Download - Referat MG
Elisa Soetanto | 406138065
BAB 1
PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit kronik neuromuscular yang
dapat menyebabkan berbagai derajat disfungsi neurologi. Meskipun penyebab dari
penyakit ini tidak diketahui dengan jelas, peran dari respon imun pada pathogenesis
penyakit ini telah dibuktikan (adanya antibodi yang menyerang langsung pada
reseptor asetilkolin)1.
Penyakit autoimun ini dikarakteristikan dengan adanya kelemahan otot yang
fluktuasi, dimana semakin parah apabila digunakan dan membaik dengan istirahat.
Pada sekitar dua pertiga pasien, keterlibatan otot ekstrinsik mata ditemukan sebagai
gejala awal, biasanya bersifat progresif yang melibatkan otot bulbar dan otot – otot
anggota tubuh dan mengakibatkan generalized Myasthenia Gravis (gMG). Pada 10%
pasien Myasthenia Gravis, gejala yang timbul terbatas pada otot ekstrinsik mata,
yang disebut ocular MG (oMG). 2
Jenis kelamin dan usia juga berperan pada insidensi terjadinya MG. Usia
dibawah 40 tahun, ratio antara perempuan dan laki – laki adalah 3:1 ; akan tetapi
pada usia 40 – 50 tahun dan juga selama pubertas, insiden terjadinya secara kasar
seimbang. Pada usia lebih dari 50 tahun lebih sering terjadi pada laki – laki. MG
pada anak- anak jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, tetapi di Negara –
Negara Asia, hampir 50% pasien MG timbul onset penyakit ini pada usia kurang dari
15 tahun, terutama yang hanya dengan manifestasi ocular.2
1
Elisa Soetanto | 406138065
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi
Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang
mempengaruhi Neuromuscular Junction (NMJ) pada tingkat post sinaps.1
MG merupakan penyakit neuromuscular junction yang paling sering
ditemukan, didapat, dan termasuk pada penyakit autoimun yang diperantarai
oleh antibody.3
Meskipun penyebab dari kelainan ini ditak diketahui dengan pasti,
kondisi ini disebabkan oleh sensitisasi sel T-helper dan immunoglobulin
antibody G (IgG) yang langsung menyerang pada reseptor asetilkolin
nikotinik pada neuromuscular junction.1
2.2 Fisiologi Transmisi Neuromuskular
Neuromuskular junction adalah koneksi sinaps yang dibentuk antara
axon motor neuron dan serat – serat otot yang dipersyarafinya. Transmiter
yang digunakan pada neuromuscular junction adalah asetilkolin, yang
disimpan didalam presinaps dari saraf motorik.3 Neuromuskular junction
terdiri dari saraf terminal, celah sinaps dan terdapat banyak lipatan
postjunctional pada membrane otot. Terminal saraf merupakan tempat sintesis
dan penyimpanan dari asetilkolin.1
Ketika terjadinya depolarisasi, potensial aksi pada terminal pre sinaps,
voltage-dependent calcium channel teraktivasi, sehingga menimbulkan influx
kalsium yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dari terminal pre sinaps.
2
Elisa Soetanto | 406138065
Asetilkolin akan berdifusi ke celah sinaps dan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AchR) pada membrane post sinaps, yang menghasilkan end-plate
potential (EPP).1
Pada kedaan normal, EPP selalu meningkat diatas batas ambang, yang
menghasilkan potensial aksi serat otot. Amplitudo dari EPP diatas nilai
ambang diperlukan untuk menghasilkan potensial aksi serat otot yang disebut
sebagai safety factor. Pada pasien yang mempunyai gangguan pada transmisi
neuromuscular, safety factor ini berkurang.1
Pada pasien dengan gangguan NMJ, stimulai saraf berulang dapat
menyebabkan penurunan dari amplitude EPP. Dengan berkurangnya safety
factor, EPP pada beberapa serat otot akan jatuh dibawah nilai ambang dan
potensial aksi tidak dapat dihasilkan.1
2.3 Patogenesis
Pada generalized MG, antibody AchR ditemukan hampir pada 90%
pasien, sedangkan pada pasien yang murni ocular MG, hanya sekitar 50%
pasien dengan antibody positif. Tiga subtype dari AchR antibody yang telah
teridentifikasi antara lain : binding, blocking, modulating. Semua ini
menyebabkan hilangnya reseptor Ach pada membrane post sinaps dengan
degradasi reseptor yang dipercepat atau blockade reseptor.3
Antibodi selain terhadap AchR, juga ditemukan pada pasien dengan
Myasthenia Gravis, termasuk antibodi untuk protein lain pada neuromuscular
junction post sinaps seperti muscle-spesific kinase (MuSK), yang ditemukan
pada sekitar 40% pasien Mg yang tidak mempunyai antibody AchR. MuSK
antibody telah dibuktikan menganggu fungsi neuromuscular junction dengan
3
Elisa Soetanto | 406138065
mempengaruhi maintenance dari kumpulan AChR pada lempeng akhir otot
(muscle endplate), sehingga mengurangi jumlah dari fungsi AChRs. Pada
pasien yang tidak mempunyai antibody terhadap AChR maupun MuSK
disebut sebagai seronegatif MG, antibody pada protein otot lurik seperti titin
dan reseptor ryanodine terkadang dapat ditemukan.2,3 Antibodi yang
diproduksi melalui proses yang diperantarai sel T diperkirakan terkait dengan
disfungsi thymus. Hiperplasia thymus lymphofollicular ditemukan pada 70%
pasien dengan Myasthenia Gravis. Thymoma, tumor epithelial pada timus,
ditemukan pada 10% pasien MG. Dari antibody pada otot yang disebutkan
sebelumnya, thymoma terkait dengan antobodi yang melawan AChR, titin,
dan reseptor ryanodine.3
Kerusakan dasar pada myasthenia gravis ditandai dengan adanya
penurunan jumlah Ach reseptor pada membrane post sinaps di neuromuscular
junction. Gambaran klinis kelemahan yang terlihat pada pasien myasthenia
gravis merupakan hasil dari kegagalan efektivitas transmisi neuromuscular
junction pada sisi post sinaps. Berkurangnya reseptor asetilkolin dalam
jumlah banyak dan adanya aktivitas kompetisi dengan anti-AChR antibody
menghasilkan potensial amplitudo pada post sinaps yang tidak cukup untuk
disalurkan ke beberapa serat otot.4
Transmisi neuromuscular terganggu dengan berbagai cara: (1)
antibodi yang menghambat pengikatan ACh terhadap AChR; (2) serum IgG
pada pasien MG telah terbukti menginduksi peningkatan degradasi pada
AChR; (3) Antibodi menyebabkan penghancuran yang diperantarai oleh
komplemen pada lipatan post sinaps (Engel and Arahata).4
4
Elisa Soetanto | 406138065
2.4 Manifestasi Klinis
Tanda cardinal dari myasthenia gravis adalah kelemahan yang
berfluktuasi yang merupakan kelelahan, semakin memburuk apabila
melakukan aktivitas yang berulang dan membaik dengan beristirahat.
Kelemahan ini juga diperburuk dengan paparan panas, infeksi dan stress.
Gambaran yang berfluktuasi ini yang membedakan myasthenia gravis dengan
penyakit lainnya yang mempunyai gambaran kelemahan juga.2
Tanda klinis yang ditemukan termasuk ptosis, diplopia, disartria,
disfagia, dan kelemahan otot pernapasan dan anggota tubuh. Khusunya,
kelemahan ini melibatkan otot – otot rangka yang spesifik.3 Distribusi dari
kelemahan ini umumnya adalah ocular, bulbar, ekstremitas proksimal dan
leher, dan pada beberapa pasien melibatkan otot pernapasan.2
Meskipun gejala awal pada MG secara khusus melibatkan otot ocular
pada sekitar 60% pasien, sebenarnya keterlibatan otot ocular terdapat pada
semua pasien dalam 2 tahun setelah dari onset penyakit.1 Kelemahan otot
ocular biasanya bilateral dan asimetri, menyebabkan diplopia, ptosis atau
keduanya. Pupil tidak terganggu. Pada akhirnya hampir semua pasien
myasthenia gravis akan timbul gejala ocular dan pada beberapa pasien
penyakit ini hanya terbatas pada otot ekstraokular.3 Kelemahan pada
myasthenia dapat menyerupai seperti kelumpuhan pada nervus III, IV dan VI.
Tetapi tidak seperti kelumpuhan pada nervus III, myasthenia gravis tidak
pernah mempengaruhi fungsi pupil.
Ptosis sering ditemukan dan mungkin terjadi ketika pasien sedang
membaca atau mengemudi dalam waktu yang lama, dapat unilateral maupun
bilateral. Melihat kearah atas selama 30 detik atau lebih juga dapat
5
Elisa Soetanto | 406138065
menimbulkan terjadinya ptosis. Ptosis yang cukup parah dapat menutup
penglihatan jika terjadi bilateral. Otot ekstraokular yang paling sering terlibat
adalah rektus medialis. Pada pemeriksaan klinis biasanya ditemukan lebih
dari satu otot ekstraokular yang terlibat, tanpa mempengaruhi pupil. Diplopia
dapat ditimbulkan dengan menyuruh pasien untuk melihat kearah lateral
selama 20 – 30 detik, yang disebabkan karena kelelahan dari otot mata.2
Dalam satu tahun pertama dari onset penyakit, hampir 75 % pasien
menimbulka gejala generalized. Gejala bulbar sering ditemukan seperti
disartia, disfagia, kelemahan otot wajah, dan kelemahan dalam mengunyah.
Karena kelemahan pada palatal, pasien sering berbicara melalui hidung
(nasal speech) dan dapat terjadi regurgitasi cairan melalui hidung.
Manifestasi dari bulbar ini yang sering menyebabkan gejala kecacatan.
Kelemahan anggota gerak dan tubuh biasanya distribusi lebih besar terjadi
pada bagian proksimal dibanding dengan bagian distal. Lengan lebih sering
terlibat dibanding dengan tungkai.3 Hal ini menyebabkan terkadang pasien
mengeluh kesulitan dalam menggapai dengan tangannya atau kesulitan untuk
bangun dari duduk.1 Kelemahan otot respirasi dapat menyebabkan krisis
myasthenia yang bersifat life-threatening, sehingga memerlukan ventilator
dan naso-gastric tube feeding (NGT). Hal ini dapat ditimbulkan oleh infeksi
dan beberapa obat – obatan seperti aminoglikosida, telithromycin,
neuromuscular blocing agent, magnesium sulfate, beta bloker, dan antibiotic
fluorokuinolon.2
Otot wajah sering terlibat dan menyebabkan pasien tampak seperti
tidak mempunyai ekspresi wajah. Otot ekstensor dan fleksor pada leher juga
dapat terlibat sehingga menyebabkan dropped head syndrome.2 Juga dapat
6
Elisa Soetanto | 406138065
ditemukan rahang pasien yang terlihat jatuh kebawah, sehingga harus
ditopang oleh tangan pasien, kesulitan dalam mengunyah makanan yang
keras dan pasien harus menghentikan makan nya karena ketidakmampuan
untuk mengunyah dan menelan. Mungkin akan lebih sulit untuk makan
setelah berbicara, suara menjadi lemah dan menggunakan suara hidung
setelah percakapan yang lama. Dalam kasus kelemahan generalized, terdapat
kesulitan dalam menahan flatus akibat kelemahan dari spincter rectal
eksternus.4
Kelemahan otot pada myasthenia gravis mengalam atrofi dengan
derajat yang ringan atau bahkan tidak sama sekali. Rekflek tendon jarang
terpengaruh. Otot polos dan otot jantung tidak terlibat dan fungsi neural
lainnya aman. Parestesi pada wajah, tangan dan paha jarang dilaporkan tetapi
hal ini tidak disertai dengan hilangnya sensoris yang terbukti.4
2.5 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America , myasthenia
gravis diklasifikasikan menjadi :4
Kelas 1
Adanya kelemahan otot okular
Kelemahan pada saat menutup mata
Kekuatan otot – otot lainnya dalam batas normal
Kelas 2
Kelamahan ringan pada otot selain otot okular
Kelemahan pada otot okular dalam berbagai tingkat keparahan
7
Elisa Soetanto | 406138065
Kelas 2a
Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak dan aksial atau
keduanya
Kelemahan pada otot – otot orofaringeal yang ringan juga dapat
ditemukan
Kelas 2b
Secara dominan mempengaruhi otot – otot orofaringeal, otot
pernapasan atau keduanya
Kelemahan yang ringan atau sama pada otot – otot anggota gerak ,
aksial atau keduanya juga dapat ditemukan
Kelas 3
Kelehaman sedang pada otot selain otot okular
Terdapat kelemahan otot okular dalam berbagai derajat keparahan
Kelas 3a
Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak, otot aksial atau
keduanya
Kelemahan ringan pada otot orofaringeal juga dapat ditemukan
Kelas 3b
Secara dominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya
Kelemahan yang ringan atau sama pada otot anggota gerak, oto aksial
atau keduanya juga dapat ditemukan
Kelas 4
Kelemahan berat pada otot selain otot okular
Kelemahan pada otot okular dalam berbagai tingkat keparahan
8
Elisa Soetanto | 406138065
Kelas 4a
Secara dominan mempengaruhi otot anggota gerak dan atau otot
aksial
Kelemahan yang lebih ringan pada otot orofaringeal dapat ditemukan
Kelas 4b
Secara dominan mempengaruhi otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya
Kelemahan yang lebih ringan atau sama pada otot anggota gerak, otot
aksial atau keduanya
Kelas 5
Intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik
Klasifikasi lainnya seperti berdasarkan Compston dkk, mengajukan
klasifikasi berdasarkan usia, onset, ada atau tidaknya timoma, kadar antibody
AChR, dan terkait dengan Human Leukocyte Antigen (HLA). Sistem ini
mengklasifikasikannya sebagai berikut : 4
1. Myasthenia Gravis dengan thymoma – Tidak terkait dengan jenis
kelamin atau HLA, kadar antibody AChR yang tinggi
2. Onset sebelum usia 40 tahun, tidak ada thymoma – lebih banyak pada
wanita dan terkait dengan peningkatan HLA A1, B8, dan DRW3
antigen
3. Onset setelah usia 40 tahun, tidak ada thymoma – lebih banyak pada
pria, terkait dengan peningkatan HLA A3, B7, dan DRW2 antigen,
kadar antibody AChR rendah
9
Elisa Soetanto | 406138065
Subtipe dari Myasthenia Gravis secara besar diklasifkasikan sebagai
berikut :2
1. Onset awal MG: usia < 50 tahun, hyperplasia timus, umumnya
perempuan
2. Onset lambat MG: usia >50 tahun, atrofi timus, umumnya laki – laki
3. Thymoma – associated MG (10%-15%)
4. MG dengan antibody MUsK
5. Ocular MG (oMG) : gejala yang timbul hanya mempengaruhi otot
ekstraokular
6. MG dengan AChR dan MUsK antibody yang tidak terdeteksi
2.6 Diagnosis
Pada pasieng dengan gejala perubahan diplopia atau ptosis dan gejala
khas myasthenia gravis pada wajah – kelopak mata turun yang tidak simetris,
rahang yang tampak tergantung sehingga memerlukan topangan oleh tangan
pasien – diagnosis dapat disimpulkan. Akan tetapim hanya sebagian kecil
pasien yang memberikan gambaran seluruh gejala tersebut. Ptosis, diplopia,
dan kesulitan dalam berbicara atau menelan, kelemahan pada anggota gerak
sering keliru dengan gejala dari penyakit serebrovaskular.4
Pemeriksaan Laboratorium. Tes yang paling sensitive dan spesifik
pada myasthenia gravis adalah ditemukannya antibody terhadap reseptor
asetilkolin (AChR-Ab). Akan tetapi tidak semua pasien MG mempunya
antibody AChR yang positif. Pada 45% sampai 65% pasieng dengan ocular
MG mempunyai antibodi positif sedangkan pada hampir 90% pasien dengan
10
Elisa Soetanto | 406138065
generalized MG mempunyai antibody positif. Ditemukannya antibody AChR
pada tubuh pasien tidak berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.1
Screening antibody pertama kali harus AChR- binding antibody, karena
antibody ini meruakan yang paling sensitive. Jika hasilnya negative baru
dilakukan tes untuk AChR-modulating antibody untuk memperluas hasil
diagnostic. Tes untuk AChR-blocking antibody tidak meningkatkan
sensitifitas. Pada pasien dengan antibody AChR yang negative, antibody
terhadap MUsK dapat ditemukan. Pasien dengan thymoma dapat ditemukan
antibody terhadap protein otot ryanodine dan titin.3
Radiografi. Pada sekitar 20% pasien dengan MG terdapat thymoma
sedangkan sekitar 70% pasien lainnya ditemukan hyperplasia. Untuk
menyingkirkan abnormalitas ini, pada semua pasien MG harus dilakukan CT
Scan pada thorax denga kontras. 1
Tensilon (Edrophonium Chloride) Test. Edrophonium chloride
merupakan short-acting acetylcholinesterase inhibitor yang memperpanjang
durasi dari kerja asetilkolin pada neuromuscular junction. Edrophonium
diberikan secara intravena dan pasien di observasi untuk melihat perbaikan
objektif pada kekuatan otot terutama pada ptosis dan atau pergerakan otot
ekstraokular. Hanya perbaikan kekuatan otot yang jelas, yang dinyatakan
sebagai hasil positif. Pasien harus dimonitor jantung dan tekanan darah dari
sebelum pemberian injeksi karena adanya resiko terjadi hipotensi dan aritmia.
Atropin juga harus disediakan untuk mengatasi jika timbulnya efek samping
seperti bradikardi yang berat (heart rate dibawah 37). Efek samping dari
efrophonium antara lain peningkatan salivasi dan keringat, mual, kram perut,
dan fasikulasi otot. Hipotensi dan bradikardi merupakan hal yang jarang dan
11
Elisa Soetanto | 406138065
biasanya dapat diatasi dengan istirahat pada posisi berbaring (supine). Tes
tensilom mempunyai sensitivitas 71.5% - 95% dalam menegakan diagnosis
MG.2 Total edophronium yang diberikan adalah 10 mg. Tes dosis kecil (2mg)
di injeksi secara intravena dan jika setelah 1 menit tidak terdapat perbaikan
pada kekuatan otot, maka dosis sisanya diberikan secara perlahan. Efek dari
edrophonium biasanya berlangsung kurang dari 10 menit.1
Prostigmin Test. Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½
mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-
gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.4
Ice Pack Test. Tes ini merupakan tes non farmakologi yang
dipertimbangkan pada pasien dengan ptosis yang memiliki kontraindikasi
untuk dilakukan tes edrophonium. Tes ini dilakukan dengan meletakan es
diatas mata selama 2 – 5 menit kemudian menilai perbaikan pada ptosis.2
Electrophysiological Tests. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) -
Karakteristik miastenia adalah pengurangan cepat pada amplitudo potensi
aksi otot gabungan yang dibangkitkan selama serangkaian rangsangan
berulang pada saraf perifer pada tingkat 3 per detik (respon decremental ).
Pembalikan respons ini oleh neostigmine atau edrophonium telah
menemukan konfirmasi yang dapat diandalkan dalam banyak kasus. Sebuah
respons decremental terhadap rangsangan biasanya dapat diperoleh dari
wajah, tangan, atau otot ekstremitas proksimal, yang mungkin atau tidak
lemah secara klinis. Selama fase progresif penyakit atau selama terapi steroid,
sedikit respon incremental awal dapat diperoleh, jangan dibingungkan dengan
12
Elisa Soetanto | 406138065
tanda respon incremental setelah kontraksi volunter yang mencirikan sindrom
Lambert-Eaton. Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial
aksi.2
Single-fiber Electromyography (SFEMG) - Menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber
density yang normal.2
2.7 Diangosis Banding
Pada pasien dengan generalized MG, diagnosis bandingnya antara lain
Lambert – Eaton Myasthenia Syndrome, botulism, dan miopati. Pada okular
MG, diagnosis bandingnya termasuk eksternal opthalmoplegi yang progresif,
penyakit tiroid, dan distrofi otot okulofaringeal. Penyakit motor neuron,
stroke batang otak, diphtheria dan botulism harus dipertimbangkan pada
pasien MG dengan gejala bulbar yang dominan.3 Pada beberapa pasien,
myasthenia gravis dapat disebabkan oleh obat – obat tertentuk seperti
beberapa obat antiaritmua, D-penicillamin, dan antimalarial. Disamping itu
juga terdapat obat yang memperburuk gejala pada pasien myasthenia gravis
(tabel.2).1
13
Elisa Soetanto | 406138065
Tabel.1Kondisi neurologi yang menyerupai
Myasthenia Gravis1
Tabel.2Obat – obatan yang dapat menyebabkan atau memperberat Myasthenia Gravis1
14
Elisa Soetanto | 406138065
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari terapi pada pasien dengan myasthenia gravis adalah
mencapai kondisi pasien untuk tidak menggunakan obat dalam dosis rumatan
dan bebas dari gejala. Pada umumnya, sebagian banyak pasien bebas dari
gejala myasthenia gravis tetapi tetap harus menggunakan obat – obatan
imunosupresif dalam dosis rendah.1 Penatalaksanaan terapi dipertimbangkan
berdasarkan dari tingkat keparahan individual. Terdapat dua pendekatan
penatalaksanaan pada pasien myasthenia gravis berdasarkan dari
patofisiologinya. Pertama, meningkatkan jumlah kadar asetilkolin sehingga
dapat berikatan dengan reseptor pada post sinaps dengan memberikan agen
asetilkolinesterase inhibitor. Kedua, menggunakan obat imunosupresif yang
dimana menurunkan antibody AChR.2
Terdapat empat basis terapi yang digunakn pada pasien myasthenia
gravis :2
(i) Terapi simtomatik dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase
(ii) Terapi imunomodulator jangka pendek dengan menggunakan
plasmaferesis dan intravenous immunoglobulin
(iii) Terapi imunomodulator jangka lama dengan menggunakan
glukokortikoid dan obat imunosupresan lainnya
(iv) Terapi operatif
Asetilkolinesterase Inhibitor. Asetilkolinesterase inhibitor
merupakan first-line therapy untuk myasthenia gravis. Obat ini digunakan
sebagai terapi simtomatik dan bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin
pada neuromuscular junction.2 Asetilkolinesterase inhibitor sangat efektif
apabila diberikan pada onset awal penyakit dan dimana jumlah reseptor
15
Elisa Soetanto | 406138065
asetilkolin masih banyak. Pada pasien dengan penyakit yang sedang, agen ini
dapar diberikan sebagai obat tunggal tanpa obat imunosupresi.3 Pyridostigmin
merupakan obat yang paling sering digunakan. Obat ini mempunya onset
kerja yang cepat dalam 15 – 30 menit mencapai kadar puncak dalam 2 jam.
Efek obat ini berlangsung sekitar 3 – 4 jam dan dinaikan dosisnya sesuai
dengan respon pasien. Efek samping dari pyridostigmin kebanyakan bersifat
kolinergik seperti kram perut (abdominal cramp), diare, peningkatan salivasi
dan sekret bronkial, mual, berkeringat, dan bradikardi. Efek samping
nikotinik juga sering termasuk fasikulasi otot dan kram. Dosis tinggi dari
pyridostigmin tidak melebihi 450 mg per hari, diberikan pada pasien dengan
gagal ginjal, dilaporkan dapat memperburuk kelemahan otot.2
Terapi Imunomodulator Jangka Pendek. Pertukaran plasma
(plasma exchange) dan Imunoglobulin Intravena mempunyai onset kerja yang
cepat dengan perbaikan dalam beberapa hari, tetapi hal ini merupakan efek
yang sementara. Terapi ini digunakan pada kondisi tertentu seperti krisis
myasthenia (myasthenia crisis) dan sebelum dilakukan thymectomy atau
prosedur operasi lainnya (preoperative) , untuk terapi pada eksaserbasi yang
terjadi saat infeksi atau penurunan regimen kortikosteroid (tapering).2,3
Plasmapheresis. Terapi ini memperbaiki kekuatan pada hampi semua
pasien myasthenia gravis dengan menyingkirkan AChR dari dalam sirkulasi
secara langsung.2 Plasmapheresis biasanya memberikan perbaikan klinis
dalam 1 minggu dan manfaatnya berlangsung selama 1 – 2 bulan.3 Efek
samping plasmapheresis antara lain hipotensi, parestesia, infeksi, komplikasi
trombotik terkait dengan akses vena dan resiko perdarahan karena
berkurangnya faktor koagulasi, ketidakseimbangan elektrolit.2,3
16
Elisa Soetanto | 406138065
Intravenous Immunoglobulin Therapy. IVIG mempunyai
keberhasilan yang hampir sama dengan plasmapheresis. Efek sampingnya
antara lain malaise, hipersensitifitas, aseptic meningitis, dan yang jarang
terjadi antara lain gagal ginjal, stroke dan infark miokard. Pada beberapa
pasien dengan defisiensi immunoglobulin A (IgA) dan menimbulkan
anafilaksis. Tetapi pada kebanyakan pasien, IVIG dapat ditoleransid dengan
baik.3 Terapi ini diberikan 5 hari dengan dosis 0.4 g/kg/hari.2
Terapi Imunomodulator Jangka Panjang. Tujuan dari terapi ini
adalah untuk mencapai keadaan bebas dari gejala dan mempertahankannya.2
Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan pilihan pertama dan yang
paling sering digunakan sebagai obat imunosupresan pada pasien myasthenia
gravis. Prednisone umumnya diberikan ketika gejala MG tidak dapat
dikontrol secara adekuat dengan pemberian tunggal asetilkolinesterase
inhibitor. Respon yang baik dicapai dengan pemberian dosis tinggi pada awal
terapi dan diturunkan sampai pada dosis terendah untuk menjaga respon
tersebut. Eksaserbasi sementara atau perburukan sementara dapat terjadi
setelah pemberian prednisone dosis tinggi dalam 7 – 10 hari pertama dimana
dapat berlangsung hingga beberapa hari. Pada kasus yang sedang, pemberian
asetilkolinesterase inhibitor dapat mengatasi keadaan yang memburuk ini.
Pada kasus yang diketahui dapat menimbulkan eksaserbasi yang berat,
pertukaran plasma (plasma exchange) atau IVIg dapat diberika terlebih
dahulu sebelum prednisone untuk mencegah dan menurunkan keparahan dari
kelemahan yang disebabkan oleh kortikosteroid (corticosteroid-induced
weakness) dan ntuk mennginduksi respon yang lebih cepat. Oral prednisone
mungkin dapat lebih efektid daripada asetilkolinesteras pada pasien dengan
17
Elisa Soetanto | 406138065
oMG (ocular Myasthenia Gravis) dan oleh karena itu harus dipertimbangkan
pada semua pasien dengan oMG.2 Komplikasi dari penggunaan kortikosteroid
antara lain gangguan toleransi glukosa, hipertensi, katarak, ulkus
gastrointestinal, miopati, avascular necrosis of the hip, osteoporosis, infeksi,
dan psikosis. Beberapa resiko komplikasi ini dapat dihindarkan dengan diet
rendah sodium, diet rendah gula, bersamaan dengan suplementasi kalsium
dan olahraga. Resiko osteoporosis dapat kurangi dengan pemberian
profilaksis (ct. alendronate sodium, 5mg/hari secara oral).3
Nonsteroidal Immunosupresive Agents. Azathioprine, analog purin,
menurunkan sintesis asam nuclei, sehingga menghambat proliferasi sel T dan
B. Agen ini telah digunakan sebagai obat imunosupresan pada MG sejak
1970an dan mempunyai efektifitas 70 – 90% pada pasien dengan MG.2
Hampir 50% pasien menunjukan manfaat dari obat ini.3 Biasanya terapi ini
memerlukan waktu sampai dengan 15 bulan untuk mencapai respon klinis.
Kombinasi dengan prednisone dapat meningkatan efektifitas dan lebih dapat
ditoleransi daripada pemberian prednisone tunggal. Efek sampingnya adalah
hepatotoksik dan leukopenia.2 Sehingga perlu dilakukan monitoring terhadapa
hitung leukosit (count blood) dan fungsi hati.3
Mycophenolate mofetil secara selektif memblok sintesis purin, sehingga
menekan proliferasi dari sel T dan B.2 Obat ini dianjurkan untuk diberikan
bersamaan dengan kortikosteroid atau dapat diberikan sebagai obat tunggal.
Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain gejala gastrointestinal,
hipertensi, dan edema perifer. Pasien harus menghindari paparan sinar
ultraviolet ketika sedang mengkonsumsi obat ini. Obat ini juga dapat
menyebabkan supresi sumsum tulang sehingga monitoring jumlah darah
18
Elisa Soetanto | 406138065
(blood count) diperlukan. Penggunaan azatriopine dan mycophenolate yang
berbarengan tidak diindikasikan.3
Cyclosporine bekerja dengan memblok sintesis dari reseptor IL-2 sitokin dan
protein yang berperan pada sel T CD4+ . Siklosporins digunakan terutama
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi atau berespon terhadap azatriopin.2
Efek samping utama yang ditimbulkan obat ini adalah toksisitas pada ginjal
dan hipertensi.3
Cyclophosphamide merupakan alkylating-agent yang digunakan sebagai
pengobatan pada penyakit yang refrakter.3 Obat ini efektif diberikan oada
oasien myasthenia gravis secara intravena dan oral. Efek samping yang
timbul termasuk severe bone marrow suppression, toksisitas bladder, resiko
neoplasma, hair loss, mual, muntah, anoreksia dan skin discoloration.2,3
Thymectomy. Pada pasien dengan neoplastic thymoma, tindakan
operatif untuk mengangkat tumor ini dianjurkan untuk mencegah terjadinya
peyebaran.3 Terapi operatif sangat direkomendasikan pada pasien dengan
thymoma. Pasien yang akan menjalan operasi biasanya diberikan
glukokortikoid dosis rendah atau IVIg terlebih dahulu. Beberapa ahli
mempertimbangkan tindakan thymectomy sebagai pilihan terapi pada pasien
dengan anti-AChR yang positif pada pasien generalized myasthenia gravis
(gMG) yang onset penyakitnya sebelum usia 50 tahun.2
Rehabilitasi. Program rehabilitasi yang dikombinasikan dengan terapi
medis lainnya dapat meringankan gejala dan memperbaiki fungsi tubuh pada
myasthenia gravis. Tujuan utama dari ini adalah umembangun kekuatan pada
individu untuk kembali bekerja dan melakukan aktivitas sehari – hari.
Intensitas dan kemajuan latihan yang dilakukan tergantung dari tingkat
19
Elisa Soetanto | 406138065
keparahan penyakit dan kesehatan individu secara keseluruhan. Physical
terapi bermanfaat untuk mengembalikan kekuatan otot.2
Terapi pada krisis myasthenia. Krisis myasthenia didefinisikan
sebagai eksaserbasi dari kelemahan otot yang dapat menyebakan gagal napas
sehingga memerlukan ventilasi mekanik. Pada pasien yang eksaserbasi
myasthenia yang menimbulkan gejala respiratori dan bulbar, rawat inap perlu
dipertimbangkan untuk memantau status klinis dan fungsi pulmonal. Sekali
pasien diintubasi, obat asetilkolinesterase inhibitor harus segera dihentikan
karena dapat menyebabkan sekresi yang berlebihan. Kortikosteroid dapat
memperpanjang waktu krisis myasthenia ini dengan eksaserbasi kelemahan
atau faktor predisposisi infeksi. Oleh karena itu, terapi andalan yang
digunakan pada krisis myasthenia adalah imunoterpai jangka pendek
termasuk plasmapheresis atau IVIG.3
2.9 Prognosis
Delapan puluh persen pasien myasthenia gravis local pada akhirnya
menjadi generalized myasthenia gravis. Progresi sampai ke tingkat keparahan
maksimal biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama. Pada pasien yang
gejalanya terbatas hanya pada otot ocular (oMG), kolinesterasi inhibitor,
kortikosteroid dosis rendah atau terapi nonmedical (ct. penopang kelopak
mata ; eye crutches) cukup untuk mengkontrol gejala. Sebagian besar pasien
dengan generalized myasthenia gravis (gMG) dapat menikmati hidup normal
dan produktid dengan terapi yang adekuat. Akan tetapi kualitas hidup dapat
menurun akibat dari keterbatasn efikasi dan efek samping obat tersebut.3
20
Elisa Soetanto | 406138065
DAFTAR PUSTAKA
1. Kothari MJ. Myasthenia Gravis. The Journal of the American Osteophatic
Association. 2004 September ; Vol 104
2. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Review Article
: Myasthenia Gravis. Department of Neurology, Howard University
Hospital. 2012
3. Brust JCM. A Lange Medical Book, Current : Diagnosis & Treatment
Neurology. 2nd edition. New York: McGrawHill Companies; 2012.
Chapter 22, Myasthenia Gravis; P.351-57
4. Samuel MA, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 9th
edition. United Stated: McGrawHill Companies; 2009. Chapter 53,
Myasthenia Gravis dan Related Disorders of the Neuromuscular
Junction; P.1405-21
21