Download - Portofolio SH
Hasil Pembelajaran:
1. Subyektif:
± 4 jam smrs os sempat terjatuh ketika sedang mencuci disungai. Pada saat
terjatuh os masih dalam keadaan sadar dan ketika ditanya oleh anak pasien os
mengeluhkan sakit kepala dan merasa tangan dan kaki sebelah kirinya terasa lemas.
± 2 jam smrs bicara pasien mulai terdengar pelo. Pasien sempat muntah
sebanyak 2x sebelum akhirnya dibawa ke RSUD. Muntah dikatakan seperti
menyembur tanpa didahului rasa mual. Pada saat sampai di RSUD os tampak seperti
orang mengantuk dan menjadi sulit untuk dibangunkan atau diajak bicara.
Keluhan lain seperti pingsan, demam dan kejang disangkal keluarga pasien.
Makan dan minum sebelumnya baik. BAK dan BAB sebelumnya lancar.
2. Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Somnolen
Glasgow Coma Scale : E3 M5 V4 (12)
Nadi : 84 x/menit
Tekanan darah : 200 / 120 mmHg
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : 36,4 ˚C
Sat O2 : 95 %
Kesan Gizi : Kurang
Kulit : warna sawo matang, efloresensi -
KGB : tidak teraba membesar
B. Pemeriksaan Sistemik
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
Hidung : Bentuk biasa, lapang +/+, sekret -/-, deviasi septum -
Mulut : Mukosa bibir kering, oral higiene kurang
Telinga : Bentuk biasa, serumen -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2cm H2O
Toraks :
- Paru-paru : Pergerakan dada simetris, Sonor ka= ki, BND vesikuler,
rhonki -/-, wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan IImpa reguler, murmur -, gallop –
Ictus Cordis teraba di ICS 5 garis axilaris anterior
Abdomen : Tampak datar, BU (+) 6-10x/m, supel, hepar dan lien tidak membesar.
Akral : Hangat, CRT < 2”, Edema -/-
C. Pemeriksaan Neurologis
I. Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kernig : -/-
Laseque : > 70 / > 70
II. Nervus Cranialis
N I : kedua cavum nasi lapang, tes penghidu tidak dilakukan
N II : visus kasar sulit dinilai, lap pandang tidak dilakukan, tes buta warna tidak
dilakukan, funduskopi tidak dilakukan.
N III, IV, VI : Ptosis (-), Strabismus (-), eksoftalmus (-), enoftalmus (-), deviasi konjuge
(-). Pupil bulat, ditengah, tepi rata, isokor, Ø 3mm/3mm, refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), gerakan bola mata sulit dinilai
N V : buka mulut baik, gerakan rahang sulit dinilai, menggigit tidak dilakukan,
sensibiltas sulit dinilai, refleks kornea (+/+)
N.VII : sikap wajah saat istirahat asimetris, SNL mendatar dikiri, lagophtalmus (-),
angkat alis, kerut dahi, kembung pipi dan menyeringai sulit dinilai.
N.VIII : nystagmus (-), tes berbisik tidak dilakukan, tes gesek jari sulit tidak dilakukan,
tes rinne, weber dan schwabach tidak dilakukan
N.IX.X : arkus faring simetris, palatum mole intak, refleks faring (+), disfagia sulit
dinilai, disartria (-), disfoni (-), reflek okulokardiak (+), refleks sinuskarotikus (+)
N.XI : angkat bahu dan menoleh sulit dinilai
N.XII : Sikap lidah dalam mulut simetris : atrofi(-), fasikulasi(-), tremor (-), julur lidah
tidak dilakukan dan tenaga otot lidah sulit dinilai.
III. Motorik
Derajat kekuatan motorik : lateralisasi ke kiri
Tonus : Normotoni
Trofi : Eutrofi
Gerakan spontan abnormal (-)
IV. Sensorik
eksteroseptif : sulit dinilai
proprioseptif : sulit dinilai
V. Refleks Fisiologis
Biceps : ++/+
Triceps : ++/+
APR : ++/+
KPR : ++/+
VI. Refleks Patologis
Babinski : -/- Mendel Bechtrew : -/-
Chaddock : -/- Rossolimo : -/-
Schaeffer : -/- Klonus Kaki : -/-
Gordon : -/- Klonus Lutut : -/-
Oppenheim : -/- H. Trommer : -/-
VII. Otonom
miksi (+), defekasi (+)
VIII. Koordinasi
duduk, berdiri, berjalan, telunjuk-hidung, tumit-lutut dan test romberg tidak dilakukan
IX. Fungsi luhur
bahasa : sulit dinilai
kognitif : sulit dinilai
memori : sulit dinilai
afek dan emosi : sulit dinilai
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Radiologis:
- Foto thorax PA: Kardiomegali disertai Elongatio Aorta
Foto Thorax AP (4 Agustus 2015):
B. Laboratorium:
Hemoglobin : 13,1 g/dL
Hematokrit : 39,3 vol%
Leukosit : 11.200/mm3
Trombosit : 253.000/mm3
Eritrosit : 4,31 juta/mm3
GDS : 99 mg/dL
Cholestrol : 168 mg/dL
Trygliserida : 91 mg/dL
Ureum : 16,15 mg/dL
C. EKG
3. Assesment (Penalaran Klinis):
Ny. J, Perempuan 49 tahun diantar keluarga ke UGD karena tampak seperti orang
mengantuk dan menjadi sulit untuk dibangunkan atau diajak bicara. Sebelumnya os sempat
terjatuh ketika sedang beraktifitas, mengeluhkan sakit kepala dan merasa tangan dan kaki
sebelah kirinya terasa lemas, bicara pelo, muntah seperti menyembur sebanyak 2x tanpa
didahului rasa mual. os memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun terakhir namun tidak pernah
berobat secara rutin.
Diagnosis Klinis : Penurunan Kesadaran, Hemiparese Sinistra, parese N VII sinistra sentral
Diagnosis Etiologis : Suspect Stroke Hemoragic
Diagnosis Topis : Cortex cerebri hemisfer dextra
Diagnosis Tambahan : Hipertensi emergency
Diagnosis Banding : Stroke non hemoragic
4. Plan:
Penatalaksanaan :
Pro Rawat Inap
Diet : Puasa Sementara
O2 2-4 lpm nasal canul
Elevasi kepala 30o
IVFD Nacl 0,9% 14 tpm
Citicolin 500mg/12 jam (iv)
Ranitidin 50 mg/12 jam (iv)
Captopril 25 mg (sl) extra ( jika TDS ≥ 200)
Pemasangan NGT
Pemasangan kateter urine
Pemeriksaan Darah rutin, GDS, Ureum, Creatinin, Cholestrol, Trigliserid, EKG, CT
Brain ( tidak dapat dilakukan )
Observasi Keadaan Umum, TTV / 30 menit
Edukasi:
Memberitahu keluarga tentang kondisi dari pasien dan rencana penatalaksanaan yang
akan dilakukan pada pasien.
Memberitahu kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada pasien
Memberitahu keluarga untuk menjaga ketenangan dan tidak terlalu ramai saat berada
diruang perawatan.
Spinal Cord Injury
Spinal Cord Injury atau Cedera medula spinalis (CMS) adalah kerusakan medula spinalis
akibat trauma yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetatif, dan
gangguan fungsi seksual. Trauma yang dapat menyebabkan CMS antara lain: kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas, jatuh, luka tembak, luka tusuk, maupun kecelakaan olahraga. Salah satu
jenis trauma yang dapat terjadi adalah fraktur. Fraktur yang terjadi dapat mengenai anggota
gerak tubuh maupun tulang belakang sehingga mengenai medula spinalis yang menyebabkan
kelumpuhan atau kelemahan pada anggota gerak bawah.1
Epidemiologi1,4
Berdasarkan data dari National Spinal Cord Injury Statistical Center dari University of
Alabama at Birmingham yang dipublikasikan pada Februari 2013, insiden CMS diperkirakan
sekitar 40 kasus per satu juta populasi di Amerika Serikat, atau 12.000 kasus per tahun. CMS
seringkali diderita oleh dewasa muda, dengan hampir setengah dari seluruh kasus terjadi pada
usia 16 – 30 tahun.Sejak tahun 2010, disabilitas neurologis yang diderita adalah tetraplegia
inkomplit sebesar 40,6%, paraplegia inkomplit 18,7%, paraplegia komplit 18,0% dan tetraplegia
komplit 11,6%. Hanya kurang dari 1% yang mengalami perbaikan klinis neurologis yang
komplit.4
Etiologi1,2,3,5
Penyebab trauma sumsum tulang belakang meliputi kecelakaan sepeda motor (44%),
tindak kekerasan (24%), jatuh (22%), kecelakaan olahraga misal menyelam (8%), dan penyebab
lain (2%). Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama CMS. Jatuh merupakan
penyebab utama trauma sumsum tulang belakang pada orang usia 65 tahun ke atas.
Holdsworth membuat klasifikasi CMS berdasarkan mekanisme traumanya sebagai
berikut:
1) Cedera fleksi, menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan mengakibatkan
wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera
yang stabil.
2) Cedera fleksi-rotasi, menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini
merupakan cedera yang paling tidak stabil.
3) Cedera ekstensi, biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi
fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
4) Cedera kompresi vertikal (vertical compression), mengakibatkan pembebanan pada
korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
5) Cedera robek langsung (direct shearing), biasanya terjadi di daerah torakal dan
disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser,
fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. CMS primer
merupakan akibat dari gangguan mekanis elemen neural. Trauma ini biasa terjadi pada fraktur
dan atau dislokasi tulang belakang, atau tanpa keduanya. Fraktur tulang belakang terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal. Di daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung
oleh struktur toraks. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi. CMS primer juga dapat terjadi akibat trauma penetrasi seperti trauma tembak. CMS
sekunder dapat terjadi akibat gangguan arteri, trombosis arteri atau hipoperfusi, hipoksemia dan
iskemia, edema, hematom epidural spinal atau abses yang menyebabkan kompresi sumsum
tulang belakang akut.
Anatomi dan Patofisiologi2,3
Medula spinalis bermula pada medula oblongata, menjulur ke arah kaudal melalui
foramen magnum berakhir di antara vertebra lumbalis pertama dan kedua, lalu meruncing
sebagai konus medularis dan kemudian menjadi filum terminale, yang menembus kantung
duramater. Panjangnya sekitar 45 cm, memiliki 31 segmen, antara lain: 8 segmen cervical, 12
segmen thoracal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, 1 segmen coccygeus. Setiap segmen
mengeluarkan sepasang saraf spinal yang terbentuk dari radiks posterior dan anterior. Letak pada
segmen medula spinalis tidak selevel dengan segmen columna vertebra. Segmen cervical
pertama medula spinalis terletak posterior terhadap vertebra cervical pertama. Segmen thoracal
pertama medula spinalis terletak pada vertebra cervical 7. Segmen lumbal pertama medula
spinalis terletak pada vertebra thoracal 12. Hubungan antara segmen-segmen medula spinalis
dengan corpus vertebra dan tulang belakang penting artinya didalam klinik untuk menentukan
lesi pada medula spinalis. (Gambar 1)
Gambar 1. Segmen medula spinalis
Selama perkembangan, columna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang dari
medula spinalis. Hal ini disebabkan oleh karena laju pertumbuhan medula spinalis dan tulang
belakang berbeda. Jadi, makin rendah radiks saraf makin besar jarak antara asalnya di dalam
segmen medula spinalis dan titik luarnya dari kanalis spinalis. Medula spinalis hanya berjalan
setinggi lumbal pertama atau kedua (sekitar setinggi pinggang). Berkas saraf yang memanjang di
dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai cauda equina.
Sumsum tulang belakang terdiri atas beberapa traktus atau jalur saraf yang membawa
informasi motorik (desenden) dan sensorik (asenden). Traktus kortikospinal adalah jalur motorik
desenden yang terletak di anterior sumsum tulang belakang. Kolumna dorsal adalah traktus
sensorik asenden yang membawa informasi raba, propriosepsi dan vibrasi ke korteks sensorik.
Traktus spinotalamikus lateral membawa sensasi nyeri dan suhu. Traktus spinotalamikus anterior
membawa sensasi raba. Fungsi otonom dibawa oleh traktus interomedial anterior.
Trauma traktus kortikospinal atau kolumna dorsal berakibat terjadinya paralisis ipsilateral
atau hilangnya sensasi raba, propriosepsi, dan getar. Sedangkan trauma pada traktus
spinotalamikus lateral menyebabkan hilangnya sensasi suhu dan nyeri kontralateral. Trauma
sumsum tulang belakang anterior menyebabkan paralisis dan hilangnya sensasi raba inkomplit.
Fungsi otonom dijalankan melalui traktus interomedial anterior. Saraf simpatis keluar dari
sumsum tulang belakang di antara C7-L1, sedangkan saraf parasimpatis keluar di antara S2 dan
S4. Oleh karena itu lesi atau trauma sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi
otonom.
Syok neurogenik ditandai dengan disfungsi otonom, seperti hipotensi, bradikardi relatif,
vasodilatasi perifer, dan hipotermi. Hal ini biasanya tidak terjadi pada trauma sumsum tulang
belakang di bawah T6. Syok spinal didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi neurologis
komplit, termasuk refleks dan tonus otot, dan terkait dengan disfungsi otonom. Syok neurogenik
mengacu pada terjadinya trias hipotensi, bradikardi dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi
otonom dan gangguan pada sistem kontrol saraf simpatis pada trauma sumsum tulang belakang
akut.
Suplai darah sumsum tulang belakang terdiri atas 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior mensuplai dua pertiga anterior sumsum tulang
belakang. Trauma iskemik pada arteri ini berdampak terjadinya disfungsi traktus kortikospinal,
spinotalamikus lateral, dan interomedial anterior. Sindrom arteri spinalis anterior meliputi
paraplegia, hilangnya sensasi nyeri dan suhu dan disfungsi otonom. Arteri spinalis posterior
mensuplai kolumna dorsalis.
Manifestasi Klinis1,2,3,5,6
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang antara lain
adalah nyeri, hilangnya fungsi motorik, hilang atau berubahnya sensari sensorik, sesuai dengan
letak lesi dan jenis lesinya (komplit/inkomplit).
Sindrom sumsum tulang belakang dapat komplit atau inkomplit yang ditandai dengan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik di bawah level lesi. Sindrom sumsum tulang belakang
inkomplit meliputi anterior cord syndrome, Brown-Séquard syndrome, dan central cord
syndrome. Sindrom lainnya meliputi conus medullaris syndrome, cauda equina syndrome, dan
spinal cord concussion.
- Anterior cord syndrome, yang meliputi hilangnya fungsi motorik dan sensasi nyeri
dan/atau suhu, dengan dipertahankannya propriosepsi.
- Brown-Séquard syndrome meliputi hilangnya fungsi propriosepsi dan motorik ipsilateral,
dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral.
- Central cord syndrome biasanya melibatkan lesi servikal, dengan kelemahan otot pada
ekstremitas atas yang dominan daripada ekstremitas bawah. Hilangnya sensasi bervariasi,
nyeri dan/atau suhu lebih sering terganggu daripada propriosepsi dan/atau vibrasi.
- Conus medullaris syndrome adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan
saraf lumbal. Sindrom ini ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan.
Hilangnya fungsi motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
- Cauda equina syndrome melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia
pada pencernaan dan/atau kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
ekstremitas bawah yang bervariasi.
- Spinal cord concussion ditandai dengan defisit neurologik sementara pada sumsum
tulang belakang yang akan pulih sempurna tanpa adanya kerusakan struktural yang nyata.
Trauma komplit berarti terjadi kehilangan komplit dari sensasi dan kontrol otot di bawah
level trauma. Hampir separuh dari trauma sumsum tulang belakang adalah komplit. Sebagian
besar trauma sumsum tulang belakang, termasuk trauma komplit, merupakan akibat luka dari
sumsum tulang belakang atau kehilangan darah yang mengalir ke sumsum tulang belakang dan
bukan dari terpotongnya sumsum tulang belakang.
American Spinal Injury Association (ASIA) membagi CMS berdasarkan derajat
kerusakan (impairment scale) seperti dibawah ini:
A. Komplit : Tidak ada respon fungsi sensorik dan motorik pada segmen
S4-S5
B. Inkomplit : Fungsi motorik tidak ada, fungsi sensorik normal di bawah
level neurologis, termasuk segmen S4-S5.
C. Inkomplit : Fungsi motorik di bawah level neurologis normal dan >50%
otot utama di bawah level neurologis memiliki nilai manual
muscle testing <3.
D. Inkomplit : Fungsi motorik di bawah level neurologis normal dan ≥50%
otot utama di bawah level neurologis memiliki nilai manual
muscle testing ≥ 3.
E. Normal : Fungsi motorik dan sensorik normal.
Diagnosis1,2,3
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologis yang tepat, dilakukan pemeriksaan
laboratorium rutin untuk hemoglobin dan hematokrit untuk mendeteksi atau memonitor
kehilangan darah. Urinalisis juga diperlukan untuk mendeteksi adanya trauma pada traktur
genitourinarius. Selain itu, dilakukan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior
dan lateral, dan bila perlu tomografi tulang belakang untuk mengidentifikasi trauma tulang
belakang, namun jika penderita memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang,
dilakukan CT-Scan atau MRI pada penderita dengan defisit neurologis tetapi rontgen tidak
menunjukkan adanya fraktur. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa
memindahkan atau mengubah posisi penderita.
Penatalaksanaan1,2,7,8
Setelah dipastikan airway, breathing dan circulation (ABC) penderita aman, dilakukan
imobilisasi untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. Pada
CMS servikal dilakukan pemasangan cervical collar. Setelah semua langkah tersebut di atas
dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan
penunjang radiologi juga dapat dilakukan.
Tindakan pembedahan merupakan penatalaksanaan utama yang ditujukan untuk
stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi
dini. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk
menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan
fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik
dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis
yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan
menambah instabilitas tulang belakang.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing
atau dekubitus dapat dicegah.
Komplikasi2,7,8
Pada penderita dengan tetraplegia, persentase terjadinya komplikasi yang biasa terjadi
adalah sebagai berikut: pneumonia (60,3%), ulkus dekubitus (52,8%), trombosis vena dalam
(16,4%), emboli pulmo (5,2%), infeksi pascaoperasi (2,2%).
Prognosis2,3,5
Pada awal tahun 1900, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi
komplit mencapai 100%. Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan
trauma tetraplegia mencapai 90%. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik
untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius. Penderita CMS komplit berpeluang
sembuh kurang dari 5%. Prognosis trauma tulang belakang inkomplit lebih baik, jika fungsi
sensorik masih ada, peluang penderita untuk dapat berjalan kembali dapat lebih dari 50%.