Download - Peritoneal Adhesi
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM.
Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan
membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembu-
luh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi
dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ
retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh
permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8
m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel
terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul, (Witmann & Walker,
1994).
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas
organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga
peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakter-
istik cairan peritoneum; berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi
protein kurang dari 3 g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL; mengandung
komplemen mediator sebagai antibakterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirku-
lasi cairan peritoneum melalui kelenjar lymph dibawah permukaan dia-
fragma dengan kecepatan pertukaran cairan ekstrasellular 500 ml perjam.
Melalui stoma di mesothelium diafragma partikel-partikel termasuk bakteri
dengan ukuran kurang dari 20 ųm dibersihkan, selanjutnya di alirkan teru-
Universitas Sumatera Utara
tama ke dalam duktus thorasikus kanan.
Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral
yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior,
sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral
disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini
terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang
respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan
temperatur (Witmann & Walker, 1994).
2.2 DEFENISI.
Adhesi intraperitoneal didefenisikan sebagai jaringan fibrosa yang
menghubungkan antara dinding rongga abdomen bagian dalam dengan
permukaan organ tubuh yang terdapat dalam rongga abdomen (saluran
cerna, uterus, kantung kemih dan lainnya) atau antar sesama organ in-
traabdomen dimana dalam keadaan normal jaringan tersebut tidak ada.
Reformasi adhesi adalah terulangnya adhesi setelah adhesiolisis. “De
novo adhesion” adalah adanya adhesi baru yang terbentuk di lokasi yang
sebelumnya tidak memiliki adhesi. ( Diamond MP & Orhon E 1996 )
2.3 ETIOLOGI
Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pascalaparotomi,
antara lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis
akut, diverticulitis, penyakit crohn’s, cholecystitis, penyakit radang pelvis (
PID), abses intraabdomen dan abses hati ) ( Perry dkk, 1955; Dizerega
2000 ) trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar ), cedera panas
Universitas Sumatera Utara
(kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang
tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi
), paparan benda-benda asing (bubuk tepung dari sarung tangan, serat-
serat jaringan, atau potongan benang ), dan Iain-lain (Badawy & Iskandar,
1974; Ellis, 1982)
2.4 PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN ADHESI
2.4.1 RESPON TRAUMA PADA PERITONEUM
Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan
reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan pros-
taglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel
mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast me-
lepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom,
faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk mem-
bunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh
baik secara anatomi dan fisiologi (Lai, dkk., 1993).
Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam
rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka.
Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan
membantu membersihkan jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil menca-
pai puncaknya setelah 24 jam dan secara perlahan digantikan oleh
monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi makrofag yang akan
melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka (diZerega, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β)
yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk
menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan
pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk
antara 48 sampai 72 jam pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat
terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi pro-
liferasi sel endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi dan
ditemukan deposit kolagen yang menetap di jaringan peritoneum (Lai,
dkk., 1993).
Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat
pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara
komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari
keempat dan kelima sel mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka
dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan keenam jum-
lah makrofag akan menurun dan pada hari kedelapan sel mesotelium akan
menutupi luka dan beregenerasi secara komplek ( Witmann & Walker,
1994; Holmdahl, 1997).
Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan
mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik
besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat.
Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara sentripetal dari
pinggir luka (Witmann & Walker, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Lamanya proses penyembuhan untuk peritoneum parietal sekitar 5-
6 hari dan peritoneum visceral membutuhkan waktu 5-8 hari ( Ellis, 1982 ).
2.4.2 MEKANISME TERJADINYA ADHESI
Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentu-
kan adhesi (Johnson & Whitting, 1980; Ellis, 1982; Holmdahl, dkk, 1997).
Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin. Trom-
boplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi
fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan
bekuan fibrin membentuk jaringan fibrin.
Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai
bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibri-
nolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium
memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi
dan Antigenik Immunoassays yang menjelaskan bahwa tissue Plasmino-
gen Activator (tPA) adalah plasminogen aktivator utama pada biopsi peri-
toneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perleka-
tan serosa ( Mireille van Westreenen 1998 ).
Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses
iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity
(PAA) menghilang ini terutama dikaitkan dengan peningkatan dramatis
Plasminogen Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera.
Pengamatan pada sel menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridis-
asi. Studi-studi ini menegaskan bahwa mesothelium memainkan peran
Universitas Sumatera Utara
penting dalam penghambatan fibrinolisis peritoneum akibat cedera (
Mireille van Westreenen 1998 )
Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan
fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terben-
tuk akan digantikan oleh sel fibroblast dan jaringan kolagen serta pemben-
tukan pembuluh darah baru, akan membawa anti-plasmin untuk melawan
efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan fibrosa untuk membentuk ad-
hesi fibrosa yang permanen (Evans, dkk., 1993, Holmdahl & Risberg,
1997, Eko & Sutanto, 1997),
Gambar I. merupakan skematik dugaan mekanisme pembentukan adhesi yang dijelaskan oleh Gutman dan Diamond.
Migrasi & Frolif‐erasi Fibrinoblas‐
tik
Pembentukan Adhesion
Fibrin split Products
Plasminogen activator (di Submesothelium)
Fibrinolysis tidak adequate (Ischemia, abrasi, deposisi fi‐brin berlebihan)
Fibrinolysis
Awal dari kaskade kom‐plemen
Perdarahan Intra‐abdominal
Eksudat Inflammasi, Ma‐trik Fibrin degan Elemen
sellular
Plasminogen
Plasmin
Fibrin
Hilangnya Sel Mesothelial +
Peningkatan Permeabilitas
+
Pelepasan Tromboplastine
Cedera Peritoneum
Berkebangnya Auto Antibodi
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Mekanisme untuk pembentukan adhesi. ( Dari Gutman dan 6,7Diamond).
2.5 DERAJAT ADHESI INTRAABDOMEN
Derajat adhesi digunakan untuk menilai tingkat keparahan adhesi,
berguna untuk penelitian dan klinis. Derajat ini dinilai baik secara mak
roskopis maupun mikroskopis. Derajat adhesi yang digunakan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut
Table 1. Grading of adhesi Menurut Zuhike et al *
skor Derajat Deskripsi 0 Tidak ada pe-
lekatan
1 Filmy adhesi diperlukan pembedahan tumpul yang lembut, untuk pembebasan adhesi
2 Mild adhesi diperlukan pembedahan tumpul agresif un-tuk membebaskan adhesi
3 Moderat adhesi pembedahan tajam diperlukan untuk mem-bebeskan adhesi
4 Severe adhesi diperlukan diseksi untuk membebaskan ad-hesi, tidak dapat dihindari kerusakan organ
* nilai adhesi berdasarkan masing-masing lokasi termasuk garis tengah, adnexa / subcutis, perut bagian atas (hati), peritoneum parietalis, omentum, dan diantara loop usus. Jumlah lokasi tersebut membentuk adhesi total skor (0-24).
Table 2. Derajat vaskulerisasi adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger, 1978.
Derajat Diskripsi
Grade 0 Tidak ada adhesi
Grade I filmly, Adhesi yang avaskuler, mudah dipisahkan dan terbatas
hanya pada satu tempat
Grade 2 Adhesi yang memiliki vaskulerisasi, tebal dan meninggalkan
permukaan yang kasar setelah dilakukan pemisahan, tetapi
masih terbatas pada satu tempat
Remesothelialisasi
Universitas Sumatera Utara
Grade 3 Adhesi yang telah meluas di beberapa tempat
2.6 USAHA UNTUK PENCEGAHAN ADHESI INTRAPERITONEUM
Setiap usaha pencegahan adhesi harus dimulai sejak prosedur
pembedahan dimulai dan dilanjutkan selama tiga sampai empat hari sete-
lah operasi (Witmann & Walker, 1994). Upaya pencegahan dapat dilaku-
kan dengan menggunakan teknik operasi mutakhir misalnya laparoskopik
dan menciptakan keseimbangan proses fibrinogenesis dan fibrinolisis
(Risberg, 1997). Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:
2.6.1 PENCEGAHAN DEPOSISI DARI FIBRIN
Antara lain dengan penggunaan anti-koagulan seperti sodium si-
trat, heparin, dikumarol dan dextran atau aprotinin (Trasylol). Anti-
koagulan akan mencegah tebentuknya bekuan dan pembentukan fibrin.
2.6.2 MENGHILANGKAN EKSUDAT FIBRIN DARI RONGGA PERITONEUM
Fase awal terbentuknya adhesi adalah perlengketan organ visceral
yang berdekatan karena eksudat fibrin. Untuk mencegah terjadinya or-
ganisasi eksudat fibrin sehingga menjadi permanen, digunakan agen-
agen fibrinolitik. Agen fibrinolitik bekerja secara langsung dengan mengu-
rangi massa fibrin dan secara tidak langsung dengan merangsang aktivi-
tas plasminogen activator. Beberapa contoh agen fibrinolitik ini adalah fi-
brinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin
pepsin dan plasminogen activator. Penggunaan recombinant tissue Plas-
minogen Activator (rtPA) dalam penelitian binatang, dapat mengurangi ter-
Universitas Sumatera Utara
jadinya adhesi. Evans, dkk., (1993), dalam penelitiannya membuktikan
bahwa walaupun rtPA akan mencegah ataupun memodifikasi pembentu-
kan adhesi intraabdomen, sangat tergantung pada dosis pemakaian.
2.6.3 PENCEGAHAN PROLIFERASI FIBROBLAST
Proliferasi fibroblast dapat di cegah oleh agen antiinflamasi seperti
kortikosteroid, NSAID (tolmetin, ibuprofen, dan indometasin, ketorolak ),
antihistamin ( prometazin ) progesteron, Ca bloker dan kolkisin. Mekan-
isme kerja secara umum menghambat sintesis dan aktivasi pros-
taglandin, mengurangi agregasi platelet, menurunkan permeabilitas
vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi
makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen,
mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan li-
sosom.
NSAID meningkatkan produksi IL-10 yang mengaktifkan proses fib
rinolitik, menghambat neovaskularisasi, mengurangi migrasi dan prolif-
erasi fibroblast serta produksi kolagen sehingga deposit fibrin yang ter-
bentuk dapat lisis dan mencegah terbentuknya adhesi fibrosa yang per-
manen (Witmann & Walker 1994).
2.6.4 PEMISAHAN MEKANIK
Barier antiadhesi ada 2 jenis; barier cairan makro molekul dan bar-
ier mekanik. Barier ideal adalah; aman dan efektif, tidak merangsang
reaksi inflamasi, non imunologik, bertahan selama fase remesotelialisasi,
tidak perlu dijahit, aktif dalam lingkungan berdarah, biodegradasinya sem-
purna, tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka, tidak meningkat-
kan infeksi atau menyebabkan adhesi. Contoh barier mekanik cairan; RL,
Universitas Sumatera Utara
dextran 70, asam hyaluronat, HA-PBS/aseprocoat, dan karboksi metil se-
lulosa. Sedangkan contoh barier padat yaitu transplant peritoneal autolo-
gous, PTFE (Goretex), oxidized-regenerated cellulosa (Interceed), dan HA
CMC (Seprafilm).
Rangkuman klassifikasi bahan pencegah adhesi dimuat dalam ta-
ble berikut ini, yang di ambil dari modifikasi oleh Cutmann dan Diamond.
Table 3. Klassifikasi bahan Pencegah adhesi :
Pemisahan Mekanik
Instilasi intraabdomen
Dextran
Mineral oil
Silicone
Povidone
Vaseline
Crystalloid solutions
Carboxymethylcellulose
Barrier
Jaringan endogen
Ornental grafts
Peritoneal grafts
Bladder strips
Fetal membranes
Bahan eksogen
Oxidized cellulose
Oxidized regenerated cellulose
Polytetrafluoroethylene
Gelatin
Rubber sheets
Metal foils
Plastic hoods
Universitas Sumatera Utara
Hyaluronic acid
Photopolymerizable gel
Reverse thermal gelation gel
Antikoagulan
Heparin
Citrates
Oxalates
Anti inflamasi
Corticosteroids
Nonsteroidal anti inflammatory drugs
Antihistamines Progesterone
Calcium channel blockers
Antibiotik
Tetracyclines
Cephalosporins
Fibrinolitik
Fibrinolysin
Papain
Streptokinase, Urokinase
Hyaluronidase, Chymotrypsin, Trypsin
Pepsin
Plasmin activators
2.6.4.1 Methylen blue
Methylen blue merupakan senyawa kimia dengan nama kimia :
3,7-bis(Dimethylamino)-phenothiazin-5-ium chloride mempunyai rumus
molekul : C16H18 N3SCl,. Pada temperatur ruang berbentuk serbuk
padat, yang menghasilkan suatu larutan biru ketika dilarutkan dalam air,
Universitas Sumatera Utara
berat molekul rendah, larut dalam air dan lemak. Membentuk hydrat
mempunyai 3 molekul air dari setiap molekul. Methylen blue tidak akan
merusak jaringan tubuh atau jaringan histologi lainnya.
Rumus bangun:
Penggunaan klinis sebagai zat pewarana pada pemeriksaan histo-
patologik (Wright's stain & Jenner's stain ), anti serotonin toxicity, MAOI
(monoamine oxidase inhibitor ) Anti malaria (Paul Ehrlich 1891), anti do-
tum pada keracunan sianida ( 1 – 9 mg/kg bb ), zat pewarna pada
endoscopic polypectomy , untuk membedakan dysplasia, identifikas fistel,
dan sentinel lymph node.
Selain itu methylen blue diketahui menghambat pembentukan ok-
sigen radikal seperti superoksida dengan cara berkompetisi dengan oksi-
gen untuk transfer elektron dari flavor-enzim, terutama xantina oksidase.
Efek ini menyebabkan hambatan pada pembentukan mediator inflamasi,
yang pada akhirnya menghambat pembentukan adhesi ( Galili dkk. 1998 ).
Sebelumnya Prien dkk ( 1995 ) menemukan methylen blue merangsang
aktifitas makrofag yang pada akhirnya merangsang pembentukan adhesi.
Suatu penelitian pengaruh methylen blue terhadap pembentukan
adhesi intraperitoneal pada tikus, dengan dosis yang berbeda ( Kluger
dkk, 2000 ) menyimpulkan bahwa pada dosis kecil methylen blue
menghambat pembentukan adhesi sedangkan pada dosis besar merang-
Universitas Sumatera Utara
sang pembentukan adhesi. Kluger juga menjelaskan konsentrasi terbaik
methylen blue mencegah adhesi adalah 1% dengan dosis 7 ml/kgbb. Ali
Celik M.D ( 2008 ) dkk. juga menemukan bahwa methylene blue pasca-
operasi mencegah adhesi (p <0,05).
2.6.4.2 Dextran 70
Dextran suatu kompleks polisakarida berviscositas tinggi. Panjang
rantai bervariasi (dari 10 - 150 kilo daltons). Memiliki Berat Molekul 40.000
( dextran 40 ) dan BM 70.000 ( dextran 70 ) dengan rumus molekul :
H(C6H10O5)xOH.
Manfaat klinis sebagai antithrombotik ( antiplatelet ), Plasma ex-
pander, dan sebagai barier antiadhesi intrabdominal pascaoperasi
laparotomi.
Mekanisme kerja sebagai antiadhesi dengan cara: (1) pemisahan
organ-organ secara mekanis; (2) proses pembungkusan permukaan jaring
an; dan (3) mengubah struktur fibrin, yang membuat fibrin rentan men-
galami proses lisis. (Tangen, dkk, 1972), (4) efek dilusi dari bekuan fibrin
dan faktor kemotaksis lainnya yang mencetuskan terbentuknya adhesi, (5)
juga memiliki aktifitas penghambat lymposit dan makrofag ( Polishuk &
Aboulafia, 1967).
Universitas Sumatera Utara
Dextran 40 tidak menunjukkan manfaat antiadhesi, karena terab-
sorpsi cepat dalam rongga peritoneum.
Dextran 70 tersedia dalam dua konsentrasi 6 % dan 32%. Menurut
penelitian ( Soules MR dkk ) tidak terdapat perbedaan antara 6% dextran
70 dan 32% dextran 70 dalam pencegahan adhesi intraperitoneal. Utian
dkk (1979) tidak menemukan adanya perbedaan terjadinya adhesi dan
tingkat fertilitas antara kelompok dextran 6% dengan 32%. Holtz dkk
(1980) melaporkan berkurangnya angka adhesi dengan dosis rendah dex-
tran 6% setelah trauma peritoneum, tetapi tidak didapati perbedaan angka
kejadian adhesi setelah tindakan lisis dan terapi dengan dosis rendah.
Efek samping yang dilaporkan tidak banyak, meliputi anaphylaxis,
volume berlebihan, edema paru, edema cerebral, dan kelainan fungsi
platelet. komplikasi signifikan akibat efek osmotik dextran adalah Gagal
Ginjal Akut. Pathogenesis gagal ginjal banyak diperdebatkan antara efek
toksik langsung terhadap tubulus dan glomerulus yang lain efek hyper-
viskositas intraluminal. Pada pasien dengan riwayat diabetes melitus, in-
sufisiensi ginjal, kelainan vaskuler dextran beresiko lebih tinggi, sehingga
penggunaannya tidak dianjurkan
2.6.4.3 Oxidized Regenerated Cellulose.
Bahan ini tersedia dalam bentuk membran atau gel. Mekanisme
kerjanya dengan memisahkan permukaan peritoneum yang rusak atau
cedera yang mungkin beresiko untuk terjadi adhesi. Bahan ini
berpengaruh hanya lokal di tempat diletakkan, tidak berpengaruh pada
tempat lain di rongga peritoneum.
Universitas Sumatera Utara
Bahan membran barier yang pertama dan terbanyak digunakan
pada manusia adalah “Oxidized Regenerated Cellulose” dikenal sebagai
“Interceed” (Johnson & Johnson, New Brunswick, NJ). Bahan ini
merupakan pengembangan dari “oxidized cellulose”, bahan ini memiliki
sifat:
Memiliki aktifitas bakterisida terhadap gram positif dan gram negatif
termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik (MRSA, VRE,
PRSP dan MRSE)
ORC Natural produk dengan reaksi minimal pada jaringan sekitar
Diserap penuh dalam waktu 7 – 14 hari
Bahan yang tipis, fleksibel dan mudah dipotong dan dibentuk sesuai
permukan penerima, dan mudah lengket tanpa penjahitan
Pencegahan adhesi bersifat lokal pada daerah yang ditutupi
Meskipun penelitian menunjukkan OCR sukses dalam mengurangi
pembentukan adhesi dalam prosedur kebidanan, penggunaannya secara
umum pada prosedur bedah tidak diketahui. Selain itu, telah diketahui
bahwa penggunaan interceed, tidak dianjurkan pada daerah yang per-
gerakanya tinggi dan daerah dimana genangan darah atau cairan tidak
dapat dihindari misalnya didaerah dasar panggul. Hal ini dikarenakan,
kemanjuran Interceed dapat berkurang secara signifikan (Craig IB, Doug-
las T, Carlos ES , 1991 )
Universitas Sumatera Utara