laporan kasus nstemi

38
HALAMAN PENGESAHAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa: Nama: Siti Nur Amira NIM: C 111 10 875 Judul: NSTEMI Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar, Maret 2015 Mengetahui, Supervisor,

Upload: myra-miera

Post on 19-Dec-2015

248 views

Category:

Documents


51 download

DESCRIPTION

Non ST Elevation Angina Pectoris

TRANSCRIPT

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama: Siti Nur Amira

NIM: C 111 10 875

Judul: NSTEMI

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada Bagian Ilmu Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

Makassar, Maret 2015

Mengetahui,

Supervisor,

dr. Pendrik Tandean , sp.PD-KKV, FINASIM

Bagian Ilmu Kardiologi Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Maret 2015

NSTEMI

Nama: Siti Nur Amira

Nim: C 111 10 875

Supervisor: dr. Pendrik Tandean , sp.PD-KKV, FINASIM

Dalam rangka kepaniteraan klinik

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

Makassar

2015

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AH

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 48 Tahun

Alamat : Jakarta

Pekerjaan : Wiraswasta

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal MRS : 20 Maret 2015

No. RM : 705554

Perawatan : UGD non-bedah

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri dada

Anamnesis Terpimpin :

Nyeri dada dialami sejak ± 5 hari yang lalu. Nyeri dada terasa seperti

tertekan, nyeri berlangsung terus-menerus dan tembus ke belakang,

menjalar ke rahang dan lengan kiri. Durasi nyeri lebih dari 20 menit.

Nyeri tidak dipengaruhi aktivitas. Nyeri berkurang dengan istirahat.

Sesak napas ada, dyspneu of effort (DOE) ada, ortopnea ada dan

paroxysmal nocturnal dyspneau (PND) ada. Batuk sesekali, lender

tidak ada, darah tidak ada. Nyeri ulu hati disangkal. Mual dan muntah

disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat dirawat di RS Pelamonia selama 1 hari dengan keluhan

yang sama

Riwayat merokok (+), sejak 25 tahun lalu, 2 bungkus dalam 1 hari

Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, berobat teratur

Riwayat DM tidak diketahui

Riwayat kolesterol tinggi tidak diketahui

C. PEMERIKSAAN FISIS

Status Generalis

GCS 15 (E4M6V5)

BB : 60 kg, TB : 165 cm, IMT : 22 kg/m2 (normal)

Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 170/90 mmHg

Nadi : 78x/menit

Pernapasan : 22x/menit

Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan Kepala dan Leher

Mata : Anemis (-), ikterus (-)

Bibir : Sianosis (-)

Leher : DVS R+2 cmH2O

Pemeriksaan Thoraks

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 4 kanan

Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan : ronkhi +/+, wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Pekak

Batas atas jantung ICS II sinistra

Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri jantung ICS V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : BJ : S I/II murni, reguler

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan epigstrium (-), hepar dan lien

tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)

Pemeriksaan Ekstremitas

Akral hangat, edema tungkai -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

TES HASIL NILAI RUJUKAN

WBC 11.1 x 103 /mm3 4,0 - 10,0 x 103 /mm3

RBC 5,30 x 106 /mm3 4,0 - 6,0 x 106 /mm3

Hb 15,9 g/dl 12,0 - 16,0 g/dl

Hct 46,1 % 37,0 - 47,0 %

Plt 311 x 103 /mm3 150 - 400 x 103 /mm3

Ureum 30 mg/dl 10 - 50 mg/dl

Kreatinin 0,9 mg/dl L(<1,3); P(<1,1) mg/dl

GDS 137 mg/dl 140 mg/dl

CK 116 U/l L(<190); P(<167) U/l

CK-MB 17,8 U/l < 25 U/l

SGOT 65 mg/dl < 38 U/l

SGPT 66 mg/dl < 41 U/l

Asam Urat 4,4 mg/dl P(2,4-5,7); L(3,4-7) mg/dl

Natrium 146 mmol/l 135 - 145 mmol/l

Kalium 4,2 mmol/l 3,5 - 5,1 mmol/l

Klorida 110 mmol/l 97 - 111 mmol/l

Troponin T 0,68 ng/ml < 0,05 ng/ml

Foto Thoraks

corakan bronchovascular dalam batas normal

tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua lapangan paru

cor : membesar dengan CTI 0,52; aorta normal

kedua sinus dan diafragma baik

tulang-tulang intak

Kesan :

-Pulmo normal

-Slight cardiomegaly

EKG

Interpretasi

Irama : sinus

HR : 70x/menit

Aksis : normoaksis

Regularitas : reguler

Gel. P : normal

Interval PR : 0,08 detik

Kompleks QRS : QS di lead V2

Segmen ST : ST depresi di lead I, aVL, V3, V4, V5

Gel. T : T inversi pada lead I, aVL, V3, V4, V5, V6

Kesan : sinus rythm, HR 70x/min, normoaksis, iskemik

anterolateral + high lateral wall

E. DIAGNOSA

Non ST-segmen Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)

F. TERAPI

O2 4 lpm via nasal kanul

IVFD NaCl 0,9% 500cc/24 jam

Isosorbid dinitrat 5 mg/sublingual

Aspilet loading 160 mg – 80mg/24jam/oral

Clopidogrel loading 300 mg- 75mg/24jam/oral

Farsorbid 3 x 10 mg

Fondaparinux sodium 2,5mg/24 jam/subkutan

Simvastatin 20 mg 0-0-1

Laxadine syrup 0-0-2 cth

Alprazolam 0,5 mg 0-0-1

LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN

Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa

elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan

kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya

penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan

jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya

nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.1

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard

yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional

seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal

troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2

minggu.1

Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan

American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark

tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul

cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium,

sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa.

Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi

sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun

tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST

ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negatif.2

II. ETIOLOGI

Unstable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial

Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme

arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.3

Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina

pektoris tidak stabil :

1. Ruptur Plak

Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab

angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau

total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan

yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung

banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang

tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya

infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang

berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan

lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi

platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus

menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi

segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angin tak stabil.

2. Trombosis dan Agregasi Trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar

terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu

disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,

makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam

pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan

sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi

faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,

faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade

reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.

Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet

dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang

lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik

dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan

koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada

angina tak stabil.

3. Vasospasme

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina

tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif

yang diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus

pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir

seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil,

dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.

4. Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya

poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan

endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot

polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan

keluhan iskemia.

5. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi

sistemik.3

Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression danComplication) Pada Plak Aterosklerosis.3

III. PATOGENESIS

Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan

suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan

arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak

diketahui secara pasti apa penyebab arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak

ada faktor tunggal yang bertanggung jawab atas perkembangan

arteriosklerosis.

Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya

juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang

sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak

darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner

mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat

berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan

kemudian akan terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium.

Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat

oksid) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan

tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan

timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai

oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum

menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila

penyempitan lebih dari 75% serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka

suplai darah ke koroner akan berkurang.

Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis

anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses pembentukan energi ini

sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam laktat

menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan

angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, suplai

oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi

oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat.

Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris

mereda. Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang

berlangsung singkat.4

IV. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas adalah nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina)

merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai

berikut :

Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial

Sifat nyeri : seperti diremas-remas, ditekan, panas, atau ditindih beban

berat

Nyeri dapat menjalar ke lengan (umunya kiri), bahu, leher, rahang

bawah, punggung, perut

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat dan responsif terhadap nitrat

Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, atau sesudah

makan

Gejala yang menyertai dapat berupa mual, muntah, sulit bernapas

(sesak), keringat dingin, cemas, dan lemas

V. DIAGNOSIS 5

a) Anamnesis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan

anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung

atau dari luar jantung. Jika dicurigai dari jantung, perlu dibedakan

apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis

pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-

faktor risiko, antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemi,

merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang epigastrium

dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar,

nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, nyeri berlangsung lebih

dari 20 menit dan tidak dipengaruhi aktivitas, menjadi manifestasi

gejala yang sering ditemui pada NSTEMI. Analisis berdasarkan

gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala

dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih baik jika

dibandingkan dengan yang nyeri dada pada saat istirahat. Walaupun

gejala khas rasa tidak enak di dada pada NSTEMI telah diketahui

dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneau, mual, diaforesis,

sinkop, atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher, juga

terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia

lebih dari 65 tahun.

b) Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan kelainan. Bila

telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan

irama gallop (bunyi jantung ketiga) atau ronki basah halus. Bila terjadi

aritmia dan hipotensi, maka penderita mungkin tampak pucat dan

berkeringat dingin. Kadang-kadang pasien datang dengan keluhan

nyeri ulu hati, dada rasa terbakar, atau rasa tidak nyaman di dada yang

sulit digambarkan oleh penderita.

c) Pemeriksaan Penunjang

EKG

Pada NSTEMI, dapat ditemukan depresi segmen ST (≥ 1mV) atau

inverse gelombang T simetris (> 2mV) pada dua lead yang

bersebelahan.

Laboratorium (cardiac marker)

Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan

menggunakan tes enzim jantung, seperti : creatine-kinase (CK),

Depresi ST pada iskemia miokard:A. Depresi ST horizontal, spesifik

untuk iskemiaB. Depresi ST landai ke bawah,

spesifik untuk iskemiaC. Depresi ST landai ke atas, tidak

spesifik untuk iskemia

Inverse T pada iskemia miokard:A. Inverse T yang kurang spesifik

untuk iskemiaB. Inverse T berujung lancip dan

simetris, spesifik untuk iskemia.

creatine-kinase myocardial band (CK-MB), cardiac specific

troponin (cTn) I/T, dan myoglobin. Peningkatan nilai enzim CK-

MB atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal menunjukkan adanya

nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung

sebaiknya dilakukan secara serial.

a. Cardiac specific troponin (cTn) T dan I

Paling spesifik dan sensitif untuk infark miokard

Troponin I memiliki ukuran yang lebih kecil, sehingga

mudah dideteksi

b. Myoglobin

Marker paling cepat terdeteksi, memiliki sensitivitas

yang tinggi tapi tidak spesifik

Ditemukan pada otot jantung dan otot skeletal

sangat berguna untuk deteksi dini infark miokard

c. Creatine Kinase (CK)

Ditemukan pada otot, otak, jantung

Murah, mudah, tapi tidak spesifik

d. Creatine Kinase-Myocardial Band (CKMB)

Spesifik untuk infark miokard

Ekokardiografi

Cardiac

MarkerMeningkat Puncak Normal

cTn T 3 jam 12-48 jam 5-14 hari

cTn I 3 jam 24 jam 5-10 hari

CK-MB 3 jam 10-24 jam 2-4 hari

CK 3-8 jam 10-36 jam 3-4 hari

Mioglobin 1-2 jam 4-8 jam 24 jam

LDH 24-48 jam 3-6 hari 8-14 hari

Pemeriksaan ini juga dapat membantu dalam mendiagnosis karena

dapat memperlihatkan abnormalitas dari kontraksi ventrikel yang

mengalami iskemik atau infark.

VI. KLASIFIKASI

Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya

ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan

keadaan klinik.6,7

1.Berdasarkan angina :

A. Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah

beratnya nyeri dada

B. Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I

bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir

C. Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara

akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.6,7

2. Keadaan klinis:

A. Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain

atau febris

B. Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak

C. Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.6,7

VII. PENATALAKSANAAN

Pencegahan

Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan

BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.8

Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,

hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.9

Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui

mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.5

Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga

untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan

jantung.8,10

1. Oksigenasi

Untuk meningkatkan suplai oksigen pada miokard yang mengalami

cedera (iskemik)

Diberikan sampai pasien stabil dengan kadar oksigen 2-4 liter per

menit

2. Terapi Antiiskemia5,8

Nitrat

Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol

perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga

dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga

meningkatkan suplai oksigen dengan vasodilatsai pembuluh koroner

dan memperbaiki aliran darah kolateral. Untuk mengatasi nyeri dada

akut, preparat nitrat kerja cepat yang biasanya diberikan adalah

ISDN (Isosorbid Dinitrat) secara sublingual dengan dosis 5 mg,

dapat diulang sebanyak 3 kali dengan interval waktu 5 menit. Jika

nyeri dada belum teratasi, dapat diberikan nitrogliserin intravena

dengan dosis awal 5 ug/menit dan ditingkatkan (5-10 ug/menit)

setiap 5 menit sampai nyeri dada menghilang. Dosis maksimal 200

ug/menit.

Morfin atau Pethidin

Jika nitrat intravena belum berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat

diberikan morfin dengan dosis 2,5-5 mg atau pethidin dengan dosis

12,5-25 mg secara intravena.

Beta Blocker

β-blocker memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif sehingga

dapat meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan

oksigen jantung melalui efek penurunan denyut jantung dan daya

kontraksi miokardium. Pemberian β-blocker pada jam-jam pertama

IMA dapat membatasi perluasan infark, mengurasi risiko reinfark,

dan memperpanjang harapan hidup. Jika tidak terdapat

kontraindikasi (bradikardi, bronkospasme, hipotensi, gagal jantung),

β-blocker dapat diberikan dalam 24 jam pertama onset nyeri dengan

tujuan untuk mencapai denyut jantung sekitar 60x/menit. β-blocker

yang diberikan sebaiknya yang merupakan kardioselektif, seperti

atenolol, acebutolol, bisoprolol, esmolol, atau metoprolol.

Antagonis Kalsium

Dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan

darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :

- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat

dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit

dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh : nifedipin)

- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki

survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom

koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang

berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada

golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan

faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).

3. Terapi Antiplatelet

Aspirin

Aspirin memiliki efek menghambat COX-1 dan mencegah

pembentukan tromboksan (TXA2) yang merupakan mediator dalam

aktivasi platelet sehingga mencegah agregasi platelet dan konstriksi

arterial. Dosis awal :160-325 mg, kemudian dilanjutkan 75-160

mg/hari, diberikan pada semua pasien SKA jika tidak terdapat

kontraindikasi (ulkus peptikum, gastritis berat, atau penyakit

perdarahan lainnya).

Clopidogrel

Clopidogrel (derivat Tinopiridin) memiliki efek dalam menghambat

aktivasi P2Y12, yang merupakan reseptor ADP pada platelet sehingga

dapat mencegah agregasi trombosit dan menghambat pembentukan

trombus. Pemberian clopidogrel efektif pada pasien-pasein yang alergi

terhadap aspirin. Dosis loading : 300 mg, kemudian dilanjutkan 75

mg/hari.

Antagonis GP IIb/IIIa

Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah

ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena antagonis GP

IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan

fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Contoh :

absiksimab, eptifibatid, tirofiban.

Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil

maupun untuk obat tambahan dalam tindakan PCI terutama pada

kasus-kasus angina tak stabil.

4. Terapi Antikoagulan

Unfractionated Heparin

Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari berbagai

rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas

antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan

heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin

juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang

mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga

diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya

kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida

heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH

mempunyai ikatan terhadap protein plasma yang kurang,

bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah

dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan

pemberian LMWH karena cara pemberian mudah, yaitu dapat

disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan

laboratorium.

5. Statin

Dengan menghambat biosintesis kolesterol serta meningkatkan ekspresi

reseptor LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL-kolesterol

dan prekursornya dari sirkulasi. Statin juga memiliki efek pleiotropik,

yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi otot polos,

anti-oksidan, anti-trombosis, dan stabilisasi plak, sehingga pemberian

statin dianjurkan pada pasien SKA dengan target kadar LDL < 70 mg/dl.

6. Revaskularisasi Pembuluh Koroner

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan

iskemik berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien

dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh

darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi

bypass (CABG) dapat mengurangi risiko masuknya kembali ke rumah

sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan

penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau

bila ada kontraindikasi, tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan

utama.

Teknik-teknik invasif, misalnya percutaneous transluminal coronary

angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan

serangan angina klasik. Dengan PTCA, lesi aterosklerotik didilatasi oleh

sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis

atau brakhialis dan didorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh

yang sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan

memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah pintas,

potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena

dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran

darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling

sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna.

Pemasangan selang artifisial atau stent ke dalam arteri agar tetap terbuka

kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah

pintas koroner menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak

mempengaruhi mortalitas jangka panjang.

VIII. KOMPLIKASI

1.Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang

terjadi akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah

respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-

sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami

kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk

menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi

kebutuhan energinya.9

2.Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering

didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung

dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke

otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.8

3.Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu

memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan

nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.

Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung

sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).

Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada

ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 8

IX. PROGNOSIS

Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan

angka faktor resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark

miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5%

dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-7.skor resiko ini

berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah

divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan

meningkatnya skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar

secara progresif pada terapi dengan LMWH versus UFH, dengan platelet

GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo, dan strategi invasif

versus konservatif.3

Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan

clopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama.

Skor resiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada

pasien setelah pulang.3,5

Skor risiko TIMI

Usia ≥ 65 tahun 1

≥ 3 faktor risiko PJK

(riw. keluarga, HT, dislipidemi, DM, rokok)

1

Diketahui PJK 1

Pemakaian aspirin dalam 7 hari terakhir 1

≥ 2 episode angina dalam 24 jam 1

Peningkatan biomarker jantung 1

Deviasi ST > 0,5 mm 1

Interpretasi

SkorRisiko

(%)

0-1 4,7

2 8,3

3 13,2

4 19,9

5 26,2

6-7 40,9

PEMBAHASAN

Nyeri dada dialami sejak ± 5 hari yang lalu. Nyeri dada terasa seperti

tertekan, nyeri berlangsung terus-menerus dan tembus ke belakang, menjalar ke

rahang dan lengan kiri. Durasi nyeri lebih dari 20 menit. Nyeri tidak dipengaruhi

aktivitas. Nyeri berkurang dengan istirahat. Sesak napas ada, dyspneu of effort

(DOE) ada, ortopnea ada dan paroxysmal nocturnal dyspneau (PND) ada. Batuk

sesekali, lender tidak ada, darah tidak ada. Nyeri ulu hati disangkal. Mual dan

muntah disangkal.

Rasa nyeri di daerah dada di pengaruhi oleh saraf intercostales (T1-12),

nervus sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung biasanya

dirasakan dari Th1-4, yang dinamakan serabut sensorik atau viseral aferen. Badan

sel berada di dalam ganglion posterior yang sama, sehingga bila di daerah viseral

mengalami suatu cedera maka rasa nyeri tersebut akan terasa di bagian perifer.

Nyeri dada memiliki lokasi yang khas yaitu substernal atau kadangkala di

epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar,

nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang

sering ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak didada

iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti

dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri dilengan, epigastrium, bahu atas,

atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien yang

berusia lebih dari 65 tahun.

Yang dimasukkan ke dalam angina tidak stabil, yaitu :

1.pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup

berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari

2.pasien dengan angina yang semakin bertambah berat, sebelumya angina

stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya,

sedangkan faktor prespitasi makin ringan

3.pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.

Pada pemeriksaan penunjang EKG ditemukan QRS rate 97x/menit, Aksis

Normal, Gelombang P morfologi normal, durasi 0,12 detik, PR interval 0,2’’,

Kompleks QRS durasi 0,12’’, Q patologis II,III dan aVf, T inverted I, aVL, maka

pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis banding UAP/NSTEMI.

Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi

resiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru

menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga

menunjukkan salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST

kurang dari 0,5 mm dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik

untuk iskemia dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%

mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan Troponin T yaitu

0,68 ng/ml melebihi nilai normal 0,05 ng/ml sehingga pasien didiagnosa

sebagai NSTEMI.

Tindakan dan penanganan dini pada pasien ini adalah pasien dengan

NSTEMI harus diterapi dengan regimen awal yang sama dengan STEMI dengan

satu pengecualian: tidak ada bukti keuntungan pemberian fibrinolitik.

Anti-iskemik dan analgetik

1.Oksigen

2.Nitrogliserin

3.Beta blocker

Terapi awal diberikan isosorbid dinitrat (ISDN) untuk vasodilatasi perifer,

terutama pada vena, dengan bekerja pada otot polos vascular yang mencakup

pembentukan nitrat oksida. Ini penting untuk menghilangkan nyeri dan

menenangkan pasien karena bila pasien kesakitan dan cemas maka akan terjadi

takikardia yang dapat meningkatkan beban kerja jantung. Beta blocker juga

diberikan untuk mengurangi beban kerja jantung selain memvasodilatasi

pembuluh darah coroner. Terapi awal lain adalah pemberian Oksigen.

Anti-platelet

1.Aspirin

2.Clopidogrel

Antiplatelet untuk mengurangi agregasi trombosit, adhesi platelet dan

pembentukan trombus melalui penekanan sintesis tromboksan A2 dalam

trombosit. Mengurangi risiko infark miokard pada stenocardia yang tidak stabil.

Obat ini efektif untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan pencegahan

sekunder infark miokard. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik dan

mengurangi plasma konsentrasi vitamin K dalam faktor-faktor koagulasi (II, VII,

IX, X).

Anticoagulant

Fondaparinux sodium bekerja menghibisi pembentukan thrombin dan

perkembangan thrombus sehingga tidak terjadi oklusi akut pada pembuluh darah

coroner. Digunakan pada terapi angina tak stabil atau infark miokard tanpa

peningkatan segmen ST (NSTEMI) pada pasien yang tidak diindikasikan untuk

segera (<120 mnt) menjalani penanganan invasif [Intervensi Koroner Perkutan.

Pada Angina tak stabil/NSTEMIini dianjurkan 2.5 mg 1 x/hr scr inj SK

dilanjutkan hingga 8 jam atau hingga pulang dari perawatan rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA

Guidelines for The Management of Patients with ST Elevation Myocardial

Infarction. Cardiac Cath Conference

2. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al.

Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.

Accessed 9 Nov 2011. Avalaibale form:

http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011-

CircadianVariations.pdf

3. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST

dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.

4. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.

5. Kabo P.. 2010. Bagaimana mengunnakan obat-obat kardiovaskuler secara

rasional, FKUI.Jakarta

6. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S.,

Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.

7. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised

Circulation, 2000. Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:

www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm

8. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna

Publishing;2009.hal.1728-34.

9. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC;2000.

10. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC

Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients

presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov

2011. Avalaible form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-

guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx