Download - Presus Tonsilitis
PRESENTASI KASUS“ TONSILITIS KRONIS “
Oleh:
Laras Puspa Nirmala G1A212034
Khuriyatun Nadhifah G1A212035
BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASIUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO2012
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui Presentasi Kasus yang berjudul
Tonsilitis Kronis
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik
di bagian SMF Anestesiologi
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun Oleh :
Laras Puspa Nirmala G1A212034Khuriyatun Nadhifah G1A212035
Purwokerto, Desember 2012
Mengetahui
Pembimbing
dr. Tendi Novara, Sp. An.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincinWaldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
ronggamulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual
(tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/
Gerlach’s tonsil).Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil
lingual. Penyebaraninfeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi padasemua umur, terutama pada anak. Rusmarjono 2007, udayan
2011)
Pembedahan yang dilakukan pada penderita tumor tiroid dilakukan dengan
teknik anestesi umum. Hal tersebut sesuai dengan indikasi dari anestesi umum
yaitu pembedahan yang lama, dewasa yang memilih anestesi umum serta
operasi besar (Latief et al., 2002).
Teknik pembedahan yang dilakukan pada penderita tumor tiroid dapat
menimbulkan beberapa komplikasi. Hipoparatiroid, kerusakan nervus
laringeus rekurens, serta hipotiroid akibat tiroidektomi sub total merupakan
komplikasi yang dapat terjadi post pembedahan. Pasien dengan keadaan
komplikasi seperti yang sudah disebutkan diatas membutuhkan suatu
pemantauan yang lebih intensif dan adekuat, sehingga pasien biasanya
dimasukkan ke dalam perawatan intensif ( Morganet al., 2006).
B. Tujuan penulisan
Mengetahui teknik general anestesi pada pasien Tonsilitis Kronis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA ( American Society
Anesthesiology):
a. ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
c. ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misalnya insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito,
ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .
f. ASA VI : Pasien yang telah dinyatakan mati batang otak dan organ
tubuhnya akan digunakan untuk donor organ.
4
B. Kerja Hormon Tiroid
Kerja hormon tiroid memerlukan tirosin dan iodium, keduanya harus diserap
dari darah oleh sel folikel. Tirosin suatu asam amino yang disintesis dalam jumlah
memadai oleh tubuh, bukan merupakan kebutuhan esensial dalam makanan.
Sedangkan iodium harus diperoleh dari makanan. Tirosin menyatu ke dalam
molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar diproduksi. Setelah diproduksi,
tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam koloid
melalui eksositosis. Iodium yang masuk melalui makanan kemudian diserap oleh
usus dalam bentuk iodida dan masuk ke dalam aliran darah. Tiroid kemudian
menangkap iodida dari darah dan memindahkan ke koloid melalui “pompa
iodium” yang sangat aktif atau “iodine-trapping mechanism”. Di dalam koloid
iodida dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam molekul tiroglobulin.
Pelekatan sebuah iodida ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT) dan
pelekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT). Kemudian
terjadi penggabungan antara molekul-molekul tirosin beriodium untuk
membentuk hormon tiroid. Penggabungan dua DIT menghasilkan tetraiodotironin
5
(T4). Penggabungan satu MIT dengan satu DIT akan menghasilkan triiodotironin.
(Sherwood, 2001).
C. Tanda-tanda Hipertiroid dan Hipotiroid
1. Tanda-tanda Hipertiroid
a) Gugup dan mudah tersinggung.
b) Peningkatan denyut jantung (takikardia).
c) Tidak tahan panas dan keluhan berkeringat terutama di daerah perifer.
d) Tremor.
e) Berat badan menurun tetapi nafsu makan meningkat
f) Sering buang air besar.
g) Terdapat benjolan di leher.
h) Tipis, kulit halus dan tidak teratur kuku dan pertumbuhan rambut
i) Menstruasi gangguan.
j) Gangguan tidur, termasuk insomnia.
k) Perubahan dalam penglihatan, mata iritasi atau eksoftalmus, yang
merupakan penonjolan mata yang biasanya terjadi dengan penyakit
Graves.
2. Tanda-tanda Hipotiroid
a) Mudah lelah dan lesu.
b) Peningkatan sensitivitas terhadap dingin.
c) Sembelit.
d) Kulit pucat dan kering.
e) Wajah bengkak.
f) Perubahan suara menjadi serak.
g) Berat badan tidak terkontrol.
h) Nyeri otot dan kekakuan atau pembengkakan di sendi.
i) Kelemahan otot.
D. Fungsi Hormon Tiroid
Fungsi Hormon Tiroid adalah :
a. Mengatur laju metabolisme tubuh.
b. Pertumbuhan saraf dan tulang.
6
c. Mempertahankan sekresi GH dan Gonadotropin.
d. Menambah kekuatan kontraksi otot jantung.
e. Merangsang pembentukan sel darah merah.
f. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh
terhadap kebutuhan metabolisme.
g. Bereaksi sebagai antagonis insulin. Tirokalsitonin mempunyai jaringan
sasaran tulang dengan menurunkan kadar kalsium serum dengan
mengabsorpsi kalsium di tulang.
E. Tumor Tiroid
a. Definisi
Tumor tiroid merupakan pembesaran tiroid baik secara menyeluruh
maupun sebagian. Tumor tiroid adalah suatu nodul yang teraba pada
pemeriksaan kelenjar tiroid. Tumor tiroid adalah pembesaran
kelenjar tiroid yang secara klinis teraba nodul, satu atau lebih
tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme (Hartini,2006). Penderita tumor
umumnya tenang,tidak merasa sakit dan tidak sesak nafas (Sjamsuhidayat
dan Jong, 2006).
Pada beberapa penderita tumor tiroid, di dalam kelenjar tiroidnya
timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan
hormon tiroid, diantaranya adalah :
1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium yang
dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidakadekuat.
2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi
iodium.
3. Defisiensi penggabungan tirosin teriodinasi di dalam molekul
tiroglobulin, sehingga hormon tiroid tidak terbentuk.
4. Defisiensi enzim deiodinasemencegah pulihnya iodium dari tirosin
teriodinasi, yang tidakmengalami penggandengan untuk membentuk
hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi iodium(Schteingart,
2006; Mansjoer et al, 2001)
7
b. Diagnosis
Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan melalui :
1. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih,
konsistensinya kenyal.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (tiroksin), T3
(triyodotironin) dan TSH dalam batas normal.
3. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau
tidaknya nodul. Hasil USG pada umumnya menujukkan iso atau
hiperekoik yang biasanya disertai halo, yaitu suatu lingkaran
hipoekoik disekilingnya.
4. Kepastian histologi untuk menentukan jinak atau ganasnya nodul
dapat ditegakkan melalui biopsi(Mansjoer et al, 2001).
c. Komplikasi
Kelenjar tiroid penderita mulai membesar secara lambat pada usia
muda. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dengan permukaan
licin kemudian berkembang menjadi besar dan multinodular pada saat
dewasa.Karena pertumbuhannya lambat, tumor dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Namun demikian, tumor yang
cukup besar dan berkembang kearah bilateral juga ditemukan pada
beberapa orang. Keadaan tersebut dapat menyebabkan penekanan ke arah
trakea sehingga dapat mengakibatkan gangguan respirasi dengan gejala
stridor inspiratoar, selain itu tumor juga dapat menekan esofagus yang
dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan menelan.
Seringkali struma ini bersifat asimptomatik, berlangsung lama dan dapat
menyebabkan pula penekanan pada trakea dan esofagus (Sjamsuhidayat
dan Jong, 2006).
F. General Anestesi (Anestesi Umum)
a. Definisi
Anestesi umum adalah suatu tindakan medis dengan tujuan utama
untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum juga 8
mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia anterograd pada pasien,
sehingga pasien tidak akan bisa mengingat apa yang terjadi pada saat
dilakukan anestesi atau pun operasi pada pasien tersebut. Komponen trias
anestesi yang ideal pada anestesi umum terdiri dari hipnotik, analgesik,
dan reaksasi otot (Miller, 2006).
b. Keuntungan
1. Mengurangi kesadaran pasien
Memungkinkan pemilihan obat pelemah otot yang tepat untuk
jangka waktu yang lama. (Sebelet al, 2004)
2. Memfasilitasi pemantauan penuh terhadap jalan nafas,
pernapasan serta sirkulasi pasien.
3. Dapat digunakan pada keadaan pasien yang memiliki alergi
pada obat-obatan anestesi lokal.Dapat diberikan tanpa merubah
atau memindahkan pasien dari posisi terlentang (Sebel et al,
2004).
4. Pemberian dapat disesuaikan atau ditambah secara lebih mudah
untuk durasi tambahan tak terduga.
5. Dapat diberikan dengan cepat dan reversibel (Jenkins dan Baker,
2003).
c. Kerugian
1. Membutuhkan pemantauan ekstra dan biaya mahal.
2. Membutuhkan persiapan pra operasi pada pasien
3. Dapat menyebabkan peningkatan fisiologis yang membutuhkan
intervensi aktif
4. Dapat menimbulkan komplikasi seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan terrtundanya fungsi
mental menjadi normal kembali.
5. Beberapa obat anestesi umum dapat mengakibatkan kenaikan
suhu akut dan berpotensi mematikan, asidosis metabolik, dan
hiperkalemia(Jenkins dan Baker, 2003).
d. Indikasi
Indikasi anestesi umum(Miller, 2006)
9
1. Infant dan anak
2. Dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pembedahannya luas atau eskstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis untuk
digunakan
7. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi lokal
e. Stadium anestesi
Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi untuk mengetahui
kedalaman anestesi, yang terdiri dari (Latief, 2002):
1. Stadium I (Stadium Analgesia )
Dimulai dari saat pemberian obat anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnyarasa sakit). Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukanpada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai
oleh hilangnya reflex bulu mata.
2. Stadium II(Stadium Eksitasi atau Stadium Delirium)
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yan
g irreguler,pupil melebar dengan refleks cahaya (+/+), pergerakan
bola mata tidak teratur,lakrimasi (+/+),tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya refleksmenelan dan kelopak mata.
3. Stadium III (Stadium Pembedahan)
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi
pernafasan hingga hilangnya pernafasan spontan.Stadia ini ditandai
oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata
dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kek mulai menurun anan
dengan mudah. Pada stadium ini, pembedahan sudah boleh
dilakukan. Stadium ini dibagi menjadi 4 stage:
10
a) Stage 1 : pernafasan teratur dan bersifat thoracoabdominal, pupil
miosis, reflek cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah hilang, tonus otot mulai menurun.
b) Stage 2 : respirasi teratur bersifat thoracoabdominal, tidal
volume menurun, frekuensi nafas meningkat, bola mata terfiksir
di sentral, pupil mulai midriasis, refleks cahaya mulai menurun
dan refleks kornea hilang.
c) Stage 3 : respirasi teratur dan bersifat abdominal akibat
kelumpuhan nervi intercostalis, lakrimasi hilang, pupil melebar
dan sentral, tonus otot semakin menurun.
d) Stage 4 : respirasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot
diafragma lumpuh dan makin nyata. Tonus otot sangat menurun,
pupil midriasis, reflek sfingter ani dan reflek kelenjar air mata
hilang.
4. Stadium IV ( stadium paralysis)
Mulai henti nafas dan henti jantung (Himendra, 2004).
f. Teknik anestesi umum
Terdapat tiga cara ventilasi pada anestesi umum:
1.) Dengan sungkup muka – nafas spontan
Indikasi teknik ini dilakukan untuk operasi dengan tindakan singkat
(30-60 menit) dengan keadaan umum pasien baik (ASA 1). Keadaan
lambung harus kosong. Prosedur teknik ini antara lain:
a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi
c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang yang memberi efeksedasi atau anti-anxiety seperti
benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti
golongan opioid.
d) Induksi
e) Pemeliharaan
11
2.) Intubasi Endotrakeal dengan nafas spontan
Dilakukan dengan memasukkan endotrakheal tube (ET) ke dalam
trakhea melalui oral atau nasal. Diindikasikan untuk tindakan operasi
lama dan kemungkinan terdapat kesulitan dalam mempertahankan
airway seperti pada operasi-operasi dibagian leher dan kepala.
Prosedur teknik ini antara lain:
a) Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
b) Pasang infuse, sebagai media untuk memasukan obat anestesi
c) Premedikasi, apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang yang memberi efeksedasi atau anti-anxiety seperti
benzodiazepine ataupun obat dengan efek analgesia, seperti
golongan opioid.
d) Induksi
e) Diberikan obat pelumpuh otot dengan durasi singkat
f) Intubasi
g) Pemeliharaan
3.) Intubasi Dengan Nafas Kendali (Kontrol)
Prosedur teknik ini dilakukan sama dengan prosedur Intubasi
Endotrakeal dengan nafas spontan, namun obat pelumpuh otot yang
digunakan adalah obat pelumpuh otot dengan efek durasi lebih
panjang. Selain itu, obat pelumpuh otot dapat diulang kembali
pemberiannya pada saat pemeliharaan.
12
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M
Umur : 10 tahun
Berat badan : 24 Kg
Tinggi badan : 130 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat :
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Tanggal masuk RSMS : 20 Desember 2012
No. CM : 870000
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
b. Keluhan Tambahan :
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Poli Bedah Onkologi tanggal 14
Juni 2012 dengan keluhan benjolan di leher dan merasa dadanya sering
berdebar-debar. Pasien merasa takut jika benjolan semakin besar selain itu
pasien merasa tidak percaya diri dengan adanya benjolan tersebut. Disarankan
oleh dokter di Poli untuk melakukan tindakan pembedahan. Pasien kemudian
menyatakan akan berdiskusi terlebih dahulu dengan keluarga. Tanggal 24
September 2012 pasien kembali lagi ke Poli Bedah Onkologi untuk
menyatakan kesiapan melakukan tindakan pembedahan di lehernya. Kemudian
dijadwalkan pada tanggal 21 Desember 2012 untuk dilakukan
pembedahan / operasi dan pasien disarankan untuk mondok di Rumah
Sakit tanggal 20 September 2012.
13
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
o Riwayat penyakit alergi : disangkal
o Riwayat penyakit asma : disangkal
o Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
o Riwayat kejang : disangkal
e. Riwayat penyakit keluarga :
o Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
o Riwayat penyakit DM : disangkal
o Riwayat penyakit alergi : disangkal
o Riwayat penyakit asma : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis GCS E4M6V5
Vital Sign :
Nadi = 80 kali /menit, isi dan tekanan penuh
Respirasi = 24 kali/menit
Suhu = 36,6°C
Kepala : Mesochepal, simestris, tumor (-)
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera tidak ikterik, Reflek
cahaya +/+, Pupil isokor, (/) 3 mm
Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (-), hiperemis (-),
pembesaran tonsil (-), mallampati (1)
Gigi : Gigi palsu (-), gigi ompong (-)
Telinga : Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk
Leher : Terdapat benjolan di leher kanan dan kiri
Thorax :
Pulmo : Simetris kanan – kiri, Tidak ada retraksi SD : vesikuler
(+/+) normal ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)14
Cor : BJ I-II reguler, S1>S2, , bising (-)
Abdomen : Datar, supel, jejas (-), nyeri tekan (-), bising usus (+)
normal, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba.
Extremitas : Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : Edema (-/-), sianosis (-/-)
Turgor kulit : Cukup
Akral : Hangat
Vertebrae : Tidak ada kelainan
b. Status Lokalis
Regio Colli
1. Inspeksi : benjolan terlihat di sisi kanan dan kiri, ikut bergerak saat
menelan. Warna benjolan sama dengan warna sekitar.
2. Palpasi : teraba benjolan di sisi kanan dan kiri dengan ukuran
kurang lebih sama di kedua sisi, immobile, tidak nyeri jika ditekan,
ikut bergerak ketika menelan.
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (Tanggal 14 – 6 – 2012)
Pemeriksaan Darah Lengkap :
a. Hb : 11.5 g/dl (12 – 16 g/dl)
b. Leukosit : 10080 ul (4800 – 10800 ul)
c. Ht : 35 % (W 37 – 47 %)
d. Eritrosit : 4.3 jt/ul (W 4.2 – 5.4 jt)
e. Trombosit : 316.000/ul (150000 – 450000/ul)
f. MCV : 80 fl (79 – 99 fl)
g. MCH : 27.5 pgr (27 – 31 pgr)
h. MCHC : 34.5 % (33 -37 %)
i. Hitung jenis :
Eosinofil : 0 (2 – 4%)
Basofil : 0 (0-1%)
Batang : 0 (2 – 5%)
Segmen : 87.4 (40-70 %)
Limfosit : 9.5 (25 – 40 %)
15
Monosit : 3.1 (2 – 8%)
j. PT : 13.1 detik (11.5-15.5 detik)
k. APTT : 30.6 detik (25-35 detik)
l. SGOT : 10
m. SGPT : 26
n. Ureum : 17.3
o. Kreatinin : 0.67
p. GDS : 108
q. Natrium : 140
r. Kalium : 4.3
Pemeriksaan Fungsi Tiroid
a. T3 : 1,15
b. T4 : 5,64
c. Tsh : 0,665
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis prabedah : Tumor Tiroid.
Diagnosis postbedah: Post Tiroidektomi.
Tindakan : Tiroidektomi
VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK
Status ASA II.
VII. TINDAKAN
Dilakukan : Tiroidektomi.
Tanggal : 1 Oktober 2012.
VIII. LAPORAN ANESTESI
16
Status Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Informed Consent
b. Puasa 6 jam pre op.
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
b. Premedikasi : Ondansetron 4mg (1 amp)
c. Medikasi :Fentanyl 50 μg (1cc)
Recofol 100 mg (10 cc)
Roculax 50 mg
Ketorolac 30 mg
Oksigen 2L/menit
N2O 2L/menit
Sevofluran 24 cc
3. Teknik anestesi
a. Pasien dalam posisi berbaring terlentang( supine )
b. Diinjeksikan fentanyl serta recofol secara intravena melalui selang
infus.
c. Pasien diintubasi dengan dipasang endotracheal tube (ET) no 7, dan
diberikan agen berupa oksigen,N20, dan sevofluran.
d. Jumlah cairan yang masuk : Kristaloid = 1500 cc (RL 1 + Asering 1 +
RL 1)
Perdarahan selama operasi : ± 750 cc
4. I. Pemantauan selama anestesi :
a. Mulai anestesi : 09.00
b. Mulai operasi : 09.15
c. Selesai operasi : 10.25
d. Selesai Anestesi : 10.30
II. Cairan yang masuk durante operasi:
17
a. RL : 500 cc ( 09.00 WIB )
b. Asering : 500 cc ( 09.35 WIB )
c. RL : 500 cc ( 10.25 WIB )
III. Tekanan Darah dan Frekuensi Nadi
Pukul(WIB)
Tekanan Darah
(mmHg)
Nadi(kali/
menit)
SpO2 Cairan yg
masuk
Keterangan
09.00 150/110 110 76 RL (500 cc)
Premedikasi : Ondansetron 4 mg.Induksi : Propofol 100 mg, Fentanyl 50 µg.
09.15 94 / 60 73 84 RL
09.30 111 / 72 82 96 RL Medikasi : Asam Traneksamat 1 ampul (500 mg), Vitamin K 2 ampul
09.45 107 / 70 66 97 Asering
10.00 113 / 57 67 97 Asering
10.15 113 / 77 79 97 Asering Medikasi : Ketorolac 30 mg
10.30 95 / 57 66 99 RL Medikasi : Dexametasone 10 mg
10.35 Operasi Selesai pasien dibawa ke HCU dengan ET masih terpasang.
4. Pemantauan post operasi
a. Tanggal 01-10-2012 (HCU)18
Pukul 14.00 : TD : 135/87 mmHg, N : 81 x / menit pasien mengeluh sakit
pada daerah yang dioperasi.
b. Tanggal 02-10-2012 (R. Bougenville)
Pukul 14.00 : TD : 110 / 60 mmHg, N : 80 x / menit, RR : 24 x / menit,
Suhu : 37 °C, Drainase 25 cc.
IX. PROGNOSA
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Malam
Ad Sanationam : Ad Bonam
19
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PRE OPERATIF
Persiapan pre operatif pada pasien ini meliputi persiapan alat, penilaian
dan persiapan pasien, dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian
dan persiapan pasien diantaranya meliputi :
a. Penilaian klinis penanggulangan keadaan darurat
b. Informasi penyakit
2) Riwayat alergi, hipertensi, diabetes mellitus, operasi
sebelumnya, asma
3) Riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
4) Makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)
c. Persiapan informed consent, suatu persetujuan medis untuk
mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk
melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan
keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin
terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan
pada pasien, maka pasien termasuk dalam klasifikasi ASA II.
B. DURANTE OPERATIF
Pasien ini terdiagnosis menderita Tumor Tiroid. Berdasarkan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat benjolan besar di leher bagian tengah
ukuran sekitar 6x4, tidak nyeri, permukaannya berbenjol-benjol, berbatas tegas,
ikut bergerak saat menelan, dan warnanya sama dengan warna kulit sekitar. Pasien
tidak memiliki riwayat yang menunjukan tanda maupun gejala hipertiroidisme
seperti,tidak tahan terhadap panas, nafsu makan meningkat, berat badan menurun,
diare, palpitasi, takikardi sewaktu tidur ataupun istirahat, tremor maupun
eksolftamus. Hasil pemeriksaan fisik pada regio colli,didapatkan nodul sebesar
6x4 terletak ditengah, dengan hasil palpasi teraba kistik, bernodul-nodul dan
20
immobile. Pemeriksaan penunjang yang mendukung seperti USG, thorax dll pada
pasien ini tidak diperiksa.
Pasien Tumor Tiroid dengan ukuran tiroid yang sudah besar, dan mulai
mengalami keluhan mekanis seperti gangguan pernapasan maupun gangguan
menelan, serta keluhan kosmetikmerupakan indikasi penatalaksanaan berupa
pembedahan tiroidektomi. Selain alasan kosmetik yang dikeluhkan oleh pasien
serta nodul yang cenderung bersifat maligna, nodul yang berukuran sudah besar
akan beresiko mengalami gangguan mekanis pada sistem pernafasan maupun
kemampuan menelan. Olehkarena itu, pilihan penatalaksanaan yang dilakukan
adalah tindakan operasi tiroidektomi untuk mengangkat tiroid pasien.
Hampir semua tindakan operasi atau pembedahan dilakukan dibawah
pengaruh anestesi umum.Perhatian utama pada anestesi umum adalah keamanan
dan keselamatan pasien. Salah satu faktor penentunya adalah kestabilan
hemodinamik selama tindakan induksi anestesi dilakukan (Latif et al, 2007).
Pembedahan tiroid pada pasien ini dilakukan dengan teknik anestesi
umum disertai pemasangan pipa endotrakea.Pemasangan pipa endotrakea
merupakan salah satu teknik yang bertujuan untuk menjaga jalan napas pasien
agar ventilasi dan oksigenasi ke seluruh organ tubuh dapat terjamin dengan baik.
Manusia memerlukan oksigen untuk dapat bertahan hidup.Respirasi
berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan
edaran oksigen ke jaringan atau sel untuk beberapa saat akan menimbulkan
perubahan pada metabolisme yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
sel. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan seluruh organ dapat menjadi penyebab
ataupun sebagai konsekuensi henti kardiosirkulasi ( Pitoyo dan Amin, 2006).
Setiap keadaan trauma berat dan pasien tidak sadar, pasien dalam kondisi
teranestesi ringan dengan relaksan dan teranestesi dalam, disertai dengan
berbaring dalam kondisi terlentang merupakan keadaan yang berbahaya.Hal
tersebut dapat berpotensi untuk terjadi obstruksi jalan napas. Pemasangan pipa
endotrakea digunakan untuk mencegah obstruksi jalan napas, menjaga jalan
napas tetap lapang dan mencegah aspirasi lambung (Dobson, 2004).
Keadaan pasien pada saat pembedahan tiroid merupakan salah satu kondisi
yang harus terjaga jalan napasnya.Pemasangan pipa endotrakea digunakan untuk
21
mempermudah ventilasi dan oksigenasi.Hal tersebut untuk memjamin organ-
organ mendapatkan oksigenasi yang cukup (Latief et al., 2002).
Teknik untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi bisa dengan beberapa
macam cara antara lain penggunaan nasal kanul, LMA ( laryngo mask airway )
serta pemasangan pipa endotrakea. Namun pada pembedahan ini yang digunakan
adalah pipa endotrakea.Teknik anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang memerlukan kendali napas,
serta operasi daerah kepala leher. Selain itu ada beberapa indikasi pemasangan
pipa endotrakea pada anestesi umum yaitu : (Latief et al., 2002)
1. Mempermudah pemberian anestesi
2. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung
3. Mempermudah pengisapan sekret trakeo bronchial
4. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
Pembedahan pada kasus tiroid yang dilakukan pada pasien ini dilakukan
dengan teknik anestesi umum.Teknik anestesi umum merupakan suatu tindakan
medis dengan tujuan utama untuk menghilangkan rasa sakit secara sentral, disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible, sehingga memungkinkan dilakukan
tindakan pembedahan.Anestesi umum ditandai dengan adanya trias anestesi yaitu
analgesi, sedasi dan relaksasi.Berbeda halnya dengan teknik anestesi lokal, yaitu
menyebabkan hilangnya rasa sakit, namun tidak disertai dengan hilangnya
kesadaran (Miller, 2006). Indikasi lain dilakukan anestesi umum pada pasien ini
adalah pembedahannya lama, pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis
untuk digunakan (Dobson, 2004)
Tindakan tiroidektomi, merupakan suatu operasi yang beresiko tinggi
karena dilakukan di bagian leher. Pada saat durante operasi perlu diwaspadai
risiko perdarahan masif yang mungkin terjadi karena di regio colli terdapat
pembuluh darah besar, salah satunya a. carotis communis. Setelah operasi pun,
pasien post tiroidektomi memerlukan pemantauan dan perawatan khusus dengan
alasan munculnya beberapa resiko seperti:
i. Terjadinya komplikasi tracheomalaisa atau trachea menjadi flacid
ii. Hipokalsemi
iii. Muncul gejala krisis tiroid
22
iv. Terjadi sumbatan pada selang drainase yang dipasang untuk membuang
perdarahan dari area operasi di regio colli. Hal tersebut dapat menyebabkan
penekanan pada trakea sehingga pasien dapat mengalami gangguan
pernafasan.
v. Terdapat resiko kerusakan pada n. laryngeus recurrens yang dapat merusak
pita suara pasien (Ernst et al, 2011; Khanzada et al, 2010).
Pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam, maka kebutuhan cairan
pada pasien ini :
BB = 70 kg
a. Maintenance = 2 cc/kgBB/jam = 2 x 70 kg = 140
cc/jam
b. Pengganti puasa = 6 x maintenance = 6 x 140 cc = 840
cc/jam
c. Stress operasi = 8 cc/kgBB/jam = 8 x 70 = 560
cc/jam
d. EBV = Wanita 65 x BB = 65 x 70 =
4550/jam
e. ABL = EBV X 20% = 4550 X 20 % = 910
cc/jam
Pemberian Cairan :
1 jam pertama = (50 % X pengganti puasa ) + maintenance + stress
operasi
= (50 % X 840) +140 + 560
= 420 + 120 + 560
= 1100 cc
1 jam kedua = (25 % X pengganti puasa ) + maintenance + stress
operasi
= ( 25 % X 840 ) + 120 + 560
= 890 cc
1 jam ketiga = sama dengan jam kedua = 890 cc
23
C. POST OPERATIF
24
BAB V
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26