analisis pendapat imam abu hanifah tentang...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG
WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’
DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata S1
Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Islam
Disusun Oleh :
Anis Afifah
082311043
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
ii
iii
iv
MOTTO
....... ى فاكتب إنى أجم يس ا إذا تدايتى بدي آي ا انري يا أي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya.........”
(Qs. al-Baqarah: 282)
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata, kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku:
1. Ibunda tercinta (Ibu Rajinah), terima kasih atas semua yang engkau berikan
baik berupa materiil maupun spirituiil. Do‟a yang engkau panjatkan setiap
saat untukku, nasihat yang selalu engkau ucapkan untuk kebaikan hidupku,
kesetiaanmu menemaniku dalam suka maupun duka, dan keikhlasanmu
merawat dan membimbingku, hal ini akan menjadikan spirit dalam hidupku
untuk mewujudkan impian dan cita-citaku. Semoga anakmu ini bisa menjadi
anak yang salihah, amin.
2. Mbah Ramilah, terima kasih sudah menjadi nenek yang baik buat aku, yang
selalu mendoakanku untuk tercapainya cita-citaku.
3. Mbak Isyrofah dan Mas H. Masyhadi, terima kasih atas dukungan yang telah
engkau berikan, sehingga aku bisa menyelesaikan studyku.
4. Adinda Muhammad Shabihul Wafa yang selalu menghiburku ketika aku
sedih.
5. Pak Den, Pak Cipto, dan Pak Bin, terima kasih atas do‟a dan kasih sayang
panjenengan sedoyo.
6. Habibi al-Qalbii, yang selalu menemani relung hati. Thanks for aLL
7. Teman-teman senasib-seperjuangan di kos al-Mahmud. Terima kasih atas
kebaikan kalian.
8. Para ustadz dan ustadzah di TPQ al-Azhar, terima kasih atas motivasi dan
dukungan kalian.
9. Santriwan santriwati TPQ al-Azhar terima kasih. Canda-tawa kalian
membangkitkan semangatku.
10. Tim KKN POSKO 24 tahun 2011, tengQyu atas pengertian kalian.
vi
11. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan disini. Terima kasih atas bantuan
dan dukungan kalian semua demi terselesainya karya tulis skripsi ini.
Semarang, 23 Oktober 2011
Penulis,
Anis Afifah
vii
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi
satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 23 Oktober 2011
Deklarator,
Anis Afifah
viii
ABSTRAK
Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad Istishna‟ merupakan hal yang luar biasa.
Akad istishna‟ berkembang di tengah-tengah masyarakat dan menawarkan solusi yang
sangat relevan kepada masyarakat yang menginginkan atau membutuhkan suatu barang,
namun mereka merasa kesulitan disebabkan tidak adanya modal yang cukup untuk
mendapatkannya. Imam Abu Hanifah menawarkan Istishna‟ yang berarti meminta untuk
dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa
yang akan datang, akan tetapi, beliau tidak mensyaratkan jangka waktu penyerahan
barang. Padahal, kepastian jangka waktu penyerahan barang dalam akad istishna‟
menjadi hal yang sangat penting. Dalam realita di masyarakat pun jangka waktu
penyerahan ini harus ditentukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana pemikiran Imam mengenai istishna‟ , bagaimana metode istimbath hukum
Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟ dan bagaimana aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang
waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?
Adapun tujuan penelitian adalah (1) untuk mengetahui pemikiran Imam Abu
Hanifah tentang akad istishna‟, (2) untuk mengetahui istimbath hukum Imam Abu
Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada
akad istishna‟ (3) untuk mengetahui aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu
penyerahan barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah.
Metodologi yang digunakan adalah (1) jenis penelitian yang digunakan berupa
penelitian kepustakaan (Library Research), (2) sumber data terdiri dari; (a) sumber utama
berupa pemikiran Imam Abu Hanifah tentang syarat penyerahan barang pada akad
istishna‟ dalam kitab Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib as-Syarai‟ karya Imam al-Kasani al-
Hanafi, (b) sumber pelengkap berupa literatur-literatur lain yang membahas tentang
istishna‟, (3) pengumpulan data melalui studi kepustakaan (4) teknik analisis yang
digunakan adalah diskriptif analisis.
Hasil pembahasan menunjukkan pertama, pendapat Imam Abu Hanifah mengenai
syarat akad istishna‟ berupa tidak perlu menentukan jangka waktu penyerahan barang
dalam akad istishna‟, di satu sisi pendapat beliau sangat manusiawi, namun, jika
pemikiran beliau tersebut diaplikasikan pada masa sekarang, maka tidak relevan, karena
dalam praktek yang berlaku sekarang, penentuan waktu penyerahan ini harus ditentukan.
Kedua, Dalam menetapkan akad istishna‟ Imam Abu Hanifah ber-istimbath dengan
menggunakan istihsan bi al-Urf. Adapun dalam menetapkan syarat tidak perlu
menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ beliau ber-istimbath hukum
dengan cara membedakan antara akad istishna‟ dengan akad salam. Obyek salam berupa
barang hasil produk pertanian yang memang membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkannya, sedangkan dalam istishna‟ obyek pesanan berupa barang-barang
properti yang pembuatannya tidak memerlukan waktu yang lama. Jadi walaupun tidak
ditentukan waktu penyerahanpun, barang akan cepat untuk diserahkan. Selain itu bahwa
yang diperhitungkn dalam akad adalah maknanya, bukan lafadz zahirnya. Jadi, apabila
dalam akad istishna‟ itu menentukan menentukan waktu penyerahan barang, maka secara
otomatis akad akan berubah menjadi akad salam. Ketiga, dalam perbankan syariah,
aplikasi penentuan waktu penyerahan barang memang ditentukan. Bahkan ini merupakan
jaminan yang diberikan kepada pembeli untuk melindungi haknya.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
yang berjudul “Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Syarat
Penyerahan Barang pada Akad Istishna’.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Ibu Dr. Hj. Mujibatun, M. Ag, selaku Dosen Pembimbing I dan Dra. Hj. Noor
Rasyidah, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo, yang
telah membekali berbagai ilmu dan pengetahuan.
4. Ibunda (Ibu Rajinah) yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis,
Anis Afifah
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN MOTTO.......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI................................................................................. vii
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................... viii
HALAMAN KATA PENGANTAR.................................................................... ix
HALAMAN DAFTAR ISI.................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ........................................................ 1
B. Pokok Permasalahan ....................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan........................................................ 6
D. Telaah Pustaka ................................................................................ 7
E. Metode Penelitian ......................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ....................................................................14
BAB II BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
A. Biografi Imam Abu Hanifah.......................................................... 16
B. Ketokohan Imam Abu Hanifah.................................................... 30
xi
BAB III PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG ISTISHNA’
A. Konsep Istishna‟ Imam Abu Hanifah ........................................... 35
B. Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Waktu
Penyerahan Barang pada Akad Istishna‟....................................... 37
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG
WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’
DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
A. Analisis Pemikiran Imam Abu Hanifah Tentang Akad
Istishna‟........................................................................................ 45
B. Analisi Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan
Waktu Penyerahan Baarang pada Akad Istishna‟........................ 49
C. Aplikasi Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan
Barang pada Akad Istishna‟ dan aplikasinya dalam Perbankan
Syariah ....................................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 71
B. Saran ............................................................................................. 74
C. Penutup.......................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama‟ atau faqih yang cukup besar
dan luas pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan
oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama
yang lebih banyak menggunakan ra‟yu atau setidak-tidaknya lebih cenderung
rasional. Pemikiran Abu Hanifah banyak pengaruhnya dan berkembang di
berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di
Mesir dan daerah-daerah lainnya.1
Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat. Namun,
kepopuleran itu hanya sebatas ketokohannya saja. Sedangkan pemikiran Abu
Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Hal ini karena di Indonesia corak
fiqhnya memang cenderung ke Syafi‟iyyah. Oleh karena itu, perlu adanya
pengkajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh fiqh selain Syafi‟iyyah khususnya
pemikiran Abu Hanifah agar dapat memperkaya khasanah keilmuan hukum Islam
di Indonesia.
1 Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 19
2
Salah satu pemikiran Abu Hanifah yang luar biasa adalah tentang akad
Istishna‟. Sebagaimana kita ketahui bahwa akad istishna‟ adalah salah satu bentuk
muamalah yang sering diaplikasikan oleh masyarakat umum. Istishna‟ merupakan
akad ghairu musamma yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat. Dalam
kenyataannya, akad istishna‟ menjadi solusi yang sangat relevan untuk
menyelesaikan pemasalahan ekonomi. Banyak di antara masyarakat yang
menginginkan atau membutuhkan suatu barang, namun beberapa orang merasa
kesulitan disebabkan tidak adanya modal yang cukup untuk mendapatkannya.
Akad istishna‟ tampil sebagai solusi dari pemasalahan ini.
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah,
واالستصناعهوشرأمايضعوقفاللطلب
“Istishna‟ artinya, membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”2
Dalam fatwa DSN-MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna‟ adalah akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni‟) dan
penjual (pembuat, shani‟). Pada dasarnya, pembiayaan istishna‟ merupakan
transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah muajjal. Namun,
berbeda dengan jual beli murabahah di mana barang diserahkan di muka
sedangkan uangnya dibayar secara cicilan, dalam jual beli istishna‟ barang
2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 4, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 69.
3
diserahkan di belakang, walaupun uangnya juga sama-sama dibayar secara
cicilan.3
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia
mendefinisikan Istishna‟, merupakan akad antara pemesan dengan pembuat untuk
suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan
dibuat oleh pembuat. Kewajiban pembuat adalah menyediakan bahan baku dari
barang pesanan tersebut. Tapi jika bahan baku dari pemesan, akad itu berubah
menjadi upah biasa (ujrah).4
Dalam aplikasinya, bank melakukan istishna‟ paralel, yaitu bank (penerima
pesanan / shani‟) menerima pesanan barang dari nasabah (pemesan / mustashni‟),
kemudian bank (pemesan / mustashni‟) memesankan permintaan barang nasabah
kepada produsen penjual (shani‟) dengan pembayaran di muka, dicicil atau
dibayar di belakang, dengan waktu penyerahan barang yang disepakati bersama.5
Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa istishna‟ adalah salah satu
produk jual beli yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Sebagai lembaga
intermediasi antara nasabah yang membutuhkan suatu barang sementara ia tidak
mempunyai uang yang cukup untuk memenuhinya dengan segera, bank
menawarkan solusi dengan jual beli istishna‟ ini. Di mana nasabah bisa
mendapatkan barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau
3Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 126 4
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah; Produk dan
Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 67 5 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 99
4
di bayar di belakang. Kemudahan yang diberikan oleh bank ini bukan tidak
mungkin akan membuat jual beli istishna‟ semakin berkembang di masa yang
akan datang. Oleh karena itu pengkajian terhadap istishna‟ memiliki nilai penting
untuk perkembangan produk-produk perbankan syariah selanjutnya sekaligus
sebagai rujukan praktek jual beli istishna‟ yang baik agar sesuai dengan
perkembangan zaman.
Sebagai bentuk jual beli pesanan, istishna‟ mirip dengan salam. Namun,
ada perbedaan diantara keduanya. Dalam akad salam, waktu penyerahan tertentu
merupakan bagian yang penting, namun dalam akad istishna‟ tidak merupakan
keharusan.6
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna‟,
pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum, yang berarti bahwa jika
perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang
dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam istishna‟ dapat dikaitkan
dengan waktu penyerahan. Jadi boleh disepakati bahwa apabila terjadi
keterlambatan penyerahan, harga dapat dipotong sejumlah tertentu perhari
keterlambatan.7
Menurut Imam Abu Hanifah Secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-
Shun‟i (minta dibuatkan). Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti
6 Ibid. hlm. 98
7 Ibid. hlm. 99
5
meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk
diserahkan pada masa yang akan datang.8
Abu Hanifah mensyaratkan dalam akad istishna‟ yaitu tidak perlu
menentukan waktu penyerahan barang. Apabila waktu ini ditentukan maka akad
ini akan berubah menjadi akad salam.9 Pendapat Abu Hanifah ini bertolak
belakang dengan realita praktek jual beli istishna‟ yang berlaku di masyarakat
pada masa sekarang. Dalam prakteknya jual beli istishna‟ itu harus menentukan
jangka waktu penyerahan barang. Hal ini untuk menjaga kepentingan pihak
pemesan atau pembeli (mustashni‟) agar tidak merasa dirugikan. Sebab lain juga
karena yang berlaku pada masa sekarang yaitu akad istishna‟ yang diaplikasikan
dalam perbankan syari‟ah secara istishna‟ paralel, dimana bank menerima pesanan
dari nasabah (mustashni‟) kemudian bank mengsuborderkan ke shani‟ untuk
membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan mustashni‟ dan barang pesanan
tersebut dapat diserahkan tepat waktu kepada nasabah (mustashni‟). Rentang
waktu ini harus ditentukan agar barang pesanan bisa sampai kepada nasabah
(mustashni‟) tepat waktu. Jadi unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam
jual beli dapat terlaksana.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis termotivasi untuk mengkaji dan
menganalisis lebih mendalam pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu
8 Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-
Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 95. Lihat juga Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala
ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474 9 ibid. 97-98
6
penyerahan barang pada akad istishna‟ tersebut dengan judul “Analisis Pendapat
Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang pada Akad Istishna’
dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengambil rumusan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟?
2. Bagaimana metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan
syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟?
3. Bagaimanakah aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟
2. Mengetahui metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan
syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟
3. Mengetahui aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang syarat penyerahan
barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah.
7
Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya:
1. Secara teoritis, dapat memperkaya khazanah pemikiran keislaman pada
umumnya, dan civitas akademika Jurusan Hukum Ekonomi Islam Fakultas
Syari'ah pada khususnya. Selain itu diharapkan menjadi stimulus bagi
penelitian selanjutnya sehingga proses pengkajian akan terus berlangsung dan
akan memperoleh hasil yang maksimal.
2. Secara praktis, dapat menjadi rujukan terhadap praktek akad istishna‟, sesuai
dengan perkembangan dewasa ini.
D. Telaah Pustaka
Selama penelusuran yang dilakukan oleh penulis, belum ditemukan
penelitian yang spesifik mengkaji pendapat Imam Abu Hanifah tentang syarat
penyerahan barang pada akad istishna‟. Penelitian tentang istishna‟ maupun
pemikiran Imam Abu Hanifah dalam bentuk skripsi yang ada, diantaranya sebagai
berikut:
1. Penelitian Ana Nuryani Latifah (NIM: 052311012) dalam skripsi yang berjudul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu Penangguhan
Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual
Beli Mebel Antara PT Hmfurniture di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati di
Jepara), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 2009, skripsi ini
memaparkan hal yang berkaitan dengan Jual beli mebel Antara PT Hmfurniture
di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati di Jepara yang dilakukan dengan
8
pesanan (istishna‟). Dalam perjanjian tersebut tidak menyebutkan secara jelas
tempo pembayaran dan harus ditangguhkan. Hukum Islam melarang praktek
jual beli mebel Antara PT Hmfurniture di Semarang dengan Pengrajin Visa Jati
di Jepara karena jual beli tersebut mengandung unsur gharar. Hal itu dapat
merugikan salah satu pihak dan hilangnya unsur keridhaan yang merupakan
prinsip dalam setiap muamalah. Dampak dari kerugian itu berakibat pada
kondisi sosial ekonomi bagi pengrajin dan masyarakat di sekitarnya.
2. Penelitian Moh. Atiq Fauzi (NIM: 042111008 / 2104008) dalam skripsi yang
berjudul Penarikan Kembali Harta Wakaf (Analisis Pendapat Imam Abu
Hanifah), Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 2010. Temuan dari
penelitian ini mengenai pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa
harta wakaf boleh ditarik kembali oleh wakif maupun ahli warisnya. Pendapat
tersebut disandarkan pada Surat al-Maidah:103 dengan menyamakan harta
wakaf dengan saibah dan menyamakan wakaf dengan akad ariyah (pinjam-
meminjam). Dia mengatakan bahwa dasar hukum yang digunakan Abu Hanifah
kurang tepat karena kata saibah dalam surat al-Maidah:103 bertujuan untuk
berhala dan hadits yang dipakaipun hadits dhoif, hadits tersebut tidak
membahas mengenai wakaf namun mengenai kewarisan yang terdapat pada
masyarakat Arab pada masa itu. Akan tetapi, pendapat Abu Hanifah itu dapat di
pakai dalam perwakafan di Indonesia. Hal ini karena memungkinkan orang-
orang yang akan melaksanakan ibadah wakaf tidak merasa takut akan
kehilangan hartanya. Namun pendapat beliau masih ada kelemahannya yaitu
9
mengenai tidak adanya kontrak wakaf. Hal ini akan mengakibatkan kekacauan,
sehingga perlu ditambahkan dengan mengadakan kontrak wakaf sebagaimana
pendapat Imam Malik. Hal ini juga sesuai dengan undang-undang no 41 tahun
2004 tentang wakaf yang menyatakan bahwa wakaf boleh dilakukan untuk
selama-lamanya atau dalam jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian
wakaf.
3. Penelitian Ieda Fithria Baria (NIM: 2101217) dalam skripsi yang berjudul
Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Zakat Tanah Yang Disewakan
Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Fakultas Syariah IAIN Walisongo 2008.
Skripsi ini memaparkan pendapat Abu Hanifah tentang zakat tanah yang
disewakan. Menurut Abu Hanifah yang wajib mengeluarkan zakat adalah
pemilik tanah. Abu Hanifah mendasarkan kewajiban tersebut karena status
tanahnya yaitu apabila tanah tersebut baik atau cocok ditanami, maka pemilik
tanahlah yang wajib membayar zakatnya dan apabila tanah tersebut tidak baik
atau tidak cocok untuk ditanami maka penyewalah yang wajib zakat.
4. Penelitian Lukman Zen (NIM: 2101107) dalam skripsi yang berjudul Studi
Analisis Pendapat Mazhab Hanafi Tentang Wakaf Oleh Orang Safih, Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang 2008. Skripsi ini memaparkan tentang
pendapat mazhab Hanafi mengenai seorang safih yang melakukan wakaf.
Menurut mazhab Hanafi, seorang safih sah mewasiatkan 1/3 dari hartanya bila
dia punya ahli waris. Dengan syarat dia berwasiat agar dipergunakan dalam
berbagai hal kebaikan seperti untuk memberi nafkah fakir miskin, untuk
10
membangun sanatorium, jembatan, masjid dan lain sebagainya. Akan tetapi
bila dia berwasiat untuk tempat permainan, club dan lain sebagainya, maka
wasiatnya batal “tidak lulus”. Pendapat mazhab Hanafi tersebut mengisyaratkan
bahwa seorang safih dibolehkan mewakafkan hartanya dengan ketentuan:
pertama, benda yang hendak diwakafkan tidak boleh melebihi dari satu pertiga
keseluruhan harta yang dimiliki; kedua, benda yang diwakafkan itu
dimaksudkan untuk hal-hal yang sifatnya mendatangkan kebaikan yaitu tidak
bertentangan dengan ketentuan al-Qur'an dan hadits. Dengan demikian, apabila
orang safih mewakafkan harta diperuntukkan bagi jalan kemaksiatan maka
wakafnya batal.
Dari penelusuran di atas, penelitian tentang istishna‟ masih berkutat seputar
penentuan harga dan sistem pembayaran. Penulis belum menemukan penelitian
yang berusaha mengupas secara mendalam mengenai syarat penyerahan barang
pada akad istishna‟ yang sudah semestinya harus dicantumkan dan disepakati di
awal akad.
Adapun penelitian tentang pemikiran Imam Abu Hanifah tentang muamalah
(ekonomi) yang ada, baru mengenai wakaf dan zakat, sehingga menurut penulis,
penelitian ini akan menambah khazanah baru tentang akad istishna‟ dan sebagai
solusi dalam menghadapi persoalan di masyarakat mengenai transaksi istishna‟
tersebut.
11
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif,
yaitu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan
orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.10
2. Jenis dan Sumber Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian.11
Penelitian ini bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material
yang terdapat di ruangan perpustakaan, seperti : buku-buku, majalah, dokumen,
catatan, kisah-kisah sejarah dan lain-lain.12
Sumber data adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh.13
Dalam
penelitian secara umum, Sumber data dibedakan atas sumber data primer
(pokok) dan sumber data sekunder (tambahan). Sumber data primer yaitu
pemikiran fuqaha yang diekspresikan baik dalam bentuk tulisan maupun
10
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 3. 11
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hlm. 3. 12
Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, Cet. 9,
hlm. 28 13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
1993, hlm. 114.
12
lisan.14
Sepengetahuan penulis, dalam penelitian pendahuluan, Imam Abu
Hanifah tidak meninggalkan karya yang beliau tulis sendiri. Karya-karya Imam
Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihad-nya ketika
itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau
meninggal, buah pikirannya barulah dikodifikasikan oleh murid-murid dan
pengikut-pengikutnya. Pemikiran fuqaha generasi pertama, seperti Imam Abu
Hanifah dapat ditemukan dalam berbagai sumber, yakni kitab fiqh, ushul fiqh
atau falsafah hukum yang dipublikasikan pada masa kini.15
Oleh karena itu,
penulis menetapkan sumber utama dari penelitian ini berupa pemikiran Abu
Hanifah mengenai syarat penyerahan barang pada akad istishna‟ yang ada pada
kitab Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib as-Syarai‟ jilid 6 (enam) bab istishna‟ karya
Imam al-Kasani al-Hanafi.16
Sumber lain yang berhubungan dengan akad
istishna‟ ada di kitab al-Mabsuth,17
juz 11 karya Imam asy-Syarkhasi, dan
kitab Raddul Mukhtar, juz 7, bab buyu‟ karya Ibnu Abidin,18
. Adapun sumber
data sekunder, yakni data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya
14
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Eds. 1, Bogor: Kencana, 2003, Cet. 1, hlm. 221, lihat
juga Pedoman Penulisan Skripsi oleh Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
sumber primer yaitu berupa buku, penelitian maupun tulisan ilmiah yang membahas tema penelitian
secara langsung. 15
Ibid 16
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. cit. hlm. 95-98 17
Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 138-140 18
Ibnu „Abidin, Raddul Mukhtar, juz 7, Beirut: Daar al-Kitab Al-Ilmiyyah, 2005, hlm. 474-477
13
diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terdahulu.19
Data-
data pelengkap ini diantaranya; kitab al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, juz 5
(lima), bab istishna‟ karya Wahbah az-zuhaily,20
kitab Fiqh Sunnah, juz 4, bab
jual beli karya Sayyid Sabiq,21
buku Pengantar Fiqh Muamalah karya
Dimyauddin Djuwaini,22
buku Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan karya
Adiwarman A. Karim23
, buku Bank Syariah; dari Teori ke Praktik karya Syafi‟i
Antonio24
, buku Bank Syariah; Produk dan Implementasi Operasional, karya
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan, maka
untuk mendapatkan data, peneliti melakukan pencarian dan pengumpulan
melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan buku maupun literatur yang
relevan dengan pokok bahasan.
4. Metode Analisis
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif,
yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu subyek,
kondisi, sistem pemikiran dan suatu relevansi peristiwa pada masa sekarang.
19
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002, hlm. 82 20
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, Damsyiq: Daar al-Fikr, 2006, hlm.
3642-3651 21
Sayyid Sabiq, Op. cit. hlm. 68-69
22
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Cet. 1,
hlm. 139. 23
Adiwarman A. Karim, Op. cit. hlm. 100 24
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001,
Cet, 1, hlm. 113-114
14
Tujuan dari metode ini adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara
sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, dan juga untuk mengetahui sifat-
sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.25
Teknik ini digunakan untuk Pengolahan data penelitian yang sudah
diperoleh yang dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data
sedemikian rupa, sehingga dapat dibaca (Redeable) dan dapat ditafsirkan
(interpretable).26
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini terdiri atas lima bab;
Pertama: pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang permasalahan,
rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
Kedua: biografi Imam Abu Hanifah. Dalam bab ini dipaparkan mengenai
nasab Imam Abu Hanifah, pertumbuhan dan kehidupannya, kepribadian dan sifat-
sifatnya, pengembaraan menuntut ilmu, karya-karyanya, murid-muridnya dan
ketokohannya.
Ketiga: konsep istishna‟ Imam Abu Hanifah. Bab ini terdiri atas dua sub
bab, yaitu, pemikiran Imam Abu Hanifah tentang istishna‟ dan metodologi
25
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1998, hlm. 140-141 26
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. 3, hlm. 123.
15
istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan akad istishna‟ beserta
metodologi istimbath hukum beliau dalam menetapkan tidak mensyaratkan waktu
penyerahan barang pada akad istishna‟.
Keempat: analisis pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟ dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Ada tiga
sub bab dalam bab ini, yaitu; analisis pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad
istishna‟, metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat
tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟, dan
aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan barang pada akad
istishna‟ tersebut dalam perbankan syariah.
Kelima: penutup, berisi kesimpulan, saran, dan penutup.
16
BAB II
BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
A. Biografi Imam Abu Hanifah
1. Nasabnya
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M.
Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya
mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya
keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau
dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau
bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-
tengah bangsa Persia.27
Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada
yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang
lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin
melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan
kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa Arab
itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Dan ada
pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan “Abu
27
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. 4, hlm.
19
17
Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan
“Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat” atau “tinta”. Yakni ia di mana-
mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan demikian
lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.28
2. Pertumbuhan dan kehidupannya
Sebagian besar hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani
Umayyah, sisanya dalam masa Bani Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan
Bani Umayyah di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal
dunia pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan Abu Ja‟far
al-Mansur.
Kehidupan Abu Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu
sudutnya. Ia hidup bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota
Baghdad tempat berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya
kajian dan para pengkaji, diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang
beragam di suatu saat dan yang bertentangan di saat yang lain.29
Wilayah ini memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya
memiliki kesiapan tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya
para ulama ke wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh
28
Ibid. hlm. 19-20 29
Ibid. hlm. 21
18
khilafah Abbasiyah sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat
dan strategis.
Ketika itu, di Irak terdapat banyak perbudakan. Tren nyanyian
berkembang dan sebagian orang menjadikannya sebagai sarana untuk minum-
minuman keras. Masyarakat muslim masa itu telah dihadapkan pada berbagai
permasalahan yang amat kompleks yang membutuhkan lembaga-lembaga yang
menangani bidang masing-masing. Butuh adanya penanganan secara islami dan
pedoman tehadap batasan hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat. Tak
mengherankan jika Irak didominasi oleh mazhab ahli ra‟yi, tak mengherankan
pula jika kita jumpai bahwa pemikiran Abu Hanifah terpengaruh oleh berbagai
kondisi masyarakat ini, yakni pemikiran yang cenderung rasionalis.30
Disamping menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara‟
dan takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits.
Ketika ia berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji
bersama ayahnya dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi. Dari
ulama ahli hadits ini ia meriwayatkan sabda nabi SAW: “Barang siapa
mendalami agama (tafaqqahu), maka Allah akan mencukupkan segala
kebutuhannya dan memberinya rizki secara yang tidak disangka.” Karenanya,
tidak benar dakwaan sementara orang yang menuduh Abu Hanifah tidak
meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja. Dalam riwayat yang
mu‟tabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan sendiri sebanyak 215
30
Ibid. hlm. 22
19
hadits selain hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain.
Abu Muayyid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H),
mengumpulkan musnad Abu Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di
Mesir 1326 H.31
3. Kepribadian dan sifat-sifatnya
Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan
sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia
bekerja sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak
menyukai pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita
ia menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-
Tsauri ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia
mengatakan: “Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang
menghapuskan kebaikan-kebaikannya”.32
Tentang ke-wara-an Abu Hanifah, ia menolak jabatan hakim (qadhi)
pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Abbasiyah. Yazid bin Hubairah,
gubernur Irak pada pemerintahan bani Umayyah, menyiksanya karena tetap
menolak menjadi hakim. Pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah
kedua dari Bani Abbas, ia dipanggil untuk pindah ke Baghdad. Saat itu al-
Mansur memaksa dan bahkan bersumpah agar Abu Hanifah menerima untuk
31
Mun‟im A Sirry, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, Cet. 2,
hlm. 84 32
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, Terj. Husein
Muhammad, “Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. 1, hlm. 75-76
20
diangkat sebagai hakim, tetapi ia juga bersumpah untuk tidak menerima jabatan
selamanya.33
Abu Hanifah begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari
kekangan penguasa. Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan
ia dapat leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu
Hanifah memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang
dimilikinya.34
Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang
rasionalis yang paling masyhur dan ilmu seorang wara‟ yang paling wara‟.
4. Pengembaraan Menuntut Ilmu
Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-
Nakha‟i dan asy-Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakha‟i dan asy-
Sya‟bi tidak selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama
22 tahun. Setelah berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di
Masjid Kufah.35
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu
Mansur tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. “Ibrahim meriwayatkan dari
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin
Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu telah membekali dirimu wahai Abu
33
Ibid. hlm. 85 34
Ibid 35
Ahmad asy-Syurbasy, al-Aimmah al-Arba‟ah, Terj. Futuhal Arifin, “Empat Mutiara Zaman”,
Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2003, Cet. 1, hlm. 27-28
21
Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari orang-orang yang suci, bersih dan
diberkahi.”36
Abu Hanifah dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab.
Dari dia sendiri diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Qur‟an.37
Keahliannya
dalam fiqh mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap
Abu Hanifah, diantaranya;
Imam Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada
Abu Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti
tentang fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-
sahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.”
Termasuk contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf
kepada Abu Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal
dunia, orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah.
Sufyan berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya
dan dia duduk di belakang Abu Hanifah.38
Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: “Saya
tidak pernah melihat orang yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu
Hanifah. Ia sangat cermat dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.”39
36
Ibid. hlm. 27 37
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Op. cit. hlm. 73 38
Ibid. hlm. 63-64 39
Ibid. hlm. 74
22
5. Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal yang kemudian
menjadi ulama besar yaitu;
Pertama, Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi
yang lahir pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama
kali, Abu Yusuf belajar kepada ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia
berguru kepada Abu Hanifah sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama
dan hafiz (ahli hadits). Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa
masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia menulis banyak kitab tentang masalah-
masalah ibadah, jual beli, hudud (hukum pidana) dan lainnya. Kitabnya yang
paling terkenal adalah “al-Kharaj” yang ditulis atas permintaan khalifah ar-
Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai referensi utama Ekonomi Islam. Kitabnya
yang lain adalah “al-Atsar” dan “al-Raad ala Sairi al-Auza‟i fi ma Mahala fihi
Abu Hanifah” dan lainnya.40
Kedua, Abu Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir
pada tahun 132 H dan meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar
dengan Abu Hanifah. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru
berumur 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih
sejak usia belia. Asy-Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung.
Ia konsisten dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab,
40
Ahmad asy-Syurbasy, Op. cit. hlm. 31
23
diantaranya, al-Mabsuth, az-Ziyadat, al-Jami‟ al-Kabir, al-Jami‟ as-Shagir, as-
Sair al-Kabir, as-Sair as-Shagir, ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.41
Ketiga, Zufar bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada
tahun 158 H. Zufar lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian
kepada Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal
ahli qiyas. Ia seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas
tentang soal-soal keagamaan serta ahli ibadah.42
Zufar pernah menjabat hakim
di Bashrah. Pada mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka
kepada Abu Hanifah. Zufar lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka
secara menakjubkan sehingga mereka simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini
secara kontinyu. Akhirnya banyak orang-orang yang dulu benci menjadi suka
kepada Abu Hanifah.43
Keempat, Hasan bin Ziyad al-Lu‟luiy al-Kuti yang meninggal dunia pada
tahun 204 H. Ia sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid
sekaligus sahabat Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H
dan menulis beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Ma‟ani al-
Iman, an-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-
Amali.44
41
Ibid 42
Munawir Khalil, Op. cit. hlm. 36 43
Ahmad asy-Syurbasy, Op. cit. hlm. 31 44
Ibid. hlm. 32
24
6. Pemikiran Abu Hanifah
Pemikiran-pemikiran Abu Hanifah dalam bidang fiqh, diantaranya;
Pertama, mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah.
Misalnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian terkena
najis, maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air bunga
mawar, cuka, dan tidak terbatas pada air saja.45
Dalam hal zakat, Abu Hanifah
membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar
zakat.46
Kedua, berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah
mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu
dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat,
orang yang punya utang tidak wajib membayar zakat jika utangnya itu lebih
banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas kasihnya kepada orang yang
punya utang.47
Ketiga, pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar
kemampuannya. Abu Hanifah berusaha menjadikan amal manusia itu benar dan
diterima selagi memenuhi syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa
Islamnya anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai Islam
yang benar seperti halnya orang dewasa.48
45
Ibid. hlm. 35 46
Ibid 47
Ibid 48
Ibid. hlm. 36
25
Keempat, menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.
Karena itu Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang
baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri
sendiri dan nikahnya sah.49
Kelima, kendali pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena
itu, kewajiban seorang imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur
kekayaan umat Islam yang membentang luas di atas bumi untuk kemaslahatan
umat. Kewajiban lainnya adalah pengaturan kepemilikan tanah mati (bebas)
bagi yang mengolahnya yaitu menjadikannya lahan siap pakai.50
Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah
layak mendapatkan gelar “Imam Ahlu ar-Ra‟yi”. Ini tidak berlebihan, karena
beliau telah berjuang dan berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-
hukum yang tidak ada dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga
menguasai ilmu ber-istimbath (menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat
mengambil intisari yang bermanfaat bagi umat, dan tidak bertentangan dengan
nashnya.51
Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan fiqh lainnya yaitu,
bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama
dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik
wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-hibah-kan wakif kepada
49
Ibid 50
Ibid 51
Ibid. hlm. 37
26
yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan
keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf
itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya
khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena
perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi
perkara perdata. Karena itu menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim
yang menangani perkara perdata. Dengan demikian, metode ijtihad yang
digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan
menjadikan hakim perempuan sebagai al-Far‟i.52
7. Karya-Karya Abu Hanifah
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang
mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak
menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang
dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan
al-Alim wa al-Muta‟alim.53
Walau demikian mazhabnya sangat populer dan
tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama pada istimbath
yang ia rumuskan.
52
Ibid 53
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000, Cet. 2, hlm. 77-78
27
Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama
menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke
berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn
al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan
menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari
sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri tidak
meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa yang
dinukil oleh para murid beliau.54
Abu Zahrah, menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk
pertama kali disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga
disebutkan oleh pengikut dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang
paling terkenal dan merupakan orang yang pertama menulis buku ushul fiqh
berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan
karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi, dalam
ushul fiqh.55
Menurut penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua
orang murid yang sangat berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan
pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak
menghasilkan karya-karya yang didasarkan kepada mazhab Hanafi, seperti
54
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 21 55
Ibid
28
kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan
diantara karya Abu Yusuf yang terkenal adalah kitab al-Kharaj.56
Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga
salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam
mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath
yang telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.57
Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi)
telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni;
pertama, masail al-Ushul, kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa
wa al- waqi‟at.58
Pertama, masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir
ar-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan
sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-
Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang
kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah.
Kitab-kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu (1)
al-Mabsuth atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir, (4) as-
Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat. Keenam kitab
tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab yang
56
Ibid 57
Ibid 58
Munawar Khalil, Op. cit. hlm. 74
29
diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh Syamsu ad-
dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.59
Kedua, masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan
Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk
Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-Nawadir
adalah al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan Badai‟
ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.60
Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah
keagamaan yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam
Hanafi yang datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah
hukum-hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran
dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian
mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-
Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-
Samarqandi.61
Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama Hanafiah mutaakkhirin
diantaranya adalah; jami‟ al-Fushulain, Dharar al-Hukkam, Multaqa al-
Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd al-Mukhtar „ala Dhar al-Mukhtar yang
tekenal dengan hasyiah ibn Abidin.
59
Jaih Mubarok, Op. cit. hlm. 77 60
Ibid 61
Munawar Khalil, Op. cit, hlm. 75
30
Selain kitab-kitab fiqh, dalam aliran Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh
dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah
(1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H); (2) ushul al-Fiqh karya
Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan (3) ushul al-Fiqh karya an-Nasafi
(w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-Anwar.
Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun
kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara
kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi
(260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-
Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟ al-Haqaiq
karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah
(Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid wa al-Fawaid
karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya Mujaddidi62
B. Ketokohan Imam Abu Hanifah
Menurut riwayat yang telah banyak diriwayatkan oleh sebagian ulama ahli
hadits bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda; “ Jika sekiranya ilmu
pengetahuan itu tergantung di bintang tsuraya niscaya akan dicapai oleh beberapa
orang dari keturunan bagsa Persia”. Berhubung dengan adanya hadits ini, diantara
para ulama ada yang memberi keterangan bahwa hadits ini mengandung basyirah
(berita gembira) dari Nabi SAW. Yang dimaksud dengan kata-kata “beberapa
62
Jaih Mubarok, Op. cit. hlm. 78
31
orang dari keturunan bangsa Persia” itu antara lain ialah yang mulia Imam Abu
Hanifah. Karena beliau itu adalah seorang dari keturunan bangsa Persia dan
beliaupun di kala hayatnya tidak ada seorangpun yang dapat membandingi tentang
ilmu pengetahuannya, kecerdasan fikirannya, keluhuran budinya dan keteguhan
jiwanya.63
Sepanjang riwayat, bahwa mazhab Hanafi dikembangkan oleh sahabat yang
sekaligus murid beliau, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Imam Zufar. Pada masa
pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid menjabat kepala negara bagi dunia Islam,
beliau menyerahkan urusan kehakiman kepada Imam Abu Yusuf. Maka segenap
urusan kehakiman dalam kerajaan ar-Rasyid ada di tangan kekuasaannya. Urusan
resmi di tiap-tiap kota pada masa itu, seperti Iraq, Khurasan, Syam, Mesir bahkan
sampai ke Tapal batas Afrika beliau serahkan kepada orang yang dipercayainya.
Beliau tidak menyerahkan jabatan itu, melainkan kepada orang yang menjadi
sahabatnya dan yang sependirian dengan mazhabnya (mazhab Hanafi).64
Dengan terpilihnya Imam Abu Yusuf menjadi qadli, maka segenap qadli dan
hakim di segenap daerah dan kota di kala itu pada umumnya yang terdiri dari para
ulama‟ yang bermazhab Hanafi menjadi gemar mempelajari kitab-kitab yang
63
Hadits yang tersebut itu diriwayatkan oleh Abu Nu‟aim dalam al-Hilyah dan Abu Hurairah dan
oleh as-Sairazi dalam al-Alqab dari Qais bin Sa‟ad dengan sanad yang dhaif (lemah). Sekalipun
demikian-menurut kata as-Suyuti berhubung dengan adanya hadits itu berasal dari riwayat yang sahih.
Dan dalam riwayat yang lain adalah dengan susunan kata: “jika sekiranya iman itu di bintang tsuraya,
niscaya akan dicapai oleh beberapa orang dari Persia”. Dalam riwayat ini terdapat kata “iman”, bukan
kata “ilmu”. Dan riwayat ini dalam kitab aljami‟ as-Shaghir oleh Imam as-Sayuti diberi tanda yang
berarti diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi dari sahabat Abi Hurairah. Munawar
Khalil, Op. cit, hlm. 80 64
Ibid. hlm. 80
32
beraliran Hanafi, karena ingin mendapat kedudukan atau pangkat. Demikianlah
permulaan tersiarnya aliran mazhab Imam Abu Hanifah.65
Selanjutnya mazhab Imam Hanafi baru dikenal orang Mesir sesudah tahun
164 H. Karena di kala itu telah diangkat oleh kepala negara al-Mahdi seorang
qadli yang bermazhab Hanafi yang mula-mula menyiarkan mazhab Hanafi di
Mesir. Terutama selama pemerintahan Islam ada di tangan para kepala negara dari
keturunan Abbasiyah, makin berkembanglah mazhab ini di Mesir sampai tahun
358 M.66
Tatkala Mesir berada di tangan kekuasaan para raja keturunan Fatimiyyah.
Dibawa pula ke sana aliran mazhab mereka yaitu mazhab Syi‟ah al-Ismailiyyah.
Tidak saja mazhab ini tersiar di sana karenanya, tetapi kedudukan qadli
dipengaruhi juga oleh mazhab itu. Bahkan mazhab Syi‟ah pernah menjadi mazhab
pemerintahan dengan resmi.67
Setelah pemerintahan Mesir jatuh ke tangan al-Ayyubi, mereka menindas
dan mengikis habis mazhab itu. Kemudian kerajaan al-Ayyubi mendirikan
sekolah-sekolah untuk mencetak ulama‟ di masa mendatang yang mengikuti
mazhab Syafi‟i dan Maliki. Sultan Salahuddin al-Ayyubi juga mendirikan sekolah
untuk memberikan pengajaran mazhab Hanafi. Sejak saat itu mazhab Hanafi
mendapat kekuatan kembali untuk berkembang di tengah-tengah Mesir. Pada
tahun 641 H Sultan Saleh Najmuddin mendirikan madrasah yang dinamakan
65
Ibid. hlm. 81 66
Ibid 67
Ibid
33
madrasah as-Shalihiyyah. Dalam madrasah ini diberikan pengajaran-pengajaran
mazhab empat yang masyhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali
sebagai tindakan pembalasan untuk membasmi aliran-aliran mazhab yang lain.68
Pada umumnya penduduk di Afrika (Algeria, Tunisia dan Tripoli) adalah
pengikut mazhab Hanafi yang dibawa oleh Ibnu Farukh Abu Muhammad al-Farisi.
Kemudian ia menyerahkan urusan kehakiman kepada Assad bin Farrat bin Sinan
yang dapat mengembangkan aliran mazhab Hanafi di sana. Demikian sehingga
datang kesana al- Mu‟iz bin Badis dengan membawa aliran mazhab Maliki lalu
dapat menarik sebagian besar penduduknya untuk memeluk mazhab Maliki.
Namun masih ada sebagian kecil dari mereka yang masih tetap menganut mazhab
Hanafi.69
Keluarga raja di Tunisia adalah pengikut mazhab Hanafi. Urusan kehakiman
di sana diserahkan kepada dua qadli yang beraliran Hanafi dan Maliki. Demikian
pula mufti besar di sana juga ada dua, yaitu yang bermazhab Hanafi dan yang
bermazhab Maliki. Tetapi yang bertanggung jawab keseluruhannya ialah yang
bermazhab Hanafi.70
Sepanjang riwayat setelah Mesir jatuh ke tangan kekuasaan bangsa Turki,
maka kedudukan qadli dan urusan kehakiman diserahkan kepada ulama yang
bermazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi bagi pihak
kerajaan Usmaniyyah dan bagi segenap pembesar negara. Dengan demikian bahwa
68
Ibid. hlm 82 69
ibid 70
Ibid. hlm. 83
34
sebagian besar pendudu Mesir terpengaruh oleh mazhab Hanafi dengan tujuan
agar mudah mendapatkan kedudukan qadli atau hakim. Sekalipun demikian nama
mazhab Hanafi tidaklah begitu tersiar ke dusun-dusun dan ke hulu-hulu Mesir
tetapi terbatas di dalam kota saja. Kebanyakan penduduk Dusun dan Hulu daerah
Mesir tetap bermazhab Syafi‟i.71
Selanjutnya mazhab Hanafi tersiar dan berkembang di negeri-negeri Syam,
Iraq, India, Afganistan, Kaukasus, Turki dan Balkan negeri-negeri yang lain .
Demikianlah diantara riwayat tersiarnya mazhab Imam Hanafi di dunia ini.
71
Ibid.
35
BAB III
PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH TENTANG AKAD ISTISHNA’
A. Konsep Istishna’ Imam Abu Hanifah
Secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-Shun‟i (minta dibuatkan).
Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti meminta untuk dibuatkan suatu
barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa yang
akan datang.72
Jika dianalogkan (di-qiyas-kan), maka jual beli ini tidak diperbolehkan. Jual
beli istishna‟ termasuk jual beli barang yang tidak ada (bai‟ al-Ma‟dum) dan
Rasulullah melarang jual beli semacam ini. Oleh karena itu, qiyas tidak digunakan
oleh Abu Hanifah untuk berijtihad mengenai landasan hukum diperbolehkannya
jual beli istishna‟. Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan
dengan alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya.73
Ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar jual beli istishna‟
menjadi sah. Rukun yang harus di penuhi, yakni pemesan (mustashni‟), penjual
atau pembuat (shani‟), barang atau obyek (mashnu‟) dan sighat (ijab dan qabul).
Adapun syarat-syarat jual beli istishna‟ yaitu:
72
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-
Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 95. Lihat juga Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala
ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474 73
Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 138
36
1.
“Adanya kejelasan barang atau obyek (mashnu‟) baik jenis, macam, ukuran
dan sifatnya. Karena sesungguhnya tanpa semua ini akad istishna‟ menjadi
tidak sah.”
2.
“Obyek istishna‟ merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku
dalam hubungan antar manusia.”
3.
“Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam sehingga berlakulah ketentuan-ketentuan akad salam..........”74
Menurut Abu Hanifah, apabila jangka waktu ditetapkan berarti sama saja
dengan jual beli salam (penentuan jangka waktu menjadi sebuah keharusan dalam
akad salam), karena yang dinilai adalah maknanya bukan lafaz-nya.75
Dengan sahnya akad istishna‟ berimplikasi pada tetapnya kepemilikan
barang yang telah dipesan bagi pemesan (mustashni‟) sesuai dengan spesifikasi
atau syarat-syarat yang telah ditentukan di awal akad. Sedangkan bagi pembuat
atau penjual (shani‟) berhak menerima harga barang atau modal dari pemesan
(mustashni‟).76
74
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit. hlm. 97-98 75
Ibid, hlm. 98 76
Ibid
37
Setiap pihak memiliki hak pilih (hak khiyar) untuk melangsungkan,
membatalkan atau meninggalkan akad tersebut, sebelum pemesan (mustashni‟)
melihat barang yang dipesan. Jika pembuat (shani‟) menjual barang pesanan
(mashnu‟) sebelum pemesan melihatnya, maka hal ini dipebolehkan. Karena akad
ini bersifat tidak mengikat. Jika pembuat telah membawa barang pesanan tersebut
dan telah dilihat olehnya, maka hak khiyar-nya menjadi gugur, karena ia telah
merelakannya kepada pemesan sehingga ia mengirimkan kepadanya. Bagi
pemesan yang telah melihat barang pesanan yang dibawa oleh pembuat, apabila
barang itu sesuai dengan spesifikasi yang dinginkannya maka ia tidak memiliki
hak khiyar. Sedangkan apabila barang yang dibawa shani‟ tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan oleh mustashni‟ maka pemesan mempunyai hak khiyar
untuk membatalkan kontrak.77
B. Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Waktu Penyerahan
Barang pada Akad Istishna’
1. Dasar-Dasar Metodologi Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah
Mengenai metodologi perumusan hukum-hukum (fiqh) yang digunakan
Abu Hanifah, tidak banyak diketahui seperti para imam mujtahid yang lain.
Cara-cara Abu Hanifah dalam menjawab persoalan-persoalan fiqh
menunjukkan bahwa ia memang ahli dalam metodologi fiqh (ushul al-fiqh),
walaupun ia tidak menulis sendiri metodologinya, seperti yang dilakukan Imam
77
Ibid, hlm. 99
38
Syafi‟i. Pendapat-pendapatnya yang tertulis dalam kitab-kitab mazhabnya dan
cara-cara pengambilan kesimpulan hukum memperlihatkan dengan jelas
ketajamannya dalam ber-ijtihad. Metode istimbath Imam Abu Hanifah dapat
diketahui dari perkataannya sebagai berikut:
انىاخذبكتاباللهإنوجدت فمالم اجدفيهاخذتبسنةرسولاللهواآلثارالصحاحالتى
فشتبينايدالثقاتفانلماجدفىكتاباللهوسنةرسولهاخذتبقولالصحابةمنشئت
وادعقولمنشئتثمالاخرجعناقوالهمالىاقوالغيرهمفاذاانتهىاالمرالىابراهيم
والشعبيوالحسنوابنسيرينوسعيدبنالمسيبفعلياناجتهدكمااجتهدوا
Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitabullah jika saya
menemukannya. Apabila saya tidak menemukan dalam Kitabullah
saya berpegang kepada sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang
sahih yang berkembang diantara orang-orang kepercayaan. Apabila
saya tidak menemukan dalam Kitabullah dan sunnah Rasul, saya
berpegang kepada pendapat-pendapat sahabat. Saya ambil
pendapat-pendapat sahabat yang saya kehendaki. Dan saya
tinggalkan siapa yang saya kehendaki. Saya tidak menyimpang dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang bukan sahabat. Kalau
urusan itu telah sampai kepada Ibrahim, as-Sya‟bi, al-Hasan, Ibnu
Sirin dan Sa‟id ibnul Musayyab maka sayapun berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad.”78
Dalam hal penggunaan as-Sunnah sebagai hujjah, Abu Hanifah sangat
selektif. Ia hanya berpegang pada as-Sunnah yang betul-betul kuat dan dapat
dipercaya (tsiqah).79
Mengenai ini, disyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan
harus masyhur dikalangan perawi hadits terpercaya, perawi harus beramal
berdasarkan hadits yang diriwayatkan, dan tidak boleh menyimpang dari
78
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Cet. 1, hlm. 58-59 lihat juga Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 2, hlm. 74-75 79
Romli, Op. cit, hlm. 19-22
39
periwayatannya, perawi tidak boleh orang yang aibnya tersebar dikalangan
umum.80
Dalam hal penggunaan qiyas dan istihsan, kadang-kadang Abu Hanifah
seperti juga diikuti oleh pengikutnya, lebih mendahulukan penggunaan istihsan
bila terlihat dengan jelas ada kemaslahatan. Metodologi qiyas kadang diabaikan
untuk tujuan, dan maksud serta dampak tertentu, atau pengambilan riwayat
haditsnya dilakukan dengan cara murni yang umum, atau dengan
menganalogikan (men-qiyas-kan) dengan yang lebih kuat, dan metodologi
semacam ini disebut dengan istihsan.81
Imam Sahal bin Muzahim, seorang murid Imam Hanafi pernah berkata,
“Perkataan Imam Abu Hanifah itu diambil dari orang kepercayaan, beliau suka
menjauhkan diri dari keburukan, suka adat-istiadat mereka, juga suka
memikirkan atas apa yang telah dianggap baik dan lurus oleh mereka dengan
segi qiyas. Maka apabila sesuatu urusan dipandang kurang atau tidak baik dari
segi qiyas, beliau menetapkannya dengan istihsan, selagi yang demikian itu
dapat dilakukan. Maka apabila dengan cara istihsan telah nyata tidak dapat
dilakukan, barulah beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah
dilakukan oleh kaum muslimin.”82
80
Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Eds. 1, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, hlm. 100 81
Ibid 82
Munawir Khalil, Op. cit, hlm. 78
40
Keterangan Abu Hanifah yang tertera itu dapat diambil kesimpulan
bahwa dasar-dasar istimbath Imam Abu Hanifah sebagai berikut;
1. Kitab Allah (al-Qur‟an al-Karim)
2. Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur
(tersiar) diantara para ulama yang ahli
3. Fatwa-fatwa dari para sahabat
4. Qiyas
5. Istihsan, dan
6. „Urf, adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam
Demikianlah dasar-dasar istimbath Imam Hanafi yang sebenarnya,
sebagaimana telah diketahui oleh para ulama ahli ushul al-fiqh.83
2. Metode Istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Akad Istishna‟
Metode istimbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah untuk
memberikan landasan hukum atas pensyariatan akad istishna‟, sebagaimana
yang tertulis dalam kitab Badai‟ Shanai‟ yang dikutip oleh imam al-Kasani;
، فانقياس و اش قد : أيا ج انسهى ، ج ، نا عهى سا د انئ بيع يا نيس ع نا يجش؛ نأ أ
ى زسل انه سهى - عهي يجش - صهى انه زخص في انسهى ، ، سا د انئ بيع يا نيس ع ع
قد قال كس، غيس ذنك في سائس انأعصاز ي ه ى يع اع اناس عهى ذنك؛ نأ ا؛ نئج - استحسا عهي
انسهاو ع أيتي عهى ضهانت }: انصهاة انسهاو- قال {نا تجت انصهاة :عهي
83
Ibid. hlm. 79
41
قبيح } د انه ع قبيحا ؛ ف سه ان يا زآ ، حس د انه ع حسا ؛ ف سه ان يا زآ
}
Artinya:”Jika dianalogkan (di-qiyas-kan) dengan bai‟ Ma‟dum, maka jual beli
ini tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟ termasuk jual beli
barang yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli semacam
ini. Oleh karena itu, qiyas tidak digunakan oleh Abu Hanifah dalam
berijtihad untuk landasan hukum diperbolehkannya jual beli istishna‟.
Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan dengan
alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang
mengingkarinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mungkin umat-Ku
(Muhammad SAW) bersepakat dalam kesesatan. ”Dalam hadits yang
lain, Rasulullah SAW juga berkata:“Apa yang menurut orang-orang
Islam baik maka menurut Allah juga baik dan apa yang menurut
orang-orang Islam buruk, maka bagi Allah hal itu juga buruk.”84
Dari keterangan di atas, dapat di pahami bahwa dalam menetapkan akad
istishna‟, Abu Hanifah berpegang pada istihsan. Beliau mengenyampingkan
qiyas dan memilih istihsan dengan alasan istishna‟ bertentangan dengan
semangat bai‟ secara qiyas. Dalam akad jual beli, pokok atau obyek akad harus
sudah ada atau dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna‟ pokok kontrak
ini belum ada atau tidak dimiliki oleh penjual. Berarti istishna‟ termasuk jual
beli barang yang obyeknya tidak ada (bai‟ ma‟dum), sehingga hal ini tidak
diperbolehkan dan Rasulullah melarangnya. Istishna‟ diperbolehkan dengan
alasan istihsan, demi kemaslahatan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama‟ yang mengingkarinya.
Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa metode istimbath yang
84
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 96
42
digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam menetapkan akad istishna‟ adalah
istihsan bi al-urf.
3. Metode Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah dalam Menetapkan Tidak Perlu
Menentukan Waktu Penyerahan dalam Akad Istishna‟
Metode istimbath hukum Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat
tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ bisa
diketahui dari pernyataannya, seperti yang tertulis dalam kitab dalam kitab
Badai‟ ash-Shanai‟ yang dikutip oleh Imam al-Kasani al-Hanafi sebagai
berikut;
Artinya:“Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa ketika akad istishna‟ itu
ditentukan waktu penyerahan barangnya, maka akad ini berubah
menjadi akad salam. Sebagaimana diketahui bahwa syarat akad salam
adalah menentukan waktu penyerahan barang. Dalam akad yang
diperhitungkan adalah maknanya bukan lafadz zahirnya..............”85
85
Ibid. hal. 98
43
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa dalam menetapkan syarat
tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ ini Abu
Hanifah ber-istimbath hukum dengan;
“Bahwa yang diperhitungkan dalam akad itu adalah maknanya, bukan
lafadznya.”86
Secara jelas Imam Abu Hanifah membedakan antara salam dan istishna‟.
Salam harus menentukan waktu penyerahan barang, sedangkan istishna‟ tidak
perlu. Apabila dalam istishna‟ ditentukan waktu penyerahan barang, maka
otomatis akad ini akan berubah menjadi akad salam. karena yang
diperhitungkan dalam akad adalah makna yang tersirat dari ungkapan akad
tersebut, bukan pada lafadz dhahir-nya.
Metode istimbath Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak
perlu menetukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ berkaitan
dengan akad salam. Dilihat dari jenisnya jual beli istishna‟ sama dengan jual
beli salam, yaitu sama-sama jual beli pesanan, dimana barangnya ditangguhkan
untuk diserahkan pada masa yang akan datang. Akan tetapi Imam Abu Hanifah
membedakan diantara keduanya. Dalam akad salam beliau mensyaratkan harus
menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang,
sedangkan dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya. Beliau menetapkan
syarat ini dengan metode istimbath bahwa beliau memilah-milah produk atau
barang yang menjadi obyek pesanan. Obyek salam berupa barang-barang hasil
86
Ibid
44
pertanian, sedangkan obyek istishna‟ berupa barang-barang properti buatan
manusia.87
Sesuai dengan corak pemikiran Imam Abu Hanifah yang cenderung
rasional. Beliau menetapkan perbedaan produk atau barang yang menjadi obyek
akad istishna‟ atau salam itu dengan pertimbangan ra‟yu yang bertujuan untuk
kemaslahatan manusia. Secara logika beliau menetapkan syarat perlunya
menentukan waktu penyerahan barang yang pasti di awal akad dalam akad
salam dengan menentukan barang pesanannya berupa produk-produk hasil
pertanian. Ini sangat rasional. Dilihat dari obyek akad salam yang berupa
produk hasil pertanian, sebagaimana kita ketahui bahwa hasil pertanian tidak
bisa langsung didapatkan. Ada proses menanam sampai memetik hasilnya. Dan
ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan obyek pada akad
istishna‟. Namun, penentuan waktu pada obyek salam itu bisa disesuaikan
dengan masa yang berlaku dan masyhur di wilayah setempat. Kemudian dari
segi ketahanan hasil produk tersebut dari kemungkinan terjadinya pembusukan
atau kecacatan yang lain apabila disimpan terlalu lama, maka oleh Abu
Hanifah, beliau menetapkan harus menentukan waktu penyerahan barang pada
akad salam dengan alasan-alasan di atas untuk mencapai kemaslahatan umat.
Dilihat dari jenis barang yang menjadi obyek pesanan jual beli istishna‟
juga. Imam Abu Hanifah menetapkan hanya pada barang-barang properti.
87
Ibid. hlm. 97
45
Seperti perabot rumah tangga.88
Beliau tidak menetapkan syarat waktu
penyerahan barang pada istishna‟ ini berdasarkan istimbath hukum bahwa yang
berlaku di masyarakat ketika itu memang tidak menentukan waktu karena
barang-barang properti itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya.
Hal ini tentu berbeda dengan obyek akad salam yang berupa produk hasil
pertanian dimana untuk mendapatkannya harus menunggu waktu yang lebih
lama dari obyek istishna‟ untuk mendapatkannya. Pada masa itu obyek
istishna‟ bisa dipesan dengan menunggu beberapa hari untuk mendapatkannya.
Jadi tidak perlu ditentukan waktu penyerahannyapun, obyek pesanan tetap bisa
cepat untuk di dapatkan.
88
Ibid. hlm. 97
46
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKTU
PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’ DAN APLIKASINYA
DALAM PERBANKAN SYARIAH
A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang
Pada Akad Istishna’
Dalam literatur fiqh klasik, masalah istishna‟ mulai mencuat setelah menjadi
bahasan Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya (mazhab Hanafi). Menurut
beliau, secara bahasa istishna‟ berarti thalab ash-Shun‟ati (minta di buatkan).
Sedangkan menurut istilah syara‟, istishna‟ berarti meminta untuk dibuatkan suatu
barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan pada masa yang
akan datang.89
Demikian pengertian istishna‟ menurut Imam Abu Hanifah dan
diikuti pula oleh murid-muridnya.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat istishna‟. Abu Hanifah menyebutkan
sebagai berikut:
بيا .4
ن جنس المصنوع ، ونوعه وقدره وصفته ؛ لأنه لا يصير معلوما بدونه
“Adanya kejelasan barang atau obyek (mashnu‟) baik jenis, macam, ukuran
dan sifatnya. Karena sesungguhnya tanpa semua ini akad istishna‟ menjadi
tidak sah.”
89
Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-
Kitab al-Amaliyyah, 2005, hlm. 474
47
5.
أن يكون مما يجري فيه التعامل بين الناس
“Obyek istishna‟ merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku
dalam hubungan antar manusia.”
أن لا يكون فيه أجل ، فإن ضرب للاستصناع أجلا ؛ صار سلما حتى يعتبر فيه .6
شرائط السلم ، وهو قبض البدل في المجلس ، ولا خيار لواحد منهما إذا سلم الصانع
قول أبي حنيفة رحمه الله (وهذا )المصنوع على الوجه الذي شرط عليه في السلم
“Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan
barang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam
sehingga berlakulah ketentuan-ketentuan akad salam..........”90
Berbeda dengan gurunya (Imam Abu Hanifah), Muhammad dan Abu
Yusuf berpendapat bahwa point ke tiga dari syarat-syarat yang diajukan oleh
Imam Abu Hanifah untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna‟
bukanlah syarat dari akad istishna‟. Jangka waktu penyerahan barang harus
ditentukan dan ini dimaksudkan supaya pekerjaan dikerjakan dengan segera,
sehingga bisa selesai tepat pada waktunya.91
Pemikiran Abu Hanifah mengenai akad istishna‟ sungguh luar biasa.
Beliaulah ulama‟ yang pertama kali membahas tentang akad istishna‟.
Kecemerlangan pemikiran Abu Hanifah mengenai jual beli istishna‟ terbukti
dengan dikembangkannya pemikiran Abu Hanifah tersebut oleh para muridnya,
90
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟ as-Shanai‟ fi Tartib asy-
Syarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 97-98 91
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damsyiq: Daar al-Fiqh, 2006, hlm. 3648
48
para ulama‟ fiqh klasik, kemudian dilanjutkan pula oleh para ulama‟ fiqh
kontemporer hingga saat ini. Kini jual beli istishna‟ menjadi salah satu produk
yang dikembangkan oleh perbankan syariah. Di perbankan syariah akad
istishna‟ biasa dipakai untuk pembiayaan kepemilikan rumah (KPR),
pembiayaan renovasi rumah, dan lain-lain yang pembayarannya bisa dilakukan
secara kredit. Hal ini tentu lebih meringankan nasabah (masyarakat).
Sebagaimana kita ketahui bahwa rumah merupakan hal yang sangat urgen bagi
setiap orang. Sementara kebutuhan orang tidak hanya satu, ingin punya rumah
saja. Oleh karena itu bukan tidak mungkin produk istishna‟ ini akan menjadi
produk unggulan bank syariah di masa yang akan datang.
Mengenai syarat penyerahan barang pada akad istishna‟, Imam Abu
Hanifah berpendapat tidak perlu ada tenggang waktu antara pesanan dengan
penyerahan barang, apabila jangka waktu ditentukan, maka akan berubah
menjadi akad salam.92
Beliau berpendapat demikian bukan tanpa alasan. Beliau
berpendapat demikian justru karena beliau sangat manusiawi (memperhatikan
kepentingan manusia), khususnya bagi kaum yang lemah agar tidak merasa
tertekan oleh keterbatasan waktu. Beliau juga mengantisipasi kalau-kalau dalam
proses pekerjaan (pembuatan barang pesanan) itu terjadi sesuatu di luar
kehendak manusia yang menyebabkan pekerjaan menjadi tertunda. Oleh karena
itu, beliau berpendapat tidak perlu menentukan jangka waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟. Namun, apabila pendapat Imam Abu Hanifah
92
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. cit, hlm. 97
49
diterapkan pada masa sekarang maka tidak relevan. Sebab penentuan jangka
waktu antara pesanan dengan penyerahan barang menjadi suatu keharusan
dalam setiap transaksi dan harus ditentukan secara jelas dan pasti di awal akad.
Hal ini untuk memelihara kepentingan pemesan atau pembeli (mustashni‟) agar
tidak mengalami kerugian dan memelihara unsur keridhaan (an-taradhin) yang
merupakan unsur dasar dalam setiap muamalah. Kerelaan di sini dapat berarti
kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat maupun kerelaan dalam arti
kerelaan menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan
dan bentuk muamalat lainnya.93
Asas ini berdasarkan firman Allah Qs. al-
Baqarah: 282 dan Qs. an-Nisa‟: 29
(۲٨۲:البقرة) ....... يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah94
tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.........” (Qs. al-Baqarah: 282)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
93
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM, 1995,
hlm. 113 94
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Qs.
al-Baqarah: 282
50
janganlah kamu membunuh dirimu95
sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”.(Qs. an-Nisa‟: 29)
B. Analisis Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah Tentang Syarat Penyerahan
Barang Pada Akad Istishna’
Mengenai metodologi perumusan hukum-hukum (fiqh) yang digunakan Abu
Hanifah, tidak banyak diketahui seperti para imam mujtahid yang lain. Cara-cara
Abu Hanifah dalam menjawab persoalan-persoalan fiqh menunjukkan bahwa ia
memang ahli dalam metodologi fiqh (ushul al-fiqh), walaupun ia tidak menulis
sendiri metodologinya, seperti yang dilakukan Imam Syafi‟i. Pendapat-
pendapatnya yang tertulis dalam kitab-kitab mazhabnya dan cara-cara
pengambilan kesimpulan hukum memperlihatkan dengan jelas ketajamannya
dalam berijtihad. Metodologi istimbath hukum Imam Abu Hanifah secara umum
urutannya sebagai berikut;
7. Kitab Allah (al-Qur‟an al-Karim)
8. Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur
(tersiar) diantara para ulama yang ahli
9. Fatwa-fatwa dari para sahabat
10. Qiyas
95
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan
51
11. Istihsan
12. „Urf, adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam96
Adapun dalam menetapkan akad istishna‟, Abu Hanifah berbeda pendapat
dengan ulama yang lain. Beliau mensyariatkan akad istishna‟ dengan dalil sebagai
berikut;
أن لا يجوز؛ لأنه بيع ما ليس عند الإنسان، لا على : وأما جوازه ، فالقياس
عن بيع ما ليس عند - صلى الله عليه وسلم - وجه السلم ، وقد نهى رسول الله
الإنسان ، ورخص في السلم ، ويجوز استحسانا؛ لإجماع الناس على ذلك؛ لأنهم
لا }: عليه الصلاة والسلام - يعملون ذلك في سائر الأعصار من غير نكر، وقد قال
ما رآه المسلمون حسنا ؛ } : عليه الصلاة والسلام- وقال {تجتمع أمتي على ضلالة
{فهو عند الله حسن ، وما رآه المسلمون قبيحا ؛ فهو عند الله قبيح
Artinya:”Jika dianalogkan (di-qiyas-kan) dengan bai‟ Ma‟dum, maka jual beli ini
tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟ termasuk jual beli barang
yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli semacam ini. Oleh
karena itu, qiyas tidak digunakan oleh Abu Hanifah dalam berijtihad
untuk landasan hukum diperbolehkannya jual beli istishna‟. Menurut
Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan dengan alasan
istihsanan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang
mengingkarinya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mungkin umat-Ku
(Muhammad SAW) bersepakat dalam kesesatan. ”Dalam hadits yang
lain, Rasulullah SAW juga berkata:“Apa yang menurut orang-orang
islam baik maka menurut Allah juga baik dan apa yang menurut orang-
orang islam buruk, maka bagi Allah hal itu juga buruk.”97
96
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Cet. 1, hlm. 58-59 lihat juga Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 2, hlm. 74-75 97
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 96
52
Dalam menetapkan akad istishna‟, khususnya pada syarat penyerahan obyek
atau barang, Imam Abu Hanifah tidak menggunakan semua metode istimbath.
Beliau hanya memakai dalil istihsan dan urf saja. Hal ini karena istishna‟
merupakan akad ghairu musamma yang dasar hukumnya tidak ditentukan secara
eksplisit di dalam al-Qur‟an maupun hadits. Beliau mengenyampingkan qiyas dan
memilih istihsan karena demi kebaikan kehidupan manusia dan praktek istishna‟
ini telah menjadi kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang
mengingkarinya.98
Sedangkan menurut ulama‟ yang lain, yakni ulama‟ Malikiyah, Syafi‟iyyah
dan Hanabilah, akad istishna‟ sah dengan landasan diperbolehkannya akad salam.
Mereka men-qiyas-kan bai‟ Istishna‟ dengan bai‟ Salam karena dalam keduanya
barang yang dipesan belum berada di tangan penjual manakala kontrak
ditandatangani. Selain itu bai‟ istishna‟ juga telah menjadi kebiasaan umat
manusia dalam bertransaksi (urf). Oleh karena itu, dalam bai‟ istishna‟ berlaku
pula syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam bai‟ salam.99
Dari keterangan
tersebut penulis mengambil kesimpulan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
syarat istishna‟ itu tidak perlu ada tenggang waktu antara pesanan dengan
penyerahan barang dikarenakan konsistensi beliau untuk membedakan akad
istishna‟ dengan akad salam. Mengingat kajian istishna‟ ini hanya ada pada
98
Syamsuddin asy-Syarkhasi, al-Mabsuth, Juz. 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989, hlm. 96 99
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 97
53
mazhab Abu Hanifah, sedangkan pada mazhab yang lain, Syafi‟i, Maliki, dan
Hambali tidak membahasnya karena mereka menganggap istishna‟ merupakan
bagian dari akad salam sehingga semua ketentuan yang ada pada akad salam
berlaku pula pada akad istishna‟.
Menurut pengertian bahasa arab, istihsan artinya “menjadikan atau
menganggap sesuatu itu baik” atau ”mengikuti sesuatu yang baik secara hissi
(lahir) dan ma‟nawi. Secara istilah, ulama Hanafiyah mendefinisikan istihsan
berarti berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada
ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan
hukum lain, menyisihkan atau meninggalkan suatu ketentuan hukum, pengecualian
sebagian hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya, ataupun men-
tahsis-kan sebagian satuan hukum dari hukum umum. Perpindahan dan seterusnya
itu harus bertopang atau bersandar atau ber-isnad kepada suatu dalil syara‟ baik
dari nash-nya atau pengertian tersiratnya, atau mashlahat ataupun adat
kebiasaan.100
Istihsan terbagi pada beberapa macam dengan memperhatikan asal
perpindahannya atau arah perpindahannya dan sanad yang dijadikan landasan
perpindahan. Dari segi asal perpindahan, istihsan dibagi menjadi dua, yaitu; 1)
berpindah dari tuntutan qiyas zahir ke qiyas khafi, contohnya, fuqaha Hanafiyah
berpendapat bahwa hak irigasi, dan jalan, tidak termasuk ke dalam wakaf tanah
100
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, Cet. 3, hlm. 130
54
pertanian bila disebutkan sebagai qiyas dan termasuk menurut istihsan. Menurut
qiyas yang zahir ialah men-qiyas-kan waqaf dengan jual beli karena dengan jual
beli maka milik penjual sudah berpindah, demikian juga hal dengan wakaf maka
milik yang berwakaf sudah keluar dari kekuasaannya. Sedangkan qiyas khafi ialah
men-qiyas-kan wakaf dengan ijarah (sewa-menyewa) karena yang dimaksudkan
dengan sewa dan wakaf adalah mengambil manfaat terhadap hasil barang bukan
memiliki barangnya. Dalam sewa-menyewa tanah pertanian termasuklah hak
irigasinya, dan jalannya walaupun hal itu tidak disebutkan. Maka demikian jugalah
halnya dengan wakaf. Dalil yang menjadi landasan perpindahan ini adalah bahwa
yang dimaksud wakaf ialah mengambil manfaatnya penerima wakaf dari hasil
yang diwakafkan bukan memiliki barangnya. Mengambil manfaat dari hasil
pertanian tidak akan terwujud tanpa irigasinya. Maka qiyas yang menuntut
dimasukkannya hak-hak tersebut ke dalam yang diwakafkan tanpa
menyebutkannya, lebih kuat pengaruhnya dari segi yang dapat mewujudkan
maslahat wakaf. 2) berpindah dari hukum kulli kepada hukum pengecualian,
contohnya, seseorang yang memegang amanat wajib mengganti sesuatu yang
diamanatkan kepadanya karena dianggap jahil terhadap amanat. Anggapan jahil
tersebut adalah salah satu bentuk lalai dalam memelihara. Tetapi dikecualikan
bapak dari pemberi amanat sebagai istihsan jika ia mati dalam keadaan tidak
mengetahui harta anaknya, karena si bapak mempunyai hak memperdagangkan
55
harta anaknya dan berhak mendapatkan nafkah dari anaknya. Maka kemungkinan
ia berdagang lalu merugi atau kemungkinan ia mengambil hak nafkahnya.101
Dari segi sanad yang menjadi landasan, maka istihsan terbagi menjadi
empat, yaitu; 1) istihsan yang sanad-nya khafi, seperti contoh yang sudah
diketengahkan, 2) istihsan yang sanad-nya nash, contohnya Allah melarang
memakan daging babi dan bangkai, tetapi di-rukhsah-kan bagi orang yang dalam
keadaan darurat. Penamaan ini sebagai istihsan kurang tepat karena hukum yang
dikecualikan itu ditetapkan dengan nash sendiri bukan dengan istihsan. 3) istihsan
yang sanad-nya urf, contohnya jual beli pesanan (indent). Menurut hukum umum
tidak sah, karena yang dibeli tidak berwujud barangnya, tetapi dibolehkan karena
istihsan menurut urf. Alasan ini pula yang dijadikan patokan Imam Abu Hanifah
dalam menetapkan akad istishna‟. 4) istihsan yang sanad-nya darurat, contohnya,
diampunkannya yang sedikit dan dimaafkannya percikan halus air seni atau
kencing.102
Demikian pula dengan para imam mujtahid yang empat, mereka juga telah
menggunakan metodologi qiyas dan istihsan yang memiliki kriteria di atas. Hanya
saja mereka tidak menamakan istihsan, tapi mengkategorikannya pada kategori
metode lain, misalnya dikategorikan istihlah. Dengan begitu kategori maslahah-
mursalah merupakan prinsip metodologi mazhab Hanafiah, meskipun tidak
menggunakan penamaan ini. Perbedaan pokoknya adalah bahwa mazhab Hanafiah
101
Ibid. hlm. 131-132 102
Ibid. hlm. 133
56
dalam penggunaan prinsip atau metodologi qiyas dan istihsan lebih dominan (luas)
dibanding dengan yang lain. Hal ini dikarenakan persyaratan yang dicanangkan
mazhab ini dalam penggunaan atsar-atsar lebih ketat dan selektif, sehingga hanya
sedikit saja yang lolos seleksi.103
Urf juga menjadi alasan Imam Abu Hanifah dalam mensyariatkan akad
istishna‟. Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan)
yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah
masyarakat.104
Dan ini tergolong salah satu sumber hukum yang diambil dari
intisari sabda Nabi Muhammad SAW;
فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
Artinya:“Apa yang menurut orang-orang islam baik maka menurut Allah juga
baik dan apa yang menurut orang-orang islam buruk, maka bagi Allah
hal itu juga buruk.” (HR. Ibn Hambal, dari Ibnu Mas‟ud)105
Hadits ini baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukkan bahwa
setiap perkara yang telah mentradisi di kalangan kaum muslimin dan dipandang
sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik di hadapan
Allah. Menentang urf (tradisi) yang dipandang baik oleh masyarakat akan
menimbulkan kesulitan dan kesempitan.106
Allah SWT berfirman;
وما جعل عليكم في الدين من حرج
103
Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Eds. 1,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, hlm. 100 104
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 12, hlm. 416 105
Musnad Imam Ahmad, juz 7, hlm 453 106
Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit. hlm. 417
57
Artinya:“Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.”(Qs. al-Hajj: 78)
Oleh karena itu, ulama‟ mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan urf yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak atau
cacat), sama dengan yang ditetapkan dalil syar‟i.107
Perlu pula diketahui bahwa Abu Hanifah berada pada suatu tempat yang
sangat kurang sekali mendapatkan orang yang hafal hadits, dibandingkan tempat
lainnya yang terkenal (Madinah). Sedangkan dalam hal ini, masalah hukum yang
perlu mendapat penyelesaian selalu ada saja setiap harinya. Oleh karena itu Abu
Hanifah termasuk seorang Imam yang paling pandai dalam urusan “qiyas” dan
“istihsan”.108
Adapun dalam hal penggunaan as-Sunnah sebagai hujjah, Abu Hanifah
sangat selektif. Ia hanya berpegang pada as-Sunnah yang betul-betul kuat dan
dapat dipercaya (tsiqah).109
Mengenai ini, disyaratkan bahwa hadits yang
diriwayatkan harus masyhur dikalangan perawi hadits terpercaya, perawi harus
beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan, dan tidak boleh menyimpang dari
periwayatannya, perawi tidak boleh orang yang aibnya tersebar dikalangan
umum.110
Fudail bin Iyad mengatakan: “Jika ada masalah yang didasarkan hadits sahih
sampai kepada Abu Hanifah, pasti dia akan mengikutinya. Begitu juga dari
107
Ibid 108
Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Op. cit, hlm. 100 109
Romli, Muqaramnah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, h. 19-22 110
Syekh Muhammad Ali as-Saayis, Op. cit, hlm. 100
58
sahabat dan tabiin. Kalau tidak, dia akan menggunakan qiyas dengan cara yang
sangat baik”. Abu Hanifah juga mengatakan: “Jika suatu hadits datang dari
Rasulullah SAW saya tidak akan mencari yang lain. Jika dari sahabat, saya akan
memilih. Jika dari tabiin, saya akan menelitinya”. Katanya lagi: “Saya heran
mengapa orang mengatakan saya berfatwa dengan menggunakan rasio, padahal
saya mengambil atsar, ucapan dan keterangan sahabat”.111
Demikianlah metode istimbath imam Abu Hanifah seperti yang juga
dilakukan oleh murid-muridnya dan juga yang tertulis dalam buku-buku mazhab
Hanafi. Walaupun Abu Hanifah terkenal dengan ahli ra‟yi, lebih dominan dalam
menggunakan qiyas dan istihsan dalam menetapkan hukum, akan tetapi ia
melakukan itu bukan tanpa tujuan. Ia melakukannya karena memperhatikan
kemaslahatan umat (maqashid as-Syariah) tanpa mengabaikan nash yang shahih,
kuat dan masyhur dikalangan para perawi hadits yang terpercaya terlebih dahulu.
Adapun dalam menetapkan syarat akad istishna‟ yang berupa tidak perlu
menentukan waktu penyerahan barang, apabila waktu penyerahan ini ditentukan
maka akan berubah menjadi akad salam, bisa diketahui dari pernyataannya, seperti
yang tertulis dalam kitab dalam kitab Badai‟ ash-Shanai‟ yang dikutip oleh Imam
al-Kasani al-Hanafi sebagai berikut;
يفت : نأبي ح ى انسهى ؛ إذ ع أجها ؛ فقد أتى ب إذا ضسب في أ ع زضي انه
ز انأنفاظ ا نا نص ي عا انعبسة في انعقد ن عقد عهى يبيع في انريت يؤجها ،
111
Abdullah Mustafa al-Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, (terj) Husein
Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet. 1, hlm. 74-75
59
Artinya:“Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa ketika akad istishna‟ itu ditentukan
waktu penyerahan barangnya, maka akad ini berubah menjadi akad
salam. Sebagaimana diketahui bahwa syarat akad salam adalah
menentukan waktu penyerahan barang. Dalam akad yang diperhitungkan
adalah maknanya bukan lafadz zahirnya..............”112
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa dalam menetapkan syarat
tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ ini Abu
Hanifah ber-istimbath hukum dengan;
ز انأنفاظ ا نا نص ي عا انعبسة في انعقد ن
“Bahwa yang diperhitungkan dalam akad itu adalah maknanya, bukan
lafadznya.”113
Secara jelas Imam Abu Hanifah membedakan antara salam dan istishna‟.
Salam harus menentukan waktu penyerahan barang, sedangkan istishna‟ tidak
perlu. Apabila dalam istishna‟ ditentukan waktu penyerahan barang, maka
otomatis akad ini akan berubah menjadi akad salam. karena yang diperhitungkan
dalam akad adalah makna yang tersirat dari ungkapan akad tersebut, bukan pada
lafadz dhahir-nya.
Metode istimbath Imam Abu Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu
menetukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ berkaitan dengan akad
salam. Dilihat dari jenisnya jual beli istishna‟ sama dengan jual beli salam, yaitu
sama-sama jual beli pesanan, dimana barangnya ditangguhkan untuk diserahkan
pada masa yang akan datang. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membedakan
diantara keduanya. Dalam akad salam beliau mensyaratkan harus menentukan
tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang, sedangkan
112
Imam „ala ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Op. Cit, hlm. 98 113
Ibid
60
dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya. Beliau menetapkan syarat ini
dengan metode istimbath bahwa beliau memilah-milah produk atau barang yang
menjadi obyek pesanan. Obyek salam berupa barang-barang hasil pertanian,
sedangkan obyek istishna‟ berupa barang-barang properti buatan manusia.114
Sesuai dengan corak pemikiran Imam Abu Hanifah yang cenderung rasional.
Beliau menetapkan perbedaan produk atau barang yang menjadi obyek akad
istishna‟ atau salam itu dengan pertimbangan ra‟yu yang bertujuan untuk
kemaslahatan manusia. Secara logika beliau menetapkan syarat perlunya
menentukan waktu penyerahan barang yang pasti di awal akad dalam akad salam
dengan menentukan barang pesanannya berupa produk-produk hasil pertanian. Ini
sangat rasional. Dilihat dari obyek akad salam yang berupa produk hasil pertanian,
sebagaimana kita ketahui bahwa hasil pertanian tidak bisa langsung didapatkan.
Ada proses menanam sampai memetik hasilnya. Dan ini memerlukan waktu yang
lebih lama dibandingkan obyek pada akad istishna‟. Namun, penentuan waktu
pada obyek salam itu bisa disesuaikan dengan masa yang berlaku dan masyhur di
wilayah setempat. Kemudian dari segi ketahanan hasil produk tersebut dari
kemungkinan terjadinya pembusukan atau kecacatan yang lain apabila disimpan
terlalu lama, maka oleh Abu Hanifah, beliau menetapkan harus menentukan waktu
penyerahan barang pada akad salam dengan alasan-alasan di atas untuk mencapai
kemaslahatan umat.
114
Ibid. hlm. 97
61
Dilihat dari jenis barang yang menjadi obyek pesanan jual beli istishna‟
juga. Imam Abu Hanifah menetapkan hanya pada barang-barang properti. Seperti
perabot rumah tangga.115
Beliau tidak menetapkan syarat waktu penyerahan
barang pada istishna‟ ini berdasarkan istimbath hukum bahwa yang berlaku di
masyarakat ketika itu memang tidak menentukan waktu karena barang-barang
properti itu tidak membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Hal ini tentu
berbeda dengan obyek akad salam yang berupa produk hasil pertanian dimana
untuk mendapatkannya harus menunggu waktu yang lebih lama dari obyek
istishna‟ untuk mendapatkannya. Pada masa itu obyek istishna‟ bisa dipesan
dengan menunggu beberapa hari untuk mendapatkannya. Jadi tidak perlu
ditentukan waktu penyerahannyapun, obyek pesanan tetap bisa cepat untuk di
dapatkan. Hal inilah yang berbeda dengan praktek istishna‟ pada masa sekarang.
Di Indonesia khususnya, jual beli istishna‟ dikembangkan oleh perbankan
syariah dengan skema istishna‟ paralel. Dan obyek pesanan (mashnu‟) yang
ditetapkan sekarangpun tidak sama dengan pada masa Imam Abu Hanifah. Pada
masa sekarang produk jual beli istishna‟ dikembangkan oleh perbankan syariah
dengan mashnu‟ yang lebih berkembang dari pada masa Abu Hanifah. Bahkan
istishna‟ paralel pada perbankan syariah itu melayani proyek-proyek besar milik
pemerintah guna membangun sarana umum untuk kemaslahatan warga negara
tersebut. Jadi penentuan waktu penyerahan ini, sudah pasti harus ditentukan dalam
akad istishna‟.
115
Ibid. hlm. 97
62
Imam Abu Hanifah juga membedakan antara salam dan istishna‟, dimana
salam disyaratkan adanya penentuan waktu penyerahan barang. Sedangkan dalam
istishna‟ tidak ada. Pendapat beliau ini bisa saja karena memang pada dasarnya,
syarat itu adalah sesuatu yang melekat dalam substansi akad. Sedangkan waktu
penyerahan itu adalah prosedur atau teknik pelaksanaan dari akad istishna‟
tersebut, jadi tidak menjadi masalah apabila tidak ditentukan. Demikianlah metode
istimbath yang dipakai Imam Abu Hanifah dalam menetapkan tidak perlu
menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ yang berbeda dari akad
salam. beliau menetapkan demikian semata-mata hanya untuk kemaslahatan umat.
C. Aplikasi Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang
Pada Akad Istishna’ dalam Perbankan Syariah
Secara umum produk jual beli dalam bank syariah merupakan produk yang
lebih dominan dibanding dengan produk inti yakni bagi hasil. Masyarakat
umumnya menghendaki cara yang lebih praktis. Dengan skema bagi hasil,
masyarakat tidak mau disibukkan dengan berbagai persoalan administratif.
Dengan skema jual beli, hambatan administratif tersebut dapat diminimalisir.116
Dalam perbankan syariah, aplikasi bai‟ istishna‟ biasanya menggunakan
istishna‟ paralel. Bank syariah yang mendapat order dari calon pembeli tidak akan
mampu memproduksi sendiri barangnya. Sehingga bank akan mengsuborderkan
116
Muhammad Ridwan, Konstruksi Bank Syariah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka SM, 2007, Cet.
1 . hlm. 83.
63
barang tersebut kepada produsen yang ahli, sesuai dengan spesifikasi barang yang
telah ditetapkan.117
Dalam fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa jual beli istishna‟ adalah akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang di sepakati antara pemesan (pembeli, mustasni‟) dan
penjual (pembuat, shani‟).118
Pada dasarnya, pembiayaan istishna‟ merupakan transaksi jual beli cicilan
pula seperti transaksi murabahah muajal. Namun, berbeda dengan jual beli
murabahah di mana barang diserahkan di muka sedangkan uangnya di bayarkan
secara cicilan, dalam jual beli istishna barang diserahkan di belakang, walaupun
uangnya juga sama-sama dibayar secara cicilan.
Persis dengan metode pembayaran dalam jual beli istishna, yakni sama sama
dengan sistem pembayaran pengangsuran (installmen). Satu satunya hal yang
membedakan antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam
murabahah muajjal, barang di serahkan di muka, sedangkan dalam istishna barang
diserahkan di belakang, yakni pada akhir periode pembiayaan. Hal ini terjadi,
karena biasanya barangnya belum di buat atau belum wujud. Jadi, pada dasarnya
pola arus kas dan penyerahan barang pada jual-beli istishna‟ merupakan kebalikan
180 derajat saja dari jual-beli murabahah mu‟ajjal.119
117
Ibid. hlm. 84. 118
Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 126 119
Ibid
64
Dalam sebuah kontrak bai‟ al-istishna‟ bisa saja pembeli mengijinkan
pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut.
Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna‟ kedua untuk
memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal dengan
istishna‟ paralel.120
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak istishna‟
paralel. Diantaranya sebagai berikut:
1. Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-
satunya pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kewajibannya.
Istishna‟ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada.
Dengan demikian, sebagai shani‟ pada kontrak pertama, bank tetap
bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak
yang berasal dari kontrak paralel.
2. Penerima subkontrak untuk pembuatan pada istishna‟ paralel bertanggungjawab
pada bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum
secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai‟ al-istishna‟
kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat
untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak
mempunyai kaitan hukum sama sekali.
120
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Azkia Institut,
1999, Cet 1, hlm. 161
65
3. Bank sebagai shani‟ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan
barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan
subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang
memberikan keabsahan istishna‟ paralel juga menjadi dasar bahwa bank boleh
memungut keuntungan kalau ada.121
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Istishna‟ paralel dapat
dilakukan dengan syarat:
1. Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara
bank dan pembeli akhir, dan
2. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah
Pada dasarnya istishna‟ tidak dapat dibatalkan, kecuali:
1. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, dan
2. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari produsen atas:
1. Jumlah yang telah dibayarkan, dan
2. Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
Produsen atau penjual mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan bahwa
harga yang disepakati akan dibayar tepat waktu. Perpindahan kepemilikan barang
121
Ibid. hlm. 162
66
pesanan dari produsen atau penjual ke pembeli dilakukan pada saat penyerahan
sebesar jumlah yang disepakati.122
Alasan keharusan menentukan jangka waktu penyerahan barang pada akad
istishna juga sesuai dengan fatwa DSN MUI (Fatwa DSN No. 06/DSN-
MUI/MIV/2000) yang menjelaskan tentang ketentuan istishna‟, sebagai berikut;
1. Fatwa tentang jual beli istishna‟ (Fatwa DSN No. 06/DSN-MUI/MIV/2000)
a. Ketentuan tentang Pembayaran:
1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
2) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
b. Ketentuan tentang Barang
1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3) Penyerahannya dilakukan kemudian.
4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5) Pembeli (mustashni‟) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
122
Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005, hlm. 218
67
7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
c. ketentuan lain
1) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat.
2) Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada jual beli istishna‟.
3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari‟ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.123
2. Fatwa tentang jual beli istishna‟ paralel (fatwa DSN No. 22/DSN-
MUI/III/2002)
a. Jika LKS melakukan transaksi istishna‟ untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟ lagi dengan pihak lain pada
obyek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak bergantung
(mu‟allaq) pada istishna‟ kedua.
123
M. Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jilid. 1, Jakarta: Dewan
Syariah Nasional MUI, 2006, Eds. 1, hlm. 37-38
68
b. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna‟ (fatwa DSN No.
06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam istishna‟ paralel.124
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia dalam
buku yang berjudul Bank Syariah; Produk dan Implementasi Operasional
menyebutkan syarat-syarat akad istishna‟ sebagai berikut:
1. Pihak yang berakad harus cakap hukum
2. Produsen (shani‟) sanggup memenuhi persyaratan pesanan
3. Obyek (mashnu‟) yang dipesan jelas spesifikasinya
4. Harga jual adalah harga pesanan ditambah keuntungan
5. Harga jual tetap selama jangka waktu pemesanan
6. Jangka waktu pembuatan disepakati bersama125
Dari uraian di atas ada point penting yang perlu di catat sebagai relevansi
antara penelitian terhadap pemikiran Abu Hanifah tentang waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟ dengan skripsi ini. Menurut Imam Abu Hanifah dalam
akad istishna‟ tidak menentukan jangka waktu penyerahan barang. Abu Hanifah
memang ulama‟ yang terkenal rasionalis. Mungkin pemikiran beliau cocok untuk
diaplikasikan oleh masyarakat pada masanya. Akan tetapi apabila pemikiran Abu
Hanifah ini diaplikasikan pada masa sekarang maka tidak relevan. Karena pada
kenyataannya praktek istishna‟ pada masa sekarang, penentuan waktu penyerahan
124
Ibid. 125
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah; Produk dan
Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 119-120
69
barang itu harus ditentukan. Hal ini untuk memberikan jaminan hak terhadap
pembeli untuk medapatkan barang sesuai pesanan dan penyerahan barang secara
tepat waktu.
Alasan lain perlunya penentuan waktu penyerahan barang pada akad
istishna‟ adalah untuk kemaslahatan umat yang berupa memelihara kepentingan
pembeli atau pemesan (mustashni‟) agar tidak merasa dirugikan dan menjaga
unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam setiap muamalah. Hal ini
sesuai dengan al-Qawaid al-Asasiyah (kaidah fiqh yang asasi) yaitu;
جلبالمصالحودفعالمفاسد
“Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”
Ke-maslahat-an dilihat dari syari‟ah dibagi menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, sunnah melaksanakannya dan ada yang mubah
melaksanakannya. Demikian pula ke-mafsadat-an, ada yang haram
melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. Apabila di antara yang
maslahat itu banyak dan harus dilakukan salah satunya dalam waktu yang sama,
maka lebih baik dipilih yang paling maslahat.126
Sebagaimana penentuan jangka
waku penyerahan barang pada akad istishna‟, lebih banyak manfaatnya dari pada
madharat-nya. Bahkan pada masa sekarang, setiap melakukan transaksi sebaiknya
dibuat di depan notaris. Hal ini untuk memberikan kejelasan hukum apabila terjadi
perselisihan setelah akad.
126
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. 2, hlm. 27
70
Perintah untuk memilih jalan ke-maslahat-an ini sesuai dengan firman Allah;
Artinya:“Dan ikutilah sebaik apa yang yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu
tidak menyadarinya. (Qs. Az-Zumar: 55)
Demikian pula sebaliknya, apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang
sama, maka harus didahulukan mafsadat yang paling buruk akibatnya. Apabila
berkumpul antara maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih maslahat-nya
yang lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya
maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat, sebab menolak
mafsadat itu sudah termasuk kemaslahatan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
دفعالمفاسدمقدمعلىجلبالمصالح
“Menolak mafsadat didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”127
Ukuran yang lebih konkret mengenai kemaslahatan ini dijelaskan oleh imam
al-Ghazali dalam al-Mustasfa, Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama
yang sekarang seperti Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf, apabila
disimpulkan, maka persyaratan ke-maslahat-an tersebut adalah:
1. Ke-maslahat-an itu harus sesuai maqasid as-Syari‟ah, semangat ajaran, dalil-
dalil kulli dan dalil qath‟i baik wurud maupun dalalah-nya
127
Ibid. hlm. 164
71
2. Ke-maslahat-an itu harus meyakinkan, artinya ke-maslahat-an itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat, sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.
3. Ke-maslahat-an itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan
yang di luar batas, dalam arti ke-maslahat-an itu bisa dilaksanakan.
4. Ke-maslahat-an itu memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat bukan
pada sebagian kecil masyarakat.128
MUI dalam musyawarah nasional ke VII Tahun 2005, dalam keputusannya
No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria maslahat sebagai berikut:
1. Ke-maslahat-an menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syariah
(maqasid asy-Syariah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima
kebutuhan primer (ad-Daruriyyar al-Khamsah), yaitu agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan.
2. Ke-maslahat-an yang dibenarkan oleh syariat adalah ke-maslahat-an yang tidak
bertentangan dengan nash.
3. Yang berhak menentukan maslahat dan tidaknya sesuatu menurut syariah
adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syariah dan dilakukan
melalui ijtihad jama‟i.129
128
Ibid, hlm. 29 129
Ibid, hlm. 165
72
Di dalam kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi juga
dijelaskan bahwa
كلشرطكانمنمصلحةالعقداومنمقتضاهفهوجائز
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka
syarat tersebut dibolehkan”130
Seperti keharusan untuk menentukan jangka waktu penyerahan barang pada
akad istishna‟ bisa menjadi syarat mutlak yang harus ada dalam akad istishna‟,
karena ini untuk ke-maslahat-an akad itu sendiri, juga untuk mencapai ke-
maslahat-an masyarakat (mencegah perselisihan yang mungkin terjadi setelah
akad). Berarti tujuan ini telah sesuai dengan al-Qawaid al-Asasiyah tersebut.
Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah
mempunyai konstribusi yang besar dalam menyumbangkan pemikirannya
mengenai hukum muamalah khususnya istishna‟. Beliau adalah pencetus istilah
berikut substansi dari akad istishna‟ yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan
oleh para pemikir ekonomi Islam melalui lembaga perbankan. Mengingat bank
adalah lembaga intermediasi antara nasabah yang membutuhkan suatu barang
sementara ia tidak mempunyai uang yang cukup untuk memenuhinya dengan
segera, kemudian bank menawarkan solusi dengan akad istishna‟ ini. Di mana
nasabah bisa mendapatkan barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan,
dicicil atau di bayar di belakang.
130
Ibid. hlm. 137
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin penting yang perlu di catat, di
antaranya adalah;
1. Menurut Imam Abu Hanifah, waktu penyerahan barang dalam akad istishna‟
tidak perlu disyaratkan atau ditentukan. Jika waktu penyerahan barang tersebut
ditentukan, maka akan berubah menjadi akad salam, sehingga berlakulah
ketentuan-ketentuan akad salam di dalamnya. Beliau berpendapat demikian
bukan tanpa tujuan, beliau mengantisipasi kalau-kalau dalam proses pekerjaan
(pembuatan barang pesanan) terjadi hal-hal di luar kehendak manusia yang
menyebabkan pekerjaan menjadi tertunda, juga karena sifat manusiawi beliau,
terutama terhadap kaum yang lemah agar tidak merasa tertekan oleh
keterbatasan waktu. Akan tetapi, jika pemikiran Imam Abu Hanifah ini
diaplikasikan pada masa sekarang, tidak relevan. Karena dalam melakukan
kontrak pesanan itu harus ditentukan waktu penyerahan. Hal ini untuk
memelihara kepentingan pembeli atau pemesan (mustashni‟) agar merasa tidak
dirugikan serta menjaga unsur kerelaan (an taradhin) yang merupakan unsur
dasar dalam setiap muamalah. Walaupun demikian, pemikiran Imam Abu
Hanifah tetap memberikan sumbangan yang besar bagi lembaga perbankan
syariah untuk mengembangkan produk istishna‟ ini.
74
2. Dalam menetapkan akad istishna‟ berikut syarat dan rukunnya, Imam Abu
Hanifah ber-istimbath dengan menggunakan istihsan bi al-Urf. Beliau
berpendapat demikian dengan beberapa alasan; (1) Jika di-qiyas-kan dengan
bai‟ ma‟dum, maka jual beli ini tidak diperbolehkan karena jual beli istishna‟
termasuk jual beli barang yang tidak ada dan Rasulullah melarang jual beli
semacam ini. Menurut Imam Abu Hanifah jual beli istishna‟ diperbolehkan
dengan alasan istihsan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya.
(2) Konsistensi beliau untuk membedakan akad istishna‟ dengan akad salam.
Mengingat kajian istishna‟ ini hanya ada pada mazhab Hanafi, sedangkan pada
mazhab yang lain, Syafi‟i, Maliki, Hambali tidak membahasnya karena mereka
menganggap istishna‟ merupakan bagian khusus dari akad salam sehingga
semua ketentuan yang ada pada akad salam berlaku pula pada akad istishna‟,
(3) Latar belakang kehidupan Imam Abu Hanifah yang berada di wilayah
metropolitan (Irak), di mana beliau dihadapkan kepada banyak sekali
permasalahan untuk ditetapkan hukumnya secara cepat, sedangkan
permasalahan itu tidak ada di zaman Rasulullah. (4) kehidupan Imam Abu
Hanifah di Irak yang notabenenya adalah wilayah metropolitan, dimana akan
susah sekali mendapatkan sunah Rasul sebagaimana tempat yang lain
(Madinah). Sedangkan dalam hal sunah Imam Abu Hanifah sangat ketat. Hanya
atsar yang yang betul-betul kuat dan dapat dipercaya (tsiqah) masyhur
dikalangan perawi hadits terpercaya yang dipakai sebagai dasar istimbath.
75
Adapun dasar istimbath beliau khusus pada syarat tidak perlu menentukan
waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ bahwa yang diperhitungkan
dalam sebuah akad itu adalah maknanya bukan lafazd zahirnya. Jadi apabila
dalam akad istishna‟ itu ditentukan waktu penyerahan barang, maka secara
otomatis akad akan berubah menjadi akad salam. Metode istimbath Imam Abu
Hanifah dalam menetapkan syarat tidak perlu menetukan waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟ juga berkaitan dengan akad salam. Dalam akad
salam beliau mensyaratkan harus menentukan tanggal waktu di masa yang akan
datang untuk penyerahan barang karena obyek salam berupa produk hasil
pertanian yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk mendapatnya.
Sedangkan dalam istishna‟ beliau tidak mensyaratkannya, karena obyek
istishna‟ berupa barang-barang properti buatan manusia yang tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkannya pada masa itu. Selain
itu pada masa Imam Abu Hanifah, orang-orang memang sudah terbiasa
melakukannya. Jadi walaupun tidak menentukan waktu penyerahan, barang
akan tetap cepat untuk didapatkan.
3. Dalam perbankan syari‟ah di Indonesia, jual beli dikembangkan dengan skema
istishna‟ paralel. Dimana bank bertindak sebagai shani‟ pertama dalam
transaksi dengan nasabah. Kemudian bank mengsuborderkan pesanan tadi
kepada shani‟ kedua agar membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan
nasabah (mustashni‟). Dalam prakteknya, waktu penyerahan barang dalam jual
beli istishna‟ ini ditentukan di awal akad. Bahkan dalam prakteknya juga,
76
pembeli (mustashni‟) mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari
produsen atas jumlah yang telah dibayarkan, dan penyerahan barang pesanan
sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu. Hal ini ditentukan semata-mata
untuk kemaslahatan manusia agar unsur-unsur dasar dalam jual beli tercapai.
B. Saran-saran
Berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan menyampaikan
beberapa saran antara lain:
1. Perlu adanya pengkajian-pengkajian terhadap pemikiran-pemikiran ulama‟
secara konsisten. Hal ini untuk menambah khasanah keilmuan serta
memberikan landasan hukum istishna‟ maupun yang lainnya sesuai dengan
perkembangan zaman.
2. Hendaknya dalam melakukan kontrak (akad), dibuat di depan notaris. Hal ini
untuk memberikan kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak.
3. Penutup
Dengan penuh rasa syukur dan ucapan alhamdulillah ke hadirat Allah
SWT karena berkat hidayah, taufik dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan dan pembahasan skripsi ini. Akan tetapi merasa bahwa dalam
pembahasan dan penulisan skripsi ini masih banyak terjadi kekurangan atau
mungkin kesalahan-kesalahan. Hal ini tidak lain karena keterbatasan ilmu
77
pengetahuan penulis, sehingga penulis mengharapkan sekali saran, kritik dan
sumbangan pemikiran guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis mempunyai suatu harapan, semoga penulisan dan
pembahasan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menambah khazanah
pengetahuan khususnya kepada penulis sendiri dan kepada para pembaca pada
umumnya. Harapan terakhir semoga penulisan ini akan mendapatkan ridla dari
Allah SWT.
78
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. 3
Abidin, Ibnu, Raddul Mukhtar, juz 7, Beirut: Dar Kitab Al-Ilmiyyah.
Al-Kasani, Badai‟ Shanai‟, juz 6, Beirut: Dar Kitab Al-Ilmiyyah.
Al-Maraghi, Abdullah Mustafa, Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyah, Terj.
Husein Muhammad, “Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta:
LKPSM, 2001, cet. 1
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah; Suatu Pengenalan Umum, Jakarta:
Azkia Institut, 1999, cet 1
_______, Bank Syariah; dari Teori ke Praktik, jakarta: Gema Insani, 2001
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
As-Saayis, Syekh Muhammad Ali, pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh,
Eds. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1
As-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbie, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
Asy-Syarbasi, Ahmad, al-Aimmah al-Arbaah, Terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi,
“Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,
Cet. 2
_______, al-Aimmah al-Arba‟ah, Terj. Futuhal Arifin, “Empat Mutiara Zaman”,
Jakarta Timur: Pustaka Qalami, 2003, Cet. 1
Asy-Syarkhasyi, Syamsuddin, Al-Mabsuth, Juz 11, Beirut: Daar al-Ma‟rifah, 1989
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Azzuhaily, Wahbah , Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Daar Al-Fikr, h. 3642-3651
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Eds. 1, Bogor: Kencana, 2003, Cet.1
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Eds. 1, Jakarta: Kencana,
2007, Cet. 2, hlm. 27
Hasan, Muhammad Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Karim, Adiwarman A. Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Eds. 3, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007
Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983,
Cet. 4
Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara,
2007
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2001
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000, Cet. 2
Muhammad , Pengantar Akuntansi Syariah, Eds. 2, Jakarta: Salemba Empat, 2005
_______, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press,
2000, Cet. 1
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, juz. 4 Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2000
Sam, M. Ichwan, dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, jilid I, Jakarta:
Dewan Syariah Nasional MUI, 2006, Eds. 1
Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsiti, 1995
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah;
Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001
Yasin, M. Nur, Hukum Ekonomi Islam; Geliat Perbankan Syariah di Indonesia,
Malang: UIN-Malang Press, 2009, Cet. 1
Zahrah, Muhammad Abu , Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, Cet. 12
Zed, Mestia, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas
Nama : Anis Afifah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 4 Juni 1989
Alamat : Tegalarum RT. 01, RW 04,
Kec. Mranggen, Kab. Demak
Fakutas : Syari‟ah
Jurusan : Mu‟amalah
II. Pendidikan
1. MI Miftahul Ulum Tegalarum lulus tahun 2001
2. MTSN 1 Mranggen lulus tahun 2004
3. MAN 1 Semarang lulus tahun 2007
4. IAIN Walisongo Semarang angkatan 2008
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,
untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang. 03 Juli 2012
Penulis,
Anis Afifah