Transcript
  • L EM B A R C O V E R T U GA S 2 0 1 4

    NamaNoMahasiswa

    Alfath Bagus Panuntun El Nur IndonesiaNo. Mahasiswa 13/349852/SP/25853Nama Matakuliah BirokrasiDosen Mashuri Maschab dan SutrisnoJudul Tugas Ujian Akhir Semester, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Politik

    Dinasti dan Implikasinya Terhadap Birokrasi (Studi Kasus ProvinsiBanten)

    Jumlah Kata 1909 (Non-Cover dan Daftar Pustaka)

    CHECKLISTSaya telah:Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten ..........................................................Memberikan soft copy tugas .................................................................................................

    DeklarasiPertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

    Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi. Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun

    menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri. Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide

    dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya sertadisusun sesuai dengan kaidah yang berlaku.

    Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikandan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.

    Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, sayasadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untukmata kuliah ini.

    Tanda Tangan Tanggal, 05 Januari 2015

    Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia

  • Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Politik Dinasti danImplikasinya Terhadap Birokrasi (Studi Kasus Provinsi Banten)Subtema: Birokrasi di IndonesiaOleh: Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia1

    PendahuluanSalah satu agenda besar reformasi tahun 1998 adalah desentralisasi dan

    otonomi daerah (otda). Melalui UU No. 22 Tahun 1999 (kemudian direvisi menjadiUU No. 32 Tahun 2002; kini UU No. 23 Tahun 2014) tentang Pemerintah Daerah,kekuasaan politik yang semula terpusat di Jakarta (sentralisasi) berubah menjadipenyelenggaran secara otonomi di daerah-daerah (desentralisasi). Hal ini dilakukansebagai upaya dari pemerintah pusat untuk mempertahankan NKRI. Sehinggamemuat perubahan manajemen pembagian kewenangan kepada pemerintah daerahdalam menyediakan pelayanan dasar dan mengembangkan sektor unggulan dengancara yang demokratis.

    Peluang untuk mencapai keberhasilan kebijakan desentralisasi dan otda yangsudah berjalan hampir dua dekade ini masih diragukan. Pasalnya, seringkalimuncul hambatan dan indikasi negatif dalam pelaksanaan birokrasi di Indonesia.Lihat saja, pola paternalis masih menjadi penyebab utama munculnya patologibirokrasi. Sikap mental pemerintah yang jauh dari pelayan publik menjadikanbirokrasi di Indonesia berjalan tidak profesional. Tak berbeda jauh dengan birokrasidi era Orba yang menjadi alat politik pemerintah. Hari ini pun birokrasi masihmenjadi alat politik pemerintah, bahkan menjalar ke sektor ekonomi. Karenanya,banyak pihak yang masih meragukan terciptanya tujuan peningkatan kesejahteraanbagi masyarakat.

    Tulisan ini merupakan penelitian lebih lanjut dari terungkapnya kasuskorupsi di Banten. Penulis melihat desentralisasi dan otda memberi peluang bagipemerintah provinsi Banten untuk mengelola daerahnya sendiri secara maksimal.Hanya saja, peluang ini dimanfaatkan oleh penguasa untuk mendirikan sebuahpolitik dinasti. Politik dinasti ini menempatkan orang-orang terdekat penguasa dalamposisi strategis di Banten. Kemudian terjadi monopoli proyek-proyek pemerintahhingga proses pembuatan kebijakan yang dipengaruhi oleh Jawara sebagai shadowstate nya.

    1 Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan NIM: 13/349852/SP/25853

  • Hal tersebut jelas berdampak negatif pada penyelenggaraan pemerintahandalam pelayanan publik. Cara kerja birokrasi di Banten berjalan kearah yangdestruktif. Yang menjadi ironi adalah ketika masyarakat tengah berjuang melawankemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan, dan sulitnya akseskesehatan kesehatan. Disisi lain, para elit politik lokal bermewah-mewahan denganapa yang mereka punya. Karenanya, banyak kalangan menilai desentralisasi danotda menjadi sumber kekacauan politik lokal. Sebab, daerah hanya menjadilumbung kekuasaan raja-raja kecil di daerah untuk mengeruk sumber daya alammenjadi aset bagi kepentingannya.

    Dalam tulisan ini, penulis merumuskan permasalahan studi kasus di Bantenkedalam beberapa pertanyaan mendasar: Mengapa politik dinasti itu bisa terjadi?Apakah implikasinya terhadap kinerja birokrasi? Dan, bagaimana cara untuk mengakhiripermasalahan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan penulis jawabdalam penjelasan berikut.

    Birokrasi, Demokrasi dan KorupsiPenyelenggaraan desentralisasi dan otda erat kaitannya dengan peran serta dari

    birokrasi. Sehingga perlu bagi kita untuk mengetahui apa itu birokrasi.Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Birokasi merupakan sistem

    yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki danjenjang jabatan. Lain lagi dengan Weber yang mengatakan bahwa birokrasimerupakan ideal type of organizations. Dimana hal ini merujuk kepada pembagianpekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab yang jelas. Kemudianadanya struktur yang hierarkis atau adanya rangkaian komando. Selanjutnya, adapejabat yang dipilih dengan kualifikasi tertentu dengan pendidikan dan ujian, dansebagainya. Yang jelas, apapun mengenai birokrasi, intinya adalah sebagaipelaksana kebijakan penguasa (dalam hal ini kebijakan desentralisasi dan otda)dengan fungsi melayani.

    Namun kenyataannya birokrasi menjadi sebuah ancaman bagi demokrasi.Sebab, birokrasi dapat bertindak sebagai alat untuk perluasan dominasi penguasa ditingkat lokal. Padahal, birokrasi diharapkan untuk bertindak netral dan bebas dariintervensi penguasa. Akhirnya, birokrasi berada dalam sebuah dilema. Dia memilihuntuk ikut serta melayani kepentingan penguasa yang notabene-nya pejabat politik,atau memilih untuk berada pada posisi yang netral; hanya sebagai pelaksanakebijakan.

    Dalam berbagai era pemerintahan di Indonesia, birokrasi selalu memilikiperanan penting. Sebagai contoh pada era Soeharto, dimana birokrasi menjadi alat

  • politik strategis untuk melanggengkan kekuasaannya. Kini pun demikian yangterjadi di Banten. Ratu Atut Choisyah (Atut) sebagai Gubernur Banten memegangkendali kuasa atas kinerja para birokrat dibawahnya. Kecenderungan yang terlihatadalah, Atut menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan kepentingan pribadidan keluarganya hingga membentuk suatu politik dinasti.

    Hal tersebut berdampak buruk terhadap kinerja birokrat. Mereka lebihmenonjolkan diri sebagai seorang penguasa ketimbang pelayan masyarakat;sebagaimana yang dilakukan oleh pejabat politik diatasnya. Pungutan liar dansogokan dalam pelayanan publik menjadi budaya yang sulit dihapuskan. Begitupun dengan pola rekrutmen pegawai dan promosi jabatan yang mengarah padahubungan patrimonoal (pertemanan, keluarga, dan politik), sehingga malahmenyuburkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

    Implikasi Desentralisasi: Shadow State di Provinsi Banten"Era otonomi daerah masih diwarnai budaya afiliasi dan 'patron client relationship',

    dimana hubungan birokrasi diwarnai oleh etnisitas, budaya dan politik.2 Kalimat inilahyang tepat untuk membuka bagian ini. Sebelumnya melangkah lebih dalam lagiterkait permasalahan di Banten, kita perlu mengetahui lebih dulu sejarahterbentuknya provinsi Banten.

    Pembentukan Banten sebagai provinsi baru merupakan hasil kebijakanpemerintah Indonesia di era Habibie tentang desentralisasi. Aspirasi untukmembangun Banten sebagai provinsi yang terpisah dari Jawa Barat sudah ada sejaktahun 1950an, di era Sukarno. Hanya saja aspirasi ini mendapat penolakan denganalasan utama, ancaman terhadap keutuhan NKRI yang baru saja merdeka.

    Begitu pun dengan era Soeharto. Nasib Banten masih sebagai bagian dariwilayah provinsi Jawa Barat. Pada masa ini, politik sentralisme dimainkan olehnegara. Hal ini membawa kerugian ke berbagai daerah di Indoensia, termasukBanten. Banten menderita kemiskinan, ketertinggalan dan kekurangan gizi. Hal inidipahami bahwa dengan pembentukan daerag baru, dapat menyelesaikanpermasalahan yang kompleks. Akhirnya, melalui UU No. 23 Tahun 2000, Bantenresmi menjadi provini baru di Indonesia.

    Dengan mulai diterapkannya kebijakan desentralisasi, membuat pemerintahdaerah diberdayakan dan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Selain itu,

    2 http://banten.antaranews.com/berita/17160/lipi-reformasi-birokrasi-pemda-masih-hadapi-kendala

  • desentralisasi juga melibatkan transfer kekuasaan dan wewenang dari pemerintahpusat kepada pemerintah daerah yang akan meningkatkan lokal partisipasi politik,tingkat signifikan tanggung jawab dalam memberikan masyarakat jasa, dankesejahteraan masyarakat setempat (Fitrani et al. 2005). Namun bukan malahmencapai tujuan mulia, justru sebaliknya. Penerapan desentralisasi dan otda diBanten mengakibatkan peningkatan jumlah orang kuat lokal. Orang kuat iniadalah para Jawara yang mengendalikan asosiasi bisnis dan politik lokal melaluihubungan patron-klien. Hal ini merupakan ancaman dari tujuan desentralisasi danotda, karena mengakibatkan terjadinya praktik KKN dalam pemerintah daerah.

    Menurut tempo.co.id, pada tanggal 7 Oktober 2013,3 munculnya politikdinasti di Banten oleh keluarga Atut berawal dari sang ayah, Tubagus ChasanSochib. Sang jawara Banten ini pernah berujar "sayalah gubernur jenderal." Kalimat itudilontarkan sang Jawara setelah Chasan mengantarkan pasangan Djoko Munandar-Ratu Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2001.

    Nama Chasan semakin dikenal melalui CV Sinar Ciomas yang didirikannyapada tahun 1970-an. Perusahaan kontraktor itu yang menjadi cikal bakal berdirinyaPT Sinar Ciomas Raya yang sahamnya dimiliki keluarga besar Chasan. Proyek-proyek besar di Banten seperti pembangunan gedung DPRD, pelabuhan dermaga diCigading, dan sebagainya tidak lepas dari PT Sinar Ciomas. Tubagus Chasan Sochibmeninggal 30 Juni 2011. Namun, pamor keluarga ini belum luntur karena keluargabesarnya masih menduduki banyak posisi penting di sektor pemerintahan maupunbisnis di Banten.

    Terlihatnya peran komunitas Jawara dalam pemerintahan di Banten terlihatdari adanya upaya pelepasan diri dari provinsi Jawa Barat. Chasan adalah tokohsentral yang menjadi garda terdepan dalam upaya pelepasan tersebut. Denganberbagai alasan dan pertimbangan, akhirnya Banten berhasil melepaskan diri danmenjadi provinsi Baru.

    Setelah berhasil memisahkan diri, permainan kotor Chasan dimulai daripemilihan Gubernur Banten. Terlihat disana ada sekelompok pebisnis yang kuatuntuk mendukung pemenangan Djoko Munanda - Ratu Atut. Dengan money politic,pasangan tersebut berhasil memimpin Banten. Biaya kampanye yang mahalmembuat Chasan dan keluarganya memonopoli berbagai proyek pemerintahan diBanten untuk membalikkan modal. Monopoli proyek ini dilakukan dengan caramemenangkan tender kepada perusahaan milik Chasan, PT Sinar Ciomas.

    3 http://www.tempo.co/read/news/2013/10/07/063519657/Silsilah-Dinasti-Banten-Abah-Chasan-dan-Para-Istri

  • Dalam hal ini, jaringan jawara merupakan bagian patronase politik lokalBanten yang mengkonsolidasikan sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik.Dalam sistem sentralistik era Soeharto, jaringan patronase yang berpusat di istanapresiden di Jakarta diperluas ke provinsi, kota dan desa. Sebaliknya, selamadesentralisasi, jaringan patronase telah dilarutkan sendiri melalui aliansi baru yangdisubordinasi lembaga demokrasi khususnya pemerintah daerah dalam tujuanekonomi dan politik. Para Jawara ini sangat erat mengontrol DPRD sebagai pembuatkebijakan daerah, melalui partai politik, asosiasi bisnis seperti sebagai kamar daganglokal, dan media lokal. Keberadaan dari Jawara yang mampu membuat, mengubahdan mengarahkan kebijakan inilah yang disebut sebagai shadow state.

    Shadow state mengajarkan kepada kita tentang sesuatu, bahwa ada entitassosial yang memiliki kemampuan sama persis dengan negara. Bertahannya politikdinasti di Banten untuk mengontrol jaringan lokal bisnis dan kekuatan lokal yangsebagian besar didukung oleh fakta bahwa wilayah Banten strategis terletak di dekatJakarta yang berkembang penyedia keamanan swasta bekerja sama dengankelompok militer dan polisi. Mereka juga mengontrol organisasi keamanan jaringanuntuk mengamankan kekuasaan politik lokal di berbagai peristiwa politik sepertipemilihan, kerusuhan, dan koersif instrumen untuk mencapai dukungan politik darimasyarakat setempat. Akhirnya, keberlanjutan kekuasaan mereka didukung faktabahwa di Banten terutama di daerah selatan ditandai dengan kemiskinan dan tidakadanya kelas menengah terorganisir yang mampu menentang dominasi oligarki(Masaaki dan Hamid 2008).

    Mengakhiri Derita BirokrasiBeberapa oligarki lokal di Banten membangun dinasti politik selama era

    desentralisasi. Kebijakan desentralisasi memberikan kontribusi terhadap munculnyaoligarki lokal yang berkuasa melalui proses demokratisasi. Tubahus Chasan Sochibadalah tokoh terkemuka dikalangan oligarki lokal di Banten. Munculnya Chasanyang membangun dinasti politik utamanya didukung oleh kisah sukses negara OrdeBaru dalam mengelola bisnis lokal. Chasan aktif terlibat dalam proyek infrastruktursaat Banten masih menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat. Selain itu, dominasinyadi Banten menjadi kuat ketika putrinya memenangkan pemilukada Banten sebagaiWakil Gubernur Banten pada tahun 2001. Setelah kejadian itu, Chasan memilikiakses langsung untuk ikut campur tangan dalam proses kebijakan.

    Kasus di Banten mengindikasikan besarnya implikasi negatif daridesentralisasi dan otda jika tidak dilakukan antisipasi dari pemerintah dalammengawasi daerah-daerah. Beruntung, kasus yang telah tercium sejak lama bahkan

  • telah menjadi rahasia umum di Banten ini mendapat penangan lebih lanjut daripihak kepolisian. Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardhana diciduk oleh timKPK karena telah melakukan berbagai pelanggaran dan penyelahgunaankewenangan pemerintahan. Akhirnya, keduanya dinyatakan bersalah dan sudahmenjadi terdakwa.

    Pada tanggal 14-18 Juli lalu, bertempat di Aula kantor Gubernur Banten.Sebanyak 23 orang pejabat eselon II dilingkungan Pemprov Banten dan 6 orangpejabat Pemda Kabupaten/Kota mendapat pelatihan dari Deputi BidangPencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI dalam kegiatan Training ofTrainers (ToT) Tunas Integritas. Kegiatan ini dibuka oleh Plt. Gubernur Banten, RanoKarno. Kegiatan ini merupakan kerjasama Pemprov Banten dan KPK RI denganmaksud agar Pemprov dan Pemda di Banten memiliki tunas-tunas integrtitas yangdiharapkan menjadi pendorong terwujudnya birokrasi yang berintegritas.4

    Bagi kami, reformasi birokrasi merupakan tolok ukur bagi penyelenggaraandesentralisasi dan otda. Pasalnya, terdapat hubungan yang erat antara desentralisasidan otda dengan birokrasi. Desentralisasi dan otda diharap mampu mendekatkanpelayanan publik dan menyejahterakan masyarakat. Sehingga, birokrasi mampumendeteksi langsung persoalan-persoalan di masyarakat dan melayani masyarakattanpa harus menunggu instruksi dari Pusat.

    Penerapan Good Governance yang dilakukan oleh pemerintah diharapkanmampu menjadi jawabannya. Good Governance merupakan konsep birokrasi yangtelah terdemokratisasi. Ini merupakan jawaban atas dilema yang terjadi padabirokrasi dan demokrasi. Sebab, Good Governance menekankan pentingnya efektifitasdan efisiensi dari birokrasi dan mengajak masyarakat untuk terlibat dalampengawasan pemerintahan. Dengan begitu, maka derita birokrasi akan berakhir,karena birokrasi telah menjadi sebuah lembaga yang independen sebagaimanahakikatnya. Dengan itu pula, maka demokrasi akan menjadi lebih baik.

    Sebagai penutup, ada satu hal yang perlu diingat, bahwa politik bekerja karenasumberdaya. Maka dari itu, kuasai sumberdaya. Dari penjelasan ini pula, penulismenyimpulkan bahwa dengan adanya desentralisasi, maka pergeseran isu politikatau lokus kajian dari yang sifatnya sentralistik (Jakarta) berubah menjadi lokal(tidak tunggal). Namun pemerintah sepertinya belum siap dalam menghadapiimplikasi dari penerapan desentralisasi dan otda. Hal ini yang berdampak padamunculnya raja-raja baru ditingkat lokal yang malah merugikan negara danmasyarakat itu sendiri.

    4 http://inspektorat.lebakkab.go.id/2014/07/mewujudkan-birokrat-banten-yang-berintegritasi/

  • Daftar Pustakahttp://banten.antaranews.com/berita/17160/lipi-reformasi-birokrasi-pemda-masih-hadapi-kendala, diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 20:51 WIB.http://nasional.kompas.com/read/2013/10/14/0929311/Birokrasi.dalam.Genggaman.Ratu.Atut, diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 20:52 WIB.http://inspektorat.lebakkab.go.id/2014/07/mewujudkan-birokrat-banten-yang-berintegritasi/ diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 22:22 WIB.http://www.tempo.co/read/news/2013/10/07/063519657/Silsilah-Dinasti-Banten-Abah-Chasan-dan-Para-Istri, diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul22:25 WIB.Hidayat, Syarif, 2007. Shadow State? Business and politics in the province of Banten, in Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds), Renegotiating Boundaries:Local Politics in post-Suharto Indonesia. KITLV Press: Leiden.Fitrani, Fitria, Hofman, Bert and Kaiser, Kai. 2005, Unity in Diversity? The Creationof New Local Governments in a Decentralising Indonesia, Bulletin of IndonesianEconomic Studies, 41:1, 57-79.

    Okamoto Masaaki, Abdul Hamid, Jawara in Power, 19992007, Indonesia. Vol. 86,2008. 109-138.


Top Related