PENDAHULUAN
Kemampuan pelayanan kesehatan suatu Negara ditentukan dengan perbandingan tinggi
rendahnya angka kematian ibu dan kematian bayi. Untuk itu dalam menurunkan angka
kematian perinatal dibidang pelayanan keperawatan memerlukan perhatian yang serius,
karena pelayanan yang tidak adekuat pada bayi baru lahir dapat menyebabkan meningginya
angka kematian pada perinatal.
Angka kematian neonatus di Negara-negara berkembang merupakan masalah besar,
namun angka kematian yang cukup besar ini tidak dilaporkan serta dicatat secara resmi dalam
statistik kematian neonatus. Menurut survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2008
angka kematian perinatal adalah 35 per 1000 kelahiran hidup, itu artinya dalam satu tahun
sekitar 175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun.
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain.
Di Negara maju seperti Amerika Serikat terdapat sekitar 60% bayi menderita ikterus
sejak lahir, lebih dari 50% bayi tersebut mengalami hiperbilirubin, sedangkan di RSCM
proporsi ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%. Bagi tenaga kesehatan hal ini tidak dapat dianggap sepele, karena
kejadian ikterus pada neonatus dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hidup neonatus
nantinya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis kasus, agar dapat
melakukan tindakan dengan benar yaitu dengan menegakkan diagnosa secara tepat, sehingga
dapat mengetahui penanganan yang cepat dan tepat dari kasus tersebut.
KASUS
1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : by. N
Jenis Kelamin : Perempuan
tanggal lahir : 1/1/2015
Agama : Hindu
Tanggal masuk : 1/1/2015
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : asfiksia
Riwayat penyakit sekarang : bayi perempuan baru lahir tanggal 1 anuari 2015 pukul
01.15 di RSUD UNDATA,lahir spontan letak bokong. air ketuban ernih, a/s 5/6.
mec/mic +/+. berat badan lahir 3300 gr. PBL 40cm. bayi lahir tidak langsung
menangis. merintih -, sianosis -. Proses persalinan tidak berlangsung lama (tidak ada
partus lama dan macet) serta tidak ada kelainan pada plasenta dan tali pusat. riwayat
maternal maternal G3P2A0, ANC rutin di puskesmas. . Ibu tidak mengalami demam
sebelum dan selama persalinan, dan ibu tidak mengkonsumsi obat – obatan tertentu
kecuali obat penambah darah selama kehamilan. Ibu tidak pernah mengalami
perdarahan abnormal selama masa kehamilan.
Pemeriksaan fisik
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital :
Denyut jantung : 152 x/menit
Suhu : 35,30C
Pernapasan : 36 x/menit
Capillary Refill Time : -
Pemeriksaan antropometrik :
Berat badan : 3300 gram
Panjang badan : 49 cm
Lingkar kepala : 35 cm
Lingkar lengan atas : -
Lingkar dada : -
Lingkar perut : -
Sistem neurologi :
Aktivitas : aktif
Kesadaran : compos mentis
Fontanela : datar
Sutura : belum menutup
Refleks cahaya: ada
Kejang : tidak ada
Tonus otot : normal
Sistem pernapasan :
Sianosis : -
Merintih : -
Apnea : -
Retraksi dinding dada: -
Pergerakan dinding dada : simetris bilateral
Pernapasan cuping hidung : tidak ada
Bunyi pernapasan : bronkovesikular
Bunyi pernapasan tambahan : ronki dan stridor tidak ada
Skor Downe :
Frekuensi Napas : 0
Merintih: 0
Sianosis: 0
Retraksi : 0
Udara Masuk: 0
Total skor : 0 (tidak ada gangguan nafas)
Kriteria WHO :
Sianosis sentral : tidak ada
Merintih saat ekpirasi : tidak ada
Retraksi dinding dada : tidak ada
Frekuensi napas : 36 x/menit
Kesimpulan : (tidak ada gangguan nafas)
Sistem hematologi :
Pucat : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Sistem kardiovaskular :
Bunyi jantung : S1 dan S2 reguler
Murmur : tidak ada
Gallop : tidak ada
Sistem Gastrointestinal :
Kelainan dinding abdomen: tidak ada
Muntah : tidak ada
Organomegali: tidak ada
Peristaltik usus : ada (normal)
Umbilikus : kemerahan tidak ada (tanda infeksi lokal)
Sistem Ano-Genitalia (laki-laki) :
Hipospadia : tidak ada
Hidrokel : tidak ada
Testis: desensus testisculorum
Anus : lubang ada
Pemeriksaan lain :
Ekstremitas : Akral dingin dan tidak ada deformitas
Turgor : kembali cepat
Kelainan kongenital : tidak ada
Trauma lahir : tidak ada
Skor Ballard :
Maturitas neuromuskular Maturitas fisik
Sikap tubuh : 3 kulit : 4
Persegi jendela: 3 lanugo : 3
Rekoil lengan : 2 payudara : 3
Sudut poplitea : 2 Mata/telinga : 3
Tanda selempang : 3 genitalia : 3
Tumit ke kuping : 1 permukaan plantar : 3
Total skor: 33
Estimasi umur kehamilan : minggu
RESUME
Bayi perempuan lahir di RSUD UNDATA Palu melalui persalinan normal dengan letak bokong, berat badan lahir 3300 gram, panjang badan lahir 49 cm, dan APGAR skor 5-6. Dari hasil pemeriksaan tanda – tanda vital didapatkan hipotermi (35,3C), terdapat benolan di daerah parietal kiri tanpa melewati sutura.
DIAGNOSIS
bayi aterm + post asfiksia ringan + hipotermia + cephal hematom.
TERAPI
ASUHAN BAYI BARU LAHIR Hangatkan atur posisi kepala bayi isap lendir ika perlu keringkan dan beri rangsangan taktil atur kembali posisi bayi penilaian denyut antung, respirasi dan warna kulit
1. ineksi vitamin K 1 mg intramuskular2. tetes mata gentamisin3. oksigen 1-2 liter/menit4. observasi tanda vital tiap 2 hours
ANJURAN PEMERIKSAAN
FOLLOW UP
Tanggal : 2/1/2013
Subjek (S) : -
Objek (O) :
a. Tanda Vital
o Denyut Nadi : 124 kali/menit
o Respirasi : 36 kali/menit
o Suhu : 37,40C
o berat badan : 3300 gr
Assesment (A): bayi aterm + post asfiksia ringan + cephal hematom.
Plan (P) : ASI 25 cc/3 hour
Tanggal : 3/1/2015
Subjek (S) : kuning
Objek (O) :
Tanda Vital
o Denyut Nadi : 147 kali/menit
o Respirasi : 40 kali/menit
o Suhu : 36,90C
o berat badan : 3200 gr
Assesment (A) : bayi aterm + post asfiksia ringan + ikterus neonatorum + cephal hematom.
Plan (P) : ASI 36 cc/3 hour
DISKUSI KASUS
Asfiksia neonatorum
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu
hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau
sesudah persalinan.
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan
bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin
timbul.
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur segera stelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia,
hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya
kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia
neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera
setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya adanya penyakit pada ibu
sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu, resiko tinggi
kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga
faktor janin itu sendiri.
B. ETIOLOGI
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Factor Ibu
· Cacat bawaan
· Preeklampsia dan eklampsia
· Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
· Partus lama atau partus macet
· Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
· Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
· Hipoventilasi selama anastesi
· Penyakit jantung sianosis
· Gagal bernafas
· Keracunan CO
· Tekanan darah rendah
· Gangguan kontraksi uterus
· Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
2. Factor tali pusat
· Lilitan tali pusat
· Tali pusat pendek
· Simpul tali pusat
· Prolapsus tali pusat
3. Factor bayi
· Kompresi umbilikus
· Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
· Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
· Prematur
· Gemeli
· Kelainan congential
· Pemakaian obat anestesi
· Trauma yang terjadi akibat persalinan
· Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
· kelainan bawaan (kongenital)
· Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
4. Factor plasenta
· Plasenta tipis
· Plasenta kecil
· Plasenta tidak menempel
· Solusio plasenta
5. Factor persalinan
· Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep)
· Partus lama
· Partus tindakan
C. MANIFESTASI KLINIK
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam
periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut
jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-
agsur berkurang dari bayi memasuki periode apneru primer.
Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan
cepat, pernafasan cuping hidung, sianosisus, nadi cepat Gejala lanjut pada asfiksia :
1. Pernafasan megap-megap yang dalam
2. Denyut jantung terus menurun
3. Tekanan darah mulai menurun
4. Bayi terlihat lemas (flaccid)
5. Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)
6. Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2)
7. Menurunnya PH (akibat acidosis respoiraktorik dan metabolic)
8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob
9. Terjadinya perubahan sistem kardivaskuler
D. PATOFISIOLOGI
Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam pertukaran gas
oleh karena plasenta menyediakan oksigen dan mengangkat CO2 keluar dari tubuh janin.
Pada keadaan ini paru janin tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang
diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah
dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
karena konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan
melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.
Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali (menangis), pada saat
ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk
dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan
dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat
secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan
meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang
sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang
cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap tertutup
sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.
Pada saat lahir alveoli masih berisi cairan paru, suatu tekanan ringan diperlukan untuk
membantu mengeluarkan cairan tersebut dari alveoli dan alveoli mengembang untuk pertama
kali. Pada kenyataannya memang beberapa tarikan nafas yang pertama sangat diperlukan
untuk mengawali dan menjamin keberhasilan pernafasan bayi selanjutnya. Proses persalinan
normal (pervaginam) mempunyai peran yang sangat penting untuk mempercepat proses
keluarnya cairan yang ada dalam alveoli melalui ruang perivaskuler dan absorbsi kedalam
aliran darah atau limfe. Gangguan pada pernafasan pada keadaan ini adalah apabila paru tidak
mengembang dengan sempurna (memadai) pada beberapa tarikan nafas yang pertama. Apnea
saat lahir, pada keadaan ini bayi tidak mampu menarik nafas yang pertama setelah lahir oleh
karena alveoli tidak mampu mengembang atau alveoli masih berisi cairan dan gerakan
pernafasan yang lemah, pada keadaan ini janin mampu menarik nafas yang pertama akan
tetapi sangat dangkal dan tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan O2 tubuh. keadaan
tersebut bisa terjadi pada bayi kurang bulan, asfiksia intrauterin, pengaruh obat yang
dikonsumsi ibu saat hamil, pengaruh obat-obat anesthesi pada operasi sesar.
Dalam hal respirasi selain mengembangnya alveoli dan masuknya udara kedalam
alveoli masih ada masalah lain yang lebih panjang, yakni sirkulasi dalam paru yang berperan
dalam pertukaran gas. Gangguan tersebut antara lain vasokonstriksi pembuluh darah paru
yang berakibat menurunkan perfusi paru. Pada bayi asfiksia penurunan perfusi paru
seringkali disebabkan oleh vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga oksigen akan
menurun dan terjadi asidosis. Pada keadaan ini arteriol akan tetap tertutup dan Duktus
Arteriosus akan tetap terbuka dan pertukaran gas dalam paru tidak terjadi.
Selama penurunan perfusi paru masih ada, oksigenasi ke jaringan tubuh tidak
mungkin terjadi. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tergantung dari berat
dan lamanya asfiksia, fungsi tadi dapat reversible atau menetap, sehingga menyebabkan
timbulnya komplikasi, gejala sisa, ataupun kematian penderita. Pada tingkat permulaan,
gangguan ambilan oksigen dan pengeluaran CO2 tubuh ini mungkin hanya menimbulkan
asidosis respiratorik. Apabila keadaan tersebut berlangsung terus, maka akan terjadi
metabolisme anaerobik berupa glikolisis glikogen tubuh. Asam organik yang terbentuk akibat
metabolisme ini menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa berupa asidosis
metabolik. Keadaan ini akan mengganggu fungsi organ tubuh, sehingga mungkin terjadi
perubahan sirkulasi kardiovaskular yang ditandai oleh penurunan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada penderita asfiksia akan terlihat
tahapan proses kejadian yaitu menurunnya kadar PaO2 tubuh, meningkat PCO2, menurunnya
pH darah dipakainya sumber glikogen tubuh dan gangguan sirkulasi darah. Perubahan inilah
yang biasanya menimbulkan masalah dan menyebabkan terjadinya gangguan pada bayi saat
lahir atau mungkin berakibat lanjut pada masa neonatus dan masa pasca neonatus.
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap
nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari
nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin
akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air
ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin
lahir, alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai
menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi
memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang
dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
perioode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar
O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan
dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika
resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya asfiksia
pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:
a. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada
kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya (Wiknjosastro, 2007).
b. Analisa Gas Darah
Analisa dilakukan pada darah arteri, penting untuk mengetahui adanya asidosis dan alkalosis
respiratorik/metabolik. Hal ini diketahui dengan tingkat saturasi SaO2 dan PaO2. Pemeriksaan
ini juga dilakukan untuk mengetahui oksigenasi, evaluasi tingkat kemajuan terapi (Muttaqin,
2008).
c. Elektrolit Darah
Komplikasi metabolisme terjadi di dalam tubuh akibatnya persediaan garam-garam elektrolit
sebagai buffer juga terganggu kesetimbangannya. Timbul asidosis laktat, hipokalsemi,
hiponatremia, hiperkalemi. Pemeriksaan elektrolit darah dilakukan uji laboratorium dengan
test urine untuk kandungan ureum, natrium, keton atau protein (Harris, 2003).
d. Gula darah
Pemeriksaan gula darah dilakukan uji laboratorium dengan test urine untuk kandungan
glukosa. Menurut Harris (2003), penderita asfiksia umumnya mengalami hipoglikemi.
e. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik seperti ultrasonografi (USG),computed tomography scan (CT-Scan)
dan magnetic resonance imaging (MRI) mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan
diagnosis
f. USG ( Kepala )
g. Penilaian APGAR score
h. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan
i. Foto polos dada
G. TERAPI DAN PENGOBATAN
1. Pengaturan suhu
Segera setelah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan seluruhnya dengan
kain kering dan hangat, dan diletakan telanjang di bawah alat/ lampu pemanas radiasi, atau
pada tubuh Ibunya, bayi dan Ibu hendaknya diselimuti dengan baik, namun harus
diperhatikan pula agar tidak terjadi pemanasan yang berlebihan pada tubuh bayi.
2. Lakukan tindakan A-B-C-D (Airway/ membersihkan jalan nafas, Breathing/
mengusahakan timbulnya pernafasan/ ventilasi, Circulation/ memperbaiki sirkulasi tubuh,
Drug/ memberikan obat)
A. Memastikan saluran nafas terbuka
ü Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi, bahu diganjal.
ü Menghisap mulut, hidung dan trakhea.
ü Bila perlu, masukkan pipa ET untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
B. Memulai pernafasan
ü Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.
ü Memakai VTP bila perlu, seperti sungkup dan balon, pipa ET dan balon, mulut ke mulut
(hindari paparan infeksi)
C. Mempertahankan sirkulasi darah
Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompres pada daerah dada
D. Pemberian obat-obatan
ü Epineprin
Indikasi : diberikan apabila frekuensi jantung tetap di bawah 80 x/mnt walaupun telah
diberikan paling sedikit 30 detik VTP adekuat dengan oksigen 100 % dan kompresi dada atau
frekuensi jantung. Dosis 0,1 – 0,3 ml/kg untuk larutan 1:10000. Cara pemberian dapat
melalui intravena (IV) atau melalui pipa endotrakheal.
Efek : Untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan konstraksi jantung
ü Volume ekspander (darah/ whole blood, cairan albumin-salin 5%, Nacl, RL).
Indikasi : digunakan dalam resusitasi apabila terdapat kejadian atau diduga adanya
kehilangan darah akut dengan tanda-tanda hipovolemi. Dosis 10 ml/ kg. Cara pemberian IV
dengan kecepatan pemberian selama waktu 5-10 menit.
Efek : meningkatkan volume vaskuler, meningkatkan asidosis metabolik.
ü Natrium Bikarbonat
Indikasi : digunakan apabila terdapat apneu yang lama yang tidak memberikan respon
terhadap terapi lain. Diberikan apabila VTP sudah dilakukan.
Efek : memperbaiki asidosis metabolik dengan meningkatkan ph darah apabila ventilasi
adekuat, menimbulkan penambahan volume disebabkan oleh cairan garam hipertonik.
ü Nalakson hidroklorid/ narcan
Indikasi : depresi pernafasan yang berat atau riwayat pemberian narkotik pada Ibu dalam 4
jam sebelum persalinan.
Efek : antagonis narkotik.
Hipotermia
1. Definisi Hipotermi
hipotermi pada bayi baru lahir atau neonatus adalah Bayi dengan suhu badan di
bawah normal. Hipotermia ini biasaya menyerang bayi yang baru saja lahir. Pada bayi
neonatus suhu normalnya adalah 36,5 – 37,5 derajat Celsius (suhu ketiak). Apa bila suhu <
36 derajat Celsius, kedua kaki dan tangan terasa dingin kita mesti mewaspadainya karena ini
merupakan gejala awal hipotermia.Bila suhu bayi 32 – 36,4 derajat Celsius ini biasa disebut
hipotermi sedang. Bila suhu < 32 derajat Celcius biasa disebut hipotermi berat, pada
hipotermi berat ini biasanya diperlukan termometer ukuran rendah yang dapat mengukur
sampai 25 derajat Celsius.
Menurut Sarwono (2010), gejala awal hipotermia apabila suhu < 36oC atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang (suhu 32oC – 36oC). Disebut hipotermia kuat bila suhu tubuh <32oC.
Hipotermia pada BBL adalah suhu di bawah 36,5oC, yang terbagi atas hipotermia ringan
(cold stress) yaitu suhu antara 36-36,5oC, hipotermia sedang yaitu suhu antara 32-36oC, dan
hipotermia berat yaitu suhu tubuh <32oC.
Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir
dengan kematian. Hipotermia menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh darah, yang
mengakibatkan terjadinya metabolik anerobik, meningkatkan kebutuhan oksigen,
mengakibatkan hipoksemia dan berlanjut dengan kematian.
1. Etiologi
Hipotermia dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekeliling bayi rendah dan upaya
mempertahankan suhu tubuh tetap hangat tidak diterapkan secara tepat, terutama pada masa
stabilisasi yaitu 6-12 jam pertama, setelah lahir. Misalnya bayi baru lahir dibiarkan basah dan
telanjang selama menunggu plasenta lahir atau meskipun lingkungan sekitar bayi cukup
hangat namun bayi dibiarkan telanjang atau segera dimandikan.
BBL dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan dengan
kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas
(Sholeh,dkk. 2014).
1. Penurunan Produksi Panas
Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal
metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya pada
keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitaria.
2. Peningkatan Panas yang Hilang
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas.
Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara :
1. Konduksi :
Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara kedua obyek.
Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan
yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada BBL yang berada pada
permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses penimbangan. Bayi yang diletakkan
diatas meja, tempat tidur atau timbangan yang dingin akan cepat mengalami kehilangan
panas tubuh melalui konduksi.
1. Konveksi :
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan
aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas disini dapat
berupa : bayi yang diletakkan di dekat pintu/jendela terbuka, inkubator dengan jendela yang
terbuka, atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.
1. Radiasi :
Yaitu perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang dingin, misalnya dari bayi
dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber kehilangan
panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau suhu inkubator yang dingin. Bayi akan
mengalami kehilangan panas melalui cara ini meskipun benda yang lebih dingin tersebut
tidak bersentuhan langsung dengan tubuh bayi.
1. Evaporasi :
Cara kehilangan panas yang utama pada tubuh bayi. Panas terbuang akibat penguapan,
melalui permukaan kulit dan traktus respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa
BBL yang basah setelah lahir, karena menguapnya cairan ketuban pada permukaan tubuh
bayi setelah lahir dan bayi tidak cepat dikeringkan atau terjadi setelah bayi dimandikan.
3. Kegagalan Termoregulasi
Suhu bayi baru lahir dapat turun beberapa derajat setelah kelahiran karena lingkungan
eksternal lebih dingin daripada lingkungan di dalam uterus. Kegagalan termoregulasi secara
umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan
berbagai penyebab. Keadaan hipoksia intrauterine/saat persalinan/post partum, defek
neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik/anastesi) dapat menekan respon neurologik
bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami masalah dalam
pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau hipertermi.
Setelah lahir, suhu tubuh bayi dapat turun sangat cepat. Bayi aterm yang sehat akan berusaha
mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran normal. Namun, jika bayi bermasalah saat
lahir oleh kondisi di bawah ini, stress tambahan akibat hipotermia dapat membahayakan :
1. Asfiksia berat
2. Resusitasi ekstensif
3. Pengeringan setelah kelahiran yang terlambat
4. Gawat napas
5. Hipoglikemia
6. Sepsis
7. Bayi premature
1. Patofisiologi
Apabila terjadi paparan dingin, secara fisiologis tubuh akan memberikan respon untuk
menghasilkan panas berupa :
1. Shivering thermoregulation/ST
Merupakan mekanisme tubuh berupa menggigil atau gemetar secara involunter akibat dari
kontraksi otot untuk menghasilkan panas.
2. Non- Shivering thermoregulation/NST
Merupakan mekanisme yang dipengaruhi oleh stimulasi sistem saraf simpatis untuk
menstimulasi proses metabolik dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan lemak coklat.
Peningkatan metabolisme jaringan lemak coklat akan meningkatkan produksi panas dari
dalam tubuh.
3. Vasokonstriksi perifer
Mekanisme ini juga distimulasi oleh sistem saraf simpatis, kemudian sistem saraf perifer
akan memicu otot sekitar arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi vasokonstriksi.
Keadaan ini efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan kulit dan mencegah hilangnya
panas yang tidak berguna.
(Sholeh,dkk. 2014)
Pada bayi, respon fisiologis terhadap paparan dingin adalah dengan proses oksidasi dari
lemak coklat atau jaringan adiposa coklat. Pada BBL, NST (proses oksidasi jaringan lemak
coklat) adalah jalur yang utama dari suatu peningkatan produksi panas yang cepat, sebagai
reaksi atas paparan dingin. Paparan dingin yang berkepanjangan harus dihindarkan oleh
karena dapat menimbulkan efek samping serta gangguan – gangguan metabolik yang berat.
Segera setelah lahir, tanpa penanganan yang baik, suhu tubuh bayi rata-rata akan turun 0,1oC-
0,3oC setiap menitnya. WHO Consultative Group on Thermal Control menyebutkan bahwa
BBL yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, suhunya akan turun 2oC-4oC dalam 10-
20 menit kemudian setelah kelahiran.
1. Tanda dan Gejala
Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang aktif, kutis
marmorata, pucat, takipneu atau takikardi. Sedangkan hipotermi yang berkepanjangan, akan
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, distres respirasi, gangguan
keseimbangan asam basa, hipoglikemia, defek koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal
akut, enterokolitis nekrotikan, dan pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian
(Sholeh,dkk. 2014).
Saat neonatus terpajan dengan dingin, pertama-tama ia menjadi sangat gelisah; kemudian,
saat suhu inti tubuhnya menurun, ia mengadopsi posisi fleksi yang rapat guna mencoba
mempertahankan panas. Bayi yang sakit atau premature akan cenderung berbaring terlentang
dengan posisi seperti katak dengan semua permukaan tubuhnya terpajan, yang
memaksimalkan kehilangan panas.
Orang dewasa dapat menghilangkan panas dengan menggigil, sementara neonatus
menggunakan cadangan lemak coklat mereka. Selama metabolisme lemak coklat, oksigen di
konsumsi dan hal ini dapat menyebabkan perubahan pola pernapasan, biasanya meningkatkan
frekuensinya. Selain itu, bayi mungkin dapat terlihat pucat atau bercak-bercak dan mungkin
tidak mau menyusu. Hipoglikemia merupakan gambaran umum pada bayi dengan
peningkatan penggunaan energi yang berhubungan dengan termoregulasi dan hal ini dapat
menyebabkan bayi menggerakan ekstremitas dengan tersentak-sentak, meskipun diam dan
sering kali lemas.
Sarwono (2010), mengklasifikasikan tanda dan gejala hipotermia pada neonatus seperti
dibawah ini :
1. Gejala hipotermia bayi baru lahir
1. Bayi tidak mau minum/menetek
2. Bayi tampak lesu atau mengantuk saja
3. Tubuh bayi teraba dingin
4. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh bayi
mengeras (sklerema)
2. Tanda-tanda hipotermia sedang (Stres dingin)
1. Aktivitas berkurang, letargis
2. Tangisan lemah
3. Kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata)
4. Kemampuan menghisap lemah
5. Kaki teraba dingin
3. Tanda-tanda hipotermia berat (Cedera dingin)
1. Sama dengan hipotermia sedang
2. Bibir dan kuku kebiruan
3. Pernafasan lambat
4. Pernafasan tidak teratur
5. Bunyi jantung lambat
6. Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik
4. Tanda-tanda stadium lanjut hipotermia
1. Muka, ujung kaki dan tangan berwarma merah terang
2. Bagian tubuh lainnya pucat
3. Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan
tangan (sklerema)
1. Diagnosis
Diagnosis hipotermi ditegakkan dengan pengukuran suhu baik suhu tubuh atau kulit bayi.
Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting untuk deteksi
awal adanya suatu penyakit, dan pengukurannya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau
kulit. Untuk mengukur suhu hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
thermometer) yang dapat mengukur sampai 25oC (Sholeh,dkk.2014).
1. Komplikasi
Hipotermia dapat menyebabkan komplikasi, seperti peningkatan konsumsi oksigen, produksi
asam laktat, apneu, penurunan kemampuan pembekuan darah dan yang paling sering terlihat
hipoglikemia. Pada bayi premature, stress dingin dapat menyebabkan penurunan sekresi dan
sintetis surfaktan. Membiarkan bayi dingin meningkatkan mortalitas dan morbiditas.
1. Penanganan serta Pencegahan Hipotermia Bayi Baru Lahir
Kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai dengan keberhasilan usahanya dalam
mencegah hilangnya panas dari tubuh. Untuk itu, BBL haruslah dirawat dalam lingkungan
suhu netral (Neutral Thermal Environment/NTE). NTE adalah rentang suhu eksternal,
dimana metabolisme dan konsumsi oksigen berada pada tingkat minimum, dalam lingkungan
tersebut bayi dapat mempertahankan suhu tubuh normal.
Namun, pada bayi-bayi yang mengalami hipotermia maka harus ditangani secara cepat dan
tepat. Penanganan hipotermia pada bayi, yaitu :
1. Bayi yang mengalami hipotermia biasanya mudah sekali meninggal. Tindakan yang
harus dilakukan adalah segera menghangatkan bayi di dalam inkubator atau melalui
penyinaran lampu.
2. Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan oleh setiap orang adalah
menghangatkan bayi melalui panas tubuh ibu. Bayi diletakkan telungkup di dada ibu
agar terjadi kontak kulit langsung ibu dan bayi. Untuk menjaga agar bayi tetap hangat,
tubuh ibu dan bayi harus berada dalam satu pakaian (merupakan teknologi tepat guna
baru) disebut sebagai Metoda Kanguru. Sebaiknya ibu menggunakan pakaian longgar
berkancing depan.
3. Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang disetrika
terlebih dahulu, yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukanlah
berulang kali sampai tubuh bayi hangat.
4. Biasanya bayi hipotermia menderita hipoglikemia, sehingga bayi harus diberi
ASI sedikit-sedikit sesering mungkin. Bila bayi tidak menghisap, diberi infus glukosa
10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.
5. Menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh bayi stabil. Untuk
mencegah terjadinya serangan dingin, ibu/keluarga dan penolong persalinan harus
menunda memandikan bayi.
6. Pada bayi baru lahir sehat yaitu lahir cukup bulan, berat >2500 gram, langsung
menangis kuat, maka memandikan bayi ditunda selama ± 24 jam setelah kelahiran.
Pada saat memnadikan bayi, gunakanlah air hangat.
7. Pada bayi lahir dengan resiko (tidak temasuk kriteria diatas), keadaan umum
bayi lemah atau bayi dengan berat lahir <2000 gram, sebaiknya bayi jangan
dimandikan, ditunda beberapa hari sampai keadaan umum membaik yaitu bila suhu
tubuh bayi stabil, bayi sudah lebih kuat dan dapat menghisap ASI dengan baik.
Sepuluh langkah proteksi termal untuk mencegah terjadinya hipotermia pada bayi baru lahir
(sholeh,dkk. 2014) :
Langkah ke 1 : Ruang melahirkan yang hangat
Selain bersih, ruang bersalin tempat ibu melahirkan harus cukup hangat dengan suhu ruangan
antara 25oC-28oC serta bebas dari aliran arus udara melalui jendela, pintu, ataupun dari kipas
angin. Selain itu sarana resusitasi lengkap yang diperlukan untuk pertolongan BBL sudah
disiapkan.
Langkah ke 2 : Pengeringan segera
Segera setelah lahir, bayi dikeringkan kepala dan tubuhnya, dan segera mengganti kain yang
basah dengan kain yang hangat dan kering. Kemudian diletakkan dipermukaan yang hangat
seperti pada dada atau perut ibunya atau segera dibungkus dengan pakaian hangat.
Langkah ke 3 : Kontak kulit dengan kulit
Kontak kulit dengan kulit adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah hilangnya panas
pada BBL, baik pada bayi-bayi aterm maupun preterm. Dada atau perut ibu merupakan
tempat yang sangat ideal bagi BBL untuk mendapatkan lingkungan suhu yang tepat.
Langkah ke 4 : Pemberian ASI
Pemberian ASI sesegera mungkin, sangat dianjurkan dalam jam-jam pertama kehidupan
BBL. Pemberian ASI dini dan dalam jumlah yang mencukupi akan sangat menunjang
kebutuhan nutrisi, serta akan berperan dalam proses termoregulasi pada BBL.
Langkah ke 5 : Tidak segera memandikan/menimbang bayi
Memandikan bayi dapat dilakukan beberapa jam kemudian (paling tidak setelah 6 jam) yaitu
setelah keadaan bayi stabil. Tindakan memandikan bayi segera setelah lahir akan
menyebabkan terjadinya penurunan suhu tubuh bayi. Menimbang bayi juga dapat ditunda
beberapa saat kemudian dan dianjurkan pada saat menimbang, timbangan yang digunakan
diberi alas kain hangat.
Langkah ke 6 : Pakaian dan selimut bayi adekuat
Kurang lebih 25% kehilangan panas dapat terjadi melalui kepala bayi sehingga BBL perlu
beberapa lapis pakaian serta selimut, dan diberi topi untuk mencegah kehilangan panas
tersebut.
Langkah ke 7 : Rawat gabung
Bayi-bayi yang dilahirkan dirumah ataupun di rumah sakit, perlu dijadikan satu dalam tempat
tidur yang sama dengan ibunya, selama 24 jam penuh dalam ruangan yang cukup hangat. Hal
ini akan sangat menunjang pemberian ASI on demand, serta mengurangi resiko terjadinya
infeksi nosokomial pada bayi-bayi yang lahir di rumah sakit.
Langkah ke 8 : Transpotasi hangat
Apabila bayi perlu segera dirujuk ke rumah sakit, atau ke bagian lain di lingkungan rumah
sakit seperti di ruang rawat bayi atau di NICU, sangat penting untuk selalu menjaga
kehangatan bayi selama dalam perjalanan.
Langkah ke 9 : Resusitasi hangat
Pada waktu melakukan resusitasi, perlu menjaga agar tubuh bayi tetap hangat. Hal ini sangat
penting karena bayi-bayi yang mengalami asfiksia, tubuhnya tidak dapat menghasilkan panas
yang cukup efesien sehingga mempunyai resiko tinggi menderita hipotermia.
Langkah ke 10 : Pelatihan dan sosialisasi rantai hangat
Semua pihak yang terlibat dalam proses kelahiran serta perawatan bayi (dokter, bidan,
perawat, dan lain-lain), perlu dilatih dan diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip serta
prosedur yang benar tentang rantai hangat. Keluarga dan anggota masyarakat yang
mempunyai bayi di rumah, perlu diberikan pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya
menjaga agar bayinya tetap hangat.
Ikterus neonatorum adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau
kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah melebihi
2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih belum terlihat
meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. ikterus terjadi karena peninggian
kadar bilirubin indirect (unconjugated) dan kadar bilirubin direct (conjugated). Bilirubin
indirect akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir
rendah, hipoksia dan hipoglikemia (Markum H, 2005).
Ikterus neonatorum adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa oleh
karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
darah. Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi baru lahir.
Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi baru lahir yang
terbagi menjadi ikterus fisiologi dan ikterus patologi.
Ikterus disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah
dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin dan darah
dewasa yang mampu menarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru.
Pengahncuran darah janin inilah yang menyebabkan terjadi icterus yang sifatnya fisiologis.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa kadar bilirubin indirek bayi cukup bulan sekitar
15 mg % sedangkan bayi cukup bulan 10 mg %. Di atas angka tersebut dianggap
hiperbilirubinemia, yang dapat membedakan kernikterus. (Manuaba, 2010)
Kernikterus adalah akumulasi bilirubin dalam jaringan otak sehingga dapat
mengganggu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai tempat akumulasi tersebut.
Kesimpulannya ikterus neonatorum adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan
mukosa oleh karena keadaannya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar
bilirubin darah yang sering ditemukan pada BBL yang terbagi ikterus fisiologis dan patalogis.
2.1.3 Macam-macam Ikterus
Macam-macam ikterus menurut Ngastiyah (2005) adalah sebagai berikut :
1. Ikterus Fisiologi
Ikterus Fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga yang
mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan, atau
mempunyai potensi menjadi kern-ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus ini biasanya menghilang pada akhir minggu pertama atau selambat-lambatnya 10 hari
pertama.
Ikterus dikatakan Fisiologis bila :
1. Timbul pada hari kedua sampai ketiga.
2. Kadar bilirubin indirek sesudah 2 - 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg % pada neonatus kurang bulan.
3. Kecepatan peninakatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.
4. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
5. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik (kern – ikterus)
6. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
2. Ikterus Patologik
Ikterus Patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologik atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologik ini
misalnya, jenis bilirubin, saat timbulnya dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya.
Menurut Ngastiyah (2005) Ikterus dikatakan Patologis bila :
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada
neonatus kurang bulan.
3. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
4. Ikterus menetap susudah 2 minggu pertama.
5. Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg%.
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Etiologi dan Faktor Resiko
1. Etiologi
Etiologi ikterus pada neonatus dapat berdiri sendiri atau disebabkan oleh beberapa
faktor menurut (Ngastiyah, 2005) :
1) Produksi yang berlebihan
Golongan darah Ibu - bayi tidak sesuai
Hematoma, memar
Spheratisosis kongental
Enzim G6PD rendah
2) Gangguan konjugasi hepar
Enzim glukoronil tranferasi belum adekuat (prematur)
3) Gangguan transportasi
Albumin rendah
Ikatan kompetitif dengan albumin
Kemampuan mengikat albumin rendah
4) Gangguan ekresi
Obstruksi saluran empedu
Obstruksi usus
Obstruksi pre hepatik
2. Faktor Resiko Ikterus
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih (ikterus nonfisiologis) menurut Moeslichan
(2004) dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dibawah ini :
a) Faktor Maternal
1) Rasa atau kelompok etnik tertentu.
2) Komplikasi dalam kehamilan (DM, inkontambilitas ABO, Rh)
3) Penggunakan oksitosin dalam larutan hipotonik.
4) ASI
5) Mengonsumsi jamu-jamuan
b) Faktor perinatal
1) Trauma lahir (chepalhematom, ekamosis)
2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c) Faktor Neonatus
1) Prematuritas
2) Faktor genetik
3) Obat (Streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)
4) Rendahnya asupan ASI (dalam sehari min. 8 kali sehari)
5) Hipoglikemia
6) Hiperbilirubinemia
Faktor yang berhubungan dengan ikterus menurut Prawihardjo (2005) :
1. Usia Ibu
2. Tingkat pendidikan
3. Tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi ikterus
4. Riwayat kesehatan Ibu
5. Masa gestasi
6. Jenis persalinan
7. Inkomtabilitas Rhesus
8. Inkomtabilitas ABO
9. Berat badan lahir
10. Asfiksia
11. Prematur
12. APGAR score
13. Asupan ASI
14. Terpapar sinar matahari
2.1.5 Tanda dan gejala
1. Tanda
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus menurut Surasmi (2003) yaitu :
a. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
b. Letargis (lemas)
c. Kejang
d. Tidak mau menghisap
e. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
f. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, episiototonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot.
g. Perut membuncit
h. Pembesaran pada hati
i. Feses berwarna seperti dempul
j. Tampak ikterus: sclera, kuku, kulit dan membrane mukosa.
k. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
2. Gejala
Gejala menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernicterus pada neonatus adalah
letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melenking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus
(bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis).
Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat kelahiran.
b. Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali pusat pada
setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan.
c. Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam pertama
kelahiran.
2.1.6 Penilaian
Penilaian ikterus secara klinis dengan menggunakan rumus KRAMER (Sri agung Lestari,
2009) :
No Luas Ikterus Kadar bilirubin (mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 dan badan bagian atas 9
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah
dan tungkai
11
4 Daerah 1,2,3 dan lengan dan kaki di
bawah dengkul
12
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16
Kern – Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama
pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus
pada dasar ventrikulus ke IV.
Tanda-tanda kliniknya adalah mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap,
tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus.
Pada umur yang lebih lanjut bila bayi hidup dapat terjadi spasme otot, opistotonus,
kejang, atetosis, yang disertai ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi dapat ditemukan
gangguan bicara dan retardasi mental.
2.1.8 Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi yang cukup bulan billirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2
dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mg/dl, tidak fisiologis. Pada bayi dengan
premature kadar billirubin mencapai puncaknya 10-12 mg/dl antara 5-7 hari kehidupan.
Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl adalah tidak fisiologis. Dari brown AK dalam text
books of pediatric 1996 : ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan, bilirubin indirek
munculnya ikterus 2-3 hari dan hilang 4-5 hari dengan kadar bilibirum yang mencapai
puncak 10-12 mg/dl. Sedangkan pada bayi dengan premature, bilirubin indirek muncul 3-4
hari dan hilang 7-9 hari dengan bilirubin mencapai puncak 15 mg/dl/ hari. Pada ikterus
patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl/hari dan kadar bilirubin direk lebih dari 1
mg/dl. Maisetes 1994 dalam Whaley dan wong 1999 : Meningkatnya kadar serum total lebih
dari 12-13 mg/dl.
2. Ultrasound untuk mengevalusi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dari
atresia billary.
2.1.9 Penatalaksanaan Ikterus
Pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa penyebab yang meungkin dan
memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal (fisiologis) ataukah
sudah patologis. Tujuan pengobatan adalah mencegah agar konsentrasi bilirubin indirect
dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksisitas, dianjurkan dilakukan
transfuse tukar dan atau fisioterapi. Resiko cidera susunan saraf pusat akibat bilirubin harus
diimbangi dengan resiko pengobatan masing-masing bayi. Kriteria yang harus dipergunakan
untuk memulai fototerapi. Oleh karena fototerapi membutuhkan waktu 12-24 jam, sebelum
memperlihatkan panjang yang dapat diukur, maka tindakan ini harus dimulai pada kadar
bilirubin, kurang dari kadar yang diberikan. Penggunaan fototerapi sesuai dengan anjuran
dokter biasanya diberikan pada neonatus dengan kadar bilirubin tidak lebih dari 10 mg%.
1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan ikterus secara umum menurut Surasmi (2003) antara lain yaitu :
a. Memeriksa golongan darah Ibu (Rh, ABO) dan lain-lain pada waktu hamil
b. Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir, yang dapat
menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi.
c. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan
bayi baru lahir imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
d. Pengobatan terhadap faktor penyebab bila diketahui.
2. Penatalaksanaan berdasarkan waktu timbulnya ikterus
Ikterus neonatorum dapat dicegah berdasarkan waktu timbulnya gejala dan diatasi
dengan penatalaksanaan di bawah ini
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama pemeriksaan yang dilakukan :
1) Kadar bilirubin serum berkala
2) Darah tepi lengkap
3) Golongan darah ibu dan bayi diperiksa
4) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD biakan darah atau biopsy hepar bila perlu.
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahir. Pemeriksaan yang perlu diperhatikan.
1) Bila keadaan bayi baik dan peningkatan tidak cepat dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi .
2) Periksa kadar bilirubin berkala.
3) Pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya.
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama Ikterus yang timbul
pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.
Pemeriksaan yang dilakukan :
1) Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect berkala
2) Pemeriksaan darah tepi
3) Pemeriksaan penyaring G6PD
4) Biarkan darah, biopsy hepar bila ada indikasi
3. Ragam Terapi
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera
mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan
yang ada.
a) Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah
kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah laurt dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati.
Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga
menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari
sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12
buah dan disusun secara parallel. Dibagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy
glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh
pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kalamin harus ditutup dengan menggunakan kain
kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui,
pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian
retinanya, begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi
itu, seperti kemandulan.
b) Terapi transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi taka da perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat
hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfuse darah.
Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern
ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motoric dan
bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi sudah teracuni
akan dibuang dan ditukar dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan bertahap.
Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang
menggembirakan, maka terapi transfuse bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu
dilakukan proses transfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman
penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu,
terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
c) Terapi obat-obatan
Terapi lainya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital atau luminal
untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya
indirect berubah jadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin
yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ
hati. Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika
sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihenntikan. Efek
sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI
sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu
peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, teapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk
menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil bisa ditangani (revel-
indonesia.com)
d) Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu
bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi
yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.
e) Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan
setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam
dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya,
seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan anatara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Inillah
waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Dibawah jam tujuh, sinar
ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam Sembilan kekuatannya sudah terlalu
tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi disekeliling, keadaan udara
harus bersih.
Caput succedaneum adalah edema kulit kepala anak yang terjadi karena tekanan dari
jalan lahir kepada kepala anak. Atau pembengkakan difus, kadang-kadang bersifat ekimotik
atau edematosa, pada jaringan lunak kulit kepala, yang mengenai bagian kepala terbawah,
yang terjadi pada kelahiran verteks. Karena tekanan ini vena tertutup, tekanan dalam vena
kapiler meninggi hingga cairan masuk ke dalam jaringan longgar dibawah lingkaran tekanan
dan pada tempat yang terendah. Dan merupakan benjolan yang difus kepala, dan melampaui
sutura garis tengah. (Obstetri fisiologi, UNPAD.1985)
Caput succedaneum ini ditemukan biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi
bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran
serum dari pembuluh darah. Caput succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan
biasanya menghilang setelah 2-5 hari.(Sarwono Prawiroharjo.2002)
Kejadian caput succedaneum pada bayi sendiri adalah benjolan pada kepala bayi akibat
tekanan uterus atau dinding vagina dan juga pada persalinan dengan tindakan vakum
ekstraksi.(Sarwono Prawiroharjo.2002)
Caput succedaneum adalah edema di kulit kepala pada bagian presentasi kepala. Dapat
mengenai area kepala secara luas, atau hanya sebesar telur itik, pembengkakan dapat
mencapai garis sutura dan edema ini secara bertahap diabsorpsi dan menghilang dlam 3 hari.
(Adele Pilliteri.2002)
2.1.2 Etiologi
Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya caput succedaneum pada bayi baru
lahir(Obstetri fisiologi,UNPAD, 1985, hal 254), yaitu :
1. Persalinan lama
Dapat menyebabkan caput succedaneum karena terjadi tekanan pada jalan lahir yang terlalu
lama, menyebabkan pembuluh darah vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi
hingga cairan masuk kedalam cairan longgar dibawah lingkaran tekanan dan pada tempat
yang terendah.
1. Persalinan dengan ekstraksi vakum
Pada bayi yang dilahirkan vakum yang cukup berat, sering terlihat adanya caput vakum
sebagai edema sirkulasi berbatas dengan sebesar alat penyedot vakum yang digunakan.
2.1.3 Patofisiologi
Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir
sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke
jaringan ekstra vaskuler. Benjolan caput ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan
sedikit darah. Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di
daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk mengecilkan
lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya moulage ini ditemukan pada
sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi lahir. Moulage ini umumnya jelas terlihat pada
bayi premature dan akan hilang sendiri dalam satu sampai dua hari.
Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, proses perjalanan penyakit
caput succedaneum adalah sebagi berikut :
1. Pembengkakan yang terjadi pada kasus caput succadeneum merupakan
pembengkakan difus jaringan otak, yang dapat melampaui sutura garis tengah.
2. Adanya edema dikepala terjadi akibat pembendungan sirkulasi kapiler dan limfe
disertai pengeluaran cairan tubuh. Benjolan biasanya ditemukan didaerah presentasi
lahir dan terletak periosteum hingga dapat melampaui sutura.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E, Behrman.dkk.2000), tanda dan
gejala yang dapat ditemui pada anak dengan caput succedaneum adalah sebagi berikut :
1. Adanya edema dikepala
2. Pada perabaan teraba lembut dan lunak
3. Edema melampaui sela-sela tengkorak
4. Batas yang tidak jelas
5. Biasanya menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Sebenarnya dalam pemeriksaan caput succedaneum tidak perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut melihat caput succedaneum sangat mudah untuk dikenali. Namun juga
sangat perlu untuk melakukan diagnosa banding dengan menggunakan foto rontgen (X-Ray)
terkait dengan penyerta caput succedaneum yaitu fraktur tengkorak, koagulopati dan
perdarahan intrakranial. (Meida.2009)
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E, Behrman.dkk.2000),
Pembengkakan pada caput succedaneum dapat meluas menyeberangi garis tengah atau garis
sutura. Dan edema akan menghilang sendiri dalam beberapa hari. Pembengkakan dan
perubahan warna yang analog dan distorsi wajah dapat terlihat pada kelahiran dengan
presentasi wajah. Dan tidak diperlukan pengobatan yang spesifik, tetapi bila terdapat
ekimosis yang ektensif mungkin ada indikasi melakukan fisioterapi dini untuk
hiperbilirubinemia.
Moulase kepala dan tulang parietal yang tumpang tindih sering berhubungan dengan adanya
caput succedaneum dan semakin menjadi nyata setelah caput mulai mereda, kadang-kadang
caput hemoragik dapat mengakibatkan syok dan diperlukan transfusi darah.
Berikut adalah penatalaksanaan secara umum yang bisa diberikan pada anak dengan caput
succedaneum :
1. Bayi dengan caput succedaneum diberi ASI langsung dari ibu tanpa makanan
tambahan apapun, maka dari itu perlu diperhatikan penatalaksanaan pemberian ASI
yang adekuat dan teratur.
2. Bayi jangan sering diangkat karena dapat memperluas daerah edema kepala.
3. Atur posisi tidur bayi tanpa menggunakan bantal
4. Mencegah terjadinya infeksi dengan :
1) Perawatan tali pusat
2) Personal hygiene baik
1. Berikan penyuluhan pada orang tua tentang :
1) Perawatan bayi sehari-hari, bayi dirawat seperti perawatan bayi normal.
2) Keadaan trauma pada bayi , agar tidak usah khawatir karena benjolan akan menghilang 2-
3 hari.
1. Berikan lingkungan yang nyaman dan hangat pada bayi.
2. Awasi keadaan umum bayi.
2.2 Cephal Hematom
2.2.1 Pengertian
Cephal hematom adalah perdarahan subperiosteal akibat kerusakan jaringan poriesteum
karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah melampaui batas sutura garis
tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang temporal atau parietal ditemukan
pada 0,5 – 2 % dari kelahiran hidup. (Prawiraharjo,Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)
Menurut Abdul Bari Saifudin, cephal hematoma adalah pendarahan sub periosteum akibat
keruasakan jaringan periosteum karena tarikan/tekanan jalan lahir dan tidak pernah
melampaui batas sutura garis tengah.(Ika Nugroho.2011)
Gambar 2. Cephal hematom
2.2.2 Klasifikasi
Menurut letak jaringan yang terkena ada 2 jenis yaitu(Ika Nugroho.2011) :
1. Subgaleal
Galea merupakan lapiasan aponeurotik yang melekat secara longgar pada sisi sebelah dalan
periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di daerah ini dapat tercabik sehingga
mengakibatkan hematoma yang berisi sampai sebanyak 250 ml darah. Terjadi anemia dan
bisa menjadi shock. Hematoma tidak terbatas pada suatu daerah tertentu (Oxorn, Harry,
1996).
Penyebabnya adalah perdarahan yang letaknya antara aponeurosis epikranial dan periosteum.
Dapat terjadi setelah tindakan ekstraksi vakum. Jarang terjadi karena komplikasi tindakan
mengambil darah janin untuk pemeriksaan selama persalinan, risiko terjadinya terutama pada
bayi dengan gangguan hemostasis darah.
Sedangkan untuk kadang-kadang sukar didiagnosis, karena terdapat edema menyeluruh pada
kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat dibandingkan dengan perdarahan subperiosteal,
bahaya ikterus lebih besar.
1. Subperiosteal
Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis sutura, maka hematoma
terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-sutura tersebut. Jumlah darah pada tipe
subperiosteal ini lebih sedikit dibandingkan pada tipe subgaleal, fraktur tengkorak bisa
menyertai.
Gambaran Klinis : kulit kepala membengkak. Biasanya tidak terdeteksi samapai hari ke 2
atau ke 3. Dapat lebih dari 1 tempat. Perdarahan dibatasi oleh garis sutura, biasanya di daerah
parietal.
Perjalanan Klinis dan Diagnosis : Pinggirnya biasanya mengalami klasifikasi. Bagian tengah
tetap lunak dan sedikit darah akan diserap oleh tubuh. Mirip fraktur depresi pada tengkorak.
Kadang-kadang menyebabkan ikterus neonatorum.
2.2.3 Etiologi
Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, cephal hematom dapat terjadi
karena :
1. Persalinan lama
Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis ibu
terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya pembuluh darah.
1. Tarikan vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat menyebabakan
penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan
periosteum.
1. Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
2.2.4 Patofisiologi
Kadang-kadang, cephal hematom terjadi ketika pembuluh darah pecah selama persalinan atau
kelahiran yang menyebabkan perdarahan ke dalam daerah antara tulang dan periosteum.
Cedera ini terjadi paling sering pada wanita primipara dan sering berhubungan dengan
persalinan dengan forsep dan ekstraksi vacum. Tidak seperti kapu suksedaneum, cephal
hematoma berbatas tegas dan tidak melebar sampai batas tulang. Cephal hematom dapat
melibatkan salah satu atau kedua tulang parietal. Tulang oksipetal lebih jarang terlibat, dan
tulang frontal sangat jarang terkena. Pembengkakan biasanya minimal atau tidak ada saat
kelahiran dan bertambah ukuranya pada hari kedua atau ketiga. Kehilangan darah biasanya
tidak bermakna.(Wong,2008)
Menurut FK. UNPAD. 1985 dalam Obstetri Fisiologi Bandung, peroses perjalanan penyakit
cephal hematom adalah :
1. Cephal hematom terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang
kepala ke jaringan poriosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada
persalinan lama. Akibat pembuluh darah ini timbul timbunan darah di daerah sub
periosteal yang dari luar terlihat benjolan.
2. Bagian kepala yang hematoma bisanya berwarna merah akibat adanya penumpukan
daerah yang perdarahan subperiosteum.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Berikut ini adalah tanda-tanda dan gejala Cephal hematom.(Menurut Prawiraharjo,
Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan):
1. Adanya fluktuasi
2. Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah bayi lahir .
3. Adanya cephal hematom timbul di daerah tulang parietal. Berupa benjolan timbunan
kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih teraba. Sebagian benjolan keras sampai
umur 1-2 tahun.
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan X-Ray tengkorak dilakukan bila dicurigai adanya fraktur (mendekati hampir 5%
dari seluruh cephal hematom). Dan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai kadar bilirubin,
hematokrit, dan hemoglobin.(Alpers, ann.2006)
2.2.7 Penatalaksanaan
Tidak diperlukan penanganan untuk cephal hematom tanpa komplikasi. kebanyakan lesi
diabsorbsi dalam 2 minggu sampai 3 bulan. Lesi yang menyebabkan kehilangan darah hebat
ke daerah tersebut atau yang melibatkan fraktur tulang di bawahnya perlu evaluasi lebih
lanjut. Hiperbilirubinemia dapat tejadi selama resolusi hematoma ini. Infeksi lokal dapat
terjadi dan harus dicurigai bila terjadi pembengkakan mendadak yang bertambah besar.
(Wong.2008)
Menurut Ida Bagus Gde Manuaba 1998, cephal hematoma umumnya tidak memerlukan
perawatan khusus. Biasanya akan mengalami resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu
tergantung dari besar kecilnya benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini
akan agak lama menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :
1. Menjaga kebersihan luka.
2. Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan cephal hematoma.
3. Pemberian vitamin K.
4. Bayi dengan cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya karena
pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih.
5. Pemantauan bilirubinia, hematokrit, dan hemoglobin.
6. Aspirasi darah dengan jarum suntik tidak diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of
Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-Hill,
1989. 1091-1099.
2. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C P) diagnostik
dan terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.
3. Anonim. Ikterus. Http://ilmukedokteran.net.
4. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.
5. Anonim. Gallensteine. Http://www.internisten-im-netz.de.
6. Campbell FC. Jaundice. Http://www.qub.ac.uk.
7. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).
Http://www.nlm.nih.gov.
8. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2006. 422-425.
9. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series,
2006.
10. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL. Harrison‟s Principles of Internal Medicine Vol.1.16th ed.
USA, Mc GrawHill, 2005.p.240