Download - Tifoid Putri (Autosaved)
PENINGKATAN KEWASPADAAN TERHADAP DEMAM TIFOID
Putri R1, Rosdiana D2
1Fakultas Kedokteran Universitas Riau
2Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah
kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa
dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas. Demam tifoid
adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Penyakit
ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan. Menurut data World Health
Organization (WHO) tahun 2003, Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan
angka kematian sekitar 20.000 kasus.3 Menurut Standar Kompetensi Dokter
Indonesia (SKDI) yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, standar
kompetensi penyakit demam tifoid adalah 4A Sehingga seharusnya penyakit
demam tifoid ini dapat diselesaikan pada pelayanan kesehatan primer tanpa
harus di rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder.
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan
penyakit endemik yang termasuk
dalam masalah kesehatan di negara
berkembang, termasuk Indonesia
karena dapat membawa dampak
peningkatan angka morbiditas
maupun angka mortalitas.1
Di Indonesia kasus demam
tifoid telah tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang
wabah. Kelompok penyakit menular
ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.1
Demam tifoid adalah suatu
penyakit sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini
ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, di topang dengan
bakteremia dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan Peyer’s
patch. Sampai saat ini demam tifoid
masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat, serta berkaitan dengan
1
sanitasi yang buruk terutama di
negara-negara berkembang.1
Menurut data World Health
Organization (WHO) tahun 2003,
terdapat 17 juta kasus demam tifoid
di seluruh dunia dengan angka
kematian mencapai 600.000 kasus.2
Di Indonesia terdapat 900.000 kasus
dengan angka kematian sekitar
20.000 kasus.3
Menurut data Hasil Riset
Dasar Kesehatan (RISKESDAS)
tahun 2007, demam tifoid
menyebabkan 1,6% kematian
penduduk Indonesia untuk semua
umur.4 Demam tifoid lebih sering
menyerang anak usia 5-15 tahun.5
Menurut laporan WHO 2003,
insidensi demam tifoid pada anak
umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi
180,3/100.000 kasus pertahun dan
dengan prevalensi mencapai
61,4/1000 kasus pertahun.2
Menurut Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) yang
dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia, standar kompetensi
penyakit demam tifoid adalah 4A
yaitu “Lulusan dokter mampu
membuat diagnosis klinik dan
melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas
pada saat lulus dokter.” Sehingga
seharusnya penyakit demam tifoid ini
dapat diselesaikan pada pelayanan
kesehatan primer tanpa harus di
rujuk ke pelayanan kesehatan
sekunder.4
DEFINISI
Demam tifoid disebut juga
dengan Typus abdominalis atau
typoid fever. Demam tifoid adalah
suatu penyakit sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serotype typhi, dapat juga
disebabkan oleh Salmonella enterica
serotype paratyphi A, B, atau C
(demam paratifoid).6
ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan
oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil
gram negatif, berflagel, dan tidak
berspora. S. typhi memiliki 3 macam
antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida),
antigen H (flagel), dan antigen Vi.
Dalam serum penderita demam tifoid
akan terbentuk antibodi terhadap
ketiga macam antigen tersebut.6
PATOGENESIS
2
Patogenesis demam tifoid
merupakan proses yang kompleks
yang melalui beberapa tahapan.7
Setelah kuman Salmonella typhi
tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan
masuk ke dalam tubuh melalui
mukosa usus pada ileum terminalis.8
Di usus, bakteri melekat pada
mikrovili, kemudian melalui barier
usus yang melibatkan mekanisme
membrane ruffling, actin
rearrangement, dan internalisasi
dalam vakuola intraseluler.8
Kemudian Salmonella typhi
menyebar ke sistem limfoid
mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem
limfatik.2 Bakteremia primer terjadi
pada tahap ini dan biasanya tidak
didapatkan gejala dan kultur darah
biasanya masih memberikan hasil
yang negatif.8 Periode inkubasi ini
terjadi selama 7-14 hari.7,8 Bakteri
dalam pembuluh darah ini akan
menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial, yakni di
hati, limpa, dan sumsum tulang.
Kuman juga dapat melakukan
replikasi dalam makrofag.8
Setelah periode replikasi,
kuman akan disebarkan kembali ke
dalam sistem peredaran darah dan
menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya
periode inkubasi.6,8
Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti
demam, sakit kepala, dan nyeri
abdomen.7 Bakteremia dapat menetap
selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik.9
Pada tahapan ini, bakteri
tersebar luas di hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s
patches di mukosa ileum terminal.9
Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang
meng-akibatkan nekrosis dan
iskemia.7
Komplikasi perdarahan dan
perforasi usus dapat menyusul
ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi
bila kuman masih menetap dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial
dan berkesempatan untuk
berproliferasi kembali. Menetapnya
Salmonella dalam tubuh manusia
diistilahkan sebagai pembawa kuman
atau carrier.9
3
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi bervariasi dan
tergantung pada ukuran inokulum
dan daya tahan tubuh penjamu. Masa
inkubasi rata-rata 3 – 60 hari. Setelah
masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis
yang biasa ditemukan, yaitu : 6,10
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas,
demam menetap persisten .
Peningkatan suhu seperti naik tangga
setiap hari sampai dengan 40 atau
41oC . Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada
pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu
kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu
ketiga suhu tubuh berangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
Bradikardia relatif dapat
ditemukan. Bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak
diikuti oleh peningkatan frekuensi
nadi. Patokan yang sering dipakai
adalah bahwa setiap peningkatan
suhu 10C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1
menit.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas
berbau tidak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated
tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran
penderita menurun walaupun tidak
berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma
atau gelisah.
DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis demam
tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk
4
mendiagnosis penyakit demam tifoid,
yaitu :2,6
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini
sering tidak tepat, karena gejala
klinis yang khas pada demam tifoid
tidak ditemukan atau gejala yang
sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis
demam tifoid sering kali terlewatkan
karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan
kemungkinan diagnosis demam
tifoid.
b.Diagnosis mikrobiologik/
pembiakan kuman
Metode diagnosis
mikrobiologik adalah metode yang
paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur
darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis
setelah pemakaian obat antibiotika,
dimana hasil positif menjadi 40%.
Meskipun demikian kultur sumsum
tulang tetap memperlihatkan hasil
yang tinggi yaitu 90% positif. Pada
minggu-minggu selanjutnya hasil
kultur darah menurun, tetapi kultur
urin meningkat yaitu 85% dan 25%
berturut-turut positif pada minggu
ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama
3 bulan dari 90% penderita dan kira-
kira 3% penderita tetap
mengeluarkan kuman Salmonella
typhi dalam tinjanya untuk jangka
waktu yang lama.
c.Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid,
pada orang yang pernah tertular
Salmonella typhi dan pada orang
yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uij Widal adalah
suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita
yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin
(aglutinin O, H, dan Vi), hanya
aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin
tinggi titer aglutininnya, semakin
5
besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada
infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang
yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer
aglutinin empat kali lipat selama 2
sampai 3 minggu memastikan
diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah
sebagai berikut :10
a. Titer O yang tinggi ( > 160)
menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160)
menunjukkan telah mendapat
imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi
terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.
2. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan Tubex dapat
mendeteksi antibodi IgM. Hasil
pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi
terhadap Salmonella. Antigen yang
dipakai pada pemeriksaan ini adalah
O9 dan hanya dijumpai pada
Salmonella serogroup D.9
Pemeriksaan lain adalah dengan
Typhidot yang dapat mendeteksi IgM
dan IgG. Terdeteksinya IgM
menunjukkan fase akut demam
tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG
dan IgM menunjukkan demam tifoid
akut pada fase pertengahan.11
Antibodi IgG dapat menetap selama
2 tahun setelah infeksi, oleh karena
itu, tidak dapat untuk membedakan
antara kasus akut dan kasus dalam
masa penyembuhan.11 Yang lebih
baru lagi adalah Typhidot M yang
hanya digunakan untuk mendeteksi
IgM saja.11 Typhidot M memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih tinggi dibandingkan Typhidot.12
Pemeriksaan ini dapat menggantikan
Widal, tetapi tetap harus disertai
gambaran klinis sesuai yang telah
dikemukakan sebelumnya.11
PENCEGAHAN
Strategi pencegahan yang
dipakai adalah untuk selalu
menyediakan makanan dan minuman
yang tidak terkontaminasi, higiene
perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik, dan tersedianya
air bersih sehari-hari.13
Strategi pencegahan ini
menjadi penting seiring dengan
6
munculnya kasus resistensi.13 Selain
strategi di atas, dikembangkan pula
vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke
daerah yang endemik demam tifoid.13
Vaksin-vaksin yang sudah ada
yaitu:1,2 Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak
dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau
intra-muskuler.
Vaksin ini efektif selama 3
tahun dan direkomendasikan untuk
revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan efikasi perlindungan
sebesar 70-80%. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam
sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke
atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang 2 hari.
Antibiotik dihindari 7 hari sebelum
dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini
efektif selama 3 tahun dan
memberikan efikasi perlindungan 67-
82%. Vaksin Vi-conjugate Vaksin
ini diberikan pada anak usia 2-5
tahun di Vietnam dan memberikan
efikasi perlindungan 91,1% selama
27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi
vaksin ini menetap selama 46 bulan
dengan efikasi perlindungan sebesar
89%.
ILUSTRASI KASUS
Ny. H, 18 tahun masuk ke
bagian interna RS AA pada tanggal
12 Juli 2014 dengan keluhan demam
sejak 10 hari sebelum masuk rumah
sakit.
Demam meningkat pada sore
hari serta menurun pada pagi hari.
Awalnya, demam dirasakan naik
turun. Namun dalam beberapa hari
terakhir, demam terjadi secara terus
menerus. Menggigil (-), nyeri kepala
(+) nyeri dirasakan di kepala bagian
depan dan lebih sering pada malam
hari, nyeri kepala tidak berputar dan
tidak dipengaruhi oleh perubahan
pada posisi, nyeri otot (+), lemas (+),
mual (+), muntah (+) berisi makanan
dengan frekuensi 6x/hari dengan
jumlah + ¼ gelas/x muntah, nyeri ulu
hati (+), bintik-bintik merah di perut
(-), perut terasa kembung (+), batuk
(-), nyeri tenggorokan (-), riwayat
batuk lama (-), penurunan berat
badan (-), nafsu makan menurun (+),
nyeri saat BAK (-), BAB tidak ada
sejak 4 hari terakhir. Pasien mengaku
bahwa jarang mengkomsumsi buah
dan sayur. Pasien sempat berobat ke
klinik dan diberi obat paracetamol
7
dan amoksilin, namun keluhan tidak
berkurang.
Riwayat diabetes mellitus (-),
hipertensi (-), dan alergi (-). Pasien
belum pernah mengalami sakit berat
apalagi hingga dirawat di rumah
sakit sebelumnya.
Pada anggota keluarga tidak
terdapat keluhan sama seperti pasien.
Riwayat asma (-), DM (-), hipertensi
(-), alergi (-).
Pasien merupakan seorang
pelajar SMA, pasien sering membeli
makanan di luar dan riwayat
bepergian ke daerah lain disangkal.
Dari pemeriksaan fisik yang
dilakukan pada tanggal 12 Juli 2014
didapatkan kesadaran komposmentis,
pasien tampak sakit sedang, tekanan
darah 110/70 mmHg, Nadi 68 rpm,
pernafasan 16 rpm, suhu 39,1 oC.
Pada mata ditemukan Konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks pupil (+/+) pada leher
ditemukan pembesaran KGB(-) pada
Lidah ditemukan kotor (+) dengan
tepi hiperemis (+), tremor (+).
Pemeriksaan thorax
didapatkan pergerakan dinding dada
simetris kanan dan kiri, tidak ada
yang tertinggal, tidak terdapat
retraksi atau penggunaan otot
pernapasan tambahan. Vocal
fremitus normal, simetris kiri dan
kanan, perkusi sonor di kedua
lapangan paru dan auskultasi
vesikuler pada seluruh lapangan
paru, ronkhi (-) dan wheezing (-).
Pemeriksaan jantung
didapatkan ictus cordis tidak terlihat
dan teraba lemah di SIK 5 linea
midclavikula sinistra, batas jantung
dalam batas normal, bunyi jantung 1
dan 2 reguler, murmur (-) dan gallop
(-).
Pemeriksaan abdomen perut
datar, venektasi (-), scar (-), bising
usus (+). Perut supel, nyeri tekan (+)
di epigastrium, hepar teraba 1 jari di
bawah arcus costae, permukaan rata,
tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri
tekan (-). Lien tidak teraba. Perkusi
abdomen timpani pada seluruh regio
abdomen.
Pemeriksaan ekstremitas,
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema
(-), sianosis (-)
Dari pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan darah
didapatkan hasil Hemoglobin 12
gr/dl, leukosit 10.900 uL, LED 8
mm/jam, trombosit 346.000 uL,
Hematokrit 39,0%. Pemeriksaan
widal didapatkan Antigen H = positif
8
titer 1/160, Antigen O = positif titer
1/320.
ANALISIS MASALAH
Pada pasien ini didapatkan
manifestasi klinis berupa demam 10
hari sebelum masuk rumah sakit,
demam naik turun dan meningkat
pada sore hari dan pada beberapa
hari terakhir demam terjadi terus
menerus. Pasien juga mengalami
sakit kepala, mual dan muntah, nyeri
perut, serta konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan
hepatomegali serta nyeri tekan pada
kuadran epigastrium.
Dari gejala tersebut yang
dapat dipikirkan adalah demam tifoid
dan demam dengue karena sama-
sama memiliki gejala prodormal
seperti demam, nyeri kepala frontal,
muntah, serta nyeri perut dan pada
pemeriksaan dapat ditemukan
hepatomegali.
Demam dengue merupakan
penyakit menular akibat virus dengue
yang diperentarai oleh nyamuk aedes
aegypti yang hidup di negara-negara
tropis dan menimbulkan gejala
demam akut disertai gejala penyerta
lain seperti sakit kepala, pegal dan
rasa nyeri di otot, gangguan pada
pencernaan berupa nyeri epigastrium,
mual bahkan muntah, nyeri perut,
susah buang air besar, serta diare pun
dapat ditemukan pada 5-6% kasus
demam dengue. Penyakit ini dapat
menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian terutama
pada anak-anak. Pada demam dengue
awalnya dapat asimtomatik (50%-
90%), namun dapat juga berupa
penyakit demam non-spesisik atau
timbul gejala-gejala klasik demam
dengue.
Demam dengue muncul
mendadak dengan kisaran suhu
antara 39,5°-41,4°C. Demam
umumnya muncul pada hari ketiga
dan berlangsung 5-7 hari. Demam
dapat disertai oleh rasa menggigil,
mengakibatkan kulit eritematosa, dan
flushing pada wajah. Demam bersifat
bifasik karena demam akan menurun
selama 1-2 hari kemudian meningkat
kembali sehingga membentuk grafik
pelana kuda. Pada masa penurunan
suhu inilah masa kritis dimulai
dimana penyakit pasien beresiko
berkembang menjadi demam
berdarah dengue atau bahkan dengue
shock syndrome. Setelah demam
biasanya muncul mialgia yang dapat
9
berlangsung hingga beberapa
minggu, namun gejala mialgia tidak
ditemukan pada pasien ini. Sakit
kepala pada demam dengue dapat
timbul di area frontal dan retro-
orbita. Pada pasien dapat didapati
nyeri kepala frontal.
Malaria juga dapat dijadikan
diagnosis banding demam tifoid
karena pada malaria ditemukan
demam, sakit kepala, nyeri sendi dan
tulang, anoreksia, nyeri perut, diare,
dan hepatomegali. Malaria juga
merupakan penyakit endemik di
beberapa daerah di Indonesia. Dari
anamnesis diketahui pasien tidak
melakukan perjalanan ke tempat-
tempat lain. Selain itu malaria juga
memiliki pola demam yang khas
yaitu demam intermitten, sedangkan
demam yang dialami pasien ini
adalah demam remiten dimana suhu
badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu tubuh
normal. Perbedaan suhu dapat
mencapai 2 C.
Diagnosis banding yang lain
adalah influenza. Influenza
merupakan penyakit infeksi akut
saluran pernapasan terutama ditandai
oleh demam menggigil, mialgia,
sakit kepala, dan sering disertai
gejala pilek, sakit tenggorok, dan
batuk non produktif. Lama sakitnya
berkisar antara 2-7 hari dan biasanya
sembuh sendiri karena disebabkan
oleh virus influenza tipe A, B, dan C.
Pada pasien tidak ditemukan gejala-
gejala infeksi saluran napas sehingga
diagnosis banding ini dapat
disingkirkan.
Jika dilihat pola demam
pasien yang cenderung meningkat
pada malam hari dan peningkatan
suhu yang semakin tinggi setelah
masuk minggu kedua, ditambah
dengan adanya sakit kepala frontal,
dan konstipasi maka diagnosis
sementara adalah suspek demam
tifoid. Namun hal ini masih perlu
dibuktikan dengan beberapa
pemeriksaan. Untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid harus
dibuktikan dengan ditemukannya
kuman salmonella typhi pada kultur
dengan specimen darah pada akhir
minggu pertama, specimen urin pada
minggu ketiga, atau specimen feses
pada minggu kedua dan ketiga.
Demam tifoid adalah
penyakit infeksi akut disebabkan
oleh kuman gram negatif Salmonella
10
typhi. Selama terjadi infeksi kuman
tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuclear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah.
Demam yang timbul sebagai
gejala demam tifoid merupakan
akibat dari rangsangan makrofag
oleh kuman Salmonella typhi
sehingga makrofag melepas sitokin,
interleukoin, dan mediator-mediator
inflamsai lainnya yang dapat
mengganggu termoregulasi tubuh
sehingga timbullah demam. Demam
biasanya bekisar antara suhu 39°-40
°C.
Konstipasi pada demam tifoid
terjadi akibat Peyer’s patches
mengalami inflamasi sehingga
membengkak dan mortilitas usus
mengalami penurunan. Namun
demam tifoid juga dapat memiliki
gejala diare sekretorik akibat
endotoksin Salmonella typhi. Bahkan
pada beberapa kasus juga ditemukan
demam tifoid dengan gejala diare
terlebih dahulu disusul oleh
konstipasi beberapa hari kemudian.
Hepatomegali yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik
dapat timbul akibat makrofag yang
melawan kuman Salmonella typhi
dan mati dibawa ke organ-organ RES
(Reticuloendothelial System) seperti
hepar dan limpa.
Pada pasien telah diperiksa
uji Widal. Pada prinsipnya
pemeriksaan Widal menggunakan
reaksi aglutinasi yang terjadi bila
serum penderita dicampur dengan
suspensi antigen Salmonella typhi.
Pemeriksaan disebut positif apabila
terjadi reaksi algutinasi. Dengan
mengencerkan serum, maka kadar
zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan reaksi aglutinasi.
Untuk mendukung diagnosis
yang perlu ialah titer zat anti
terhadap antigen O, titer yang
bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang
progresif diperlukan untuk
menimbulkan diagnosis. Titer
tersebut mencapai puncaknya
bersamaan dengan penyembuhan
penderita dan bertahan hingga 4-6
bulan. Titer terhadap antigen H tidak
diperlukan untuk diagnosis karena
tetap bertahan hingga 9-12 bulan
setelah mendapat imunisasi atau
penderita telah lama sembuh.
11
Pemeriksaan Widal tidak selalu
positif walaupun penderita sungguh-
sungguh menderita demam tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif
(false positive) pada keadaan tertentu
seperti didapatkan titer O dan H
tinggi karena terdapatnya aglutinasi
normal akibat infeksi E.coli pathogen
dalam usus.
Pada kasus ini pasien sempat
berobat ke dokter dan diberi obat
namun pasien tidak mengetahui
namanya dan obat sudah habis
dimakan dan keluhan tetap ada, hal
tersebut dimungkinkan karena obat
yang diberikan tidak cocok untuk
pengobatan mikroorganisme
penyebab penyakit atau
kemungkinan yang keduanya adalah
pasien mengalami resistensi obat.
Saran pemeriksaan tambahan
pada pasien ini adalah pemeriksaan
IgG anti-Salmonella, kultur
mikroorganisme dari spesimen darah,
uji resistensi dan sensitifitas obat
untuk menentukan pemilihan obat
yang cocok bagi pasien, namun
karena menunggu hasilnya lama
maka pengobatan tetap dimulai
sesuai protokol yang ada.
Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan Leukosit: 10.900/uL,
Widal dengan antigen H reaktif titer
1/160, antigen O titer 1/320. Dengan
didukung pemeriksaan penunjang ini,
demam pada pasien mengarah ke
diagnosis demam typhoid.
Pada pasien ini dianjurkan
untuk tirah baring dan diet rendah
serat, serta pada pasien ini diberikan
terapi farmakologis berupa
pemberian IVFD 20 tpm, Inf.
Levofloxacin 1x500 mg, Paracetamol
tab 3x500 mg, Domperidon tab 3x10
mg.
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, ditegakkan
diagnosis demam typhoid. Hal ini
didasarkan karena pada anamnesis
didapatkan adanya demam tipe
continue sejak 7 hari SMRS yang
meningkat pada sore hari dengan
adanya gejala prodormal dan
gangguan pada saluran cerna. Pada
pemeriksaan fisik, ditemukan adanya
bradikardi relatif, nyeri tekan
epigastrium dan hepatomegali. Dari
pemeriksaan penunjang ditemukan
pada test Widal antigen antigen H
reaktif dengan titer 1/160 dan antigen
O reaktif dengan titer 1/320.
12
Pasien memiliki riwayat
pengobatan pada saat demam terjadi
yaitu berobat di klinik dan diberi
Parasetamol dan Amoksisilin, namun
keluhan pasien tidak berkurang. Hal
ini dikarenakan demam yang
dikeluhkan pasien tidak diterapi
dengan antibiotik yang sesuai dengan
etiologi dari demamnya itu sendiri.
Terapi pada demam tifoid adalah
untuk mencapai keadaan bebas
demam dan gejala, mencegah
komplikasi, dan menghindari
kematian serta eradikasi total bakeri
untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.13 Pemilihan
antibiotik tergantung pada pola
sensitivitas isolat Salmonella typhi
setempat.13
Pada pasien ini
penatalaksanaan non farmakologis
dengan tirah baring dan pemberian
diet rendah serat. Penderita demam
tifoid memerlukan istirahat total serta
pemberian nutrisi yang adekuat
melalui total parenteral nutrisi
dilanjutkan dengan diet makanan
yang lembut dan mudah dicerna
secepat keadaan mengizinkan.1,2
Makanan dengan rendah serat dan
rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai
kebutuhan gizi yang sedikit mungkin
meninggalkan sisa sehingga dapat
membatasi volume feses, dan tidak
merangsang saluran cerna, juga
ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan
saluran cerna atau perforasi usus.1,2
Pasien ini dirawat karena adanya
mual muntah yang berat, tidak nafsu
makan serta badan lemas, sehingga
ditakutkan intake nutrisi, cairan dan
elektrolit pasien tidak akan adekuat
jika pasien dilakukan rawat jalan.
Pasien dianjurkan untuk tirah baring
sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari.
Mobilisasi pesien harus dilakukan
secara bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.7
Penatalaksanaan yang diberikan pada
pasien ini adalah IVFD RL 20 tpm,
infus Levofloxacin 1x500 mg selama
3 hari, Paracetamol tab 3x500 mg
dan Domperidon 3x10 mg sebagai
terapi simptomatik dengan
pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum pasien. Antibiotik
golongan fluoroquinolone
(ciprofloxacin, ofloxacin,
levofloxacin dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk
demam tifoid yang disebabkan isolat
13
tidak resisten terhadap
fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%.1
Berbagai studi telah dilakukan untuk
menilai efektivitas fluoroquinolone
dan salah satu fluoroquinolone yang
saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Levofloxacin diberikan
dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari.14
Berdasarkan hasil follow up, terjadi
penurunan demam pada hari ketiga.
Sesuai dengan literatur bahwa
penurunan demam pada pemberian
Levofloxacin paling cepat yaitu 2-4
hari.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Muliawan SY, Surjawidjaya JE.
Diagnosis dini demam tifoid
dengan menggunakan protein
membran luar S. Typhi sebagai
antigen spesifik.
CDK.1999;124:11-3.
2. Department of Vaccines and
Biologicals. Background
document: The diagnosis,
treatment and prevention of
typhoid fever. Geneva: WHO;
2003.
3. Crump JA, Mintz ED. The global
burden of typhoid fever. Bulletin
of the World Health
Organization. 2004; 82(5):346-
53.
4. Anonim. Profil Kesehatan
Indonesia 2008. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2009.
5. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-
Holliday MC, Baiqing D,
Bhattacharya SK, Agtini M, et al.
A study of typhoid fever in five
Asian countries: disease burden
and implications for controls.
Bull World Health Organ.
2008;86:260-8.
6. Widodo Darmowandoyo.
Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan
Penyakit Tropis. Edisi pertama.
2006. Jakarta ;Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI: 1752-57
7. Typhoid fever. Surgery in Africa-
Monthly Review [Internet]. 2006
Feb 11 [cited 2011 Mar
3 ].Available from:
http://www.ptolemy.ca/members/
archives/2006/typhoid_fever.htm
8. Bhutta ZA. Typhoid fever:
current concepts. Infect Dis Clin
Pract 2006; 14: 266-72.
9. Parry CM. Epidemiological and
clinical aspects of human typhoid
14
fever [Internet]. 2005 [cited 2011
Mar 3]. Available from:
www.cambridge.org
10. Karsinah, Suharto, W.
Mardiastuti, M. Lucky. Batang
negatif gram. Dalam: Staf
Pengajar FK UI, penyunting.
Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta:
Bina Rupa Aksara, 1994;168-73.
11. Mehta KK. Changing trends in
typhoid fever. Medicine Update
2008; 18: 201-4.
12. Bhutta ZA. Current concepts in
the diagnosis and treatment of
typhoid fever. BMJ 2006; 333:
78-82
13. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S.
Typhoid fever and paratyphoid
fever. Lancet 2005; 366: 749-62.
14. Background document: the
diagnosis, treatment, and
prevention of typhoid fever
[Internet]. 2003 [cited 2010 Nov
25]. Available from: www.who-
int/vaccines-documents/
15. Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR, Satari HI. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Jakarta. 2008.
15