Download - NSTEMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang
disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Terminologi sindrom
koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara
luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui
berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.
Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan
pelepasan isi granuler yang menyebabkan agregasi platelet lebih lanjut,
vasokonstriksi dan akhirnya pembentukan trombus. 1,2
Pada infark miokard Ustable Angina Pektoris (UAP)/Non ST Elevation
Myocardial Infarction (NSTEMI) disamping nyeri dada dan perubahan EKG
(ST elevasi pada STEMI dan ST depresi,T inversi atau normal pada NSTEMI)
disertai tes cardiac status (kualitatif) atau tes cardiac reader (kuantitatif). Pada
angina biasa tidak ada perubahan dengan EKG dan tidak terdapat kenaikan
enzim jantung.1
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tercatat bahwa lebih dari
7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002, angka ini
diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia,
berdasarkan data survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001
menunjukkan tiga dari 1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun
2007 terdapat sekitar 400 ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung
koroner menjadi pembunuh nomor satu di dalam negeri dengan tingkat
kematian mencapai 26%.3
American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan
prevalensi PJK di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena
PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara
berkembang terdapat 39 juta.4
1
Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya
15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung
asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada
usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung
koroner merupakan penyebab utama dari gagal jantung.4
B. Tujuan penulisan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui definisi, faktor resiko, pathofisiologi, gejala klinis, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, pengobatan dan prognosis Ustable Angina Pektoris
(UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Sudah tidak bekerja
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo
Tanggal Masuk : 17 November 2012
No RM : 1975xx
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 17 November 2012
jam 12.17 WIB dengan keluhan sesak nafas sejak ± 1 minggu. Sesak nafas
dirasakan tidak berkurang dengan perubahan posisi. 1 hari pasien
mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada yang menjalar kebagian
leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti ini sudah dirasakan
sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui sudah
minum obat namun sakit tidak berkurang.
Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat
beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri
dada tidak disertai mual dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : diakui
3
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : diakui, ibu pasien memiliki riwayat hipertensi
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : diakui
Riwayat minum alcohol : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Compos mentis, lemas
Vital Sign : TD : 120/80 mmHg
N : 104x/menit
Rr : 36x/menit
T : 36° C
Kepala : Normocephale
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : Inspeksi : iktus cordis tak tampak, dinding
dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : iktus cordis di SIC V linea
midclavicularis
Perkusi : Batas atas jantung SIC III linea
parasternalis sinistra, batas jantung
bawah SIC V linea
midclavicularis.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising
(-)
4
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri,
ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri,
ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani, nyeri ketok kostovertebral (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor elastisitas kulit
normal
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambar 1. EKG tanggal 17 November 2012
5
Hasil EKG: QRS rate 97x/menit, Aksis Normal, Gelombang P morfologi
normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2’’, Kompleks QRS durasi 0,12’’,
Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL
Kesimpulan : EKG : NSR, OMI inferior dan Ischemic high lateral
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin (17 Desember 2012)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin pada tanggal 17
Desember 2012 ditemukan Hb 12,4 gr/dL, eritrosit 5,07 mL, hematokrit
37,2%, MCV 73,4 fL, MCH 24,5 pg, MCHC 33,3%, Leukosit 9.500,
Trombosit 26.700 dan golongan Darah pasien “B”
V. DIAGNOSIS
- Obs. Dypsneu
- dd UAP/NSTEMI
VI. TERAPI
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Cek EKG
Lapor Sp.PD
6
VII.FOLLOW-UP
Tanggal 18 November 2012
S/ sesak napas (+), nyeri dada (+), pusing (+), mual (-), muntah (-), BAB (+),
BAK (+), nafsu makan ↓
O/ Vital sign : TD : 100/70 mmHg
N : 80x/menit
Rr : 20x/menit
T : 36,40C
KU : CM, lemas
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Rawat ICU
Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 19 Nov ember 2012
S/ sedikit sesak nafas, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing
berputar (+), nafsu makan ↓
O/Vital sign : TD : 110/70 mmHg
7
N : 80x/menit
Rr : 20x/menit
T : 36,30C
KU : CM, lemas
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x1
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 20 Nov ember 2012
S/ sesak berkurang, nyeri dada (+) namun sudah berkurang, pusing (+), mual
(+), nafsu makan ↓, BAB (-), BAK (+)
O/ Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N : 76x/menit
Rr : 20x/menit
T : 360C
KU : CM, sedang
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, bising (-)
8
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ Diet jantung
O2
Infuse RL 16 tpm
Furosemid 1A/12 jam
Ranitidine 1A/12 jam
Antalgin 1A/8 jam
Enoksaparin 0,6/12 jam
ISDN 3x½
Clopidogrel 1x1
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 1-0-1
Tanggal 21 Novemb er 2012
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N : 84x/menit
Rr : 20x/menit
T : 36,10C
S/ sesak (-), nyeri dada (-), pusing (+) sudah berkurang, mual (-), muntah (-),
sudah mau makan, BAB (+), BAK (+)
O/ KU : CM, sedang
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, bising (-)
Pulmo : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/ ISDN 3x½
Clopidogrel 1x1
9
Antasid 3xC1
Alprazolam 0,5 0-0-1
Rawat jalan
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Koroner Akut
Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan
kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi
unstable angina pectoris sampai perkembangan menjadi miokard infark akut.
Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis dengan
diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.5
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit
jantung koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok
iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan
suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor
serta saling terkait.6
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot
jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang
kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan
luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah
kolateral.7
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi
(EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20
menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG
yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan
inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein
intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi
sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.8
11
B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris
tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.9
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus
di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen
ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI
hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. 10
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi
vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.11
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang
pada akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan
miokard yang terjadi bergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran
darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang
diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.12
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
12
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya serta
factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit
medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau
malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.9
b. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA.9
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/
interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.10
c. Peningkatan enzim jantung (CK-MB, Troponin). Tidak perlu menunggu
hasil untuk terapi reperfusi.13
d. Ekokardiografi 2D dan perfusion scintiography dapat membantu
menentukan adanya infark miokard akut.13
3. Penatalaksanaan
13
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.14
Penanganan kegawat daruratan.
a. Tatalaksana awal:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/
menit (saturasi dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat
diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin
iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.13
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda
reperfusi).
1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB
maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48
jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s.
Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH
dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia <
75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-
laki atau < 2 mg/ dl pada wanita).13
4. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam
bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikuler dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
14
mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi
ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.9
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian dirumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan
mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis
yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3
dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.9
5. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
I
II
III
IV
Tak ada gagal jantung kongestif
+ S3 dan/atau ronki basah
Edema paru
Syok kardiogenik
6
17
30-40
60-80
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.9
15
Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas Indeks Kardiak
(L/min/m2)
PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
I
II
III
IV
>2,2
>2,2
<2,2
<2,2
<18
>18
<18
>18
3
9
23
51
Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung
dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).9
Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI
Factor resiko (Bobot) Skor
resiko/mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia >75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat <67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor resiko = total poin (0-14)
0 (0,8)
1 (1,6)
2 (2,2)
3 (4,4)
4 (7,3)
5 (12,4)
6 (16,1)
7 (23,4)
8 (26,8)
>8 (35,9)
TIMI Risk score adalah system prosnostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai
pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.9
16
C. Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan
jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan
American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul
cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium,
sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada
kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG
untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar
atau adannya gelombang T yang negatif.12
2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme
arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina
pektoris tidak stabil :
a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab
angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau
total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan
yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung
banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang
tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya
17
infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan
lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi
segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya
menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,
makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi
faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang
lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik
dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada
angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina
tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif
yang diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus
pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir
seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil,
dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
18
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.
e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi
sistemik.16
Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis.16
3. Klasifikasi Ustable Angina Pektoris menurut Braunwald.
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina:
a. Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada
b. Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I
bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
c. Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara
akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.9
Klasifikasi berdasarkan keadaan klinis:
a. Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain
atau febris
19
b. Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
c. Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.9
Klasifikasi berdasarkan pengobatan:
a. tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
b. timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
c. masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum, dengan beta blocker, nitrat, kalsium antagonis.9
5) Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa
tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau
timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.9
b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat
terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks.
Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada
waktu serangan angina.10
6) Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda
ergometer. Tujuan dari stress test adalah10:
1) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
2) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh
darah utama akan
3) memberi hasil positif kuat
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan
20
cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T.
perubahan EKG pada ATS berdifat sementara dan masing-masing dapat
terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut imbul di
saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah
keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut
menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi gelombang Q, maka disebut
sebagai IMA.10
b. Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat
tetapi tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim
yang paling sensitive untuk nekrosis otot miokard, tetapi kadar dapat
terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar
enzim secara serial untung menyingkirkan adanya IMA.10
Skor Risiko TIMI
a. Usia > 65 tahun
b. > 3 faktor risiko PJK
c. Stenosis sebelumnya > 50%
d. Deviasi ST
e. > 2 kejadian angina < 24 jam
f. Aspirin dalam 7 hari terakhir
g. Peningkatan petanda jantung
Insidensi prognosis buruk (kematian, re-infark, atau iskemia berat
rekuren) pada 14 hari berkisar antara 5% dengan skor 0-1, sampai 41%
dengan skor 6-7.11
7) Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Awal
Pasien dengan UAP atau NSTEMI harus diterapi dengan regimen awal
yang sama dengan STEMI dengan satu pengecualian: tidak ada bukti
keuntungan pemberian fibrinolitik.11,12
1) Anti-iskemik dan analgetik
21
a) Oksigen
Oksigen harus diadministrasikan pada pasien dengan saturasi arteri
kurang dari 90%,
pasien dengan distress pernapasan dan pasien dengan resiko tinggi
hipoksemia.
b) Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual diberikan pada pasien dengan nyeri dada
iskemik, diikuti dengan nitrogliserin intravena jika nyeri masih
menetap setelah pemberian tiga tablet sublingual nitrogliserin.
c) Morfin
Morfin sulfat intravena diberikan untuk meringankan nyeri dada
dengan dosis inisial 2-4 mg, dengan peningkatan 2-8 mg diulangi
setiap interval 5 sampai 15 menit.
d) Penyekat beta
ACC/AHA guidelines menyarankan pemberian penyekat beta pada
pasien tanpa kontraindikasi dengan onset nyeri dada yang sedang
berlangsung, hipertensi, dan takikardia yang bukan disebabkan
oleh gagal jantung. Agen kardioselektif lebih diutamakan (atenolol
atau metoprolol).11,12
2) Anti-platelet
a) Aspirin
Seluruh pasien harus diberi aspirin sesegera mungkin setelah
serangan, dalam rentang dosis 162 – 325 mg. Tablet dikunyah-
kunyah untuk mencapai kadar dalam darah yang tinggi dalam
waktu yang lebih singkat.
b) Clopidogrel
Selain sebagai pengganti aspirin, pemberian kombinasi aspirin dan
clopidogrel memberikan keuntungan signifikan bagi pasien.
Regimen standard adalah 300 mg loading dose diikuti dengan dosis
harian 75mg/hari.
c) GP IIb/IIIa inhibitor
22
Diberikan pada pasien dengan rencana PCI.11,12
3) Anti-koagulan
a) Heparin
Tiga keuntungan penggunaan low molecular weight (LMW)
dibanding unfractioned heparin (UFH):
o Insidensi trombositopenia yang lebih rendah
o Kemudahan untuk administrasi tanpa monitoring
o Derajat aktivasi platelet yang lebih sedikit11,12
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan
keluhan sesak nafas sejak ± 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang
dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri
dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti
ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui
sudah minum obat namun sakit tidak berkurang.
23
Pasien mengatakan bahwa sesak napas dan nyeri dada biasanya timbul saat
beraktivitas dan hilang saat beristirahat. Keluhan sesak napas dan nyeri dada tidak
disertai mual dan muntah.
Rasa nyeri di daerah dada dan perut di pengaruhi oleh saraf intercostales
(T1-12), nervus sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung
biasanya dirasakan dari Th1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral
averen. Badan sel berada di dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di
daerah viseral mengalami suatu cidera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di
bagian perifer. Nyeri dada memiliki lokasi yang khas yaitu substernal atau
kadangkala diepigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi
presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas
rasa tidak enak didada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala
tidak khas seperti dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri dilengan,
epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien yang berusia lebih dari 65 tahun.
Yang dimasukkan ke dalam angina tidak stabil, yaitu :
1. pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup
berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari
2. pasien dengan angina yang semakin bertambah berat, sebelumya angina stabil,
lalu serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya,
sedangkan faktor prespitasi makin ringan
3. pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada pemeriksaan penunjang EKG ditemukan QRS rate 97x/menit, Aksis
Normal, Gelombang P morfologi normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2’’,
Kompleks QRS durasi 0,12’’, Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL, maka
pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis banding UAP/NSTEMI.
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi
resiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga
menunjukkan salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST
24
kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik
untuk iskemia dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%
mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah pasien dengan UAP
atau NSTEMI harus diterapi dengan regimen awal yang sama dengan STEMI
dengan satu pengecualian: tidak ada bukti keuntungan pemberian fibrinolitik.
Anti-iskemik dan analgetik
- Oksigen
- Nitrogliserin
- Morfin
- Penyekat beta
Anti-platelet
- Aspirin
- Clopidogrel
- GP IIb/IIIa inhibitor
Diberikan pada pasien dengan rencana PCI.
Anti-koagulan
Heparin : tiga keuntungan penggunaan low molecular weight (LMW) dibanding
unfractioned heparin (UFH):
- Insidensi trombositopenia yang lebih rendah
- Kemudahan untuk administrasi tanpa monitoring
- Derajat aktivasi platelet yang lebih sedikit
Sebelum terapi reperfusi, terapi awal yang diberikan adalah penghilang
nyeri (analgetik) injeksi Antalgin, selain itu diberikan juga isosorbid dinitrat
ISDN disini untuk vasodilatasi perifer, terutama pada vena, dengan bekerja pada
otot polos vascular yang mencakup pembentukan nitrat oksida. Ini penting untuk
menghilangkan nyeri dan menenangkan pasien karena bila pasien kesakitan dan
cemas maka akan terjadi takikardia yang dapat meningkatkan beban kerja jantung.
Terapi awal lain adalah pemberian Oksigen.
25
Enoxaparin digunakan untuk membatasi perluasan thrombosis koroner.
Enoxaparin diabsorbsi secara cepat setelah pemberian melalui subkutan dengan
ketersedian hayati mencapai 100%. Aktifitas plasma puncak tercapai antara 1-5
jam. Waktu paro eliminasi antara 4-5jam tetapi aktifitas Xa bertahan sampai 24
jam setelah pemberian dosis 40 mg, mempunyai aktivitas anti‐faktor Xa lebih
besar. Enoxaparin dimetabolisme di hati dan dieksresi dalam urin, sebagai obat
yang tidak berubah dan metabolitnya. Bila usia <75 thn dan kreatinin < 2,5
mg/dL maka diberikan bolus ntravena 30 mg dan dilanjukan 1 mg/kgBB per 12
jam. Bila usia di atas 75 thn dan CCT < 30 ml maka dosis bolus 0,75 mg/kgBB
dan dosis pemeliharaan diberikan satu kali sehari.
Antiplatelet untuk Mengurangi agregasi trombosit, adhesi platelet dan
pembentukan trombus melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam
trombosit. Mengurangi risiko infark miokard pada stenocardia yang tidak stabil.
Obat ini efektif untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan pencegahan
sekunder infark miokard. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik dan
mengurangi plasma konsentrasi vitamin K dalam faktor-faktor koagulasi (II, VII,
IX, X).
26
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 71 tahun dengan keluhan dengan
keluhan sesak nafas sejak ± 1 minggu. Sesak nafas dirasakan tidak berkurang
dengan perubahan posisi dan pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri
dada yang menjalar kebagian leher seperti ditekan dan diremes-remes. Hal seperti
ini sudah dirasakan sejak lama namun kali ini sangat parah. Pasien juga mengakui
sudah minum obat namun sakit tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik keadaan
umum baik compos mentis, pernapasan 36x/menit, tekanan darah
palpasi 120/80, Nadi 104x/menit.
Telah ditegakkan diagnosa atas pasien ini yaitu UAP/NSTEMI, pasien
diberikan terapi heparin dan antiangina untuk menghilangkan nyeri
pada jantung dan antiplatelet untuk memperbaiki perfusi O2 ke
jantung dan tidak terjadi pembentukan trombus pada pembuluh
darah jantung. Setelah dilakukan perawatan dan pengobatan padanya, keadaan
pasien membaik dan diizinkan pulang.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori
penatalaksanaan UAP/NSTEMI.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without
ST elevation : implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8
2. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary
syndromes. Am J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2011
Nov Available from URL :
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on
cardiovascular disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from
theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update.Semarang:
Badan Penerbit Undip.2003.p.1-1
5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia.
Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243.
6. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. Accessed 15 May
2011. Available from : circ.ahajournals.org.
28
7. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen
ST. In: Irmalita, dkk, ed. Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
8. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al.
Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
Accessed 9 Nov 2011. Avalaibale form:
http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011-
CircadianVariations.pdf
9. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised
Circulation, 2000. Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:
www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm
10. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov
2011. Avalaible form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-
guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx
11. Braunwald, Eugene; Antman, Ell Myocardial Infarction, 2002. Accessed 9
Nov 2011. Avalaible form:
http://circ.ahajournals.org/content/106/14/1893.fulliott M ; Beasley, John W
and et al. ACC/AHA Guideline Update for the Management of Patients With
Unstable Angina and Non–ST-Segment Elevation
12. Breall, J.A., J.M. Aroesty, M. Simons. 2009. Overview of the management of
unstable angina and acute non-ST elevation myocardial infarction. UpToDate
systematic review ver. 17.3.
29
1. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.
2. David Rubenstein, David Wayne,John Bradley. Lecture Notes: Kedokteran
Klinis. Edisi ke-6.Jakarta: Penerbit Erlangga;2006.hal.297-301.
3. Mardi Santoso. Pemeriksaan Fisik Diagnosis. Jakarta : Yayasan Diabetes
Indonesia; 2004.hal.50-57.
4. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna
Publishing;2009.hal.1728-34.
5. E.N.Kosasih dan A.S.Kosasih. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium
klinik. Jakarta: Karisma Publishing;2008.hal.326-8.
6. Burnside, John W. Diagnosis Fisik. Edisi ke-17. Jakarta: EGC;1995.
7. T. Bahri Anwar Djohan. Penyakit Jantung Koroner dan
Hipertensi.2004.Diunduh dari http://library.usu.ac.id, 1 Agustus 2012.
8. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2000.
30