Download - Tugas 1 Hanifah 15313051
SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat)
Oleh: Hanifah Nurawaliah-15313051-Teknik Lingkungan ITB
Sanitasi merupakan hal penting yang harus diketahui setiap orang karena menyangkut
keberlangsungan hidup individu maupun kelompok. Sanitasi dan kesehatan merupakan dua hal yang
saling berhubungan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mendefinisikan sanitasi
sebagai upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan
kesehatan. Upaya untuk mencapai kondisi tersebut dapat diwujudkan salah satunya melalui
pembangunan fasilitas sanitasi, misalnya pembangunan MCK untuk menghindari perilaku BABS
(Buang Air Besar Sembarangan). Tentu saja, di samping aspek teknis yang harus sesuai dengan
standar, sanitasi harus melibatkan peran serta masyarakat. Kini, pemerintah melalui Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) memiliki program nasional bernama Sanitasi Berbasis Masyarakat
(SANIMAS). Berikut ini penjelasan SANIMAS yang penulis rangkum berdasarkan kajian pustaka dari
berbagai sumber.
SANIMAS diperkenalkan oleh BORDA (Bremen Overseas Research and Development Association)
sejak tahun 2003 dengan pilot project di Provinsi Bali, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur
(sebanyak 25 lokasi) yang dilaksanakan sejak tahun 2003 hingga 2005. Melihat keberhasilan contoh-
contoh tersebut (fasilitas yang dibangun sampai saat ini masih berfungsi dan terpelihara dengan baik),
maka sejak tahun 2006 Departemen Pekerjaan Umum melalui Direktorat Pengembangan Penyehatan
Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya telah melaksanakan replikasi kegiatan SANIMAS, yang
hingga saat ini SANIMAS sudah dilaksanakan di lebih dari 400 lokasi yang tersebar di hampir seluruh
provinsi di Indonesia.1
Apa itu SANIMAS?
SANIMAS atau Sanitasi Berbasis Masyarakat adalah program untuk menyediakan prasarana air
limbah bagi masyarakat di daerah kumuh padat perkotaan2. Dalam pelaksanaannya, SANIMAS
mengedepankan proses pemberdayaan masyarakat, yaitu melibatkan masyarakat secara penuh dalam
setiap tahapannya dengan pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach). Masyarakat
merupakan aktor utama pembangunan SANIMAS. Konsep pemberdayaan masyarakat diterapkan, baik
dalam proses perencanaan, pembangunan, operasional, maupun pemeliharaan. Pemberdayaan
dilakukan agar terwujud pemanfaatan yang berkelanjutan.
Pendekatan dan Prinsip SANIMAS
SANIMAS dirancang untuk memberdayakan masyarakat yang berada di lingkungan permukiman
padat, kumuh, dan miskin di perkotaan, difokuskan pada penanganan pembuangan air limbah rumah
tangga. Pendekatan SANIMAS dilakukan melalui keberpihakan pada warga berpenghasilan rendah,
otonomi dan desentralisasi, pendorongan prakarsa lokal dengan iklim keterbukaan, dan partisipatif
serta keswadayaan. Adapun prinsip dasar SANIMAS diantaranya program bersifat tanggap kebutuhan,
pengambilan keputusan di tangan masyarakat, masyarakat menentukan, dan pemerintah daerah hanya
memfasilitasi.2
Kajian Pelaksanaan Program SANIMAS: Kisah Sukses SANIMAS di Pondok Pesantren Nurul
Ulum, Blitar
Penulis mengkaji salah satu program SANIMAS yang dinilai berhasil. Berikut ini adalah uraian
bagaimana sebuah pesantren di Blitar, Jawa Timur berhasil membangun fasilitas SANIMAS di lokasi
pesantren yang dikutip dari Buku Kisah Sukses SANIMAS Indonesia hal 54-59 dengan sedikit
perubahan.
Sejak awal diterapkan di tahun 2003, SANIMAS sudah ada yang diaplikasikan di pesantren.
SANIMAS untuk pesantren memiliki berbagai kekhasan yang berbeda dengan implementasi di
masyarakat, maka para pengelola sanitasi pesantren bersepakat untuk menamakannya sebagai
SANITREN: Sanitasi Untuk Pesantren.
Pondok pesantren Nurul Ulum memiliki santri dengan jumlahnya yang ribuan, tersebar di berbagai
daerah provinsi di seluruh Indonesia. Dan santriwan/santriwati datang dari seluruh penjuru daerah dari
berbagai suku di Indonesia. Mereka adalah generasi muda yang pada 10-15 tahun mendatang akan
menjadi pemimpin masyarakat di berbagai bidang. Oleh karena itu, perbaikan sarana sanitasi untuk
mereka sangatlah penting, karena apabila pemahaman mereka tentang sanitasi sejak awal sudah benar,
maka mereka juga akan mengajarkan hal yang sama nantinya.
Alasan pondok pesantren mengikuti program SANIMAS atau Sanitren adalah karena jumlah MCK
yang ada di pondok tidak mencukupi kebutuhan santri. Dari total santri, yang “mondok” atau tinggal
di pondok sekitar 400an santri atau sekitar 64%. Namun hanya ada 5 kamar mandi dan toilet yang
dapat digunakan, sehingga setiap pagi dan sore santri-santri harus antri panjang sekali. Sementara
septictank dengan kapasitas 12 m3 selalu cepat penuh dan setiap 3 bulan sekali harus dikuras sehingga
memakan biaya yang tidak sedikit. Bahkan bau septictank yang sangat menyengat sampai ke ruang-
ruang kelas sehingga sangat mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Dan luapan dari septictank ke
selokan sering menimbulkan protes warga sekitar. Oleh karena itu, ketika ada sosialisasi program
sanitren dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Blitar, maka PP Nurul Ulum langsung mengajukan diri
sebagai calon. Setelah melalui proses seleksi terbuka, ternyata PP Nurul Ulum dinyatakan paling siap
untuk implementasi Sanitren tahun 2007.
Proses selanjutnya adalah penyusunan rencana kerja pesantren untuk perbaikan sanitasi, yang
kemudian didokumentasikan dan dilegalisasi oleh berbagai pihak yang ikut berperan serta, yaitu :
wakil pondok, pemerintah kota Blitar, Dinas PU Provinsi Jawa Timur, dan Satker PPLP Jawa Timur
dan Borda. Berdasarkan dokumen tersebut dana dari berbagai sumber bisa dicairkan. Pondok
pesantren memilih sarana MCK Plus dengan biogas. Kemudian pipa air limbah juga dihubungkan
dengan seluruh kamar mandi dan toilet yang ada di pesantren dan disalurkan ke biodigester dan IPAL.
Total biaya menghabiskan Rp.337.500.000 yang berasal dari kontribusi berbagai sumber. Total waktu
yang dibutuhkan untuk membangun sarana sanitasi adalah 3.5 bulan.
Setelah biodigester cukup terisi, kemudian dipasang pipa penyambung gas dari biodigester ke dapur
dan disambungkan ke 5 unit kompor. Tiap hari kebutuhan masak sudah bisa memanfaatkan biogas,
dan telah terjadi penghematan biaya beli kayu bakar dan minyak sebesar Rp. 13.000.000/tahun.
Jumlah yang cukup besar dan bisa disimpan untuk kebutuhan lain.
Sekarang, setelah dibangun Sanitren, PP Nurul Ulum selain memiliki jumlah kamar mandi dan toilet
yang cukup, yakni sebanyak 12 kamar mandi dan WC serta ruang cuci, juga sudah tidak mencemari
lingkungan lagi. Bahkan banyak manfaat lain yang dirasakan. Sanitren di Pondok Pesantren Nurul
Ulum, Kota Blitar yang diresmikan penggunaannya pada tanggal 15 April 2008 ini pada saat
pelaksanaan pembangunannya melibatkan berbagai unsur pondok pesantren seperti: santri, pengurus
pondok, pengasuh serta wali/orang tua santri. Salah satu yang menonjol di sanitren adalah
ketersediaan lahan dan keterlibatan yang tinggi dari semua unsur pondok, termasuk orang tua/wali
santri.
Banyak manfaat dan pembelajaran yang didapat dari program SANIMAS di PP Nurul Ulum,
diantaranya:
a. Kebutuhan Toilet Santri tercukupi dan nyaman.
Dengan dibangunnya sarana MCK Plus ini, santri yang belajar di pesantren ini merasa lebih
nyaman. Jika dulu untuk sekitar 400an santri hanya ada 5 toilet, sekarang bertambah 12 lagi
sehingga mencukupi kebutuhan sanitasi dasar mereka. Selain itu, kondisi MCK lama yang
sangat kotor dan tidak terawat sering menimbulkan bau tidak sedap yang sampai tercium di
ruang belajar. Namun sekarang bau tak sedap di ruang belajar sudah hilang sehingga santri
dapat lebih maksimal dalam menuntut ilmu.
b. Pemanfaatan Biogas.
Pembangunan IPAL di pesantren ini juga dilengkapi dengan biodigester sehingga dapat
memproduksi biogas yang dimanfaatkan kantin untuk memasak. Karena jumlah air limbah
yang masuk ke IPAL cukup banyak, biogas yang diproduksi juga cukup besar. Hal ini
tentunya dapat mengurangi biaya produksi dan sekaligus meningkatkan pendapatan kantin.
c. Lingkungan yang bersih dan sehat.
MCK Plus yang dilengkapi dengan taman ini membuat lingkungan pesantren Nurul Ulum
terlihat bersih, asri dan sehat. Banyak santri diwaktu senggangnya duduk di taman ini sambil
membaca buku atau sekedar bercanda dengan temannya.
d. Pernah di satu pesantren yang sedang membangun sanitren tiba-tiba ada orang yang datang
dan protes. Tadinya semua pekerja bingung, kenapa orang ini datang tiba-tiba langsung
“marah-marah”. Ternyata dia protes karena di pondok pesantren tempat anaknya “nyantri”
(sekolah di pondok), sedang ada gotong royong tetapi dirinya tidak dikabari. Padahal kalau
dikabari dia bisa kirim beberapa anggota keluarganya untuk membantu, meskipun dia tinggal
cukup jauh dari pondok yakni sekitar 15 km. Hal seperti ini tentu tidak akan terjadi dalam
pelaksanaan SANIMAS di masyarakat perkotaan, bahkan kalau ada gotong-royong dan tidak
diundang, maka akan sangat “berbahagia”.
Gambar 1. MCK Plus di PP Nurul Ulum
(Sumber: Buku Kisah Sukses SANIMAS di Indonesia)
Referensi:
1. Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2009. Kisah Sukses SANIMAS di Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pekerjaan Umum RI.
2. Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). Diambil dari
http://www.ampl.or.id/program/sanitasi-berbasis-masyarakat-SANIMAS-/3 pada tanggal 26
Agustus 2015 pukul 21.07 WIB.
3. Irman, Joy. Tujuan, Pendekatan, dan Prinsip SANIMAS. Diambil dari
http://www.slideshare.net/metrosanita/tujuan-pendekatan-dan-prinsip-sanimas-sanitasi-
berbasis-masyarakatSanitasi.net pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 10.00 WIB.
Lihat video tentang SANIMAS di: https://www.youtube.com/watch?v=Go93K1Xlo44
Gambar 2. Komentar penulis mengenai video SANIMAS
Si Kembar Dicuri, Si Kembar Diganti
Kajian Kondisi Tempat Sampah Kota Bandung
Oleh: Hanifah Nurawaliah (15313051)-Teknik Lingkungan ITB
Warga kota Bandung tentu saja mengetahui bagaimana desain tempat sampah kota kembang ini sejak
dipimpin oleh Ridwan Kamil. Uniknya, tong sampah baru kota Bandung pernah disebut sebagai
tempat sampah berbahan tapioka. Iya, beberapa sumber menyebutnya sebagai “tempat sampah
berbahan tapioka”. Tempat sampah tersebut berupa kantong yang terbuat dari tapioka dengan tujuan
agar kantong terurai bersamaan dengan terurainya sampah organik di dalamnnya. Terdapat dua jenis
kantong dengan warna yang berbeda, yakni hijau dan putih. Warna tersebut dibedakan untuk
memudahkan pemilahan sampah. Kedua kantong dilekatkan ring, lengkap dengan penutup yang sama-
sama berbahan besi. Ukuran kantong kira-kira hampir sama dengan trashbag pada umumnya. Intinya,
kedua kantong berukuran sama, kembar tapi tak sama, pun memesona karena mengandung kreatifitas
pada desainnya.
Sayangnya, “si kembar” tersebut sudah jarang ditemukan. Akhir-akhir ini, kita sering melihat
pemandangan yang berbeda. Tempat sampah berdesain seperti itu memang sering ditemukan di area
trotoar kota Bandung, bahkan di sekitar permukiman. Sekarang, tidak sedikit tempat sampah unik ini
rusak dan tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. “Si kembar” sudah tidak mampu lagi
menampung sampah.
Anggota Komisi A DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali meminta Pemkot Bandung untuk
mengevaluasi pemasangan tempat sampah. Tempat sampah model baru yang diterapkan Pemkot
Bandung saat ini dinilai masih belum sempurna. Berdasarkan pantauan Lia, tempat sampah tersebut
malah dipergunakan warga sebagai tempat membuang sampah rumah tangga. (Baca
http://news.detik.com/jawabarat/2486950/dewan-minta-pemkot-evaluasi-tong-sampah-plastik)
"Seperti yang saya lihat di kawasan Cimincrang, dekat Gelora Bandung Lautan Api. Itu banyak yang
kereseknya sudah penuh dan di sekelilingnya ada tumpukan plastik sampah lain," kata Lia di Gedung
DPRD Kota Bandung, Jalan Aceh.
Tidak hanya volume tempat sampah yang dinilai belum mencukupi, kasus pencurian kantong tapioka
ini pun kerap kali terjadi. Demikian halnya dengan ring dan tutup besi tong sampah yang sudah rusak
dan berkarat. Hal ini membuat Kang Emil mengerutkan kepala dan berpikir lebih jauh lagi. Saat
launching 5.000 tempat sampah berbahan tapioka, beliau yakin bahwa tempat sampah ini lebih efisien
dan murah daripada tempah sampah pada umumnya. Dengan berbentuk kantong, petugas tong sampah
tidak perlu repot-repot memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain.
Lalu, mengapa tempat sampah tersebut dipermasalahkan? Ya, kita tidak perlu menyebutkan siapa
yang salah. Tetapi, apa yang salah, bagian mana yang salah?
Kita harus mengapresiasi siapa saja yang berinovasi. Memiliki inovasi dalam upaya pengelolaan
lingkungan hidup tentu saja merupakan sebuah prestasi. Hanya, dalam hal ini kita harus memahami
beberapa hal yang menjadi poin penting dalam mengubah pola kebiasaan masyarakat dalam
membuang sampah. Sekali lagi, pola kebiasaan yang ramah lingkungan (green habit).
Ketika siapa pun ingin melakukan upaya pengelolaan sampah, mulailah dengan tujuan. What is
the goal?
Penulis yakin bahwa pemerintah kota Bandung sengaja menetapkan desain tempat sampah seperti itu
agar masyarakat mulai terbiasa memisahkan sampah. Ini merupakan hal penting dalam pengelolaan
sampah karena biasanya, permasalahan sampah sudah berawal dari tahap pembuangan sampah
pertama.
Rasanya, propaganda “Buanglah sampah pada tempatnya harus diganti dengan simpanlah sampah
sesuai tempatnya.” Sedikit aneh memang. Namun, penggunaan kata “simpan” tentu saja lebih beretika
daripada kata “buang”. Perlu kita ketahui, perlakuan kita terhadap sampah adalah hal penting. Benar,
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan / atau proses alam yang berbentuk padat (UU-
18/2008 tentang Pengelolaan Sampah). Walaupun sampah dianggap tidak berguna lagi, namun
terkadang sampah dapat dimanfaatkan kembali dan bernilai jual tinggi. Oleh karena itu, tidak salah
jika penulis menyebut sampah bukanlah sesuatu yang bernilai rendah sehingga kita membuangnya
begitu saja. Dan “sesuai dengan tempatnya” adalah kalimat yang dirasa lebih edukatif karena secara
tidak langsung menginformasikan pentingnya memilah sampah.
Kembali kepada masalah desain tempat sampah kota Bandung yang kini jadi masalah. Dalam
menentukan volume wadah / tempat sampah, diperlukan pengukuran jumlah sampah. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan sampling sampah secara langsung di sumbernya. Karena aktivitas
domestik bervariasi dari hari ke hari dengan siklus mingguan, sampling sampah di sumber harus
dilaksanakan selama satu minggu (umumnya 8 hari berturut-turut).1
Apakah pemerintah kota Bandung melakukan pengukuran terlebih dahulu?
Jelaslah bahwa mengukur jumlah sampah yang dapat ditampung wadah / tong sampah menjadi hal
yang esensial. Hal ini terbukti bahwa kegagalan “si kembar” dalam menampung sampah terjadi akibat
adanya ketidakseimbangan flow sampah yang masuk dengan flow sampah yang diangkut. Ini tentu saja
berhubungan langsung dengan penempatan tong sampah yang harus sesuai dengan peruntukannya.
Tempat sampah berbahan tapioka dipenuhi sampah rumah tangga? Ya iya, memang patas. Penempatan
tong sampahnya saja sudah bermasalah karena dekat dengan permukiman warga. Jika hanya ada
tempat sampah “itu”, ya mending buang “ke situ” aja. Inilah prinsip
Oleh karenanya, prinsip “keadilan” harus diterapkan pada semua aspek, termasuk pada tempat
sampah sekalipun. Peruntukkanlah segala sesuatu sesuai dengan kapasitasnya. Lain halnya jika
tempat sampah berbahan tapioka memang khusus untuk menyimpan sampah berukuran kecill dan
tidak merusak kantong.
Sekarang, apa langkah pemerintah kota Bandung selanjutnya?
Penulis memerhatikan bahwa pemerintah kota Bandung tidak tinggal diam. Kini, sudah bermunculan
desain tempat sampah yang berbeda dengan “si kembar” berbahan singkong yang dulu. Pemerintah
mulai menggunakan kembali tempat sampah berbahan fiber. Tentu saja, keunikannya tetap
dipertahankan walaupun tidak semua orang sadar apakah desain seperti itu bisa mengundang perhatian
untuk membuang sampah sesuai dengan tempatnya?
Sebenarnya, apa yang menjadi daya tarik seseorang untuk membuang sampah sesuai dengan
tempatnya (dalam hal ini memilahnya)? Bagaimana memaksimalkan fungsi tempat sampah?
Desain menarik, merupakan salah satu faktor yang bisa mengundang perhatian orang untuk
membuang sampah. Benarkah?
Penulis akan memberikan sebuah contoh bagaimana desain tempat sampah dapat memengaruhi
perilaku seseorang dalam membuang sampah. Salah satu aktivis Masjid Salman ITB, Ine (Mahasiswa
Teknik Industri ITB 2003) telah melakukan penelitian tentang ini. Selain meneliti habit pengunjung
masjid Salman dalam membuang sampah, beliau pun berhasil membuat tempat sampah untuk empat
jenis sampah dengan desain yang benar-benar menarik. Tempat sampah yang beliau desain kemudian
dievaluasi melalui penelitian tersebut, apakah tempat sampah yang didesain efektif mengubah
kebiasaan orang dalam membuang sampah?
Hasil pengematan terhadap perilaku pembuang sampah dilakukan selama 25 Juli 2015 sampai 3
Agustus 2015 didapatkan hasil sebagai berikut:
(Sumber: Mas’udah, Dedeh dan Fitrianti Fathonah. 2015. Laporan Penelitian Desain Tong
Sampah Paling Efektif.)
Selama masa pemantauan jumlah orang yang melirik tercatat setidaknya ada 488 orang. Bahkan,
tercatat ada 90 anak yang membaca-baca dan atau menyentuh-nyentuh tong, 20 orang memfoto
tong, sempat juga terlihat ada berfoto selfi di tong. Selama masa pemantauan jumlah orang yang
membaca info di tong setidaknya ada 116 orang. Hal ini berarti info yang disajikan di atas tong
menarik secara penampilan maupun isi. Ini menunjukkan desain tong menarik. Desain tong
memang dibuat semenarik mungkin agar orang tertarik dan menaruh perhatian terhadap tong pilah
ini.2
Gambar 1. Pengunjung membaca info di tong
No Perilaku Jumlah orangTong 1 Tong 2
1 Melihat ke arah tong sambil lewat 185 3032 Membaca info dan atau petunjuk di tong 39 77
3 Berdiskusi mengenai jenis sampah yang dibuang termasuk kemana atau tentang tong
8 18
4 Berhenti membaca petunjuk tong membuang dengan benar
86 57
5 Memfoto tong 6 146 Anak-anak yang membaca dan
memegang-megang tong55 35
7 Orang tua/dewasa yang membimbing anaknya untuk membuang sampah dengan benar
8 14
Selama masa pemantauan jumlah tercatat ada 31 pengunjung salman yang membimbing anaknya
memilah sampah. Ternyata desain tong ini tak hanya memotivasi orang untuk memilah sampah.
Tong ini juga membuat orang tua termotivasi untuk mengedukasi anaknya memilah sampah atau
mengajari mereka mengenai petunjuk yang tertera di tong.2
Gambar 2. Orangtua sedang membimbing anaknya membaca tulisan petunjuk di tong
Penulis yang sempat sedikit membantu Kak Ine dalam pengambilan data, melihat langsung bagaimana
sebuah tempat sampah dapat menarik perhatian siapa saja. Ada yang hanya lewat, membaca informasi
di tong smpah, bahkan mendekati tong sampah. Tong sampahnya bersih dan tidak bau.
Tempat sampah tersebut dibagi ke dalam empat jenis: tempat sampah untuk sampah organik, plastik
dan kaleng, kertas, dan lain-lain. Sampah yang bukan organik, berbahan plastik, kertas, atau kaleng
dikelompokkan menjadi sampah lain-lain. Ada satu buah tempat yang digunakan untuk menyimpan
sampah lain-lain.
Klasifikasi sampah dilakukan dengan output agar sampah dapat dimanfaatkan kembali (dalam hal ini
dijual dan dibuat kompos). Sampah kering seperti kertas, botol plastik, dan kaleng dijual ke pengepul.
Hasil penjualan digunakan untuk pengembangan sistem pengelolaan sampah di Salman dan bantuan
sosial.
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa desain saja tidak cukup untuk menarik perhatian orang agar
membuang sampah pada tempatnya. Aspek sanitasi harus selalu diperhatikan agar tempah sampah
berfungsi sebagaimana mestinya, yakni menghindarkan manusia (khususnya) dari penyebaran
penyakit. Amat disayangkan jika tempat sampah sudah berdesain bagus tetapi tidak mengundang
perhatian orang untuk membuang sampah. Angka 39-77 pengunjung Masjid yang hanya membaca
informasi pada tempat sampah (walaupun tidak membuang sampah) menunjukkan bahwa tempat
sampah di MAsjid Salman ITB berhasil mengundang orang-orang untuk mendekatinya. Tentu saja, ini
karena tempat sampah tersebut selalu dibersihkan setiap harinya.
Jadi, dalam menentukan tempat sampah, perhatikan tujuan pembuatan dan peletakan tempat sampah.
Jika ditujukan untuk mengubah habit setiap orang dalam membuang sampah, perhatikanlah apa saja
yang bisa menarik seseorang untuk membuang sampah dan alasan mengapa seseorang perlu
membuang sampah sesuai tempatnya. Tidak lupa pula, selalu maksimalkan peran atau fungsi tempat
sampah.
Penulis yakin, jika penentuan tempah sampah benar-benar dikaji dan digali dengan akal nurani, tidak
hanya demi kepentingan diri atau korupsi, masyarakat akan tercerdaskan sehingga bisa
memperlakukan sampah sebagaimana mestinya: Reduce, Reuse, Recycle. In addition, remind each
other.
Oleh karena itu, mari kita sama-sama menjaga fasilitas publik dengan baik. Hal penting dari
pembuatan tempat sampah tentu saja bukan hanya sebagai metode pengelolaan sampah, melainkan
sebuah pembentukan “karakter” demi mewujudkan masyarakat yang beradab, beretika, dan berbudi
luhur pada sesame, termasuk lingkungan.
“Si kembar” lagi-lagi berubah bentuk? Semoga saja desain tempat sampah benar-benar dipilih sesuai
peruntukannya. It’s not about design, it’s concerning with sustainability.
Gambar 3. Tempat sampah berbahan tapioka
Sumber: http://inspirasibangsa.com/bandung-luncurkan-5-000-tempat-sampah-berbahan-tapioka/
Gambar 4. Kondisi tempat sampah kota Bandung yang rusak
Sumber: greeners.co/Rifki A. Fahmi
Referensi:
1. Damanhuri, Enri dan Padmi, Tri. 2011. Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan Sampah.
Bandung. Teknik Lingkungan ITB.2. Mas’udah, Dedeh dan Fitrianti Fathonah. 2015. Laporan Penelitian Desain Tong Sampah
Paling Efektif.
Mind Mapping
Ditulis kembali oleh :
Hanifah Nurawaliah (15313051)-Teknik Lingkungan ITB
Pengertian Metode Mind Mapping (Peta Pikiran)
Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) adalah metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Tony
Buzana, kepala Brain Foundation. Peta pikiran adalah metode mencatat kreatif yang memudahkan kita
mengingat banyak informasi. Setelah selesai, catatan yang dibuat membentuk sebuah pola gagasan
yang saling berkaitan, dengan topik utama di tengah, sementara subtopik dan perincian menjadi
cabang-cabangnya.
Prinsip Dasar Mind Mapping (Peta Pikiran)
Pemetaan pikiran menggunakan teknik curah gagasan dengan menggunakan kata
kunci bebas, simbol, gambar, dan melukiskannya secara kesatuan di sekitar Tema
Utamaseperti pohon dengan akar , ranting, dan daun-daunnya. Tahap pertama setelah tema ditentukan
dan kata kunci hasil curah gagasan dituliskan, dilukis, dan ditandai dengan warna atau simbol tertentu
adalah menyusun ulang kata kunci tersebut. Kemudian proses curah gagasan diteruskan kembali
secara bebas. Kata kunci yang digunakan disarankan hanya satu kata tunggal.
Tony Buzan mengusulkan menggunakan struktur dasar Pemetaan Pikiran sebagai berikut :
Mulai dari tengah dengan gambar Tema, gunakan minimal 3 warna.
Gunakan gambar, simbol, kode, dan dimensi diseluruh Peta Pikiran yang dibuat.
Pilih kata kunci dan tulis dengan huruf besar atau kecil .
Tiap kata/gambar harus sendiri dan mempunyai garis sendiri.
Garis-garis itu saling dikaitkan, mulai dari tengah yaitu gambar Tema Utama. Garis bagian tengah
tebal, organis, dan mengalir dari pusat keluar, menjulur seperti akar, atau pancaran cahaya.
Buat garis sama panjangnya dengan gambar/kata.
Gunakan warna – kode rahasia sendiri di peta pikiran yang dibuat.
Kembangkan gaya penuturan, penekanan tertentu, dan penampilan khas di Peta Pikiran yang
dibuat. Jadi peta pikiran setiap orang tidak harus sama, meskipun tema yang dibahas sama.
Gunakan kaidah asosiasi di peta pikiran yang dibuat.
Biarkan peta pikiran itu jelas, menggunakan hirarki yang runtun, urutan yang jelas dengan
jangkauan sampai ke cabang-cabang paling ujung.
Dengan cara yang lebih bebas, warna-warni, dan gambar, pemetaan pikiran menjadi berbeda dengan
metode curah gagasan yang sudah dikenal luas. Hasilnya bisa mencengangkan karena dapat
menemukan solusi inovatif untuk suatu Tema Utama yang menjadi fokus perhatian. Selain itu,
pemetaan pikiran juga dapat mengidentifikasi masalah di bagian sub-tema yang disusun oleh kata
kunci hasil curah gagasan.2
Gambar 1: Contoh Mind Mapping
(Sumber: http://www.muhammadnoer.com/wp-content/uploads/2009/03/IMG_0315-500x375.jpg)
Referensi:
1. Ahamad Munjin Nasih, S.Pd., M.Ag. dan Lilik Nur Kholidah, S,Pd., M.Pd.I., Metode Dan
Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009 ), hal.
110-111.
2. Tony Buzan, "Use both side your brain", Penerbit Ikon, 2003 (terjemahan)
3. Joyce Wycoff, "Menjadi Superkreatif dengan Pemetaan Pikiran ", Penerbit kaifa, 2002
(terjemahan)