; Ama Engah : Bapak Engah ( tengah ), adik dari ayah; Ine Engah : Ibu Engah ( tengah ), adik dari ibu. ...38

Coba bayangkan jika seorang anak, entah anak dari siapapun dalam struktur ikatan keluarga Gayo, tidak mampu memanggil generasi di atasnya dengan ”tutur” yang benar39. Dipermalukanlah anak itu

37 Lih. http://www.gayolinge.com/ - diakses 3 Februari 2009 38 Lih. Artikel H. Mustafa, AK. ”Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah

Tangga) dalam http://www.gayolinge.com/ - diakses 3 Februari 2009. 39 Memang diprihatinkan oleh Yusradi Usman Al-Gayoni dan H. Mustafa,

AK., bahwa pemakaian tutur di masyarakat Gayo kontemporer saat ini sudah sangat luntur, selain karena budaya ikatan kerabat yang mulai terkikis juga karena sikap adaptif orang Gayo terhadap bahasa-bahasa lain seperti bahasa Aceh, Jawa,

Page 70: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 69

beserta orang tuanya dalam ikatan tersebut. Tata nilai kesopanan tentu saja akhirnya tidak hanya sesederhana diukur dari hafal benar tidaknya menyebutkan ”tutur” dalam generasi keluarganya. Nilai-nilai kesopanan berbahasa dan bersosialitas pasti menuntut sikap-siap penghormatan lain seperti: menyapa duluan jika berpapasan, menahan diri, tidak emosional, bahkan sangat mungkinkan mendahulukan privelese (kepentingan) tingkat generasi keluarga yang harus dihormati lebih dulu.

Nampaknya tata nilai kemargaan atau

kekeluargaan ini tidak sebegitu mudah dilepaskan. Dalam jaringan-jaringan ekonomi dan perdagangan jelaskan ikatan-ikatan itu bekerja. Bahkan dalam ranah pekerjaan publik yang membutuhkan pentingnya kapasitas, profesionalitas, dan akuntabilitas diri, rasa dan nilai ikatan keluarga tersebut masih ditelusuri praktik-praktik kerjanya. Ambil contoh saja dalam sistem kepemimpinan dan pemerintahan lokal.

Jangan lupa bahwa di dalam kebudayaan petani-

petani dataran tinggi, ikatan-ikatan keluarga itu telah

Batak, Minang, Inggris dan Indonesia. Namun bagi penulis, bentuk bahasa, penuturan, ekspresi kekerabatan, atau ekspresi kultural lain bisa berubah, namun ”struktur” sistem nilai kebudayaan Gayo tidak mudah dan belum hilang seperti yang ditakutkan banyak pihak. Meski begitu memang benar, upaya-upaya mempertahankan nilai-nilai budaya yang transformatif perlu dilakukan. Kultur Gayo adalah kultural adaptif dan akomodatif, maka strategi mempertahankan nilai-nilai kultural tidak bisa inklusif-defensif tetapi hendaknya mencari upaya-upaya yang enklusif-transformatif.

Page 71: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 70

memunculkan apa yang disebut nilai-nilai ”paternalisme”. Sebuah tata nilai yang muncul dari pola berpikir pentingnya penghormatan dan pleasure bagi mereka yang segaris keluarga apalagi yang lebih tua. Konon tata nilai keluarga yang paternalistik ini telah berpraktik ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat, apalagi di dalam masyarakat yang oleh karena tantangan kondisi alamnya membutuhkan pentingnya bersatu (grouping), berkelompok, saling mendukung-membantu. Dengan kata lain nilai-nilai tersebut telah menjadi struktur dari bangunan ”strategi hidup”.

Maka jika pemimpin di tingkat lokal, misalnya

saja kepala kampung berasal dari keluarga ”A” maka praktik-praktik pemerintahan kampung tersebut sangat bernuansa keluarga besar ”A”, baik dalam segi pengembilan kebijakan, keputusan, pembangunan40, bahkan mungkin oknum perangkatnya. Sistem ikatan keluarga inipun terjadi dalam praktik-praktik governance di Bener Meriah dan Aceh Tengah, meskipun tidak di dalam semua lini. Dalam mekanisme rekrutmen PNS (Pegawai Negeri Sipil) pola

40 Dalam satu kesempatan diskusi mengenai mekanisme perencanaan tingkat

kampung, seseorang dari utusan kampung mengungkapkan bagaimana pembangunan di kampungnya cenderung melayani kebutuhan-kebutuhan jalinan keluarga si kepala kampong. Ternyata kepala kampung ini memang mempunyai konstituen terbanyak di kampungnya dan itu berasal dari luasnya ikatan-ikatan keluarganya. Ditambahkan oleh utusan tersebut, bahwa hal ini tidak hanya terjadi di kampungnya tetapi di banyak kampong yang lain.

Page 72: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 71

tata nilai ”mana keluargaku” tidak perlu dipungkiri, masih berjalan.

Pola penempatan pejabat di dalam konteks kultur

seperti di jelaskan sebelumnya, adalah perkara lain yang amat rumit. Mungkin sama rumitnya dengan permainan efek domino atau puzsle. Seorang calon pejabat aselon sebelum ditempatkan akan dipertimbangkan secara pola nilai ”dikotomi” Kiri-Kanan. Dikotak sebelah ”Kiri”: Profesionalitas, Pengalaman, Performance. Di kotak sebelah ”Kanan”: Masih muda atau sudah tua41, Saudara atau orang lain, Apa kelak dia akan ”menguntungkan” atau tidak.

Tentu saja efek-efek berikutnya sebagai dampak

dari kendala-kendala kultural dalam membangun good-governance di atas adalah, relatif rumit merealisasikan ukuran akuntabilitas kinerja individual maupun management-instansional. Seseorang pejabat akan menimbang berlipat-lipat saat harus menilai negatif kinerja orang lain yang sesungguhnya harus dia hormati sebagai ”cik”. Alih-alih jika seseorang tersebut

41 Disini mengacu serta berlaku tata nilai dibalik istilah “cik” (paman),

sebuah penghormatan paternalis kepada yang lebih tua. Meskipun saya secara kapabilitas dan profesionalitas sudah layak menjadi pejabat aselon II misalnya, tetapi di sana ada seorang “paman” yang lebih pantas secara umur menduduki jabatan tersebut, maka sudah sepantasnya saya relakan jabatan itu untuk sang “paman” karena itu salah satu bentuk penghormatan saya. Bangunan nilai semacam ini kadang disadari kadang tidak, namun yang jelas kita tidak mampu melepaskan dari jeratnya. Dan penghormatan dalam sistem genealogis selalu datang dari yang lebih muda.

Page 73: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 72

jelas benang merah pertalian kekerabatannya dengan dia. Kadar kesopanan dan kesantunan adalah produk nilai dasar dari kultur sebuah komunitas (masyarakat), dalam hal ini yaitu kultur paternalisme-petani. Nuansa relasi praktik-praktik governance di Bener Meriah dan Aceh Tengah –mungkin juga di wilayah Gayo Luwes—cenderung santun-konservatif.

Banyak para ahli tatapemerintahan dan politik

lokal akan menelaah bahwa kecenderungan semacam itu sebagai kontra produktif demokratisasi, anti transparansi, serta cenderung bad-governance. Akankah selalu begitu?! Adakah yang salah dengan tata nilai dan struktur berpikir produk dari kebudayaan sebuah masyarakat, yang telah teruji dari jaman ke jaman menjaga serta mengorganisir komunitas tersebut?

Persoalannya adalah terletak pada praktik

”kepemimpinan” (leadership). Jangan lupa karakter kepemimpinan budaya paternalisme komunitas petani-petani dataran tinggi cenderung primus-interparest. Power (kekuasaan) yang tertinggi adalah untuk sang pemenang, sang jagoan, sang pemilik resources (sumberdaya). Sesungguhnya sangat mudah bagi si Primus-Interparest ini untuk ”memainkan” ke mana gerbong organisasi ini mau dibawa, apalagi jika dia menjadi penguasa di masyarakat yang dominan kultur tertentu.

Page 74: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 73

Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan (Bali) menjadi dielu-elukan yang pertama kali mampu merealisasikan budaya good-governance, bukan karena semua perangkat dan birokrasi daerahnya pada paham good-governance. Dalam nuansa intepretasi yang lain, oleh karena sang Primus-Interparest-nya berani mengambil resiko mengembalikan makna leadershipnya kepada kultur aslinya. Namun diimbangi dengan jiwa-jiwa nuansa modernis seperti rasionalitas, pengabdian, negosiasi, problem-solving, dll. Mimpi menjadi ”negeri di atas awan” niscaya akan membawa kemaslahatan masyarakat jika para primus-interparest-nya menyadari jebakan-jebakan leadeship tersebut. Jika tidak, maka negeri itu ”setali tiga wang” dengan negeri-negeri lain kebanyakan. [■]

Page 75: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 74

”Wajar Tanpa Pengecualian” Kab. Aceh Tengah ( Tinjauan Konteks Kultural)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI baru-baru ini memberikan penghargaan terhadap performace keuangan Kabupaten Aceh Tengah sebagai ”Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)”.42 Dalam konteks Aceh ini tentu luar biasa, dan menjadi perhatian bagi kabupaten/kota lain di Nanggroe Aceh Darussalam bahkan kabupaten/kota lain di Indonesia.

Dari sudut bahasa ekonomi-akuntansi penilaian tersebut hendak melihat akuntabilitas sebuah pemerintahan kabupaten/kota menerapkan sistem keuangannya: Tepat waktukah dia; Sesuai kaidah peraturankah dia; Adakah temuan ke arah korupsi; Transparankah dia; dll. Yah..sesungguhnya sederhana saja. Namun jika ingin ditilik dari sudut konteks sosio-kultural, masalah ”keuangan” tidaklah sesederhana itu! Menerapkan performa pengelolaan keuangan yang baik di pemerintahan lokal memerlukan energi

42 Harian Rakyat Aceh, 25 Februari 2009, lih. http://www.acehtengahkab. go.id

Page 76: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 75

”menembus batas” yang luar biasa besar. Energi yang terus bergerak menuju fokus mulai dari political will dan leadership yang kuat, melompati sifat sektoral instansi yang egonya minta ampun, dan lebih-lebih lagi, menembus sekat-sekat sifat hambatan dasar kultural di tingkat kesadaran individu serta masyarakat.

Essay pendek ini ingin menemukan bentuk ”pembelajaran” lain dari penganugerahan Kabupaten Aceh Tengah sebagai ”Wajar Tanpa Pengecualian” dalam performa sistem pengelolaan keuangan daerah oleh BPK-RI. Singkatnya, essay ini ingin mereintepretasi ulang bukan dalam ranah ekonomi-akuntansi, namun ingin masuk kedalam ranah analisa sosio-kultural guna memperkaya konteks pembelajaran kita. Bagaimana bisa kabupaten di puncak gunung yang belum lagi 10 tahun ini lepas dari masalah terisolir, dengan basis kultur petani dataran tinggi, wilayah bekas konflik, mampu meraih raport bergengsi itu.

Kalang kabut peraturan keuangan Pusat Seperti diketahui bahwa selama tahun 2006

sampai 2007 aparatur pemerintahan daerah tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, ”dihebohkan” oleh munculnya tiga peraturan pusat mengenai keuangan dalam kurun waktu hanya satu tahun. ”Gile benerrrrr!!!”, begitulah kira-kira komentar para apatur. Belum paham yang satu dalam penerapannya, sudah

Page 77: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 76

muncul yang baru. Baru dibaca-baca mau dicoba diterapkan yang baru ini, eh...tumbuh yang terbaru!! Tahun 2006 muncul Permendagri no. 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD, kemudian muncul Permendagri No. 13 Tahun 2007, dan diperbaharui lagi dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Kajian yang dilaksanakan GTZ melalui program ALGAP II (Aceh Local Governance Programme), dalam rangka pengembangan kapasitas pemerintahan kabupaten/kota di 23 kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), menemukan kekacauan pengelolaan keuangan ini. Diakui oleh para aparatur lokal bahwa mereka sampai tidak tahu mana yang sesungguhnya benar. Campur aduk sistem keuanganlah yang kemudian terjadi. Setiap instansi seperti mempunyai intepretasi bebas terhadap masing-masing peraturan. Terjadilah ketidakseragaman prosedur. Laporan-laporan keuangan menjadi terlambat lantaran tidak mencapai kesepahaman prosedur antar aparatur apalagi antar instansi terkait.

Carut marut ini tentu bukan kesalahan daerah. Belum lagi, carut marut ini ditambah dengan dorongan dari pusat untuk penataan susunan organisasi tatalaksana pemerintah kabupaten/kota, melalui Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 mengenai Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah.

Page 78: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 77

Isu-isu seputar peraturan ini seperti misalnya ”miskin struktur kaya fungsi”, keseusian dengan kondisi daerah, perumpunan instansi, dll. Perubahan struktur organisasi instansi pemerintahan pasti membawa dampak pada tatacara, kinerja, dan mekanisme keuangan. Bisa dibayangkan betapa ”pusingnya” para aparatur di daerah.

Sharing ”kiat” sukses Penulis secara pribadi, jika diperkenankan, ingin

menyampaikan rasa bangga dan shalut kepada jajaran pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah atas prestasi itu. Prestasi tersebut adalah murni milik Kabupaten Aceh Tengah. Namun meskipun bukan mencerminkan keterkaitan atas program GTZ-ALGAP II, sebagai fasilitator yang pernah selama kurang lebih 6 bulan tinggal dan bergaul dengan berbagai jajaran di pemerintahan Aceh Tengah, penulis telah banyak belajar dari kabupaten yang indah ini.

Pada kesempatan sharing kiat sukses yang diprakarsai GTZ-ALGAP II43 dihadiri utusan pemerintah daerah mitra GTZ-ALGAP II, Sekda Aceh Tengah Bapak Muhammad Ibrahim, SE. Pernah mengungkapkan kira-kira tiga kiat sukses. Pertama, harga mati tanpa tawar menawar konsentrasi penuh

43 Dilaksanakan tgl. 25-26 Februari 2009 di Hotel Grand Nanggroe dalam

rangka Lokakarya Antar Kabupaten/Kota Implementasi Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.

Page 79: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 78

kepada ditegakkannya peraturan keuangan yang telah ditetapkan (dalam hal ini PP no. 59 tahun 2007). Kedua, membangun kerja sama antar SKPD. Pengertian membangun kerja sama tidak hanya dalam arti ”memberikan instruksi”. Namun juga jalinan bimbingan teknis, konsultasi, instruksi, problem solving, membina visi yang sama, dll., tidak hanya kepada para pimpinan dinas/badan/kantor tetapi juga terhadap para pelaksana langsung keuangan seperti PPK, PPTK44, bendaharawan dan akuntan. Ketiga, kepemimpinan yang kuat.

Kiat tersebut sedikit bersifat verbal. Memang begitulah secara teori-pratis jika sebuah organisasi atau pemerintahan daerah mau berniat membaik sistem pengelolaan keuangannya. Kenyataan di lapangan pastilah tidak segampang itu. Untung ada seorang peserta yang bertanya secara kritis, singkatnya: ”Apakah tidak ada penolakan dari internal”. Dengan nada tenang dan singkat, yang tentu sesungguhnya bisa diduga semua peserta, Bapak Muhammad Ibrahim, SE menjawab: ”Pada awalnya besar sekali penolakannya”.

Persis pada ranah ”penolakan” inilah maka mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik ternyata bukan sekadar penerapan peraturan pemerintah, menegakkan Qanun Pengelolaan

44 PPK yakni Pejabat Pengelola Keuangan, PPTK adalah Pejabat Pengelola

Teknis Keuangan.

Page 80: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 79

Keuangan Daerah, standardisasi harga barang, penerapan software keuangan, ketersediaan bendaharawan serta akuntan handal. Dengan kata lain ada tema sosial dan kultural yang mesti diperbincangkan bahkan kalau perlu sekat-sekat sosio-kultural ini harus ”ditembus”. Tema-tema ini yang sering luput dari hingar bingar perbincangan mengenai tatakelola keuangan di ranah organisasi manapun, termasuk pengelolaan keuangan pemerintah daerah.

Akuntabilitas yang ”menembus” paternalisme Seperti kita semua tahu bahwa paternalisme

adalah satu ciri dasar budaya kita. Ringkasnya paternalisme ialah kecenderungan penghormatan atau bentuk-bentuk prevelese lain terhadap laki-laki. Laki-laki lah yang berkuasa. Tempat hidup sifat paternalistik ada di dalam individu, dan individu dibentuk dari kehidupan tata keluarga yang kemudian meluas ke komunitas dan masyarakat. Di komunitas masyarakat yang sistem kekeluargaannya kuat maka cenderung tumbuh subur sifat paternalistik itu. Tidak pelak lagi kecenderungan paternalistik itu merambah ke semua lini tema-tema sosial: pertalian keluarga; jaringan kerja; cara-cara kepemimpinan; perekonomian; model koneksi; bentuk-bentuk kolusi; mendahulukan kerabat; yang lebih tua didahulukan; dll.

Aceh Tengah adalah sebuah kabupaten yang tumbuh dari basis komunitas masyarakat Gayo.

Page 81: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 80

Kebudayaan Gayo mempunyai sifat paternalisme relatif kuat meski tidak sekuat di wilayah-wilayah lain yang memberlakukan sistem marga (lihat juga essay ”Cik” in Governance Pratice di blog ini). Dan teritorial kebudayaan Aceh Tengah bukanlah tempat yang teramat luas. Masing-masing garis keluarga (keturunan) hampir mengenal kelompok-kelompok garis keluarga yang lain. Dan didalam kehidupan pemerintahan lokal, para birokrat sedikitnya akan tahu dari mana asal keturunan birokrat-birokrat yang lain. Disanalah intuisi-intuisi kultural paternalistik “bernafas” menghidupi cara-cara pergaulan aparatur.

Maka jika seseorang atau kelompok aparatur

hendak mewujudkan dengan tegas kebijakan akuntabilitas keuangan, akan terjadi perlawanan, penolakan, mekanisme menghindar dengan segala macam bentuk. Sangat mungkin terjadi bahwa yang “menolak” ada pula dari para birokrat dalam garis kekeluargannya sendiri. Secara teoritik orang akan membicarakan “kubu keluarga”. Ingin dirinya atau keluarganya tetap aman, tetap memegang tampuk pimpinan yang memberikan keleluasaan mengolah uang seperti yang sudah sudah. Para birokrat aparatur “pencetus”, pembawa gagasan, yang tidak kuat atau goyah memegang fokus pada perubahan sistem pengelolaan keuangan pasti akan luntur, dan gagasan bagus itu tinggal isapan jempol bahan parodi. Dan

Page 82: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 81

pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tengah telah mampu “menembus” batas kendala kultural ini

Idependensi “menembus” kuasa birokrat Seorang kepala badan, kantor, atau dinas dalam

wacana kepemimpinan aparatur pemerintahan daerah di Indonesia, boleh dibilang semacam “raja kecil” di kerajaan dinasnya. Memang dalam perundangan sistem pemerintahan, para kepala ini garis fungsi dan komandonya tunduk kepada level struktur diatasnya. Namun diinternal instansinya dia hampir-hampir berkuasa penuh.

Dalam kesempatan sharing itu diungkapkan pula oleh Bapak Sekda Aceh Tengah, salah satu contoh upaya yang ditempuh adalah menempatkan para bendaharawan yang direkrut oleh DPPKAD (Dinas Pengelolaan Pendapatan Kekayaan dan Aset Daerah) di setiap SKPD. Dengan demikian pemerintah daerah melalui DPPKAD mampu mengontrol dengan baik pengelolaan keuangan setiap SKPD. Ini merupakan tindakan spektakuler yang “melampaui batas” pikiran birokratisasi manapun. Penulis kira semua siding pembaca sudah paham, bahwa rekrutment bendaharawan maupun pegawai lain di sebuah dinas, badan, atau kantor adalah wilayah “mainan” kepala dinas.

Page 83: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 82

Yang namanya “pemimpin” dalam kultur budaya Timur salah satunya di komunitas-komunitas budaya di Indonesia, adalah primus interparest: orang terkuat, paling berkuasa, pemilik segara resources, dll. Bahkan menentukan mati atau hidup seseorang, menentukan benar atau tidak. Kepala suku, kepala desa, bupati, sampai dengan raja adalah primus interparest, yang seringkali tidak hanya bermakna individual namun juga kelompok. Keluarga-keluarga para primus interparest ini pun mendapatkan prevelese yang berlebih dibanding masyarakat kebanyakan.

Celakanya “model berpikir” primus interparest ini

merasuk juga kepada sesorang pemegang jabatan-jabatan publik masa kini seperti: presiden, menteri, bupati, kepala dinas, camat, lurah, kepala BUMN, kepala sekolah, dll. Mengapa begitu?!! Itulah cara bekerjanya sebuah ideologi yang disebut budaya. Jadi meski kita sebagian besar rakyat Indonesia saat ini hidup di jaman millennium, tetapi tetap masih ada disudut kepala kita sisa-sisa pandangan dan sikap jaman dahulu: “belum mampu membedakan secara benar urusan public dan urusan private”. Itulah sebabnya mengapa terobosan yang dilakukan Kab. Aceh Tengah terkait penempatan bendaharawan tersebut, pasti mendapatkan penolakan internal yang luar biasa.

Page 84: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 83

Saya kira mari kita sama-sama akui, apa yang telah dilakukan Kab. Aceh Tengah ini, adalah menembus batas budaya birokratisasi menuju independensi, paling tidak independensi para bendaharawan (atau mungkin para pejabat keuangan lainnya) dihadapan primus interparest-nya sendiri.

Absolut leader to shared leader Sukses atas sebuah visi, dijaman kini, tidak

mungkin akibat hasil kerja individualistik. Apalagi sukses yang terjadi disebuah lembaga atau institusi. Itu sebabnya mengapa sekarang bersemarak jasa-jasa training seperti ”smart leader”, ”good leader”, dan lain-lain. Semakin disadari dan banyak kasusnya bahwa kesuksesan sebuah tim kerja, organisasi, institusi, perusahaan, dll. adalah hasil dari sebuah model memimpin (leadership) yang bukan bermodalkan badan besar doang, suara lantang saja, senjata, kekayaan, staff yang banyak, wajah sangar, kelicikan, sikap culas, menelikung dalam lipatan saja.

Memimpin, to lead (dalam bahasa Inggris), berasal dari akar kata yang lebih kurang artinya terdepan, mengawali, pendahulu, pencetus ide atau gagasan awal, tempat orang bertanya, berkonsultasi, dan kira-kira semacamnya. Leadership berarti membawa orang-orang bersama-sama menuju yang terdepan, pencetus ide, membawa bersama-sama menjadi penggagas. Jadi nampaknya ”memimpin” itu tidak sekadar bisa

Page 85: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 84

mengeluarkan statement, instruksi, perintah, apalagi disetai ancaman atau intimidasi. Ide tentang visi yang hendak dibawa oleh sang pemimpin dengan demikian tidak bisa hanya disimpan dibawah ketiaknya. Namun justru harus di-share, dibagi, kepada orang lain yang hendak diajaknya agar semua tahu kemana arah gerbong ini mau dibawa.

To be a leader berarti pula memiliki resiko di dalam dirinya yang tidak bisa dilepas apalagi mau cuci tangan, yakni resiko mau merasakan kesulitan yang lain, memberi contoh nyata, dll. Semuanya ini nampaknya oposisi dengan model kepemimpinan dalam budaya paternalistik, yang selama ini kita dengar, kita lihat, kita baca, bahkan kita alami sendiri setiap hari di dalam kehidupan kita berorganisasi, berinstitusi, di semua sektor termasuk kepemerintahan.

Seorang Bupati, Sekda, atau pemimpin

pemerintahan lokal lainnya tentu tidak mudah menjalani ”shared leadership” ini. Sungguh tidak gampang, apalagi dalam budaya paternalis-birokratik dunia tata pemerintahan kita. Sering kita dengar cerita, bahwa orang yang dulunya bersih akan menjadi ”keruh” ketika masuk dalam dunia kepemerintahan baik tingkat negara, propinsi, kabupaten, dinas-dinas, camat, bahkan kepala desa. Mengapa begitu?! Karena orang tersebut tengah melawan kebiasaan budaya yang tidak disadari oleh kita semua, sudah mendarah daging

Page 86: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 85

dalam hidup keseharian. Yakni ideologi budaya paternalistik, absolut leader, menunggu petunjuk ”Bapak”, dan semacamnya.

Para sidang pembaca mestinya, dan penulis yakin mampu menduga, merasakan, atau memperkirakan arus penolakan semacam apa yang dialami Bupati Aceh Tengah dan Sekda ketika awal mula membawa kabupaten ini fokus kepada tertib tatakelola keungan daerah. Visi menuju tertib tatakelola keuangan ini tentu harus di-share (dibagikan, disosialisasikan, diungkapkan) kepada seluruh jajarannya secara kuat, fokus, dengan berani mengambil resiko didalam kendala-kendala kebudayannya sendiri. Yang sedang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah adalah upaya menembus batas sekat budaya dari ”absolute leader to shared leader” setidaknya dalam satu tema tata pengelolaan keuangan daerah: itu pasti!!

Penutup: ”The learning points” Bukan besar atau kecilnya APBK, banyak atau

sedikitnya jumlah pegawai, tingkat pendidikan pegawai, besar atau kecilnya jumpah penduduk, luas atau sempitnya wilayah, lengkap atau tidaknya gedung dan fasilitas kerja pegawai, dll. yang bisa membawa sebuah wilayah (kabupaten/kota) menuju tata kelola keuangan yang baik dan berpredikat ”Wajar Tanpa Pengecualian”.

Page 87: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 86

Tidak sedikit kabupaten/kota di Indonesia atau di Nanggroe Aceh Darussalam yang APBK-nya relatif besar, pegawainya mencukupi dengan tingkat pendidikan lumayan, yang luas wilayah serta potensinya memadai, yang telah memakai aplikasi keuangan canggih, yang PAD (pendapatan asli daerah)-nya lumayan, yang fasilitas kerjanya mencukupi, dll. serta sudah memulai membangun visi tata kelola keuangan yang baik. Namun hanya sedikit saja yang mampu mencapai predikat bergengsi itu. Bahkan di jawa yang notabene disebut dengan tingkat edukasi lebih dari rata-rata serta dekat dengan sumber-sumber ahli di universitas-universitas ternama, pun sedikit pemerintah kabupaten/kotanya mampu meraih penghargaan prestisius itu. Mengapa?!

Persoalannya adalah bahwa di balik Perda-Perda dan Qanun mengenai tata kelola keuangan daerah yang sudah diproduksi, dibalik software aplikasi online antar SKPD, dibalik peraturan standardisasi belanja dan harga barang yang sudah ditetapkan, dibalik skill para PPK dan PPTK, kita belum mampu mengatasi kendala-kendala tertentu dari kebudayaan kita yang birokratis-paternalistik. Di satu sisi kita ingin meraih ”transparansi”, namun di sisi lain masih gamang prevelese kita hilang. Sangat sedikit jajaran kepemimpinan pemerintahan kabupaten/kota yang mampu dan mau, dengan sadar, fokus, komitmen serta concern, mengatasi kendala-kendala kultural masing-

Page 88: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 87

masing yang bisa jadi itu lebih lebih dan lebih berat dari pada menciptakan sistem serta mekanisme keuangan yang baik diatas kertas.

Sekali lagi, bravo!! untuk Kabupaten Aceh Tengah, sebuah negeri dibalik awan-awan pegungan Gayo, mampu menembus batas keduanya. Yakni menciptakan tata mekanisme keuangan yang baik serta menembus batas sekat-sekat kultralnya dalam tata kelola keuangan daerah. [■]

Page 89: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 88

Dialog Kawasan: “Pegunungan dan Dataran”

Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo

Luwes menempati rangkaian pegunungan tengah Aceh, relatif tepat berposisi di tengah-tengah wilayah Aceh Nanggroe Darussalam. Secara eco-geografis posisi tersebut sangat strategis dalam konteks kewilayahan Aceh secara umum. Setidaknya wilayah ke tiga kabupaten tersebut merupakan wilayah konservasi alam, yang diakui dan diakomodir bukan sebagai milik Aceh dan milik Indonesia saja, tetapi juga dianggap milik masyarakat Dunia. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah inti dari apa yang dikenal dengan kawasan konservasi alam Taman Nasional Leuser.

Kompleksitas pentingnya kawasan Leuser bukan

saja karena hutan-hutannya merupakan tempat yang memproduksi O2 untuk bernafas masyarakat dunia, namun semua aspek lain seperti keragaman hewan, tumbuhan, ekologi sungainya merupakan tempat yang unik dan menjadi salah satu yang ”terkaya” di bumi ini. Ada setidaknya 3 DAS (daerah aliran sungai)

Page 90: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 89

penting dari wilayah pegunungan tiga kabupaten tersebut, yaitu Krueng (Kr.- sungai) Peusangan, Kr. Jambuaye, dan Kr. Pase yang mengalir ke mana-mana melalui puluhan kecamatan dan kabupaten-kabupaten di wilayah pesisiran Aceh.

Sungai-sungai ini memberikan ekologi kehidupan

bagi ribuan masyarakat di wilayah dataran dan nelayan di kabupaten-kabupaten pesisiran. Namun pada musim-musim tertentu dia juga ”murka” melumpuhkan ribuan masyarakat wilayah-wilayah dataran dan pesisiran dengan banjir, padi-padi dan palawija rusak, memunculkan banyak epidemi penyakit. Keberlanjutan penyangga kehidupan (sustainability livelihood) bukan saja soal DAS (daerah aliran sungai). Hutan dan keanekaragaman kekayaan isinya, kawasan hutan sebagai penyangga ekologi air, serta tentu saja kebudayaan manusianya, merupakan aset yang tidak terpisah. Yang penting dipahami adalah bahwa itu semua bukan saja milik orang Gayo sebagai masyarakat tempatan di wilayah rangkaian high-land Aceh.

Dengan kata lain bahwa sustainability livelihood

kawasan dataran tinggi Gayo, bukan saja tanggungjawab masyarakat masyarakat dataran tinggi. Dia menjadi beban semua pihak, Pemda dan semua masyarakat Aceh, bahkan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya masyarakat internasional merasa

Page 91: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 90

berkepentingan, baik melalui Yayasan Leuser Internasional, WWF, MDF, Conservation International, dll merasa perlu mengurusi kawan Leuser dan dataran tinggi Aceh.

Local Indiginous Knowledge Komunitas-komunitas di Aceh sesunguhnya

memiliki local indigenous knowledge (pengetahuan lokal) tentang pengelolaan hutan yang di beberapa wilayah gampong dan mukim masih berlaku. Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai kuasa untuk mengatur warganya dalam pemerintahan, pengelolaan agama dan adat, penyelesaian sengketa, serta pengaturan lain di bidang perekonomian umum menyangkut pertanian, perkebunan, pengelolaan ladang, hutan dan laut.

Digambarkan oleh Taqwaddin45, bahwa mukim mempunyai hak tanah ulayat untuk menopang kehidupan kepemrintahan mukim. Pengelolaan atas hutan tersebut di perankan oleh lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee, baik dalam pengelolaan hutan maupun pemungutan-pemungutan hasil hutan. Tidak ada batas teritorial menurut ukuran modern seperti meter atau hektar persegi, namun gambaran luasnya tanah ulayat mukim adalah adalah ”sejauh sehari perjalanan kaki pergi-

45 Lihat http://acehrecoveryforum.org/id/index.php?action= Artikel&no=

1071; Senin 3 Agustus 2009,H. Taqwaddin.

Page 92: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 91

pulang”. Namun sayang belum ada data kajian yang lebih terperinci bagaimana pengaturan secara adat dalam konteks mengelola hutan di Aceh. Misalnya saja seperti mana teritorial hutan yang tidak boleh dirambah oleh siapapaun; mana tertorial hutan yang boleh dikelola atau dimanfaatkan oleh rakyat; adakah pantangan atau tabu di seputar pengelolaan hutan apa saja bentuk pantangan dan larangan tersebut. Adat pengelolaan hutan tentusaja bukan hanya cara-cara mengatur ”pemungutannya” saja.

Kondisi Saat Ini dan Prediksi ke Depan Kerusakan hutan di Aceh telah mengakibatkan

terjadinya tanah longsor dan banjir yang merata di sejumlah wilayah, seperti Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulide, Aceh Selatan dan Aceh Tengah46. Greenomic-Indonesia, sebuah LSM yang terpercaya dalam menangani kasus-kasus kerusakan hutan mencatat bahwa sebanyak 47 Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mengalami kerusakan karena berada dalam areal illegal logging47.

Sebenarnya seberapa besar gambaran kerusakan dan laju kerusakan hutan di Aceh ini. Greenomic mencatat sebesar 200.329 Ha hutan di Aceh rusak sejak 2007. Kerusakan tersebut yakni di kawasan pantai barat

46 Lihat catatan Adi Warsidi dalam http://www.pelita.or.id 47 Lihat http://www.tempointeraktif.com

Page 93: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 92

Aceh mencapai 56.539 Ha, pantai selatan sekitar 48.906 Ha, wilayah utara dan timur Aceh mencapai 30.892 Ha dan wilayah tengah Aceh sekitar 19.516 hektar. Dalam satu hari digambarkan bahwa kerusakan hutan di Aceh akibat ekploitasi yang membabi buta itu kira-kira sebesar dua kali lapangan bola, atau setara dengan 20, 796 Ha. Suatu besaran yang tidak bisa dianggap enteng lagi!!

Berita-berita di media cetak maupun televisi

daerah maupun nasional sejak 5 tahun terakhir ini menggambarkan begitu banyak kerugian masyarakat dan negara, yang diakibatkan karena bencana alam banjir dan tanah longsong. Beberapa yang cukup terkenal dan telah menjadi ritus tahunan seperti misalnya di Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Lima tahun terakhir sepertinya wilayah banjir semakin meluas seperti di sebagian wilayah Aceh, wilayah Jawa Barat seperti Bandung, wilayah Jawa Tengah misalnya Kota Solo, Pati, Bojonegoro, dan wilayah Jawa Timur seperti Tuban. Semakin lama semakin merata hampir diseluruh wilayah kabupaten/kota di Indonesia.

Kerugian hampir tidak terhitung lagi. Milyaran

rupiah lenyap hanya dalam hitungan menit atau jam. Semua fasilitas publik rusak seperti aliran listrik, jalan dan jembatan, pasar, bangunan sekolah, puskesmas dan rumah sakit, dll. Jadi, apalah gunanya

Page 94: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 93

pembangunan kalau akhirnya cuma dihantam oleh banjir bandang. Apalah makna rumah besar tinggi kalau suatu saat nanti toh lenyap dimakan kemarahan alam. Kekayaan yang ditumpuk dari hasil nafsu kita merusak alam secara serakah, pasti!! Pasti akhirnya juga akan ”diambil” lagi oleh alam secara lebih mengenaskan pada era anak-cucu. Bagi kita yang tidak sadar atau tidak peduli dengan problema ini, sesungguhnya kita sedang berkata saat ini: ”Terserah itu urusan anak-cucu besok”.

Para ahli memberikan lima alasan dasar penyebab

banjir yang kian meluas di Indonesia 48, yaitu (1) faktor curah hujan, (2) faktor hancurnya potensi daerah aliran sungai (DAS), (3) faktor kesalahan perencanaan pembangunan alur sungai, (4) faktor pendangkalan sungai, dan (5) faktor kesalahan pembangunan tata wilayah dan pembangunan infrastruktur. Perubahan tata guna lahan merupakan faktor penyebab yang paling utama. Perubahan tata guna lahan disebabkan karena beberapa hal beikut: (1) Perencanaan tata ruang yang kurang mendalam; (2) Konsep tata ruang yang telah tersusun tidak dipegang teguh oleh para pengambil kebijakan terkait. Artinya begitu mudahnya mereka memberikan ijin pada hal menyalahi dokumen tata ruang; (3) Masih maraknya illegal lodging.

48 Lihat Air Perkotaan Dalam Pembangunan Kota Yang Berkelanjutan (Buku

4 Seri Buku Panduan), Jakarta, November 2009: Adeksi-Konrad Adenauer Stiftung-GTZ.

Page 95: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 94

Dialog ”Gunung – Dataran” Otonomi daerah untuk kabupaten/kota

memberikan hak sepenuh-penuhnya bagi daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai kondisi daerah. Tetapi dalam konteks integralitas pembangunan antar wilayah atau antar kawasan, sesungguhnya tidak ada serta memang tidak bisa sebuah daerah mengelola pembangunannya secara ”otonom absolut”. Harus ada aspek-aspek pembangunan yang memerlukan dialog dengan dan antar daerah lain, yang dalam hal ini sebagai contoh saja, yaitu pengelolaan pembangunan yang terkait dengan tata ruang dan kawasan lingkungan hidup.

Masyarakat kota Jakarta yang setiap tahunnya

terkena ”ritual” banjir, selain karena planning tata-kota kita yang memang belum memadai, tidak bisa terus menerus menyalah masyarakat kawasan Puncak dan Bogor sebagai daerah pegunungan penyangga air hujan. Dilain sisi Pemerintah Kota Bogor tidak bisa merencanakan pembangunan tata ruang dan kawasannya seenak perutnya sendiri tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi daerah lain seperti Kota Jakarta. Dialog kedua belah pihak dalam perencanaan pembangunan kawasan dan lingkungan hidup mau tidak mau ”harus” terjadi.

Kawasan-kawasan dataran rendah di Aceh,

misalkan saja mulai dari Kota Banda Aceh, Pidie, Pidie

Page 96: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 95

Jaya, Biereun, Lhokseumawe, sampai Aceh Timur harus melakukan dialog pembangunan kawasan dengan wilayah-wilayah dataran tinggi seperti Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luwes, dan seterusnya. Kedua kawasan dataran rendah dan dataran tinggi tersebut harus sama-sama progresif mengkonsolidasi perencanaan dan implementasi pembangunan kawasan antar kawasan. Itu lah dialog “pegunungan dan dataran”.

Berikut ini adalah sekedar sumbangan pemikiran

mengenai dua tema besar dan yang mendasar dalam rangka dialog pembangunan antar dua wilayah kawasan tersebut, yakni daerah pegunungan dan daerah dataran. Pertama, memastikan batas-batas kewilayahan yang jelas sesuai dengan konsep tata ruang masing-masing daerah, sebab seperti diketahui bahwa banyak wilayah antar kabupaten di Aceh belum tuntas benar kesepakatan batas tersebut. Menyelesaikan persoalan tersebut menjadi sangat urgent dalam rangka tanggung jawab yang jelas sebuah pemerintahan daerah terhadap wilayahnya. Kedua, membangun kesepakatan bersama antar kabupaten pegunungan dan dataran, mengenai perencanaan pembangunan tata ruang di wilayah-wilayah ”perbatasan”, khususnya pembangunan yang berkaitan dengan perlindungan kawasan hutan dan wilayah tangkapan air, serta perlidungan kawasan DAS (daerah aliran sungai).

Page 97: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 96

Persoalan yang kemudian muncul adalah bahwa bagi kabupaten pegunungan dengan PAD (pendapatan asli daerah) yang kecil tentu tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengelola perlindungan lingkungan seperti yang diharapkan. Tekanan pembangunan ekonomi kawasan pegunungan tentu akan menyeret korban pada pemanfaatan secara berlebihan terhadap kawasan-kawasan lindung. Oleh karena itu peranan kebijakan pemerintah propinsi menjadi sangat diperlukan. Salah satu yang bisa diperankan oleh propinsi adalah kebijakan tambahan alokasi dana pembangunan khususnya dibidang perlindungan lingkungan untuk kabupaten wilayah pegunungan.

Different Uniform in Unity Merupakan kekeliuran yang besar menganggap

Aceh adalah ”tunggal”. Dari segi manapun mau kita protret, pada kenyataannya Aceh adalah beragam. Dari sudut kebudayaannya Aceh adalah multikultural. Termasuk di dalamnya seni dan bahasa serta sub-bahasanya, tidak bisa dikatakan hanya satu. Terlebih lagi jika dilihat dari sudut geografi maka jelas, wilayah Aceh adalah kontras antara wilayah panjang jajaran pegunungan serta wilayah dataran dan pantai. Jadi sudah sepantasnya, siapapun hendaknya berpikiran terbuka akan perbedaan yang ada dan tidak berupaya ”mengkultuskan” atau mempromosilan dominasi yang satu atas yang lain.

Page 98: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 97

Kabupaten atau kawasan-kawasan dataran tidak

bisa dipisahkan dengan kabupaten atau wilayah-wilayah pegunungan. Dalam aspek tertentu perencanaan pembangunan antar ke dua kawasan tersebut tidak bisa sendiri-sendiri. Tidak mungkin yang satu diutamakan dan meniadakan yang lain. Konsolidasi pembangunan antara kawasan dan wilayah, mau tidak mau harus terjadi akhirnya. Di era hukum ekonomi komtemporer dewasa ini tidak ada ukuran kesejahteraan ekonomi sebuah wilayah terjadi secara independen, karena ukuran tersebut pasti dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan wilayah tetangganya juga. Itulah sebabnya dialog pembangunan antar dua kawasan besar, yakni pegunungan dan dataran, harus diupayakan adil sehingga menyejahterakan masyarakat di kedua kawasan tersebut.

Ibarat dua sisi mata uang, sisi yang satu tidak

akan bernilai tanpa sisi yang lain. [■]

Page 99: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 98

Gampong: Entitas Yang Tak Pernah Usai

Kehidupan masyarakat desa sarat dengan berbagai problema mulai dari problem ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketidakadilan pembangunan, politik lokal, dan macam-macam. Nampaknya itu sejalan pula dengan sejarah ”entitas desa” sebagai institusi yang terus berguling dalam tarik menarik kepentingan antara kepentingan instrumen politik dan instrumen tata kelola pemerintah. Wajah desa akhirnya tidak ubah semacam ”panggung sandiwara” dengan lakon yang macam-macam.

Disatu sisi desa adalah penuh pengkhianatan,

penipuan, janji palsu pembangunan, jual-beli suara dalam kotak-kotak politik, kelinci percobaan rekayasa program pembangunan, sampai sebagai tempat kelompok-kelompok militan tertentu berlindung ataupun membangun propaganda-gerakan, dll. Namun adakalanya di desa pula orang membangun harapan. Desa diharapkan tempat tumbuhnya gotong-royong, menyuburkan kembali social capital, tempat orang kota yang kecapaian dan ingin menghirup suasana alam yang asri-harmoni, budaya silaturahmi ingin

Page 100: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 99

terus dihidupkan, dll. Desa mau tidak mau terpaksa melakonkan peran ”antagonis”. Karena itu banyak kepala desa atau yang disebut dengan nama lain menjadi puyeng dibuatnya.

Kira-kira sembilan tahun – SD enam tahun dan

SLTP tiga tahun – saya menerima ideologi sejarah desa dalam rupa yang ”elok”. Saya hapal betul dengan lagu ”Desa ku yang ku cinta”. Bahkan sedikit-sedikit masih juga ditambah tiga tahun di bangku SLTA. Saya kira gambaran saya masa kecil di desa saya di Sleman bagian Selatan (berbatasan dengan Kota Yogya), adalah gambar yang indah. Mandi diselokan Mataram bersama kawan-kawan, bermain rakit dari pohon pisang. Atau menelusuri pematang-pematang sawah sambil mencari belut. Ataukuh problema eksistensi desa seperti seperti sering saya ikuti dewasa ini, kala saya masih kecil sudah ada, hanya saja dunia kanak-kanak saya adalah dunia ”bermain”. Kini setelah sedikit menggeluti problema desa dan pembangunan, baru saya sadar bahwa gambaran ideologi tentang keindahan desa hanyalah semu.

Pasang Surut Historisitas Desa dan Gampong Istilah ”Desa” sesungguhnya adalah nama resmi

bahasa Indonesia yang dipakai untuk bahasa hukum. Nama-nama yang memiliki padanan yang sama dengan ”desa”di berbagai tempat di Indonesia ada banyak ragam seperti: Kampung, Nagari, Negeri,

Page 101: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 100

Gampong, Huta, dll. Tentu saja karakter entitas dari sudut geografi, demografi, struktur pemerintahan dan masyarakatnya bermacam ragam diantara sekitar 67.000 desa yang ada di Indonesia ini. Pada awalnya semua desa itu adalah entitas institusi sosial sebuah masyarakat kebudayaan (culture area), mungkin wilayah kebudayaan masyarakat Aceh (pesisiran), masyarakat Gayo, Batak, Minang, Melayu Riau, Sunda, Badui, Jawa (Tengah), Tengger, Madura, Bali, Dayak, Toraja, Bajo, Papua, dll. Tentu saja kala itu tidak dikenal pemilahan ”desa adat” dan ”desa” (atau yang dimaksud adalah Desa Praja/Dinas49).

Pada awalnya sebuah desa, tentu saja waktu itu

jangan dibayangkan seperti desa yang ada saat ini, adalah semacam komunitas atau kelompok-kelompok keluarga yang menempati wilayah tertentu. Dia bisa saja semacam suku atau sub-suku. Kumpulan-kumpulan komunitas ini kemudian semakin membesar, saling berkomunikasi satu sama lain dalam berbagai kepentingan, saling berasimilasi dalam bentuk perkawinan antar anggotanya, atau bisa saja saling

49 Desa Dinas dimaksudkan adalah desa-desa yang tumbuh kemudian karena

di bentuk oleh pemerintah jajahan waktu itu adalah koloniah Belanda untuk membedakan desa sebagai entitas lokal dengan desa entitas baru yang sengaja dibentuk oleh Belanda guna mendukung kepentingan penjajahan mereka. Pada era Pemerintahan Indonesia model desa dinas ini dipakai kembali. Sejak itulah kemudian dikenal semacam dua entitas desa, yakni desa adat dan “desa” (yang dimaksud adalah desa dinas yang dibentuk melalui perundang-undangan formal).

Page 102: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 101

menunjukkan power bahkan saling menjajah satu sama lain.

Dominasi pasti dilakukan oleh sebuah komunitas besar yang menguasai komunitas lain. Dominasi ini dipertahankan secara terorganisir, dibentuklah aturan-aturan entah yang dibuat sendiri atau mengikuti adat-kebiasaan yang sudah adat, yang mengikat demi mengukuhkan dominasi. Proses dominasi tersebut terus berkembang, semakin terorganisir, dan membentuk semacam tatanan pemerintahan, entah yang masih berbentuk kesukuan yang besar atau bentuk-bentuk kerajaan. Komunitas atau suku-suku kecil mendiami wilayah-wilayah tertentu itu cikal-bakal apa yang kita sebut desa pada historisitas selanjutnya. Dan sejak munculnya kekuatan dominasi itu, maka tidak ada lagi sesungguhnya yang disebut ”onotomi” desa (atau nama lain yang disebut waktu itu).

Gampong di Aceh sacara hitoris saya kira mirip

saja dengan desa-desa di Jawa dahulu pada masa kerajaan, dimana sebenarnya tidak ada desa yang sungguh otonom tidak bertuan kepada siapapun serta hanya bertuan kepada pimpinan desa itu. Kewajiban ”upeti” adalah hanya salah satu bukti bahwa desa jalam dahulu pun sudah dikuasai oleh entitas pemerintah supra desa (kerajaan waktu itu). Gampong di jaman kerajaan-kerajaan atau kesultanan Islam di Aceh, saya kira juga sudah tidak memiliki otonominya

Page 103: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 102

yang absolut. Secara ekonomi dan pemerintahan baik desa maupun gampong, sejak jaman dahulu telah bertuan terhadap (kaum, kelompok) ”penguasa”.

Persoalannya sekarang adalah seberapa jauh

kaum penguasa, yang katakanlah kerajaan, mampu menguasai sendi-sendi kehidupan gampong. Persoalan ini sangat tergantung luasnya wilayah sang penguasa, jumlah bala perangkat dan tentara kerajaan, dan metode sistem pemerintahan yang dimiliki. Di jawa elite-elite desa, atau orang-orang tertentu yang memiliki pengaruh cukup luas antar desa, diangkat atau diberikan kedudukan khusus oleh pemerintah kerajaan dalam upaya mengorganisir rakyat di tingkat bawah. Maka ada dikenal seperti ”lurah”, ”bekel”, ”demang” atau lainnya yang sesungguhnya para penguasa teritorial tertentu. Karena jaman dahulu batas-batas antar wilayah ”masih abu-abu”, maka ukuran kepenguasaan itu terletak pada jumlah orang atau keluarga yang dibawah pengaruhnya, disebut ”cacah”50.

Nama-nama penguasa seperti lurah, bekel,

demang, dll yang hampir sama di seluruh wilayah meskipun di sana-sini ada yang dengan penyebutan

50 Cacah terjemahan kasarnya adalah “hitungan” atau berapa jumlahnya.

Maka dijawa dikenal cacah jiwa, atau berapa anggota keluarga. Jumlah cacah yang dikuasai atau dimiliki oleh seorang penguasa lokal itu dipakai untuk perhitungan gotong-royong, kewajiban memberikan upeti ke penguasa kerajaan, sampai ke kewajiban pajak.

Page 104: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 103

lain, sesunggunnya adalah nama asli dari wilayah bersangkutan. Karena Jawa memiliki basis kultur yang sama maka sebutannya adalah mirip di mana-mana. Gampong beserta perangkatnya apakah dengan nama yang sama sebelum kerajaan kesultanan hadir? Selanjutnya sebutan Imam Mukim, kapan dia hadir di bumi Aceh, apakah dia sebelum kerajaan kesultanan sudah ada, atau istilah ini datang dengan semakin berkembangnya kekuasaan kesultanan di Aceh.

Menurut intepretasi dan analisa penulis terhadap

berbagai sumber tentang gampong maupun mukim di Aceh, maka dapat ditarik beberapa pelajaran sebagai berikut. Pertama, tidak banyak analisa maupun karya sejarah tentang Aceh yang menulis tentang bentuk-bentuk organisasi sosial sebelum masa kerajaan kesultanan. Memang bisa diduga bahwa orang Aceh sudah banyak yang memeluk Islam sebelum tumbuh dan berkembangnya rezim kerajaan kesultanan. Dengan demikian penulis cenderung ingin mengatakan bahwa ”gampong”51 merupakan bentuk organisasi sosial atau komunitas yang paling tua di sistem pemerintahan yang di kenal di Aceh52. Bahwa

51 Istilah “gampong” mirip sekali dengan “kampung”. Kedua istilah ini menurut penulis bukan dari bahasa Arab yang membawa pengaruh besar kepada penyebaran Islam beserta bahasa-bahasanya. Gapong/kampung berakar dari bahasa kebudayaan melayu (tempatnya melayu kuno), sebelum masuknya Islam.

52 Dalam sejarah sebelum Islam masuk dikenal isilah Tumpok. Gampong (kampung) merupakan evolusi dari Tumpok (Sutoro Eko, dkk; 2007). Hal ini setidak menegaskan bahwa jauh sebelum Gampong itu menjadi kesatuan masyarakat yang berfungsi sebagai tatapemerintahan terkcil di jaman kesultanan,

Page 105: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 104

sebagian besar kemungkinan warga gampong waktu itu adalah muslim, itupun cukup logis karena pengaruh pedagang-pedagang muslim dari luar yang masuk ke Aceh. Bahwa setiap komunitas pasti memiliki ”pemimpin” itu pun sudah pasti. Namun bahwa gampong waktu itu adalah sebuah bentuk ”tata pemerintahan” masih harus kita pertanyakan lebih mendalam.

Artikel-artikel yang berkaitan dengan bentuk atau

model tata pemerintahan lokal di Aceh, sebagian besar mengacu atau mengambil latar belakang sejarah masa kejayaan Kesultanan Islam. Sangat sulit ditemukan artikel sejarah yang membahas tema-tema tatapemerintahan atau institusi sosial masa sebelum kesultanan. Oleh karena itu sungguh ada bias yang cukup besar pengaruh sistem pemerintahan kesultanan53 ke dalam strukturasi masyarakat Aceh dalam membentuk sistem pemerintahan lokal. Kerajaan/kesultanan tetaplah memiliki ”kepentingan”

dia sudah ada yang jangan-jangan relatif sudah lengkap sebagai suatu sistem yang mengatur komunitas.

53 Buku “Bergerak Menuju Mukim dan Gampong”, oleh Sutoro Eko, dkk (Juni 2007: IRE-JKMA Aceh-Logica) menegaskan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam dibawah era Iskandar Muda adalah tonggak rujukan referensi sejarah pemerintahan Aceh (hal. 7). Sepintas memang cukup logis karena manuskrip manuskrip aling lengkap sejarah Aceh memang datang dari eras kesultanan. Bagi penulis buku ini justru hendak memenggal sebagian dari sejarah Aceh sebelum masa kesultanan. Ada sepenggal sejarah yang hilang di Aceh. Hilang karena secara realitas memang tidak ada sejarahnya, atau karena hilang akibat pergolakan fanatisme ideologi masa lalau.

Page 106: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 105

yang perlu ditancapkan di dalam kehidupan tatanan sosial masyarakatnya.

Namun ada salah satu keterangan mengenai tata

pemerintahan lokal ini yang pernah dipakai di salah satu wilayah di Aceh, yang jika ditilik dari periodisasinya telah dimulai sejak jaman pengaruh Hindu ada di sebagian wilayah Aceh. Pada tahun 96054 di Aceh Timur telah berdiri kerajaan Benua Tamiang dengan nama rajanya Tan Ganda. Kerajaan ini semakin berkembang sejak raja Tan Penuh berkuasa tahun 1023-1044 dan diikuti raja-raja berikutnya. Kerajaanini baru masuk Islam sekitar tahun 1330 pada masa akhir pemerintahan raja Po Dinok (1330), karena adanya utusan Da’i dari Kesultanan Saumera Pasai atas perintah Sultan Ahmad Bahian Syah bin Muhammad Malikul Thahir.

Diceritakan bahwa dalam sistem pemerintahan

raja (sultan) dibantu oleh seorang Mangkubumi sebagai seorang eksekutif yang bertugas mengelola jalannya pemerintahan yang bertanggungjawab langsung kepada raja (sultan). Dalam bidang penegakkan hukum Mangkubumi dibantu oleh seorang Qadhi Besar, yang bertugas mengawasi pelaksanaan hukum, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Dalam mengelola pemerintahan di

54 Lihat artikel ”Kesultanan Benua Tamiang” dalam http:// bappeda

tamiang.go.id/ (10 Oktober 2008)

Page 107: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 106

daerah-daerah sultan dibantu oleh tiga sistem kepemimpinan, yaitu: (1) Datuk-datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan; (2) Datuk-datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman; (3) Raja-raja Imam yang memimpin para imam di daerah-derah dan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum di daerah. Sistem kepemerintahan ini diperkuat dengan laskar-laskar rakyat yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang panglima. Panglima ini membawahi tujuh panglima daerah, yaitu Panglima Birin, Panglima Gempal Alam, Panglima Nayan, Panglima Kuntum Menda, Panglima Ranggas, Penglima Megah Burai, dan Panglima Nakuta Banding (khusus untuk di laut). Tingkat kepemimpinan yang paling bawah di kelaskaran ini adalah Pang yang ada di setiap kampung.

Salah satu tulisan dari H. Taqwaddin menjelaskan bahwa pada masa kerajaan, Aceh telah memiliki sistem pemerintahan. Sayangnya kurang jelas Taqwaddin tentang kerajaan yang dimaksud ini, apakah kerajaan sebelum masa kesultanan Islam atau kerajaan yang dimaksud adalah pada masa pengaruh kesultanan Islam. Disebutkan dalam tulisannya bahwa sistem pemerintahan itu terdiri atas 5 tingkatan, yaitu: (1) Sultan yang memimpin kerajaan dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Ulee Balang, (2) Panglima Sagoe yang membawahi beberapa daerah Ulee Balang. (3) Ulee Balang mengkoordinir beberapa

Page 108: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 107

mukim, (4) Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah.

Kekuasaan ”pusat” dalam hal ini sultan sebagai

penguasa kesultanan pasti memiliki banyak kepentingan, seperti: Mempertahankan pengaruh kekuasaannya (power); Kepentingan politik ekonomi sebagai modal sustainabilitas kesultanan; Kepentingan pertahanan dan memperluas wilayah pengaruh (kebutuhan militer), mau tidak mau akan memobilisir dan memanfaatkan struktur kekuasaan (pemerintahan) yang ada. Desa, kampung, gampong atau nama lain setingkatnya adalah frontier dimana realitas kekuasaan sultan itu bekerja. Tunduk kepada sultan, mengirim upeti apapun bentuknya (mungkin juga sudah ditentukan dan diatur), pengerahan-pengarahan SDM demi kepentingan memperkuat militerisasi, dsb adalah bentuk relasi dari gampong untuk penguasa di atasnya.

Gampong bisa dikatakan otonom, dalam konteks

mengatur rumah tangga ”dirinya” sendiri. Namun dalam konteks relasi kekuasaan dengan kekuatan di luarnya, Gampong tidak pernah otonom sejak masuknya bentuk-bentuk kekuasaan yang sistematis, terorgansir dan lebih besar. Sejak saat itu historisitas gampong (dan juga desa-desa di Indonesia) jatuh bangun dalam ketiak kekuasaan kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang), dan kekuasaan negara Indonesia.

Page 109: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 108

Merunut Keberadaan (Komunitas) Gampong Beberapa artikel runutan catatan sejarah

menceritakan bahwa suku atau mungkin lebih tepat kelompok masyarakat ”asli” (bukan pendatang), yang mendiami wilayah Aceh adalah suku Mantir55 (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Karakteristik komunitas ini postur tubuhnya agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang. Dikatakan bahwa pengaruh Hindu telah masuk ke Aceh sejak sekitar 2.500 tahun yang lalu dan bentuk kerajaan Hindu telah muncul sekitar tahun 500 Masehi.56

Bahasa Aceh banyak memiliki kosa kata yang

diambil dari bahasa komunitas Hindu, lebih dari itu tidak sedikit tradisi Hindu mengilhami tradisi masyarakat Aceh saat ini yang islami. Asimilasi ini setidak menggambarkan bahwa tradisi-tradisi Hindu kemungkinan telah berkembang di Aceh jauh sebelum berkembangn tradisi Islami yang disebarkan oleh kesultanan-kesultanan Islam. Beberapa tradisi yang masih berkembang di masyarakat Aceh dewasa ini banyak juga yang mengadopsi tradisi Hindu tersebut, seperti: Kadhuri; peusijuek (tepung tawar); peutreun

55 Lihat tulisan Iskandar Norman dalam “Legenda Aceh” (http://iskandar norman.multiply.com, 10 Juni 2010)

56 Lihat artikel “Sejarah Asal Muasal Muncul Bangsa Aceh Part I” (dalam http://acehzone.net/archive/index.php/t-320.html

Page 110: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 109

aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ); dll57.

Suku-suku di Aceh bisa dikelompok kedalam

rumpun suku dan kebudayaan Melayu (lebih tepatnya Melayu kuno), yang di wilayah Sumatera, Malaka dan sebagian Jawa pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu Sriwijaya. Beberapa catatan mengungkapkan bahwa sebelum era Islam menguasai selat Malaka dibawah kesultanan Aceh, terlebih dahulu kerajaan Sriwijaya telah cukup panjang selama kurang lebih 300 tahun menguasai selat tersebut kira-kira abad VII hingga X58. Tradisi dan kebudayaan Hindu59 di Aceh, dari catatan sejarah juga cukup lama hidup di wilayah Aceh dengan ditandai berkuasanya kerajaan Hindu yang cukup berpengaruh, seperti ditulis dalam artikel Iskandar Norman:

Menurut keterangan H.M. Zainuddin dalam tulisannya “Aceh Dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah “. Sebelum

57 Lihat tulisan iskandar Norman (http://iskandarnorman.multiply.

com/journal/): ”Tradisi Hindu dalam Budaya Aceh” 58 Lihat http://cetak.kompas.com/read/xml/2009 (http://cetak.kompas.com

/read/xml/2009): ”Menggali Kejayaan Sriwijaya untuk Menjadi Bangsa yang Maju”.

59 Beberapa tanda pengaruh kebudayaan Hindu ini terlihat dalam beberapa kata di dalam bahasa Aceh, seperti dikutip dari Iskandar Norman: ” menurut H Muhammad Said dalam makalah budayanya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menjelaskan, pada tahun 1891, seorang peneliti asing bernama G K Nieman sudah menemukan 150 kata dari bahasa Campa dalam bahasa Aceh. Demikian juga dengan bahasa Khmer ( Kamboja ) tetapi yang sangat dominan adalah bahasa Melayu dan bahasa Arab” (lihat http://iskandarnorman.multiply.com/journal - Tradisi Hindu dalam Budaya Aceh)

Page 111: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 110

Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah berkembang kota-kota kerajan hindu seperti : Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Kerajan Sahe sering juga di sebut Sanghela di kawasan Ulei Gle dan Meureudu, kerajan ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala Pancu (http://iskandarnorman.multiply.com/journal - Tradisi Hindu dalam Budaya Aceh).

Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang pada era

abad IV dan berpengaruh mulai dari wilayah Aceh Besar sampai Biereun saat ini. Pengaruh Hindu tersebut terus berkembang sampai kemudian dilanjutkan dengan muncul dan berjayanya kerajaan Jeumpa pada abad VII60 . Di wilayah-wilayah Selatan Aceh sejak lama telah berkembang pula pengaruh Hindu melalui kerajaan Perlak awal. Kerajaan ini baru menganut Islam sejak penguasanya Syahrir Nuwi menyatakan diri menganut Islam pada sekitar abad VIII.

Melihat dari lintasan sejarah penguasa-kerajaan

masa lalu di Aceh maka bisa digambarkan bahwa berabad-abad lamanya pengaruh Hindu berkembang

60 Menurut hikayat yang berkembang di wilayah Jeumpa, kerajaan jeumpa

terletak antara sungai Peudada di sebelah Barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah Timur. Kerajaan Jeumpa sendiri terletak di desa Blang Seupeueng. Sebelum kedatangan Islam di daerah ini telah berdiri kerajaan Hindu pur yang secara turun temurun dipimpin oleh seorang raja keturunan meurah. Dikisahkan kerajaan ini telah mempunyai hubungan dagang yang baik dengan Cina, India, dan Arab (dalam http://acehpedia.org/Kerajaan_Jeumpa)

Page 112: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 111

di Aceh, khususnya di pesisir Timur Aceh. Pusat-pusat pengaruh Hindu ini sempat pula terorganisir cukup kuat dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan kota-kota, bahkan diceritakan memiliki pengauh luas secara internasional mulai dari Malaka, Vietnam, Thailand, sampai India. Pemusatan kekuasaan semacam itu membutuhkan sistem dan strukturisasi pengelolaan pemerintahan sampai ke ”akar bawah” yakni rakyat. Oleh karena itu bukan tidak mungkin bahwa model strukturisasi seperti gampong, mukim (bukan ”imam mukim”), Ulee-Balang, dan perangkat-perangkat lain seperti Panglima Laot, Kejreun Blang, Haria Peukan, Panglima Ateun61, dll sudah cukup mapan cikal bakalnya sejak pengaruh komunitas-komunitas Hindu dari India-Selatan, Thailand, Khemer (Vietnam).

Model ”leadership” (kepemimpinan) lokal baik

dalam konteks adat maupun ”pengaturan” (kepemerintahan) tersebut adalah khas komunitas-komunitas dengan basis kebudayaan petani baik pertanian sawah atau ladang dan nelayan. Salah satu karakteristik komunitas kebudayaan pertanian Hindu adalah dikenalnya pengaturan bercocok tanam dengan memakai perhitungan musim berdasarkan peredaran ”bulan”. Di era Jawa kuno, bahkan di Bali dewasa ini,

61 Lihat artikel Taqwaddin (dalam http://www.facebook.com/note.php),

dalam Institute Green Aceh: ”Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”;11 Oktober 2009.

Page 113: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 112

dikenal pula ”pranata musim” semacam ini, yang dikembangkan oleh tradisi-tradisi komunitas kerajaan Hindu mulai dari jaman Mataran Kuno (abad VIII) sampai kejayaan Majapahit (tahun 1293 – 1500 M). Sampai sekarang tradisi pranata musim tersebut masih digunakan di beberapa tempat.

Istilah ”Tuha-Peut” dan ”Tuha-Lapan” yang keduanya merupakan kelembagaan adat sekaligus kepemerintahan, adalah institusi representasi (perwakilan) para tokoh adat dan cerdik-pandai berdasarkan ”teritorial kiblat penjuru arah”. Tuha-Peut (representasi empat penjuru arah) dipakai oleh gampong yang wilayahnya kecil. Sementara Tuha-Lapan (representasi delapan penjuru arah) untuk gampong dengan wilayah komunitas tempat tinggal yang lebih luas. Model representasi kepemimpinan berdasar ”penjuru arah” ini nampaknya juga merupakan khas tradisi Hindu. Sejak masa kejayaan kerajaan Hindu di Jawa sudah di kenal apa yang disebut ”kosmologi”. Bahwa alam raya ini dikuasai oleh empat penguasa alam yang menduduki empat wilayah penjuru arah: Timur, Utara, Barat, dan Selatan. Mereka menentukan tatanan alam raya dan kehidupan manusia. Raja (penguasa) yang bijak, dan ingin kekuasaannya langgeng, hendaknya mengakomodir kepentingan para penguasa penjuru alam ini.

Page 114: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 113

Pengaruh Islam mulai menancapkan pengaruhnya secara terorganisir dan berkelanjutan yang ditopang dengan semacam metode ”pemerintahan”, baru dimulai sekitar abad XII dimana Sultan Abidin Johansyah mendirikan Kesultanan Darussalam (1203-1234)62. Pengaruh Islam baik sebagai adat-kebudayaan dan sistem pengaturan kemasyarakatan (pemerintahan), baru mencapai puncaknya pada era abad XV-XVI pada masa kejayaan sultan besar Sultan Iskandar Muda (1583-1636 M) 63. Periodesasi sejarah Aceh, sebelum berjayanya Islam, yaitu antara sekitar abad IV sampai awal abad VIII adalah dalam pengaruh tradisi dan kebudayaan Hindu. Cukup logis apabila model-model kepemimpinan di tingkat bawah seperti adanya gampong, tuha-peut, tuha-lapan, beberapa pemimpin tradisi seperti panglima-laot, kejreun blang, dll juga mukim, serta ule-balang, adalah model-model yang telah cukup mapan sejak era kerajaan Hindu tersebut.

62 Lihat http://putraaceh.multiply.com/journal (21/12/2008), diakses 10 Juni

2010: “Silsilah Raja-Raja Aceh” 63 Lihat tulisan Tgk. Ismuhadi Peusangan-” Peradaban Aceh, Sebuah Mata

Rantai Mutiara Yang Hilang Dari Peradaban Dunia” (http://acehlong. com/2009/03/22):Published On Sunday, March 22, 2009. Sumber lain mencatat periodesasi yang hampir sama bahwa sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu identitas politik dan budaya mulai terbentuk semenjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514) – lihat artikel ”Sejarah Etnis Aceh” dalam http://www.acehblogger.org/Sejarah_Etnis_Aceh

Page 115: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 114

The Great ”Iskandar Muda” Ketika membaca-baca artikel-artikel mengenai

sejarah Aceh sebagian besar tulisan itu pasti menyinggung nama Sultan Iskandar Muda yang agung. Sontak bayangan pikira saya Iskandar Muda ini nampaknya mirip dengan ”Alexander The Great”. Keduanya sama-sama ”sang penahkluk” wilayah, yang satu disepanjang selat Malaka, satunya lagi di sepanjang Laut Merah dan Laut Mati. Kedua tokoh ini disanjung pengikutnya masing-masing sebagai ”sang bijaksana”.

Salah satu artikel menyebutkan bahwa tidak

banyak yang tersisa situs-situs kejayaan Hindu masa silam di Aceh. Situs-situs tersebut tentu saja sudah rusak dimakan jaman, namun ada pula yang disinyalir dihancurkan oleh para penguasa kesultanan Islam yang mulai berjaya pada waktu itu. Nampaknya ini memang merupakan kewajaran sejarah sebagai representasi bentuk ”kekuasaan”, bahwa rezim yang lama ”digilas” oleh rezim baru. Namun yang paling sulit di musnahkan adalah tradisi dan local indegenous knowledge yang pernah ada serta telah menjadi bagian hidup keseharian.

Salah satu ”kebesaran” Sultan Iskandar Muda,

bahwa dia mengadopsi local indegenous knowledge mengenai bentuk-bentuk ”kepemimpinan” lokal serta modal sosial yang ada. Seiring dengan semakin kuat

Page 116: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 115

dan besarnya Kesultanan Darussalam, dan di sisi lain kerajaan-kerajaan (kecil) Hindu telah menyatakan diri masuk Islam, maka dipakailah dan diintrodusir modal sosial model kepemimpinan tersebut (yakni gampong, mukim, Ulee-Balang, dan perangkat-perangkat lain seperti Panglima Laot, Kejreun Blang, Haria Peukan, Panglima Ateun, dll) menjadi bagian besar strategi tata pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Model kepemimpinan tersebut hampir sama dimana-mana karena sebelumnya dibawah pengaruh tradisi yang sama yaitu tradisi Hindu.

Kebijakan dan kenegarawanan Iskandar Muda

terbukti dengan dikembangan sistem pengaturan melalui ”qanun” baik di bidang kepemerintahan, adat dan keagamaan, juga pengaturan lain yang berkaitan dengan perekonomian. Artikel Tgk. Ismuhadi Peusangan menceritakan bahwa Sultan Iskandar Mudah berhasil menegakkan beberapa qanun mengenai ketatanegaraan, qanun tentang Seuneubok Lada tentang pengaturan pertanian dan peternakan, juga dikeluarkan ketetapan lain berkaitan kebesaran dan supremasi kesultanan dengan ditetapkan ”rencong” sebagai simbol negara serta dikeluarkan ”cap” resmi kenegaraan. Itulah gambaran sekelumit mengenai upaya Sultan Iskandar Muda meletakkan dasar-dasar kekuatan kesultanannya.

Page 117: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 116

Kesultanan Darussalam semakin kuat selain karena ekonomi-perdagangan karena terletak dalam wilayah perairan laut yang strategi, juga sistem pengaturan melalui berbagai qanun itu turut memperkuat dalam beberapa hal, antara lain: (1) Ketersediaan sumber daya kemiliteran yang kian kuat; (2) Pemasukan kesultanan (negara) dari pengaturan ekonomi, dimana qanun yang mengatur mengenai ekonomi-pertanian memberlakukan wasee glee (semacam pungutan)64 sebesar 10% dan diawasi pengelolaanya oleh Panglima Uteun; (3) Semakin kuat pengaruh supremasi Kesultanan Darussalam.

Potret di Tingkat Mukim dan Gampong Dalam mengadopsi struktur kepemerintahan lama

(peninggalan masa Hindu) Sultan Iskandar Muda tidak merusak strukurasi yang ada dan fungsi-fungsi dasar yang telah berjalan dalam setiap level kepemrintahan tersebut. Hanya saja sultan memberikan dua warna yang kuat, yaitu jajaran kebangsawanan dan kekuatan fungsi-fungsi agama yang dipegang oleh kaum ulama.

Dalam konteks jajaran kebangsawanan, gelar atau

status kebangsawanan diberikan sampai tingkat Uleebalang sebagai penguasan teritorial yang bertanggungjawab kepada sultan. Pemberian ”gelar

64 Lihat artikel Taqwaddin (dalam http://www.facebook.com/note.php),

dalam Institute Green Aceh: ”Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”;11 Oktober 2009.

Page 118: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 117

kebangsawanan” ini tentu sangat berpengaruh bagi Uleebalang, yakni: Pertama, memperkuat ”power”-nya dihadapan level strukrurasi di bawahnya seperti mukim dan geusyik; Kedua, meningkatkan ”loyalitas” Uleebalang terhadap sultan karena seperti menjadi bagian dari keluarga besar kesultanan dengan status kebangsawanan yang dimilikinya. Dengan demikian supremasi dan legitimasi sultan sebagai penguasa semakin kuat.

Uleebalang dalam beberapa konteks bukanlah

sekadar seorang dari masyarakat sipil yang mempunyai keserdasan atau ketrampilan tertentu, yang kemudian dipilih rakyat menjadi penguasa dan yang kemudian dikuatkan oleh sultan dengan gelar kebangsawanan. Uleebalang65 lebih cenderung memiliki fungsi “penguasa keamanan” teritorial tertentu. Dia merasa bertanggungjawab menyelesaikan konflik-konflik (yang mengarah ke konflik fisik) antar wilayah oleh karena berbagai hal. Jadi Uleebalang istilah awamnya adalah “orang kuat”, yang dalam konteks era kesultanan sangat dekat fungsinya dengan “teritorial kemiliteran” (meskipun mungkin tidak

65 Sepertinya Uleebalang ini jika boleh disepadankan dengan sejarah

strukturasi teritorial di Jawa sisa-sisa peninggalan Hindu, sama dengan ”Tumenggung” (status jabatan) dimana wilayah teritorialnya disebut ”katemenggungan”. Dia berfungsi tatapemerintahan tetapi juga memeiliki fungsi-fungsi keamanan dan militeristik jika dalam keadaan tertentu dibutuhkan oleh kerajaan. Raja memberinya status kebangsawanan.

Page 119: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 118

punya pasukan khusus yang formal) maupun fungsi tatapemerintahan dalam level tertentu.

Sepertinya tidak ada kekuasaan dari jalur agama

(ulama) dalam level setingkat Uleebalang. Kekuasaan dari jalur ini berada di level lebih tinggi yaitu di kesultanan, dan kemudian langsung di level “kemukiman”. Istilah Mukim mungkin ditujukan untuk seseorang dengan peran kekuasaan di teritorial tertentu dibawah pengawasan Uleebalang. Sementara teritorial tertentu tersebut dikenal dengan “kemukiman”. Istilah ini sangat dekat maknanya dengan istilah “pemukiman”, yaitu gugus komunitas-komunitas tempatan yang bertebaran di teritorial tertentu dibawah kekuasaan mukim.

Yang menarik adalah bahwa pada era berjayanya

kesultanan islam di Aceh, kemukiman yang dipimpin oleh mukim ini, selain fungsi kepemerintahan lama yang sudah ada diberi juga warna fungsi “keagamaan” (Islam) dengan warna yang sangat kuat. Oleh karena itu mengapa terjadi beberapa pemaknaan mengenai mukim. Dalam buku Bergerak Menuju Mukim dan Gampong (Sutoro Eko, dkk: 2007: 10-11) menjelaskan bahwa mukim berasal dari bahasa arab mu-qim yang berari berkedudukan pada suatu tempat (teritorial determination). Dalam kamus bahasa Aceh mukim diartikan are served by a mosque (funkctional determination). Jelaslah makna yang kedua, secara

Page 120: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 119

periodisasi sejarah, adalah hadir berikutnya dalam rangka ide politik Sultan Iskandar Muda menegakkan syariat Islam mewarnai masyarakat Aceh. Oleh karena itu kalau kita membaca secara saksama sejarah Aceh khususnya mengenai mukim ini, akan ditemukan ketidaksamaan pangan mengenai sebutan siapa pemimpin mukim. Beberapa artikel menyebutkan atau memakai istilah “seorang mukim” saja untuk menyebut pimpinan wilayah mukim. Tetapi penulis-penulis lain menyebut bahwa pemimpin mukim adalah “imeum mukim”66.

Dengan demikian mukim dalam era kesultanan

Islam memiliki tugas “tambahan” lain yaitu mengawal kehidupan agama Islam berikut tradisi-tradisi ke-Islamannya. Kemukiman menjadi sebuah level strukturasi pemerintahan yang sangat kompleks, selain menjaga fungsi-fungsi tatapemerintahan, mengawal kehidupan agama, sekaligus menjaga tradisi-tradisi agama. Fungsi yang kedua dan ketiga nampaknya lebih diutamakan. Oleh karena memiliki pembantu-pembantu atau perangkat yang cukup kompleks pula jika disandingkan dengan gampong.

66 Jadi menurut intepretasi penulis dahulu sebelum Islam masuk,

pemimpin wilayah mukim disebut “mukim”. Ketika jaman Iskandar Muda, dimana dia mencoba mewarnai nuansa Islam dalam tata pemerintahan yang sudah ada, pemimpin wilayah mukim kemudian disebut ”imeum mukim”, karena (1) mukim diperankan untuk menjaga kehidupan ke-Islam-an; dan (2) di tingkat mukimlah berdiri masjid tempat orang sholat Jum’at. Begitulah kontekstualisasinya. Dan karena itu maka pimpinan mukim sekarang haruslah seorang ulama.

Page 121: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 120

Dalam bincang-bincang penulis dengan beberapa kawan di Aceh ada sebuah pendapat bahwa seorang mukim adalah “seorang ulama”, sebab selain berfungsi kepemerintahan dia juga adalah pemimpin masjid serta pengawal kehidupan agama umat. Mengapa begitu? Karena di jaman kesultanan dulu sebagian besar gampong tidak memiliki masjid, paling-paling yang dimiliki adalah “langgar”. Majis (mungkin maksudnya masjid utama) berada dipusat kemukiman yang dipimpin oleh Mukim. Oleh karena itu mengapa institusi kemukiman ini menjadi “hidup”, dan membutuhkan dukungan-dukungan sumberdaya manusia (perangkat-perangkat) dan finansial karena menjadi tempat para umat berinteraksi, berdialog, merencanakan ini itu, membahas kehidupan sosial dan agama. Institusi mukim memiliki pula “tanah adat” yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk roda bergulirnya institusi ini, dan tentu juga berbagai pemasukan lain dari menjaga tradisi-tradisi serta sumbangan umat.

Melihat dari perannya yang cukup kompleks

sebagai jembatan pemerintahan di atas dengan pemerintahan di bawahnya yaitu gampong, dugaan penulis adalah bahwa mukim (entah pada jaman kerajaan Hindu maupun era kesultanan), lebih berfungsi sebagai “tatakelola” pemerintahan dibandingkan gampong. Gampong sebagai teritorial dibawah mukim, nampaknya lebih mirip semacam

Page 122: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 121

kelompok-kelompok tempat tinggal, tentu saja ada yang jumlah rumah tangganya cukup banyak ada pula yang sangat sedikit sehingga kurang layak sebagai gugus tata pemerintahan.

Sekali lagi ingin penulis tegaskan bahwa menurut

intepretasi historisitas model kepemimpinan tingkat bawah di Aceh, Gampong bukanlah model ideal pemerintahan terendah. Model ideal pemerintahan terendah di Aceh adalah pada level “mukim”. [■]

Page 123: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 122

Siapa Pemilik “Kebudayaan” Aceh?

Mempelajari artikel-artikel mengenai sejarah dan kebudayaan Aceh, bisa dirumuskan tiga bentuk besar struktur masyarakat Aceh, yakni: ulama, bangsawan dan “ureung le” (orang banyak/rakyat awam). Ketiganya adalah “rakyat”, namun perannya dalam membentuk warna tata kehidupan sosial-budaya, agama dan politik tentu bisa dibedakan dengan tegas. Bangsawan dan ulama lebih menentukan dibanding rakyat awam yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Mengapa bisa begitu? Di mana peran rakyat

sebagai subyek kebudayaan? Pada hal di dalam rakyat itulah rumahnya kebudayaan berada. Jika rakyat bergerak cepat menerima arus pengaruh budaya baru, mengapa pula atas nama kebudayaan (termasuk di dalam antara lain tradisi, adat, norma, dll) rakyat dipersalahkan? Adakah kaitannya antara kebudayaan dan ”rezim” (pemilik kekuasaan)? Kekuasaan dan Kebudayaan

Sari lintasan sejarah Aceh, maka bisa disimpulkan bahwa sejarah kebudayaan dan kekuasaan di Aceh merupakan hasil “duet” yang padu antara bangsawan

Page 124: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 123

(birokrat kesultanan) dan ulama. Rujukan yang amat populer mengenai hal itu ialah era kejayaan Sultan Iskandar Muda (1583-1636 M) 67. Iskandar Muda mampu memadukan antara ulama (agamawan) beserta kepentingannya dengan kaum bangsawan (birokrat) beserta kepentingannya pula. Era tersebut dianggap suatu jaman “ditancapkannya” kebudayaan Aceh.

Di era yang relatif sama dengan Iskandar Muda,

di kerajaan-kerajaan wilayah Eropa sekitar abad XV sampai XVII, juga terjalin kerjasama yang padu antara kaum agamawan dan para bangsawan kerajaan. Keduanya seperti saling membutuhkan. Kaum agamawan menjadi hakim dan penasihat kerajaan, yang semula hanya seputar urusan agama lantas berkembang hampir disemua urusan termasuk ekonomi, sosial-politik, strategi ketatanegaraan, perundang-undangan, dll. Anak-anak kaum bangsawan disekolahkan di sekolah-sekolah “elite” yang dikelola kaum agamawan.

Jaman-jaman itu di Eropa tumbuh “budaya

aristokrasi” (para ilmuwan sosial kritis lebih suka menyebutnya budaya feodal), sebuah perpaduan yang kuat antara simbol-simbol kebangsawanan dan agama. Semakin luas kekuasaan raja kian kuat simbol

67 Lihat tulisan Tgk. Ismuhadi Peusangan-” Peradaban Aceh, Sebuah Mata Rantai Mutiara Yang Hilang Dari Peradaban Dunia” (http://acehlong.com), pada 22/03/2009. Lihat juga artikel ”Sejarah Etnis Aceh” dalam http://www.acehblogger.org/Sejarah_Etnis_Aceh

Page 125: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 124

agamanya, sementara institusi agama diuntungkan sebab mempunyai cara yang mudah memperluas pengaruh agama. Kaum agamawan dan institusinya tumbuh menjadi kelompok elit yang tidak hanya memiliki “kuasa” (power) dan “umat” (pengikut), tetapi juga menjadi kaya, menguasai tanah perkebunan luas, peternakan, bahkan bisnis-perdagangan. Namun ironisnya, “ketidakharmonisan” relasi di antara keduanya yang sering terjadi dalam sejarah kerajaan bisa menumbuhkan kekacauan, ketertindasan, dan kemiskinan rakyat. Banyak raja yang lengser karena tidak akomodatif terhadap kepentingan kaum agamawan.

Jadi jelas sudah, kaum bangsawan kerajaan

(birokrat) dan agamawan adalah sang “pemegang” kebudayaan. Melalui “power” dan “resources” yang dimiliki mereka mengkreasi dan mereproduksi bekerjanya kebudayaan.

Milik Elite Atau Rakyat?

Jika kebudayaan dimengerti sebagai “kesepakatan norma, nilai, dan simbol yang dipahami atau dianut bersama oleh suatu masyarakat”, maka fungsi utamanya adalah “mengatur” masyarakat. Pengertian kebudayaan yang semacam ini cenderung dipakai oleh para penguasa “negara” (kerajaan) sebagai media meng-establish-kan kekuasannya, yang reproduksinya dikerjakan melalui simbolisasi, perunutan silsilah,

Page 126: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 125

institusi pedidikan dan agama, aturan-aturan, bahkan legenda-legenda. Secara epistemologis sifat dari pandangan yang demikian adalah “meghentikan” momentum bahwa di dalam dirinya kebudayaan itu adalah proses (terus berkembang). Kebudayaan menjadi bentuk “material”.

Oleh karena itu, para penguasa ini sangat sensitif

atas sedikit saja gesekan fenomena kebudayaan di tingkat akar rumput. Dalam khasanah analisis sosial gesekan tersebut sering serta merta dicap oleh penguasa (negara) sebagai “devian” (penyimpangan), dan karena itu sesegera mungkin diperingatkan, kalau tidak mempan dibungkam, jika tidak teratasi terpaksa dimobilisir instrumen yang represif atau dibuatkan aturan yang merepresi. Kecenderungan ini, sebagai contoh saja, nampak pada “reaksi” terhadap razia pakaian ketat atau isu yang baru-baru ini muncul yakni sedang diprosesnya Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran Aceh (lihat Opini Serambi 13/07/2010) yang disinyalir para insan pers bisa meredam kebebasan pers.

Ada mashab lain yang berbeda dengan pengertian

kebudayaan di atas, yaitu bahwa kebudayaan itu “tidak tunggal” dimana di dalamnya penuh dengan kepentingan dan relasi-relasi hegemoni. Ada kelompok kaya, miskin, orang kota, orang desa, ada petani, ada buruh, ada kelompok nelayan, ada kaum birokrat,

Page 127: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 126

kelompok agama, kelompok etnis, ada kaum muda, ada kelompok perempuan, dll. Mereka ini adalah “rakyat” juga yang kepentingannya (pasti) lain-lain, dan karena itu kebudayaan harus merupakan “konsensus” bersama.

Boleh saja ada kelompok atau koalisi beberapa

kelompok menjadi penguasa, tetapi mereka tidak boleh melakukan hegemoni budaya dengan dalih demi kepentingan “bersama/umum” terhadap kelompok lain. Kebudayaan menjadi milik rakyat (semua pihak), dan penguasa (negara) hanya bertugas memfasilitasi melalui peraturan maupun institusi yang dibentuk. Tidak diperlukan sebuah instrumen yang berperan “mengontrol” maupun melakukan “judgement” atas praksis kebudayaan.

Dalam pengertian kebudayaan seperti ini,

cenderung tumbuh dialektika yang dinamis. Fenomena “gesekan” arus budaya baru di tingkat akar rumput tidak serta merta dicap sebagai penyimpangan. Fenomena baru ini melalui proses dialektika di masyarakat akan hilang dengan sendirinya jika akhirnya memang tidak berguna bagi masyarakat. Sebaliknya, jika dirasa berguna (dibutuhkan), fenomena itu akan masuk dengan sendirinya tanpa bisa dihentikan oleh siapapun, menjadi bagian dari proses sejarah kebudayaan.

Page 128: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 127

Prasyarat Transformasi Menilik tulisan-tulisan baik di media cetak

maupun “dunia maya” yang berkaitan dengan tema besar budaya Aceh (termasuk di dalamnya adat), ditemukan ada keresahan yang menggumpal. Pada intinya berbagai keresahan itu bermuara pada dua tema besar.

Pertama, keresahan mengenai belum

dijalankannya adat budaya Islami secara benar. Akibatnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan sosial di Aceh tetap tinggi, semakin marak perempuan berpakaian “ketat”, pergaulan kian bebas, bahkan tradisi bernafaskan Islam mulai meluntur. Tidak bisakah proses mempertahankan dan mengembangkan budaya Islami ini diserahkan kepada rakyat? Mungkin bisa tetapi tidak efektif --untuk tidak mengatakan ragu-ragu-- sehingga aliran pandangan ini mendorong peran kekuasaan negara dalam mempertahankan, mengembangkan, dan memastikan budaya Islami dijalankan oleh seluruh rakyat. Itu sebabnya “Polisi Syariat” dan institusi-institusi formal pemerintah tentang adat diperlukan. Proses tindak pembudayaan budaya Islami telah “berduet” dengan tindak-tindak negara (politik dan kekuasaan).

Ada dilema dari proses berkebudayaan yang

semacam ini. Jika sebuah rezim kekuasaan (negara) kurang berhasil membawa rakyat relatif sejahtera atau

Page 129: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 128

tata pergaulan masyarakat kian “longgar” jauh dari ide budaya Islami, akankah mereka disebut kurang memahami budaya Islami atau yang agak ekstrim kadar keimanannya rendah? Lalu, ini masalah oknum atau masalah kelompok (budaya) penguasa? Sebaliknya, jika sebuah rezim kekuasaan mampu mensejahterakan rakyat dan mengimplementasikan budaya Islami dengan baik, lalu di dalam proses politik berikutnya mereka kalah, apakah penjelasan kultural yang bisa dipakai? Jadi ada problema “ontologis” dalam pandangan budaya aliran ini, yaitu: Siapakah pemilik budaya Islami itu; Kepada siapa atau kelompok mana budaya Islami ini kita titipkan untuk dikembangkan, bisakah dia dipercaya, dari manakah dia?; Jika budaya ini meluntur siapa yang harus merasa gagal? Bisakah transformasi budaya berproses dalam problema ontologis seperti ini?

Tema keresahan besar Kedua, adalah yang

berpandangan bahwa adat budaya Islami boleh saja dijalankan di Aceh namun jangan sampai membawa orang Aceh hanya berpikir seperti kondisi masa lalu dan “tertutup” akan arus besar kebudayaan global, sebab ada banyak pula budaya global ini yang baik untuk Aceh di masa depan. Nampaknya mereka lebih berorientasi pikir bagaimana adat budaya Islami Aceh mampu berdialog dengan budaya lain termasuk budaya global namun tanpa harus takut kehilangan jati diri.

Page 130: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 129

Dialog untuk mencapai ”konsensus” antar kelompok, antar etnis yang ada, antar golongan bahkan antar mashab dan aliran (agama), antar generasi, juga dengan budaya dari luar dalam relasi yang (relatif) setara tentang format budaya Islami Aceh sekarang dan ke depan, itulah fokus perhatiannya. Mungkin peran negara yang cocok adalah hanya ”memfasilitasi” dengan perundangan yang adil dan terhindar dari bentuk dominasi serta hegemoni. Jika memang budaya Islami Aceh merupakan hasil refleksi dan kristalisasi ratusan tahun lamanya maka dia pasti kuat mengakar dalam kosmologi alam pikiran --baik conciousness atau unconciusness-- orang Aceh. Tidak perlu peran terlalu banyak dari negara, toh mereka berdua belum lama ada dibanding orang Aceh itu sendiri.

Energi proses berkebudayaan dalam kelompok

tema keresahan Kedua ini, adalah diserahkan kepada ”rakyat”. Rakyatlah yang mengalami praksis kebudayaan setiap hari, mereka juga yang menggodok mencapai konsensus, mengkreasi dan sekaligus mereproduksi kebudayaan menjadi perjalanan sejarah. Gesekan kebudayaan di lini manapun akan menjadi dialektika bersama untuk dicari konsensus secara setara. Ya!! Konsensus akan terus menerus terjadi karena di era millenium-global ini, sering kali tanpa disadari, masyarakat semakin terdiferensiasi secara tajam dan sangat cepat.

Page 131: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 130

Jika represi yang dikedepankan maka hanya ”pseudo budaya” (bayang-bayang budaya atau budaya palsu) yang muncul. Di dalam situasi penuh pseudo budaya tidak bisa kita harapkan transformasi kebudayaan yang kokoh, yang diilhami oleh nilai-nilai tradisi tetapi juga mampu adaptif menembus relung-relung milenium global. Orang Jepang sangat meyakini tradisi Budhisme-Zen tentang ”harakiri” (bunuh diri) kesatria karena malu atas kegagalannya dihadapan rakyat dan kaisar (negara). Tetapi di era millenium-global kini tidak mungkin demi nama atau atas nama kaisar dan negara, seorang pejabat publik yang gagal mengemban tugas kemudian mengambil pedang dan melakukan harakiri. Nilai tradisi yang di-”transformasikan” adalah nilai malu dan mundur secara kesatria dari jabatan (yang sudah dipercayakan oleh kelompok, masyarakat atau negara) jika merasa gagal mengemban tanggungjawab secara baik. Dan ”keagungan” dari nilai ini yaitu: tidak perlu dibuat Perda.

Transformasi kebudayaan bukanlah proses

”mengkopi” nilai-nilai tradisi kemudian di-permak sedikit lantas diterapkan di masa kini. [■]

Page 132: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 131

Menyoal “Katarsis” Kebudayaan Aceh

Sejauh ini masih ada perdebatan mendalam seputar pemberlakuan Syariat Islam (SI) di Aceh. Perdebatan itu sedikitnya bermuara pada dua kubu. Pertama, nilai-nilai Islam itu inheren dalam kosmologi orang Aceh sehingga tidak perlu dinyatakan lagi dalam penerapan SI melalui aturan negara (Pemerintah Aceh) dalam bentuk Qanun. Tidak perlu ragu dengan identitas ke-Aceh-an yang Islami. Serahkan saja keduanya dalam dialektika kebudayaan masyarakat Aceh.

Kubu Kedua, berpendapat mirip dengan kubu

pertama namun ingin agar nilai-nilai Islam itu diberlakukan secara lebih ekstrim (tegas) sehingga perlu diatur melalui peraturan pemerintah. Perilaku ke-Islam-an dalam berkebudayaan dan bernegara perlu diintrodusir dalam satu “narasi teks” (normatif-ideologis). Dan realitasnya pemberlakukan SI telah diatur oleh negara melalui Qanun.

Lepas dari (mungkin) kepentingan politis yang

ada, esai pendek ini ingin membahas mengenai kritik

Page 133: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 132

kebudayaan Aceh sebagai dialog pengetahuan, dan tentu tidak dengan maksud hendak merendahkan nilai luhur ke-Islaman. Apa yang terjadi dengan diberlakukannya SI itu adalah proses penyatuan “normatifikasi” antara nilai ke-Islaman, proses ber-kebudayaan, dan praktik bernegara. Implikasi dari proses ini sangat luas, yang muncul sebagai perdebatan tak berkesudahan seperti duluan mana antara telor dan ayam.

Bercermin Pada Feodalisme Eropa Di kerajaan-kerajaan Eropa abad pertengahan

tumbuh amat kuat budaya ”feodalisme” (istilah lebih terhormatnya aristokrasi) entah dalam kerajaan yang menganut sistem monarki absolut maupun monarki parlementer. Feodalisme itu ditandai dengan menyatunya dua kekuatan elite masyarakat, yakni: kaum bangsawan (birokrat kerajaan) dan agamawan. Kebudayaan milik bersama, yaitu norma dan nilai yang dianut semua masyarakat (termasuk klas petani dan pekerja) tetap ada, namun lambat laun dipolitisir disana-sini dan diintrodusir nilai-nilai baru yang mengukuhkan kekuasaan kaum elit. Segala titah raja mendapatkan legilimasi kelompok agamawan. Banyak invasi peperangan memperoleh legitimasi semacam ini. Kebudayaan menjadi bersifat hegemoni dan dominasi, dengan hanya satu kebenaran tunggal yaitu milik para pengauasa (bangsawan dan agamawan). Sama sekali

Page 134: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 133

tidak ada oposisi atau otokritik-kebudayaan waktu itu oleh karena ”rasa takut”.

Budaya feodalis itu runtuh ketika revolusi industri

menerjang Eropa, dengan munculnya kelompok masif klas menengah buruh yang didukung intelektual muda kritis. Mereka mampu melihat secara kritis bahwa feodalisme sangat mengeksploitasi masyarakat. Ada kesadaran ontologis baru, bahwa kebenaran itu tidak tunggal seperti selama ini dimainkan oleh kaum feodal. Mereka menjadi ”katarsis kebudayaan” dengan menggerakan arus pembaharuan kebudayaan atau disebut ”pencerahan kebudayaan”.

Pencerahan ini secara ontologi kebudayaan

intinya menganjurkan dua hal pokok. Pertama, tidak bisa lagi ada monopoli ideologi kekuasaan (oleh bangsawan dan agamawan) dimana representasi kaum buruh, pekerja, dan petani harus ada dalam praktik kebudayaan dan pemerintahan. Kedua, mengembalikan fitrah agama kepada fungsi pencerahan individual, dan memisahkan (mengurangi sebanyak mungkin) praktik dogmatis agama dalam kepemerintahan dan berkebudayaan.

Dua Ontologi Yang Berbeda Tidak ada yang membantah, dan memang

begitulah adanya, bahwa agama adalah kebenaran tunggal ”pewahyuan” (dari Tuhan). Artinya bahwa

Page 135: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 134

nailai-nilai kebenaran di dalam agama secara kosmologi dan ontologi adalah sudah ”selesai”, tidak bisa diperdebatkan lagi oleh masing-masing penganutnya. Tidak ada ruang relativitas di dalam agama karena dia bersifat ”transendental-absolut”. Yang bisa dilakukan (mungkin) hanyalah kontekstualisasi agar nilai-nilai kebenarannya bisa dipahami (bukan dirubah) dalam sejarah kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu. Nilai-nilai Agama bukanlah produk kebudayaan manusia.

Sementara itu ”kebudayaan” adalah produk

manusia (masyarakat). Kebenaran di dalam kebudayaan dan praktik-praktik berkebudayaan bersifat relatif, bisa berbeda dan berubah dari jaman ke jaman, dari wilayah yang satu ke wilayah lain, bahkan dari kelompok yang satu ke kelompok masyarakat yang lain di dalam satu wilayah kebudayaan. Kebenaran kosmologis dan ontologis kebudayaan merupakan konsensus bersama. Oleh karena itu misalnya, gerakan perlawanan kultural seperti Revolusi Industri saya kira tidak bisa di-judgment dari sudut dogmatis agama, begitu pula upaya menggulingkan rezim Orde Baru.

Masalahnya adalah bahwa dogma agama yang

secara kosmologis ”normatif-transendental”, di dalam sejarah kepentingan hidup manusia, sering menyatu dengan norma kebudayaan yang secara kosmologis

Page 136: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 135

”normatif-horisontal”. Citra kekuasaan dalam ranah tindakan kebudayaan manusia memanfaatkan atau memanipulasi dogma agama yang normatif-transendental, demi kepentingan-kepentingan individual maupun kelompok. Satu contoh saja, mind-set manusia (kita) tentang fenomena ”peperangan” sejak awal abad masehi sampai abad millenium ini, sulit memilah murni berdimensi agamakah, semata-mata berdimensi kebudayaan saja, atau campuran dimensi keduanya.

Potret Kekinian di Aceh Menilik dari fenomen pemberlakuan SI dan

fenomena yang ada di masyarakat Aceh, maka saya ingin mengambil dua issu besar yang menarik. Pertama, bahwa masih adanya jurang kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, tingginya korupsi, juga makin bebasnya pergaulan serta meluasnya perempuan berbusana ketat, dipandang sebagai keraguan (ekstrimnya ”kegagalan”) pemerintah melalui instansi terkait menerapkan SI. Kedua, akan dikeluarkan (sekarang sedang di godok di DPRA) Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran Aceh (lihat Opini Serambi 13/07/2010) tentu dengan alasan dalam rangka menegakkan SI secara khafah, yang disinyalir para insan pers bisa meredam kebebasan pers.

Page 137: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 136

Jika issue pertama hendak didekati dengan pendekatan dogmatis agama, dalam hal ini SI, maka tidak mungkin dilakukan pedebatan sebab kebenaran agama tak terbantahkan lagi. Namun jika elite politik dan pemerintah ini menang lagi dalam ”pemilihan” berikutnya (sebagai praktik-praktik budaya politik dan organisasi manusia), maka bagaimana penjelasan logisnya? Ataukah akan ada kekuatan-kekuatan berbasis agama yang akan menggulingkan pemerintah, mirip seperti raja yang digulingkan oleh kaum agama di era feodalisme Eropa karena tidak akomodatif terhadap kepentingan mereka.

Makin marak perempuan Aceh berbusana ”ketat”

lalu dirasa perlu dilakukan razia. Institusi yang merazia jelas berlatar pikiran menegakkan SI. Benarkah perempuan-perempuan yang berbusana ketat ini, secara sadar, sedang melawan SI? Bagaimana jika mereka hanya sedang terjangkiti trend (kebudayaan populer) busana muslim seperti di wilayah lain di Indonesia. Saya kira ini adalah problema selera ekspresi budaya berbusana, yang tidak bisa terselesaikan hanya dengan ”menawarkan” satu kebenaran tunggal SI. Kreativitas budaya Aceh mesti harus tumbuh, dengan memunculkan ”counter budaya” berbusana, mengkreasi busana muslim yang (mungkin) bisa diminati kaum remaja perempuan di Aceh?

Page 138: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 137

Mengenai akan diberlakukannya Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran Aceh. Logika berpikir yang ada adalah, dalam rangka menegakkan SI tidak dibenarkan materi penyiaran yang ”terlalu” vulgar dan bebas. Sejauh ini belum saya temukan logika pikir yang sebaliknya (dekonstruktif), bahwa jika kebebasan pers tidak dijalankan di Aceh justru akan mengurangi citra SI. Titik tolak kedua pikiran oposisi-biner (binary-oposition) ini sangat berbeda, dan bisakah kita percayai bahwa kedua-duanya benar. Semoga kita tidak sedang dalam ontologi semacam ini: ”yang pertama benar, kedua salah | yang pertama sakral, kedua profan | yang pertama agamis, kedua sekuler” | dsb.

Mencari Katarsis di Aceh Katarsis, menurut terjemahan bebas di wikipedia,

berasal dari bahasa Yunani ”kathairein”, terjemahan bahasa Inggrisnya "cleansing" or "purging". Terjemahan Indonesianya (mungkin) membersihkan atau memurnikan. Pertama kali istilah ini dipakai oleh Aristoteles dalam karyanya ”poetics” (Poetry). Orang setelah menikmati karya poetics (puisi atau drama tragedi) akan mengalami semacam pelepasan dan memperoleh pencerahan energi baru. Dalam literatur sosial kontemporer, katarsis dimengerti semacam ide pencerahan, pembaharuan pandangan, sebagai postulat menuju pembebasan.

Page 139: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 138

Gerakan pemikiran yang ”membebaskan” hanya bisa dilakukan para aktor (intelektual) yang mampu mengambil jarak dari kungkungan ontologis kebudayaannya. Antonio Gramsci68 sampai Derida sudah memberikan orientasi untuk pembebasan itu. Gramsci menganjurkan, kita semua harus kritis terhadap sesuatu yang ujung-ujungnya adalah upaya hegemoni oleh para elite. Para intelektual --Gramsci menyebutnya ”intelektual organik”-- hendaknya memberikan counter hegemoni untuk pembaharuan pemikiran rakyat. Intelektual yang tidak mampu menyajikan kounter hegemoni oleh karena kesadaran ontologisnya bagian dari kebudayaan dominan, disebut intelektual tradisional yang seolah independen tetapi sesungguhnya ”status-quo mainstreaming”.

Ketidakmampuan membedakan (men-

diskonstruksi) dimana sumber tautan akar normatif-ideologis dari fenomena ini membuat eksplorasi pemikiran mengenai kebudayaan (sebagai hasil normatif-horisontal manusia) selalu berhenti dengan sendirinya, mana kala palu jugment normatif-transendental dipakai sebagai penyelesaian. Teori

68 Lihat “Gramsci and Hegemony” oleh Trent Brown http://www.i-italy.org ;

“Gramsci’s Hegemony Theory and the Ideological Role of the Mass Media” oleh Stuart Hainsworth, dalam http://www.assatashakur.org (2 Juli 2010) ; “Cultural Hegemony” dalam http://www.jahsonic.com/Hegemony.html (2 Juli 2010) ; “Gramsci's Theory of Hegemony” dalam http://www.worldlingo.com (2 juli 2010) ; “Historical Materialism” dalam http://www.worldlingo. com/ma/enwiki/ en/Historical_materialism 02 Juli 2010 ; “Antonio Gramsci, Schooling and Education” dalam http://www.infed.org/thinkers/et-gram.htm

Page 140: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 139

dekonstruksi Derida69, bisa melengkapi atau memberikalan jalan bagaimana merealisasikan counter hegemoni. Dekonstruksi bermaksud mendialektikakan dikotomi nilai-nilai yang dianggap ”benar” (superior) dan ”salah” (inferior) di dalam ranah ontologi kebudayaan masyarakat. Masyarakat ingin diajak menjadi ”katarsis”, sadar bahwa dibalik beberapa kenyataan ranah kebudayaan yang selama ini ”tidak terbantahkan” ada sisi-sisi yang merupakan upaya dominasi dan hegemony kekuasaan manusia.

Intelektual yang mampu menghadirkan ”katarsis”

adalah ”katalisator” (dalam istilah Gramsci disebut ”intelektual organik”). Untuk bisa berperan menjadi intelektual katalisator tentu saja, sekali lagi tentu saja, tidak harus lebih dulu menjadi ”sekuler”. Kelompok intelektual katalisator ini tidak bisa dituduh sebagai kelompok intelektual sekuler, yang secara kasar sering dicap kadar keimanannya diragukan. Hanya intelektual yang mampu ”mengambil jarak” dengan sistem ontologis kebudayaannya yang bisa, sebagai langkah awal, menjadi katalisator dan menghadirkan ”katarsis” kebudayaan.

69 “Derrida and Deconstruction” oleh Francis Ponge, dalam http://courses.

nus.edu.sg/course/elljwp/deconstruction.htm ; http://en.wikipedia.org/wiki/ Deconstruction 19 juli 2010; “Deconstruction and the Philosophy of Culture” oleh Joseph Grange dalam http://www.religion-online.org (16 July 2010) ; Deconstruction, Critique, and Praxis: Towards a New Culture of Politics ( In-Spire e-journal, Vol. 2, No. 1, June 2007) oleh Monica Ingber dan Zehra Aziz Beyli dalam http://www.in-spire.org

Page 141: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 140

Nampaknya Aceh, menurut persepsi saya, membutuhkan kelompok ”intelektual organik” dalam pengertian pemaparan di atas di ranah kritik kebudayaan, agar segala perdebatan sosial mengenai praksis kebudayaan tidak serta merta selesai oleh karena aliran pemikiran tertentu ingin segera menerapkan ”norma dogmatif transendental” sebagai judgment akhir. [■]

Page 142: eBook Catatan Dari Aceh

Dari Bintang Sampai Lhok Nga | Hal - 141

Tentang Penulis Penulis berlatar belakang pendidikan Antropologi (UGM-Yogyakarta). Bersama beberapa kawan mendirikan Lembaga Nawakamal (Yogyakarta) tahun 1994. Dan kemudian terlibat dalam aktivitas berbagai NGO dan berkesempatan melakukan kerja pemberdayaan dan penelitian sosial-budaya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pernah belajar social development leadership di Asian Health Institute (Nagoya- Jepang, 1995) dan di ActionAid (Bangalore-India, 1996). Bergabung di GTZ ALGAPII-AGSI (program local government capacity building di Aceh) sejak November 2007 sampai Oktober 2010. Bisa dihubungi melalui email: [email protected]