analisis pendapat imam abu hanifah tentang...

93
i ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’ DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata S1 Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Islam Disusun Oleh : Anis Afifah 082311043 FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

Upload: duongmien

Post on 06-Feb-2018

238 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

i

ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG

WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’

DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata S1

Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Islam

Disusun Oleh :

Anis Afifah

082311043

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

Page 2: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

ii

Page 3: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

iii

Page 4: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

iv

MOTTO

....... ى فاكتب إنى أجم يس ا إذا تدايتى بدي آي ا انري يا أي

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah

kamu menuliskannya.........”

(Qs. al-Baqarah: 282)

Page 5: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

v

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat

dan air mata, kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang

selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang

tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku:

1. Ibunda tercinta (Ibu Rajinah), terima kasih atas semua yang engkau berikan

baik berupa materiil maupun spirituiil. Do‟a yang engkau panjatkan setiap

saat untukku, nasihat yang selalu engkau ucapkan untuk kebaikan hidupku,

kesetiaanmu menemaniku dalam suka maupun duka, dan keikhlasanmu

merawat dan membimbingku, hal ini akan menjadikan spirit dalam hidupku

untuk mewujudkan impian dan cita-citaku. Semoga anakmu ini bisa menjadi

anak yang salihah, amin.

2. Mbah Ramilah, terima kasih sudah menjadi nenek yang baik buat aku, yang

selalu mendoakanku untuk tercapainya cita-citaku.

3. Mbak Isyrofah dan Mas H. Masyhadi, terima kasih atas dukungan yang telah

engkau berikan, sehingga aku bisa menyelesaikan studyku.

4. Adinda Muhammad Shabihul Wafa yang selalu menghiburku ketika aku

sedih.

5. Pak Den, Pak Cipto, dan Pak Bin, terima kasih atas do‟a dan kasih sayang

panjenengan sedoyo.

6. Habibi al-Qalbii, yang selalu menemani relung hati. Thanks for aLL

7. Teman-teman senasib-seperjuangan di kos al-Mahmud. Terima kasih atas

kebaikan kalian.

8. Para ustadz dan ustadzah di TPQ al-Azhar, terima kasih atas motivasi dan

dukungan kalian.

9. Santriwan santriwati TPQ al-Azhar terima kasih. Canda-tawa kalian

membangkitkan semangatku.

10. Tim KKN POSKO 24 tahun 2011, tengQyu atas pengertian kalian.

Page 6: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

vi

11. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan disini. Terima kasih atas bantuan

dan dukungan kalian semua demi terselesainya karya tulis skripsi ini.

Semarang, 23 Oktober 2011

Penulis,

Anis Afifah

Page 7: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

vii

Deklarasi

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi

materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi

satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali

informasi yang terdapat dalam referensi yang

dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 23 Oktober 2011

Deklarator,

Anis Afifah

Page 8: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

viii

ABSTRAK

Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad Istishna‟ merupakan hal yang luar biasa.

Akad istishna‟ berkembang di tengah-tengah masyarakat dan menawarkan solusi yang

sangat relevan kepada masyarakat yang menginginkan atau membutuhkan suatu barang,

namun mereka merasa kesulitan disebabkan tidak adanya modal yang cukup untuk

mendapatkannya. Imam Abu Hanifah menawarkan Istishna‟ yang berarti meminta untuk

dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa

yang akan datang, akan tetapi, beliau tidak mensyaratkan jangka waktu penyerahan

barang. Padahal, kepastian jangka waktu penyerahan barang dalam akad istishna‟

menjadi hal yang sangat penting. Dalam realita di masyarakat pun jangka waktu

penyerahan ini harus ditentukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui

bagaimana pemikiran Imam mengenai istishna‟ , bagaimana metode istimbath hukum

Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟ dan bagaimana aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang

waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?

Adapun tujuan penelitian adalah (1) untuk mengetahui pemikiran Imam Abu

Hanifah tentang akad istishna‟, (2) untuk mengetahui istimbath hukum Imam Abu

Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada

akad istishna‟ (3) untuk mengetahui aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu

penyerahan barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah.

Metodologi yang digunakan adalah (1) jenis penelitian yang digunakan berupa

penelitian kepustakaan (Library Research), (2) sumber data terdiri dari; (a) sumber utama

berupa pemikiran Imam Abu Hanifah tentang syarat penyerahan barang pada akad

istishna‟ dalam kitab Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib as-Syarai‟ karya Imam al-Kasani al-

Hanafi, (b) sumber pelengkap berupa literatur-literatur lain yang membahas tentang

istishna‟, (3) pengumpulan data melalui studi kepustakaan (4) teknik analisis yang

digunakan adalah diskriptif analisis.

Hasil pembahasan menunjukkan pertama, pendapat Imam Abu Hanifah mengenai

syarat akad istishna‟ berupa tidak perlu menentukan jangka waktu penyerahan barang

dalam akad istishna‟, di satu sisi pendapat beliau sangat manusiawi, namun, jika

pemikiran beliau tersebut diaplikasikan pada masa sekarang, maka tidak relevan, karena

dalam praktek yang berlaku sekarang, penentuan waktu penyerahan ini harus ditentukan.

Kedua, Dalam menetapkan akad istishna‟ Imam Abu Hanifah ber-istimbath dengan

menggunakan istihsan bi al-Urf. Adapun dalam menetapkan syarat tidak perlu

menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ beliau ber-istimbath hukum

dengan cara membedakan antara akad istishna‟ dengan akad salam. Obyek salam berupa

barang hasil produk pertanian yang memang membutuhkan waktu yang lama untuk

mendapatkannya, sedangkan dalam istishna‟ obyek pesanan berupa barang-barang

properti yang pembuatannya tidak memerlukan waktu yang lama. Jadi walaupun tidak

ditentukan waktu penyerahanpun, barang akan cepat untuk diserahkan. Selain itu bahwa

yang diperhitungkn dalam akad adalah maknanya, bukan lafadz zahirnya. Jadi, apabila

dalam akad istishna‟ itu menentukan menentukan waktu penyerahan barang, maka secara

otomatis akad akan berubah menjadi akad salam. Ketiga, dalam perbankan syariah,

aplikasi penentuan waktu penyerahan barang memang ditentukan. Bahkan ini merupakan

jaminan yang diberikan kepada pembeli untuk melindungi haknya.

Page 9: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul “Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Syarat

Penyerahan Barang pada Akad Istishna’.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN

Walisongo Semarang.

2. Ibu Dr. Hj. Mujibatun, M. Ag, selaku Dosen Pembimbing I dan Dra. Hj. Noor

Rasyidah, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan

waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam

penyusunan skripsi ini.

3. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo, yang

telah membekali berbagai ilmu dan pengetahuan.

4. Ibunda (Ibu Rajinah) yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Amin.

Penulis,

Anis Afifah

Page 10: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii

HALAMAN MOTTO.......................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... v

HALAMAN DEKLARASI................................................................................. vii

HALAMAN ABSTRAK.................................................................................... viii

HALAMAN KATA PENGANTAR.................................................................... ix

HALAMAN DAFTAR ISI.................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan ........................................................ 1

B. Pokok Permasalahan ....................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................ 6

D. Telaah Pustaka ................................................................................ 7

E. Metode Penelitian ......................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ....................................................................14

BAB II BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH

A. Biografi Imam Abu Hanifah.......................................................... 16

B. Ketokohan Imam Abu Hanifah.................................................... 30

Page 11: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

xi

BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

A. Konsep Istishna‟ Imam Abu Hanifah ........................................... 35

B. Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Waktu

Penyerahan Barang pada Akad Istishna‟....................................... 37

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG

WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’

DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

A. Analisis Pemikiran Imam Abu Hanifah Tentang Akad

Istishna‟........................................................................................ 45

B. Analisi Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan

Waktu Penyerahan Baarang pada Akad Istishna‟........................ 49

C. Aplikasi Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan

Barang pada Akad Istishna‟ dan aplikasinya dalam Perbankan

Syariah ....................................................................... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................... 71

B. Saran ............................................................................................. 74

C. Penutup.......................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

xii

Page 13: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama‟ atau faqih yang cukup besar

dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan

oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama

yang lebih banyak menggunakan ra‟yu atau setidak-tidaknya lebih cenderung

rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di

berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di

Mesir dan daerah-daerah lainnya.1

Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat. Namun,

kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja. Sedangkan pemikiran Abu

Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Hal ini karena di Indonesia corak

fiqhnya memang cenderung ke Syafi‟iyyah. Oleh karena itu, perlu adanya

pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqh selain Syafi‟iyyah khususnya

pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah keilmuan hukum Islam

di Indonesia.

1 Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 19

Page 14: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

2

Salah satu pemikiran Abu Hanifah yang luar biasa adalah tentang akad

Istishna‟. Sebagaimana kita ketahui bahwa akad istishna‟ adalah salah satu bentuk

muamalah yang sering diaplikasikan oleh masyarakat umum. Istishna‟ merupakan

akad ghairu musamma yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat. Dalam

kenyataannya, akad istishna‟ menjadi solusi yang sangat relevan untuk

menyelesaikan pemasalahan ekonomi. Banyak di antara masyarakat yang

menginginkan atau membutuhkan suatu barang, namun beberapa orang merasa

kesulitan disebabkan tidak adanya modal yang cukup untuk mendapatkannya.

Akad istishna‟ tampil sebagai solusi dari pemasalahan ini.

Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah,

واالستصناعهوشرأمايضعوقفاللطلب

“Istishna‟ artinya, membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”2

Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna‟ adalah akad

jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan

persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni‟) dan

penjual (pembuat, shani‟). Pada dasarnya, pembiayaan istishna‟ merupakan

transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun,

berbeda dengan jual beli murabahah di mana barang diserahkan di muka

sedangkan uangnya dibayar secara cicilan, dalam jual beli istishna‟ barang

2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 4, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 69.

Page 15: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

3

diserahkan di belakang, walaupun uangnya juga sama-sama dibayar secara

cicilan.3

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia

mendefinisikan Istishna‟, merupakan akad antara pemesan dengan pembuat untuk

suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan

dibuat oleh pembuat. Kewajiban pembuat adalah menyediakan bahan baku dari

barang pesanan tersebut. Tapi jika bahan baku dari pemesan, akad itu berubah

menjadi upah biasa (ujrah).4

Dalam aplikasinya, bank melakukan istishna‟ paralel, yaitu bank (penerima

pesanan / shani‟) menerima pesanan barang dari nasabah (pemesan / mustashni‟),

kemudian bank (pemesan / mustashni‟) memesankan permintaan barang nasabah

kepada produsen penjual (shani‟) dengan pembayaran di muka, dicicil atau

dibayar di belakang, dengan waktu penyerahan barang yang disepakati bersama.5

Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa istishna‟ adalah salah satu

produk jual beli yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Sebagai lembaga

intermediasi antara nasabah yang membutuhkan suatu barang sementara ia tidak

mempunyai uang yang cukup untuk memenuhinya dengan segera, bank

menawarkan solusi dengan jual beli istishna‟ ini. Di mana nasabah bisa

mendapatkan barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau

3Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2007, hlm. 126 4

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah; Produk dan

Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 67 5 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 99

Page 16: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

4

di bayar di belakang. Kemudahan yang diberikan oleh bank ini bukan tidak

mungkin akan membuat jual beli istishna‟ semakin berkembang di masa yang

akan datang. Oleh karena itu pengkajian terhadap istishna‟ memiliki nilai penting

untuk perkembangan produk-produk perbankan syariah selanjutnya sekaligus

sebagai rujukan praktek jual beli istishna‟ yang baik agar sesuai dengan

perkembangan zaman.

Sebagai bentuk jual beli pesanan, istishna‟ mirip dengan salam. Namun,

ada perbedaan diantara keduanya. Dalam akad salam, waktu penyerahan tertentu

merupakan bagian yang penting, namun dalam akad istishna‟ tidak merupakan

keharusan.6

Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna‟,

pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum, yang berarti bahwa jika

perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang

dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam istishna‟ dapat dikaitkan

dengan waktu penyerahan. Jadi boleh disepakati bahwa apabila terjadi

keterlambatan penyerahan, harga dapat dipotong sejumlah tertentu perhari

keterlambatan.7

Menurut Imam Abu Hanifah Secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-

Shun‟i (minta dibuatkan). Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti

6 Ibid. hlm. 98

7 Ibid. hlm. 99

Page 17: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

5

meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk

diserahkan pada masa yang akan datang.8

Abu Hanifah mensyaratkan dalam akad istishna‟ yaitu tidak perlu

menentukan waktu penyerahan barang. Apabila waktu ini ditentukan maka akad

ini akan berubah menjadi akad salam.9 Pendapat Abu Hanifah ini bertolak

belakang dengan realita praktek jual beli istishna‟ yang berlaku di masyarakat

pada masa sekarang. Dalam prakteknya jual beli istishna‟ itu harus menentukan

jangka waktu penyerahan barang. Hal ini untuk menjaga kepentingan pihak

pemesan atau pembeli (mustashni‟) agar tidak merasa dirugikan. Sebab lain juga

karena yang berlaku pada masa sekarang yaitu akad istishna‟ yang diaplikasikan

dalam perbankan syari‟ah secara istishna‟ paralel, dimana bank menerima pesanan

dari nasabah (mustashni‟) kemudian bank mengsuborderkan ke shani‟ untuk

membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan mustashni‟ dan barang pesanan

tersebut dapat diserahkan tepat waktu kepada nasabah (mustashni‟). Rentang

waktu ini harus ditentukan agar barang pesanan bisa sampai kepada nasabah

(mustashni‟) tepat waktu. Jadi unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam

jual beli dapat terlaksana.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis termotivasi untuk mengkaji dan

menganalisis lebih mendalam pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu

8 Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-

Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 95. Lihat juga Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala

ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474 9 ibid. 97-98

Page 18: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

6

penyerahan barang pada akad istishna‟ tersebut dengan judul “Analisis Pendapat

Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang pada Akad Istishna’

dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengambil rumusan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟?

2. Bagaimana metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan

syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟?

3. Bagaimanakah aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟

2. Mengetahui metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan

syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟

3. Mengetahui aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang syarat penyerahan

barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah.

Page 19: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

7

Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya:

1. Secara teoritis, dapat memperkaya khazanah pemikiran keislaman pada

umumnya, dan civitas akademika Jurusan Hukum Ekonomi Islam Fakultas

Syari'ah pada khususnya. Selain itu diharapkan menjadi stimulus bagi

penelitian selanjutnya sehingga proses pengkajian akan terus berlangsung dan

akan memperoleh hasil yang maksimal.

2. Secara praktis, dapat menjadi rujukan terhadap praktek akad istishna‟, sesuai

dengan perkembangan dewasa ini.

D. Telaah Pustaka

Selama penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum ditemukan

penelitian yang spesifik mengkaji pendapat Imam Abu Hanifah tentang syarat

penyerahan barang pada akad istishna‟. Penelitian tentang istishna‟ maupun

pemikiran Imam Abu Hanifah dalam bentuk skripsi yang ada, diantaranya sebagai

berikut:

1. Penelitian Ana Nuryani Latifah (NIM: 052311012) dalam skripsi yang berjudul

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu Penangguhan

Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual

Beli Mebel Antara PT Hmfurniture di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati di

Jepara), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 2009, skripsi ini

memaparkan hal yang berkaitan dengan Jual beli mebel Antara PT Hmfurniture

di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati di Jepara yang dilakukan dengan

Page 20: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

8

pesanan (istishna‟). Dalam perjanjian tersebut tidak menyebutkan secara jelas

tempo pembayaran dan harus ditangguhkan. Hukum Islam melarang praktek

jual beli mebel Antara PT Hmfurniture di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati

di Jepara karena jual beli tersebut mengandung unsur gharar. Hal itu dapat

merugikan salah satu pihak dan hilangnya unsur keridhaan yang merupakan

prinsip dalam setiap muamalah. Dampak dari kerugian itu berakibat pada

kondisi sosial ekonomi bagi pengrajin dan masyarakat di sekitarnya.

2. Penelitian Moh. Atiq Fauzi (NIM: 042111008 / 2104008) dalam skripsi yang

berjudul Penarikan Kembali Harta Wakaf (Analisis Pendapat Imam Abu

Hanifah), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 2010. Temuan dari

penelitian ini mengenai pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa

harta wakaf boleh ditarik kembali oleh wakif maupun ahli warisnya. Pendapat

tersebut disandarkan pada Surat al-Maidah:103 dengan menyamakan harta

wakaf dengan saibah dan menyamakan wakaf dengan akad ariyah (pinjam-

meminjam). Dia mengatakan bahwa dasar hukum yang digunakan Abu Hanifah

kurang tepat karena kata saibah dalam surat al-Maidah:103 bertujuan untuk

berhala dan hadits yang dipakaipun hadits dhoif, hadits tersebut tidak

membahas mengenai wakaf namun mengenai kewarisan yang terdapat pada

masyarakat Arab pada masa itu. Akan tetapi, pendapat Abu Hanifah itu dapat di

pakai dalam perwakafan di Indonesia. Hal ini karena memungkinkan orang-

orang yang akan melaksanakan ibadah wakaf tidak merasa takut akan

kehilangan hartanya. Namun pendapat beliau masih ada kelemahannya yaitu

Page 21: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

9

mengenai tidak adanya kontrak wakaf. Hal ini akan mengakibatkan kekacauan,

sehingga perlu ditambahkan dengan mengadakan kontrak wakaf sebagaimana

pendapat Imam Malik. Hal ini juga sesuai dengan undang-undang no 41 tahun

2004 tentang wakaf yang menyatakan bahwa wakaf boleh dilakukan untuk

selama-lamanya atau dalam jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian

wakaf.

3. Penelitian Ieda Fithria Baria (NIM: 2101217) dalam skripsi yang berjudul

Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Zakat Tanah Yang Disewakan

Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Fakultas Syariah IAIN Walisongo 2008.

Skripsi ini memaparkan pendapat Abu Hanifah tentang zakat tanah yang

disewakan. Menurut Abu Hanifah yang wajib mengeluarkan zakat adalah

pemilik tanah. Abu Hanifah mendasarkan kewajiban tersebut karena status

tanahnya yaitu apabila tanah tersebut baik atau cocok ditanami, maka pemilik

tanahlah yang wajib membayar zakatnya dan apabila tanah tersebut tidak baik

atau tidak cocok untuk ditanami maka penyewalah yang wajib zakat.

4. Penelitian Lukman Zen (NIM: 2101107) dalam skripsi yang berjudul Studi

Analisis Pendapat Mazhab Hanafi Tentang Wakaf Oleh Orang Safih, Fakultas

Syariah IAIN Walisongo Semarang 2008. Skripsi ini memaparkan tentang

pendapat mazhab Hanafi mengenai seorang safih yang melakukan wakaf.

Menurut mazhab Hanafi, seorang safih sah mewasiatkan 1/3 dari hartanya bila

dia punya ahli waris. Dengan syarat dia berwasiat agar dipergunakan dalam

berbagai hal kebaikan seperti untuk memberi nafkah fakir miskin, untuk

Page 22: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

10

membangun sanatorium, jembatan, masjid dan lain sebagainya. Akan tetapi

bila dia berwasiat untuk tempat permainan, club dan lain sebagainya, maka

wasiatnya batal “tidak lulus”. Pendapat mazhab Hanafi tersebut mengisyaratkan

bahwa seorang safih dibolehkan mewakafkan hartanya dengan ketentuan:

pertama, benda yang hendak diwakafkan tidak boleh melebihi dari satu pertiga

keseluruhan harta yang dimiliki; kedua, benda yang diwakafkan itu

dimaksudkan untuk hal-hal yang sifatnya mendatangkan kebaikan yaitu tidak

bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an dan hadits. Dengan demikian, apabila

orang safih mewakafkan harta diperuntukkan bagi jalan kemaksiatan maka

wakafnya batal.

Dari penelusuran di atas, penelitian tentang istishna‟ masih berkutat seputar

penentuan harga dan sistem pembayaran. Penulis belum menemukan penelitian

yang berusaha mengupas secara mendalam mengenai syarat penyerahan barang

pada akad istishna‟ yang sudah semestinya harus dicantumkan dan disepakati di

awal akad.

Adapun penelitian tentang pemikiran Imam Abu Hanifah tentang muamalah

(ekonomi) yang ada, baru mengenai wakaf dan zakat, sehingga menurut penulis,

penelitian ini akan menambah khazanah baru tentang akad istishna‟ dan sebagai

solusi dalam menghadapi persoalan di masyarakat mengenai transaksi istishna‟

tersebut.

Page 23: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

11

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif,

yaitu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan

orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.10

2. Jenis dan Sumber Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penulis menggunakan

penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu serangkaian kegiatan yang

berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat

serta mengolah bahan penelitian.11

Penelitian ini bertujuan untuk

mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material

yang terdapat di ruangan perpustakaan, seperti : buku-buku, majalah, dokumen,

catatan, kisah-kisah sejarah dan lain-lain.12

Sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh.13

Dalam

penelitian secara umum, Sumber data dibedakan atas sumber data primer

(pokok) dan sumber data sekunder (tambahan). Sumber data primer yaitu

pemikiran fuqaha yang diekspresikan baik dalam bentuk tulisan maupun

10

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 3. 11

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hlm. 3. 12

Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, Cet. 9,

hlm. 28 13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,

1993, hlm. 114.

Page 24: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

12

lisan.14

Sepengetahuan penulis, dalam penelitian pendahuluan, Imam Abu

Hanifah tidak meninggalkan karya yang beliau tulis sendiri. Karya-karya Imam

Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihad-nya ketika

itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau

meninggal, buah pikirannya barulah dikodifikasikan oleh murid-murid dan

pengikut-pengikutnya. Pemikiran fuqaha generasi pertama, seperti Imam Abu

Hanifah dapat ditemukan dalam berbagai sumber, yakni kitab fiqh, ushul fiqh

atau falsafah hukum yang dipublikasikan pada masa kini.15

Oleh karena itu,

penulis menetapkan sumber utama dari penelitian ini berupa pemikiran Abu

Hanifah mengenai syarat penyerahan barang pada akad istishna‟ yang ada pada

kitab Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib as-Syarai‟ jilid 6 (enam) bab istishna‟ karya

Imam al-Kasani al-Hanafi.16

Sumber lain yang berhubungan dengan akad

istishna‟ ada di kitab al-Mabsuth,17

juz 11 karya Imam asy-Syarkhasi, dan

kitab Raddul Mukhtar, juz 7, bab buyu‟ karya Ibnu Abidin,18

. Adapun sumber

data sekunder, yakni data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang

melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya

14

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Eds. 1, Bogor: Kencana, 2003, Cet. 1, hlm. 221, lihat

juga Pedoman Penulisan Skripsi oleh Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,

sumber primer yaitu berupa buku, penelitian maupun tulisan ilmiah yang membahas tema penelitian

secara langsung. 15

Ibid 16

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. cit. hlm. 95-98 17

Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 138-140 18

Ibnu „Abidin, Raddul Mukhtar, juz 7, Beirut: Daar al-Kitab Al-Ilmiyyah, 2005, hlm. 474-477

Page 25: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

13

diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.19

Data-

data pelengkap ini diantaranya; kitab al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 5

(lima), bab istishna‟ karya Wahbah az-zuhaily,20

kitab Fiqh Sunnah, juz 4, bab

jual beli karya Sayyid Sabiq,21

buku Pengantar Fiqh Muamalah karya

Dimyauddin Djuwaini,22

buku Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan karya

Adiwarman A. Karim23

, buku Bank Syariah; dari Teori ke Praktik karya Syafi‟i

Antonio24

, buku Bank Syariah; Produk dan Implementasi Operasional, karya

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan, maka

untuk mendapatkan data, peneliti melakukan pencarian dan pengumpulan

melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan buku maupun literatur yang

relevan dengan pokok bahasan.

4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif,

yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu subyek,

kondisi, sistem pemikiran dan suatu relevansi peristiwa pada masa sekarang.

19

M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2002, hlm. 82 20

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, Damsyiq: Daar al-Fikr, 2006, hlm.

3642-3651 21

Sayyid Sabiq, Op. cit. hlm. 68-69

22

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Cet. 1,

hlm. 139. 23

Adiwarman A. Karim, Op. cit. hlm. 100 24

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001,

Cet, 1, hlm. 113-114

Page 26: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

14

Tujuan dari metode ini adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara

sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, dan juga untuk mengetahui sifat-

sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.25

Teknik ini digunakan untuk Pengolahan data penelitian yang sudah

diperoleh yang dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data

sedemikian rupa, sehingga dapat dibaca (Redeable) dan dapat ditafsirkan

(interpretable).26

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini terdiri atas lima bab;

Pertama: pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang permasalahan,

rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metodologi

penelitian, dan sistematika penulisan.

Kedua: biografi Imam Abu Hanifah. Dalam bab ini dipaparkan mengenai

nasab Imam Abu Hanifah, pertumbuhan dan kehidupannya, kepribadian dan sifat-

sifatnya, pengembaraan menuntut ilmu, karya-karyanya, murid-muridnya dan

ketokohannya.

Ketiga: konsep istishna‟ Imam Abu Hanifah. Bab ini terdiri atas dua sub

bab, yaitu, pemikiran Imam Abu Hanifah tentang istishna‟ dan metodologi

25

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1998, hlm. 140-141 26

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. 3, hlm. 123.

Page 27: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

15

istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan akad istishna‟ beserta

metodologi istimbath hukum beliau dalam menetapkan tidak mensyaratkan waktu

penyerahan barang pada akad istishna‟.

Keempat: analisis pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟ dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Ada tiga

sub bab dalam bab ini, yaitu; analisis pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad

istishna‟, metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat

tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟, dan

aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan barang pada akad

istishna‟ tersebut dalam perbankan syariah.

Kelima: penutup, berisi kesimpulan, saran, dan penutup.

Page 28: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

16

BAB II

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH

A. Biografi Imam Abu Hanifah

1. Nasabnya

Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M.

Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya

mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya

keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau

dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau

bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-

tengah bangsa Persia.27

Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada

yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang

lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin

melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan

kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa Arab

itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Dan ada

pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan “Abu

27

Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. 4, hlm.

19

Page 29: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

17

Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan

“Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat” atau “tinta”. Yakni ia di mana-

mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu

pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan demikian

lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.28

2. Pertumbuhan dan kehidupannya

Sebagian besar hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani

Umayyah, sisanya dalam masa Bani Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan

Bani Umayyah di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal

dunia pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan Abu Ja‟far

al-Mansur.

Kehidupan Abu Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu

sudutnya. Ia hidup bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota

Baghdad tempat berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya

kajian dan para pengkaji, diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang

beragam di suatu saat dan yang bertentangan di saat yang lain.29

Wilayah ini memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya

memiliki kesiapan tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya

para ulama ke wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh

28

Ibid. hlm. 19-20 29

Ibid. hlm. 21

Page 30: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

18

khilafah Abbasiyah sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat

dan strategis.

Ketika itu, di Irak terdapat banyak perbudakan. Tren nyanyian

berkembang dan sebagian orang menjadikannya sebagai sarana untuk minum-

minuman keras. Masyarakat muslim masa itu telah dihadapkan pada berbagai

permasalahan yang amat kompleks yang membutuhkan lembaga-lembaga yang

menangani bidang masing-masing. Butuh adanya penanganan secara islami dan

pedoman tehadap batasan hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat. Tak

mengherankan jika Irak didominasi oleh mazhab ahli ra‟yi, tak mengherankan

pula jika kita jumpai bahwa pemikiran Abu Hanifah terpengaruh oleh berbagai

kondisi masyarakat ini, yakni pemikiran yang cenderung rasionalis.30

Disamping menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara‟

dan takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits.

Ketika ia berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji

bersama ayahnya dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi. Dari

ulama ahli hadits ini ia meriwayatkan sabda nabi SAW: “Barang siapa

mendalami agama (tafaqqahu), maka Allah akan mencukupkan segala

kebutuhannya dan memberinya rizki secara yang tidak disangka.” Karenanya,

tidak benar dakwaan sementara orang yang menuduh Abu Hanifah tidak

meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja. Dalam riwayat yang

mu‟tabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan sendiri sebanyak 215

30

Ibid. hlm. 22

Page 31: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

19

hadits selain hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain.

Abu Muayyid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H),

mengumpulkan musnad Abu Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di

Mesir 1326 H.31

3. Kepribadian dan sifat-sifatnya

Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan

sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia

bekerja sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak

menyukai pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita

ia menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-

Tsauri ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia

mengatakan: “Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang

menghapuskan kebaikan-kebaikannya”.32

Tentang ke-wara-an Abu Hanifah, ia menolak jabatan hakim (qadhi)

pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Abbasiyah. Yazid bin Hubairah,

gubernur Irak pada pemerintahan bani Umayyah, menyiksanya karena tetap

menolak menjadi hakim. Pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah

kedua dari Bani Abbas, ia dipanggil untuk pindah ke Baghdad. Saat itu al-

Mansur memaksa dan bahkan bersumpah agar Abu Hanifah menerima untuk

31

Mun‟im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, Cet. 2,

hlm. 84 32

Abdullah Mustafa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, Terj. Husein

Muhammad, “Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. 1, hlm. 75-76

Page 32: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

20

diangkat sebagai hakim, tetapi ia juga bersumpah untuk tidak menerima jabatan

selamanya.33

Abu Hanifah begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari

kekangan penguasa. Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan

ia dapat leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu

Hanifah memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang

dimilikinya.34

Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang

rasionalis yang paling masyhur dan ilmu seorang wara‟ yang paling wara‟.

4. Pengembaraan Menuntut Ilmu

Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-

Nakha‟i dan asy-Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakha‟i dan asy-

Sya‟bi tidak selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama

22 tahun. Setelah berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di

Masjid Kufah.35

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu

Mansur tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. “Ibrahim meriwayatkan dari

Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin

Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu telah membekali dirimu wahai Abu

33

Ibid. hlm. 85 34

Ibid 35

Ahmad asy-Syurbasy, al-Aimmah al-Arba‟ah, Terj. Futuhal Arifin, “Empat Mutiara Zaman”,

Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2003, Cet. 1, hlm. 27-28

Page 33: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

21

Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari orang-orang yang suci, bersih dan

diberkahi.”36

Abu Hanifah dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab.

Dari dia sendiri diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Qur‟an.37

Keahliannya

dalam fiqh mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap

Abu Hanifah, diantaranya;

Imam Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada

Abu Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti

tentang fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-

sahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.”

Termasuk contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf

kepada Abu Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal

dunia, orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah.

Sufyan berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya

dan dia duduk di belakang Abu Hanifah.38

Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: “Saya

tidak pernah melihat orang yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu

Hanifah. Ia sangat cermat dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.”39

36

Ibid. hlm. 27 37

Abdullah Mustafa al-Maraghi, Op. cit. hlm. 73 38

Ibid. hlm. 63-64 39

Ibid. hlm. 74

Page 34: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

22

5. Murid-Murid Imam Abu Hanifah

Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal yang kemudian

menjadi ulama besar yaitu;

Pertama, Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi

yang lahir pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama

kali, Abu Yusuf belajar kepada ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia

berguru kepada Abu Hanifah sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama

dan hafiz (ahli hadits). Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa

masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia menulis banyak kitab tentang masalah-

masalah ibadah, jual beli, hudud (hukum pidana) dan lainnya. Kitabnya yang

paling terkenal adalah “al-Kharaj” yang ditulis atas permintaan khalifah ar-

Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai referensi utama Ekonomi Islam. Kitabnya

yang lain adalah “al-Atsar” dan “al-Raad ala Sairi al-Auza‟i fi ma Mahala fihi

Abu Hanifah” dan lainnya.40

Kedua, Abu Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir

pada tahun 132 H dan meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar

dengan Abu Hanifah. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru

berumur 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih

sejak usia belia. Asy-Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung.

Ia konsisten dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab,

40

Ahmad asy-Syurbasy, Op. cit. hlm. 31

Page 35: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

23

diantaranya, al-Mabsuth, az-Ziyadat, al-Jami‟ al-Kabir, al-Jami‟ as-Shagir, as-

Sair al-Kabir, as-Sair as-Shagir, ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.41

Ketiga, Zufar bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada

tahun 158 H. Zufar lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian

kepada Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal

ahli qiyas. Ia seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas

tentang soal-soal keagamaan serta ahli ibadah.42

Zufar pernah menjabat hakim

di Bashrah. Pada mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka

kepada Abu Hanifah. Zufar lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka

secara menakjubkan sehingga mereka simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini

secara kontinyu. Akhirnya banyak orang-orang yang dulu benci menjadi suka

kepada Abu Hanifah.43

Keempat, Hasan bin Ziyad al-Lu‟luiy al-Kuti yang meninggal dunia pada

tahun 204 H. Ia sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid

sekaligus sahabat Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H

dan menulis beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Ma‟ani al-

Iman, an-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-

Amali.44

41

Ibid 42

Munawir Khalil, Op. cit. hlm. 36 43

Ahmad asy-Syurbasy, Op. cit. hlm. 31 44

Ibid. hlm. 32

Page 36: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

24

6. Pemikiran Abu Hanifah

Pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dalam bidang fiqh, diantaranya;

Pertama, mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah.

Misalnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian terkena

najis, maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air bunga

mawar, cuka, dan tidak terbatas pada air saja.45

Dalam hal zakat, Abu Hanifah

membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar

zakat.46

Kedua, berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah

mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu

dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat,

orang yang punya utang tidak wajib membayar zakat jika utangnya itu lebih

banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas kasihnya kepada orang yang

punya utang.47

Ketiga, pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar

kemampuannya. Abu Hanifah berusaha menjadikan amal manusia itu benar dan

diterima selagi memenuhi syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa

Islamnya anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai Islam

yang benar seperti halnya orang dewasa.48

45

Ibid. hlm. 35 46

Ibid 47

Ibid 48

Ibid. hlm. 36

Page 37: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

25

Keempat, menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.

Karena itu Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang

baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri

sendiri dan nikahnya sah.49

Kelima, kendali pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena

itu, kewajiban seorang imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur

kekayaan umat Islam yang membentang luas di atas bumi untuk kemaslahatan

umat. Kewajiban lainnya adalah pengaturan kepemilikan tanah mati (bebas)

bagi yang mengolahnya yaitu menjadikannya lahan siap pakai.50

Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah

layak mendapatkan gelar “Imam Ahlu ar-Ra‟yi”. Ini tidak berlebihan, karena

beliau telah berjuang dan berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-

hukum yang tidak ada dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga

menguasai ilmu ber-istimbath (menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat

mengambil intisari yang bermanfaat bagi umat, dan tidak bertentangan dengan

nashnya.51

Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan fiqh lainnya yaitu,

bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama

dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik

wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-hibah-kan wakif kepada

49

Ibid 50

Ibid 51

Ibid. hlm. 37

Page 38: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

26

yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan

keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf

itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.

Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya

khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena

perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi

perkara perdata. Karena itu menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim

yang menangani perkara perdata. Dengan demikian, metode ijtihad yang

digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan

menjadikan hakim perempuan sebagai al-Far‟i.52

7. Karya-Karya Abu Hanifah

Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang

mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak

menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang

dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan

al-Alim wa al-Muta‟alim.53

Walau demikian mazhabnya sangat populer dan

tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam

mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama pada istimbath

yang ia rumuskan.

52

Ibid 53

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2000, Cet. 2, hlm. 77-78

Page 39: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

27

Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama

menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke

berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn

al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan

menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari

sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri tidak

meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa yang

dinukil oleh para murid beliau.54

Abu Zahrah, menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk

pertama kali disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga

disebutkan oleh pengikut dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang

paling terkenal dan merupakan orang yang pertama menulis buku ushul fiqh

berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan

karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi, dalam

ushul fiqh.55

Menurut penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua

orang murid yang sangat berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan

pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak

menghasilkan karya-karya yang didasarkan kepada mazhab Hanafi, seperti

54

Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 21 55

Ibid

Page 40: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

28

kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan

diantara karya Abu Yusuf yang terkenal adalah kitab al-Kharaj.56

Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga

salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam

mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath

yang telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.57

Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi)

telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni;

pertama, masail al-Ushul, kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa

wa al- waqi‟at.58

Pertama, masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir

ar-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan

sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-

Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang

kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah.

Kitab-kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu (1)

al-Mabsuth atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir, (4) as-

Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat. Keenam kitab

tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab yang

56

Ibid 57

Ibid 58

Munawar Khalil, Op. cit. hlm. 74

Page 41: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

29

diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh Syamsu ad-

dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.59

Kedua, masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan

Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk

Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-Nawadir

adalah al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan Badai‟

ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.60

Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah

keagamaan yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam

Hanafi yang datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah

hukum-hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran

dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian

mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-

Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-

Samarqandi.61

Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama Hanafiah mutaakkhirin

diantaranya adalah; jami‟ al-Fushulain, Dharar al-Hukkam, Multaqa al-

Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd al-Mukhtar „ala Dhar al-Mukhtar yang

tekenal dengan hasyiah ibn Abidin.

59

Jaih Mubarok, Op. cit. hlm. 77 60

Ibid 61

Munawar Khalil, Op. cit, hlm. 75

Page 42: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

30

Selain kitab-kitab fiqh, dalam aliran Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh

dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah

(1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H); (2) ushul al-Fiqh karya

Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan (3) ushul al-Fiqh karya an-Nasafi

(w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-Anwar.

Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun

kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara

kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi

(260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-

Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟ al-Haqaiq

karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah

(Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid wa al-Fawaid

karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya Mujaddidi62

B. Ketokohan Imam Abu Hanifah

Menurut riwayat yang telah banyak diriwayatkan oleh sebagian ulama ahli

hadits bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda; “ Jika sekiranya ilmu

pengetahuan itu tergantung di bintang tsuraya niscaya akan dicapai oleh beberapa

orang dari keturunan bagsa Persia”. Berhubung dengan adanya hadits ini, diantara

para ulama ada yang memberi keterangan bahwa hadits ini mengandung basyirah

(berita gembira) dari Nabi SAW. Yang dimaksud dengan kata-kata “beberapa

62

Jaih Mubarok, Op. cit. hlm. 78

Page 43: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

31

orang dari keturunan bangsa Persia” itu antara lain ialah yang mulia Imam Abu

Hanifah. Karena beliau itu adalah seorang dari keturunan bangsa Persia dan

beliaupun di kala hayatnya tidak ada seorangpun yang dapat membandingi tentang

ilmu pengetahuannya, kecerdasan fikirannya, keluhuran budinya dan keteguhan

jiwanya.63

Sepanjang riwayat, bahwa mazhab Hanafi dikembangkan oleh sahabat yang

sekaligus murid beliau, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Imam Zufar. Pada masa

pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid menjabat kepala negara bagi dunia Islam,

beliau menyerahkan urusan kehakiman kepada Imam Abu Yusuf. Maka segenap

urusan kehakiman dalam kerajaan ar-Rasyid ada di tangan kekuasaannya. Urusan

resmi di tiap-tiap kota pada masa itu, seperti Iraq, Khurasan, Syam, Mesir bahkan

sampai ke Tapal batas Afrika beliau serahkan kepada orang yang dipercayainya.

Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada orang yang menjadi

sahabatnya dan yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).64

Dengan terpilihnya Imam Abu Yusuf menjadi qadli, maka segenap qadli dan

hakim di segenap daerah dan kota di kala itu pada umumnya yang terdiri dari para

ulama‟ yang bermazhab Hanafi menjadi gemar mempelajari kitab-kitab yang

63

Hadits yang tersebut itu diriwayatkan oleh Abu Nu‟aim dalam al-Hilyah dan Abu Hurairah dan

oleh as-Sairazi dalam al-Alqab dari Qais bin Sa‟ad dengan sanad yang dhaif (lemah). Sekalipun

demikian-menurut kata as-Suyuti berhubung dengan adanya hadits itu berasal dari riwayat yang sahih.

Dan dalam riwayat yang lain adalah dengan susunan kata: “jika sekiranya iman itu di bintang tsuraya,

niscaya akan dicapai oleh beberapa orang dari Persia”. Dalam riwayat ini terdapat kata “iman”, bukan

kata “ilmu”. Dan riwayat ini dalam kitab aljami‟ as-Shaghir oleh Imam as-Sayuti diberi tanda yang

berarti diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi dari sahabat Abi Hurairah. Munawar

Khalil, Op. cit, hlm. 80 64

Ibid. hlm. 80

Page 44: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

32

beraliran Hanafi, karena ingin mendapat kedudukan atau pangkat. Demikianlah

permulaan tersiarnya aliran mazhab Imam Abu Hanifah.65

Selanjutnya mazhab Imam Hanafi baru dikenal orang Mesir sesudah tahun

164 H. Karena di kala itu telah diangkat oleh kepala negara al-Mahdi seorang

qadli yang bermazhab Hanafi yang mula-mula menyiarkan mazhab Hanafi di

Mesir. Terutama selama pemerintahan Islam ada di tangan para kepala negara dari

keturunan Abbasiyah, makin berkembanglah mazhab ini di Mesir sampai tahun

358 M.66

Tatkala Mesir berada di tangan kekuasaan para raja keturunan Fatimiyyah.

Dibawa pula ke sana aliran mazhab mereka yaitu mazhab Syi‟ah al-Ismailiyyah.

Tidak saja mazhab ini tersiar di sana karenanya, tetapi kedudukan qadli

dipengaruhi juga oleh mazhab itu. Bahkan mazhab Syi‟ah pernah menjadi mazhab

pemerintahan dengan resmi.67

Setelah pemerintahan Mesir jatuh ke tangan al-Ayyubi, mereka menindas

dan mengikis habis mazhab itu. Kemudian kerajaan al-Ayyubi mendirikan

sekolah-sekolah untuk mencetak ulama‟ di masa mendatang yang mengikuti

mazhab Syafi‟i dan Maliki. Sultan Salahuddin al-Ayyubi juga mendirikan sekolah

untuk memberikan pengajaran mazhab Hanafi. Sejak saat itu mazhab Hanafi

mendapat kekuatan kembali untuk berkembang di tengah-tengah Mesir. Pada

tahun 641 H Sultan Saleh Najmuddin mendirikan madrasah yang dinamakan

65

Ibid. hlm. 81 66

Ibid 67

Ibid

Page 45: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

33

madrasah as-Shalihiyyah. Dalam madrasah ini diberikan pengajaran-pengajaran

mazhab empat yang masyhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali

sebagai tindakan pembalasan untuk membasmi aliran-aliran mazhab yang lain.68

Pada umumnya penduduk di Afrika (Algeria, Tunisia dan Tripoli) adalah

pengikut mazhab Hanafi yang dibawa oleh Ibnu Farukh Abu Muhammad al-Farisi.

Kemudian ia menyerahkan urusan kehakiman kepada Assad bin Farrat bin Sinan

yang dapat mengembangkan aliran mazhab Hanafi di sana. Demikian sehingga

datang kesana al- Mu‟iz bin Badis dengan membawa aliran mazhab Maliki lalu

dapat menarik sebagian besar penduduknya untuk memeluk mazhab Maliki.

Namun masih ada sebagian kecil dari mereka yang masih tetap menganut mazhab

Hanafi.69

Keluarga raja di Tunisia adalah pengikut mazhab Hanafi. Urusan kehakiman

di sana diserahkan kepada dua qadli yang beraliran Hanafi dan Maliki. Demikian

pula mufti besar di sana juga ada dua, yaitu yang bermazhab Hanafi dan yang

bermazhab Maliki. Tetapi yang bertanggung jawab keseluruhannya ialah yang

bermazhab Hanafi.70

Sepanjang riwayat setelah Mesir jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Turki,

maka kedudukan qadli dan urusan kehakiman diserahkan kepada ulama yang

bermazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi bagi pihak

kerajaan Usmaniyyah dan bagi segenap pembesar negara. Dengan demikian bahwa

68

Ibid. hlm 82 69

ibid 70

Ibid. hlm. 83

Page 46: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

34

sebagian besar pendudu Mesir terpengaruh oleh mazhab Hanafi dengan tujuan

agar mudah mendapatkan kedudukan qadli atau hakim. Sekalipun demikian nama

mazhab Hanafi tidaklah begitu tersiar ke dusun-dusun dan ke hulu-hulu Mesir

tetapi terbatas di dalam kota saja. Kebanyakan penduduk Dusun dan Hulu daerah

Mesir tetap bermazhab Syafi‟i.71

Selanjutnya mazhab Hanafi tersiar dan berkembang di negeri-negeri Syam,

Iraq, India, Afganistan, Kaukasus, Turki dan Balkan negeri-negeri yang lain .

Demikianlah diantara riwayat tersiarnya mazhab Imam Hanafi di dunia ini.

71

Ibid.

Page 47: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

35

BAB III

PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG AKAD ISTISHNA’

A. Konsep Istishna’ Imam Abu Hanifah

Secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-Shun‟i (minta dibuatkan).

Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti meminta untuk dibuatkan suatu

barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa yang

akan datang.72

Jika dianalogkan (di-qiyas-kan), maka jual beli ini tidak diperbolehkan. Jual

beli istishna‟ termasuk jual beli barang yang tidak ada (bai‟ al-Ma‟dum) dan

Rasulullah melarang jual beli semacam ini. Oleh karena itu, qiyas tidak digunakan

oleh Abu Hanifah untuk berijtihad mengenai landasan hukum diperbolehkannya

jual beli istishna‟. Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan

dengan alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi

kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya.73

Ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar jual beli istishna‟

menjadi sah. Rukun yang harus di penuhi, yakni pemesan (mustashni‟), penjual

atau pembuat (shani‟), barang atau obyek (mashnu‟) dan sighat (ijab dan qabul).

Adapun syarat-syarat jual beli istishna‟ yaitu:

72

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-

Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 95. Lihat juga Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala

ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474 73

Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 138

Page 48: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

36

1.

“Adanya kejelasan barang atau obyek (mashnu‟) baik jenis, macam, ukuran

dan sifatnya. Karena sesungguhnya tanpa semua ini akad istishna‟ menjadi

tidak sah.”

2.

“Obyek istishna‟ merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku

dalam hubungan antar manusia.”

3.

“Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam sehingga berlakulah ketentuan-ketentuan akad salam..........”74

Menurut Abu Hanifah, apabila jangka waktu ditetapkan berarti sama saja

dengan jual beli salam (penentuan jangka waktu menjadi sebuah keharusan dalam

akad salam), karena yang dinilai adalah maknanya bukan lafaz-nya.75

Dengan sahnya akad istishna‟ berimplikasi pada tetapnya kepemilikan

barang yang telah dipesan bagi pemesan (mustashni‟) sesuai dengan spesifikasi

atau syarat-syarat yang telah ditentukan di awal akad. Sedangkan bagi pembuat

atau penjual (shani‟) berhak menerima harga barang atau modal dari pemesan

(mustashni‟).76

74

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit. hlm. 97-98 75

Ibid, hlm. 98 76

Ibid

Page 49: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

37

Setiap pihak memiliki hak pilih (hak khiyar) untuk melangsungkan,

membatalkan atau meninggalkan akad tersebut, sebelum pemesan (mustashni‟)

melihat barang yang dipesan. Jika pembuat (shani‟) menjual barang pesanan

(mashnu‟) sebelum pemesan melihatnya, maka hal ini dipebolehkan. Karena akad

ini bersifat tidak mengikat. Jika pembuat telah membawa barang pesanan tersebut

dan telah dilihat olehnya, maka hak khiyar-nya menjadi gugur, karena ia telah

merelakannya kepada pemesan sehingga ia mengirimkan kepadanya. Bagi

pemesan yang telah melihat barang pesanan yang dibawa oleh pembuat, apabila

barang itu sesuai dengan spesifikasi yang dinginkannya maka ia tidak memiliki

hak khiyar. Sedangkan apabila barang yang dibawa shani‟ tidak sesuai dengan

spesifikasi yang diinginkan oleh mustashni‟ maka pemesan mempunyai hak khiyar

untuk membatalkan kontrak.77

B. Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Waktu Penyerahan

Barang pada Akad Istishna’

1. Dasar-Dasar Metodologi Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah

Mengenai metodologi perumusan hukum-hukum (fiqh) yang digunakan

Abu Hanifah, tidak banyak diketahui seperti para imam mujtahid yang lain.

Cara-cara Abu Hanifah dalam menjawab persoalan-persoalan fiqh

menunjukkan bahwa ia memang ahli dalam metodologi fiqh (ushul al-fiqh),

walaupun ia tidak menulis sendiri metodologinya, seperti yang dilakukan Imam

77

Ibid, hlm. 99

Page 50: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

38

Syafi‟i. Pendapat-pendapatnya yang tertulis dalam kitab-kitab mazhabnya dan

cara-cara pengambilan kesimpulan hukum memperlihatkan dengan jelas

ketajamannya dalam ber-ijtihad. Metode istimbath Imam Abu Hanifah dapat

diketahui dari perkataannya sebagai berikut:

انىاخذبكتاباللهإنوجدت فمالم اجدفيهاخذتبسنةرسولاللهواآلثارالصحاحالتى

فشتبينايدالثقاتفانلماجدفىكتاباللهوسنةرسولهاخذتبقولالصحابةمنشئت

وادعقولمنشئتثمالاخرجعناقوالهمالىاقوالغيرهمفاذاانتهىاالمرالىابراهيم

والشعبيوالحسنوابنسيرينوسعيدبنالمسيبفعلياناجتهدكمااجتهدوا

Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitabullah jika saya

menemukannya. Apabila saya tidak menemukan dalam Kitabullah

saya berpegang kepada sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang

sahih yang berkembang diantara orang-orang kepercayaan. Apabila

saya tidak menemukan dalam Kitabullah dan sunnah Rasul, saya

berpegang kepada pendapat-pendapat sahabat. Saya ambil

pendapat-pendapat sahabat yang saya kehendaki. Dan saya

tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari

pendapat sahabat kepada pendapat yang bukan sahabat. Kalau

urusan itu telah sampai kepada Ibrahim, as-Sya‟bi, al-Hasan, Ibnu

Sirin dan Sa‟id ibnul Musayyab maka sayapun berijtihad

sebagaimana mereka berijtihad.”78

Dalam hal penggunaan as-Sunnah sebagai hujjah, Abu Hanifah sangat

selektif. Ia hanya berpegang pada as-Sunnah yang betul-betul kuat dan dapat

dipercaya (tsiqah).79

Mengenai ini, disyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan

harus masyhur dikalangan perawi hadits terpercaya, perawi harus beramal

berdasarkan hadits yang diriwayatkan, dan tidak boleh menyimpang dari

78

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,

Cet. 1, hlm. 58-59 lihat juga Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 2, hlm. 74-75 79

Romli, Op. cit, hlm. 19-22

Page 51: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

39

periwayatannya, perawi tidak boleh orang yang aibnya tersebar dikalangan

umum.80

Dalam hal penggunaan qiyas dan istihsan, kadang-kadang Abu Hanifah

seperti juga diikuti oleh pengikutnya, lebih mendahulukan penggunaan istihsan

bila terlihat dengan jelas ada kemaslahatan. Metodologi qiyas kadang diabaikan

untuk tujuan, dan maksud serta dampak tertentu, atau pengambilan riwayat

haditsnya dilakukan dengan cara murni yang umum, atau dengan

menganalogikan (men-qiyas-kan) dengan yang lebih kuat, dan metodologi

semacam ini disebut dengan istihsan.81

Imam Sahal bin Muzahim, seorang murid Imam Hanafi pernah berkata,

“Perkataan Imam Abu Hanifah itu diambil dari orang kepercayaan, beliau suka

menjauhkan diri dari keburukan, suka adat-istiadat mereka, juga suka

memikirkan atas apa yang telah dianggap baik dan lurus oleh mereka dengan

segi qiyas. Maka apabila sesuatu urusan dipandang kurang atau tidak baik dari

segi qiyas, beliau menetapkannya dengan istihsan, selagi yang demikian itu

dapat dilakukan. Maka apabila dengan cara istihsan telah nyata tidak dapat

dilakukan, barulah beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah

dilakukan oleh kaum muslimin.”82

80

Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Eds. 1, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, hlm. 100 81

Ibid 82

Munawir Khalil, Op. cit, hlm. 78

Page 52: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

40

Keterangan Abu Hanifah yang tertera itu dapat diambil kesimpulan

bahwa dasar-dasar istimbath Imam Abu Hanifah sebagai berikut;

1. Kitab Allah (al-Qur‟an al-Karim)

2. Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur

(tersiar) diantara para ulama yang ahli

3. Fatwa-fatwa dari para sahabat

4. Qiyas

5. Istihsan, dan

6. „Urf, adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam

Demikianlah dasar-dasar istimbath Imam Hanafi yang sebenarnya,

sebagaimana telah diketahui oleh para ulama ahli ushul al-fiqh.83

2. Metode Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Akad Istishna‟

Metode istimbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah untuk

memberikan landasan hukum atas pensyariatan akad istishna‟, sebagaimana

yang tertulis dalam kitab Badai‟ Shanai‟ yang dikutip oleh imam al-Kasani;

، فانقياس و اش قد : أيا ج انسهى ، ج ، نا عهى سا د انئ بيع يا نيس ع نا يجش؛ نأ أ

ى زسل انه سهى - عهي يجش - صهى انه زخص في انسهى ، ، سا د انئ بيع يا نيس ع ع

قد قال كس، غيس ذنك في سائس انأعصاز ي ه ى يع اع اناس عهى ذنك؛ نأ ا؛ نئج - استحسا عهي

انسهاو ع أيتي عهى ضهانت }: انصهاة انسهاو- قال {نا تجت انصهاة :عهي

83

Ibid. hlm. 79

Page 53: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

41

قبيح } د انه ع قبيحا ؛ ف سه ان يا زآ ، حس د انه ع حسا ؛ ف سه ان يا زآ

}

Artinya:”Jika dianalogkan (di-qiyas-kan) dengan bai‟ Ma‟dum, maka jual beli

ini tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟ termasuk jual beli

barang yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli semacam

ini. Oleh karena itu, qiyas tidak digunakan oleh Abu Hanifah dalam

berijtihad untuk landasan hukum diperbolehkannya jual beli istishna‟.

Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan dengan

alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi

kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang

mengingkarinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mungkin umat-Ku

(Muhammad SAW) bersepakat dalam kesesatan. ”Dalam hadits yang

lain, Rasulullah SAW juga berkata:“Apa yang menurut orang-orang

Islam baik maka menurut Allah juga baik dan apa yang menurut

orang-orang Islam buruk, maka bagi Allah hal itu juga buruk.”84

Dari keterangan di atas, dapat di pahami bahwa dalam menetapkan akad

istishna‟, Abu Hanifah berpegang pada istihsan. Beliau mengenyampingkan

qiyas dan memilih istihsan dengan alasan istishna‟ bertentangan dengan

semangat bai‟ secara qiyas. Dalam akad jual beli, pokok atau obyek akad harus

sudah ada atau dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna‟ pokok kontrak

ini belum ada atau tidak dimiliki oleh penjual. Berarti istishna‟ termasuk jual

beli barang yang obyeknya tidak ada (bai‟ ma‟dum), sehingga hal ini tidak

diperbolehkan dan Rasulullah melarangnya. Istishna‟ diperbolehkan dengan

alasan istihsan, demi kemaslahatan kehidupan manusia dan telah menjadi

kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama‟ yang mengingkarinya.

Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa metode istimbath yang

84

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 96

Page 54: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

42

digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam menetapkan akad istishna‟ adalah

istihsan bi al-urf.

3. Metode Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Tidak Perlu

Menentukan Waktu Penyerahan dalam Akad Istishna‟

Metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat

tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ bisa

diketahui dari pernyataannya, seperti yang tertulis dalam kitab dalam kitab

Badai‟ ash-Shanai‟ yang dikutip oleh Imam al-Kasani al-Hanafi sebagai

berikut;

Artinya:“Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa ketika akad istishna‟ itu

ditentukan waktu penyerahan barangnya, maka akad ini berubah

menjadi akad salam. Sebagaimana diketahui bahwa syarat akad salam

adalah menentukan waktu penyerahan barang. Dalam akad yang

diperhitungkan adalah maknanya bukan lafadz zahirnya..............”85

85

Ibid. hal. 98

Page 55: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

43

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa dalam menetapkan syarat

tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ ini Abu

Hanifah ber-istimbath hukum dengan;

“Bahwa yang diperhitungkan dalam akad itu adalah maknanya, bukan

lafadznya.”86

Secara jelas Imam Abu Hanifah membedakan antara salam dan istishna‟.

Salam harus menentukan waktu penyerahan barang, sedangkan istishna‟ tidak

perlu. Apabila dalam istishna‟ ditentukan waktu penyerahan barang, maka

otomatis akad ini akan berubah menjadi akad salam. karena yang

diperhitungkan dalam akad adalah makna yang tersirat dari ungkapan akad

tersebut, bukan pada lafadz dhahir-nya.

Metode istimbath Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak

perlu menetukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ berkaitan

dengan akad salam. Dilihat dari jenisnya jual beli istishna‟ sama dengan jual

beli salam, yaitu sama-sama jual beli pesanan, dimana barangnya ditangguhkan

untuk diserahkan pada masa yang akan datang. Akan tetapi Imam Abu Hanifah

membedakan diantara keduanya. Dalam akad salam beliau mensyaratkan harus

menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang,

sedangkan dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya. Beliau menetapkan

syarat ini dengan metode istimbath bahwa beliau memilah-milah produk atau

barang yang menjadi obyek pesanan. Obyek salam berupa barang-barang hasil

86

Ibid

Page 56: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

44

pertanian, sedangkan obyek istishna‟ berupa barang-barang properti buatan

manusia.87

Sesuai dengan corak pemikiran Imam Abu Hanifah yang cenderung

rasional. Beliau menetapkan perbedaan produk atau barang yang menjadi obyek

akad istishna‟ atau salam itu dengan pertimbangan ra‟yu yang bertujuan untuk

kemaslahatan manusia. Secara logika beliau menetapkan syarat perlunya

menentukan waktu penyerahan barang yang pasti di awal akad dalam akad

salam dengan menentukan barang pesanannya berupa produk-produk hasil

pertanian. Ini sangat rasional. Dilihat dari obyek akad salam yang berupa

produk hasil pertanian, sebagaimana kita ketahui bahwa hasil pertanian tidak

bisa langsung didapatkan. Ada proses menanam sampai memetik hasilnya. Dan

ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan obyek pada akad

istishna‟. Namun, penentuan waktu pada obyek salam itu bisa disesuaikan

dengan masa yang berlaku dan masyhur di wilayah setempat. Kemudian dari

segi ketahanan hasil produk tersebut dari kemungkinan terjadinya pembusukan

atau kecacatan yang lain apabila disimpan terlalu lama, maka oleh Abu

Hanifah, beliau menetapkan harus menentukan waktu penyerahan barang pada

akad salam dengan alasan-alasan di atas untuk mencapai kemaslahatan umat.

Dilihat dari jenis barang yang menjadi obyek pesanan jual beli istishna‟

juga. Imam Abu Hanifah menetapkan hanya pada barang-barang properti.

87

Ibid. hlm. 97

Page 57: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

45

Seperti perabot rumah tangga.88

Beliau tidak menetapkan syarat waktu

penyerahan barang pada istishna‟ ini berdasarkan istimbath hukum bahwa yang

berlaku di masyarakat ketika itu memang tidak menentukan waktu karena

barang-barang properti itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya.

Hal ini tentu berbeda dengan obyek akad salam yang berupa produk hasil

pertanian dimana untuk mendapatkannya harus menunggu waktu yang lebih

lama dari obyek istishna‟ untuk mendapatkannya. Pada masa itu obyek

istishna‟ bisa dipesan dengan menunggu beberapa hari untuk mendapatkannya.

Jadi tidak perlu ditentukan waktu penyerahannyapun, obyek pesanan tetap bisa

cepat untuk di dapatkan.

88

Ibid. hlm. 97

Page 58: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

46

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKTU

PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’ DAN APLIKASINYA

DALAM PERBANKAN SYARIAH

A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang

Pada Akad Istishna’

Dalam literatur fiqh klasik, masalah istishna‟ mulai mencuat setelah menjadi

bahasan Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya (mazhab Hanafi). Menurut

beliau, secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-Shun‟ati (minta di buatkan).

Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti meminta untuk dibuatkan suatu

barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa yang

akan datang.89

Demikian pengertian istishna‟ menurut Imam Abu Hanifah dan

diikuti pula oleh murid-muridnya.

Selanjutnya mengenai syarat-syarat istishna‟. Abu Hanifah menyebutkan

sebagai berikut:

بيا .4

ن جنس المصنوع ، ونوعه وقدره وصفته ؛ لأنه لا يصير معلوما بدونه

“Adanya kejelasan barang atau obyek (mashnu‟) baik jenis, macam, ukuran

dan sifatnya. Karena sesungguhnya tanpa semua ini akad istishna‟ menjadi

tidak sah.”

89

Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-

Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474

Page 59: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

47

5.

أن يكون مما يجري فيه التعامل بين الناس

“Obyek istishna‟ merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku

dalam hubungan antar manusia.”

أن لا يكون فيه أجل ، فإن ضرب للاستصناع أجلا ؛ صار سلما حتى يعتبر فيه .6

شرائط السلم ، وهو قبض البدل في المجلس ، ولا خيار لواحد منهما إذا سلم الصانع

قول أبي حنيفة رحمه الله (وهذا )المصنوع على الوجه الذي شرط عليه في السلم

“Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan

barang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam

sehingga berlakulah ketentuan-ketentuan akad salam..........”90

Berbeda dengan gurunya (Imam Abu Hanifah), Muhammad dan Abu

Yusuf berpendapat bahwa point ke tiga dari syarat-syarat yang diajukan oleh

Imam Abu Hanifah untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna‟

bukanlah syarat dari akad istishna‟. Jangka waktu penyerahan barang harus

ditentukan dan ini dimaksudkan supaya pekerjaan dikerjakan dengan segera,

sehingga bisa selesai tepat pada waktunya.91

Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad istishna‟ sungguh luar biasa.

Beliaulah ulama‟ yang pertama kali membahas tentang akad istishna‟.

Kecemerlangan pemikiran Abu Hanifah mengenai jual beli istishna‟ terbukti

dengan dikembangkannya pemikiran Abu Hanifah tersebut oleh para muridnya,

90

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-

Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 97-98 91

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damsyiq: Daar al-Fiqh, 2006, hlm. 3648

Page 60: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

48

para ulama‟ fiqh klasik, kemudian dilanjutkan pula oleh para ulama‟ fiqh

kontemporer hingga saat ini. Kini jual beli istishna‟ menjadi salah satu produk

yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Di perbankan syariah akad

istishna‟ biasa dipakai untuk pembiayaan kepemilikan rumah (KPR),

pembiayaan renovasi rumah, dan lain-lain yang pembayarannya bisa dilakukan

secara kredit. Hal ini tentu lebih meringankan nasabah (masyarakat).

Sebagaimana kita ketahui bahwa rumah merupakan hal yang sangat urgen bagi

setiap orang. Sementara kebutuhan orang tidak hanya satu, ingin punya rumah

saja. Oleh karena itu bukan tidak mungkin produk istishna‟ ini akan menjadi

produk unggulan bank syariah di masa yang akan datang.

Mengenai syarat penyerahan barang pada akad istishna‟, Imam Abu

Hanifah berpendapat tidak perlu ada tenggang waktu antara pesanan dengan

penyerahan barang, apabila jangka waktu ditentukan, maka akan berubah

menjadi akad salam.92

Beliau berpendapat demikian bukan tanpa alasan. Beliau

berpendapat demikian justru karena beliau sangat manusiawi (memperhatikan

kepentingan manusia), khususnya bagi kaum yang lemah agar tidak merasa

tertekan oleh keterbatasan waktu. Beliau juga mengantisipasi kalau-kalau dalam

proses pekerjaan (pembuatan barang pesanan) itu terjadi sesuatu di luar

kehendak manusia yang menyebabkan pekerjaan menjadi tertunda. Oleh karena

itu, beliau berpendapat tidak perlu menentukan jangka waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟. Namun, apabila pendapat Imam Abu Hanifah

92

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. cit, hlm. 97

Page 61: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

49

diterapkan pada masa sekarang maka tidak relevan. Sebab penentuan jangka

waktu antara pesanan dengan penyerahan barang menjadi suatu keharusan

dalam setiap transaksi dan harus ditentukan secara jelas dan pasti di awal akad.

Hal ini untuk memelihara kepentingan pemesan atau pembeli (mustashni‟) agar

tidak mengalami kerugian dan memelihara unsur keridhaan (an-taradhin) yang

merupakan unsur dasar dalam setiap muamalah. Kerelaan di sini dapat berarti

kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat maupun kerelaan dalam arti

kerelaan menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan

dan bentuk muamalat lainnya.93

Asas ini berdasarkan firman Allah Qs. al-

Baqarah: 282 dan Qs. an-Nisa‟: 29

(۲٨۲:البقرة) ....... يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah94

tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya.........” (Qs. al-Baqarah: 282)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan

93

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM, 1995,

hlm. 113 94

Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Qs.

al-Baqarah: 282

Page 62: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

50

janganlah kamu membunuh dirimu95

sesungguhnya Allah adalah

Maha Penyayang kepadamu”.(Qs. an-Nisa‟: 29)

B. Analisis Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah Tentang Syarat Penyerahan

Barang Pada Akad Istishna’

Mengenai metodologi perumusan hukum-hukum (fiqh) yang digunakan Abu

Hanifah, tidak banyak diketahui seperti para imam mujtahid yang lain. Cara-cara

Abu Hanifah dalam menjawab persoalan-persoalan fiqh menunjukkan bahwa ia

memang ahli dalam metodologi fiqh (ushul al-fiqh), walaupun ia tidak menulis

sendiri metodologinya, seperti yang dilakukan Imam Syafi‟i. Pendapat-

pendapatnya yang tertulis dalam kitab-kitab mazhabnya dan cara-cara

pengambilan kesimpulan hukum memperlihatkan dengan jelas ketajamannya

dalam berijtihad. Metodologi istimbath hukum Imam Abu Hanifah secara umum

urutannya sebagai berikut;

7. Kitab Allah (al-Qur‟an al-Karim)

8. Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur

(tersiar) diantara para ulama yang ahli

9. Fatwa-fatwa dari para sahabat

10. Qiyas

95

Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab

membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan

Page 63: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

51

11. Istihsan

12. „Urf, adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam96

Adapun dalam menetapkan akad istishna‟, Abu Hanifah berbeda pendapat

dengan ulama yang lain. Beliau mensyariatkan akad istishna‟ dengan dalil sebagai

berikut;

أن لا يجوز؛ لأنه بيع ما ليس عند الإنسان، لا على : وأما جوازه ، فالقياس

عن بيع ما ليس عند - صلى الله عليه وسلم - وجه السلم ، وقد نهى رسول الله

الإنسان ، ورخص في السلم ، ويجوز استحسانا؛ لإجماع الناس على ذلك؛ لأنهم

لا }: عليه الصلاة والسلام - يعملون ذلك في سائر الأعصار من غير نكر، وقد قال

ما رآه المسلمون حسنا ؛ } : عليه الصلاة والسلام- وقال {تجتمع أمتي على ضلالة

{فهو عند الله حسن ، وما رآه المسلمون قبيحا ؛ فهو عند الله قبيح

Artinya:”Jika dianalogkan (di-qiyas-kan) dengan bai‟ Ma‟dum, maka jual beli ini

tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟ termasuk jual beli barang

yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli semacam ini. Oleh

karena itu, qiyas tidak digunakan oleh Abu Hanifah dalam berijtihad

untuk landasan hukum diperbolehkannya jual beli istishna‟. Menurut

Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan dengan alasan

istihsanan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi

kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang

mengingkarinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mungkin umat-Ku

(Muhammad SAW) bersepakat dalam kesesatan. ”Dalam hadits yang

lain, Rasulullah SAW juga berkata:“Apa yang menurut orang-orang

islam baik maka menurut Allah juga baik dan apa yang menurut orang-

orang islam buruk, maka bagi Allah hal itu juga buruk.”97

96

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,

Cet. 1, hlm. 58-59 lihat juga Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 2, hlm. 74-75 97

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 96

Page 64: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

52

Dalam menetapkan akad istishna‟, khususnya pada syarat penyerahan obyek

atau barang, Imam Abu Hanifah tidak menggunakan semua metode istimbath.

Beliau hanya memakai dalil istihsan dan urf saja. Hal ini karena istishna‟

merupakan akad ghairu musamma yang dasar hukumnya tidak ditentukan secara

eksplisit di dalam al-Qur‟an maupun hadits. Beliau mengenyampingkan qiyas dan

memilih istihsan karena demi kebaikan kehidupan manusia dan praktek istishna‟

ini telah menjadi kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang

mengingkarinya.98

Sedangkan menurut ulama‟ yang lain, yakni ulama‟ Malikiyah, Syafi‟iyyah

dan Hanabilah, akad istishna‟ sah dengan landasan diperbolehkannya akad salam.

Mereka men-qiyas-kan bai‟ Istishna‟ dengan bai‟ Salam karena dalam keduanya

barang yang dipesan belum berada di tangan penjual manakala kontrak

ditandatangani. Selain itu bai‟ istishna‟ juga telah menjadi kebiasaan umat

manusia dalam bertransaksi (urf). Oleh karena itu, dalam bai‟ istishna‟ berlaku

pula syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam bai‟ salam.99

Dari keterangan

tersebut penulis mengambil kesimpulan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa

syarat istishna‟ itu tidak perlu ada tenggang waktu antara pesanan dengan

penyerahan barang dikarenakan konsistensi beliau untuk membedakan akad

istishna‟ dengan akad salam. Mengingat kajian istishna‟ ini hanya ada pada

98

Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 96 99

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 97

Page 65: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

53

mazhab Abu Hanifah, sedangkan pada mazhab yang lain, Syafi‟i, Maliki, dan

Hambali tidak membahasnya karena mereka menganggap istishna‟ merupakan

bagian dari akad salam sehingga semua ketentuan yang ada pada akad salam

berlaku pula pada akad istishna‟.

Menurut pengertian bahasa arab, istihsan artinya “menjadikan atau

menganggap sesuatu itu baik” atau ”mengikuti sesuatu yang baik secara hissi

(lahir) dan ma‟nawi. Secara istilah, ulama Hanafiyah mendefinisikan istihsan

berarti berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada

ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan

hukum lain, menyisihkan atau meninggalkan suatu ketentuan hukum, pengecualian

sebagian hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya, ataupun men-

tahsis-kan sebagian satuan hukum dari hukum umum. Perpindahan dan seterusnya

itu harus bertopang atau bersandar atau ber-isnad kepada suatu dalil syara‟ baik

dari nash-nya atau pengertian tersiratnya, atau mashlahat ataupun adat

kebiasaan.100

Istihsan terbagi pada beberapa macam dengan memperhatikan asal

perpindahannya atau arah perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan

perpindahan. Dari segi asal perpindahan, istihsan dibagi menjadi dua, yaitu; 1)

berpindah dari tuntutan qiyas zahir ke qiyas khafi, contohnya, fuqaha Hanafiyah

berpendapat bahwa hak irigasi, dan jalan, tidak termasuk ke dalam wakaf tanah

100

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar

Grafika, 2007, Cet. 3, hlm. 130

Page 66: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

54

pertanian bila disebutkan sebagai qiyas dan termasuk menurut istihsan. Menurut

qiyas yang zahir ialah men-qiyas-kan waqaf dengan jual beli karena dengan jual

beli maka milik penjual sudah berpindah, demikian juga hal dengan wakaf maka

milik yang berwakaf sudah keluar dari kekuasaannya. Sedangkan qiyas khafi ialah

men-qiyas-kan wakaf dengan ijarah (sewa-menyewa) karena yang dimaksudkan

dengan sewa dan wakaf adalah mengambil manfaat terhadap hasil barang bukan

memiliki barangnya. Dalam sewa-menyewa tanah pertanian termasuklah hak

irigasinya, dan jalannya walaupun hal itu tidak disebutkan. Maka demikian jugalah

halnya dengan wakaf. Dalil yang menjadi landasan perpindahan ini adalah bahwa

yang dimaksud wakaf ialah mengambil manfaatnya penerima wakaf dari hasil

yang diwakafkan bukan memiliki barangnya. Mengambil manfaat dari hasil

pertanian tidak akan terwujud tanpa irigasinya. Maka qiyas yang menuntut

dimasukkannya hak-hak tersebut ke dalam yang diwakafkan tanpa

menyebutkannya, lebih kuat pengaruhnya dari segi yang dapat mewujudkan

maslahat wakaf. 2) berpindah dari hukum kulli kepada hukum pengecualian,

contohnya, seseorang yang memegang amanat wajib mengganti sesuatu yang

diamanatkan kepadanya karena dianggap jahil terhadap amanat. Anggapan jahil

tersebut adalah salah satu bentuk lalai dalam memelihara. Tetapi dikecualikan

bapak dari pemberi amanat sebagai istihsan jika ia mati dalam keadaan tidak

mengetahui harta anaknya, karena si bapak mempunyai hak memperdagangkan

Page 67: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

55

harta anaknya dan berhak mendapatkan nafkah dari anaknya. Maka kemungkinan

ia berdagang lalu merugi atau kemungkinan ia mengambil hak nafkahnya.101

Dari segi sanad yang menjadi landasan, maka istihsan terbagi menjadi

empat, yaitu; 1) istihsan yang sanad-nya khafi, seperti contoh yang sudah

diketengahkan, 2) istihsan yang sanad-nya nash, contohnya Allah melarang

memakan daging babi dan bangkai, tetapi di-rukhsah-kan bagi orang yang dalam

keadaan darurat. Penamaan ini sebagai istihsan kurang tepat karena hukum yang

dikecualikan itu ditetapkan dengan nash sendiri bukan dengan istihsan. 3) istihsan

yang sanad-nya urf, contohnya jual beli pesanan (indent). Menurut hukum umum

tidak sah, karena yang dibeli tidak berwujud barangnya, tetapi dibolehkan karena

istihsan menurut urf. Alasan ini pula yang dijadikan patokan Imam Abu Hanifah

dalam menetapkan akad istishna‟. 4) istihsan yang sanad-nya darurat, contohnya,

diampunkannya yang sedikit dan dimaafkannya percikan halus air seni atau

kencing.102

Demikian pula dengan para imam mujtahid yang empat, mereka juga telah

menggunakan metodologi qiyas dan istihsan yang memiliki kriteria di atas. Hanya

saja mereka tidak menamakan istihsan, tapi mengkategorikannya pada kategori

metode lain, misalnya dikategorikan istihlah. Dengan begitu kategori maslahah-

mursalah merupakan prinsip metodologi mazhab Hanafiah, meskipun tidak

menggunakan penamaan ini. Perbedaan pokoknya adalah bahwa mazhab Hanafiah

101

Ibid. hlm. 131-132 102

Ibid. hlm. 133

Page 68: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

56

dalam penggunaan prinsip atau metodologi qiyas dan istihsan lebih dominan (luas)

dibanding dengan yang lain. Hal ini dikarenakan persyaratan yang dicanangkan

mazhab ini dalam penggunaan atsar-atsar lebih ketat dan selektif, sehingga hanya

sedikit saja yang lolos seleksi.103

Urf juga menjadi alasan Imam Abu Hanifah dalam mensyariatkan akad

istishna‟. Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan)

yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah

masyarakat.104

Dan ini tergolong salah satu sumber hukum yang diambil dari

intisari sabda Nabi Muhammad SAW;

فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ

Artinya:“Apa yang menurut orang-orang islam baik maka menurut Allah juga

baik dan apa yang menurut orang-orang islam buruk, maka bagi Allah

hal itu juga buruk.” (HR. Ibn Hambal, dari Ibnu Mas‟ud)105

Hadits ini baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukkan bahwa

setiap perkara yang telah mentradisi di kalangan kaum muslimin dan dipandang

sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik di hadapan

Allah. Menentang urf (tradisi) yang dipandang baik oleh masyarakat akan

menimbulkan kesulitan dan kesempitan.106

Allah SWT berfirman;

وما جعل عليكم في الدين من حرج

103

Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Eds. 1,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, hlm. 100 104

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 12, hlm. 416 105

Musnad Imam Ahmad, juz 7, hlm 453 106

Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit. hlm. 417

Page 69: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

57

Artinya:“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu

kesempitan.”(Qs. al-Hajj: 78)

Oleh karena itu, ulama‟ mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukum yang

ditetapkan berdasarkan urf yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak atau

cacat), sama dengan yang ditetapkan dalil syar‟i.107

Perlu pula diketahui bahwa Abu Hanifah berada pada suatu tempat yang

sangat kurang sekali mendapatkan orang yang hafal hadits, dibandingkan tempat

lainnya yang terkenal (Madinah). Sedangkan dalam hal ini, masalah hukum yang

perlu mendapat penyelesaian selalu ada saja setiap harinya. Oleh karena itu Abu

Hanifah termasuk seorang Imam yang paling pandai dalam urusan “qiyas” dan

“istihsan”.108

Adapun dalam hal penggunaan as-Sunnah sebagai hujjah, Abu Hanifah

sangat selektif. Ia hanya berpegang pada as-Sunnah yang betul-betul kuat dan

dapat dipercaya (tsiqah).109

Mengenai ini, disyaratkan bahwa hadits yang

diriwayatkan harus masyhur dikalangan perawi hadits terpercaya, perawi harus

beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan, dan tidak boleh menyimpang dari

periwayatannya, perawi tidak boleh orang yang aibnya tersebar dikalangan

umum.110

Fudail bin Iyad mengatakan: “Jika ada masalah yang didasarkan hadits sahih

sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari

107

Ibid 108

Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Op. cit, hlm. 100 109

Romli, Muqaramnah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, h. 19-22 110

Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Op. cit, hlm. 100

Page 70: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

58

sahabat dan tabiin. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang

sangat baik”. Abu Hanifah juga mengatakan: “Jika suatu hadits datang dari

Rasulullah SAW saya tidak akan mencari yang lain. Jika dari sahabat, saya akan

memilih. Jika dari tabiin, saya akan menelitinya”. Katanya lagi: “Saya heran

mengapa orang mengatakan saya berfatwa dengan menggunakan rasio, padahal

saya mengambil atsar, ucapan dan keterangan sahabat”.111

Demikianlah metode istimbath imam Abu Hanifah seperti yang juga

dilakukan oleh murid-muridnya dan juga yang tertulis dalam buku-buku mazhab

Hanafi. Walaupun Abu Hanifah terkenal dengan ahli ra‟yi, lebih dominan dalam

menggunakan qiyas dan istihsan dalam menetapkan hukum, akan tetapi ia

melakukan itu bukan tanpa tujuan. Ia melakukannya karena memperhatikan

kemaslahatan umat (maqashid as-Syariah) tanpa mengabaikan nash yang shahih,

kuat dan masyhur dikalangan para perawi hadits yang terpercaya terlebih dahulu.

Adapun dalam menetapkan syarat akad istishna‟ yang berupa tidak perlu

menentukan waktu penyerahan barang, apabila waktu penyerahan ini ditentukan

maka akan berubah menjadi akad salam, bisa diketahui dari pernyataannya, seperti

yang tertulis dalam kitab dalam kitab Badai‟ ash-Shanai‟ yang dikutip oleh Imam

al-Kasani al-Hanafi sebagai berikut;

يفت : نأبي ح ى انسهى ؛ إذ ع أجها ؛ فقد أتى ب إذا ضسب في أ ع زضي انه

ز انأنفاظ ا نا نص ي عا انعبسة في انعقد ن عقد عهى يبيع في انريت يؤجها ،

111

Abdullah Mustafa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, (terj) Husein

Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. 1, hlm. 74-75

Page 71: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

59

Artinya:“Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa ketika akad istishna‟ itu ditentukan

waktu penyerahan barangnya, maka akad ini berubah menjadi akad

salam. Sebagaimana diketahui bahwa syarat akad salam adalah

menentukan waktu penyerahan barang. Dalam akad yang diperhitungkan

adalah maknanya bukan lafadz zahirnya..............”112

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa dalam menetapkan syarat

tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ ini Abu

Hanifah ber-istimbath hukum dengan;

ز انأنفاظ ا نا نص ي عا انعبسة في انعقد ن

“Bahwa yang diperhitungkan dalam akad itu adalah maknanya, bukan

lafadznya.”113

Secara jelas Imam Abu Hanifah membedakan antara salam dan istishna‟.

Salam harus menentukan waktu penyerahan barang, sedangkan istishna‟ tidak

perlu. Apabila dalam istishna‟ ditentukan waktu penyerahan barang, maka

otomatis akad ini akan berubah menjadi akad salam. karena yang diperhitungkan

dalam akad adalah makna yang tersirat dari ungkapan akad tersebut, bukan pada

lafadz dhahir-nya.

Metode istimbath Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu

menetukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ berkaitan dengan akad

salam. Dilihat dari jenisnya jual beli istishna‟ sama dengan jual beli salam, yaitu

sama-sama jual beli pesanan, dimana barangnya ditangguhkan untuk diserahkan

pada masa yang akan datang. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membedakan

diantara keduanya. Dalam akad salam beliau mensyaratkan harus menentukan

tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang, sedangkan

112

Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 98 113

Ibid

Page 72: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

60

dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya. Beliau menetapkan syarat ini

dengan metode istimbath bahwa beliau memilah-milah produk atau barang yang

menjadi obyek pesanan. Obyek salam berupa barang-barang hasil pertanian,

sedangkan obyek istishna‟ berupa barang-barang properti buatan manusia.114

Sesuai dengan corak pemikiran Imam Abu Hanifah yang cenderung rasional.

Beliau menetapkan perbedaan produk atau barang yang menjadi obyek akad

istishna‟ atau salam itu dengan pertimbangan ra‟yu yang bertujuan untuk

kemaslahatan manusia. Secara logika beliau menetapkan syarat perlunya

menentukan waktu penyerahan barang yang pasti di awal akad dalam akad salam

dengan menentukan barang pesanannya berupa produk-produk hasil pertanian. Ini

sangat rasional. Dilihat dari obyek akad salam yang berupa produk hasil pertanian,

sebagaimana kita ketahui bahwa hasil pertanian tidak bisa langsung didapatkan.

Ada proses menanam sampai memetik hasilnya. Dan ini memerlukan waktu yang

lebih lama dibandingkan obyek pada akad istishna‟. Namun, penentuan waktu

pada obyek salam itu bisa disesuaikan dengan masa yang berlaku dan masyhur di

wilayah setempat. Kemudian dari segi ketahanan hasil produk tersebut dari

kemungkinan terjadinya pembusukan atau kecacatan yang lain apabila disimpan

terlalu lama, maka oleh Abu Hanifah, beliau menetapkan harus menentukan waktu

penyerahan barang pada akad salam dengan alasan-alasan di atas untuk mencapai

kemaslahatan umat.

114

Ibid. hlm. 97

Page 73: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

61

Dilihat dari jenis barang yang menjadi obyek pesanan jual beli istishna‟

juga. Imam Abu Hanifah menetapkan hanya pada barang-barang properti. Seperti

perabot rumah tangga.115

Beliau tidak menetapkan syarat waktu penyerahan

barang pada istishna‟ ini berdasarkan istimbath hukum bahwa yang berlaku di

masyarakat ketika itu memang tidak menentukan waktu karena barang-barang

properti itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Hal ini tentu

berbeda dengan obyek akad salam yang berupa produk hasil pertanian dimana

untuk mendapatkannya harus menunggu waktu yang lebih lama dari obyek

istishna‟ untuk mendapatkannya. Pada masa itu obyek istishna‟ bisa dipesan

dengan menunggu beberapa hari untuk mendapatkannya. Jadi tidak perlu

ditentukan waktu penyerahannyapun, obyek pesanan tetap bisa cepat untuk di

dapatkan. Hal inilah yang berbeda dengan praktek istishna‟ pada masa sekarang.

Di Indonesia khususnya, jual beli istishna‟ dikembangkan oleh perbankan

syariah dengan skema istishna‟ paralel. Dan obyek pesanan (mashnu‟) yang

ditetapkan sekarangpun tidak sama dengan pada masa Imam Abu Hanifah. Pada

masa sekarang produk jual beli istishna‟ dikembangkan oleh perbankan syariah

dengan mashnu‟ yang lebih berkembang dari pada masa Abu Hanifah. Bahkan

istishna‟ paralel pada perbankan syariah itu melayani proyek-proyek besar milik

pemerintah guna membangun sarana umum untuk kemaslahatan warga negara

tersebut. Jadi penentuan waktu penyerahan ini, sudah pasti harus ditentukan dalam

akad istishna‟.

115

Ibid. hlm. 97

Page 74: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

62

Imam Abu Hanifah juga membedakan antara salam dan istishna‟, dimana

salam disyaratkan adanya penentuan waktu penyerahan barang. Sedangkan dalam

istishna‟ tidak ada. Pendapat beliau ini bisa saja karena memang pada dasarnya,

syarat itu adalah sesuatu yang melekat dalam substansi akad. Sedangkan waktu

penyerahan itu adalah prosedur atau teknik pelaksanaan dari akad istishna‟

tersebut, jadi tidak menjadi masalah apabila tidak ditentukan. Demikianlah metode

istimbath yang dipakai Imam Abu Hanifah dalam menetapkan tidak perlu

menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ yang berbeda dari akad

salam. beliau menetapkan demikian semata-mata hanya untuk kemaslahatan umat.

C. Aplikasi Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang

Pada Akad Istishna’ dalam Perbankan Syariah

Secara umum produk jual beli dalam bank syariah merupakan produk yang

lebih dominan dibanding dengan produk inti yakni bagi hasil. Masyarakat

umumnya menghendaki cara yang lebih praktis. Dengan skema bagi hasil,

masyarakat tidak mau disibukkan dengan berbagai persoalan administratif.

Dengan skema jual beli, hambatan administratif tersebut dapat diminimalisir.116

Dalam perbankan syariah, aplikasi bai‟ istishna‟ biasanya menggunakan

istishna‟ paralel. Bank syariah yang mendapat order dari calon pembeli tidak akan

mampu memproduksi sendiri barangnya. Sehingga bank akan mengsuborderkan

116

Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka SM, 2007, Cet.

1 . hlm. 83.

Page 75: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

63

barang tersebut kepada produsen yang ahli, sesuai dengan spesifikasi barang yang

telah ditetapkan.117

Dalam fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna‟ adalah akad

jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan

persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan (pembeli, mustasni‟) dan

penjual (pembuat, shani‟).118

Pada dasarnya, pembiayaan istishna‟ merupakan transaksi jual beli cicilan

pula seperti transaksi murabahah muajal. Namun, berbeda dengan jual beli

murabahah di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayarkan

secara cicilan, dalam jual beli istishna barang diserahkan di belakang, walaupun

uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan.

Persis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna, yakni sama sama

dengan sistem pembayaran pengangsuran (installmen). Satu satunya hal yang

membedakan antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam

murabahah muajjal, barang di serahkan di muka, sedangkan dalam istishna barang

diserahkan di belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini terjadi,

karena biasanya barangnya belum di buat atau belum wujud. Jadi, pada dasarnya

pola arus kas dan penyerahan barang pada jual-beli istishna‟ merupakan kebalikan

180 derajat saja dari jual-beli murabahah mu‟ajjal.119

117

Ibid. hlm. 84. 118

Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2007, hlm. 126 119

Ibid

Page 76: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

64

Dalam sebuah kontrak bai‟ al-istishna‟ bisa saja pembeli mengijinkan

pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut.

Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna‟ kedua untuk

memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal dengan

istishna‟ paralel.120

Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak istishna‟

paralel. Diantaranya sebagai berikut:

1. Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-

satunya pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kewajibannya.

Istishna‟ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada.

Dengan demikian, sebagai shani‟ pada kontrak pertama, bank tetap

bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak

yang berasal dari kontrak paralel.

2. Penerima subkontrak untuk pembuatan pada istishna‟ paralel bertanggungjawab

pada bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum

secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai‟ al-istishna‟

kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat

untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak

mempunyai kaitan hukum sama sekali.

120

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Azkia Institut,

1999, Cet 1, hlm. 161

Page 77: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

65

3. Bank sebagai shani‟ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan

barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan

subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang

memberikan keabsahan istishna‟ paralel juga menjadi dasar bahwa bank boleh

memungut keuntungan kalau ada.121

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Istishna‟ paralel dapat

dilakukan dengan syarat:

1. Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara

bank dan pembeli akhir, dan

2. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah

Pada dasarnya istishna‟ tidak dapat dibatalkan, kecuali:

1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, dan

2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi

pelaksanaan atau penyelesaian akad.

Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen atas:

1. Jumlah yang telah dibayarkan, dan

2. Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

Produsen atau penjual mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa

harga yang disepakati akan dibayar tepat waktu. Perpindahan kepemilikan barang

121

Ibid. hlm. 162

Page 78: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

66

pesanan dari produsen atau penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan

sebesar jumlah yang disepakati.122

Alasan keharusan menentukan jangka waktu penyerahan barang pada akad

istishna juga sesuai dengan fatwa DSN MUI (Fatwa DSN No. 06/DSN-

MUI/MIV/2000) yang menjelaskan tentang ketentuan istishna‟, sebagai berikut;

1. Fatwa tentang jual beli istishna‟ (Fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/MIV/2000)

a. Ketentuan tentang Pembayaran:

1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,

barang atau manfaat.

2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

b. Ketentuan tentang Barang

1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.

2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.

3) Penyerahannya dilakukan kemudian.

4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan

kesepakatan.

5) Pembeli (mustashni‟) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai

kesepakatan.

122

Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005, hlm. 218

Page 79: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

67

7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,

pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau

membatalkan akad.

c. ketentuan lain

1) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,

hukumnya mengikat.

2) Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas

berlaku pula pada jual beli istishna‟.

3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya

dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari‟ah setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.123

2. Fatwa tentang jual beli istishna‟ paralel (fatwa DSN No. 22/DSN-

MUI/III/2002)

a. Jika LKS melakukan transaksi istishna‟ untuk memenuhi kewajibannya

kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟ lagi dengan pihak lain pada

obyek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak bergantung

(mu‟allaq) pada istishna‟ kedua.

123

M. Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jilid. 1, Jakarta: Dewan

Syariah Nasional MUI, 2006, Eds. 1, hlm. 37-38

Page 80: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

68

b. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna‟ (fatwa DSN No.

06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna‟ paralel.124

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia dalam

buku yang berjudul Bank Syariah; Produk dan Implementasi Operasional

menyebutkan syarat-syarat akad istishna‟ sebagai berikut:

1. Pihak yang berakad harus cakap hukum

2. Produsen (shani‟) sanggup memenuhi persyaratan pesanan

3. Obyek (mashnu‟) yang dipesan jelas spesifikasinya

4. Harga jual adalah harga pesanan ditambah keuntungan

5. Harga jual tetap selama jangka waktu pemesanan

6. Jangka waktu pembuatan disepakati bersama125

Dari uraian di atas ada point penting yang perlu di catat sebagai relevansi

antara penelitian terhadap pemikiran Abu Hanifah tentang waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟ dengan skripsi ini. Menurut Imam Abu Hanifah dalam

akad istishna‟ tidak menentukan jangka waktu penyerahan barang. Abu Hanifah

memang ulama‟ yang terkenal rasionalis. Mungkin pemikiran beliau cocok untuk

diaplikasikan oleh masyarakat pada masanya. Akan tetapi apabila pemikiran Abu

Hanifah ini diaplikasikan pada masa sekarang maka tidak relevan. Karena pada

kenyataannya praktek istishna‟ pada masa sekarang, penentuan waktu penyerahan

124

Ibid. 125

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah; Produk dan

Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 119-120

Page 81: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

69

barang itu harus ditentukan. Hal ini untuk memberikan jaminan hak terhadap

pembeli untuk medapatkan barang sesuai pesanan dan penyerahan barang secara

tepat waktu.

Alasan lain perlunya penentuan waktu penyerahan barang pada akad

istishna‟ adalah untuk kemaslahatan umat yang berupa memelihara kepentingan

pembeli atau pemesan (mustashni‟) agar tidak merasa dirugikan dan menjaga

unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam setiap muamalah. Hal ini

sesuai dengan al-Qawaid al-Asasiyah (kaidah fiqh yang asasi) yaitu;

جلبالمصالحودفعالمفاسد

“Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”

Ke-maslahat-an dilihat dari syari‟ah dibagi menjadi tiga, ada yang wajib

melaksanakannya, sunnah melaksanakannya dan ada yang mubah

melaksanakannya. Demikian pula ke-mafsadat-an, ada yang haram

melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. Apabila di antara yang

maslahat itu banyak dan harus dilakukan salah satunya dalam waktu yang sama,

maka lebih baik dipilih yang paling maslahat.126

Sebagaimana penentuan jangka

waku penyerahan barang pada akad istishna‟, lebih banyak manfaatnya dari pada

madharat-nya. Bahkan pada masa sekarang, setiap melakukan transaksi sebaiknya

dibuat di depan notaris. Hal ini untuk memberikan kejelasan hukum apabila terjadi

perselisihan setelah akad.

126

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. 2, hlm. 27

Page 82: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

70

Perintah untuk memilih jalan ke-maslahat-an ini sesuai dengan firman Allah;

Artinya:“Dan ikutilah sebaik apa yang yang telah diturunkan kepadamu dari

Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu

tidak menyadarinya. (Qs. Az-Zumar: 55)

Demikian pula sebaliknya, apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang

sama, maka harus didahulukan mafsadat yang paling buruk akibatnya. Apabila

berkumpul antara maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih maslahat-nya

yang lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya

maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat, sebab menolak

mafsadat itu sudah termasuk kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:

دفعالمفاسدمقدمعلىجلبالمصالح

“Menolak mafsadat didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”127

Ukuran yang lebih konkret mengenai kemaslahatan ini dijelaskan oleh imam

al-Ghazali dalam al-Mustasfa, Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama

yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf, apabila

disimpulkan, maka persyaratan ke-maslahat-an tersebut adalah:

1. Ke-maslahat-an itu harus sesuai maqasid as-Syari‟ah, semangat ajaran, dalil-

dalil kulli dan dalil qath‟i baik wurud maupun dalalah-nya

127

Ibid. hlm. 164

Page 83: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

71

2. Ke-maslahat-an itu harus meyakinkan, artinya ke-maslahat-an itu berdasarkan

penelitian yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa

mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

3. Ke-maslahat-an itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan

yang di luar batas, dalam arti ke-maslahat-an itu bisa dilaksanakan.

4. Ke-maslahat-an itu memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat bukan

pada sebagian kecil masyarakat.128

MUI dalam musyawarah nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya

No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria maslahat sebagai berikut:

1. Ke-maslahat-an menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah

(maqasid asy-Syariah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima

kebutuhan primer (ad-Daruriyyar al-Khamsah), yaitu agama, jiwa, akal, harta

dan keturunan.

2. Ke-maslahat-an yang dibenarkan oleh syariat adalah ke-maslahat-an yang tidak

bertentangan dengan nash.

3. Yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah

adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan

melalui ijtihad jama‟i.129

128

Ibid, hlm. 29 129

Ibid, hlm. 165

Page 84: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

72

Di dalam kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi juga

dijelaskan bahwa

كلشرطكانمنمصلحةالعقداومنمقتضاهفهوجائز

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka

syarat tersebut dibolehkan”130

Seperti keharusan untuk menentukan jangka waktu penyerahan barang pada

akad istishna‟ bisa menjadi syarat mutlak yang harus ada dalam akad istishna‟,

karena ini untuk ke-maslahat-an akad itu sendiri, juga untuk mencapai ke-

maslahat-an masyarakat (mencegah perselisihan yang mungkin terjadi setelah

akad). Berarti tujuan ini telah sesuai dengan al-Qawaid al-Asasiyah tersebut.

Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah

mempunyai konstribusi yang besar dalam menyumbangkan pemikirannya

mengenai hukum muamalah khususnya istishna‟. Beliau adalah pencetus istilah

berikut substansi dari akad istishna‟ yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan

oleh para pemikir ekonomi Islam melalui lembaga perbankan. Mengingat bank

adalah lembaga intermediasi antara nasabah yang membutuhkan suatu barang

sementara ia tidak mempunyai uang yang cukup untuk memenuhinya dengan

segera, kemudian bank menawarkan solusi dengan akad istishna‟ ini. Di mana

nasabah bisa mendapatkan barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan,

dicicil atau di bayar di belakang.

130

Ibid. hlm. 137

Page 85: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin penting yang perlu di catat, di

antaranya adalah;

1. Menurut Imam Abu Hanifah, waktu penyerahan barang dalam akad istishna‟

tidak perlu disyaratkan atau ditentukan. Jika waktu penyerahan barang tersebut

ditentukan, maka akan berubah menjadi akad salam, sehingga berlakulah

ketentuan-ketentuan akad salam di dalamnya. Beliau berpendapat demikian

bukan tanpa tujuan, beliau mengantisipasi kalau-kalau dalam proses pekerjaan

(pembuatan barang pesanan) terjadi hal-hal di luar kehendak manusia yang

menyebabkan pekerjaan menjadi tertunda, juga karena sifat manusiawi beliau,

terutama terhadap kaum yang lemah agar tidak merasa tertekan oleh

keterbatasan waktu. Akan tetapi, jika pemikiran Imam Abu Hanifah ini

diaplikasikan pada masa sekarang, tidak relevan. Karena dalam melakukan

kontrak pesanan itu harus ditentukan waktu penyerahan. Hal ini untuk

memelihara kepentingan pembeli atau pemesan (mustashni‟) agar merasa tidak

dirugikan serta menjaga unsur kerelaan (an taradhin) yang merupakan unsur

dasar dalam setiap muamalah. Walaupun demikian, pemikiran Imam Abu

Hanifah tetap memberikan sumbangan yang besar bagi lembaga perbankan

syariah untuk mengembangkan produk istishna‟ ini.

Page 86: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

74

2. Dalam menetapkan akad istishna‟ berikut syarat dan rukunnya, Imam Abu

Hanifah ber-istimbath dengan menggunakan istihsan bi al-Urf. Beliau

berpendapat demikian dengan beberapa alasan; (1) Jika di-qiyas-kan dengan

bai‟ ma‟dum, maka jual beli ini tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟

termasuk jual beli barang yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli

semacam ini. Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan

dengan alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi

kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya.

(2) Konsistensi beliau untuk membedakan akad istishna‟ dengan akad salam.

Mengingat kajian istishna‟ ini hanya ada pada mazhab Hanafi, sedangkan pada

mazhab yang lain, Syafi‟i, Maliki, Hambali tidak membahasnya karena mereka

menganggap istishna‟ merupakan bagian khusus dari akad salam sehingga

semua ketentuan yang ada pada akad salam berlaku pula pada akad istishna‟,

(3) Latar belakang kehidupan Imam Abu Hanifah yang berada di wilayah

metropolitan (Irak), di mana beliau dihadapkan kepada banyak sekali

permasalahan untuk ditetapkan hukumnya secara cepat, sedangkan

permasalahan itu tidak ada di zaman Rasulullah. (4) kehidupan Imam Abu

Hanifah di Irak yang notabenenya adalah wilayah metropolitan, dimana akan

susah sekali mendapatkan sunah Rasul sebagaimana tempat yang lain

(Madinah). Sedangkan dalam hal sunah Imam Abu Hanifah sangat ketat. Hanya

atsar yang yang betul-betul kuat dan dapat dipercaya (tsiqah) masyhur

dikalangan perawi hadits terpercaya yang dipakai sebagai dasar istimbath.

Page 87: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

75

Adapun dasar istimbath beliau khusus pada syarat tidak perlu menentukan

waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ bahwa yang diperhitungkan

dalam sebuah akad itu adalah maknanya bukan lafazd zahirnya. Jadi apabila

dalam akad istishna‟ itu ditentukan waktu penyerahan barang, maka secara

otomatis akad akan berubah menjadi akad salam. Metode istimbath Imam Abu

Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menetukan waktu penyerahan

barang pada akad istishna‟ juga berkaitan dengan akad salam. Dalam akad

salam beliau mensyaratkan harus menentukan tanggal waktu di masa yang akan

datang untuk penyerahan barang karena obyek salam berupa produk hasil

pertanian yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk mendapatnya.

Sedangkan dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya, karena obyek

istishna‟ berupa barang-barang properti buatan manusia yang tidak

membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkannya pada masa itu. Selain

itu pada masa Imam Abu Hanifah, orang-orang memang sudah terbiasa

melakukannya. Jadi walaupun tidak menentukan waktu penyerahan, barang

akan tetap cepat untuk didapatkan.

3. Dalam perbankan syari‟ah di Indonesia, jual beli dikembangkan dengan skema

istishna‟ paralel. Dimana bank bertindak sebagai shani‟ pertama dalam

transaksi dengan nasabah. Kemudian bank mengsuborderkan pesanan tadi

kepada shani‟ kedua agar membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan

nasabah (mustashni‟). Dalam prakteknya, waktu penyerahan barang dalam jual

beli istishna‟ ini ditentukan di awal akad. Bahkan dalam prakteknya juga,

Page 88: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

76

pembeli (mustashni‟) mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari

produsen atas jumlah yang telah dibayarkan, dan penyerahan barang pesanan

sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu. Hal ini ditentukan semata-mata

untuk kemaslahatan manusia agar unsur-unsur dasar dalam jual beli tercapai.

B. Saran-saran

Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan menyampaikan

beberapa saran antara lain:

1. Perlu adanya pengkajian-pengkajian terhadap pemikiran-pemikiran ulama‟

secara konsisten. Hal ini untuk menambah khasanah keilmuan serta

memberikan landasan hukum istishna‟ maupun yang lainnya sesuai dengan

perkembangan zaman.

2. Hendaknya dalam melakukan kontrak (akad), dibuat di depan notaris. Hal ini

untuk memberikan kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan di

antara kedua belah pihak.

3. Penutup

Dengan penuh rasa syukur dan ucapan alhamdulillah ke hadirat Allah

SWT karena berkat hidayah, taufik dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

penulisan dan pembahasan skripsi ini. Akan tetapi merasa bahwa dalam

pembahasan dan penulisan skripsi ini masih banyak terjadi kekurangan atau

mungkin kesalahan-kesalahan. Hal ini tidak lain karena keterbatasan ilmu

Page 89: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

77

pengetahuan penulis, sehingga penulis mengharapkan sekali saran, kritik dan

sumbangan pemikiran guna kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis mempunyai suatu harapan, semoga penulisan dan

pembahasan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menambah khazanah

pengetahuan khususnya kepada penulis sendiri dan kepada para pembaca pada

umumnya. Harapan terakhir semoga penulisan ini akan mendapatkan ridla dari

Allah SWT.

Page 90: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

78

Page 91: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. 3

Abidin, Ibnu, Raddul Mukhtar, juz 7, Beirut: Dar Kitab Al-Ilmiyyah.

Al-Kasani, Badai‟ Shanai‟, juz 6, Beirut: Dar Kitab Al-Ilmiyyah.

Al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, Terj.

Husein Muhammad, “Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta:

LKPSM, 2001, cet. 1

Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah; Suatu Pengenalan Umum, Jakarta:

Azkia Institut, 1999, cet 1

_______, Bank Syariah; dari Teori ke Praktik, jakarta: Gema Insani, 2001

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:

Rineka Cipta, 1993

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008

As-Saayis, Syekh Muhammad Ali, pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh,

Eds. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1

As-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbie, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 1999

Asy-Syarbasi, Ahmad, al-Aimmah al-Arbaah, Terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi,

“Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,

Cet. 2

_______, al-Aimmah al-Arba‟ah, Terj. Futuhal Arifin, “Empat Mutiara Zaman”,

Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2003, Cet. 1

Asy-Syarkhasyi, Syamsuddin, Al-Mabsuth, Juz 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Azzuhaily, Wahbah , Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Daar Al-Fikr, h. 3642-3651

Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Eds. 1, Bogor: Kencana, 2003, Cet.1

Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana,

2007, Cet. 2, hlm. 27

Hasan, Muhammad Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan

Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002

Karim, Adiwarman A. Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007

Page 92: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983,

Cet. 4

Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara,

2007

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,

2001

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000, Cet. 2

Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005

_______, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press,

2000, Cet. 1

Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, juz. 4 Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2000

Sam, M. Ichwan, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, jilid I, Jakarta:

Dewan Syariah Nasional MUI, 2006, Eds. 1

Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsiti, 1995

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah;

Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001

Yasin, M. Nur, Hukum Ekonomi Islam; Geliat Perbankan Syariah di Indonesia,

Malang: UIN-Malang Press, 2009, Cet. 1

Zahrah, Muhammad Abu , Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 12

Zed, Mestia, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004

Page 93: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/133/jtptiain... · E. Metode Penelitian ... BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas

Nama : Anis Afifah

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 4 Juni 1989

Alamat : Tegalarum RT. 01, RW 04,

Kec. Mranggen, Kab. Demak

Fakutas : Syari‟ah

Jurusan : Mu‟amalah

II. Pendidikan

1. MI Miftahul Ulum Tegalarum lulus tahun 2001

2. MTSN 1 Mranggen lulus tahun 2004

3. MAN 1 Semarang lulus tahun 2007

4. IAIN Walisongo Semarang angkatan 2008

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,

untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Semarang. 03 Juli 2012

Penulis,

Anis Afifah