Download - refrat TB
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi
jaringan-jaringan.1 Tuberkulosis merupakan penyakit radang kronis yang terutama
terdapat di negara berkembang. Penyakit ini umumnya tampak pada decade 20
hingga 30, dimana berdasarkan pada banyak penelitian, insiden yang tinggi
terdapat pada wanita muda.2
M. tuberculosae masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernapasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka di kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis
terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.3
Selain tuberkulosis paru, didapatkan juga tuberkulosis ekstra paru.
Berdasarkan penelitian Shehzad dkk, tuberkulosis abdomen merupakan bentuk
kedua yang paling sering pada tuberkulosis ekstra paru. Telah didapatkan 31 pasien
didiagnosa menderita tuberkulosis abdomen, berdasarkan data epidemiologi dari
Departemen Gastroenterologi RS Kartal, Istanbul, Turki periode Maret 1998 -
Desember 2001.4
Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum
dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi
dan kurangnya fasilitas kesehatan telah memberikan kontribusi yang besar dalam
menyebabkan kasus ini.
Pasien yang terinfeksi HIV dimana CD4 nya rendah, merupakan populasi
berisiko terkena TB ekstra paru, karena imunosupresi dan bila masih termasuk
dalam populasi negara berkembang. Populasi lain yang berisiko yaitu orang
miskin, narapidana, perawat berusia tua yang merawat di rumah pasien. Pelibatan
1
TB ekstra paru terjadi hanya 15% dari TB. Rata-rata ini meningkat pada pasien
yang terinfeksi HIV, dimana memiliki 50% insiden terkena penyakit ekstra paru
(pleura, limfa nodus, tulang, saluran gastrointestinus, atau saluran genitourinarius).5
Penanggulangan TB terutama di negara berkembang masih belum
memuaskan, karena angka kesembuhannya hanya mencapai 30% saja. Masalah
yang dihadapi dalam hal ini adalah: meningkatnya populasi TB sehubungan dengan
adanya letusan HIV, timbulnya resistensi terhadap beberapa obat anti TB,
kurangnya biaya pengadaan obat TB seperti rifampisin dan pirazinamid yang
relative mahal, dan kurangnya perhatian aparat pemerintah terhadap besarnya
masalah TB ini serta kurang terpadu penanggulangannya.6
BAB II
2
TUBERKULOSIS ABDOMEN
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditandai dengan radang kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosae dan ditandai dengan
pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi jaringan-jaringan. Tuberkulosis
dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag,
sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas
seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi
oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas
tipe lambat.3,6,7
TB ekstra paru yakni TB dimana pasien memiliki kelainan histologis atau
dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan
dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.3
Tuberkulosis abdomen merupakan tuberkulosis ekstra paru yang termasuk
dalam kondisi pausibasiler dan memiliki hasil pewarnaan dan kultur yang positif
mungkin saja rendah (30-50%).
2.2 Etiologi dan Patogenesis
Secara umum, mikroba yang menyebabkan tuberkulosa, yaitu
Mycobacterium tuberculosae, menginfeksi organ paru-paru. Pada orang dengan
CMI (cell-mediated immunity) yang kuat, infeksi dapat terdiri dari sel T. Namun
pada orang dengan imun yang lemah, malnutrisi dan yang sedang mendapat
kemoterapi kanker dan kortikosteroid serta terinfeksi HIV, tuberkulosis dapat
3
menginfeksi bagian tubuh di luar paru-paru. Infeksi seperti ini dikenal dengan
nama tuberkulosis ekstra paru.8
Mycobacterium tuberculosae merupakan kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Yang tergolong dalam kuman
Mycobacterium tuberculosae kompleks adalah (pembagian secara epidemiologi):
1) M. tuberculosae,
2) Varian Asian,
3) Varian African I,
4) Varian African II dan
5) M. bovis.
Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan arabinomanan. Lipid ini membuat kuman lebih tahan terhadap asam
(asam alcohol) sehingga disebut dengan bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam
lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dorman ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi. Di
dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob, menunjukkan
bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.3
Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum
dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi
dan kurangnya fasilitas kesehatan serta rendahnya pasteurisasi susu telah
memberikan kontribusi yang besar dalam menyebabkan kasus ini.
4
2.3 Klasifikasi
Secara konvensional, tuberkulosis ekstrapulmonal diklasifikasikan menjadi
bentuk parah (seperti tuberkulosis meningen, neurouberkulosis, tuberkulosis spinal,
tuberkulosis abdomen, efusi pleura bilateral, efusi pericardium dan tuberkulosis
tulang dan sendi yang lebih dari satu sisi) dan bentuk tuberkulosis yang tidak parah
(selain bentuk parah).9
WHO 1991 membagi tuberkulosis berdasarkan terapinya, memberikan
klasifikasi tuberkulosis yaitu:
1. Kategori I, ditujukan terhadap:
- kasus baru dengan sputum positif,
- kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori II, ditujukan terhadap:
- kasus kambuh
- kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori III, ditujukan terhadap:
- kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas
- kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
4. Kategori IV, ditujukan terhadap TB kronik.
Klasifikasi lain berdasarkan manifestasi umum TB abdomen, seperti:
1) Tipe yang menunjukkan asites,
2) Tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus dan
3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus.
Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu
intestinal TB (15 pasien, 48%), peritonitis tuberkulosa (11 pasien, 35,2 %) dan
limfadenitis tuberkulosa (5 pasien, 16,8%).7 Klasifikasi TB abdomen lainnya
berdasarkan organ yang terkena, seperti: TB Hepatosplenik, TB genitourinarius,
TB ginjal, TB Ureter, TB kandung kemih, TB genital wanita, TB genital pria, TB
Limfa nodus dan lainnya.
5
2.4 Manifestasi Klinis
Berdasarkan penelitian di India dan Nepal, karakteristik gejala sering yang
tampak pada pasien yaitu: nyeri abdomen, penurunan berat badan, asites, diare,
batuk dan adanya sputum, muntah dan mual, demam, adanya tanda perforasi, nyeri
tulang, keringat pada malam hari, gejala traktus urinarius, adanya masa pada
kuadran abdomen bawah, nyeri bagian serviks, eviserasi mengikuti laparotomi,
terjadi secara incidental dan terkadang perlu operasi karena brid ileus.10
Secara frekuensi, gejala dan tanda tersebut tampak pada tabel 1
Tabel 1. Frekuensi Gejala dan Tanda pada Pasien TB Abdomen
(bisa saja terdapat lebih dari satu pada masing-masing pasien) (n=32)
No Gejala dan Tanda Jumlah Pasien Persentase
1 Nyeri abdomen 16 51,2
2 Penurunan berat badan 16 51,2
3 Asites 12 38,4
4 Diare 10 32
5 Batuk dan berdahak 6 19,2
5 Mual dan muntah 5 16
7 Demam 4 12,8
8 Perforasi 3 9,6
9 Nyeri tulang 2 6,4
10 Keringat malam hari 2 6,4
11 Gejala traktus urinarius 1 3,2
12 Masa pada kuadran bawah 1 3,2
13 Nyeri daerah serviks 1 3,2
14 Eviserasi mengikuti laparotomi 1 3,2
15 Terjadi secara tiba-tiba 1 3,2
16 Operasi karena brid ileus 1 3,2
6
Penyakit hati kronik disertai TB abdomen dapat menyebabkan asites, dimana
patogenesisnya yaitu adanya kebocoran cairan yang kaya protein ke dalam rongga
peritoneum dari peritoneum yang terinfeksi (menyebabkan eksudasi cairan
ekstraseluler ke dalam rongga peritoneum).11
Secara umum, gejala yang tampak secara klinis pada pasien TB abdomen
yaitu: 10
1) Abdomen yang teraba lemas (60%) dimana biasanya terdapat pada bagian
tengah abdomen,
2) Adanya masa pada abdomen (40%) dimana biasanya terdapat pada region
ileocaecal atau basal mesenterikus; namun masa jarang terdapat pada tipe
asitik,
3) Adanya tanda obstruksi dimana dapat terjadi secara akut maupun subakut
pada usus kecil bagian bawah,
4) Anemis moderat dan
5) Dapat memiliki edema sebagai akibat dari hipoproteinemia.
TB abdomen dapat melibatkan omentum, traktus intestines, hati, lien,
saluran genital wanita dan peritoneum. Hal ini disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosae dan M. bovis. Berdasarkan frekuensi, yang paling sering terlibat yaitu
regio ileocaecal dan rectum. Hipertrofi enteritis tuberkulosa menghasilkan stenosis,
dan gejala dan tanda yang tampak yaitu obstruksi. Bentuk ulserasi menyebabkan
nyeri abdomen, konstipasi dan diare. Komplikasi melibatkan obstruksi usus,
hemoragia, bentukan fistula, dan pertumbuhan bakteri dengan malabsorbsi. Fistula
pada TB usus terjadi pada 44% pasien dan dapat merupakan hasil dari invasi
bakteri sekunder dari sekuel perforasi.5
Tuberkulosis abdomen dapat memiliki manifestasi klinis yang bervariasi.
Kita tidak dapat mendiagnosa peritonitis tuberkulosa, hingga kita melakukan
laparotomi. Di India dan Nepal, ditemui lebih kurang 10% obstruksi usus. Ada 3
tipe utama, dan lainnya jarang. Di Afrika, urutan manifestasi umum pada orang
7
dewasa yaitu: 1) Tipe yang menunjukkan asites, 2) tipe plastik, yang menyebabkan
obstruksi usus dan 3) tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus.
Sedangkan di India, urutan manifestasi kliniknya yaitu (2), (3) dan (1). Di Afrika,
urutan pada anak-anak yaitu (3), (1) dan (2). Selain ketiga gejala di atas, terdapat
juga gejala lainnya: 4) penyempitan tuberkulosa yang tampak pada usus pasien,
namun biasanya pada caecum dan usus kecil bagian distal, dimana disebabkan oleh
pengecilan masa ileocaecal tuberkulosa untuk membentuk konstriksi fibrosa, 5)
Ulkus tuberkulosa (jarang) dapat terjadi di bagian manapun dari usus, namun
paling sering terdapat pada ileum, caecum, rectum atau colon sigmoid. Pada usus
kecilnya, ulkus tuberkulosa dapat menyebabkan diare. Pada kasus yang jarang, bila
ulkus terdapat pada lambung atau duodenum, maka dapat gejala dapat seperti ulkus
peptikum, atau karsinoma. Kaseasi nodus limfatikus dapat membimbing kita
menuju diagnosa yang tepat. Perforasi maupun perdarahan ulkus tuberkulosa dapat
terjadi pada usus (biasanya pada rectum), karena hal ini terjadi secara distail, dan 6)
Fistula tuberkulosa.10
1) Tipe yang menunjukkan asites
Pada tuberkulosis abdomen yang menunjukkan tipe asites, didapat frekuensi
sebanyak 70% di Afrika, 10% di India dan 20% di Zambia. Cairan berakumulasi
sebagai hasil dari tuberkel milier yang banyak pada peritoneum. Satu-satunya cara
untuk mendiagnosanya yaitu melakukan minilaparotomi, yang memungkinkan kita
juga untuk mendiagnosa sirosis, fibrosis periportal, (karena Schistosomiasis
mansoni), karsinomatosis peritoneum dan hepatocellulare carcinoma (biasanya
dengan sirosis).
2) Tipe plastik, yang menyebabkan obstruksi usus
Pada tuberculosis abdomen yang menunjukkan tipe peritonitis plastik,
tampak merupakan hasil dari granuloma tuberkulosa dimana menyebabkan
omentum pasien dan struktur lain pada abdomen, bagian lengkung dari usus kecil
distal, caecum dan colon ascenden bergabung bersama dengan beberapa adesi.
8
Lilitan pada usus pasien tersebut tebal dan seperti karet, dengan karakteristik lesi
transversal pada usus kecilnya. Lengkung usus kecil pasien dapat terjadi obstruksi
dan sulit untuk dipisahkan. Karsinoma, aboeboma dan penyakit Chron’s dapat
menyebabkan peritonitis plastik; namun pada negara berkembang, tuberculosis
lebih sering dijumpai daripada selainnya. Amoebiasis menyebabkan usus kecil
pasien mengenai colon asenden tanpa menyebabkan peritonitis plastik sebenarnya.
Obstruksi pada ususnya biasanya tidak lengkap, dengan demikian, gejalanya dapat
subakut atau kronik, dan dapat bertahan dalam hitungan bulan atau tahunan. Adesi
menyebabkan penggabungan lengkung usus, dan sulit untuk dipisahkan. Dengan
demikian, perlu menanganinya secara non-operatif. Berikan pasien kemoterapi, diet
ringan, atau cairan saja, jika perlu secara intravena selama beberapa hari.
Granuloma tuberkulosa dari usus kecil biasanya sembuh tanpa penyempitan;
namun pada daerah ileocaecal, fibrosis dan stenosis sering ada.
Di India dan Nepal, dimana tipa plastik sebagai tipe predominan, tampak
perbedaan gejala antara tipe plastik dengan asitik, yaitu:
a. Kehilangan berat badan, tampak pada semua kasus,
b. Kelemahan, malaise, lelah, anoreksia tampak 75%, mual, muntah, demam
dan keringat pada malam hari ada (60%),
c. Nyeri perut (90%) konstan, sentral dan tidak parah. Jika pada kuadran
perut bawah kanan, kemungkinan TB ileocaecal. Pada tipe asitik, nyeri
biasanya ringan dan dapat saja tidak tampak,
d. Gejala obstruksi (30%) termasuk konstipasi dan diare, dan suara bubble.
Secara tipikal, hal ini menjelaskan sebuah “bola angina” yang bergerak
dalam perut pasien,
e. Perdarahan rectum, jarang namun dapat parah,
f. Steatore, dengan pucat dan benda yang besar dan ofensif terkadang dapat
terlihat dan
g. Batuk kronik dan sputum yang diwarnai darah, namun terjadi lebih jarang
dari yang diperkirakan.
9
Pada setiap kesempatan, kita harus dapat melakukan operasi untuk obstruksi
komplit yang persisten. Bahkan, jika kita mengetahui bahwa TB adalah
penyebabnya, kita harus bijaksana untuk mencoba terapi non-operatif selama
beberapa hari pertama, jika tidak ada strangulasi. Ketika melakukan operasi, kita
dapat menemukan bahwa tidak ada penyempitan dinding usus dan kita dapat
menyingkirkan obstruksi usus, hanya dengan membagi adesi. Hal ini dapat dicegah
jika mungkin, karena jika kita membuka usus, selalu ada bahaya dan fistula dapat
terjadi. Jika kita membuka usus, kita punya pilihan antara:
a. “Stricturoplasty”: jika ada striktura sempit pada usus halusnya,
b. Bypass usus kecil local,
c. Bypass (ileotransversostomi) antara ileum dengan colon transversal. Ini
dapat menghilangkan obstruksinya dan kita dapat merujuknya untuk
pembedahan definitive kemudian,
d. Hemikolektomi kanan. Jika kita cukup memiliki keahlian untuk
melakukannya, hal ini dapat memindahkan focus infeksi dan lebih baik
daripada ileotransversostomi.
3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus
Pada tipe glandular, tampak sebagai gumpalan tak teratur pada abdomen
anak, terkadang dengan asites dan kecenderungan yang ringan untuk menyebabkan
obstruksi. Nodus mesenterikus pasien lebar dan tidak begitu mobile. Mereka dapat
saja melebar dan kita dapat merasakan mereka melaluinya dinding abdomen
pasien. Mereka bersatu bersama dan mengeras, dengan karakteristik area kaseasei
kuning pucat pada potongan permukaan mereka. Jika nodus limfatikus lebih
banyak terlibat, lakukan biopsi dari leher, aksila atau lipat paha. Adenitis
nonspesifik lebih sering pada lipat paha, jadi hanya biopsi yang tidak biasa (yang
besar). Kita dapat melihat pembesaran nodus pada roentgen toraks. Jika kita tidak
dapat menegakkan diagnosa dengan jalan lain, kita harus melakukan laparotomi
dan memotong nodus. Limfoma merupakan diagnosa banding yang penting.
10
Pelibatan ileocaecal gastrointestinal tampak pada 80-90% dari pasien
dengan TB abdomen. Penebalan bibir katup atau pelebaran jarak dari katup dengan
penyempitan ileum terminal (tanda Fleischner) telah dijelaskan sebagai
karakteristik dari TB. Pada penilaian barium double kontras, tampak ulkus dangkal
yang linear atau stellata dengan ciri sisi yang elevasi. Ulkus pada TB cenderung
menjadi lebih luas daripada penyakit Crohn dan cenderung menjadi oval daripada
bulat. Lebih lanjut, TB memproduksi penebalan lebih besar daripada dinding perut.
Fistula dan traktus sinus cukup jarang. Pada kasus lebih lanjut, karakteristik
deformitas termasuk simetris anular “cincin napkin” penyempitan dan obstruksi,
pemendekan, retraksi dan pembentukan kantung. Caecum secara klasik diamputasi.
Amputasi caecum dapat terlihat pada amebiasis, namun penyakit ini jarang
melibatkan usus halus terjadap derajat yang sama dengan TB. Amputasi dan
penyempitan fokal dari usus dapat juga menyerupai karsinoma, namun ca caecal
jarang yang meluas di antara katup ileocaecal. Pada CT, ⅓ pasien dengan TB
gastrointestinal menunjukkan penebalan caecum dan ileum terminal, pelebaran
katup ileocaecal dan limfadenopati mesentericus. Namun, penemuan lain seperti
asimetris katup ileocaecal, penebalan dinding medial caecal, ekstensi eksofitik dan
pemasukan dari ileum terminal dan edenopati massif lebih mensugesti dari TB.
TB Peritonitis. Pelibatan peritoneum secara frekuensi tampak pada
penggabungan dengan bentuk lain dari TB gastrointestinal. Tiga tipe TB peritonitis
telah dijelaskan, dimana tipe basah yang dicirikan dengan sejumlah besar dari
cairan yang melekat secara bebas atau terlokalisasi tampak pada kebanyakan
pasien; tipe fibrotik menetap; dan tipe kering atau plastik terjadi lebih sedikit.
Penampakan yang mirip dengan peritoneum dapat terjadi dengan karsinomatosis,
mesotelioma atau TB nonperitonitis.
TB Hepatosplenik. TB Hepatosplenik secara umum bermanifes dalam
mikronodul (milier) atau bentuk makronodul (tuberkuloma). Bentuk mikronodul
biasanya terjadi pada penggabungan dengan TB paru milier. Pada CT scan, dapat
tampak kecil, tidak bisa dihitung dan atenuasi rendah. Bentuk makronodul cukup
11
jarang. Pada CT, lesi hipoatenuasi 1-3 cm pada diameter atau adanya masa tunggal
tampak dalam pelebaran hati atau lien secara difus. MRI menunjukkan hipointens
dan perluasan minimal lesi seperti “honey comb” pada image dengan T-1. pada
image dengan T-2, hasilnya lebih intens dengan intensitas ringan sisi relative ke
sekitar hati. Diagnosa banding bentuk milier termasuk metastase, infeksi jamur,
sarkoidosis dan limfosa. Bentuk makronodul dapat menjadi salah untuk metastase,
tumor primer ganas atau abses piogenik.
TB Limfadenitis. Limfadenopati merupakan manifestasi yang tersering
dari TB abdominal. Nodus umumnya multiple dan luas, rata-rata berdiameter 2-3
cm. Grup mesenterikus dan peripankreatikus merupakan grup yang paling banyak
dipengaruhi.
TB genitourinarius. TB genitourinarius merupakan manifestasi tersering
dari TB ekstra paru. M. tuberculosae mencapai organ genitourinarius, bagian
ginjal, dengan rute hematogen dari paru-paru. Ginjal dan dapat saja prostate dan
vesicular seminalis merupakan sisi primer yang paling sering dari TB
genitourinarius. Semua organ genital lainnya, termasuk epididimis dan kandung
kencing, menjadi terlibat dengan dengan kenaikan atau penurunan dari M.
tuberculosae. Testikula dapat terlibat dengan ekstensi langsung dari infeksi
epididimis, namun penyebaran hematogen ke testikula jarang terjadi.
TB ginjal. Kelainan urografi yang paling awal yaitu calyx “moth eaten”
karena erosi. Penemuan ini diikuti oleh nekrosis papil. Fungsi ginjal yang rendah,
dilatasi dari system pelvicaliceal karena penyempitan dari sambungan
ureteropelvic, atau dilatasi destruktif atau hidrokalikosis terlokalisasi berhubungan
dengan penyempitan infundibuler dapat terjadi. Kavitasi dalam parenkim ginjal
dapat dideteksi sebagai kolam yang tidak teratur dari materi kontras. Kontraktur
yang bersikatrik atau parenkim fibrotik dapat menjadi traksi pelvis calyx atau
ginjal. Kalkuli dapat tampak dalam system kolektivus ginjal. Karakteristik
kalsifikasi dalam distribusi lobuler sering tampak pada TB stadium akhir. Fibrosis
stadium akhir dan uropati obstruktif subsekuen menghasilkan autonefrektomi. Pada
12
waktu ini, penilaian ginjal secara baik ditangkap dengan US, CT atau MRI. Lesi
yang mirip dapat ditemukan dalam nefritis bakteri akut fokal, dalam pielonefritis
xantogranuloma, dan dengan tumor jinak kecil atau ganas.
TB Ureter. Dilatasi dan penampakan tak teratur dari urotelium merupakan
tanda pertama dari TB ureter. Dilatasi terjadi secara primer karena obstruksi pada
penghubung ureterovesical, dan secara sekunder karena sistitis dan ureteritis
tuberculosa. Pada penyakit lebih lanjut, penyempitan dan pemendekan ureter,
filling defect ureter atau pun kalsifikasi dinding ureter dapat terjadi.
TB kandung kemih. Penemuan tersering pada sistitis tuberkulosa yaitu
penurunan kapasitas kandung kemih. Pada kasus lebih lanjut, kandung kemihnya
kecil, tidak teratur dan berkalsifikasi. Sistitis tuberkulosa yang terkalsifikasi pasti
terdiferensiasi dari schistosomiasis, sistitis karena siklofosfamid, perubahan yang
diinduksi radiasi dan karsinoma kandung kemih yang terkalsifikasi.
TB genital wanita. Tuba falopi terpengaruh sebanyak 94% dari wanita
dengan TB genital. Salpingitis disebabkan diseminasi hematogen terjadi hampir
selalu bilateral. Abses tubo-ovarian yang meluas melalui peritoneum ke bagian
ekstraperitoneum menunjukkan tuberkulosis.
TB genital laki-laki. Pada US transrektal, penemuan tersering dari
prostatitis tuberkulosa yaitu area hipoekoik dengan rumusan irregular pada daerah
perifer prostate. Kontras CT menunjukkan lesi prostate hipoatenuasi, yang
menunjukkan nekrosis kaseosa dan peradangan. Abses prostate piogenik
nontuberkulosa memiliki gambaran CT yang mirip. Pada MRI, abses prostate
menunjukkan perluasan perifer. Penemuan ini menolong membedakan abses dari
keganasan prostate. Sebagai tambahan, MRI menunjukkan area difus, radiasi dan
bergaris dari intensitas sinyal rendah pada prostate (tanda “kulit semangka”) pada
image dengan T-2. Epididimitis tuberkulosa atau epididimo-orkitis memiliki
penemuan gambar nonspesifik.
TB Limfa nodus. TB limfatik lebih sering terjadi pada anak-anak. Nodus
cervical atau supraklavikula lebih sering terlibat. Pada CT, nodus menunjukkan
13
perluasan perifer dengan pusat atenuasi rendah. Penampakan ini menunjukkan
interpretasi cukup tinggi, namun bukan patognomonis dari TB. Rumusan yang
sama dapat terlihat pada keganasan metastatik, limfoma dan kondisi radang.
Dengan demikian, gambaran klinis dan radiologi dari TB ekstra paru dapat
menyerupai beberapa penyakit. Indeks yang tinggi diperlukan, khususnya pada
populasi resiko tinggi. Meskipun kultur positif atau analisis histologi dari specimen
biopsi masih diperlukan pada beberapa pasien untuk menghasilkan diagnosis
definitif, pengenalan dan pemahaman dari spectrum gambaran image dari TB paru
dapat menolong dalam menegakkan diagnosis.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Unit Bedah III, Bagian Ilmu Bedah,
Jinnah Postgraduate Medical Centre Karachi, didapatkan nyeri abdomen sebagai
gejala terbanyak yang dirasakan pasien. Penyempitan secara tunggal atau banyak
dari ileum merupakan penyebab terbanyak dari obstruksi usus, diikuti dengan
adanya masa pada ileocaecal dan adesi (26%). Adesi tampak melibatkan ileum dan
jejunum dengan peritoneum parietal. Pasien tampak dengan peritonitis sebanyak
47,7% dimana penyebabnya adalah perforasi tunggal atau multiple pada usus kecil.
Penelitian (dari tahun 1986 hingga 1992) dari salah satu pusat penelitian
California dalam mencari kasus TB abdomen yang diketahui dengan tes
laboratorium dan scan sinar X abdomen. Mereka memiliki 43 orang terinfeksi HIV
dan membandingkan mereka dengan 35 orang tidak terinfeksi HIV yang juga
memiliki TB ekstra paru (67 pria dan 11 wanita). Hasilnya, rata rata mereka yang
terinfeksi HIV dan TB berusia lebih muda dan sedikit kecenderungan menjadi
alkoholik daripada mereka yang tidak terinfeksi HIV. Sebanyak 83% dari mereka,
mendapat sebuah diagnosa dari TB juga sebuah diagnosa dari AIDS. Dengan
demikian, mereka dengan HIV yang memiliki gejala infeksi TB selama 6 minggu
sebelumnya, mereka harus mendapat perawatan medis. Gejala berikutnya yang
tampak (secara statistic bermakna) di antara yang terinfeksi HIV daripada yang
tidak terinfeksi HIV yaitu: demam, keringat malam, kehilangan berat badan yang
tidak disengaja dan demam yang lebih tinggi. Mereka yang terinfeksi HIV
14
cenderung untuk memiliki jumlah sel darah putih yang lebih rendah. Untuk
mengetahui paparan TB, kita harus menyuntikkan sejumlah kecil protein dari TB
(bakteri penyebabnya), menghasilkan bengkak dan kemerahan dalam “6 dari 14”
orang yang terinfeksi HIV. Reaksi ini menunjukkan bahwa level CMI lemah pada
beberapa subjek. Dalam abdomen, scan sinar X menunjukkan bahwa orang yang
terinfeksi HIV lebih cenderung memiliki limfa nodus yang bengkak secara
persisten dari pada yang tidak terinfeksi HIV. Perbedaan ini bermakan secara
statistic Orang yang terinfeksi HIV lebih cenderung memiliki TB pada limfa nodus,
lien, jaringan dan saluran dari system genitalis dan system urinarius daripada yang
tidak terinfeksi HIV. Perbedaan ini bermakna secara statistic. Sekitar 25% dari
mereka yang terinfeksi HIV dan 25% meninggal selama di rumah sakit dan sekitar
40% dari mereka meninggal ketika mendapat antibiotik untuk TB. Berdasarkan
peneliti, hanya 14 subjek dalam masing-masing grup (terinfeksi dan tidak terinfeksi
HIV) yang mendapat terapi antibiotik komplit.8
2.5 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis ekstrapulmonal sering sulit ditegakkan, karena
spectrum manifestasi klinik dan tidak adanya tes sensitifitas. Selain itu, hal tersebut
dikarenakan gambaran klinis dan laboratories tidak spesifik dan hanya
menunjukkan penyakit infeksi kronis.10
Diagnosis tuberkulosis abdomen dapat secara klasik ditegakkan dengan
memeriksa mikrobiologi dan konfirmasi kultur Mycobacterium tuberculosae,
sedangkan pemeriksaan histopatologi dapat ditegakkan juga pada beberapa kasus
yaitu 60,8%.
Pada pasien yang mengeluh adanya gejala dyspepsia, nyeri perut, muntah,
perdarahan saluran cerna atas atau distensi lambung, perlu dilakukan pemeriksaan
endoskopi. Biopsi lambung dilakukan 3 hingga 4 kali secara rutin dari bagian
korpus dan antrum selama endoskopi dan di dalam spesimennya dicari
15
Mycobacterium tuberculosae atau adanya granuloma. Jika pasien memiliki gejala
sugestif dari tuberkulosis usus seperti diare kronik, organ berdarah atau perubahan
pada perut, basil diperiksa dan dilakukan kultur M. tuberculosae. Kemudian,
kolonoskopi, atau pada pasien dengan masalah penampakan kolonoskopi,
dilakukan barium enema. Diambil 8 hingga 10 biopsi untuk pemeriksaan
hisopatologi dan mikrobiologi, jika beberapa lesi ditemukan selamaa kolonoskopi.
Beberapa kelainan dari organ abdomen, nodus limfatikus, mesenterikus dan
peritoneum tampak pada USG abdomen dievaluasi dengan CT abdomen, namun
selain itu, CT abdomen tidak dilakukan.12
Para ahli biasanya dapat mendiagnosa tuberkulosis milier dengan mata
mereka secara langsung, namun jika mereka salah, bisa melakukan biopsi
peritoneum parietal dan atau livernya. Sebagaimana telah disebutkan pada
manifestasi klinik, bahwa tuberkulosis abdomen memiliki tiga tipe yaitu tipe yang
menyebabkan asites, tipe plastik yang menyebabkan obstruksi usus dan tipe
glandular. Pemeriksaan khusus pada tuberkulosis abdomen tipe asites yaitu:
roentgen toraks, dan laboratorium cairan asites. Jika jumlah sel lebih dari 50 (gm)l
dengan paling sedikit 70% limfosit, pasien dengan jelas memiliki peritonitis
tuberkulosa. Namun jika asites lebih sedikit, umumnya asites disebabkan oleh
sirosis atau fibrosis periportal. Selain limfosit, perlu juga mengukur protein. Pada
peritonitis tuberkulosa, biasanya 3-10 g/l namun dapat meningkat menjadi 20%
atau lebih. Kebanyakan pasien yang memiliki (mt) 20 g/l, atau lebih, memiliki
karsinomatosis. Jika terdiri lebih dari 4 g/l protein, biasanya merupakan eksudat,
namun jika kurang dari 4 g/l maka merupakan transudat. Sirosis biasanya
memproduksi transudat, begitu juga dengan fibrosis periportal. Jika ada darah pada
cairan asites, memungkinkan adanya karsinoma atau hepatoma.10
Dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis abdomen, perlu memperhatikan 7
hal berikut, yaitu:
1) Riwayat dan gejala penyakit
Perlu ditanyakan apakah terdapat riwayat dan gejala sebagai berikut:
16
a. Sterilisasi (secara primer atau setelah dilatasi dan kuretase untuk aborsi
atau sterilisasi setelah memiliki satu anak, khususnya setelah operasi
Caesar),
b. Perubahan pola menstruasi (menjadi lebih berat dalam hal perdarahan
dengan uterus fibrosa yang kecil atau aliran yang sedikit atau tidak haid
sama sekali),
c. Periode nyeri, setengah hingga satu hari sebelum dan setengah hingga
satu hari setelah periode onset,
d. Perasaan mudah lelah, lemah, ingin selalu istirahat atau tidur,
e. Peningkatan suhu (demam) saat malam hari,
f. Kehilangan selera makan dan gangguan pencernaan (konstipasi atau
diare),
g. Berkeringat pada tangan dan kaki,
h. Nyeri yang tidak jelas pada abdomen,
i. Sakit saat berhubungan seks (dispareuni), kurang tertarik dengan
hubungan seksual karena nyeri dan kelelahan dan
j. Menarche menjadi sangat cepat atau sangat lambat atau bahkan seperti
amenore primer.
2) Penilaian dan tanda klinis
Pada penilaian dan tanda klinis, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Uterus yang fibrous dan hipoplastik (mungkin dengan aliran darah haid
yang deras),
b. Uterus retroversi dengan mobilitas terbatas atau bahkan tidak bergerak,
c. Fornix yang sempit (biasanya bagian lateral), ruangan atau cincin fibrosa
yang sempit pada vagina bagian atas,
d. Deviasi uterus,
e. Adanya masa yang difus,
f. Interoitus fibrosa,
17
g. Rasa abdomen yang kurang nyaman,
h. Diabetik vulvitis atau prediabetik dan mondial vaginitis,
i. Kekasaran pada dinding posterior uterus yang menumbuhkan fibroid dan
j. Ulkus serviks, lebih banyak pada bagian anterior serviks (tampak menjadi
ganas namun tidak berdarah saat disentuh).
3) Tes dan pemeriksaan rutin
1. LED,
2. Cairan peritoneum (transudat/eksudat),
3. Biopsi endometrium atau D&C dengan histopatologi,
4. Kultur endometrium dan inokulasi hewan,
5. Tes Mantoux (distandarisasi),
6. Roentgen toraks dan sputum untuk AFB,
7. Biopsi kelenjar limfe,
8. AFB pada darah menstruasi (konsentrasi dengan mikro),
9. Histerosalpingogram dan
10. Ultrasound.
4) Penemuan laparoskopi
1. Cairan peritoneum yang banyak warna (cenderung menjadi encysted),
2. Periuteritis (permukaan uterine yang tidak cerah) dengan bercak seperti
lepra atau gambaran luka erosi),
3. Uterus yang biru atau injeksi metilen biru,
4. Perisalpingitis, salpingitis isthmica nodosa, tabung yang lembab,
gambaran tasbih, tabung yang tebal, hydrosalpinx,
5. Tuberkel, mikro dan makro kaseasi (pada tabung, cavum Douglas, bagian
posterior dari ligament yang besar),
6. Adesi yang tipis/lemah pada fossa iliaca kanan, cavum Douglas, fossa
iliaca kiri dan daerah hati,
18
7. Adesi omentum adalah fibrosa dan padat, jika terbentuk setelah
pembedahan,
8. Fibrosis pada bagian posterior ligamentum, menyerupai endometriosis
karena pecahnya fibrosis secara tipikal oleh uterus anteversi,
9. Uterus yang bersifat fibrosa yang ukurannya lebih kecil daripada normal
dan
10. Sinekia yang diobservasi oleh asisten vagina selama elevasi uterus.
5) Gambaran histeroskopi
1. Mikrokaseasi,
2. Hiperplasi endometrium dengan sedikit periode (tidak berdarah hingga
menyentuh histeroskop),
3. Eksudasi tampak pada rongga uterus,
4. Saluran masuk ke ostium tuba mengecil atau hilang secara komplit,
5. Ostium tuba yang tidak ada saluran udara, focus sebagai saluran tertutup,
6. Canalisasi area ostium melepaskan materi kaseasi yang berjonjot,
7. Biopsi histeroskopi dari bagian kiri endometrium,
8. Saluran endoskopi yang irregular dan ulserasi,
9. Erosi cervical yang hiperplastik dan
10. Sinekia dan fibrosis pada rongga uterus, khususnya terpresipitasi setelah
kuretase.
6) Tes laboratorium spesifik
1. LED,
2. Limfositosis,
3. Histopatologi dari biopsi sel giant yang dibantu dengan histeroskopi,
4. Tes aglutinasi kaolin (KAT),
5. Inokulasi hewan pada endometrium yang dicurigai,
6. Antibodi tuberkuler dan AFB pada darah menstruasi,
7. Antibodi dalam darah (IgA, IgG, IgM),
8. Antibodi pada cairan peritoneum,
19
9. Antigen spesifik pada cairan peritoneum dan
10. PCR serum atau cairan peritoneum.
7) Prinsip manajemen
Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu
intestinal Tb (15 pasien, 48%), peritonitis tuberkulosa (11 pasien, 35,2 %) dan
limfadenitis tuberkulosa (5 pasien, 16,8%). J)
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tuberkulosis abdomen yaitu:
1. Infeksi askaris,
2. Abses apendiks,
3. Amoebiasis,
4. Karsinoma colon
5. Sirosis hepatis,
6. Tumor hati, dan
7. Penyakit Chron.
Diagnosa banding pada peritonitis tuberkulosa yang menyebabkan asites
yaitu:
1) Tuberkulosis asitik (md) dengan nodul milier pada peritoneum, masing-
masing berukuran 1-2 mm, agak tinggi dan memutih;
2) Nodul karsinomatosis, merupakan diagnosa banding utama, ukurannya lebih
besar (md) biasanya lebih dari 3 mm(md) lebih vaskular, dan irregular; ia
dapat menjadi efusi maligna dari ukuran yang sama;
3) Asites sekunder pada penyakit hati, hatinya dapat membesar, keras, tidak
teratur, atau kecil dan sulit diraba, limpanya biasanya besar. Biasanya
terdapat 4 g/l protein pada cairan peritoneum;
20
4) Sindroma nefrotik, ditandai dengan asites yang lebih sedikit, juga memiliki
tanda asites pada dinding abdomen dan edema seluruh tubuh. Biasanya
terdapat 4 g/l protein dalam cairan peritoneum;
5) Edema nutrisi (hipoproteinemia), merupakan tanda defisiensi protein, namun
dapat juga ada pada tuberkulosis. Biasanya terdapat 4 g/l protein pada cairan
peritoneum;
6) Gagal jantung yang menuju pada sirosis dan asites, terjadi peningkatan
tekanan vena jugularis dan tanda lainnya dari gagal jantung. Biasanya
terdapat 4 g/l protein pada cairan peritoneum;
7) Karsinomatosis peritoneum, terdapat deposit keras pada cavum Douglas atau
cavum rectovesical. Biasanya terdapat 20 g/l protein pada cairan peritoneum.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan data epidemiologi Departemen Gastroenterologi RS Kartal,
Istanbul, Turki periode Maret 1998 - Desember 2001, didapatkan 31 pasien
didiagnosa menderita tuberkulosis abdomen. Pemeriksaan yang dilakukan pada
semua kasus yaitu pemeriksaan lengkap, riwayat medis dan keluarga, laju endap
darah, tes biokimia rutin, tes kulit Mantoux, rontgen toraks dan USG abdomen,
sedangkan pemeriksaan mikrobiologi asites, endoskopi saluran cerna atas,
kolonoskopi atau barium laparoskopi atau laparotomi dilakukan jika diperlukan
saja. J)
Pemeriksaan penunjang TB abdomen meliputi: LED, penilaian cairan
peritoneal (transudat/eksudat), biopsi endometrium atau D& C dengan
histopatologi, kultur endometrium dan inokulasi hewan, tes Mantoux
(distandarisasikan), roentgen toraks dan sputum untuk AFB, biopsi kelenjar limfe,
AFB pada darah menstruasi (yang terkonsentrasi dengan mikro yang tepat),
histerosalfingogram dan USG.13
21
Tabel 2. Frekuensi Hasil Laboratorium pada Pasien Tuberkulosis Abdomen 4
No Hasil Lab Jumlah Pasien Persentase
1 Anemia 22 70,4
2 Peningkatan LED 20 64
3 Hipoalbuminemia 15 48
4 Leukositosis 2 6,4
5 Positif CRP 5 16
6 Elevasi transaminase 7 22,4
Tabel 3. Penemuan USG Abdomen pada Pasien Tuberkulosis Abdomen
(mungkin terdapat lebih dari satu pada masing-masing pasien)
No Penemuan Jumlah Pasien Persentase
1 Normal 4 17,2
2 Asites 14 53,2
3 Hepatomegali 4 17,2
4 Penebalan 3 11,4
5 Atropi 2 7,6
6 Abdominal 2 7,6
7 Hepatosteatosis 2 7,6
8 Splenomegali 1 3,8
9 Pericardial 1 3,8
10 LAP 1 3,8
11 Kalsifikasi 1 3,8
22
Pada pasien dengan teraba masa pada abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan
biopsi jarum halus secara langsung (direct fine needle aspiration cytology).
Namun, metode ini tidak dapat dikerjakan pada seluruh pasien, karena kita tidak
dapat meraba masa pada abdomen semua pasien.
Gambaran CT pada tuberkulosis abdomen dapat membedakan peritonitis
tuberkulosa dengan penyakit malignan dari peritoneum. Pihak Departemen
Gastroenterologi RS Kartal, Istanbul melaporkan pernah mendapatkan 88% pasien
yang dilakukan CT abdomen. Dengan demikian, gambaran CT abdomen lebih
memberikan gambaran data yang objektif dibandingkan dengan gambaran
radiologis lainnya.
Kolonoskopi pada tuberkulosis abdomen tampak menjadi problema, karena
pelibatan segmen penyakit dan adanya granuloma yang sedikit pada penyakit
submukosa. Pada penelitian Singh dan lembaganya, didapatkan granuloma pada
44% pasien, dan 19% memiliki kaseasi/perkijuan; juga didapatkan kelainan
kolonoskopi pada 60% pasien dan mengkonfirmasi tuberkulosis secara
histopatologi. Namun, kolonoskopi masih dilakukan jika diperintahkan saja, untuk
mendapatkan jaringan untuk mengkultur agen yang sangat penting untuk
mendiagnosa tuberkulosis intestine. Sensitivitas biopsi endoskopi berkisar antara
30-80% dan Bhargawa dkkl mendapatkan 8-10 biopsi untuk histology dan 3-4
spesimen untuk kultur.
Laparoskopi dan biopsi peritoneum telah dilaporkan lebih dapat menolong
dalam menegakkan diagnosis, meskipun dalam menangani pasien dengan
tuberkulosis abdomen tanpa konfirmasi histopatologi ataupun bakteriologi. Pada
penelitian terakhir, laparoskopi dilakukan pada 4 pasien dan konfirmasi diagnosis
histopatologi pada 3 pasien dan secara makroskopis 1 pasien. Dengan demikian,
tampaknya laparoskopi menjadi cara diagnostic yang memiliki sensitivitas yang
tinggi.
Pada penelitian Lisehora dkk, mini laparotomi dilaporkan sebagai prosedur
diagnostic tuberkulosis abdomen yang paling sensitif dan spesifik. Secara klasik,
23
diagnosanya membutuhkan pemeriksaan mikrobiologi dan kultur Mycobacterium
tuberkulosae, sedangkan diagnosa dapat ditegakkan secara histopatologi pada
beberapa penelitian, yaitu sebanyak 60,8% dari pasien. Jika isolasi Mycobacterium
tuberkulosae diterima sebagai “sine qua non”, pada penyakit infeksi ini
berdasarkan postulat Koch, diagnosis secara histopatologi tidak dapat diterima
sebagai standar. Namun, isolasi agen secara mikrobiologi sangat jarang pada pasien
dengan tuberkulosis abdomen. Hal ini telah dilaporkan sebanyak di bawah 50%
seri. Sebagaimana kita ketahui bahwa Mycobacterium tuberkulosae dapat diisolasi
pada orang sehat. Oleh karena itu, teknik dekontaminasi khusus dan teknologi
BacTec harus digunakan untuk mengkultur agen ini. Menariknya, kita tidak dapat
mengkonfirmasi adanya Mycobacterium tuberkulosae pada beberapa pasien
dengan menggunakan medium Lơwenstein dimana merupakan medium kultur
ideal untuk bakteri ini. Bahkan pada pasien dengan ARB positif pada pewarnaan
langsung, kultur pada Lowenstein tidak positif; namun terdapat 2 kultur positif
dengan tehnik BacTec. Pada laporan kasus Anand dan lembaganya, PCR
digunakan pada biopsi specimen endoskopi yang didapat dari pasien dengan diare
kronik, dan hasilnya positif. Isolasi Mycobacterium tuberkulosis dengan BacTec
atau PCR merupakan tehnik yang menjanjikan untuk masa depan, namun meskipun
metode ini tampak jauh dari ideal, karena tidak cukup baik untuk menatalaksana
penyakit ini karena kekurangan kultur.
Adanya riwayat tuberkulosis paru atau riwayat keluarga tuberkulosis juga
sering ditemui pada pasien dengan tuberkulosis abdomen. Telah diketahui bahwa
pasien dengan resistensi banyak obat, mengharuskan pasien melalui beberapa
percobaan efektivitas beberapa variasi obat. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kebanyakan kasus dengan tuberkulosis abdomen memiliki resistensi primer
dengan kemoterapi konvensional. Isolasi dari Mycobacterium tuberkulosae juga
penting untuk tes suseptibilitas dimana sekarang dilakukan pada setiap pasien
dengan tuberkulosis paru dikarenakan tingginya insiden dari resistensi banyak obat
(meningkat dari 2% menjadi 9% dalam 3 dekade terakhir).4
24
2.8 Penatalaksanaan
Tabel 4. Regimen Terapi yang Direkomendasikan untuk Tuberkulosis
Ekstra Paru
Studi TRC Regimen Durasi dalam Bulan
TB Meningitis 2SHRZ7/10EH7 12
TB Spine 6RH7 atau 9RH7 6 atau 9
TB Abdomen 2RHZ7/4RH7 6
Pott’s Paraplegia 2SHERZ7/7RH2 9
TB Lymphadenitis 2SHRZ3/4SH2 6
Brain Tuberculoma 3RHZ3/6RH2 9
Direkomendasikan oleh:
IUAT 2HRZ/4RH 6
American Academy of Ped 2SHRZ/10RH 9 atau 12 *
WHO 2SHRZ/4RH 6
American Thoracic Society 2HRZ/4RH 6 atau 12 *
* Untuk tulang dan sendi dan TB milier.9
Penatalaksanaan tuberkulosis dengan asites yaitu dengan kemoterapi.
Namun, jangan menginginkan keajaiban, jika pasien memiliki penyakit akut dan
asites. Sebelum 2 bulan, kegagalan cairan untuk berakumulasi kembali
menunjukkan adanya kemajuan.
Penelitian kolaboratif dilakukan untuk membandingkan regimen 6 bulan
setiap hari dari rifampisin, etambutol dan isoniazid selama 2 minggu, diikuti oleh
rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan (regimen Short Course Chemotherapy)
dengan regimen 12 bulan setiap hari dari streptomisin, etambutol dan isoniazid
25
selama 2 minggu, diikuti oleh etambutol dan isoniazid untuk akhir dari tahun
(regimen standar) pada terapi TB abdomen. Pasien dengan kejadian bakteriologi
atau histopatologi atau radiology dialokasikan random pada 2 regimen. Dari 37
pasien yang mendapat seri kemoterapi dengan respon yang dapat dinilai, 97%
memiliki respon baik dibandingkan dengan 92% daru 37 pasien dengan seri
standar. Dari 64 pasien yang telah difollow up hingga 24 bulan dari mulai terapi,
lebih lanjut tidak kambuh. Namun, kejadian toksisitas ada 11 (26%) dalam seri
kemoterapi jangka pendek dan 6 (13%) dalam seri standar dan 2-3 pasien respek
dengan terapi berubah dengan toksisitas obat. Perbedaan antara keduanya tidak
penting secara statistic. Regimen 6 bulan tampaknya baik sebagaimana terapi
regimen 12 bulan pada terapi TB abdomen.14
Pertimbangan terapi lain TB ekstra paru yaitu steroid dan pembedahan.
Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin, namun lebih
bermakna pada TB massif dengan efusi pleuram meningitis, perikarditis dan
tuberkuloma otak. Pada permukaan serosa pasien TB, steroid menolong
mereabsorbsi cairan lebih cepat dan mencegah adesi. Untuk pembedahan, sejumlah
prosedur pembedahan dilakukan untuk TB spine dan TB limfadenitis pada era
prokemoterapi, namun dengan pengenalan dari kemoterapi singkat, terapi obat-
obatan merupakan metode pilihan untuk kebanyakan TB ekstra paru.9
Pada penelitian yang dilakukan oleh Unit Bedah III, Bagian Ilmu Bedah,
Jinnah Postgraduate Medical Centre Karachi selama 4 tahun pada 83 pasien,
didapatkan frekuensi terbanyak penderita tuberkulosis abdomen adalah wanita
muda yang berpenghasilan rendah. Gejala yang sering tampak adalah nyeri perut,
obstruksi usus dan peritonitis. Intervensi bedah seperti loop ileostomy, reseksi
anastomosis dan adenolisis dilakukan pada 53% kasus karena peritonitis dan
obstruksi usus. Obstruksi usus merupakan indikasi terbanyak dilakukan
pembedahan. Sebanyak 47% pasien respon secara adekuat dengan terapi anti
26
tuberkulosis. Sebanyak 20% tampak komplikasi prosedur. Didapatkan juga pasien
yang memerlukan intervensi bedah sebanyak 53%, dimana mayoritasnya dengan
obstruksi usus (52,2%). Pada pasien dengan peritonitis, dilakukan ileostomi (50%).
Namun, komplikasi dari ileostomi pernah dilaporkan fistula enterocutaneus (21%),
infeksi luka (68%) dan pecahnya abdomen (15%), Dengan demikian, diagnosis
tuberkulosis abdomen dapat ditegakkan berdasarkan komplikasi klinis dasar yang
dapat dicegah dengan memulai terapi obat lebih awal. Ileostomi merupakan
prosedur menyelamatkan nyawa pada pasien malnutrisi. Membiarkan luka terbuka
untuk mencegah penutupan primer tidak hanya memudahkan inspeksi secara
kontinyu, namun juga menolong drainase abses jika pus berakumulasi pada
intervensi bedah atau perforasi.
2.9 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis atau keberhasilan pengobatan TB
sangat kompleks, sukar untuk dipisahkan antara satu faktor penyebab dengan
penyebab lainnya. Secara garis besar, faktor tersebut adalah:15
1. Faktor penderita:
- mempunyai gangguan imunocompromise, dimana yang sering disebut
adalah malnutrisi, pemakaian kortikosteroid/obat-obat penekan system
imun jangka panjang, serta HIV.
- ketidakpatuhan, umumnya berkaitan dengan: faktor obat, tingkat
pendidikan, perbaikan klinis, kemiskinan, penyalahgunaan alcohol, ada
tidaknya tempat pelayanan dan jarak ke tempat pelayanan.
2. Faktor masyarakat dan keluarga, dimana dukungan masyarakat dan keluarga
pada penderita TB masih kurang.
27
3. Faktor petugas, dimana terjadi kesalahan pembacaan kuman oleh petugas
laboratorium, kesalahan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan oleh
dokter atau perawat akan mengakibatkan pengobatan yang kurang adekuat
dan dipastikan kegagalan pengobatan akan meningkat.
4. Faktor pemerintah, dimana anggaran yang disediakan termasuk dalam tingkat
rendah, sehingga terjadi berkurangnya supply obat, pengadaan bahan
laboratorium, pemantauan program serta fasilitas diagnosis, dan pada
akhirnya angka penemuan kasus baru tetap rendah.
5. Peningkatan kasus MDR (Multi Drug Resistance), dimana sangat kompleks
dan berkaitan dengan factor lainnya. Dosis, lama dan paduan OAT yang tidak
adekuat serta pengobatan yang terputus dapat menyebabkan MDR.
6. Keterlambatan pengobatan, dimana idealnya diberikan OAT segera setelah
ditegakkan diagnosis. Keterlambatan diagnosis dan pengobatan hanya akan
meningkatkan resiko transmisi, angka kesakitan dan angka kematian.
7. DOTS (Directy Observed Treatment Shourt-course Chemotherapy) dan PMO
(pengawas minum obat). DOTS merupakan strategi yang dicanangkan WHO
untuk mengatasi besarnya beban tuberculosis dunia saat ini.
28
BAB III
PENUTUP
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang ditandai dengan radang kronis
dan pembentukan tuberkel-tuberkel dan kaseasi jaringan-jaringan. Tuberkulosis
abdomen merupakan TB ekstra paru yakni TB dimana pasien memiliki kelainan
histologis atau dengan gambaran klinis sesuai TB aktif atau pasien dengan satu
sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.
Populasi yang rentan terkena TB adalah orang dengan imun yang lemah,
malnutrisi dan yang sedang mendapat kemoterapi kanker dan kortikosteroid serta
terinfeksi HIV.
Patogenesis pelibatan isi abdomen oleh Mycobacterium tuberculosae belum
dapat secara penuh dijelaskan. Namun, nutrisi yang rendah, status sosio-ekonomi
dan kurangnya fasilitas kesehatan telah memberikan kontribusi yang besar dalam
menyebabkan kasus ini.
Tuberkulosis dibagi menjadi 3 grup berdasarkan tipe pelibatan, yaitu
intestinal TB (15 pasien, 48%), peritonitis TB (11 pasien, 35,2 %) dan limfadenitis
TB (5 pasien, 16,8%). Klasifikasi lain berdasarkan manifestasi umum TB
abdomen: 1) Tipe yang menunjukkan asites, 2) Tipe plastik, yang menyebabkan
obstruksi usus dan 3) Tipe glandular, yang melibatkan nodus mesenterikus. Selain
itu, terdapat juga: TB Hepatosplenik, TB genitourinarius, TB ginjal, TB Ureter, TB
kandung kemih, TB genital wanita, TB genital pria, TB Limfa nodus dan lainnya.
Berdasarkan penelitian di India dan Nepal, karakteristik gejala yang sering
tampak pada pasien yaitu: nyeri abdomen, penurunan berat badan, asites, diare,
batuk dan adanya sputum, muntah dan mual, demam, adanya tanda perforasi, nyeri
tulang, keringat pada malam hari, gejala traktus urinarius, adanya masa pada
29
kuadran abdomen bawah, nyeri bagian serviks, eviserasi mengikuti laparotomi,
terjadi secara incidental dan terkadang perlu operasi karena brid ileus.
Standar emas untuk menegakkan diagnosis tidak begitu tampak dari tanda
klinis (hanya menunjukkan penyakit infeksi kronis), laboratories (tidak spesifik),
radiologis, metode endoskopi, penemuan bakteriologi dan histopatologi dan tidak
adanya tes sensitivitas. Sehingga diagnosis TB ekstrapulmonal sering sulit
ditegakkan. Namun, sebuah algoritme dari metode diagnostic yang ada tersebut
dapat mengarahkan dalam penegakan diagnosis penyakit ini.
Diagnosis banding tuberkulosis abdomen yaitu: Infeksi askaris, abses
apendiks, amoebiasis, karsinoma colon, sirosis hepatis, tumor hati dan Penyakit
Chron.
Pemeriksaan umumnya dilakukan pada semua kasus yaitu pemeriksaan
lengkap, riwayat medis dan keluarga, laju endap darah, tes biokimia rutin, tes kulit
Mantoux, rontgen toraks dan USG abdomen, sedangkan pemeriksaan mikrobiologi
asites, endoskopi saluran cerna atas, kolonoskopi atau barium laparoskopi atau
laparotomi dilakukan jika diperlukan saja.
Pemeriksaan laboratorium yang umumnya ditemukan pada penderita TB
abdomen yaitu: anemia, peningkatan LED, hipoalbuminemia, leukositosis, positif
CRP dan elevasi transaminase.
Penemuan USG abdomen umumnya pada pasien TB abdomen yaitu: normal,
asites, hepatomegali, penebalan, atropi, splenomegali, LAP dan kalsifikasi.
Mini laparotomi dilaporkan sebagai prosedur diagnostic tuberkulosis
abdomen yang paling sensitif dan spesifik. Diagnosis tuberkulosis abdomen dapat
secara klasik ditegakkan dengan memeriksa mikrobiologi dan konfirmasi kultur
Mycobacterium tuberculosae, sedangkan pemeriksaan histopatologi dapat
ditegakkan juga pada beberapa kasus yaitu 60,8%.
Regimen terapi yang direkomendasikan untuk TB abdomen yaitu
2RHZ7/4RH7 selama 6 bulan. Pertimbangan terapi lain TB ekstra paru yaitu
steroid dan pembedahan (dengan syarat-syarat tertentu).
30
Faktor yang mempengaruhi prognosis TB sangat kompleks. Secara garis
besar yaitu: faktor penderita, faktor masyarakat dan keluarga, faktor petugas, faktor
pemerintah, peningkatan kasus MDR, keterlambatan pengobatan dan DOTS.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland. Kamus Kedokteran. 26th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1996.
2. Anonym. Abdominal tuberculosis “surgeons” perspective. 2003. Available
from URL: http://jsp.org.pk/JSP.Oct-Dec%202003/ JSP
%20a5.html.
3. Bahar A, Tuberkulosis Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 819.
4. Anonym. A clinical dilemma: abdominal tuberculosis. 2002. Available
from URL: http://64.233.187.104/search?q=cache:3v-v3d_10SAJ:
www.wjgnet.com/1007-9327/9/1098.pdf+abdominal+tuberculosis
&hl=id.
5. Anonym. Final diagnosis disseminated tuberculosa. 2002. Available from
URL: http://path.upmc.edu/cases/ case262/dx.html.
6. Price SA, Tuberkulosis Paru-Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC; 1995. p. 753.
7. Chestnutt MS, Prandergast TJ, Paru Paru. Dalam : Diagnosis dan Terapi
Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam; alih bahasa Abdul Gofir. Jakarta:
Salemba Medika; 2002. p.49.
8. Hosein, Sean. Infection fighters: TB outside of the lungs. 1995. Available
from URL: http://www.aegis.com/pubs/catie/1995/ CATE6106.html
9. Kumaraswarni. Treatment of Extrapulmonary Tuberculosis. 2003.
Available from URL: http://www.sunmed.org/drugproto.html.
10. Anonym. Abdominal Tuberculosis. 2003. Available from URL:
http://www.uni-ulm.de/~bschnei1 /surg126.html.
1
11. C, Bolukbas, T, Kendir, et al. Clinical presentation of abdominal
tuberculosis in HIV seronegative adults. 2003. Available from
URL: http://www.osti.gov/energycitations/product.biblio.jsp?
osti_id =6183985.
12. Indian Academy of Clinical Medicine. Ascites: Diagnosis and treatment.
5(1): 81-89. Available from URL:
http://www.indigene.com/ Gas/FeatArt/indGasFeat5.html.
13. Anonym. Abdominal tuberculosis. 1996. Available from URL:
http://www.Irsitbrd.nic.in/IJTB/year%25201996/JUL1996.pdf+Tb+
abdomen&hl=id.
14. Anonym. Diagnosis of abdominal tuberculosis. 2004. Available from URL:
http://www.indiansurg.com/article.asp?issn=0972-2068%
3Byear=2004.1 2 3 4 5 6 3,6,7 3 8 3 9 7? 10 11 10 5 10 8 10 12 10 13 4 4 9 14 9 15
2
15. S. Ghazinoor, T, Desser, et al. Increased through-transmission in
abdominal tuberculous lymphadenitis. 2000. Available from URL:
http://www.med.stanford.edu/profiles/frdActionServlet?choiceId =
show Publication%pubid=20494&fid=4143.
16. Ahmad Z, Tuberculosis Paru. Dalam: Naskah Lengkap Work-Shop
Pulmonology Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit
Dalam PAPDI Sumbagsel. Palembang: Lembaga Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK Unsri; 2002. p. 96.
3