e-book sang pemetik cahaya -...

66
1

Upload: duongnguyet

Post on 01-Apr-2019

253 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

1

Page 2: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

i

Apresiasi atas Sang Pemetik Cahaya

“Tulisan yang menarik dan menginspirasi berangkat dari kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul El Hamasah, dengan kepolosan dan keluguannya mampu menarik orang lain untuk berbagi penggalan kisah kehidupan tanpa pamrih bahkan hingga sesuatu yang sifatnya sangat pribadi. Bercengkerama dengan rakyat kelas bawah pun ia jalani sepenuh hati. Membuat kita tahu apa yang terjadi di dunia mereka yang selama ini mungkin tidak menarik dikarenakan pesona mereka yang kurang memikat. Juga pernah “dikerjai” oleh seseorang, lagi-lagi karena kepolosannya yang bukan dibuat-buat tapi begitulah adanya. Kisah pribadi pun ia sajikan dengan tulus. Mudah-mudahan dengan hadirnya tulisan ini sebagai souvenir pernikahan beliau, dapat mengingatkan kita, memberi pencerahan, dan memperluas cakrawala berpikir karena banyak pelajaran yang dapat dipetik di dalamnya.” [Ihsan Iswaldi [Ihsan Iswaldi [Ihsan Iswaldi [Ihsan Iswaldi –––– alumni Dept. Kimia Analisa alumni Dept. Kimia Analisa alumni Dept. Kimia Analisa alumni Dept. Kimia Analisa –––– Granada Granada Granada Granada

University University University University –––– Spanyol].Spanyol].Spanyol].Spanyol].

“Lewat buku ini kita bisa melihat sesuatu yang sederhana menjadi istimewa, bermakna, dan nyastra!” [Ellita Permata Anwar [Ellita Permata Anwar [Ellita Permata Anwar [Ellita Permata Anwar –––– alumni Sastra Inggris alumni Sastra Inggris alumni Sastra Inggris alumni Sastra Inggris –––– UGM].UGM].UGM].UGM].

“Jangan terkecoh! Chifrul yang saya kenal tidaklah semeliuk-meliuk tulisan-tulisannya ini!” [Iqbal Lathif [Iqbal Lathif [Iqbal Lathif [Iqbal Lathif –––– sahabat dan penulis buku “Dear Allah”]sahabat dan penulis buku “Dear Allah”]sahabat dan penulis buku “Dear Allah”]sahabat dan penulis buku “Dear Allah”]

"Benarlah bahwa selalu ada cahaya yang bisa dipetik dalam keseharian hidup kita. Setidaknya, itulah yang dilakukan sang penulis. Lewat untaian kata yang puitis, ia membagi cahaya itu pada siapa saja yang membaca buku ini." [Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah][Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah][Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah][Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah]

Page 3: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

ii

“Setelah membaca tulisan-tulisan di buku ini, cuma satu kalimat yang muncul dalam benak : WOW!!! Selamat datang penulis muda berbakat!” [Abdul Halim [Abdul Halim [Abdul Halim [Abdul Halim –––– mahasiswa S2 Teknik Kimia mahasiswa S2 Teknik Kimia mahasiswa S2 Teknik Kimia mahasiswa S2 Teknik Kimia ---- ITS]ITS]ITS]ITS]

Pertama kali membaca daftar isi buku "Sang Pemetik Cahaya" karya akhi Chif ini, saya sadar bahwa bacaan yang ada di tangan saya tersebut bukan yang kali pertama saya baca. Iya, sebagian besar isinya sudah saya baca melalui catatan2 beliau di socmed. Tapi,tetap ada dorongan kuat untuk menuntaskannya. Membacanya, membuat emosi kita serasa diasah dan diaduk-aduk. Satu kesan yg saya tangkap adalah tulisan ini hadir dari hati sang penulis. Mungkin yang tak banyak orang tahu adalah bhwa buku ini adalah hasil karya seorang lulusan Teknik Kimia, tetapi gaya bahasanya bisa disandingkan dengan lulusan sastra, Kereen !!! [Akh Swear [Akh Swear [Akh Swear [Akh Swear –––– Penggemar Buku IslamiPenggemar Buku IslamiPenggemar Buku IslamiPenggemar Buku Islami]]]] "Saat awal baca judul Sang Pemetik cahaya, terbesit cahaya apa yang akan saya petik dr buku ini dan alhasil setelah membaca buku ini saya yakin masing2 orang akan terinspirasi mndapatkan cahaya masing. Di bagian emak benar2 menjadi perenungan diri saya. .amazing and inspiring. Awesome! :) [Tutus Wahyu [Tutus Wahyu [Tutus Wahyu [Tutus Wahyu ---- ketua LDK UWKSketua LDK UWKSketua LDK UWKSketua LDK UWKS]]]]

Page 4: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

iii

Kata Pengantar: Kisah Pemilik Tiga Cahaya

Rafif Amir Ahnaf *

/1/

Saya hendak mengulas sedikit tentang egoisme yang tak kunjung lenyap dan menjadi semacam tabiat hidup bangsa ini. Di jalan raya, kita sering menemukan dengan mata telanjang antar pengendara kendaraan yang berebut jalan, bahkan tak mengindahkan pengguna jalan yang hendak menyebrang. Di kantor pun demikian, semua seakan berlomba mengkayakan diri sendiri dan tak peduli pada apa yang menimpa rekan sekantornya. Bahkan mungkin mereka bersyukur saat dirinya tak kena PHK sedangkan teman-temannya banyak yang harus menyandang status baru sebagai pengangguran. Tak kalah memprihatinkan, berulang kali kita menyaksikan di depan televisi, orang-orang yang saling menyerobot antrian, yang “terpaksa” menginjak-injak manusia lainnya karena rebutan sedekah ribuan rupiah.

Budaya Narsisme berlebihan pun tengah melanda para remaja, gaya hidup hedon dipertontonkan di jejaring sosial, di layar kaca, dan perangkat-perangkat teknologi yang ada. Semua itu tak lain karena ingin menunjukkan betapa hebat, betapa pintar, dan betapa cantik dirinya. Inilah zaman solilokui, zaman ketika setiap manusia sibuk mementingkan dirinya sendiri. Bahkan tentang cerita-cerita yang berhembus dari mulutnya, bahkan dialog-dialog yang ia bangun saat menyapa saudaranya, semua tentang dirinya.

/2/

Akan tetapi Chifrul menyuguhkan cerita yang berbeda. Ia melepas segala keegoan dan hasrat menjadikan dirinya sebagai tokoh penting dalam cerita. Dalam buku yang Anda baca ini, Chifrul menempatkan dirinya sebagai pengamat, sebagai manusia biasa yang menancapkan empati pada fakta-fakta kemanusiaan di sekitarnya. Ia tidak hendak menonjolkan akhlak, tetapi menjadikan akhlak sebagai pintu masuk menyelami hakikat kemanusiaan.

Page 5: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

iv

Chifrul melebur bersama orang-orang yang selama ini dianggap kecil. Ia berusaha membangun dialog-dialog yang menyentuh titik empati untuk kemudian sampai pada akhlakul karimah dan akhlakul mahmudah.

Seperti dalam “Maaf, Telah Membuatmu Menangis” dalam buku ini, Chifrul benar-benar dapat melukiskan perih jiwa sang pengemis, melalui percakapan yang ia mulai sendiri – betapa banyak kita menemukan, orang yang enggan memulai percakapan, apalagi dengan seorang pengemis – dan diakhiri cucuran airmata lawan bicaranya. Pun saya yakin bukan hanya karena pemberian itu sang pengemis menangis, tapi juga kerendahhatian seorang pemuda yang sudi mendengarkan kisahnya, sudi menjadikan dirinya tempat berbagi kisah yang menindih dadanya bertahun-tahun.

Chifrul juga seorang yang sangat menghargai orang lain yang mau bekerja keras, meski yang mereka raih tak seberapa. Itu bisa disimak dari kisahnya yang berjudul “Senja yang Menyelalukan Pagi” tentang seorang bapak yang mendidik anaknya dengan penuh sayang, juga seorang nenek penghafal Al-Quran yang memiliki rumah di dalam pasar.

Tidak hanya jalinan cerita, Chifrul juga mendedah hikmah dari setiap kisah yang ia tulis. Seperti dalam “Kakimu, Kakiku, Kaki Kita”, ia menulis, “Pun demikian, kaki kami telah hilang. Telah berganti motor-motor yang berjalan berkali-kali lebih cepat. Membuat jauh tidak berarti peluh”. Sebuah renungan yang cukup dalam. Dan barangkali hanya sedikit orang yang dapat merasakannya. Bahwa teknologi telah banyak membunuh semangat, membunuh kemanusiaan.

Suguhan terakhir dari buku ini adalah “Cinta Emak” dan “Tafsir-Tafsir Kamar Mandi”. Jika Tafsir-Tafsir Kamar Mandi membuat kita menyadari bahwa untuk mencintai, untuk melahirkan empati yang tinggi, harus memiliki kepekaan sosial dan daya jelajah memahami yang tinggi pula, Cinta Emak justru akan membuat mata Anda berkaca-kaca. Sebuah episode perjalanan sang penulis yang mengharukan dan akan membuat Anda kembali merenung tentang silam yang telah banyak memberikan pelajaran tentang sebenar-benar kehidupan.

/3/

Page 6: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

v

Sebuah hadis yang diriwayatkan Ath-Thabrani berbunyi: Tiga orang yang selalu diberi pertolongan Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah swt, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatan dirinya.

Dan penulis buku ini, Chifrul, adalah seorang aktivis mahasiswa bahkan sejak semasa ia kuliah. Ia juga seorang penulis, buku ini buktinya dan puluhan tulisan lain di blog dan catatan facebooknya. Ia tidak hanya menulis, tetapi menulis untuk menginspirasi. Terakhir, semua yang membaca buku ini pasti tahu, bahwa ia telah menikah. Pernikahan yang semoga selalu dibaluri niat suci mulai awal hingga penghujung ajal. Pernikahan yang semoga senantiasa bertabur barakah mulai pelaminan hingga mimbar-mimbar yang dipenuhi cahaya, di surga.

Maka, Chifrul telah merangkai ketiganya di usianya yang masih relatif muda. Ia telah melengkapi syarat-syarat datangnya pertolongan Allah sesuai hadis Ath-Thabrani. Tinggal kini ia memperjuangkan, mengasah tiga amal pamuskas yang ia genggam itu sehingga semakin meningkat taraf kualitas dan efek kebaikan sistemis yang ditimbulkannya. Dengan demikian, pertolongan Allah pun semakin karib.

/4/

Oleh karena itu, buku ini sungguh hadiah yang sangat istimewa, bukan hanya karena kontennya yang menggugah jiwa, tapi karena pula tak banyak acara walimah yang menyuguhkan buku sebagai souvenirnya. Bukan karena ingin membuat berbeda, akan tetapi Chifrul menyadari bahwa buku akan selalu abadi. Ia hanya akan musnah oleh api. Chifrul tidak memberikan cindera mata berupa hiasan meja, misalnya. Atau katakanlah barang-barang yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, justru karena ia menyadari bahwa perannya sangat kecil ketimbang buku dalam menghantarkannya mendulang pahala.

Buku, seperti yang ia tulis ini barangkali akan menginspirasi Anda sebagai pembaca sekaligus sebagai undangan yang pernah hadir dalam acara walimahnya, atau siapapun yang Anda perkenalkan dengan buku ini baik sengaja ataupun tidak

Page 7: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

vi

sengaja. Kemudian terbitlah keinginan, motivasi, harapan untuk berbuat lebih banyak kebaikan karena merasa tergugah dengan cerita-cerita inspitaif di dalam buku ini. Sehingga pahala tidak hanya mengalir pada pembacanya, akan tetapi juga penulisnya.

Maka buku ini semacam investasi akhirat di saat yang tepat, yang dilaunching saat salah satu acara sakral kehidupan tengah berlangsung: pernikahan. Barangkali juga semaca simbol, bahwa hendaklah setiap walimah harus menyertakan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Bukan hanya untuk mendapatkan materi dari “amplop” para undangan, tetapi juga doa dan kucuran pahala berlimpah dari tetamu sepeninggal mereka dari sana.

/5/

Sang Pemetik Cahaya, judul buku ini, semoga kelak mengantarkan penulisnya bertemu Sang Pemilik Cahaya setelah terlebih dahulu ia memetik perempuan cahaya untuk bersanding dengannya menempuh perjalanan jauh di sepanjang usia. Itu doa dari saya.

Sidoarjo, 5 September 2012Sidoarjo, 5 September 2012Sidoarjo, 5 September 2012Sidoarjo, 5 September 2012

* Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo* Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo* Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo* Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Sidoarjo

Page 8: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

vii

Sebelum Cahaya :

Sebuah Prakata Penulis

Jika kita sanggup menghitung pasir di tepian pantai, maka seharusnyalah rasa syukur kita sebanyak itu pula, atau malah lebih seharusnya. Syukur yang hanya dipersembahkan kepada Allah SWT. Dialah Sang Pencipta yang tak ada satupun makhluk kecuali telah merasakan RahmatNya, baik yang diharap-harap maupun yang dicurahkanNya begitu saja. Sungguh, rasa syukur kita tak akan pernah memenuhi genangan Rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah.

Jika kita kini merasai nikmat berislam dan beriman, maka tak lain karena lantaran seorang Rasul mulia yang dengan pesona kecerdasan dan kemurahan hatinya telah menukar zaman jahiliyah dengan alam yang penuh cahaya. Bersholawat dan mengikuti sunnahnya adalah bentuk terindah menjadi seorang manusia. Yang bila hal demikian menjadi istiqomah, maka Rasul SAW. telah menyiapkan senyumnya yang lebih dari indah ketika menyambut para pengikut setianya di pintu surga.

Telah lama sang penulis mengingini sebuah buku terbit dari ketukan-ketukan alat tulisnya. Mempersatukan embun yang telah terkondensasi di pikiran. Menghadirkannya dalam sebuah hidangan ringan. Dalam sepotong buku mungil yang semoga penuh kehangatan.

Sesungguhnya apa yang berpusing di sekitar kita selalu membawa kisah. Mungkin sensasional, menyentak kesadaran. Mungkin sederhana saja, sekadar angin lalu. Bisa jadi yang sesungguhnya menghentak terasa tak ada istimewanya karena indera perasa kita yang berkarat lantaran tak sering diasah. Melalui buku ini, penulis menuangkan perjalanannya mengasah jiwa dengan kisah.

“Sang Pemetik Cahaya”. Hitam, putih, biru, merah, kuning, dan aneka wewarna lain adalah para penyusun cahaya. Setiap warna memiliki panjang gelombangnya yang berbeda satu dengan lainnya. Menjadikannya beraneka. Kaya akan spektra. Begitu juga dengan kisah hidup kita. Setiap peristiwa menyimpan hikmah. Menjadi elemen penyusun drama

Page 9: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

viii

kumpulan manusia. Selalu ada hikmah. Selalu ada cahaya. Tinggal bagaimana cara kita memetiknya.

Buku ini merupakan himpunan dari larik-larik “cahaya” yang penulis temukan di perjalanan kesehariannya. Memetikknya lalu meruntainya dengan kekata. Dan menghadirkannya dalam karangan bunga bersimbah cahaya.

Kumpulan coretan tangan ini, oleh penulisnya dihadiahkan untuk pernikahannya. Hadiah yang semoga merupa prasasti kelanggengan kisah kasihnya. Hadiah yang semoga bermanfaat baginya dan semesta yang telah berbaik hati merengkuhnya.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu lahirnya buku ini. Untuk ibu, bapak, emak, kakak-kakak, keluarga besar, kawan-kawan semua serta tak lupa istri penulis tercinta. Terima kasih untuk Mas Rafif Ahnaf yang berkenan melakukan proses editing naskah dan berbaik hati memberikan sebuah pengantar untuk buku ini. Penulis jelas tak sanggup mengimbangi kebaikan pihak-pihak tersebut sebelumnya. Hanya saja penulis menitipkan sejumput doa, “Semoga Allah membalas kebaikan mereka, dan mempertemukan kita di mimbar-mimbar dari cahaya. Insya Allah.”

Special credit : Bro Faishal Anshary yang telah berbaik hati membuatkan versi e-book dari buku saya ini.

Jazzakumullah khoiron katsiiraa.

6 September 2012,6 September 2012,6 September 2012,6 September 2012,

Chifrul El HamasahChifrul El HamasahChifrul El HamasahChifrul El Hamasah

Page 10: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

ix

Judul buku "Sang Pemetik Cahaya"

Kata Pengantar

oleh Rafif Amir Ahnaf - iii

Prakata Penulis

oleh Chifrul El Hamasah - vii

Daftar Cahaya: 1. Di Sisi Awan, Aku Menunggui Hujan - 1

2. Maaf, Telah Membuatmu Menangis - 3

3. Kakiku, Kakimu, Kaki Kita - 7

4. Senja Yang Menyelalukan Pagi - 11

5. Sebuah Masa Transisi : Dari Keluguan ke Kedewasaan - 16

6. Mengasah Mata Batin - 22

7. Relativitas Emosi - 26

8. Terdera di Bibir Senja - 31

9. Mengeja Misteri : Dari Pernikahan ke Perjalanan Tak Terduga ke Tanah Suci - 36

10.Tafsir-tafsir Kamar Mandi - 43

11.Cahaya Menyulam Cahaya - 46

Sebuah suplemen hati

"Cinta Emak" - 49

Tentang Penulis

Page 11: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

1

Cahaya Pertama:

Di Sisi Awan, Aku Menunggui Hujan

eringat serangkaian kisah yang menghampiri selasar pikiran. Satu-satu, kadang bertindih, berebut diungkap dengan ujung pena. Saat burung-burung Sriti

mengantar hujan menyambangi muka bumi. Ada ceria, ada hati yang berduka. Ada tawa, ada mulut yang mencibir resah. Namun, yang pasti ada rahmat Tuhan yang sedang tercurah.

Suatu kali dalam sebuah perjalanan, ada hujan mengetuk-ngetuk atap kendaraan yang kutumpangi, mengusap-usap kaca mobilnya, lalu bertemu riang dengan titik-titik lainnya di tanah. Sekeliling perlahan memburam, hawa mendingin melawan polusi yang memanaskan dari segala kendaraan. Seseorang menceracau pada hujan.

“ Aduh, mengapa hujan siang-siang seperti ini? Merepotkan saja!”

Orang tersebut nampak kesal. Ada dongkol yang memenuhi rongga dada. Egonya tidak rela jika hujan membersamainya memetik nafkah.

Padahal hujan hanyalah rahmat. Yang hanya sebagian mata yang jeli saja yang mampu melihatnya demikian. Selebihnya, hujan sering terlihat semacam cara Tuhan menyusahkan umat manusia.

Mungkin jemuran menjadi begitu malas mentransfer kandungan airnya kala hujan menderas, kala udara meninggikan humiditas. Kita lantas mencela hujan yang tempias.

Mungkin sepatu kinclong semula, semacam gorengan yang dicocol ke sambal petis kemudian. Kotor oleh lumpur dari tanah yang dihajar air dari langit. Kita lalu bangkit memusuhi hujan dengan sengit.

T

Page 12: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

2

Pohon tumbang, banjir bandang, air menenggelamkan ladang, penyakit tak luput datang. Hati yang mati hanya akan menyalahkan hujan, yang sesungguhnya hanya sepasukan langit yang ingin mengembalikan air jenuh di angkasa. Karenanya, ada perimbangan yang nyata dalam sebuah siklus air di dunia. Dan bukankah ini hanyalah keadilan Yang Kuasa?

Mari sedikit memicingkan mata. Pada dedaunan yang bersepuh hijau setelah hujan berkali-kali membasuhnya. Pada tanah yang menutup setelah sebelumnya kerontang merengkah. Pada katak yang menyenandungkan puja-puji setelah nyanyian hujan yang merintik. Pada penjual kacang yang ramai pembeli, yang tanpa hujan jualannya sering tak terbeli. Pada pemerintah yang bangga dengan rapat-rapatnya – oh, hasilnya masih belum mampu mewadahi dan mengelola air dariNya.

Terserak celah-celah untuk mengintip hakikat hujan. Ia adalah tantangan bagi manusia untuk mengukur sejauh mana kecanggihan kemanusiaannya, kecerdikan akalnya, dan kelapangan hatinya. Maka hujan adalah sebentuk cara yang mungkin tidak biasa untuk mengasah kualitas kehidupan seorang insan. Tinggal, dimana mata hati kita memandanginya dengan seksama tanpa bosan.

Maka selalulah membersamakan pikiran kebaikan pada hujan yang merintik di perjalanan para musafir. Maka akan terasalah rahmat dalam butir-butir dari gumpalan-gumpalan awan yang digembalakan angin. Hingga pada sebuah noktah, kita mengatakan, “Apa yang datang dari Tuhan adalah selalu yang terbaik bagi kita.”

Di sisi awan, aku menunggui hujan. Sebab, di sinilah pelangi akan jatuh di sekujur badan.

Di sisi awan, aku-kamu menunggui hujan. Sebab, di sini dada akan menjadi lebih lapang.

Pun, seandainya duka mendera, maka tak akan ada yang tahu bahwa dalam gerimis, ada air mata kita yang tertumpah.

*****

Page 13: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

3

Cahaya kedua:

Maaf, Telah Membuatmu Menangis

i pertengahan sepotong Sabtu, saya bergegas mengemasi isi tas saya ketika butir-butir hujan berlarian menjemput tanah di permukaan bumi. Sebagian

terantuk atap bangunan – menciptakan harmoni yang tak teratur – dan sebagian lainnya melawan tangan-tangan manusia yang melindungi kepalanya. Saya harus menyegerakan kembali ke rumah sebelum hujan deras hadir di perjalanan.

Beberapa meter dari tempat semula saya memarkir motor, saya tidak menemukan serbuan air langit. Lantas sorot surya menjadi penguasa hari. Akhirnya, saya memutuskan untuk singgah ke Pasar Krian – sebuah pasar tradisional yang terbilang luas bahkan melebar tak terkendali – membeli buah durian. Tahulah sendiri, bahwa buah itu suka menggoda selera para pengguna jalan dengan aromanya yang menusuk dan penampilan yang menantang atas kulit berdurinya.

Setelah sekian waktu melakukan tawar-menawar dengan pembeli – meski saya seorang Sales Engineer namun saya lebih menyukai kemudahan dalam hal ini, saya cenderung mengalah selama harganya masih rasional – akhirnya dua buah durian ukuran sedang menyangkut di motor saya. Di atas motor bebek, di jalanan yang dipenuhi orang berlalu lalang, hati saya riang. Meski kemudian harus melakukan akselerasi kecepatan sebab tiba-tiba mendung hitam menghadang dari arah yang berlawanan.

Hujan datang tak terelakkan. Sempat terpikir untuk menembus belantara hujan, namun sebagian hati mengingini diri untuk berteduh saja. Hujan terlampau deras. Angin menambah-nambah ragu untuk saya melaju. Ya, sudah. Saya pun berteduh.

D

Page 14: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

4

Heran juga ketika memikirkan hujan akhir-akhir ini. Ia seolah berulang kali berselisih paham dengan mentari – yang pada akhirnya berujung pada sebuah kompromi; sebentar hujan, sebentar panas. Cuaca demikian seringnya menimbulkan nuansa gerah, meski langit cerah.

Berteduh. Saya menenangkan diri dan teringat akan tulisan saya yang sebelumnya – Di Sisi Awan, Aku Menunggui Hujan. Insya Allah apapun kondisi cuaca yang sedang terjadi, pasti ada hikmah yang tak dipungkiri lagi. Saya pun lantas memilih menikmati air yang tempias di sebuah bengkel yang kala itu sedang tutup.

Dari sesela toko di sebelah, muncul seorang nenek dengan kecrekan seadanya – dari tutup minuman bersoda yang dipipihkan lantas disusun berlapis-lapis dan ditancapkan dengan paku ke sepotong kayu. Melihat penampilannya, sudah sangat masuk akal untuk mengenalinya sebagai seorang pengamen. Namun, ada sesuatu yang berbeda – nenek itu mengenakan jilbab kaos warna coklat, berkaos lengan pendek, dan bercelana tiga perempat. Memang jelas tidak sesuai dengan konsep busana seorang wanita muslim, namun hati saya menaruh ruang toleransi pada ketidakidealannya itu. Barangkali ada kendala yang tidak memungkinkannya untuk berbusana muslimah, entah itu karena biaya atau mungkin karena pemahamannya.

Dengan langkah pelan dan wajah sayunya, nenek itu mendekati tempat saya berteduh. Tangan kanannya tengadah ke hadapan.

“ Nak, Mbah minta uang, Nak…” Memelas. Niatnya jelas. Tanpa membuat topik awal

untuk dibahas. Selembar uang seribuan pun saya alamatkan pada pintanya itu. Setelah itu ia beranjak menuju dua pengendara lain yang sedang berteduh. Satu menolak si Mbah, satu lagi akhirnya memberikan sebagian isi dompetnya.

Beberapa saat kemudian hujan mereda. Dua pengendara itu lalu melanjutkan perjalanannya. Entah kenapa, saya tidak begitu berselera untuk mengambil celah cerah ini untuk segera pulang. Saya penasaran dengan si Mbah ini.

Akhirnya tinggal kita berdua di teras bengkel itu. Percakapan pun terjadi.

Page 15: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

5

“Si Mbah asalnya darimana?” Mungkin memang harus saya yang menginisiasi percakapan ini. Kemudian tumpahlah isi hatinya.

Nganjuk. Itu asalnya. Itu daerah yang luas di sebelah Kabupaten Jombang. Rumahnya jauh di pedalaman. Harus dengan jasa tukang ojek untuk menempuhnya dari pinggir jalan raya. Di Krian ia mengamen di perempatan, kadang juga sekaligus mengemis – sebagai tambahan nafkahnya. Setiap hari ia naik kereta dari Nganjuk ke kota kecil – Krian ini. Jika pukul tiga dini hari kita menikmati kekhusyu’an alam, maka si Mbah ini harus melipat selimut lalu menuju stasiun kereta api di Nganjuk. Malam, ia kembali dari stasiun Krian sekitar pukul delapan. Sesampai di rumah sekitar pukul sebelas malam. Dan begitulah rutinitasnya menghidupi sebuah kondisi yang melelahkan.

“Si Mbah kok tidak berjualan saja?” Namun, saya mendapatkan jawaban yang tidak biasa. Sebelumnya dia pernah berjualan di daerahnya – beras, makanan kecil, dan lain-lain. Tapi, seringkali dia mendapati kerugian karena banyak pembeli yang berhutang dan mengingkari hutang hingga waktu jatuh temponya.

“Mengapa tidak bekerja di Nganjuk saja, Mbah?” “Lah, kalo disana kerja apa toh? Paling-paling yo tani,

Nak! Kalo disini kan tidak ada orang yang kenal.” Ah, si Mbah ini ternyata mempunyai rasa gengsi juga ya. Seharusnya malah tidak demikian. Seharusnya malah sebaliknya. Petani itu lebih mulia daripada pengemis.

“Si Mbah sudah gak punya suami. Sudah mati, Nak. Si Mbah gak punya anak juga. Kalo di rumah kita tinggalnya rame-rame sama sodara. Tapi mereka juga orang susah…”

Dalam benak saya sempat terlontar pikiran apakah si Mbah ini tidak mengarang-karang cerita. Tapi, entahlah hati saya tidak merasakan adanya kebohongan dalam lontaran-lontaran ucapannya. Sudah sering saya bertemu dengan orang yang mengaku susah dan minta ditolong. Orang yang mengaku tersesat dan kehabisan uang. Dan nenek satu ini tidaklah demikian. Saya bisa merasakan kejujurannya. Tidak dibuat-buat. Tidak dilebih-lebihkan. Dan yang paling meyakinkan bahwa si Mbah bukanlah penipu adalah, sayalah yang memulai perbincangan ini – sementara para penipu

Page 16: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

6

biasanya mereka yang justru memulai sebuah pengupayaan permintaan tolong.

Sehari, dia kadang hanya menghasilkan beberapa ribu. Itu juga untuk transportasi naik kereta dan ojek. Selebihnya adalah sebuah harapan bahwa ia masih bisa hidup dengan keterbatasan. Maka, berapa banyak orang-orang yang mampu secara materiil namun hidup dengan caci maki sebab tak memperoleh setiap apa yang diingini?

Akhirnya, saya memutuskan untuk berbagi. Memberikan sekian puluh ribu untuk si Mbah ini. Dan disambut dengan tangan yang gemetar.

“Nak, kau membuatku menangis…” Matanya telah dipenuhi embun. Mungkin malu, mungkin bingung dengan ketakbiasaan ini, si Mbah pun menutupkan jilbab kaosnya ke wajahnya yang basah. Beberapa kali ia mengucap terima kasih. Mengucap doa keberkahan bagi sang pemberi.

Keadaan kita kini mungkin masih baik-baik saja. Kita masih hidup dengan layak. Sementara ada juga hati yang terserak. Terhimpit kemiskinan dan kelemahan yang seringkali melahirkan jerit mencicit.

Apakah kita ini ada untuk mereka? Ataukah mereka ada untuk kita? Jawabnya, sama saja. Keberadaan kita dan mereka adalah satu dari sekian cara Tuhan mengatur peralihan kebaikan-kebaikan. Perbedaan ini menciptakan ruang transfer sebagaimana hukum-hukum alam lainnya.

Mendung sepertinya akan mengguyurkan apa yang ia kandung. Saya meminta izin untuk segera pulang. Meninggalkan si Mbah yang sesenggukan… Sendirian.

*****

Page 17: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

7

Cahaya Ketiga:

Kakiku, Kakimu, Kaki Kita

ermulaan malam itu hanyalah sebagai kelanjutan sebuah kebuntuan di jalanan. Macet kali ini tidaklah biasa, dan tidaklah mungkin istimewa – karena setiap

kemacetan selalu meriangkan kebuntuan dengan knalpot yang menderu dan klakson yang menggerutu seru. Bersama asap dari ekor-ekor kendaraan, hawa menggerah, memeras kelenjar keringat siapa saja, memanas-manasi kesabaran pengguna jalan sambil melongokkan kepalanya ke depan, “Oei! Kenapa macetnya kebablasan?!”

Bus yang kutumpangi tak lebih dari seekor siput yang beringsut mencari sesela barisan “siput-siput” lainnya yang memadat rapat. Menaiki kendaraaan, apapun, dalam kondisi seperti ini sama saja dengan berdiam mematung. Tidak kemana-mana. Telah setengah jam aku berdiri di dalam bus yang hanya berpindah beberapa meter ke depan. Selain panas, berdiri sekian lama membuat kakiku seolah dikerubuti semut-semut imajiner. Merasuk dalam nadi dan pembuluh kapiler. Jika dibiarkan saja, aku pasti bisa teler.

Maka, demi sebuah suasana alternatif yang menyegarkan, kuputuskan untuk mengambil tindakan tidak biasa malam itu. Meski telah kuserahkan ongkos naik bus ke kondektur, hatiku terlampau tidak sabar untuk keluar dari bus itu, menggerakkan kaki yang sedari tadi kaku berdiri. Habis gerah, terbitlah gemintang. Sepasang sepatuku menjejak trotoar. Melenggang diantara mobil dan motor yang berkoar-koar, “Sampai kapan macetnya kelar?!”

P

Page 18: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

8

Aku bagai terpidana yang dinyatakan bebas tanpa syarat, berjalan sendirian tanpa hambatan merintang. Hey, lihatlah! Langkahku mengalahkan mobil-mobil mewah itu. Meski pelan, langkah kaki ini nyatanya lebih pasti akan sebuah kemajuan. Yang mengingatkanku pada kaki-kaki yang menaklukkan malam belasan tahun silam.

Hidup di desa, saat usiaku masih belia, langkah-langkah kami adalah simbol kehidupan dan kedinamisan. Berjalan kaki adalah kebaikan yang kini menjadi penarik rindu masa lalu. Menjadi rindu, sebab kini tidak demikian kenyataannya. Dunia telah berubah. Menjadi baru.

Kaki-kaki kami dulu begitu riang menyambut seruan pengajian di kampung kami maupun kampung tetangga. Biasanya pengajian akbar seperti itu diadakan di akhir minggu, atau di hari yang keesokan harinya adalah hadiah libur nasional. Dan, kaki-kaki kami menjemputnya dengan bergemuruh. Masih bisa kurasakan semangat yang menggebu dari orang-orang yang mengeja ilmu. Meski malam, kaki kami tidak keberatan. Meski jauh, kaki kami tak apalah melepuh. Meski jalan berdebu, kaki kami terus melaju. Kaki kami mengumbar debu malam yang menjelaga terang bulan.

Sama sekali tiada ketakutan akan kegelapan di jalan-jalan persawahan yang kami lewati. Pembicaraan sederhana kami – tentang sawah, ladang, ikan di sungai – telah melahirkan cahaya yang menguasai gelap. Mungkin, i’tikad baik kami telah membuat syaithon tiarap. Lalu kerlipan bintang menghidupi langit yang senyap. Cahaya jatuh ke tubuh-tubuh kami, menciptakan bayang-bayang hitam di rerumputan yang sembab.

Justru, kala dunia di genggaman tak seberapa, semangat menuntut ilmu begitu menggelora. Keterbatasan tak menjadi perkara hebat. Sebab kaki masih sanggup mengantar ruh tempat yang diberkahi. Sementara kini, hampir setiap rumah terpasang sebuah kotak yang menyiarkan gambar-gambar bergerak, menarik, dan begitu menarik kuat orang untuk terus saja memandanginya. Mengikat mereka di dalam rumah-rumah. Pun demikian, kaki kami telah hilang. Telah berganti motor-motor yang berjalan berkali-kali lebih cepat. Membuat jauh tidak berarti peluh. Namun, semua itu malah mengubah kebaikan sosial masyarakat desa. Menyendirikan kebersamaan yang biasa kami lakukan. Kaki kami telah terganti.

Page 19: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

9

Harta benda duniawi seringnya menjadi gelang-gelang yang menjadi logam pemberat langkah menuju tempat menggali ilmu. Kebanggaan akibat telah mendapatkannya mampu membuat pelakunya enggan sedikit bersusah payah demi sebentuk kebaikan ukhrowi. Fasilitas hidup kadang menjerat kaki-kaki menjadi tidak berdaulat. Terikat ular duniawi yang memikat.

Malam juga. Kala lebaran menggema takbir di angkasa. Jauh ke masa lalu. Kaki-kaki kami berderap menyusuri kampung-kampung yang mengumbar bahagia. Suasana malam demikian hiruk pikuk dengan takbir dan bunyi-bunyian yang ditabuh.

Tangan-tangan kami membawa suluh – dari bambu yang disumpal kain berlumur minyak tanah. Dari kejauhan, akan tampaklah putik-putik cahaya yang indah. Suluh kami meminjam kerlipan bintang ke bumi.

Semua terasa ringan, segala terlihat terang. Saat setiap kaki melangkah bersama menempuh baik episode sedih dan riang. Kebersamaan adalah energi yang memancarkan kekuatan berlipat-lipat. Sering tak disadari, namun tiba-tiba pekerjaan kita menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Sesuatu yang sering terabaikan.

Malam itu, kakiku hanya sendirian melewati setiap jengkal trotoar. Ada sedih, ada bahagianya. Sebab kakiku telah merasai sekali lagi – setelah sekian lama – berjalan di keremangan malam. Meski sendiri.

Akhirnya langkahku berhenti di sebuah rumah makan di serambi Jalan Ahmad Yani, Surabaya. Kupikir, masih lebih baik menikmati hidangan di rumah makan ini daripada menunggu kemacetan yang tak nampak segera punah.

Hawa gerah semakin memperparah jalan yang dipenuhi segala kendaraan. Setelah prosesi makan malam itu – dengan lebih lama duduk-duduk disana, aku kembali menuju tepian jalan sebab kemacetan mulai terurai. Lampu merkuri yang menggantung di jalanan menoreh warna kuning keemasan yang indah. Lalu butir-butir air berluncuran dari atasnya. Menciptakan nuansa melankoli yang jarang kujumpa.

Aku rindu, pada derap langkah kaki yang terhapus jilatan ombak. Aku rindu, pada jejak kaki yang tertimbun pasir gurun. Aku rindu, kakiku, kakimu, kaki kita, meninggalkan jejak-jejak bersejarah. Lagi.

Page 20: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

10

Cahaya keempat:

Senja Yang Menyelalukan Pagi

pa yang kau kagumi dari sepotong senja? Apakah karena beburung, yang terbang dalam shaf-shaf yang melengkung? Ataukah angin sore yang menerpa

rerumputan liar, menarikannya hingga ke pucuk ujung? Mungkin saja pada bola surya yang melempar sisa pesonanya ke sesela awan – menorehkan sapuan merah jingga di ufuk Barat. Ke muka laut, ia pula menjatuhkan bayangan. Pelan-pelan, kemudian tertelan. Menyempurnakan kisah sebuah bait perjalanan. Begitu, senja menawarkan kedamaian.

Lantas, mengapa kau terpukau oleh pagi? Mungkinkah karena mata terpesona atas kelahiran

sebuah hari? Kelahiran cahaya dari kerumunan kegelapan malam. Saat hawa demikian menyegarkan badan. Ataukah disebabkan pagi yang memaknai dirinya dengan harapan? Harapan suci yang termaktub dalam embun yang menggantung. Begitu jernih, begitu segar. Mungkin juga karena sinar, yang pecah beranak-pinak dari rahim mentari yang mekar. Melahirkan pagi yang menyenandungkan simfoni keceriaan dan orasi kebersemangatan hidup.

Dalam beberapa episode perjalanan, saya merangkum kisah-kisah yang tersangkut oleh sebuah benang merah, meski jeratannya memerangkap warna-warna yang berbeda, namun karenanya menjadi cerita yang kaya rasa.

Sepulang kerja, sambil membawa sisa-sisa cerita pekerjaan hari itu, saya naik bus umum yang mengantarkan saya dan sekian banyak penumpang keluar lingkaran kota Surabaya, menuju kota di sebelahnya: Sidoarjo. Demi mendapatkan tempat duduk, saya melempar pandangan ke segenap penjuru bus mini itu. Dan kursi paling belakang

A

Page 21: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

11

memanggil harapan saya untuk bisa mendapat tempat duduk – jika geliat peminat bus sedang memuncak, maka mendapatkan sebuah tempat duduk adalah kebahagiaan tersendiri meski kadang hati merasa iba pada orang-orang yang bergelantungan di sebatang logam panjang yang terpasang di bawah atap bus.

“Kuliah dimana, Mas?” suara disamping saya membuka pembicaraan sore itu – dan harus kesekian kali orang yang baru mengenal, menyangka saya masih anak kuliahan.

“Saya sudah bekerja, Pak” Bapak tersebut mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, melontarkan kelanjutan perkataannya, “Saya menyukai orang-orang yang bersekolah.” Dari titik ini, dimulailah pengembaraan saya dalam dunia kecilnya, yang penuh dengan harapan dan tingkah polah kegigihan.

Melihat garis mukanya, maka saya taksir usianya diatas lima puluh tahun. Sudah tidak muda. Namun, caranya berbicara begitu meremajakan kepala lima yang sedang ia tempuhi. Ia teringat akan anak-anaknya. Teringat akan masa lalunya. Hidup di istana beton, dengan sungai yang mengalir tenang di bawahnya. Benar, istana beton. Sebab rumahnya berada di bawah sebuah kolong jembatan di Surabaya. Disana ia tumbuh, berakar, dan mekar. Anak pertamanya telah menjadi seorang PNS yang merupakan lulusan STAN. Anak keduanya lulusan Manajemen UNAIR dan bekerja di sebuah bank swasta. Sementara ada juga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Tahukah engkau, bagaimana akhirnya keluarga itu meninggalkan pesona “istana” mereka?

Sang ayah dari pukul lima pagi telah meninggalkan rumah, mengepakkan sayapnya untuk meraup rezeki di hari itu. Menjadi seorang penjual minuman kemasan di sebuah SMA swasta di Surabaya. Begitu, caranya menjemput nafkah, dan memaknai sebutir keringat yang meleleh di pelipis kanan-kiri. Mungkin, ada berkah yang terikut aliran keringat itu, membawanya sekeluarga pada sebuah lubang yang mengeluarkan cahaya terang. Dari pekerjaan sederhana itu, anak-anaknya telah mampu menempuh pendidikan tinggi. Bahkan anak pertamanya, ia dorong agar mengambil kuliah S2.

Saya teramat terpesona pada semangat hidup Sang Ayah ini. Ia mendidik anak-anaknya agar menurut pada orang

Page 22: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

12

tuanya – yang hal ini adalah syarat keberhasilan setiap kita – dan dengan kegigihannya ia sendiri yang mengajari anak-anaknya tentang materi pelajaran sekolah. “Tidak usah les bimbel. Biasanya gurunya cuma ngajarin yang pinter saja, yang bodoh dibiarin.” Ya, memang tidak semua guru les seperti itu. Tapi biasa saja penilaian subjektif seperti itu yang entah sebab pengalaman sekelumit menjadi penilaian pukul rata karena minimnya referensi pembanding. Namun yang terang benderang adalah kenyataan bahwa sang bapak ini bukanlah orang sembarangan!

Meski dari kacamata ekonomi tangannya masih menggapai-gapai garis lurus kemiskinan di atasnya, semangat kerja tak meredup melemah. Di masa susah dulu, di dalam istana-nya dulu, saudara-saudaranya tak begitu peduli dengan nasib yang sedang Bapak itu alami. Pahit. Nelangsa. Namun kini, setelah dunia terbalik, mereka mulai meminta-minta bantuan. Ah, pun dia pasti akan membantu mereka. Mereka tetap bersaudara.

Pendidikan di dalam keluarga begitu liat andil-perannya. Menempa penghuninya menjadi pribadi yang tangguh. Walhasil, terbukti pada keberhasilan anak-anaknya. Sementara sang bapak dulu adalah siswa yang terbilang cerdas di sekolahnya. Namun, kembali, uang telah merenggut akalnya yang brilian. Semua itu ia jalani. Kegagalannya dulu memang membuatnya jatuh, lalu meremah di tanah, menyuburkannya, menumbuhkan kuncup baru yang lebih hijau dan lebat, merindang, mengeluarkan buah-buah kesuksesan permata hatinya.

“Saya akan terus bekerja! Tidak mungkin saya lantas leyeh-leyeh di rumah. Meski hanya penjual es di sekolah. Jika Mas ada waktu, mampir saja di Perumahan X nomor Y. Mas bisa belajar bahasa Inggris pada anak saya. Dia pintar bahasa Inggrisnya…” Penutup pembicaraan sore yang indah. Kakinya menemukan kembali tanahnya. Meninggalkan saya terkagum-kagum oleh senjanya yang begitu pagi.

Di lain kesempatan, saya duduk bersisihan dengan seorang nenek-nenek. Angkot butut itu membawa saya pada pengembaraan kisah selanjutnya bersama nenek itu.

Wajahnya teduh, seteduh senja yang menyerah-pasrahkan diri pada kegelapan malam. Saat saya bertanya berapa umurnya, ia membalasnya dengan senyuman. Enam

Page 23: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

13

puluh sekian tahun. Tidak muda, namun mudah memudakan pembawaannya. Dia seorang mantan guru matematika di sekolah menengah milik PT PAL di Surabaya. Karena sekolahnya itu, maka sang nenek telah terbiasa untuk berolah raga – bahkan guru disana pun tidak luput dari kewajiban lari pagi. Raganya pun masih segar dan bersemangat.

Sekarang sang nenek tinggal di Surabaya dekat kampus UNAIR dan memiliki kos-kosan untuk mahasiswa – sebuah bisnis yang sulit untuk mati, hunian bagaimana pun pasti akan ditempati mahasiswa-mahasiswa yang jumlahnya bertambah-tambah itu. Dalam beberapa kesempatan pembicaraan, nenek itu menyitir beberapa ayat Alquran. Tiba-tiba saya lancang bertanya, “Nenek hafal Alquran ya?” Jawabannya membenarkan praduga saya.

“Bagaimana nenek melakukannya?” Ia menggerakkan jemarinya seolah menulis di udara. Ia biasanya menuliskan beberapa ayat di kertas kecil, lalu menghafalkannya kemana saja.

“Pasti bisa kalo sungguh-sungguh…” Subhanallah... Rasanya ingin melipat wajah dan kemudaan saya. Menunduk ke sedalam-dalam palung rasa malu. Menekuk segala angkuh, demi menyaksikan seorang nenek yang dengan bahagianya menyimpan pagi di selumbung senja. Senja yang perlahan merambah temaram. Namun benderang oleh pagi yang melintaskan cahaya terang.

Berbeda dengan kisah dua insan yang sebelumnya, seorang bapak yang telah berkepala enam ini mempunyai pengalaman yang unik. Waktu itu, kami duduk di kursi paling belakang bus yang membawa kami meninggalkan perbatasan Surabaya. Perawakannya kurus dengan permukaan kulit yang mulai berkerut. Suaranya khas seorang kakek, namun tetap tegas bersemangat.

Saya memang sedikit kepo kalau bertemu dengan orang-orang yang unik semacam kakek yang satu ini. Ia bekerja sebagai mandor sebuah bengkel mobil yang membuatnya sering lembur. Apalagi jika order perbaikan mesin sedang memuncak.

Beristri satu dan mempunyai anak sekian – saya lupa menanyainya jumlah dan detail anaknya. Meski demikian, meski telah senja, ia masih suka “main”. Ya, dalam nilai rasa bahasa Jawa, kata “main” mempunyai makna peyoratif jika

Page 24: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

14

disematkan kepada lelaki dewasa. Lelaki dewasa yang suka “main” berarti ia mempunyai kesukaan untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada wanita tuna susila. Hal ini saya ketahui setelah tepat saya menanyakan resep apa yang bisa membuatnya begitu bersemangat meski telah begitu senja. Oh my!

Si kakek itu santai saja membagi kisahnya – dalam pemikiran umum, tema tersebut biasanya dikubur dalam-dalam sehingga tak akan ada yang mencium baunya, namun kakek ini berbeda. Sejak muda, ketika ia telah mampu bernafkah, sebagaimana dituturkannya dengan antusiasme tinggi, ia sudah terbiasa “membeli” wanita. Gang Dolly sudah demikian akrab dengan tujuan langkah kakinya. Uang hasil jerih payahnya tak disayangkan untuk menikmati “surga” dunia.

“Meskipun aku ini medho’an, aku gak pernah minum-minum! Itu bikin badan sakit saja! Gak ada enaknya…” Wah, saya jadi terperangah. Medho’an yang dalam bahasa Jawa berarti suka “main” wanita dinilainya mempunyai derajat bahaya yang lebih aman daripada minuman keras. Ya, bisa saja dia menyimpulkan seperti itu karena buktinya kini ia merasa masih segar bugar.

“Gak takut kena penyakit (kelamin), Pak?” “Hahaha… Begini caranya kalau kamu kena penyakit

begituan. Kamu harus mendatangi wanita yang pernah kamu gauli, yang membuatmu jadi sakit, lalu kembalikan penyakitnya ke wanita itu dengan melakukannya lagi.” What?!!! Saya malah jadi dobel terperangah – ekspresi saya waktu sih sederhana saja dengan memasang muka penuh tawa. Benar-benar tidak masuk akal memang. Ya, bisa saja hal itu sebagai justifikasi agar dia bisa mengulangi “permainannya” lagi dan lagi. Pun, bagaimana ia bisa tahu bahwa perempuan A adalah si penebar penyakitnya, sementara “permainan” sang kakek telah melanglang buana. Menclok sana, menclok sini. Hinggap sana, hinggap sini. Namun, entah mengapa air mukanya nampak sumringah dan tak ada rasa sesal atau berdosa. Yang jelas, pembawaannya begitu ceria, sesegar pagi.

Tentang bagaimana cara kita memaknai senja, sesungguhnya tak sekadar masalah pilihan-pilihan menjadi pagi kembali. Senja yang kudus di bibir malam menawarkan ruang-ruang perenungan yang menggoda memori masa lalu, dan mimpi setelah ini, di rahim malam. Senja yang meski

Page 25: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

15

terbatas akan tetap berseri selama hati menyelalukan pagi. Terus menyelalukannya, hingga rembulan menukar surya.

Page 26: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

16

Cahaya kelima:

Sebuah Masa Transisi :

Dari Keluguan ke Kedewasaan

enanjaknya batang usia kita sesungguhnya mengundang colekan genit si badai, atau celoteh nakal sang halilintar, dan bahkan bisikan sang bayu

yang mendayu-hempaskan tunas kemanusiaan. Ujian hidup yang merintang aral pada perjalanan kita adalah cara sederhana sistem kehidupan dalam menakar kualitas kedewasaan seorang insan. Polanya beraneka, namun benang merahnya nampak nyata serupa. Semakin berat dan rumit ujian yang menyalak pandangan, kemungkinan penambahan kapasitas kedewasaan kita semakin menawan. Kala ujian bersitatap dengan mata kita, perbuatlah sesuatu sehingga ia terpikat dengan kualitas kedewasaan kita.

Ujian itu merupakan kata lain dari kondisi pengaya rasa, pewarna emosi, pelebar interval hati, dan pelatih otot jantung agar terus bugar terlatih. Manusia dengan ujian hidup yang beragam pasti merasakan getir-tawar, manis-pahit, sumringah-cemberut, gagal-sukses, darah, keringat, dan air mata. Secara fisik, niscayalah, jantung menjadi terlatih dengan beban-beban yang bakalan meliatkan otot-otot pemompa darah, hingga ia siap mengendur dan menegang dengan kualitas prima.

Pun demikian, selalu lebih mudah mengatakan ini-itu, daripada mengerjakan begini-begitu. Merasai sebuah ujian kadang begitu dalam menikam jantung yang berdenyut tak beraturan. Tak karuan. Yang mudah menjadi rumit berkelit-kelit. Yang jelas mendadak bias. Siang pun dilahap malam tanpa gemintang. Dada menyempit. Kemanusiaan menggigil sakit.

M

Page 27: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

17

Masa-masa transisi dari ketidakdewasaan menjadi kedewasaan seringnya beraroma kesedihan, kegetiran, ketakutan, dan kekecewaan – walau terkadang juga berhiaskan siluet-siluet kesenangan. Masa sulit itu, akan menjadi bekas yang menggores di prasasti jiwa kita.

Saya, pernah merasainya… Mengawali perjuangan sebagai mahasiswa dulu,

serangkaian ujian mental telah rapih disiapkan para senior. Baris berbaris, berkelompok, berteriak, berdiam, membelakkan mata, menutupnya tersedia berhari-hari, berminggu-minggu, berbilang bulan. Terlebih ketika para senior menampari kepolosan demi kepolosan juniornya di sepetak halaman yang mentari seolah sekitaran ubun-ubun saja. Jiwa mahasiswa baru itu telah ramai dengan hiruk pikuk sensasi ujian. Masa orientasi mahasiswa adalah masa melatih otot jiwa kemanusiaan yang mungkin sebelumnya berdebar datar-datar saja. Melatihnya mengerang lebih lantang pada ujian nyata kehidupan yang mungkin jauh lebih menantang garang.

Beberapa bulan setelah masa-masa “penjajahan” itu, nyatanya saya masih belum demikian terlatih untuk menghadapi ujian yang sekonyong-konyong menggebrak kepolosan, keluguan saya. Sebuah insiden unik tak terlupa sebab hal itu adalah insiden aneh pertama yang hampir membuat saya seperti orang gila.

Suatu kala, sepulang dari pulang kampung, kembalilah saya ke kampus lagi. Mengurus mata kuliah yang hendak ditaklukkan di semester itu dan mengurus pencairan beasiswa telah menjadi agenda utama hari itu. Saya menuju kampus dengan menaiki angkot dari terminal Bratang – Surabaya, setelah sebelumnya harus singgah di dua terminal yang berbeda.

Telah puluhan meter angkot meninggalkan terminal, menuju kampus ITS di Sukolilo – Surabaya. Di sebuah belokan, sang sopir rupanya menangkap makna lambaian seorang bapak paruh baya di tepi jalan. Sopir pun memelankan roda empatnya, menepi, menaikkan si bapak tadi. Saya yang kebetulan duduk di dekat pintu masuk – tempat favorit saya di angkot yang memudahkan saya memperoleh angin segar dan kemudahan saat turun – sedikit melipat kaki agar sang penumpang baru tersebut dapat masuk ke dalam angkot dengan lebih leluasa.

Page 28: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

18

“Aduh…” Namun, nahas saat itu. Bersamaan dengan naiknya

penumpang itu, dahi saya merasakan benturan kecil yang cukup menyakitkan. Sampai beberapa menit saya abaikan saja, berdamai dengan apa yang mungkin terjadi secara tidak disengaja. Berharap pada keadaan yang “datar-datar” saja.

Tapi… Baru saya sadari bahwa sedari tadi, penumpang itu

membekap mulutnya dengan sebuah bilah tangannya. Pelan-pelan ia membukanya. Dan, nampaklah noda merah darah di gigi serinya yang atas. Tangannya terbuka kemudian, menyajikan dua potong gigi yang patah berlepotan darah. Saya tetap tidak mengerti dengan apa yang dilakukan bapak itu. Lantas saya hulurkan selembar tisu buatnya.

“Kamu membuat gigiku patah!” Balasnya dengan muka garang dan suara menderam.

“Hah???” Ketakmengertian saya akhirnya beranjak tercerahkan. Bapak itulah yang saya duga telah menabrakkan giginya ke dahi saya hingga benturan itu telah mematahkan dua gigi depannya. Sementara penumpang lainnya tiada hirau pada apa yang sedang saya alami, dengan mimik dan bahasa tubuhnya menginginkan saya dan dia turun untuk mempertanggungjawabkan semuanya.

Akhirnya, berdua kami turun di dekat kompleks kampus. Tidak jauh dari situ, terdapat sebuah Medical Center milik kampus ITS. Di tepi jalan, dia memilih bertahan, sementara saya menawarkan agar dia diobati di Medical Center saja. Memperbincangkan perihal patahnya dua giginya, saya menjadi pihak yang dipersalahkan. Bicaranya sudah mulai meninggi, membentak-bentak seorang anak desa yang masih lugu, bersendiri.

“Saya benar-benar tidak tahu dan tidak sengaja, pak!” Entah saya yang tak bisa marah, atau yang tak biasa marah, menjadi pihak yang disalahkan tanpa kesalahan – pun jika itu kesalahan, maka itu sebab ketaksengajaan – membuat mental saya limbung. Dia terus menceracau di tepi jalan, meminta ganti rugi uang tiga ratus ribu untuk biaya pengobatan. Uang sebesar itu tidaklah sedikit untuk seorang mahasiswa yang hidup pas-pasan.

“Awakmu kuliah nang ngendhi, huh?!” Mulailah saya berfikir mengapa dia ingin mengetahui jurusan yang saya

Page 29: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

19

ambil. Namun, sudah saya jawab saja, Teknik Kimia. Menduga bahwa itu sekedar tanya, namun kondisi menjadi runyam geram malah.

“Koen ojo macem-macem karo aku. Aku iki wong Meduro. Kampusmu iso tak obrak-abrik karo koncoku kabeh!!! Jan***!!!” Demi mendengar hal itu, seketika hati saya menciut, kalut. Bahasa yang teramat kasar dan menyakitkan di telinga. Yang terpikir saat itu hanya bagaimana melokalisir masalah dengan segera dan bayangan akan konflik yang mungkin lebih menyengsara. Ah, saya tidak bermaksud mendiskreditkan suku Madura – saya punya beberapa teman Madura yang baik nan ramah – namun orang itu tegas-tegas menunjukkan suku Madura untuk mengintimidasi akal saya yang sedang buntu. Saya bingung.

Kemudian saya segera saja menyanggupi akan mengganti biaya pengobatan itu. Saya memutuskan untuk memakai uang beasiswa yang akan saya cairkan nanti. Anehnya, orang itu tidak mau diobati di Medical Center kampus dan lebih memilih dokter gigi di bilangan terminal Bratang. Dia mengatakan akan menunggu saya dengan uang tiga ratus ribu itu di terminal Bratang. Kami berpisah.

Langkah kaki saya cepat bergegas menuju kampus. Cairkan beasiswa! Dan ternyata memang tidaklah cair beasiswa itu melainkan harus mengantri dan mengurus persetujuan dari administrasi kampus. Muter-muter. Sebagian teman bertanya tentang keanehan diri saya saat itu – begitu terburu-buru, seolah-olah sedang diburu penembak jitu. Kaki saya lelah, denyut jantung berderap penuh gelora. Menyesak dada.

Menyerah. Beasiswa ini tidak sedemikian mudah diserahterimakan. Saya berlari ke kontrakan yang letaknya cukup dekat dengan kampus, namun berubah jauh jika ditempuh dengan berlari bersama bayang-bayang manusia yang kehilangan dua giginya itu.

Di kontrakan, beruntung ada seorang teman yang mempunyai uang cash seratus lima puluh ribu. Langsunglah, saya meminjamnya, lantas berlarilah saya menuju tepi jalan, mencari angkot, kembali ke terminal Bratang, menemui seseorang yang telah meregang janji datang.

Seolah tidak ada hal lain di bumi ini untuk dipikirkan, saya hanya teringat tentang lelaki paruh baya dengan wajah

Page 30: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

20

garang tersebut. Sel-sel otak menjadi begitu fokus pada satu hal itu saja. Tiada penyaing.

Terminal Bratang yang terpapar mentari Surabaya, lusuh oleh debu dan asap kendaraan yang seolah tak pernah jemu menyinggahinya. Dan, lelaki itu telah ada di pintu masuk terminal. Oh, saya kira dia tak menepati janji!

“Ayo ikut!” Menunduk, saya mengekor langkahnya, menapaki jalan pojok terminal yang tidak rata, berlubang menganga, menuju belakang gedung administrasi terminal.

“Mana uangnya?!!” “Ini, pak…” “Koq, cuma seratus lima puluh ribu?!” Penjelasan saya

tentang susahnya mencairkan beasiswa hanya berbalas gebrakan meja penjual buah atau apalah yang sedang tutup. Dan, mulailah dia menceracau kepada saya yang tak kuasa menatap wajahnya. Takut.

Kalimatnya berselang-seling dengan sumpah serapah khas Surabaya. Nyelekit di daun kuping, bak peluru nyasar berdesing nyaring.

Raut mukanya menorehkan kecewa, namun saya pun tiada daya menyanggupi sekian dana yang dimintanya. Semua serba terburu. Serba tak siap. Namun begitulah seringnya ujian menyergap.

“Yo wis, awas koen!!!” Dia berlalu memunggungi mahasiswa baru itu, sambil sebelumnya secara kasar menyambar tiga lembar lima puluh ribuan dari tangan saya. Tubuh saya lemas. Berjalan sempoyongan. Seperti rumah kardus yang dihempaskan angin ribut. Saya bergemetaran. Sendirian.

Bergerak pelan, saya menemui mushalla terminal. Kecil dan berisik. Lalu saya bersimpuh, atau entah lumpuh, bersujud menumpahkan segala keluh.

Deras. Kemudian berbagai pertanyaan kritis menyerang segala kesadaran yang terbit tak terbendungkan. Apa yang telah terjadi??? Apa saya telah kehilangan akal? Mengapa pula saya mau menepati janji untuk menemuinya? Toh, jikalau saya tidak melakukannya masalah akan selesai. Dia tidak mengenal saya, juga tak tahu dimana tempat tinggal saya. Masa bodoh dengan ancamannya. Tapi, mengapa saya suka-sukanya melakukan ini semua?

Page 31: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

21

Dalam sujud panjang itu, cahaya berhamburan dari sesela saraf-saraf di otak. Menuntun pikiran dan analisa menuju sebuah ujung kesimpulan. “Kamu telah diperdaya.”

Ada sesal, ada lega. Mengapa saya tak berdebat habis-habisan memperjuangkan kebenaran yang sesungguhnya memihak saya? Malah berjibaku memenuhi hajat orang yang telah mendzolimi. Saya merasa sepenuhnya sadar pada waktu itu, hanya saja saya tidak habis pikir bagaimana saya meramu upaya untuk menyerahkan uang itu begitu saja padanya. Oh, mungkin itulah kondisi underpressure yang sesungguhnya. Akal sehat hilang lumat, diganti ‘akal’ lain serupa azimat.

Keluguan harus dipoles supaya bergairah. Kanvas polos perlu diwarna biar mempesona. Kadang proses pewarnaan itu tanpa pernah kita minta. Datang bagai laron yang menyerbu penerangan. Pada akhirnya keluguan pun pupus berganti kedewasaan.

Insiden itu telah menjadi pupuk kedewasaan yang mulai membentuk saya menjadi sebatang pohon yang beranjak meninggi dan merindang. Dedaun kepolosan dan ranting keluguan telah satu per satu jatuh bersama sang bayu, luruh di musim gugur yang pilu. Masa transisi itu seringnya tidak mudah. Namun ia telah menjadi pahatan-pahatan beraneka di prasasti jiwa. Sampai gurat-gurat tertentu, kita memang layak menjadi insan dewasa, pengemban misi suci, rahmat bagi

alam semesta.

******

Page 32: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

22

Cahaya keenam:

Mengasah Mata Batin

arangkali terserak di pelataran nalar kita tentang apa pentingnya interaksi bagi kehidupan. Sesungguhnya interaksi tersebut adalah bagian besar dari kehidupan.

Seorang insan hanya akan berakhir pada dirinya sendiri jika hidup secara soliter. Dan besar kemungkinan ia tidak bertahan lama di kehidupan ini. Seandainya pun ia bertahan demikian lama, maka ketika kita seret kepada ladang jiwa, mungkin tidak sekaya insan lainnya yang ramai-ramai berinteraksi di luar sana.

Bagi kawan-kawan yang hendak memperkaya jiwa, memperluas interaksi bolehlah menjadi salah satu cara. Saran yang lebih spesifik dari saya adalah cobalah untuk bepergian dengan naik angkot. Dari kendaraan roda empat yang sederhana ini – untuk tidak mengatakan kurang layak – saya sesekali telah mendapat pengayaan jiwa. Berikut salah satu kisahnya.

“Kuliah dimana, mas?” “Oh, saya sudah bekerja, bu.” Seorang ibu di kursi

pojok belakang menanyai saya sembari meluruskan rambutnya dengan sisir – ah, inilah salah satu kelebihan para wanita, bisa berdandan dimana saja, dan dunia memafhumkannya. Dan pertanyaannya mengingatkan saya pada pertanyaan umum kesekian kali yang menilai bahwa saya masih seolah anak kuliahan.

“Kerja dimana?” Percakapan pun mengalir beriringan dengan deru angkot yang kami tumpangi. Sesekali tangan-tangan menghalau asap putih yang mencoba mendaratkan belaiannya di dahi. Menjepit hidung – meski tak mungkin bertambah mancung.

B

Page 33: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

23

Sang ibu, entah kenapa, bersemangat bertutur tentang kehidupannya. Padahal saya tiada kenal sebelumnya, pun tiada pernah menyentuh kisah pribadinya. Namun, kisahnya terlahir demikian bertenaga seolah air bah yang menjebol dinding danau yang tenang semula. Saya seolah sehamparan sajadah yang dipakai para pengeluh atas tangis dan peluh duka.

Dia adalah seorang wanita yang cukup tegas pembawaannya. Mungkin karena sejak kecil sudah harus mempekerjakan dirinya demi sepotong hidupnya yang sederhana. Sekolah, bekerja, lalu hiduplah. Bapaknya telah tiada sudah lama, dan ibunya pun lantas menyusul kepergiannya. Di usia dua puluh lima tahun – ia menanyai umur saya, dan lantas membandingkannya dengan umurnya ketika menikah – ia tinggal seatap dengan seorang pria yang menjadi suaminya. Orang Jawa Tengah. Dari sini, kisahnya semakin menghangat, membuat saya terlibat dalam tanya dan jawab.

“Mulanya saja, dia orang yang ramah, santun… Tapi setelah menikah? Huh!” Nada yang dinyanyikannya merambat mulai emosional. Dan sampailah dia pada kesimpulan bahwa lelaki Jawa Tengah itu kasar – yang bagi saya semua itu hanya belaian di telinga, tak berarti asumsi kuat apalagi aksiomatis.

Pernikahannya tersebut menghasilkan seorang putra. Ia dibesarkan oleh keluarga sang bapak. Akalku terpancing untuk menanyakan, “ Maaf ya bu, jika boleh tahu, dimana peran suami ibu?” yang kemudian berbalas kata, “Cerai!”

Ya, Tuhan… Sebenarnya saya tidak berniat untuk terseret lebih jauh ke dalam pusaran kerumitan rumah tangganya. Saya sekedar memperjelas apa yang mengusik logika saya terhadap kehidupan suami-istri yang idealnya terikat oleh urat-urat kebersamaan.

Barangkali tiga perempat perjalanan kami dipenuhi dengan ‘curhat’ yang emosional itu. Sama sekali tak saya sangkakan bahwa perjalanan hidupnya dipercayakan kepada saya untuk dibagi. Mungkin saya bisa menangkap apa yang diinginkannya saat ini.

Iya, sebuah pekerjaan! Dia telah sekian lama hidup sebatang kara. Suami

tiada di sisi, anak diambil keluarga si mantan suami. Ibu-

Page 34: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

24

bapaknya telah di alam baka. Hanya adiknya yang seorang buruh borongan tinggal bersamanya.

Bersemangat ia menceritakan riwayat pekerjaannya, tentang apa yang dia bisa, tentang kemampuan komputernya, tentang ketaksanggupannya berkomunikasi dengan orang Madura – yang karena perbedaan bahasa ia resign dari pekerjaan sebelumnya, tentang kerja kerasnya, tentang ketaksukaannya jika libur kerja – ia berharap setiap hari adalah hari kerja. Seolah-olah ia sedang menghadapi sebuah wawancara kerja – yang hal ini semakin menguatkan betapa butuhnya ia akan sebuah pekerjaan. Ia pun meminta kepada saya andai-andai saya punya lowongan kerja baginya.

Saya kala itu merasa heran juga, mengapa dipilihnya menjadi ‘pangkalan curhat’ secara tak terduga. Tiba-tiba. Kepada saya ia menceritakan tentang roman yang sedang dirasainya. Bahwa ada seorang duda yang mengingininya, namun sebab ketakjelasan niat dan rencana dari lelaki itu, sang ibu lebih memilih melupakannya saja. Ia pun pernah akan dikenalkan pada seorang pria oleh kawannya, dan kembali lagi berujung pada ketakjelasan. Dari suaranya, sepertinya ia telah demikian lelah menanggung derita hidup dan romantika kaum marjinal. Kisah ini telah menarik-narik rasa keingintahuan penumpang yang lain, terlebih ibu tersebut bertutur dengan suara yang lantang!

Saya tidak banyak berkata kecuali hanya anggukan – yang tak selalu berarti ‘iya’. Sudah sering saya menjadi tempat curhat oleh orang-orang yang lebih tua, baik ibu-ibu atau bapak-bapak – yang pastilah lebih rumit urusannya. Yang mana persoalan cinta menjadi masalah yang menduduki posisi teratas. Saya mengakui bahwa saya masih sekedar ‘tempat menaruh sebagian luka’ tanpa saya sediakan penawar yang memadai. Kebiasaan orang yang curhat adalah bukan mencari solusi serta merta, namun sekedar membagi gumpalan di batinnya yang bergemerutuk. Menjadi pendengar yang baik saya kira adalah pilihan terbaik, dengan jawaban-jawaban yang singkat sekedarnya. Pada kondisi yang lebih tenang, mereka akan menemukan cahaya yang sesungguhnya telah ada di sanubari masing-masing.

Pembicaraan itu harus berakhir di depan halaman sebuah pusat perkantoran dimana saya bekerja. Saya turun angkot tanpa memperhatikan air mukanya telah seperti apa.

Page 35: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

25

Saya hanya berharap semoga Allah akan mengurai kekusutan hidupnya, melapangkan dadanya, menyembuhkan hatinya yang telah tertusuk duri durja.

Batin saya kembali terasah. Bahwa membekali hidup dengan kekayaan jiwa adalah laksana mengaliri sungai panjang dengan mata air yang hadir dari berbagai tempat. Tempat yang mungkin tak terfikirkan. Meluaskan interaksi berarti menambah mata air – mata air yang akan menggenangi samudera jiwa – hingga kemarau tak mudah mengeringkannya. Semoga demikian…

*****

Page 36: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

26

Cahaya ketujuh:

Relativitas Emosi

alah satu penemuan terbesar dalam sejarah ilmu dan teknologi modern adalah dinyatakanlah hukum relativitas. Masyhur, hukum ini dilekatkan kepada ilmuwan pemilik

rambut keriting acak kadut – mungkin hal ini efek dari proses berpikir yang luar biasa sehingga rambut di kepalanya menuai badai. Walau bagaimanapun, ia telah mengukir namanya dengan indah bagi perkembangan peradaban manusia. Ialah Albert Einsten. Sang penemu konsep relativitas.

Relativitas bisa dengan sederhana dipahami dengan membandingkan dua kondisi gerakan suatu dua benda. Jika benda pertama bergeming sementara benda kedua beranjak ke tempat lain, maka kecepatan benda kedua tersebut akan ‘dirasakan’ berbeda apabila benda pertama ikut bergerak. Begitu pula jika kita melemparkan sebuah apel ke atas sementara kita berada di dalam sebuah kereta yang melaju, maka penglihatan kita hanya menyaksikan apel yang bergerak keatas, lalu kemudian jatuh ke genggaman kita lagi – jika beruntung, tangkas menangkapnya. Pada saat yang sama, orang yang diam di luar kereta akan menyaksikan bahwa buah apel tersebut tidak hanya ‘melompat’ namun juga ‘melaju’ searah dan secepat kereta yang membawanya. Begitulah kira-kira konsep relativitas.

Adapun emosi telah seringkali disalahpahami sebagai bentuk luapan kemarahan atau ledakan balas dendam. Pemahaman seperti ini telah menyempitkan ranah ‘emosi’ yang lapang dan kompleks. Emosi adalah apa saja yang kita rasa. Suka, sedih, galau, marah, kecewa. Emosi adalah rupa-rupa rasa-rasa. Emosi merupakan piranti yang telah diinstal oleh Sang Pencipta sebagai kelengkapan kemanusiawian manusia. Olehnya, kehidupan mewujud lebih bercitarasa seni.

S

Page 37: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

27

Jika dua terminologi tersebut disandingkan, maka jadilah relativitas emosi. Bahwa nilai rasa terhadap satu kejadian yang sama bisa demikian berbeda, relativitas emosi adalah pengalaman yang lumrah. Lazim. Ada di sekitar kita. Bahkan melekat di alam bawah sadar kita.

Suatu kali, pagi-pagi, saya melajukan motor bebek saya. Cukup kencang menuju tempat kerja sebab kali itu waktu pemberangkatan saya saja yang lebih benderang dari biasanya. Bersama angin yang menabrak-nabrak jaket hitam saya, tiba-tiba terbersitlah memori masa lalu, kala kayuhan sepeda menaklukkan kenyamanan pagi dan keterikan siang. Pada rute jalan yang kebetulan sama.

Ketika saya masih berseragam putih biru, sehari-hari saya harus menempuh sekitar 5 kilometer perjalanan untuk menjangkau sekolah SMP saya. Jika dihitung pulang-pergi, maka jarak yang saya tempuh bisa dua kali lipatnya. Cukup jauh. Apalagi jika jarak tersebut harus ditapak sejengkal-sejengkal dengan kayuhan sepeda onthel – atau disebut ‘sepeda’ saja biar ringkas. Bila ‘diperparah’ lagi, bolehlah saya tambahkan suasana yang panas membakar, dan kadang hujan menderas. Belum lagi dengan mobil-mobil besar yang serakah memakan badan jalan, bahkan hingga ke tepian, membuat penunggang sepeda (biker) kehilangan lahan perjalanan. Sesekali pun ban sepeda saya harus menggilas kerikil dan tanah berlumpur di kanan kiri jalan aspal.

Hampir tiga tahun, rutinitas itu terlewati. Rasanya, ya mengalir begitu saja. Tanpa keluhan berarti. Tanpa pikiran yang rumit membelit. Tanpa pertimbangan terpaparnya kulit saat mentari menyengat menggigit. Tanpa ragu menembus belantara hujan yang menghunuskan jarum-jarum air dari langit. Dan semua itu menjadi persoalan yang mungkin menelan banyak pertimbangan sebelum benar-benar berani melakukannya lagi. Mengulanginya lagi.

Perasaan kini merasa begitu jauhnya jarak antara tempat bernaung saya dengan tempat saya mereguk ilmu-ilmu SMP yang dialir-percikkan dulu. Secara matematis, jarak itu tidak berubah. Namun secara rasa, secara emosi, jarak itu memanjang berkali-kali. Dan inilah salah satu kisah teramat sederhana yang menguatkan adanya relativitas emosi.

Salah seorang psikolog, yang kebetulan kenalan baik saya, pernah menyatakan bahwa kondisi sosio-ekonomi

Page 38: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

28

seseorang mampu membuat relativitas emosi. Para bangsawan akan merasa amat tersiksa seandainya harus berjubelan di pasar tradisional yang amat konvensional. Sementara kaum proletar cuek bebek saja menikmatinya. Celoteh para pedagang yang mati-matian mematok harga barangnya dan para pembeli yang merayu-rayu sang pedagang agar harga barang mampu dipinang kantong tipisnya tak ubahnya nyanyian sinden terkemuka di altar keraton. Tas berbanderol seratus ribu hanya sekedar benda lewat di depan mata tanpa ada lirikan yang terpaut di mata kaum berpunya. Tas-tas produksi luar negeri yang berjuta-juta bahkan berpuluh-puluh juta justru liar mencatut hasratnya. Yang jauh tidak demikian bagi kaum tak berpunya. Barang yang sama, kondisi yang sama, ‘perasaannya’ berbeda.

Saya dulu tak memikirkan hal yang macam-macam untuk bersepeda pulang pergi ke sekolah. Namun kini, di atas kendara motor, rasanya wegah sekali bila menempuh jarak ke sekolah itu dengan bersepeda. Entah nanti jika saya dikaruniai mobil. Apalagi yang mungkin saya rasa. Padahal dulu rasanya nyaman-nyaman saja bersepeda.

Pulang sekolah berpanas-panas ria, memunggungi mentari yang berkobar gerah. Lantas singgah sejenak di sebuah warung kecil yang menjual es setrup dan gethuk yang berwarna-warni. Wah, rasanya begitu nikmat kala itu. Atau ke penjual gorengan dan es tape di pinggir jalan. Segarnya begitu menagihkan. Dulu.

Kini, emosi telah berbeda. Sebisa mungkin jangan terpapar mentari sebab sinar UV A dan UV B bisa merusak jaringan kulit. Kurangi minum es setrup, “Ada sakarinnya!” Jangan makan gethuk warna-warni, “Ada rhodamin B-nya!” Tak perlu lagi jajan di pinggir jalan, “Banyak debu dan kuman yang berterbangan dan mungkin menempel di makanan itu!” Kini, pertimbangan-pertimbangan analistik-logik mendominasi apa saja keputusan yang akan saya buat. Relativitas emosi telah benar-benar saya alami. Mungkin Anda juga!

Namun, apakah relativitas emosi ini adalah hal yang buruk? Tentu tidak. Ini hanya bagian dari respon perasaan kita terhadap sebuah kondisi yang amat mungkin berseberangan dengan perasaan orang lain. Censor dan processsor rasa itulah yang menimbulkan ekspresi berbeda. Kedua piranti itu amat erat kaitannya dengan pengalaman, pengetahuan, watak

Page 39: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

29

(di komponen komputer bisa disebut motherboard), sosio-ekonomi, dan lain sebagainya.

Noktah yang perlu kita perhatikan terkait relativitas emosi ini adalah sejauh mana berkah yang mampu tertangkap oleh sensor rasa kita. Lantas menangkarnya dalam kotak processor rasa yang kita punya. Bagaimana kondisi tertentu bisa bermakna kebaikan yang bertambah. Sebagaimana makna ‘berkah’ yaitu kebaikan yang bertumbuh dan berkembang, begitulah seharusnya kita mengasah rasa agar adanya relativitas emosi ini menjadi hikmah.

Nenek saya dulu sempat mengatakan bahwa di zamannya dulu, bau yang dikeluarkan oleh nasi saja sudah sedemikian menggoda dan nikmat. Sewaktu zaman penjajahan dulu memang tidaklah mudah mendapatkan segenggam nasi. Apalagi ikan, ayam, maupun daging sapi. Makan nasi saja telah menyeruakkan kebahagiaan di relung hati. Maka bagaimanakah jika kita saat ini hanya disuguhi nasi tanpa lauk, sayur, kerupuk, sambal, dan aneka aksesoris lainnya? Tidakkah kita merasa bahwa ada sesuatu yang hilang? Iya, mungkin itu adalah berkah yang hilang.

Perjalanan saya kali itu telah mempertemukan saya dengan relativitas emosi. Sementara relativitas emosi ini mengantarkan saya pada perbincangan batin tentang rasa dan berkah. Mungkin saja hal besar yang kita miliki atau lakukan hanya akan dirasai sebagai hal kecil bagi orang lain. Dan demikian sebaliknya. Keberkahan menyebabkan kebaikan yang tak seberapa membunga-buah kebaikan tak terkira. Kualitasnya menguar, meluas, melebar, melampaui bentang batas kuantitasnya.

Sebagaimana dalam sebuah hadits Nabi saw. yang menggambarkan sebuah potret keberkahan, nanti di akhir zaman.

“Akan diperintahkan (oleh Allah) kepada bumi: tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor onta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras, susu

Page 40: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

30

seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah.” (Riwayat Imam Muslim).

Hadits tersebut meneguhkan bahwa berkah adalah kualitas kebaikan yang melampaui kuantitasnya. Jika kita sulamkan dengan hukum relativitas emosi, maka semoga kebaikan kita yang kerdil menjelma raksasa. Seremah serasa sebongkah. Jauh terasa begitu dekat. Yang sederhana terasa luar biasa.

Page 41: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

31

Cahaya kedelapan:

Terdera di Bibir Senja

da baiknya memang bagi kita untuk melakukan kebaruan-kebaruan dalam aktivitas keseharian. Tak harus baru secara revolusioner, tak pula harus

monumental, yang penting baru. Dalam hal-hal kecil dan sederhana, kita bisa menciptakan pengalaman baru tanpa upaya yang teramat ngoyo.

Sebagaimana kebiasaan Nabi Muhammad SAW. yang mengambil jalan pergi berbeda dengan jalan pulangnya, kita pun mampu melakukan hal yang sama. Ya, mungkin tak persis sama karena esensinya adalah semangat menciptakan kebaruan. Kebaruan yang mampu mengayai jiwa. Menginsafi diri.

Saya memang terbiasa naik angkot langganan. Saking seringnya naik angkot tersebut, saya bahkan saling mengenal dan berinteraksi dengan banyak penumpang lainnya yang juga menjadikan angkot tersebut sebagai kendaraan wajibnya. Kita bahkan serasa sebuah keluarga mobile di jalanan. Nah, sesekali saya mencoba naik angkot lain. Mencoba suasana lain. Menemukan cerita yang lain sehingga waktu perjalanan saya ke kantor menjadi lebih kaya warna.

Pagi itu, saya tak menunggui angkot langganan saya. Saya nyemplung saja di sembarang angkot yang bersiap-siap menancap gas. Meski angkotnya agak keriput – untuk tidak mengatakan butut – dan warna merah body-nya yang sudah menyemu – untuk tak menyebutnya mbulak – tak masalah jika saya harus bertengger di dalamnya untuk durasi sekitar satu

A

Page 42: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

32

jam saja. Berharap sepanjang perjalanan akan lempeng-lempeng saja. Tak ada aral merintang yang serius.

Angkot mulai melaju setelah sekian lama ngetem menanti sebuah anggukan calon-calon penumpang yang diteriaki oleh sang kernet. Malasnya, sang kernet kadang kurang sensitif dalam mengenali siapa-siapa orang di tepian jalan yang hendak naik angkot. Sehingga, tidak jarang penumpang yang sudah lama “i’tikaf” di dalam angkot yang gerah terang-terangan mengadu dan saling curhat tentang kelambanan sang kernet.

Angkot tersebut sebenarnya adalah mobil Elf yang idealnya berkapasitas 12 orang, sudah termasuk sopir. Namun, untuk mendapatkan untung yang lebih, maka sopir dan kernetnya bisa membengkakkan kapasitas hingga dua puluh orang. Kalau angkot penuh ada enak dan tidaknya. Tidak enaknya yang pasti wilayah tempat menaruh pantat kita menyempit, bahkan kaki-kaki harus dilipat rapat. Lebih parah lagi jika ada penumpang dengan ukuran jumbo dengan kadar kenekatan yang spektakuler mengisi bangku tengah. Selain menyesakkan duduk penumpang lain, penumpang “super” tersebut bisa memicu kemacetan internal, yang menyumbat arus penumpang yang hendak naik-turun. Sementara enaknya jika penumpang penuh adalah angkot melaju dengan lebih cepat, sopir tidak toleh kanan-kiri, tapi khusyuk menjalankan mobilnya ke depan seperti dipakaikan kacamata kuda.

Dalam angkot yang saya naiki ini, ada lima blok kursi penumpang. Yang ada di samping pak sopir berkapasitas dua orang – kalau dipaksa lagi bisa muat tiga orang. Bayangkan saja! Di bagian body-nya, ada empat blok yang masing-masing mampu menampung empat orang. Kali ini, saya mendapat singgasana di blok ketiga dari depan. Lumayan tidak terlalu sempit, mengingat tidak banyak “manusia jumbo” di samping saya.

Beberapa ratus meter dari tempat semula saya mempercayakan perjalanan saya, suasananya sesuai dengan yang saya harapkan. Lempeng-lempeng saja. Namun, kemudian suasana menjadi riuh rendah, heboh, ramai, dan miris.

Hal ini berawal dari sopir yang memberhentikan mobilnya, lalu kernetnya menaikkan seorang nenek yang sudah amat tua. Wajahnya keriput dengan selempang

Page 43: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

33

kerudung bemotif bunga-bunga di kepalanya. Ia mengenakan jarik sebagai bawahannya. Sekilas nampak noda-noda keabuan di pakaiannya. Sepertinya jamur yang membentuk pola bulat-bulat. Suaranya patah-patah dan lemah. Jalannya pelan bagai mengejar siput. Bahkan untuk naik ke mobil harus dibantu oleh sang kernet dan beberapa penumpang yang kebagian tempat duduk di dekat pintu masuk. Dan, hiruk pikuk mulailah bertepuk-tepuk.

Suasana segar pagi hari itu menjadi demikian memburuk. Nenek tersebut naik ke mobil dengan menguarkan aroma yang semriwing sampai bikin penumpang lain pusing. Jelas bukan wangi, tapi bau yang memuakkan. Baunya super duper enek. Orang Jawa biasanya mengkategorikan bau ini sebagai bau lebus yang berasal dari pakaian kotor yang ditumpuk dan telah berhari-hari tak pernah dicuci.

Sang nenek diminta oleh kernet untuk duduk di blok kedua, namun ia memaksa untuk duduk di blok ketiga dimana saya sedari awal menguasainya. Ah, pastilah saya mengalah, menyerahkan singgasana saya tanpa perlawanan apa-apa. Saya pun berpindah ke kursi di blok kedua. Namun, hal ini sama sekali tak memperbaiki suasana.

Seluruh penumpang meramai. Merutuki kenaikan sang nenek tersebut. Seorang penumpang di blok dua akhirnya keluar mobil dan berpindah ke kursi di samping sopir yang kebetulan masih kosong. Sang nenek seperti tidak merasa bahwa dirinya sedang menjadi amuk perasaan massa. Mungkin karena dia sudah demikian senja sehingga kurang awas lagi dengan sekitarnya.

Baru beberapa meter angkot melaju, gelombang aspirasi massa penumpang kian tak terbendung. Hampir semua mufakat untuk melakukan impeachment kepada nenek tersebut.

“ Ayo! Turunkan nenek ini!” “Aduh! Baunya ga nahaaaan… huweekk…” Saya sendiri

seolah berada di kedalaman laut pantai selatan. Susah bernapas karena sengaja tidak bernapas lepas biar bau lebus itu tidak membelai indera penciuman. Seorang ibu-ibu paruh baya sudah mulai membalur-balurkan minyak angin aroma terapi yang berbentuk roll on. Apakah berpengaruh? Tentu tidak! Lebus itu telah membekap seluruh hawa, bahkan aroma terapi pun tak digdaya. Oh, apakah kami masih bisa bernapas

Page 44: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

34

lega sampai di tempat tujuan kalau nenek ini masih di dalam kendaraan?

Akhirnya, sopir memberhentikan kendaraan. Sang kernet meminta nenek itu untuk turun. Namun, sang nenek meronta. Sang kernet membujuk-bujuknya. Namun, tetap saja sang nenek kukuh menduduki kursinya. Dan, kejadian miris pun terjadi.

Sang kernet yang telah kehabisan kesabaran menarik-narik paksa tangan sang nenek. Insan senja itu seakan pesakitan yang harus segera disingkirkan. Tangan layu itu harus melawan tangan kekar seorang kernet. Entah tindakan sang kernet itu sebuah heroisme ataukah sadisme. Heroisme bagi mayoritas penumpang, dan sadisme bagi sang nenek seorang. Yang pasti, ia tak akan sanggup jika seluruh penumpang lainnya turun dan kabur meninggalkan angkotnya – ia pasti rugi – demi seorang nenek yang baunya amat amit-amit.

Saya sebenarnya tak tega menyaksikan peristiwa memprihatinkan ini di depan mata. Hanya saja saya pun tak kuasa untuk menghentikannya. Seorang nenek meronta-ronta agar dibiarkan saja berperjalanan di angkot yang sama. Sampai sang nenek telah mendarat di tanah, saya mengibainya. Masya Allah, jalanan ini keras sekali.

Kendaraan kami kembali menyusuri jalan, meninggalkan nenek itu yang seperti kebingungan. Meski sudah beberapa menit kendaraan melaju, aroma nenek tersebut seolah menjadi warisan bagi penumpang lainnya. Wah, hebat juga ya “parfumnya!”

Sembari menanti kembalinya angin segar pagi hari, seorang ibu menuturkan bahwa nenek tersebut sudah pikun. Anak-anaknya sudah mengingatkan agar sang nenek itu tidak kemana-mana. Namun nyatanya, dia masih bisa berkeluyuran tanpa tujuan yang jelas. Dan hanya satu hal yang jelas; baunya minta ampun!

Ya, pikun. Penyakit yang sering menjangkiti para insan senja. Sebuah kondisi yang menunjukkan gejala penurunan fungsi otak manusia. Banyak insan senja yang harus merasainya. Membuat hampir seluruh keluarganya kerepotan dibuatnya. Bahkan tak sedikit akhirnya insan senja ini “disekolahkan” di Panti Werda. Sebuah play ground bagi segenap insan senja yang bersiap menjemput seruan maghrib.

Page 45: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

35

Setiap fase kehidupan memang mempunyai tantangannya sendiri-sendiri. Anak-anak ditantang untuk menemukan dan mempelajari berbagai cara hidup seorang manusia. Remaja ditantang untuk menemukan jati dirinya. Orang dewasa ditantang untuk mengharmonikan berbagai dinamika hidup sehingga ada kebaikan bagi keluarga dan orang di sekitarnya. Sementara kaum yang telah renta, ditantang untuk mempersiapkan pertemuan dengan tanah yang akan menidurkannya.

Insan senja sering mengalami dilema. Antara keegoannya untuk tetap membersamai anak-anaknya dan kenyataan bahwa pada akhirnya mereka memang harus rela berpisah. Seperti pembicaraan saya dengan seorang nenek juga di kesempatan lainnya. Tepat di bulan puasa berbilang tahunan lalu. Ia sendirian pulang kampung dari pasar Pucang di Surabaya. Kami naik angkot yang sama. Bersisianlah kita. Ternyata kita menuju tempat tujuan yang sama. Sehingga sepanjang perjalanan ia pun berkisah-kisah.

Tahukah kamu apa yang dilakukannya di pasar Pucang? Ia berdagang sayur mayur. Dimana tepatnya ia tinggal? Yup, di atas lapak jualannya! Itu sekaligus rumahnya. Tahu sendirilah kalian bagaimana kondisi pasar tradisional. Kumuh, kotor, banyak tikus dan kecoa. Ya, keadaan yang kurang beruntunglah yang membuat wanita renta itu harus sehari-hari tidur dan berjaga disana. Sendiri saja!

Ia tiada canggung bercerita tentang keluarganya yang membuat rasa prihatin. Anak-anak yang mereka besarkan dari buaian kini telah terbuai dengan hidupnya sendiri hingga sang nenek berada di sisi dunia yang lain. Terasing. Sesekali ia merutuki kerasnya kehidupan yang harus ia jalani. Menghembuskan kekesalan yang menyesak. Di pahatan kerut wajahnya, tersimpan kekecewaan yang mendalam. Entah siapa yang salah hingga mereka harus berbalur luka senja.

Alasan utama kepulangannya adalah karena dia merasa sakit beberapa hari. Tidak ada yang tahu sakit apa yang menderanya. Renta sudah tak nyana membuatnya kalah. Dia masih berusaha untuk berpuasa. Dia tidak sahur dengan nasi. Seringnya malah dengan air saja. Jika sahur dia kurang berminat untuk makan nasi. Kaca-kaca perasaan saya semakin mengembun. Tidak tahulah kapan ia terkondensasi lantas menjadi rintik yang terpilu.

Page 46: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

36

Ah, ternyata senja pun tak hanya melempar lembayung. Ada warna-warni yang menyelainya. Mungkin tak selalu melengkungkan segaris pelangi. Hanya noktah kecil yang bersembunyi di sebalik kaki langit. Lalu hitam menjadikannya penikmat malam.

Page 47: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

37

Cahaya kesembilan:

Mengeja Misteri : Dari Pernikahan sampai Perjalanan

Tak Terduga ke Tanah Suci

isteri. Tabir gelap memagari. Pandangan samar atau punah sama sekali. Dipegang bagai angin berlari, menghindar dekapan jemari. Misteri itu seni. Ia diam,

anggun, malu-malu bersembunyi. Menunggu sampai memang waktunya ia mewujud diri. Saat tabirnya koyak oleh cahaya berseri, jelaslah sudah apa yang sebelumnya rapat tertutupi.

Saat-saat penyingkapan misteri itulah ada rasa terkejut, kaget, kagum, atau mungkin saja kecewa lara. Tanpa terduga. Datang bersama cahaya yang menyeruak dari kamar hitam nan temaram. Menyentak kesadaran. Membelalakkan pandangan. Mengusik jiwa yang tenang. Kadang pula meriuhkan guncangan perasaan yang ribut bergemeretak. Kala kamar misteri telah retak, tersingkap sudah rahasia-rahasia terserak.

Baik sedih-suka, tangis-tawa, sempit-lapang, berhasil-gagal, dan aneka paduan antonim, sesungguhnya tidak lain adalah misteri sebelum Tuhan menitahkan salah satunya untuk menampakkan diri. Seringnya – dan memang demikian – manusia tak memiliki wewenang apa-apa untuk menentukan label hal-hal yang masihlah misterius dalam hidupnya. Ia tak bisa menentukan sukses selalu dalam setiap usahanya – sebagaimana tak mungkin gagal melulu. Ia tiada mampu menjadikan segala urusannya hanya tentang tawa dan suka-suka – sebagaimana tak mungkin tangis selamanya. Sama sekali tidak. Namun manusia teramat didorong untuk

M

Page 48: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

38

mengarus-utamakan harapan positif dalam menanti terbukanya pintu-pintu misterius dalam hidupnya.

Barangkali kita pernah bertanya, “Mengapa harus ada misteri di dalam kehidupan kita?”. Ah, ya! Perlu dicatat bahwa misteri tak serta merta mengarah kepada “dunia lain” yang menyeramkan. Misteri adalah keterhijaban. Belum bermandikan cahaya benderang. Masih tenggelam dalam samudera kegelapan. Nah, kembali pada pertanyaan yang membuka paragraf ini, jawaban saya sederhana saja. Adanya misteri itu adalah untuk mengajari manusia tentang berpengharapan yang baik-baik dalam keadaan sulit atau yang nampak tidak mungkin sekalipun. Adanya misteri adalah untuk megnhindarkan jiwa dari berleha-leha karena telah tahu sebuah hasil sebelum Tuhan menyibak tirai hitam yang menyelimuti keputusanNya. Dan, misteri itu ada agar hidup kita lebih “berasa” kala titah-titah Tuhan muncul secara seketika. Tak terduga. Sama ketika ada hantu tersenyum dan menyapa Anda secara tiba-tiba. Bagaimana rasanya? Lebih “berasa”, bukan? Hehehe...

Dalam tulisan kali ini, saya ingin membagi peristiwa pecahnya salah satu bola misteri di kehidupan saya. Ia datang tergesa. Lalu memapah langkah pada sebuah perjalanan tak terduga. Tak terencana.

Kami datang kepadaMu...Kami datang kepadaMu...Kami datang kepadaMu...Kami datang kepadaMu... Apakah engkau pernah bertanya kepada seseorang,

atau setidaknya sekadar mendengar sambil lalu sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada seseorang yang berdaya, “Kapan engkau ke Baitullah?”

Kepada orang yang belum menguratkan azzam-nya untuk ke tanah yang diberkahi tersebut, jawaban klasik adalah balasan yang kerap dilayangkan dengan mantap. “Belum dipanggil Allah nih”, demikian kiranya rangkuman keraguan yang menimpa ruang kesungguhan yang sejatinya perlu diinisiasi dan dilecutkan. Sebuah alibi yang paling aman untuk sebuah penolakan yang membahayakan keimanan. Padahal kewajiban ke tanah suci sudah dilencanakan di pundak kaum berpunya dan berdaya, jika kemudian kaum itu belum “dipanggil” atau sengaja menghindar dengan gaya klasikal, bukankah ada lembar-lembar iman yang rapuh dimamah rayap-rayap nakal?

Page 49: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

39

Saya tidak hendak memarahi sesiapa, tidak pula menyudut-pojokkan orang-orang yang belum “dipanggil” olehNya untuk bertamu di “kotak hitam” kebanggaan umat. Saya sedang berharap agar kisah yang akan saya bagi ini merupa sebentuk percik api yang menyulut bara. Atau riak-riak kecil yang mengundang gelombang raksasa. Sejumput semangat untuk menuju RumahNya.

Semenjak Ramadhan 1432 H / 2011 M, saya secara tidak sengaja mencadai kawan dengan keinginan sekelebat saya untuk melakukan umroh. Dalam berbagai diskusi dan balas membalas komentar, saya sering menyisipkan keinginan saya untuk berangkat umroh. Seringnya masih dalam taraf pelengkap canda, semisal, “Tolong bantuin saya membuat artikel tentang Ramadhan ya, nanti saya bayar pake tiket umroh. Okay! :DDD”. Tidak lupa saya menaruh emoticon sebagai pemanis “bualan” kala itu. Hehe... Dan, hal demikian berlangsung sampai kemudian candaan itu menunai penguatan niat di beberapa bulan menjelang Ramadhan 1433 H / 2012 M.

Perlu saya utarakan juga, bahwa saya masih mempunyai seorang ibu yang kondisi kesehatannya sedang tidak baik dalam setahun belakangan ini. Bahkan ibu sempat dirawat inap dua kali di rumah sakit swasta karena hipertensi. Semenjak pulang, ibu sering mengeluhkan tulang pinggul dan pahanya. Seperti ada duri di dalam tulang yang menusuk-nusuk terlebih ketika sholat. Dan, sedihnya, ibu sebenarnya sudah sekian lama merasakan sakit “tambahan” ini sejak lama. Dipendamnya keluhan itu. Dijadikannya sekadar sakit saja.

Akhirnya ada seseorang yang menyarankan agar ibu mengkonsumsi susu kalsium untuk mencegah osteoporosis. Ya, tidak lama saya pikir, pilihan pun jatuh pada sebuah susu kalsium yang mencolek niat saya dulu untuk berangkat umroh. Susu ini sedang mempromokan paket hadiah Umroh Ramadhan 1433 H. Maka saya pun menjadi rajin membelikan susu ini untuk ibu. Alhamdulillah, rasa yang menukik di dalam tulang pinggul dan paha ibu berangsur-angsur menguar. Segala puji bagi Dia Yang Maha Menyembuhkan.

Kotak-kotak kemasan susu kalsium yang saya beli tersebut, tak semuanya berujung di kotak sampah. Saya potong dan ambil bagian yang tertera barcode di atasnya. Ah, kau tahu? Itu semua saya lakukan untuk mengikuti promo Umroh

Page 50: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

40

Ramadhan yang diadakan oleh produsen susu kalsium itu. Saya katakan pada ibu, “Bu, saya mau kirim kemasan susu ini. Siapa tahu nanti saya mendapat undian umroh-nya? Kalo menang kan lumayan bisa berangkat berdua. Hehe...” Penyampaian saya itupun berbalas senyum yang menenangkan dari ibu. Entah, antara yakin dan tidak saya bakalan menang nantinya. Toh, dengan rajinnya saya membeli susu kalsium ini, kesehatan ibu menjadi lebih baik sehingga sekiranya nanti tidak mendapat hadiah umroh, saya mendapat hadiah kesehatan ibu.

Saya telah mengirim dua amplop berisi potongan kemasan yang ber-barcode ke alamat undian itu. Setiap amplop berisi dua potong barcode. Sambil terus menyenandungkan harapan, menyeringkan doa, dan ketawakkalan, hari dan bulan mengalun seirama pergantian siang dan malam.

“Ya, Allah! Hamba yang lemah dan penuh dosa ini ingin menuju RumahMu yang mulia. Maka perkenankanlah hamba berteduh disana walau sebentar saja...”

Di bibir bulan Juni 2012, saya mendapat kabar – mungkin lebih tepatnya tawaran – bahwa ada proposal pernikahan yang barangkali sesuai dengan kriteria yang saya harapkan. Ohya, sebagai info penting [atau tidak penting ya? ☺] saya telah sekian bulan menanti jodoh. Telah beberapa “proposal” yang singgah di ruang baca saya, namun dengan alasan satu dan sekian hal [alasan ini klasikal banget kan? ☺] proses menuju ke jenjang yang lebih serius pun terhenti. Diam. Dan saya saat itu telah di tepian jurang. Sekiranya angin meniup jiwa ke perut jurang, tidak akan pernah saya membencinya. Jiwa telah berserah diri sepenuhnya pada Sang Penguasa Angin. Dia pasti membawa jiwa saya pada lereng berlabuh yang sudah Ia tentukan sekehendakNya.

Istikhoroh ditegakkan. Hati telah dikokohkan. Pilihan telah jatuh kemudian. Siap! Saya lanjutkan!

Namun, dari pihak calon istri meminta agar pernikahannya dilaksanakan secepatnya. Sesegera saja. Tak perlu yang wah dan mewah-mewah. Akad nikah dengan niat yang suci lebih utama. Kembali, segera saja! Sebab tiga minggu lagi calon istri ingin umroh bersama suami barunya. Secepat itukah?

Page 51: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

41

Segala yang di sekeliling berpusar cepat. Adrenalin menghentak-hentak jantung. Permulaan tidur bukan kantuk lagi, namun pikiran-pikiran tentang bagaimana saya bisa menaklukkan waktu yang terbatas. Mengkondisikan keluarga yang perasaannya seperti gunung yang diguncangkan – terutama ibu, kondisinya sempat menurun memikirkan pernikahan yang begitu menggesa jiwa. Namun, Allah telah membuka kanal-kanal mata air untuk saya menuju muara pernikahan nan indah.

Permasalahan tidak berhenti di titik ini. Bagaimana dengan biaya umrohnya? Saya harus merogoh dalam-dalam kantong celana. Ups, sepertinya tidak cukup untuk biaya umroh berdua. Bagaimana ini? Saya telah menyanggupi permintaan calon istri untuk umroh bersama. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Sekiranya undian umroh itu segera diumumkan, hamba teramat sangat ingin menjadi salah satu pemenangnya. Sehingga hamba tidak terkendala belitan dana. Oh, Allah... Sesungguhnya jika Engkau berkehendak, maka tiada sesuatu pun yang kuasa menghadang KemauanMu. PadaMu, hamba menyerahkan segala urusan...

Lantas sebuah pemberitaan dari pihak calon istri datang menghampiri. Menukar segala gundah. Menawar segala galau. Menikam bimbang yang membelukar bersemayam. Lalu cahaya mulai semburat menyibak tirai malam.

“Umroh ini adalah hadiah untuk pernikahan kalian...” Subhanallah... Entah bagaimana saya harus menuliskan keterkejutan

ini? Hanya sedikit saja kekata yang sanggup mewakili syukurnya hati. Sementara gumpalan-gumpalan rasa memenuhi rongga dada kanan kiri. Semula kosong, seketika penuh terisi. Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustai?

Selalu ada jalan ke Baitullah. Tidak melihat seberapa miskin dan kaya hartanya. Biar tua, biar pun muda. Entah jauh, entah pula dekat. Allah yang akan mengatur bulatnya niat. Meski hampir mustahil karena kemampuan yang tinggal sekerat. Kembalilah pada Allah, yang menggenggam seisi dunia sekaligus akhirat. Pada kasus saya ini, siapa yang menyangka jika calon mertua begitu berbaik hati menghadiahkan umroh untuk calon menantunya yang ia kenal dalam pertemuan yang demikian singkat?

Page 52: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

42

Sebelumnya jalan menuju Baitullah masihlah di kolong misteri. Tak sesiapa mampu menduga bagaimana ia bermula dan diakhiri. Tak jua diri ini yang tak sempurna berdikari. Namun bermunculan tangan-tangan tak terlihat, berdatangan kesana kemari. Menyalakan lilin-lilin kecil dalam gelapnya perjalanan tanpa rembulan dan matari. Allah selalu mendengar dendang niatmu, kawan. Cukup kau meliatkannya, mengupayakan semampunya, dan menaruh hasilnya di kotak penampungan doa. Allah akan menuntunmu pada niat mulia dengan penyampaian terbaikNya – yang bisa jadi tak terduga-duga.

Potongan-potongan hari kita sesungguhnya dipenuhi misteri. Membuka banyak pilihan yang kadang tak pasti. Namun janganlah menyikapi ini dengan apatisme dan kemalasan tak berdalih. Sungguh, misteri itu juga bagian dari ujian Ilahi. Bukankah meyakini hal yang ghaib, yang masih misteri, adalah bagian dari paket iman Islami?

Justru dalam keterhijaban itu, kita memiliki banyak pilihan untuk meyakinkan diri bahwa apa-apa yang akan terjadi pada kita nanti semuanya kebaikan. Kita hanya perlu berbaik sangka kepada segala keputusan Tuhan. Dan Allah sesungguhnya menuruti apa yang seorang hamba prasangkakan. Sehingga, berprasangka baik adalah pilihan terbaik untuk meraup sebanyak-banyak karunia Tuhan.

Kita perlu meneladani kisah Sultan Al-Manshur Saifudin Qawalun dan ayahandanya. Sebait sejarah kecil yang begitu memesona. Ayahnya yang semula seorang budak, suatu masa mampu menjadi orang merdeka dengan menebus dirinya sendiri. Dengan dana sendiri yang ia kumpulkan dari arus keringatnya yang tak henti-henti. Pun, setelah dua tahun istrinya menyempurnakan masa penyusuan bayinya, sang ayah harus merelakan kematian istri yang amat dicintai. Sang ayah harus mendidik dan membesarkan putranya sendiri. Ia menyemangati putranya agar tegar di jalan Ilahi. Syahid adalah cita tertinggi. Mereka banyak mengalami kisah senang dan sedih. Namun apa yang mereka utarakan selalu senada sevisi. Ketika mereka mampu membeli kuda perang terbaik dari tabungan mereka bertahun-tahun, mereka berkata, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah.” Begitupun ketika suatu ketika kuda mereka hilang, mereka seiya sekata menggumamkan kalimat penyerahan diri yang begitu dewasa. Para tetangga merasa

Page 53: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

43

prihatin dengan kejadian sedih itu. Selang beberapa hari, kuda itu kembali pulang ke empunya. Ia datang dengan gagahnya, lebih-lebih bahwa ia datang tak sendirian. Ia kembali bersama beberapa kuda liar yang kini berkerumun membersamai kuda anak-beranak itu. Subhanallah... Tetangganya terpasung takjub pada apa yang mereka persaksikan. Qawalun dan ayahnya, kembali berujar, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.” Demikian kalimat sederhana ini mereka sampaikan dalam menghadapi berbagai peristiwa yang masih misterius dalam kehidupan mereka. Sampai akhirnya sang anak menjadi seorang Sultan dan mereka meraih puncak tertinggi sebuah perjuangan. Syahid fii sabilillah.

Kita memang tidak tahu kesejatian di dalam kamar-kamar misteri kehidupan kita. Yang sejati hanyalah bahwa Allah mengiringi prasangka hambaNya. Sehingga tidak ada alasan kita untuk menyikapi misteri hidup dengan berburuk sangka. Menikam rahasia Tuhan dengan tuduhan salah. Tapi, hendaklah kita mengiringkan pengharapan yang baik pada setiap hal yang belum mewujud terang. Mengisahi misteri dengan keyakinan akan kebaikan. Dan membiarkan Tuhan menjatuhkan keputusan terbaik untuk setiap apa yang kita niatkan.

*******

Page 54: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

44

Cahaya kesepuluh:

TAFSIR-TAFSIR KAMAR MANDI

arangkali tempat yang paling tersembunyi dari suatu bangunan adalah kamar mandi. Tempat yang tanpanya sebuah bangunan sangat disarankan untuk tidak dihuni

dalam waktu cukup lama. Bisa menimbulkan bahaya. Konflik bisa saja tumpah ruah. Menggegarkan penghuni dan sekitarnya. Dan karena keberadaannya, perjalanan hidup manusia menjadi lebih indah dan berperingkat penuh martabat.

Mempertimbangkan kamar mandi, berbagai tafsir muncul, tersebar dan sangat subjektif. Tidak ada kaidah resmi untuk menafsirkan ruang paling privasi ini. Sehingga, tak ayal setiap manusia dengan bebasnya menentukan ijtihad terbaiknya. Tak mahasiswa, tak pula anak TK, keduanya mematok standar citra kamar mandi begitu khasnya. Tak profesor, tak jua privat tentor, semua mempunyai hitung-hitungan tersendiri tentang kamar mandi yang bersih dan yang kotor. Semuanya berhak berfatwa lantang.

Mantan guru SMA saya, suatu kali berujar. Hal pertama yang dirujuk ketika hendak tinggal beberapa hari lamanya di suatu rumah, tak lain dan tak bukan adalah kamar mandinya. Tentang lumut-lumutan yang dengan eloknya melukis tembok kamar. Tentang aroma khas yang menguap-uap. Tentang keberlangsungan suplai air. Tentang kelancaran jalur pembuangannya. Kamar mandi menjadi password sebelum menentukan singgah atau tidaknya.

Ada seorang ustadz yang sangat mencintai silaturrahim ke rumah murid-muridnya. Melihat bagaimana kondisi keluarga binaan-binaannya. Bagian dari bentuk ukhuwah yang

B

Page 55: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

45

menguatkan ikatan jiwa. Dalam kunjungannya, beliau kadang meminta izin untuk ke belakang, ke kamar mandi. Melewati hasta demi hasta bagian rumah sang pemilik karena biasanya kamar mandi berlokasi di bagian belakang rumah. Pojok pula. Sang ustadz biasanya mengamati peralatan dan perlengkapan kamar mandi muridnya. Dari situ, sang ustadz bisa menarik pedati berisi kesimpulan tingkat kesejahteraan seseorang. Produk-produk di kamar mandi merupakan personal care yang jenisnya merefleksikan tingkat kepedulian seseorang terhadap kesyukuran diri. Merek produk sabun, shampo, pasta gigi dan lain-lain menjadi indikasi kondisi finansial sang binaan. Dari itu, sang ustadz bisa mendapatkan gambaran secara cepat tentang keadaan keluarga sang binaan. Sang ustadz pun bisa menjadi lebih arif dalam menyikapi kelebihan dan kekurangan binaannya.

Di dalam sebuah kamar mandi, tipe Water Closet (WC) ternyata cukup menjadi pertimbangan serius dalam menunaikan “hajat”. Tidak asal, supaya tidak diganggu orang usil. Masih banyak orang yang sangat tendensius. Berkecenderungan menyukai WC Jongkok daripada ke WC Duduk. Saya pribadi lebih menyukai tipe yang pertama. Bukan karena saya manusia kolot penuh bolot. Bukan pula efek dari Suster Ngesot. Namun, kemudahan proses penyucian diri dan minimalisasi najis, cukuplah menjadi pijakan tafsir yang bisa saya pertaruhkan dengan otot.

Lain lagi cerita yang ini. Beberapa teman yang cukup “katrok dan muka suseh” ^_^ lebih suka menyebut menunaikan hajat dengan frase “meninggalkan jejak” . Sementara rekan kerja di kantor pernah uring-uringan karena menyaksikan “jejak” orang lain yang tak terhanyutkan dengan sukses di kamar mandi.

Kamar mandi merupakan tempat pertaruhan. Pertaruhan akhlaq yang sebenarnya. Kamar mandi adalah ruang paling privasi yang pernah ada. Semakin terjaga privasinya, semakin valid korelasi sikap di dalam kamar mandi dengan sikap di luarnya. Kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, hal yang ditampakkan dan hal yang disembunyikan, semuanya ada di kamar mandi. Jika seseorang itu menjaga kebaikan di dalam kamar mandi, dapat dipastikan dia adalah orang baik di luar sana. Hanya saja kita tidak

Page 56: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

46

diperbolehkan mengetahui sikap seseorang di dalam kamar mandinya. Karena hal itu amat sangat tidak penting! Heuheu

Ada satu hal yang tak terbantahkan tentang kamar mandi. Ia adalah area satu-satunya yang tak tertebas pedang tajam emansipasi. Tak tererosi oleh gerusan arus globalisasi. Kamar mandi pria tak akan dipakai oleh kaum wanita pejuang kesetaraan gender di dunia. Dan begitu pula sebaliknya. Kamar mandi wanita menjadi tempat haram bagi pria untuk memasukinya. Hanya ruang ini yang tak mampu dijebol pemandu sorak emansipasi. Salutlah kita pada kamar mandi!

Kita perlu belajar banyak dari ruang belakang ini. Tempat terakhir makanan dan minuman lezat yang kita konsumsi. Setiap orang akan dengan ikhlashnya melepas ampas dari bejana kompleks di perutnya. Menghilangkan jejak dengan segera. Menutup ruang bincang tentang “pemberiannya” kepada alam. Menyudahi pembicaraan tentang kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Dan bukankah begitu seharusnya kita beramal?

Seperti itulah tafsir bebas tentang kamar mandi.

Bagaimana dengan tafsir Anda?

******

Page 57: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

47

Cahaya kesebelas:

Hadiah : Cahaya Menyulam Cahaya

iranya tiada siapa pun yang tidak tertarik dengan cahaya yang olehnya mata kita menemukan merah, biru, kuning, jingga, dan sederet warna lainnya. Cahaya yang

memperkenankan mata menamai apa-apa yang dalam sapuan pandangan. Cahaya itu mengayakan selaksa rasa. Cahaya itu menghidupkan kegelapan.

Bagaimana jika seandainya pakaian yang kita kenakan tertenun dari benang-benang cahaya? Bagaimana jika wajah-wajah kita memendarkan kilau cahaya? Apalagi jika kita bertelekan di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya? Tidakkah kita mengingininya? Jawabnya telah mantab dan tegas. Ya!

Namun, ternyata seorang saja tiada pernah mampu memercikkan cahaya. Seorang saja hanya menarikan diam. Seorang saja tak lebih dari merayakan sepi. Lalu kisah-kisah pun surup bersama kidung sendu begitu. Suram menenggelamkan kejora, yang perlahan karam.

Allah telah mempertemukan kita pada ruang tanpa pernah ada praduga. Rasanya biasa saja, kali pertama. Kita sekadar manusia yang meminjam nyawa dari penguasanya. Lantas tiada terasa bahwa ada setitik cahaya di bilik kalbu kita. Apa itu? Aku juga tak yakin, sebagaimana denganmu juga. Kita biarkan saja. Begitu adanya. Yang ternyata titik itu menyeruak menghalau jelaga abu. Semakin benderang. Dan orang bilang itu cahaya iman.

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati-hati mereka (kaum mukminin), seandainya kamu membelanjakan dunia dan seisinya, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan

K

Page 58: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

48

hati mereka, akan tetapi Allah lah yang mempersatukan hati-hati mereka.” (Al Anfal: 63)

Duhai kawan! Ada rasa yang damai di kedalaman jiwa, kala kita berkumpul bersama. Melingkar. Melapang dada untuk ilmu dan cintaNya. Membawa kehangatan mentari pagi. Lalu bertemu dan berpisah karena Allah.

Dialah yang memantikkan cahaya di kalbu. Selanjutnya cahaya itu timbul tenggelam membersamai kualitas keimanan. Lalu kebersamaan kita dalam iman ini mengetuk semua pintu hati dari segala penjuru. Terbuka. Dan cahaya itu menemukan kumpulannya. Semakin riuh. Semakin terang benderang. Menyulamkan cahaya.

Mungkin inilah kelezatan iman yang dinanti para peyakin. Kelezatan yang sempat diperbincangkan Rasulullah Muhammad saw. dan para sahabatnya. Kelezatan yang teramat istimewa.

“Tiga perkara yang barangsiapa mendapatinya, dia akan merasakan manisnya iman, yaitu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi daripada kecintaan kepada selain keduanya, dia mencintai saudaranya dan dia tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, dia membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia membenci untuk dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setiap bersin berarti doa kelimpahan rahmat yang saling bertimpal beradu. Setiap ucapan-ucapan berujung zikir-zikir penginsafan nan syahdu. Setiap jabat tangan berlepasanlah dosa-dosa dari kekalbu. Dan senyum perjumpaan adalah keindahan surga yang dipetik para perindu.

Ketika dekat, salam kan terucap. Ketika jauh, doa terhatur dalam senyap. Satu dua kali saling mengunjungi. Semakin kasih dengan pemberian hadiah-hadiah. Tak harus mewah. Sudah cukup untuk meneguhkan ukhuwah dan menghilangkan kekotoran hati yang bernanah.

Ah, benang-benang cahaya ukhuwah ini semoga demikian liatnya. Sampai-sampai kita lupa, bahwa kita sebenarnya berbeda darah, berbeda daerah, berbeda rupa-rupa, namun ukhuwah telah meleburkan semuanya menjadi citarasa yang demikian indah. Benang cahaya ukhuwah telah menerobos batas-batas harta maupun takhta. Benang itu mengikat hati-hati yang telah berlumuran ukhuwah.

Page 59: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

49

Sungguh, kita masihlah insan-insan yang penuh salah, alpa, dan dosa. Terkadang aku menemukan air muka yang kering berkerut. Berselaput mendung. Lain kali kau yang menemukan itu di rona mukaku yang sedang kusut masai. Bukan. Bukan karena syaitan yang menipu kita. Mungkin ini lebih karena iman kita yang sedang dilanda kegersangan yang sangat. Sementara manisnya ukhuwah tak mungkin tersirat tanpa iman yang teramat.

Insya Allah. Ukhuwah ini akan tetap ada walau bagaimana. Ukhuwah fillah ini satu-satunya harapan kita agar benang-benang cahaya itu kembali tersulam rapi, dalam compang-campingnya hati ini. Selama benang ini tak terputus, kita masih punya mimpi berlabuh di menara cahaya yang melukiskan aurora di udara.

Maka perkenankanlah aku berukhuwah denganmu. Sehingga akan nyata sebenang cahaya yang menyulam. Terus demikian. Lagi dan kemudian. Sampai sebuah jubah tersulam dengan gemerlapnya iman. Dari cahaya.

Jiwa telah dikecam rindu akan nikmatnya ukhuwah. Kapan ia menjelma sejati-jatinya di antara kita. Sampai cahaya menyingsingkan selaput awan yang mencadari surya. Terbitlah sudah keceriaan musim semi. Wajah kita kan menyenyum berseri. Dari cahaya.

Biar saja para Nabi dan syuhada iri dengan jubah kita. Jubah dari cahaya. Maka jagalah ia. Jangan sampai ukhuwah ini patah belah bilah. Sebab hanya ukhuwah ini yang akan merupa benang yang menyulam pakaian cahaya untuk kita. Nanti di surgaNya.

“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah itu ada beberapa orang yang bukan nabi dan syuhada menginginkan keadaan seperti mereka, karena kedudukannya disisi Allah. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, tolong kami beritahu siapa mereka ? Rasulullah SAW. Menjawab : Mereka adalah satu kaum yang cinta mencintai dengan ruh Allah tanpa ada hubungan sanak saudara, kerabat diantara mereka serta tidak ada hubungan harta benda yang ada pada mereka. Maka, demi Allah wajah-wajah mereka sungguh bercahaya, sedang mereka tidak takut apa-apa dikala orang lain takut, dan mereka tidak berduka cita dikala orang lain berduka cita” (H.R. Abu Daud)

Page 60: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

50

Sebuah Suplemen Hati:

CINTA EMAK

ntahlah, kadang sulit memulai kata. Kata yang sebenar-benar lahir dari kedalaman jiwa. Jiwa yang telah dipahat oleh cinta. Cinta yang memuliakan manusia. Yang

kehebatannya menguatkan, sekaligus amat mampu meruntuhkan. Sesuatu yang mengikat jiwa-jiwa yang dipersatukanNya. Dan, jangan sampai melukai cinta dengan cara mengerdilkannya.

Aku mencintainya, dalam kadar cinta yang suci. Ia wanita, yang ibuku boleh beroleh surga pada telapak kakinya. Ia perempuan, yang bapakku boleh beroleh berkah atas ridhonya. Ridhonya adalah RidhoNya. Ia nenek, salah satu wanita kesayangan. Ia yang kupanggil “emak” dan demikian pula anak dan cucu-cucu lainnya memanggil seperti itu. Emak telah menuangkan segenap cintanya pada cawan cintaku. Dan aku benar-benar mensyukurinya.

Barangkali barisan-barisan kalimat yang aku tata sebaik barisan tentara tak pelak gagal merangkum kasih sayangnya. Kisah dalam kitab hidupnya teramat panjang dan berkelok, yang aku belum mampu mengkhatamkannya. Namun, jiwa lamat-lamat teringat-ingat oleh senyumnya yang memikat. Sejurus, ia hadir dalam lapang dan penat.

Samuah Syamsiati. Nama orang Jawa. Tidak tulen nama Jawanya. Sebab masih kearab-araban bahasanya. Belum pernah filosofinya terbagi dalam akalku yang terbatas. Hanya, sekilas aku menangkap adanya “mentari” dalam nama

E

Page 61: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

51

belakangnya. Dan ia memang mentariku, yang memerangkap rindu di kalbu.

Tahukah engkau bagaimana lembar hidupnya dibuka? Tahukah engkau bagaimana kitab hidupnya ditutup? Kata-kataku hanya jejaring yang berlubang, yang hanya menangkap potongan-potongan yang besar. Sementara remah-remah mutiara yang ia tebar boleh lolos dari jerat jaring kekataku.

Tidak ada orang lain yang memperkenalkan kakiku pada lumpur di sawah, selain Emak. Tiada tangan yang menyentuhkan tanganku pada air embun, hanya tangan Emak. Bukan, sama sekali bukan aku melupakan Ibuku jika aku berkata demikian. Ibuku punya episode epik lainnya. Saat ini hanya semata-mata tentang Emak. Yang telah pergi jasadnya, namun air mukanya abadi dalam sanubari.

Bagian hari-hari yang aku sukai adalah ketika Emak menuturkan masa lalunya. Zaman-zaman susah. Zaman penindasan dan kebringasan penjajah. Telingaku dengan khusyu’ mendengar Emak melahirkan kisah-kisahnya. Tentang kisah misteri, dimana dia pernah dihampiri seorang lelaki, menabraknya, lalu lelaki itu melaju ke dalam sungai. Maka tersebarlah kisah tentang buaya jadi-jadian yang terpikat pada Emakku kala masih belia.

Emak adalah wanita cerdas dari zamannya. Kala ia masih seorang murid di Sekolah Rakyat (SR), emak adalah primadona. Nilai ujian akhirnya nyaris sempurna. Sampai gulungan rambutnya memutih, masih segar dalam ingatannya tentang penyebab kenyarisan tersebut. 3,14. Itu adalah angka termashur phi dalam rumus lingkaran. Dan Emak salah dalam menempatkan komma-nya saja. Subhanallah…

Ia bahkan sempat dipamerkan di hadapan para gurunya bahwa Emak adalah siswa paling cerdas. Ia disalami dan diberi segumpalan kertas sebagai simbol penghargaan. Aduhai, betapa sederhananya! Betapa terbatasnya! Zaman susah, tak patut bermewah-mewah. Atau, mungkin saja karena tak ada biaya dari pemerintah untuk sekedar hadiah kecil untuknya. Aku sedih, tapi Emak tetap Emak. Bahagia.

Sebab ia seorang wanita, potensi agungnya lantas dipasung oleh budaya kuno di keluarganya. Sepandai-pandainya anak perempuan, ujung-ujungnya ke dapur juga. Emakpun menjadi pejuang di dapur, tempat asap-asap yang

Page 62: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

52

mengepul. Tapi, Emak tetaplah mutiara. Ia tak lantas redup oleh jelaga tungku nan hitam. Ia tetap bersinar!

Rasakanlah, selepas kepergian suaminya ke keabadian, Emak tidak pasrah bongko’an – pasrah tanpa berusaha untuk lebih baik. Ia tegar berdiri di atas kakinya sendiri. Menjalankan bisnis tempe. Kala itu, seingatku Emaklah satu-satunya penjual tempe di desa. Ia menjajakan tempenya bersama kayuh sepeda onthel-nya. Tangannya terampil membuat tempe yang gurih. Dan aku selalu riang jika membantunya menggilas kedelai seusai direbus untuk menghilangkan kulit arinya.

Emak adalah tipe orang yang tidak bisa diam. Dia akan melakukan apa saja asalkan dunianya bergerak sedemikian hingga ia tidak menganggur. Meski anak dan cucunya sudah bernafkah berkecukupan, ya, Emak tetaplah Emak. Seorang nenek yang rajin merawat kebun, menjual buah-buahannya – ada Mangga, Kedondong, Pisang, dan lain sebagainya – membuat kue-kue tradisional, dan mencari kayu bakar! Meski kami sudah mempunyai kompor gas elpiji, sama sekali tak mengurangi kecintaannya memanfaatkan ranting-ranting kering dan bilah-bilah bambu di kebun. Aku akui bahwa Emak begitu menyatu dengan alam. Jika makan ia lebih suka memakai lembaran daun pisang sebagai piringnya. Air minumnya dari sumur tua turun temurun di samping rumah. Airnya segar, jernih, dan tersentuh matahari. Kata Emak, air yang terkena sinar matahari itu lebih sehat. Entahlah…

Aku mencintainya, amat. Ia mencintaiku, lebih amat. Cintanya, cinta mentari yang sinarnya tak diharap kembali. Cintanya, sederhana. Cukup cinta saja. Harus kuceritakan episode ini. Emak suka menyimpan makanan, minuman, buah-buahan yang ia beli atau pemberian orang lain, dan diberikan khusus untukku. Ia menyimpan buah apel, lalu dengan bersemangat diberikannya buah itu untukku kala aku pulang dari kos di kota. “Aduhai, Emak! Itu buah yang biasa kumakan di kota.” Ia menyimpan roti tawar, lalu bersemangat membaginya denganku. “Emak, aku biasa makan roti yang lebih berkualitas dari ini.” Tapi Emak tetap Emak. Ia lebih memikirkanku dari apa yang pernah aku pikirkan tentangnya. Ibuku mengatakan bahwa Emak sering menangis jika di rumah banyak makanan sementara aku sedang berkelana menuntut ilmu, hidup di kos-kosan. Emak yang melantunkan namaku dalam kidung doanya

Page 63: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

53

di sepertiga malam. Kesuksesanku mungkin buah dari cintanya yang panjang tak berujung. Dan cinta itu membuatku meledak dalam duka. Saat kepergiannya menjemput Tuhan, Sang Pemilik Cinta.

Kesadaran akan kebermaknaan kehadiran Emak dalam hidupku telah datang sempurna. Namun sayang, pembuktian dan tindak lanjut atas kesadaran itu hanya bertahan beberapa bulan. Betapa waktu yang amat singkat untuk kebaikan yang telah Emak sepuhkan pada dedaunan kehidupan yang aku tumbuhkan.

Semenjak aku telah mampu – dan kesadaran tadi telah membulat sempurna – pada diri ini, aku menghibahkan segenap waktu dan tenagaku untuk menunaikan apa yang menjadi hajatnya. Terutama di akhir minggu, aku meluangkan waktu untuknya, menjadi “tukang ojek” pribadinya, menjadi teman bicaranya – kami membincangkan saudara-saudaranya, masa lalunya, tentang rerumputan yang memenuhi jalan menuju ladang, tentang keheranannya pada pesawat-pesawat yang berlalu lalang. Jika kami menonton televisi bersama, maka aku dan keluarga lainnya harus siap-siap terlibat diskusi yang macam-macam . “Itu benua Asia ya? Papua itu pulau terbesar di Indonesia, kan? puncak Monas itu dari emas murni loh!” Dan mungkin tinggal aku saja yang setia meladeni pengetahuan dan rasa keingitahuan yang besar darinya.

Mungkin firasatku saja, bahwa keberartian dirinya semakin menguasai diri seiring dengan kekhawatiran akan kehilangannya. Perasaan ini membuat langkahku cepat-cepat menjadi seseorang yang berarti baginya. Dalam kadar yang aku bisa.

Di sebuah keberkahan hari raya, mata kami bersitatap dan kusadari bahwa Emak telah senja. Pada guratan di wajah dan tangannya, tersimpan epik yang telah ia tempuhi sejauh ini. Sementara aku masih demikian payah memaknai kisah hidupnya. Aku hanya bisa memeluk tubuh kurusnya.

Berkeliling kami ke rumah saudara-saudara kandung Emak yang masih hidup. Ada yang telah beranjak tuli, ada yang merasai kepikunan, ada yang demikian lemah menegakkan tubuhnya, ada yang masih bugar – dan itulah Emak. Menemaninya bersua saudaranya dari rumah ke rumah seolah mengajakku menapaktilasi jalan hidup yang pernah

Page 64: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

54

Emak lewati. Jengkal demi jengkal. Ingatannya masih sesegar embun.

Sekitar satu kilo dari rumah kami, melintang lurus rel kereta. Auman sang kuda besi masihlah bisa menyambangi pendengaran kami, meski derap lajunya tak terasa di tanah kami berpijak. Dan kereta Commuter-lah yang sering menjadi topik pembicaraan aku dan Emak - Emak suka salah menyebutnya dengan kereta Komputer, dan harus aku koreksi beberapa kali. Kereta yang cukup baru - kamu pasti tahu sendiri nilai patok 'baru' kereta di negeri ini seperti apa.

Akhirnya, ku ajak Emak mengadakan perjalanan ke Kebun Binatang Surabaya (KBS) bersama seorang sepupu dan keponakan yang masih kecil dengan naik kereta Commuter. Itu adalah kali pertama aku mengajaknya naik Commuter. Dan ternyata itu adalah perjalanan bersama terakhir dalam sejarah hidup kami. Pun demikian, apa yang aku lakukan untuknya bahagia adalah hal yang teramat sederhana. Mungkin sebagian besar kita bertanya retoris, 'apa istimewanya naik kereta? ke KBS pula?' Justru kebahagiaan pada hal-hal yang sederhana itulah kami mendapati keberkahan cinta.

Akhirnya, aku sampai pada episode ini... Di shubuh yang dingin, Emak terkulai lemah di

pembaringan. Kekata hanya hinggap di sesela kerongkongan saja. Meski demikian, ia masih bertanya-tanya semampunya, “sudah waktunya sholat shubuhkah?” Subhanallah! Batinku sudah mulai tidak tenteram. Hatiku kebat-kebit bertutur, “Emak hari ini sakit, tapi ia pasti tak akan kenapa-kenapa!”

Hari itu adalah episode hidupku yang paling bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa masuk kerja, sementara Emak harus dikirim ke rumah sakit? Itulah kebodohanku. Sebab itu adalah hari terakhirnya menghela nafas dunia.

Dalam sebuah siang nan membakar, sebuah SMS masuk ke HPku. “ Chif, Emak sudah pulang….” Dadaku bergemetaran. Aku buang segala urusan pekerjaan. Aku harus pulang!

Jalanan yang kulalui kering menyengat, namun tidak demikian dengan pelupuk mataku yang basah berlinangan. Itulah kali pertama aku menangis sesenggukan bersama laju motor di jalan raya. Aku tak peduli meski pandangan telah terburamkan oleh tangisan yang menderas. Aku harus segera sampai di rumah!

Page 65: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

55

Keinginanku hanya satu, melihat wajah Emak untuk terakhir kalinya. Pintaku hanya satu, memeluk tubuh Emak untuk terakhir kalinya. Itu saja!

Tapi aku keliru! Kedatanganku telah terlambat! Emak sudah dalam

keranda beroda empat manusia. Ia siap di dekapan TanganNya. Air mataku jatuh berluncuran. Begitu cengengnya aku! Begitu bodohnya aku! Bahkan melihat wajah Emakku saja, sudah tak bisa. Hanya sesal yang menyesak-nyesak di dada. Menyempitkan jalan nafasku.

Aku rindu wejangannya. Aku rindu pemberian roti tawarnya. Aku rindu cerewetnya. Aku rindu saat ia berkata, “Manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.” Dan engkau kini telah kembali ke tanah, Emak.

Mungkin karena rindu dan cinta yang bertahta itu, Allah memperlihatkan wajah Emak di dalam mimpiku. Subhanallah, ia berpakaian putih bersih. Wajahnya muda berseri. Air mukanya cerah, terpahat senyum bahagia. Insya Allah itu curahan CintaNya padamu, Emak. Yang tak ada sepertiga malam, kecuali engkau telah berdiri di masjid desa. Bersama merdu senandung ayat-ayatNya. Bersama syahdu untaian doa-doanya.

Emak, aku rindu padamu! Semoga Allah mempertemukan kita lagi dalam mimbar-mimbar indah dari cahayaNya. Cahaya yang mengukir cinta...

... yang tersisa darimu adalah segala yang tersisa dariku hanyalah do'a... ... semoga barakah walau cinta kita, sederhana saja...

Page 66: E-book Sang Pemetik Cahaya - nuristianah.lecture.ub.ac.idnuristianah.lecture.ub.ac.id/files/2014/11/E-book-Sang-Pemetik...kisah nyata. Disajikan dengan bahasa yang apik. Adalah Chifrul

Sang Pemetik Cahaya

56

Tentang Penulis

hifrul El Hamasah. Ia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kampung kecil di

pelosok Sidoarjo, Jawa Timur. Ia menyukai dunia baca-tulis sejak remaja. Semakin dewasa, semakin berminat dengan dunia sastra meski secara pendidikan formal telah ia tempuh di jurusan Teknik Kimia ITS Surabaya. Saat buku ini ditulis, pria yang menyukai alam, pepohonan, sungai, sawah, dan keheningan ini, bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berkantor di Surabaya. Penulis bisa dihubungi melalui email: [email protected] atau facebook : Chif Rul Elhamasah.

C