Download - PPHN edit
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi pulmonal pada bayi baru lahir hasil dari kegagalan sirkulasi
paru untuk dilatasi saat lahir, Disebut ' Persistent Pulmonary Hypertension of The
Newborn' (PPHN) (Storme dkk, 2013). Hal ini terjadi ketika sistem sirkulasi bayi
baru lahir tidak dapat beradaptasi dengan keadaan di luar rahim. Janin ketika di
dalam kandungan mendapatkan oksigen dan darah dari plasenta ibunya melalui
tali pusat, sementara pada saat bayi baru lahir suplai dari ibu terhenti sehingga
perlu suplai darah dan oksigen yang cukup oleh bayi itu sendiri (Spear, 2012).
Sirkulasi Janin Persisten (SJP) terjadi pada bayi cukup bulan dan lewat bulan
pasca asfiksia lahir (Wahab, 2014). Penelitian yang berkembang menunjukkan
bahwa lingkungan perinatal memainkan peran penting dalam terjadinya PPHN
(Storme dkk, 2013; Graeme R.2010).
Pemahaman patofisiologi seluler PPHN, membantu dalam terapi yang
lebih spesifik dan efektif, dan akhirnya ke pencegahan penyakit ini (Robin, 2010).
PPHN harus didiagnosis dan diobati sesegera mungkin untuk menghindari
hipoksia jangka pendek dan morbiditas jangka panjang (Puthiyachirakkal, 2013).
Manajemen membutuhkan ventilasi paru dan ventilasi alveolar yang
adekuat, nitrat oksida (NO) inhalasi, dan resusitasi cairan dan kardiovaskular yang
tepat. Inisiasi awal inotropik dan vasoaktif agen umumnya digunakan untuk
meningkatkan curah jantung, menjaga tekanan darah yang memadai dan
meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan dan terapi surfaktan mengurangi
kebutuhan Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO). Pendekatan optimal
dalam pengelolaan PPHN saat ini masih kontroversial (Storme dkk, 2013; Nair,
2014; Puthiyachirakkal, 20130.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Persistent Pulmonary Hypertension of The Newborn (PPHN) adalah suatu
keadaan dimana terjadi kegagalan transisi sirkulasi normal setelah kelahiran bayi
(Sallaam dkk, 2014; Tzialla dkk, 2010). PPHN merupakan hasil umum cedera
vaskular sekunder oleh berbagai stres perinatal (Tzialla dkk, 2010).
Hipertensi pulmonal persisten atau disebut juga persistent fetal circulation
(PFC) dapat terjadi akibat peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan akan
menyebabkan disfungsi jantung. Bila afterload ventrikel kanan meningkat,
tekanan diastolik akhir ventrikel kanan dan tekanan atrium kanan akan meningkat
melebihi tekanan di atrium kiri sehingga darah akan mengalir dari kanan ke kiri
melalui foramen ovale (Tobing, 2003).
Bayi dengan PPHN, ductus arteriosus tetap terbuka dan aliran darah bayi
tidak mampu melewati paru-paru. Meskipun bayi bernapas, oksigen yang dihirup
tidak mencapai aliran darah. Hal ini disebabkan karena darah yang kembali dari
tubuh tidak mampu masuk ke paru-paru dengan baik, darah melewati ductus
arteriosus yang masih terbuka dan kembali ke jantung dalam keadaan sedikit
oksigen (Spear, 2012).
2.2 Epidemiologi
Gagal napas Neonatal mempengaruhi 2% dari semua kelahiran hidup, dan
bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga dari semua kematian neonatus. PPHN
adalah penyebab sekitar 10% dari bayi dengan gagal napas, mortalitas dan
morbiditas pada populasi yaitu 10- 20% (Robin, 2010; Puthiyachirakkal, 2013).
Insidensi kejadian PPHN diperkirakan 1:500 sampai 1:700 kelahiran hidup
Data terakhir menyebutkan bahwa PPHN terjadi pada 2-6 kasus dari 1000
kelahiran hidup (Wahab, 2010; Diana, 2011; Robbin, 2010).
2
2.3 Etiologi
Penyebab paling sering PPHN adalah sekunder, relaksasi tertunda atau
gangguan pembuluh darah paru yang berhubungan dengan beragam patologi paru
neonatus, seperti mekonium sindrom aspirasi, hernia diafragma kongenital, dan
sindrom gangguan pernapasan, pneumonia, sepsis, penyakit membran hialin,
kebobocoran cairan amnion, efusi pleura, atau kekurangan oksigen sebelum atau
selama kelahiran. (Nair, 2014; Anonim, 2011; Wahab, 2010).
Mekonium Aspirasi Syndrome (MAS) merupakan penyebab paling sering
PPHN (Puthiyachirakkal, 2013). Hal ini juga dapat disebabkan oleh masalah
dengan struktur jantung (penyakit jantung bawaan), paru-paru (hipoplasia paru),
atau organ lain yang terlibat dengan pernafasan (Anonim, 2011).
Gambar 2.1 : Patofisiologi Kelainan Hemodinamik Hernia Diafragma Kongenital
(Nair, 2014).
.
3
Gambar 2.2 : Berbagai Faktor Penyebab PPHN dan Hemodinamik
Perubahan PPHN / HRF (Nair, 2014).
2.4 Faktor Resiko
Sirkulasi Janin Persisten (SJP) terjadi pada bayi cukup bulan dan lewat bulan
pasca asfiksia lahir. Risiko untuk PPHN meningkat untuk bayi dari ibu yang
memiliki masalah selama kehamilan, seperti ketuban pecah dini atau
oligohidramnion. PPHN terjadi lebih sering pada bayi dari ibu yang merokok saat
hamil (Anonim, 2011; Wahab, 2010).
4
Tabel 2.1. Faktor Resiko PPHN (Puthiyachirakkal, 2013).
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Sirkulasi Janin
Sirkulasi pada janin ditandai dengan Pulmonary vascular resistance (PVR)
yang tinggi dan Systemic vascular resistance (SVR) yang rendah. Plasenta adalah
tempat pertukaran gas. Aliran darah pulmonal ke paru-paru berisi cairan yang
rendah (sekitar 8-10% dari total keluaran ventrikel pada janin sapi). Namun, studi
Doppler terbaru, pada janin manusia menunjukkan aliran darah paru yang lebih
tinggi (13% dari total keluaran ventrikel pada 20 minggu kehamilan, meningkat
menjadi 25% pada 30 minggu kehamilan dan 21% pada 38 kehamilan minggu
(Nair, 2014).
Banyak faktor yang berkontribusi dalam tonus pembuluh darah paru yang
tinggi di dalam rahim, seperti faktor mekanik (kompresi arteriol paru oleh alveoli
berisi cairan dan kurangnya gaya tekanan), fungsi alveolar yang rendah dan
tekanan oksigen arteri, dan kurangnya vasodilator relatif. Tekanan oksigen yang
5
rendah dan peningkatan kadar mediator vasokonstriktor, seperti endotelin-1 (ET-
1) dan tromboksan, berperan penting dalam menjaga PVR janin tetap tinggi.
Serotonin meningkat PVR janin dan penggunaan inhibitor serotonin re-uptake
(SSRI) selama kehamilan terbukti berhubungan dengan peningkatan kejadian
PPHN (Nair, 2014: Puthiyachirakkal, 2013).
Saat lahir dengan napas pertama paru-paru diisi dengan udara dan tiba-tiba
meningkatkan aliran darah paru, menciptakan tegangan dinding pembuluh darah.
Tegangan dan oksigenasi merangsang endotel nitrat oksida sintase (eNOS) serta
regulasi pengeluarannya. Akibatnya nitric oxide (NO) disintesis dari l-arginine
yang kemudian berdifusi ke sel-sel otot polos paru dan mengaktifkan solube
guanylyl Cyclase (SGC). Oksigenasi mengatur ekspresi dan aktivitas SGC yang
mengubah GTP dan cyclic guanosine monophosphate cGMP) yang selanjutnya
melalui aktivitasi cGMP dependent protein kinase (PKG) menyebabkan relaksasi
otot polos. Oksigenasi juga menghambat aktivitas enzim phosphodiesterase 5
(PDE5) yang mengubah cGMP ke 5’ cGMP (Nair, 2014: Puthiyachirakkal, 2013).
Jalur lain dari vasodilatasi paru adalah melalui produksi PG oleh oksigenasi
endothelium. Oksigen menstimulus produksi PG dari asam arakidonat (AA)
membran dengan cyclooxygenase (COX) sebagai keterbatasan rasio enzyme.
Predominan PG adalah PGI2 yang merangsang adenylate Cyclase (AC) sehingga
mengkonversi ATP menjadi cAMP, menyebabkan relaksasi pembuluh darah paru
melalui cAMP dependent protein kinase (PKA). Phosphodiesterase 3 (PDE3)
enzim, mengkonversi cAMP ke AMP. Penurunan PVR yang disebabkan oleh PG
lebih kecil dari dengan NO (Nair, 2014: Puthiyachirakkal, 2013).
Selain NO dan PGI2, potassium channel dan calcium channels juga terlibat
dalam vasodilatasi paru. Hasil oksigenasi dalam dilatasi paru melalui aktivasi
saluran K dan pengurangan saluran Ca dalam arteri pulmonalis otot polos,
asidosis berkelanjutan memperburuk vasokonstriksi paru, menciptakan lingkaran
setan kanan ke kiri shunting, hipoksia, dan asidosis (Nair, 2014).
6
Gambar. Jalur
NO/cGMP
2.5.2 Transisi Saat lahir
Serangkaian acara peredaran darah berlangsung saat lahir untuk memastikan
kelancaran transisi dari janin untuk hidup di luar rahim. Penjepitan tali pusat
memutuskan resistensi sirkulasi plasenta, meningkatkan tekanan arteri sistemik.
Secara bersamaan, berbagai mekanisme berjalan dengan cepat untuk mengurangi
tekanan arteri paru dan meningkatkan aliran darah paru. Dari serangkaian
tersebut, rangsangan yang paling penting muncul adalah ventilasi paru-paru dan
peningkatan tekanan oksigen. Dengan inisiasi respirasi, paru-paru janin berisi
cairan terisi dengan udara. Ada peningkatan oksigenasi istirahat pembuluh darah
paru, selanjutnya mengurangi PVR. Peningkatan delapan kali lipat dalam aliran
darah paru, meningkatkan tekanan atrium kiri, menutup foramen ovale. Hasil dari
PVR yang lebih rendah dari SVR, aliran balik peningkatan arteriosus.
Peningkatan saturasi oksigen arteri menyebabkan penutupan duktus arteriosus dan
duktus venosus dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Pada tahap akhir dari
transisi vaskular paru neonatal, penurunan lebih lanjut di PVR disertai dengan
renovasi struktural yang cepat dari seluruh paru, dari arteri pulmonalis utama ke
kapiler (Nair, 2014).
7
Gambar 2.4 Peredaran darah saat lahir (Nair, 2014).
2.6 Patogenesis
Pola sirkulasi persisten pada janin yaitu shunt dari kiri ke kanan melalui
duktus arteriosus sesudah lahir disebabkan oleh tahanan vaskular pulmonal yang
sangat tinggi. Tahanan vaskular pulmonal janin biasanya meningkat relatif
terhadap tekanan sistemik atau pulmonal sesudah janin lahir. Keadaan janin ini
memungkinkan shunt darah vena umbilikalis yang teroksigenasi ke artrium kiri
(dan otak) melalui foramen ovale dan langsung menuju paru melalui duktus
arteriosus ke aorta desendens. Sesudah lahir, tahanan vaskular pulmonal secara
normal menurun dengan cepat sebagai akibat vasodilatasi karena udara mengisi
paru, kenaikan pada PaO2, pengurangan pada pCO2, kenaikan pH dan pelepasan
bahan-bahan vasoaktif (Wahab, 2014).
8
Gambar 2.5 Skema Representasi sirkulasi pada PPHN (Storme dkk, 2013).
Kenaikan tahanan vaskular pulmonal pada neonatus dapat berupa (1) salah
menyesuaikan (maladaptive) karena jejas akut (misalnya, tidak memperlihatkan
vasodilatasi yang normal pada respons terhadap kenaikan oksigen dan perubahan
lain sesudah lahir); (2) akibat dari bertambah tebalnya otot tunika media arteri
pulmonalis dan peluasan lapisan otot polos ke dalam lapisan yang biasanya
nonmuskular, arteriol pulmonalis yang lebih perifer dalam responsnya terhadap
hipoksia janin kronis; (3) karena hipoplasia pulmonal (hernia diafragmatika,
sindrom Potter); (4) obstruktif karena polisitemia atau anomali total muara vena
pulmonalis; atau (5) karena displasia kapiler alveolus, gangguan mematikan yang
mungkin bersifat familial dengan penipisan septum alveolus dan berkurangnya
jumlah arteri pulmonalis kecil dan kapiler. Selain daripada etiologi, dapat
dijumpai adanya hipoksia berat karena shunt dari kanan ke kiri dan pCO2 yang
normal atau naik (Wahab, 2010).
9
Ada bukti yang menunjukkan bahwa perubahan jalur NO berkontribusi dalam
PPHN. Aktivitasi dan ekspresi eNOS dan SGC di paru-paru menurun pada janin
domba dengan PPHN. Pada domba ini, respon vaskular terhadap NO juga
berkurang, sedangkan respon terhadap cGMP normal. Dengan demikian
penurunan respon tampaknya hasil dari penurunan sensitivitas otot polos
pembuluh darah terhadap NO pada tingkat SGC. Penurunan ekspresi eNOS dan
menurunnya tingkat NO metabolit dalam urin juga terdapat pada bayi dengan
PPHN (Nair, 2014).
Gambar 2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuluh Darah Paru
(Puthiyachirakkal, 2013)
Endotelin-1 melalui stimulasi ETA diduga berkontribusi pada patogenesis
PPHN. Produksi ET-1 meningkat pada paru-paru dalam model janin domba
PPHN. Intra uterin ETA blokade reseptor kronis setelah ligasi duktus menurunkan
hipertrofi ventrikel kanan dan vaskularisasi distal dari arteri pulmonalis kecil dan
meningkatkan penurunan PVR pada domba yang baru lahir dengan PPHN ET-1
telah terbukti menurunkan ekspresi dan aktivitas INOS melalui ETA reseptor
dimediasi hidrogen peroksida. Selain hidrogen peroksida, superoksida, oksigen
reaktif lain dapat menyebabkan vasokonstriksi paru dan berperan dalam
patogenesis PPHN. Superoksida dapat mengais NO dan mengganggu jalur sinyal
10
nya. Dalam model janin domba dengan PPHN, peningkatan kadar superoksida
telah dibuktikan di arteri paru (Nair, 2014).
2.7 Manifestasi Klinis
Bayi menjadi sakit dalam kamar bersalin atau dalam usia 12 jam pertama. SJP
karena polisitemia, penyebab idiopatik, hipoglikemia, atau asfiksia dapat
mengakibatkan sianosis berat dengan takipnea, walaupun pada mulanya mungkin
ada tanda-tanda kegawatan pernapasan minimal. Bayi menderita SJP yang disertai
dengan aspirasi mukonium, pneumonia streptokokus grup B, hernia
diafragmatika, atau hipoplasia pulmonal biasanya mengalami sianosis, mendekur,
memerah, retraksi, takikardia dan syok (Wahab, 2010).
Denyut jantung dan laju pernapasan dapat bervariasi (Anonim, 2011). Dapat
dijumpai adanya keterlibatan multiorgan. Iskemia miokardium, disfungsi
muskulus papilare dengan regurgitasi mitral dan trikuspidal, serta bising jantung
menghasilkan syok kardiogenik dengan berkurangnya aliran darah paru, perfusi
jaringan, dan penghantaran oksigen. Hipoplasia adalah sangat labil dan sering
tidak sebanding dengan penemuan-pnemuan pada foto rongen dada (Wahab,
2010). Dalam beberapa kasus, USG jantung (ekokardiogram) akan menunjukkan
tanda-tanda peningkatan tekanan pulmonal (Anonim, 2011).
2.8 Diagnosis
SJP harus dicurigai pada semua bayi cukup bulan yang mengalami sianosis
dengan atau tanpa kegawatan janin, retardasi pertumbuhan intrauteri, cairan
amnion bermacampur mukonium, hipoglikemia, polisitemia, hernia
diafragmatika, efusi pleura, dan asfiksia lahir. Hipoksia adalah universal dan tidak
memberikan respons terhadap oksigen 100% yang diberikan dengan kap (hood)
oksigen, namun dapat memberikan respons sementara terhadap tindakan
hiperventilasi hiperoksik yang diberikan melalui intubasi endotrakea, atau dengan
memakai kantong atau masker. Gradien paO2 antara tempat pengambilan darah
praduktus (arteri radialis kanan) dan pascaduktus (arteri umbilikalis) yang lebih
besar dari 20 mmHg memberi kesan shunt kanan ke kiri melalui duktus arteriosus
dan SJP. Pemeriksaan ekokardiografi real time bersama dengan aliran Doppler
11
memperlihatkan shunt dari kanan ke kiri melewati foramen ovale dan duktus
arteriosus. Deviasi sekat intraartrium ke dalam artrium kiri ditemukan pada SJP
berat. Insufiensi trikuspidal atau mitral dapat ditemukan pada auskultasi sebagai
bising holosistolik dan divisualisasikan dengan ekokardiografi bersama dengan
kotraktilitas yang jelek bila SJP disertai dengan iskemia miokardium. Derajat
regurgitasi trikuspidal dapat memperkirakan tekanan arteri pulmonalis. Suara
jantung kedua keras dan tidak membelah (not split). Pada SJP yang disertai
asfiksia dan SJP idiopatik, rongen dada normal; sedangkan pada SJP yang disertai
dengan pneumonia dan hernia diafragmetika, masing-masing menunjukan adanya
lesi spesifik berupa parenkim yang keruh dan adanya usus di dalam dada.
Diagnosis banding SJP meliputi panyakit jantung sianosis (terutama anomali total
muara vena pulmonalis) dan bentuk etiologi terkait yang memberi kecendrungan
SJP (misalnya, hipoglkemia, polisitemia, sepsis) (Wahab, 2010).
Pemeriksaan radiologi akan dilakukan untuk mendapatkan lebih baik melihat
paru-paru, jantung, dan sirkulasi, dan untuk memeriksa kemungkinan penyebab
lain dari masalah bayi (Spear,2012; Diana, 2011) :
Sinar-X dada: dapat menunjukkan apakah bayi menderita penyakit paru-paru
dan melihat pembesaran jantung.
Ekokardiogram: dapat menunjukkan apakah bayi memiliki jantung atau
penyakit paru-paru dan dapat menentukan arah aliran darah dalam organ
tersebut. Tes ini sangat membantu dalam mendiagnosis PPHN karena akan
menunjukkan aliran sirkulasi darah bayi, termasuk melihat keberadaan ductus
arteriosus terbuka atau tertutup dan menentukan apakah adanya PPHN.
USG kepala: dapat digunakan untuk mencari pendarahan di otak.
Uji laboratorium juga dapat membantu dokter dalam membuat diagnosis
PPHN (Spear,2012; Diana, 2011) :
Analisa gas darah dapat: menunjukkan kadar oksigen, karbon dioksida,
dan penumpukan asam yang ada di dalam darah arteri. Pada keadaan
normal, arteri mengandung kadar oksigen yang tinggi dan tes ini
merupakan cara paling akurat untuk menentukan seberapa baik oksigen
yang masuk ke dalam tubuh.
12
Hitung darah lengkap: dapat mengukur jumlah oksigen yang membawa sel
darah merah, sel darah putih (yang membantu melawan infeksi), dan
platelet (yang terlibat dalam pembekuan darah). Hasil pemeriksaan darah
lengkap dapat menunjukkan jika pasien berada dalam keadaan anemia atau
mungkin infeksi yang menyebabkan bayi menjadi sakit.
Tes elektrolit serum: mengevaluasi keseimbangan elektrolit dalam darah.
Lumbar puncture (spinal tap) dan tes darah lainnya dapat membantu
menentukan adanya infeksi.
Pulse oximetry: mengukur kadar oksigen dalam darah yang dapat
membantu memantau jumlah oksigen yang masuk ke jaringan
adekuat/tidak.
Gambar 2.6 Ekokardiografi untuk Mengvaluasi Hipoksia Neonatal Berdasarkan
Aliran Duktus (bar hitam) dan Atrium (bar biru) (Nair, 2014).
13
2.9 Tatalaksana
Terapi diarahkan untuk memperbaiki setiap penyakit predisposisi
(hipoglikemia, polisitemia) dan memperbaiki oksigenasi jaringan yang jelek.
Respons terhadap terapi sering tidak dapat diramalkan, bersifat sementara, dan
dipersulit oleh pengaruh obat atau ventilasi mekanik yang merugikan. Manajemen
awalnya meliputi pemberian oksigen dan koreksi asidosis, hipotensi, dan
hiperkabia. Hipoksia menetap harus ditangani dengan intubasi dan ventilasi
mekanik (Wahab, 2010).
2.9.1 Manajemen di Ruangan Bersalin
Pengenalan awal PPHN dan koreksi faktor untuk mencegah penurunan dari
PVR penting dalam keberhasilan mengelola bayi terlambat bulan atau prematur
dengan gagal pernapasan. Salah satu fitur klasik PPHN adalah hipoksemia tak
stabil. Bayi-bayi ini menunjukkan episode desaturasi sering dan aliran SpO2
melebar dan PO2 arterial tanpa perubahan pengaturan ventilator. Bunyi S2
mengeras dan murmur sistolik trikuspid regurgitasi sering terdengar pada
auskultasi.
Neonatus dengan PPHN sering sianosis sekunder, aliran paru kanan-ke-kiri
secara signifikan menunjukan PVR yang tinggi. Upaya resusitasi yang signifikan
mungkin diperlukan di ruang bersalin. Tindakan resusitasi di ruang bersalin
didasarkan pada the Neonatal Resuscitation Program and the American Academy
of Pediatrics/American Heart Association guidelines. Resusitasi di kamar bersalin
harus fokus pada tenaga optimal paru dan ventilasi. SpO2 ditempatkan pada
ekstremitas atas kanan dan saturasi dipasang selama resusitasi. Pemberian oksigen
berlebihan selama resusitasi menyenebabkan penurunan PVR secara cepat tetapi
meningkatkan kontraktilitas arteri paru dikemudian dan mengurangi respon
terhadap NO inhalasi pada hewan percobaan.
14
2.9.2 Terapi Inhalasi
Tabel: Penatalaksanaan PPHN (Puthiyachirakkal, 2013).
Pemberikan oksigenasi yang adekuat merupakan terapi andalan dari PPHN.
Namun, saat ini tidak ada penelitian secara acak untuk membandingkan tingkat
PaO2 yang berbeda dalam pengelolaan PPHN pada aterm bayi. Hipoksia
meningkatkan PVR dan berkontribusi terhadap patofisiologi PPHN, meskipun
hyperoxia lebih lanjut tidak menurun PVR dan sebaliknya akibat dari cedera
radikal bebas. Menunjukkan bahwa paparan singkat oksigen 100% dalam hasil
domba baru lahir peningkatan kontraktilitas arteri paru dan mengurangi respon
terhadap iNO. Selain aktivasi langsung NO, oksigen reaktif dapat menurunkan
aktivitas eNOS dan aktivitas SGC dan meningkatkan aktivitas PDE5, yang
mengakibatkan penurunan kadar cGMP dan potensi vasokonstriksi paru. Dalam
model ligasi duktus domba dengan PPHN, mempertahankan saturasi oksigen
dalam 90- 97% hasil kisaran pada PVR rendah. Kami sarankan mempertahankan
saturasi oksigen preductal rendah sampai pertengahan 90an selama pengelolaan
bayi dengan PPHN dengan tingkat PaO2 antara 55 dan 80 mmHg (Nair, 2014).
15
1) Ventilasi
Ekspansi optimal paru sangat penting untuk oksigenasi yang memadai serta
pengiriman efektif iNO. Konvensional dan high-frequency ventilation (HFV)
dapat digunakan untuk mengurangi ketidak cocokan V/Q. Dalam studi yang
membandingkan efektivitas HFV dengan ventilasi konvensional pada bayi dengan
PPHN dan gagal pernafasan, baik modus ventilasi lebih efektif dalam mencegah
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). HFOV kombinasi dengan iNO
mengakibatkan peningkatan terbesar dalam oksigenasi pada beberapa bayi baru
lahir yang memiliki PPHN dengan komplikasi oleh penyakit parenkim paru difus
dan di bawah inflasi. Bayi dengan RDS dan MAS lebih manfaat untuk terapi
kombinasi HFV dan iNO . strategi ventilasi secara gentle dengan PEEP yang
optimal, PIP relatif rendah dan beberapa hiperkapnia permisif, sekarang sedang
direkomendasikan untuk memastikan ekspansi paru yang memadai tanpa
menyebabkan barotrauma. Di hadapan garis berdiamnya arteri, tingkat keparahan
PPHN dinilai dari perhitungan oksigenasi index (OI) (Nair, 2014).
OI = Mean airway pressure (cmH2O) x FiO2 x 100 + PaO2 (mmHg)
2) Surfaktan
Terapi surfaktan eksogen meningkatkan oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan ECMO pada PPHN dengan penyakit paru-paru parenkim sekunder,
seperti RDS, pneumonia / sepsis, atau MAS. Percobaan multicenter menunjukkan
bahwa manfaat yang lebih besar pada bayi dengan penyakit yang relatif ringan
dan dengan OI 15-25. Selama satu dekade terakhir, penggunaan surfaktan dalam
mengobati PPHN sekunder dan gagal pernafasan telah meningkat dan mungkin
telah berkontribusi terhadap peningkatan efektivitas iNO dengan berkurangnya
kebutuhan terhadap ECMO (Nair, 2014).
16
3) Nitric Oxide
Pada tahun 1999 , inhalasi oksida nitrat ( iNO ) telah disetujui oleh FDA
untuk digunakan jangka pendek dan jangka panjang pada bayi dengan PPHN.
Telah menjadi pengobatan utama PPHN . NO merupakan vasodilatasi pulmonal
poten dan selektif tanpa menurukan tonus pembuluh darah sistemik . Dalam
intravaskular , menggabungkan dengan hemoglobin membentuk methemoglobin ,
yang mencegah vasodilatasi sistemik ( efek selektif ). iNO mengurangi V/Q tidak
seimbang dengan hanya memasukkan alveoli berventilasi dan spesifik pada
pembuluh darah paru dengan melebarkan arteriol paru yang berdekatan (Nair,
2014).
Percobaan di multicenter besar telah menunjukkan bahwa iNO mengurangi
kebutuhan terhadap ECMO . Sebuah meta - analisis dari 7 percobaan acak dari
iNO digunakan pada bayi baru lahir dengan PPHN juga terbukti bahwa 58 % bayi
hipoksia singkat dan cepat berespon terhadap iNO antara 30-60 menit .
Sementara, penggunaan iNO tidak mengurangi mortalitas pada setiap penelitian
dianalisis, kebutuhan untuk terapi ECMO secara signifikan menurun (Nair, 2014).
Ada perdebatan yang signifikan mengenai dosis awal yang optimal serta
waktu inisiasi terapi iNO. Inhalasi NO memiliki beberapa potensi efek samping,
termasuk disfungsi trombosit, edema paru, methemoglobinemia, dan produksi
racun oleh produk seperti kombinasi nitrat. Kombinasi dengan superoksida, l jauh
ebih berpotensiasi terjadinya cedera oksidatif dengan terbentuknya nitrit peroksi.
Dosis 5-80 ppm telah dipelajari; Namun, sebagian besar uji coba klinis secara
acak mendukung dosis awal 20ppm. Dosis ini di mana puncak peningkatan rasio
tekanan arteri paru ke sistemik tercatat dalam studi yang melibatkan pengukuran
PAP langsung selama kateterisasi jantung. Dosis lebih dari 20 ppm telah dikaitkan
dengan efek yang lebih buruk seperti methemoglobinemia dengan peningkatan
responserate minimal (Nair, 2014).
4) Prostasiklin (PGI2)
Ini bertindak sebagai vasodilator intravena serta bentuk inhalasi dengan
mengaktifkan adenilat siklase dan meningkatkan cAMP di sel otot polos arteri
17
paru seperti vasodilator inhalasi, vasodilator intravena sering menyebabkan
hipotensi sistemik. Inhalasi PGI2 (epoprostenol) telah digunakan dijelaskan
membungkus laporan. PGI2 bertindak sinergis dengan iNO menyebabkan
vasodilatasi paru yang efektif dan juga mencegah rebound hipertensi yang terlihat
saat pemberhentian iNO. Penggunaan PGI2 oral analog natrium, Beraprost seperti
dilansir di Thailand, menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam oksigenasi
indeks dalam lima neonatus dengan PPHN yang tidak berespon terhadap terapi
alkali dan HFOV. Belum ada percobaan terkontrol acak mengevaluasi dampak
dari vasodilator ini dan akibatnya penggunaannya masih terbatas (Nair, 2014).
5) PGE1 Inhalasi
Prostaglandin E1 aerosol (alprostadil) telah digunakan untuk mengobati
hipertensi paru pada orang dewasa maupun pada model hewan percobaan. Dalam
tahap uji coba l studikeci I-II, Sood et al. menyarankan PGE1 hirup adalah
vasodilator paru selektif dan aman terhadap kegagalan pernapasan hypoxemic.
Sebuah uji coba percontohan mengevaluasi penggunaan inhalasi PGE1 (IPGE
trial) iNO PPHN resisten dihentikan karena sedikit data (Nair, 2014).
6) Vasodilator sistemik: Phosphodiesterase inhibitors
Tingginya tingkat kegagalan untuk mendapatkan respon oksigenasi yang
berkelanjutan terhadap terapi iNO telah menyebabkan pencarian lain untuk
meningkatkan vasodilatasi paru. Penghambatan phosphodiesterase cGMP-
merendahkan (PDE5) oleh sildenafil dan penghambatan cAMP merendahkan
phosphodiesterase (PDE3) oleh milrinone adalah dua terapi yang paling
menjanjikan (Nair, 2014).
7) Sildenafil
Obat ini saat ini tersedia baik dalam bentuk oral dan intravena di Amerika
Serikat dan disetujui FDA hanya untuk orang dewasa dengan hipertensi paru.
Penelitian telah menunjukkan bahwa sildenafil oral (kisaran dosis: 1-3 mg / kg
setiap 6 jam) meningkatkan oksigenasi dan mengurangi angka kematian di pusat-
18
pusat keterbatasan ketersediaan iNO. Sildenafil intravena terbukti efektif dalam
meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan PPHN dengan dan tanpa paparan
sebelum iNO. Sildenafil intravena diberikan, risiko efek samping seperti hipotensi
karena vasodilationis sistemik tinggi. Risiko ini dapat dikurangi dengan
pemberian perlahan-lahan degan dosis rumatan (0,4 beban -mg atas 3 h), diikuti
dengan dosis pemeliharaan (0.07mg / kg / jam). Sildenafil dapat mengurangi
hipertensi pulmonal rebound yang dicatat selama penghentian iNO. Uji coba
kontrol acak IV, sildenafil sebelum penggunaan iNO dihentikan karena sedikit
data (Nair, 2014).
8) Milrinone
Vasodilator inotropik ini umumnya digunakan dalam unit pediatrik dan
perawatan intensif dewasa tapi saat ini tidak diizinkan untuk digunakan dalam
mengobati PPHN. Milrinone menghambat PDE3 dan relaksasi arteri paru dalam
model percobaan janin domba model PPHN. Bayi dengan PPHN sulit diatasi
dengan terapi iNO , berespon milrinonein IV pada 3 kasus. Dosis rumatan (50mcg
/ kg) diikuti dengan dosis pemeliharaan (0,33-1 mcg / kg / h) umum digunakan.
Seperti halnya vasodilator sistemik, hipotensi merupakan perhatian klinis dan
tekanan darah perlu dipantau secara ketat. Milrinone mungkin vasodilator paru
pilihan pada PPHN dengan disfungsi ventrikel kiri (Nair, 2014).
9) Bosentan
Endotelin-1 receptor blocker non-spesifik telah digunakan dalam
panatalaksanaan PPHN, terutama pada dewasa. Pada janin domba dengan
hipertensi paru, Ivy et al. menunjukkan bahwa intrauterine kronis, ET blokade
reseptor menurun PAP dalam rahim, penurunan RVH dan muskularisasi distal
dari arteri pulmonalis kecil, dan meningkatkan penurunan PVR saat persalinan.
Penggunaan bosentan pada neonatus digambarkan oleh Goissen et al. dalam dua
bayi dengan transposisi pembuluh darah besar yang berhubungan dengan
hipertensi pulmonal dan telah terbukti efektif dalam PPHN (Nair, 2014).
19
Gambar 2.3: Vasokonstriktor Poten pada Sel ndotel Vaskular (Nair, 2014).
10) Steroid pada PPHN
Setelah lahir, steroid sistemik telah terbukti mengurangi durasi tinggal di
rumah sakit dan ketergantungan Oksigen pada MAS. Pada janin domba model
PPHN, hidrokortison pengobatan pasca lahir telah terbukti meningkatkan
oksigenasi, meningkatkan kadar cGMP, dan mengurangi level ROS. Hal tersebut
menunjukkan peran potensial hidrokortison pada PPHN. Perawatan harus
dihindari penggunaan steroid dengan adanya infeksi bakteri atau virus. Bukti
terbaru bahwa kelainan genetik dalam kortisol jalur berhubungan dengan PPHN
memberikan dasar lebih lanjut untuk menjelajahi peran steroid pada PPHN (Nair,
2014).
11) Extra corporeal membrane oxygenation (ECMO)
ECMO adalah tindakan pendukung pada dasarnya memberikan waktu untuk
jantung neonatal dan paru-paru untuk pulih dari patologi yang mendasarinya.
Dengan meningkatkan teknik ventilasi dan keterbatasan toksisitas oksigen dan
penggunaan terapi seperti HFOV, surfaktan, iNO, dan vasodilator lainnya,
20
penggunaan ECMO untuk gangguan pernapasan neonatus mengalami penurunan.
Rincian teknis serta jenis ECMO dibahas panjang lebar dalam artikel lainnya
(Nair, 2014).
2.9.3 Terapi terbaru
Beberapa terapi baru untuk PPHN sedang diteliti. Termasuk didalamnya
radikal bebas seperti superoxide dismutase (SOD), yang telah meningkatkan
oksigenasi pada domba dengan PPHN. Apocynin, sebuah oksidase inhibitor
NADPH, juga telah ditunjukkan untuk melemahkan ROS mediasi vasokonstriksi
dan meningkatkan aktivitas NOS pada domba dengan PPHN. Penggunaan
betametason antenatal pada hewan telah terbukti meningkatkan relaksasi arteri
paru untuk ATP dan NO donor pada domba dengan PPHN. Peningkatan endotel
NOS dan mengurangi tanda-tanda stres oksidatif juga terungkap dalam kelompok
percobaan steroid. Aktivator dari SGC mungkin lebih efektif daripada iNO dalam
mendorong vasodilatasi paru terutama pada stress oksidatif (Nair, 2014).
2.10 Prognosis
Hasil akhir bayi dengan PPHN dihubungkan dengan hipoksik iskemik
encefalopati yang menyertainya dan kemampuan untuk mengurangi tahanan
vascular pulmonal. Prognosis jangka panjang bayi dengan PPHN bertahan hidup
sesudah pengobatan dengan hiperventilasi sama dengan bayi yang menderita
penyakit dengan keparahan yang ada sejak lahir (asfiksia lahir, hipoglikemia dan
polisitemia). Hasil akhir bayi yang diobati dengan ECMO juga menyenangkan
85%-90% bertahan hidup dan 70%-75% bertahan hidup tampak normal pada usia
1 tahun (Behram, 1999). Berdasarkan pengamatan 15 tahun yang terakhir, tingkat
kematian untuk PPHN sekitar 40%, dan prevalensi kecacatan neurologis utama
adalah 15-60% (Robin, 2010).
21
BAB III
KESIMPULAN
Persistent Pulmonary Hypertension of The Newborn (PPHN) adalah suatu
keadaan dimana terjadi kegagalan transisi sirkulasi normal setelah kelahiran bayi
(Sallaam dkk, 2014; Tzialla dkk, 2010). Hipertensi pulmonal persisten atau
disebut juga persistent fetal circulation (PFC) dapat terjadi akibat peningkatan
resistensi pembuluh darah paru dan akan menyebabkan disfungsi jantung. Bila
afterload ventrikel kanan meningkat, tekanan diastolik akhir ventrikel kanan dan
tekanan atrium kanan akan meningkat melebihi tekanan di atrium kiri sehingga
darah akan mengalir dari kanan ke kiri melalui foramen ovale (Tobing, 2003).
Penyebab paling sering PPHN adalah sekunder, relaksasi tertunda atau gangguan
pembuluh darah paru yang berhubungan dengan beragam patologi paru neonatus.
Terapi diarahkan untuk memperbaiki setiap penyakit predisposisi
(hipoglikemia, polisitemia) dan memperbaiki oksigenasi jaringan yang jelek.
Respons terhadap terapi sering tidak dapat diramalkan, bersifat sementara, dan
dipersulit oleh pengaruh obat atau ventilasi mekanik yang merugikan. Manajemen
awalnya meliputi pemberian oksigen dan koreksi asidosis, hipotensi, dan
hiperkabia. Hipoksia menetap harus ditangani dengan intubasi dan ventilasi
mekanik (Wahab, 2014).
22