Download - ni luh putu sri maryuni adnyasari
TESIS
PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH
MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN
0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG
NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2012
TESIS
PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH
MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN
0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG
NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI NIM 0990761046
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2012
PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH
MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN
0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI NIM 0990761046
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2012
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 Januari 2012
Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K) Dr.dr. Bgs. Km Satriyasa, M.Repro NIP. 19461231 196902 1 001 NIP. 19640417 199601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19461213 197107 1 001 NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Januari 2012
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 0144/ UN14. 4/HK/ 2012.
Tanggal 16 Januari 2012 Ketua : Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K) Anggota :
1. Prof. DR. dr. Alex Pangkahila, MSc, Sp. And 2. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro 3. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si 4. dr. I.G.N Mayun, Sp.HK
SURAT PERNYATAAN BUKAN KARYA PLAGIAT
Nama : drg. Ni Luh Putu Sri Maryuni Adnyasari
NIM : 0990761046
PROGRAM STUDI : S2 Ilmu Biomedik Pascasarjana Universitas Udayana
JUDUL TESIS : Pemberian Tetrasiklin HCl Gel Secara Topikal Konsentrasi
0,4% Lebih Mempercepat Proliferasi Kolagen
Dibandingkan dengan Konsentrasi 0,2% dan 0,3% pada
Gingiva Tikus yang Meradang.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 Januari 2012
( drg. Ni Luh Putu Sri Maryuni Adnyasari)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena karunia-Nyalah, tesis
yang berjudul: “Pemberian Tetrasiklin HCl Gel Secara Topikal Konsentrasi 0,4%
Lebih Mempercepat Proliferasi Kolagen Dibandingkan dengan Konsentrasi 0,2% dan
0,3% pada Gingiva Tikus yang Meradang ” dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K), selaku
pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberi dorongan, semangat,
bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam
penyelesaian tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada
Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, selaku pembimbing II yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD(KHOM),
Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,
Sp.S(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Ketua Program
Biomedis Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS., atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis mengikuti program magister di Universitas Udayana. Tidak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH., MM,
Rektor Universitas Mahasaraswati dan drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, Dekan
Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Mahasaraswati atas ijin dan fasilitas yang
d i b e r i k a n k e p a d a p e n u l i s u n t u k m e n g i k u t i p r o g r a m m a g i s t e r .
Ungkapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis,
yaitu Prof. DR. dr. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And, Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa,
M.si dan dr. I.G.N Mayun, Sp.HK, yang telah memberikan masukan, saran,
sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus
disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terimakasih
kepada Bapak dr. I Made Miasa (alm), Ibu Ni Ketut Arini, nenek dan kakek tercinta
yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir
logik dan suasana demokratis sehingga tercipta suasana yang baik untuk
berkembangnya kreativitas. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Mertua Ni
Ketut Gasiati dan Bapak Mertua I Ketut Saber yang membantu mengasuh anak-anak
sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta I Nyoman
Andy Wirawan,ST, serta putra-putraku terkasih I Gede Pradnya Pramudya, I Made
Arditya Wirajaya dan I Nyoman Andika Triwardana yang dengan penuh
pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih
berkonsentrasi menyelesaikan naskah tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu secara lengkap, serta kepada penulis sekeluarga.
Denpasar, Januari 2012
Penulis
ABSTRAK
PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN 0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG
MERADANG
Radang gingiva sering dijumpai. Perubahan patologis pada gingivitis dihubungkan dengan adanya mikroorganisme. Organisme ini memiliki kemampuan mensistesis produk ( seperti kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, atau endotoksin) yang menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat (cell coat). Penyebab utama radang gingiva adalah bakteri plak. Bakteri pertama yang berkolonisasi didominasi oleh oleh bakteri gram positif. Tetrasiklin telah digunakan dalam perawatan penyakit-penyakit periodontal. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik dan efektif terhadap bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cepatnya proliferasi kolagen pada gingiva tikus meradang yang diberikan tetrasiklin HCl Gel secara topikal dengan berbagai konsentrasi.
Penelitian dilakukan dengan pretest-posttest Control Group Design, terdiri atas 4 kelompok yaitu kelompok kontrol dengan gel dan kelompok perlakuan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel dengan konsentrasi 0,2%; 0,3% dan 0,4%.
Hasil penelitian berdasarkan uji perbandingan antar keempat kelompok dengan One way Anova menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,01).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proliferasi kolagen lebih cepat pada konsentrasi 0,4% dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3%.
Disimpulkan bahwa pemberian terasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0.4% lebih mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3% pada gingiva tikus yang meradang. Kata kunci: gingiva yang meradang, tetrasiklin HCl Gel, proliferasi kolagen.
ABSTRACT
THE APPLICATION OF TETRACYCLIN HCL GEL TOPICALLY CONCENTRATION OF 0.4 % MORE ACCELARETE THE COLLAGEN PROLIFERATION COMPARED WITH 0.2% AND 0.3% IN GINGIVAL
INFLAMATION OF RATS
Gingival inflammation are often encountered. Pathologic changes in gingivitis are associated with the presence of oral microorganism. These organisms are capable of synthesizing products (e.g., collagenase, hyaluronidase, protease, chondroitin sulfatase, or endotoxin) that cause damage to ephitelial and connective tissue cells, as well as to intercellular constituents, such as collagen, ground substance, and glycocalyx (cell coat). The primary cause of gingival inflammation is bacterial plaque. The initial bacteria colonizing are predominantly gram-positive facultative microorganisms. Tetracycline has been used in the treatment of periodontal diseases. This antibiotic are bacteriostatic and effective against gram-positive bacteria than gram-negative bacteria. The study aims to determine more accelerate the collagen proliferation on gingival inflammation of rats that given tetracycline HCl Gel topically with various concentrations.
The study was conducted with a pretest-posttest control group design, consisted of four groups: the control group with gel and the other groups treated with tetracycline HCl Gel with a concentration of 0.2%, 0.3%, 0.4%.
The result based on comparison test between the groups with One Way Anova, showed that the average collagen proliferation in the four groups after receiving the treatment was significantly different (p<0.01).
The result of the test showed collagen proliferation in group concentration of 0.4% faster than concentration 0.2% and 0.3%.
It was conclude that application of tetracycline HCl Gel concentration 0.4% more accelerate the collagen proliferation compared with concentration 0.2 % and 0.3% in gingival inflammation of rats. Keywords: gingival inflammation, tetracycline HCl Gel, collagen proliferation
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM …………………………………………………….... i PRASYARAT GELAR ……………………………………………… ii LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………… iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv SURAT PERNYATAAN ……………………………………………… v UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………… vi ABSTRAK ……………………………………………………………… viii ABSTRACT ……………………………………………………………… ix DAFTAR ISI ……………………………………………………... x DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... xiii DAFTAR TABEL …………………………………………………….... xiv DAFTAR SINGKATAN …………………………………………….... xv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… xvi BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….... 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 6 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………… 6
1.3.1 Tujuan umum …………………………………………... 6 1.3.2 Tujuan khusus …………………………………………. 6
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………… 7 1.4.1 Manfaat akademi ……………………………………….. 7 1.4.2 Manfaat praktis …………………………………….... 7 1.4.3 Manfaat sosial …………………………………........ 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……………………………………... 8 2.1 Gingiva ……………………………………………............... 8
2.1.1 Serat kolagen gingiva ……………………………... 10 2.1.2 Serabut-serabut gingiva (kolagen gingiva) ……………. 10 2.1.3 Peranan kolagen pada penyembuhan gingivitis ……….. 13
2.2 Hubungan Klinis dan Mikroskopis …………………………... 14 2.3 Gingivitis ..…………………………………………… 14
2.3.1 Gingivitis stadiumI (initial lesion) ……………………. 16 2.3.2 Gingivitis stadium II (lesi awal)……………………….. 16 2.3.3 Gingivitis stadium III(lesi yang menetap)…………….. 17 2.3.4 Gingivitis stadium IV(lesi lanjutan)…………………… 17 2.3.5 Gambaran klinis gingivitis ……………………………. 18 2.3.6 Etiologi gingivitis …………………………….............. 20
2.3.7 Penyembuhan gingivitis ……………………... ……… 22 2.3.7.1 Fase inflamasi ……………………... ……………… 23 2.3.7.2 Fase proliferasi ……………………………………… 25 2.3.7.3 Fase maturasi ……………………………………… 26 2.3.8 Perawatan gingivitis ……………………………… 26
2.4 Tetrasiklin ……………………………………………… 28 2.4.1 Sifat kimia ……………………………………… 32 2.4.2 Farmakologi ……………………………………... 32 2.4.3 Farmakodinamik ……………………………... ……… 32 2.4.4 Farmakokinetika……………………………………….. 33
2.5 Tikus Putih ……………………………………………… 34 2.6 Penelitian Pendahuluan ……………………………………… 35
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ........................................................... .......... 39 3.1 Kerangka Berpikir …………………………………….. 39 3.2 Kerangka Konsep ……….…………………………….. 41 3.3 Hipotesis Penelitian …………………………………….. 42
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………... 43
4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………... 43 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………… 44
4.2.1 Lokasi ……………………………………………... 44 4.2.2 Waktu penelitian ……………………………………… 45
4.3 Penentuan Sumber Data ……………………………………… 45 4.3.1 Besar sampel ……………………………………... 45 4.3.2 Kriteria sampel ……………………………………... 46 4.3.2.1 Kriteria inklusi ……………………………………… 46 4.3.2.2 Kriteria eksklusi ……………………………………… 46 4.3.2.3 Kriteria drop out ……………………….……………… 46
4.4 Variabel Penelitian ………………..………...................... 47 4.4.1 Klasifikasi variabel ……………………………... ……… 47
4.4.2 Hubungan antar variabel ………………………………. 48 4.5 Definisi Operasional ……………………………..………. 48 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ……………………………... 49
4.6.1 Bahan penelitian ……………………………............... 49 4.6.2 Alat penelitian ……………………………………... 50
4.7 Prosedur Penelitian ……………………………………… 50 4.7.1 Pembuatan Tetrasiklin HCl Gel ……………………… 50 4.7.2 Perlakuan pada Tikus ……………………………… 51 4.7.3 Pembuatan sediaan mikroskopis ……………………… 51
4.7.4 Menentukan proliferasi kolagen …………..…………. 52 4.8 Prosedur penelitian …………………………………….. 53 4.9 Analisis Data ……………………………………………... 54
BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………….. 55 5.1 Uji Normalitas Data …………………………………….. 55 5.2 Uji Homogenitas Data …………………………………….. 56 5.3 Kolagen …………………………………………………….. 57
5.3.1 Analisis komparabilitas ……………………………... 57 5.3.2 Analisis efek pemberian Tetrasiklin HCl Gel …….. 57
BAB VI PEMBAHASAN …………………………………………….. 62 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………….. 66 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 67 LAMPIRAN ……………………………………………………………… 71
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gingiva ……………………………………………… 9 Gambar 2.2 Struktur kimia Tetrasiklin ………………………… ……… 29 Gambar 2.3 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi
tetrasiklin HCl Gel 0,2% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X ……………………………… 36
Gambar 2.4 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin HCl Gel 0,3% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperikasa di bawah mikroskop elektrik pembearan 400X…………………………………… 37 Gambar 2.5 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin HCl Gel 0,4% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X…………………………………. 38
Gambar 3.1 KonsepPenelitian ……………………………………… 41 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………… 43 Gambar 4.2 Tetrasiklin HCl Gel dan Gel ……………………………… 49 Gambar 4.3 Alat-alat yang dipergunakan penelitian ……………… 50 Gambar 4.4 Alur Penelitian ……………………………………… 53 Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Proliferasi Kolagen Sebelum Dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok ……………… 59
DAFTAR TABEL
5.1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen masing-masing
Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan ……………………………………………………… 56
5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Proliferasi Kolagen Antar Kelompok Perlakuan ……………………………………… 56 5.3 Rerata Proliferasi Kolagen sebelum Diberikan Tetrasiklin HCl Gel ……………………………… 57 5.4 Perbedaan Proliferasi Kolagen pada Gingiva Tikus Meradang Antar Kelompok Sesudah diberikan Tetrasiklin HCl Gel ……………………………………………… 58 5.5 Analisis Komparasi Kolagen Sesudah Perlakuan antar Kelompok ……………………………………………... ……… 60
DAFTAR SINGKATAN
HCl : Hidro Clorida PMN : Polymorphonuclear PMNs : Polymorphonuclear leukocytes CGF : Crevicular Gingival Fluid CSS : Cairan serebro spinal tRNA : transfer- Ribonucleic Acid mRNA : messenger-Ribonucleic Acid IL-1 : Interleukin-1 ASI : Air Susu Ibu HE : Haematoxillin Eosin IUPAC : International Union of Pure and Applied Chemistry
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Normalitas Data ……………………............................ 71 Lampiran 2 Uji One Way Anova Data Kolagen ……………………… 72 Lampiran 3 Post Hoc Test ……………………………………… 73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gingivitis sering ditemukan di masyarakat. Penyakit ini dapat menyerang
semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat
dengan kebersihan mulut yang baik dapat terjangkit penyakit gingivitis, apabila tidak
dirawat dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal lainnya bahkan dapat
menyebabkan terjadinya kehilangan gigi.
Gingiva merupakan pertahanan pertama terhadap pengaruh mekanis dan
serangan mikroorganisme. Serabut-serabut gingiva mengandung ikatan serat kolagen
yang berfungsi melekatkan gingiva dengan kuat pada permukaan gigi, menyediakan
kekenyalan yang penting untuk mempertahankan posisinya terhadap tekanan kunyah
tanpa tergeser dari permukaan gigi serta menyatukan tepi gingiva bebas dengan
sementum pada akar gigi dan gingiva cekat di dekatnya (Fiorellini et al. 2006 a).
Perubahan patologis pada gingivitis dihubungkan dengan jumlah
mikroorganisme. Organisme ini memiliki kemampuan untuk mensintesis produk
(kolagenase, hialuronidase, protease, kondrotin sulfatase, atau endotoksin) yang
menyebabkan kerusakan pada epitel dan jaringan ikat seperti kolagen, substansi
dasar, dan glicocalic (cell coat) (Melatibiyantini, 2009).
Gingivitis adalah keradangan pada gingiva dan merupakan penyakit
periodontal yang paling umum ditemukan pada manusia. Respon-respon inflamasi
dalam jaringan periodontal disebabkan oleh mikroorganisme dalam plak gigi
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan, kehilangan tulang dan kehilangan gigi
(Kirkwood et al. 2006).
Gingivitis yang umum terjadi adalah gingivitis kronis ditandai dengan
pembengkakan gingiva dan lepasnya epitel perlekatan dan merupakan respon
inflamasi tanpa merusak jaringan pendukung. Gingivitis adalah gingiva yang
mengalami perubahan warna dari kemerahan sampai merah kebiruan sesuai dengan
bertambahnya proses peradangan. Gingivitis pada setiap individu pada umumnya
dengan keparahan dan keberadaannya bervariasi sesuai dengan umur, jenis kelamin,
status ekonomi dan tingkat pendidikan (Riyanti, 2008).
Penyakit yang menyerang gingiva dan jaringan periodontal merupakan
penyakit infeksi yang serius. Periodontitis dimulai dari gingivitis yang tidak dirawat
sehingga terjadi kerusakan jaringan periodontal yang lebih dalam berupa kerusakan
ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar (Wahyukundari, 2009).
Keradangan gingiva dan penyakit periodontal dipicu oleh akumulasi bakteri
yang terdapat pada dentogingiva margin. Host menghasilkan infiltrate sel radang
pada jaringan yang lebih dalam sampai poket periodontal dimana sel ini berfungsi
sebagai pertahanan untuk melawan serangan mikroba (Steinsvoll et al. 2004).
Permulaan pembentukkan plak banyak dijumpai kokus gram positif antara lain
streptokokus sanguis, actinomyces viscosus dan beberapa strain lainnya.
Mikroorganisme non-bakteri yang dijumpai dalam plak adalah spesies Mycoplasma,
ragi, protozoa dan virus. Plak gigi mempunyai pengaruh yang kuat pada
perkembangan gingivitis dan periodontitis (Sadoh, 2004).
Bakteri yang terdapat pada plak gigi ditetapkan sebagai penyebab utama
gingivitis. Kuantitas plak yang terbentuk setelah permukaan gigi benar-benar
dibersihkan, dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk diet, faktor saliva, dan
karakteristik permukaan (Dahan, 2004).
Akumulasi plak dalam jumlah banyak umumnya pada regio interdental dan
menyebar ke sekitar leher gigi. Gingivitis dimulai dari tepi gingiva oleh karena
invansi bakteri atau rangsangan endotoksin. Endotoksin dan enzim gram negatif
menghancurkan substansi interseluler epitel sehingga menimbulkan ulserasi epitel
sulkus (Riyanti, 2008).
Bakteri yang terdapat dalam plak gigi diperkirakan memegang peranan
penting dalam pembentukan kalkulus, yaitu proses mineralisasi. Kalkulus secara
langsung tidak berpengaruh terhadap terjadinya penyakit periodontal. Kalkulus
terbentuk dari plak gigi yang termineralisasi karena pengaruh komponen saliva, maka
secara tidak langsung kalkulus juga dianggap sebagai penyebab gingivitis. Plak gigi
dan kalkulus mempunyai hubungan yang erat dengan gingivitis (Lelyati, 1996).
Penelitian klasik Loe et al. (1965), telah membuktikan bahwa ada hubungan
erat antara akumulasi plak dengan terjadinya gingivitis. Terbukti dalam akumulasi
plak ditemukan berbagai jenis kuman, sehingga disepakati penyebab gingivitis adalah
kuman. Berdasarkan perihal tersebut antibiotika baik secara sistemik maupun secara
lokal sering digunakan (Prayitno, 1996).
Peranan plak gigi terhadap terjadinya kelainan periodontal sudah dikenal
selama hampir 80 tahun. Kelainan periodontal yang lanjut biasanya ditandai dengan
adanya radang jaringan lunak, kerusakan membran periodontal, kerusakan tulang
serta bergeraknya epithelial attachment ke arah apikal (Prijantojo, 1993).
Skeling adalah suatu tindakan pembersihan plak gigi, kalkulus dan deposit-
deposit lain di permukaan gigi. Skeling subgingiva lebih sulit dilakukan daripada
skeling supragingiva karena sangat diperlukan kepekaan perabaan. Skeling dan
penghalusan akar gigi adalah bagian dari terapi awal yang paling sering dilakukan.
Terapi awal perawatan non bedah periodontal bertujuan menghilangkan seluruh
faktor penyebab lokal (Lelyati, 1996).
Tindakan skeling dan penghalusan akar gigi kadang-kadang tidak dapat
mencapai hasil maksimal. Kompleksitas anatomi gigi menyulitkan akses instrumen
ke dalam poket periodontal sehingga membatasi efektivitas penghalusan akar gigi.
Repopulasi bakteri dalam tubulus dentin dan jaringan lunak yang berdekatan dengan
poket memungkinkan terjadinya rekurensi penyakit (Suwandi, 2003).
Bahan kemoterapi banyak digunakan dalam perawatan klinis penyakit
periodontal. Terapi lokal dapat mengurangi perlawanan serangan bakteri pada
jaringan periodontal. Bahan kemoterapi harus memiliki keuntungan untuk terapi
klinis baik melalui aksi antimikroba atau meningkatkan resistensi host (Jolkovsky dan
Ciancio, 2006).
Sistem pemberian obat antibiotik secara lokal di bidang periodontal dengan
cara irigasi poket periodontal menggunakan larutan kimia atau menempatkan obat-
obat tertentu dalam bentuk padat atau semi padat. Syarat untuk efektifitas adalah
obat dapat bertahan beberapa waktu pada target dan sampai terjadi efek
antimikrobialnya. Antibiotika yang diberikan secara lokal dewasa ini adalah
tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate (tetracycline fibers 25%). Hasil penelitian
dengan menggunakan bahan ini menurunkan rata-rata kedalaman poket 1,02 mm
dibandingkan dengan skeling saja dengan rata-rata 0,67 mm (Prayitno dan Herman,
1996).
Penelitian Purwaningsih (2004), bahwa terdapat perbedaan yang sangat
bermakna (p<0,01) penurunan kedalaman poket dan penambahan perlekatan klinis
antara perawatan skeling dan root plening dengan tetrasiklin dibanding perawatan
skeling dan root plening tanpa Tetrasiklin HCl Gel 0,5%.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan (2011),
diperoleh hasil pemberian Tetrasiklin HCl gel 0,4% = 15,94 µm lebih mempercepat
proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% = 73,15 µm dan 0,3% =
45,16 µm pada gingiva tikus yang meradang.
Sehubungan dengan hasil penelitian di atas, maka peneliti ingin melakukan
penelitian tentang penggunaan Tetrasiklin HCl Gel secara topikal tetapi dengan
konsentrasi yang berbeda. Peneliti berharap bahwa dengan pemakaian konsentrasi
yang rendah akan mendapatkan hasil yang maksimal atau hampir sama dengan
penelitian sebelumnya. Peneliti mempertimbangkan efek samping tetrasiklin bila
dipakai dalam waktu yang lama dan dengan konsentrasi yang tinggi dapat merugikan
tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal lebih
mempercepat proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang dibandingkan
dengan konsentrasi 0,2% ?
2. Apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal lebih
mempercepat proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang dibandingkan
dengan konsentrasi 0,3% ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui perbandingan pemberian Tetrasiklin HCl Gel secara
topikal dengan berbagai konsentrasi terhadap cepatnya proliferasi kolagen
gingiva tikus yang meradang .
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel konsentrasi
0,4% menyebabkan proliferasi kolagen lebih cepat pada gingiva tikus
yang meradang dibandingkan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel
dengan konsentrasi 0,2%.
2. Untuk mengetahui apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel konsentrasi
0,4% menyebabkan proliferasi kolagen lebih cepat pada gingiva tikus
yang meradang dibandingkan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel
dengan konsentrasi 0,3%.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademi
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
1.4.2 Manfaat praktis
Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tambahan
kepada klinisi untuk menentukan terapi yang efektif dan efisisen kepada
penderita gingivitis.
1.4.3 Manfaat sosial
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memotivasi
masyarakat agar selalu menjaga kebersihan mulut dan rajin kontrol ke dokter
gigi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gingiva
Gingiva merupakan bagian mukosa rongga mulut yang menutupi tulang
alveolar pada rahang dan mengelilingi leher gigi. Fungsi khusus sebagai pertahanan
terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor mekanis dan mikroba, sehingga
dengan struktur yang spesifik mencerminkan keefektifannya sebagai pertahanan
terhadap penetrasi mikroba dan bahan-bahan yang membahayakan ke dalam jaringan
yang lebih dalam. Gingiva yang normal menutupi tulang alveolar dan akar gigi
sampai agak koronal dari cementoenamel junction. Secara anatomi gingiva dibagi
menjadi daerah gingiva margin (tepi gingiva), attached gingiva (gingiva cekat) dan
interdental (Fiorellini et al. 2006 b).
Tepi gingiva merupakan bagian gingiva yang mengelilingi gigi seperti kerah
baju, dengan kedalaman sekitar 1 mm, dan membentuk dinding jaringan lunak sulkus
gingiva. Tepi gingiva dapat dipisahkan dengan prob periodontal dari permukaan
gigi. Jaringan penghubung tepi gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan
serat kolagen disebut serabut-serabut gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).
Sulkus gingiva merupakan cekungan dangkal atau ruang disekitar gigi yang
dibatasi oleh permukaan gigi pada salah satu sisi dan garis epitel tepi gingiva pada
sisi yang lainnya. Sulkus gingiva berbentuk huruf ”V” dan dapat diukur dengan
menggunakan prob periodontal. Pada potongan histologis, kedalaman sulkus gingiva
1,8 mm. Penentuan klinis kedalaman sulkus gingiva merupakan parameter diagnosis
yang penting (Fiorellini et al. 2006 b).
Gingiva cekat merupakan kelanjutan dari tepi gingiva, memiliki ciri-ciri yang
padat, kenyal dan melekat erat pada periosteum tulang alveolar di bawahnya.
Kedalaman gingiva cekat pada aspek fasial berbeda pada berbagai daerah di dalam
rongga mulut, dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan pada gigi yang
supra erupsi. Kedalaman gingiva cekat merupakan parameter klinis (Fiorellini et al.
2006 b).
Gingiva interdental menempati embrasure gingiva yang merupakan ruang
interproksimal diantara daerah kontak gigi, berbentuk piramida dan puncaknya
terletak diantara titik kontak. Bentuknya tergantung pada titik kontak antara dua gigi
yang berdekatan dan adanya beberapa derajat resesi, permukaan fasial dan lingualnya
meruncing kearah kontak interproksimal (Fiorellini et al. 2006 b).
Gambar 2.1 Gingiva normal pada manusia.
http://nl.wikipedia.org/wiki/Benstand:Healthy_gingiva,jpg
Tepi gingiva Interdental gingiva
Gingiva cekat
2.1.1 Serat kolagen gingiva
Komponen utama jaringan penghubung gingiva adalah serat-serat kolagen
(sekitar 60% dari volume total), fibroblas (5%), pembuluh darah, saraf dan matriks
(sekitar 35 %). Jaringan penghubung gingiva dikenal sebagai lamina propria. Terdiri
dari 2 lapis yaitu lapisan pappilary di dekat epithelium dan lapisan retikuler yang
berdekatan dengan periosteum tulang alveolar (Fiorellini et al. 2006 b).
Jaringan penghubung gingiva mangandung bagian seluler dan ektraseluler
yang terpisah dan terdiri dari serat- serat dan substansi dasar. Jaringan penghubung
sebagian besar merupakan jaringan penghubung fibrous yang memiliki elemen-
elemen yang berasal dari jaringan penghubung mukosa oral atau rongga mulut
(Fiorellini et al. 2006 b).
Serabut jaringan penghubung ada tiga tipe yaitu kolagen, retikuler dan elastik.
Kolagen tipe I membentuk ketebalan lamina propria dan memberikan kekuatan
tarikan-regangan pada jaringan gingiva, sedangkan kolagen tipe IV (serat
argyrophilic reticulum ) bercabang di antara ikatan kolagen tipe I dan dilanjutkan
dengan serat-serat pada dasar membran dan dinding pembuluh darah (Fiorellini et al.
2006 b).
2.1.2 Serabut-serabut gingiva (kolagen gingiva)
Jaringan penghubung gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan serat
kolagen yang jelas terlihat disebut serabut-serabut gingiva. Fungsi dari serabut-
serabut gingiva adalah melekatkan tepi gingiva dengan kuat pada permukaan gigi,
menyediakan kekenyalan yang penting untuk mempertahankan posisinya terhadap
tekanan penguyahan tanpa tergeser dari permukaan gigi dan untuk menyatukan tepi
gingiva dengan sementum pada akar gigi dan gingiva cekat di dekatnya (Fiorellini et
al. 2006 b).
Kolagen adalah protein yang tersusun dari asam amino yang berbeda-beda ,
yang paling penting adalah glycine, proline, hydroxylysine dan hydroxyproline.
Sejumlah kolagen dalam jaringan dapat ditentukan oleh kandungan hydroxyproline.
Biosintesis kolagen terjadi di dalam fibroblas untuk membentuk molekul
tropokolagen, bersama-sama masuk mikrofibril yang bergabung bersama untuk
membentuk fibril. Fibril kolagen mempunyai striasi melintang dengan karakteristik
periodicity 64 nm, striasi ini disebabkan oleh penyusunan yang overlapping dari
molekul tropocollagen. Sebagian besar serabut-serabut dasar tersusun dari kolagen
tipe I (Fiorellini et al. 2006 b).
Kolagen merupakan komponen kunci semua fase penyembuhan luka. Segera
setelah injuri, paparan kolagen fibriler ke darah akan menyebabkan agregasi dan
aktivasi trombosit dan melepaskan faktor-faktor kemotaksis yang memulai proses
penyembuhan luka. Fragmen-fragmen kolagen melepaskan kolagenase leukositik
untuk menarik fibroblas ke daerah injuri. Selanjutnya kolagen menjadi pondasi untuk
matrik ekstraseluler yang baru. Akumulasi kolagen pada daerah luka tergantung pada
ratio antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen oleh enzim. Fase awal proses
penyembuhan luka, jumlah degradasi kolagen rendah, tetapi akan meningkat seiring
dengan maturasi dari luka (Triyono, 2005).
Berkas serabut kolagen dalam jaringan pengikat berdiameter antara 1 -12 µm
dengan rata-rata sebesar diameter eritrosit (7,7 µm). Sebenarnya serabut kolagen
terdiri dari gabungan serabut-serabut yang lebih halus disebut fibril. Serabut kolagen
dalam keadaan segar berwarna putih, oleh karena itu dinamakan serabut putih
(Subowo, 2009).
Massa kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler ini berfungsi untuk
mengembalikan kontinuitas, kekuatan dan fungsi jaringan. Kelambatan proses
penyembuhan dapat disebabkan oleh keberadaan luka yang memanjang, sementara
abnormalitas proses penyembuhan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut
abnormal (Triyono, 2005).
Serabut-serabut gingiva ada 3 kelompok yaitu gingivodental, sirkular dan
transeptal (Fiorellini et al. 2006 b).
1. Kelompok gingivodental terdapat pada permukaan fasial, lingual dan
interproximal. Tersembunyi dalam sementum di balik epitelium pada dasar
sulkus gingiva, terproyeksi dari sementum berbentuk kipas menuju puncak dan
permukaan luar tepi gingiva dan berakhir di dekat epitelium.
2. Kelompok sirkular berjalan melalui jaringan penghubung tepi gingiva dan
interdental melingkari gigi seperti cincin.
3. Kelompok transeptal berada pada daerah interproksimal membentuk ikatan-
ikatan horizontal yang meluas pada sementum antar gigi.
2.1.3 Peranan kolagen pada penyembuhan gingivitis
Penyembuhan luka adalah proses yang kompleks dan berkesinambungan.
Hemostasis atau penghentian perdarahan adalah proses pertama dalam proses
penyembuhan luka. Trombosit dan faktor-faktor pembekuan merupakan faktor
hemostatik intravaskuler yang utama. Kolagen merupakan agen hemostatik yang
sangat efisien, sebab trombosit melekat pada kolagen, membengkak dan melepaskan
substansi yang memulai proses hemostasis (Triyono, 2005).
Hemostasis kemudian diikuti dengan vasokonstriksi dan vasodilatasi.
Vasokonstriksi berlangsung ± 5 - 10 menit dan mengurangi keluarnya darah dari
daerah luka. Akumulasi lekosit PMN dan makrofag yang cepat terjadi pada tempat
injuri. Kolagen mempunyai kemampuan kemotaksis terhadap monosit. Monosit
seperti makrofag berfungsi memfagosit daerah luka dan membersihkan debris
(Triyono, 2005).
Sintesa kolagen dimulai hari ke-3 setelah injuri dan berlangsung secara cepat
sekitar minggu ke-2 – ke-4. Sintesis kolagen dikontrol oleh kolagenase dan faktor-
faktor lain yang merusak kolagen sebagai kolagen yang baru. Remodeling kolagen
selama fase maturasi tergantung pada berlangsungnya sintesis kolagen dan adanya
degradasi kolagen. Kolagenase dan metalloproteinase di dalam luka membuang
kelebihan kolagen sementara sintesis kolagen yang baru tetap. Selama remodeling,
kolagen menjadi lebih terorganisir (Triyono, 2005).
2.2 Hubungan klinis dan mikroskopis
Warna gingiva cekat dan tepi gingiva umumnya coral pink oleh karena suplai
darah, ketebalan dan derajat keratinisasi pada epitel serta adanya sel-sel yang
mengandung pigmen. Melanin, pigmen coklat yang merupakan derivate non-
hemoglobin bertanggung jawab terhadap pigmentasi normal kulit, gingiva dan
membran mukosa oral (Fiorellini et al. 2006 b).
Gingiva memiliki konsistensi padat, kenyal dan melekat erat pada tulang di
bawahnya, kecuali pada tepi gingiva. Tekstur permukaan menyerupai kulit jeruk
(stippling), dan terlihat jelas dengan mengeringkan gingiva. Berkurang atau
hilangnya stippling merupakan tanda adanya penyakit pada gingiva (Fiorellini et al.
2006 b).
Ukuran gingiva berbanding lurus dengan jumlah total ketebalan elemen-
elemen seluler dan interseluler serta suplai vaskulernya. Perubahan ukuran
merupakan ciri-ciri umum penyakit gingiva. Kontur atau bentuk gingiva bervariasi
tergantung pada bentuk gigi dan perlekatannya pada lengkung rahang. Kolagen
lamina propria menentukan kepadatan gingiva cekat sedangkan serabut-serabut
gingiva mempengaruhi kepadatan tepi gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).
2.3 Gingivitis
Pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, gingivanya dapat mengalami
pembengkakkan tipe ringan sampai berat dan menunjukkan perubahan warna dari
merah pucat sampai magenta. Kehilangan stippling pada gingiva dan perubahan
topografi permukaan meliputi menumpulan atau membulatnya tepi gingiva dan
bertambah datarnya cekungan pada papilla. Perdarahan gingiva, baik spontan atau
sebagai respon terhadap prob periodontal, merupakan hal yang umum, dan dapat pula
ditemukan eksudat cairan krevikular yang berhubungan dengan peradangan dan
nanah pada poket periodontal (Novack, 2006 a).
Perubahan warna pada gingivitis dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran
pembuluh darah, ketebalan epitel, kuantitas keratinisasi dan pigmentasi dalam epitel.
Perubahan warna gingiva merupakan tanda klinis penting pada gingivitis. Inflamasi
kronis dapat meningkatkan derajat kemerahan sebagai akibat proliferasi vaskuler dan
berkurangnya keratinisasi diakibatkan oleh tekanan jaringan yang mengalami
inflamasi (Melatibiyantini, 2009).
Luka pada gingiva yang biasa terjadi dibidang kedokteran gigi dapat
menyebabkan terjadinya radang gingiva. Radang merupakan reaksi jaringan hidup
tehadap semua bentuk jejas. Radang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah
netrofil dan enzim siklooksigenase di daerah luka. Gingivitis memberikan ciri yang
khas dengan adanya tanda klinis peradangan pada gingiva tanpa menunjukkan
kehilangan jaringan perlekatan (Novack, 2006 b).
Gingivitis merupakan reaksi keradangan yang timbul pada gingiva akibat
adanya jejas, baik mekanis maupun kimiawi. Perubahan patologis pada struktur
gingiva terjadi akibat adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam sulkus gingiva
sehingga menimbulkan kerusakan epitel, sel-sel jaringan ikat, dan struktur
interseluler. Keradangan ini diawali oleh adanya akumulasi plak yang mampu
merubah kondisi gingiva yang sehat menjadi gingivitis yang bertingkat (initial –
early – established – advanced lesion) (Gilangrasuna, 2010).
2.3.1 Gingvitis stadium I (initial lesion)
Manifestasi pertama inflamasi adalah perubahan vaskuler (dilatasi pembuluh
darah dan peningkatan aliran darah). Perubahan ini terjadi sebagai respon terhadap
aktivasi mikroba, tetapi secara klinis respon gingiva pada stadium I tidak terlihat.
Secara mikroskopis, gambaran klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat di
bawah epitel penghubung (Fiorellini et al. 2006 a).
2.3.2 Gingivitis stadium II (lesi awal)
Lesi awal berkembang dari lesi inisial dalam kurun waktu sekitar 1 minggu
setelah dimulainya akumulai plak. Tanda-tanda klinis eritema akan terlihat serta dapat
terjadi perdarahan pada saat probing. Pemeriksaan mikroskopis gingiva,
menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dalam jaringan ikat di bawah epitel
penghubung. Jumlah kerusakan kolagen meningkat, 70% kolagen yang rusak ada di
sekitar infiltrat seluler. Kumpulan serabut utama yang terlibat tampak pada jaringan
dentogingival. PMNs melepaskan lisosomnya untuk memfagositosis bakteri.
Fibroblas menunjukkan perubahan sitotoksik, dengan penurunan kemampuan untuk
memproduksi kolagen (Fiorellini et al. 2006 a).
2.3.3 Gingivitis stadium III ( lesi yang menetap )
Perkembangan lesi menetap ditandai dengan banyaknya jumlah sel-sel
plasma dan limfosit B serta mungkin berhubungan dengan pembentukan poket
gingiva . Se-sel B yang ditemukan sebagian besar adalah subklas immunoglobulin
G1 (IgG1) dan G3 (IgG3). Pembuluh darah tesumbat dan memadat, aliran balik vena
mengalami gangguan mengakibatkan anoxemia gingiva yang terlokalisasi, dilapisi
warna kebiru-biruan di atas gingiva yang kemerahan. Aliran eritrosit ke jaringan
penghubung dan kerusakan hemoglobin menyebabkan radang gingiva menjadi lebih
gelap (Fiorellini et al. 2006 a).
2.3.4 Gingivitis stadium IV ( lesi lanjutan )
Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar sebagai tanda stadium keempat disebut
stadium lanjutan atau fase kerusakan periodontal. Secara mikroskopis terdapat
jaringan gingiva fibrosis serta manifestasi kerusakan jaringan radang dan
imunopatologis yang tersebar luas, sel-sel plasma mendominasi jaringan ikat, serta
neutrofil tetap mendominasi epitel penghubung. Pada orang yang rentan dapat
berkembang menjadi periodontitis (Fiorellini et al. 2006 a).
Gingivitis dibedakan berdasarkan perjalanannya dan lamanya serta
penyebarannya. Berdasarkan perjalanan dan lamanya diklasifikasikan menjadi 4
yaitu gingivitis akut (rasa sakit timbul secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu yang
pendek), gingivitis subakut (tahap yang lebih hebat dari kondisi gingivitis akut),
gingivitis rekuren (peradangan gusi yang dapat timbul kembali setelah dibersihkan
dengan perawatan atau hilang secara spontan dan dapat timbul kembali), gingivitis
kronis (peradangan gusi yang paling umum ditemukan, timbul secara perlahan-lahan
dalam waktu yang lama dan tidak terasa sakit). Berdasarkan penyebarannya,
gingivitis diklasifikasikan menjadi 5 yaitu localized gingivitis , generalized gingivitis,
marginal gingivitis, pappilary gingivitis, dan diffuse gingivitis (Riyanti, 2008).
2.3.5 Gambaran klinis gingivitis
Tanda-tanda klinis gingivitis adalah kemerahan pada gingiva, perdarahan,
perubahan kontur dan adanya adanya kalkulus atau plak gigi. Pada pemeriksaan
histologis pada gingivitis terlihat adanya ulserasi epitel. Mediator inflamasi
memberikan efek negatif pada fungsi epitel sebagai barier perlindungan dan
perbaikan ulserasi pada epitel tergantung proliferasi atau regenerasi dari aktivitas sel
epitel (Melatibiyantini, 2009).
Gingivitis merupakan sebuah proses keradangan yang terbatas pada jaringan
epitel mukosa di sekitar servikal gigi. Gingivitis diklasifikasikan menurut
penampakannya (misalnya, ulceratif, hemorrhagic, necrotizing, purulent). Tipe
gingivitis yang paling umum adalah bentuk kronis yang ditimbulkan oleh plak
(Masdin, 2010).
Kelompok usia remaja mempunyai prevalensi gingivitis yang tinggi daripada
anak-anak ataupun orang tua. Peningkatan hormon sex selama masa remaja
memberikan pengaruh yang besar terhadap meningkatnya gingivitis (Beck dan Arbes,
2006).
Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya
mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan mungkin yang ada di dalam atau
didekat sulkus gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk
(misal: kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang
dapat menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen
interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan glycocalyx (cell coat) (Fiorellini et al.
2006 a).
Manifestasi pertama gingivitis adalah perubahan vaskuler yang terdiri dari
dilatasi kapiler dan peningkatan aliran darah. Perubahan ini terjadi sebagai respon
terhadap aktivasi mikroba dari sisa-sisa leukosit dan stimulasi sel-sel endotel.
Terdapat sedikit perubahan pada epitelium junctional dan jaringan ikat peri vaskuler
pada stadium awal (Fiorellini et al. 2006 a).
Fase inflamasi terjadi oleh karena adanya respon vaskuler dan seluler yang
terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Respon inflamasi ditandai
dengan timbunan sel polimorfonuklear (PMN) yaitu neutrofil, disekitar jaringan
inflamasi. Fase ini dimulai dari hari ke-1 - ke-4 setelah perlukaan, pembuluh darah
mengalami kerusakan menyebabkan platelet keluar dan berfungsi sebagai hemostasis.
Platelet menutupi pembuluh darah yang terbuka dan mengeluarkan substansi
vasokonstriksi (Julica, 2009).
Fibroblast aktif bergerak ke daerah inflamasi dan mengalami proliferasi serta
mengeluarkan beberapa substansi kolagen, elastin, fibronektin dan proteoglycans
yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru. Fungsi kolagen yang spesifik adalah
membentuk connective tissue matrix (Julica, 2009).
Gambaran ciri-ciri klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat dibawah
epitelium junctional. Karakter dan intensitas respon host menentukan apakah lesi
inisial berkembang secara cepat, disertai peningkatan neutrofil. Deposisi fibrin dan
kerusakan kolagen bisa ditemukan pada tahap awal. Pada sekitar 1 pekan, transisi ke
lesi-lesi dini ditandai dengan perubahan infiltrat-infiltrat limfosit yang menonjol.
Monosit dan sel-sel plasma juga bisa ditemukan. Semakin lama, lesi-lesi ini menjadi
kronis dan ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit B. Ketika inflamasi
kronis berkembang menyebabkan terbentuknya poket. Poket menjadi bertambah
dalam sehingga menyebabkan perdarahan selama menyikat gigi bahkan saat
mengunyah biasa. Karena inflamasi ini berlangsung terus menerus, maka ligamen
periodontal akan terurai dan terjadi kerusakan tulang alveolar lokal, gigi mulai
longgar dan akhirnya tanggal (Masdin, 2010).
2.3.6 Etiologi gingivitis
Penyebab utama gingivitis adalah adanya bakteri pada plak gigi, bersama
faktor penyebab lainnya seperti kalkulus, maloklusi, restorasi yang kurang bagus,
komplikasi yang berhubungan terapi ortodontik, luka yang dibuat sendiri,
penggunaan tembakau dan radiasi (Hinrichs, 2006).
Plak gigi adalah struktur lunak, substansi yang berwarna kuning keabuan yang
melekat kuat pada permukaan keras dalam rongga mulut seperti pada restorasi cekat
dan lepasan. Plak gigi terutama tersusun oleh bakteri yang terdapat dalam matriks
glikoprotein saliva dan polisakarida ekstraseluler. Plak gigi terutama tersusun oleh
mikroorganisme, dimana 1 gram plak gigi (berat basah) mengandung kira-kira 1011
bakteri. Jumlah bakteri pada plak gigi supragingiva pada satu permukaan gigi dapat
melebihi angka 109. Pendekatan molekuler baru untuk identifikasi bakteri,
diperkirakan sebanyak 30% dari mikroorganisme berhubungan dengan gingivitis
(Quirynen et al. 2006).
Mikroba supragingiva berbeda komposisi dengan plak gigi subgingiva,
terutama karena ketersediaan produk lokal dari darah dan potensi oksidasi dan
reduksi yang rendah ditandai dengan lingkungan yang anaerobik. Plak gigi
didominasi oleh batang dan kokus gram positif seperti Streptococcus mitis, S.sanguis,
A.naeslundil dan spesies Eubacterium (Quirynen et al. 2006).
Komponen anorganik plak gigi terutama adalah kalsium dan fosfor dan
sejumlah mineral meliputi sodium, potasium dan fluorid. Sumber utama bahan
anorganik plak gigi supragingva adalah saliva sehingga dengan adanya peningkatan
kandungan mineral, massa plak gigi menjadi terkalsifikasi menjadi kalkulus. Proses
pembentukan melalui 3 fase utama yaitu pembentukan pelikel pada permukaan gigi,
perlekatan awal dan perlekatan bakteri serta kolonisasi dan maturasi plak gigi
(Quirynen et al. 2006).
2.3.7 Penyembuhan gingivitis
Proses penyembuhan jaringan lunak gingiva berlangsung secara normal selama
lebih kurang sepuluh sampai empat belas hari setelah terapi dimana pada prosesnya
terjadi beberapa tahap yakni regenerasi, repair dan proses pembentukan jaringan baru
pada tahap akhir (Haryono, 2006).
Rangsang eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel, dan
selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh
darahnya. Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang
mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali.
Proses inflamasi terjadi pada jaringan ikat dengan pembuluh darah yang mengandung
plasma, sel yang bersirkulasi, elemen seluler dan ekstra seluler jaringan pengikat.
Komponen seluler adalah eritrosit, lekosit (netrofil, eosinofil, basofil), monosit,
limfosit, trombosit, sedangkan sel jaringan pengikat adalah sel mast, fibroblas,
monosit, makrofag dan limfosit. Elemen ekstra seluler antara lain kolagen, elatin,
glikoproptein adesif ( fibronektin, laminin, kolagen non fibril, tenasen, proteoglikan )
(Triyono, 2005).
Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan dan penghancuran sel atau
agen penyebab kerusakan sel. Proses reparasi, proses pembentukan kembali jaringan
rusak atau proses penyembuhan jaringan rusak terjadi pada saat yang sama. Proses
ini baru selesai sempurna sesudah agen penyebab kerusakan sel dinetralkan. Selama
proses reparasi berlangsung, jaringan rusak diganti oleh regenerasi sel parenkimal asli
dengan cara mengisi bagian yang rusak dengan jaringan fibroblas (proses scarring)
(Triyono, 2005).
Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami
kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali. Proses
inflamasi sangat erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya
inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka. Luka akan tetap menjadi
sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung
menimbulkan nyeri (Triyono, 2005).
Fase penyembuhan pada gingivitis, mengalami fase yang sama dengan proses
pemyembuhan secara umum.
2.3.7.1 Fase inflamasi
Fase inflamasi terjadi pada hari ke- 0 – ke-5. Luka karena trauma atau karena
pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan perdarahan. Darah pada awalnya
akan mengisi jaringan yang cedera dan paparan darah terhadap kolagen akan
mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman.
Kemudian akan memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin,
kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari
daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan
tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke
daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini menyebabkan
edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya
luka (Norvianzah, 2008).
Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju ke tempat
terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24 – 48
jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri yang masuk. Pada
penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting sebab
penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini
menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel
PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga.
Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan dari monosit
yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi. Muncul pertama
48 – 96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke-3
(Triyono, 2005) .
Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di
dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan
muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncak
pada hari ke-7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaanya
pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil, memfagositosis
dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa jaringan. Makrofag juga
melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah terbentuknya sel inflamasi
tambahan yang membantu makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa
jaringan. Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang
mengawali dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi. Zat yang
berfungsi sebagai transmiter interseluler ini secara keseluruhan disebut sitokin
(Triyono, 2005).
2.3.7.2 Fase proliferasi
Fase ini terjadi pada hari ke-3 – ke-14. Apabila tidak ada kontaminasi atau
infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil
dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna, dimulailah fase
proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada
luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblas
dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam
jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik.
Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak
pada hari ke-7. Peningkatan jumlah fibroblas pada daerah luka merupakan kombinasi
dari proliferasi dan migrasi (Triyono, 2005).
Fibroblas ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan
dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi
oleh makrofag dan limfosit. Fibroblas merupakan elemen utama pada proses
perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan
jaringan. Fibroblas juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini
berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks ekstraseluler yang berguna
membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada hari
ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-3. Kolagen terus menumpuk sampai
tiga bulan. Penumpukan kolagen pada awalnya terjadi berlebihan kemudian fibril
kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka
(Triyono, 2005).
2.3.7.3 Fase maturasi
Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera setelah
matriks ekstrasel terbentuk, mulai terjadi reorganisasi. Matriks ekstrasel pada
awalnya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel
substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan
kolagen oleh fibroblas. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk
matriks. Serabut kolagen pada awalnya terdistribusi acak membentuk persilangan
dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan
penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.
Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan
penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Triyono, 2005).
2.3.8 Perawatan gingivitis
Tujuan utama perawatan jaringan periodontal tidak hanya menghentikan
penyakit periodontal, tetapi dapat juga meramalkan regenerasi jaringan periodonsium
yang mengalami kerusakan. Keberhasilan perawatan periodontal sangat bergantung
kepada kemampuan dalam menghilangkan keradangan pada gingiva, perdarahan
gingiva, mengurangi kedalaman poket, menghentikan proses infeksi, menghentikan
pembentukan pus, menghentikan kerusakan jaringan lunak dan tulang, mengurangi
kegoyangan gigi, memperbaiki fungsi oklusi, memperbaiki jaringan yang mengalami
kerusakan, mencegah rekurensi penyakit serta mengurangi hilangnya gigi geligi
(Syafril, 1996)
Regenerasi adalah pertumbuhan serta pembelahan sel-sel baru dan substansi
interseluler yang membentuk jaringan baru. Regenerasi terdiri dari fibroplasia,
proliferasi endotel, deposisi substansi dasar intersisial dan kolagen, epitelisasi dan
pematangan jaringan ikat (Syafril, 1996).
Peran mikroorganisme terhadap penyakit periodontal sangat menentukan, dan
banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan macam obat yang paling efektif
terhadap mikoorganisme tersebut. Obat kumur sering dianjurkan untuk perawatan ini
disamping pemberian antibiotika lokal atau sistemik. Sistem pemberian obat
antibiotika secara lokal dengan cara irigasi. Syarat pokok untuk efektifitas adalah
obat dapat mencapai dasar poket dan dapat bertahan beberapa waktu di tempat
sampai terjadi efek antimikrobialnya (Prayitno dan Herman, 1996).
Dasar pemikiran diindikasikannya terapi antibiotika sebagai penunjang
perawatan periodontal karena etiologi utama penyakit periodontal adalah bakteri yang
terdapat di dalam plak gigi. Beberapa spesies bakteri dapat mengadakan invansi ke
jaringan ikat gingiva, bahkan sampai ke permukaan tulang alveolar. Antibiotika
dapat meningkatkan keberhasilan prosedur perlekatan baru dan prosedur regenerasi
tulang sehingga dapat menghindari terjadinya reinfeksi. Antibiotika yang dipilih
harus sesuai dengan bakteri yang akan disingkirkan dan mempunyai efek samping
minimal (Daliemunthe, 1995).
Antibiotika yang efektif sebagai penunjang perawatan periodontal harus cukup
tinggi konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva. Sebagai patokan adalah
konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva dan bukan konsentrasi di dalam serum
darah. Antibiotika yang memenuhi syarat adalah tetrasiklin beserta derivatnya
(minosiklin dan doksisiklin) karena memiliki konsentrasi 2-4 kali lebih tinggi pada
poket periodontal dibandingkan dengan di serum darah (Daliemunthe, 1995).
2.4 Tetrasiklin
Tetrasiklin telah digunakan secara luas pada perawatan penyakit periodontal.
Tetrasiklin mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan
menghambat pertumbuhan Actinobacillus actinomycetemcomitans, dan mampu
merangsang suatu efek kolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan
jaringan dan mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Pemberian tetrasiklin atau metronidazol dalam waktu singkat atau pemakaian
tetrasiklin secara oral dengan alat irigasi yang lambat ternyata menyebabkan sangat
berkurangnya jumlah flora subgingiva (Manson dan Eley, 1993).
Tetrasiklin merupakan senyawa kristal berwarna kuning dan sedikit larut
dalam air. Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml
sedangkan dalam metanol lebih dari 20 mg/ml. Tetrasiklin memiliki rumus molekul
C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC [4s-(4α,4aα,5aα,6β,12aα)] -4-
(dimetilamino) 1,4,4a,5,5a, 6-11,12a-oktahidro-3,6,10,12,12a- pentahidroksi- 6- metil
-1,11-diokso- 2- naftasenkarboksamida dengan bobot molekul 444,44 g/mol (Suryani,
2009) .
Gambar 2.2 Struktur kimia tetrasiklin
(http://putrikoto woodpress.com/2010/08/13/tetrasiklin//)
Senyawa tetrasiklin (1948), diperoleh dari streptomyces aureofacien
(klortetrasiklin ) dan Streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Tetapi setelah 1960, zat
induk tetrasiklin mulai dibuat secara sintetis seluruhnya, yang kemudian disusul oleh
derivat –oksi dan –klor serta senyawa long-acting doksisiklin dan minosiklin (Tan
dan Kirana, 2002).
Tetrasiklin bebas merupakan senyawa amfoter dalam bentuk kristal dengan
daya larut rendah, dan merupakan antibiotik berspektrum luas yang menghambat
sintesis protein . Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri
gram-positif dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae,
mycoplasma, dan bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa
(Katzung, 2004).
Tetracycline fibers 25% adalah sediaan tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate,
minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25% dalam lipid gel (Elyzol)
dewasa ini sering dipergunakan secara topikal untuk perawatan periondititis (Prayitno
dan Herman, 1996).
Dua penelitian besar yang melibatkan masing-masing lebih dari 100 subyek
telah dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan
bahwa kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja
rata-rata 0,67mm (Prayitno dan Herman, 1996).
Tetrasiklin Periodontal fiber merupakan turunan tetrasiklin yang tidak hanya
memiliki sifat antibakteri namun juga dapat mengurangi inflamasi serta membantu
menghentikan kolagenase protein oleh karena sifatnya yang antikolagenase.
Antibiotika ini digunakan dalam bentuk lokal sebagai perawatan penunjang untuk
penyakit periodontal (Wulandari, 2007).
Minosiklin dalam bentuk lipid gel juga digunakan untuk perawatan saku
periodontal. Gel 0,5 gram yang mengandung 10 mg minosiklin diaplikasikan dengan
alat suntik ujung plastik, menghasilkan penurunan kedalaman poket 1,7 mm
dibandingkan tanpa minosiklin rata-rata 1,4 mm (Prayitno dan Herman, 1996).
Penggunaan tetrasiklin golongan antibiotika dalam terapi periodontal telah
dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, anti kolagenase dan anti
inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu
menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak
efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan
suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan
di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).
Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif
dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang
dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah
diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima
jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan
membuka matrix kolagen (Wahyukundari, 2009).
Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena
mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali daripada di dalam serum,
sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke
dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana
tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah
(2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap
jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Antibiotika lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat
etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9
inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau
tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan
saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis
meningkat beberapa efek secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang
dihasilkan dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky
dan Ciancio, 2006).
2.4.1 Sifat kimia
Semua terasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter, garam klorida /fosfat
paling banyak digunakan. Larutan garam ini hanya stabil pada pH < 2 dan terurai
pesat pada pH lebih tinggi. Kapsul yang disimpan ditempat panas dan lembab mudah
terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk pengurainya epi-dan
anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi ginjal (Tan dan Kirana, 2002).
2.4.2 Farmakologi
Tetrasiklin merupakan sutau kelompok antibiotika yang diproduksi secara
alami dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik.
Antibiotika ini memilki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan
perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan
bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
2.4.3 Farmakodinamik
Terjadi 2 proses masuk ke dalam ribosom bakteri yaitu pertama difusi pasif
melalui kanal hidrofilik, kedua sebagai sistem transport aktif. Setelah masuk
berikatan dengan ribosom, mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA
ribosom, terhentinya sintesis protein (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
2.4.4 Farmakokinetika
Tetrasiklin terutama berbeda dalam absorbsi setelah pemberian oral dan
eliminasinya. Absorbsi setelah pemberian oral adalah sekitar 30% untuk
chlortetrasikline, 60-70% untuk tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeclosiklin dan
metasilin, serta 95-100% untuk doxysiklin dan minosiklin (Katzung, 2004).
Tetrasiklin sekitar 30-80% diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan
minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung
dan usus halus. Makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali
minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi
dan pembentukan kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap
seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat
dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam
sesudah makan (Karlina dkk. 2009).
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan
melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin di
ekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang di
ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini
masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap, diekskresi melalui tinja (Karlina
dkk. 2009).
Tetrasiklin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan-jaringan dan cairan-
cairan tubuh, kecuali dalam cairan serebrospinal, dimana konsentrasinya adalah
sebesar 10-25% dari konsentrasi serum. Sekitar 40-80% tetrasiklin diikat oleh
protein-protein serum. Tetrasiklin mempunyai masa kerja singkat berdasarkan waktu
paruh serum (Katzung, 2004).
2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Tikus putih adalah tikus rumah, merupakan binatang asli Asia, India, dan
Eropa Barat. Tikus laboratorium adalah spesies tikus Rattus norvegicus yang
dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah
digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian.
Klasifikasidari tikus putih
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordota
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Norwegicus
2.6 Penelitian Pendahuluan
Peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan dengan mempergunakan
sampel tikus sebanyak 16 ekor, dibagi dalam 4 kelompok dan masing- masing
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Gingiva tikus pada bagian labial di antara insisivus
sentralis rahang bawah dilukai dengan scalpel no 11 sampai menyentuh tulang
alveolar di bawahnya. Perlakuan diberikan mulai pada hari ke-5. Kelompok I,
diberikan perlakuan dengan diolesi gel, kelompok II diberikan perlakuan dengan
diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,2%. Kelompok II diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,3% dan
kelompok IV diberikan perlakuan dengan diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.
Pengolesan dilakukan 2x sehari dengan tekanan ringan, selama 5 hari. Tikus
didekapitasi pada hari ke-10 dan jaringan gingiva diambil. Sediaan mikroskopis
dibuat dan diukur proliferasi kolagennya.
Dari penilaian didapat hasil sebagai berikut :
1. Kelompok I (kontrol) diberikan perlakuan gel diperoleh proliferasi
kolagen rata-rata 134,23 µm.
2. Kelompok II dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,2% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 73,15 µm.
3. Kelompok III dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,3% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 45,16 µm.
4. Kelompok IV dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% diperoleh
proliferasi kolagen rata-rata 15,94 µm.
Gambar 2.3 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,2% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di
bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X
Gambar 2.4 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,3% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah
mikroskop elektrik pembesaran 400X
Gambar 2.5 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin
HCl Gel 0,4% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah
mikroskop elektrik pembesaran 400X
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Gingivitis adalah keradangan pada gingiva. Gingivitis merupakan reaksi
keradangan yang timbul pada gingiva akibat adanya jejas, baik mekanis maupun
kimiawi. Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya
mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan di dalam atau di dekat sulkus
gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk (misal:
kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang dapat
menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen
interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan glycocalyx (cell coat).
Pada kondisi inflamasi atau patologis dapat terjadi berbagai macam perubahan,
seperti perubahan jumlah sel epitel, serta perubahan ukuran sel dan inti sel. Peran
mikroorganisme terhadap penyakit periodontal sangat menentukan, dan banyak
penelitian yang dilakukan untuk menentukan macam obat yang paling efektif
terhadap mikoorganisme tersebut. Dasar pemikiran diindikasikannya terapi
antibiotika sebagai penunjang perawatan periodontal karena etiologi utama penyakit
periodontal adalah bakteri yang terdapat di dalam plak gigi. Beberapa spesies bakteri
dapat mengadakan invansi ke jaringan ikat gingiva, bahkan sampai ke permukaan
tulang alveolar.
Antibiotika dapat meningkatkan keberhasilan prosedur perlekatan baru dan
prosedur regenerasi tulang sehingga dapat menghindari terjadinya reinfeksi.
Tetrasiklin beserta derivatnya (minosiklin dan doksisiklin) memenuhi syarat untuk
perawatan gingivitis karena memiliki konsentrasi 2-4 kali lebih tinggi pada saku
periodontal dibandingkan dengan di serum darah.
3.2. Kerangka Konsep
Berdasarkan permasalahan dan kajian pustaka yang telah diuraikan , maka
dibuat suatu kerangka konsep yang terkait dengan masalah penelitian.
Gingiva Meradang
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Tetrasiklin HCl Gel
Faktor Endogen - Hormonal - Psikologis - Genetik - Sistem kekebalan
Faktor Eksogen - Lingkungan - Stress - Infeksi - Obat
proliferasi kolagen
Gingiva Meradang
3.3. Hipotesis Penelitian
1. Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal menyebabkan
proliferasi kolagen lebih cepat dibandingkan konsentrasi 0,2% pada gingiva
tikus yang meradang.
2. Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal menyebabkan proliferasi
kolagen lebih cepat dibandingkan konsentrasi 0,3% pada gingiva tikus yang
meradang.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental Randomized pretest-
posttest control group design (Pocock, 2008).
K
P1
P2
P3
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan :
P = Populasi
R = Random
S = Sampel
P S
O2
O3 O4
05 O6
R
Ra
O1
O7 O8
Ra = Random alokasi
O1 = Observasi awal kelompok I sebelum perlakuan
O3 = Observasi awal kelompok II sebelum perlakuan
O5 = Observasi awal kelompok III sebelum perlakuan
O7 = Observasi awal kelompok IV sebelum perlakuan
P0 = Perlakuan pada kelompokI diberikan gel
P1 = Perlakuan pada kelompok II diolesi tetrasiklin gel 0,2 %
P2 = Perlakuan pada kelompok III diolesi tetrasiklin gel 0,3%
P3 = Perlakuan pada kelompok IV diolesi tetrasiklin gel 0,4 %
O2 = Observasi akhir kelompok I setelah diberikan perlakuan
dengan gel
O4 = Observasi akhir kelompok II setelah diberikan perlakuan
Tetrasiklin HCl Gel 0,2%
O6 = Observasi akhir kelompok III setelah diberikan perlakuan
Tetrasiklin HCl Gel 0,3%
O8 = Observasi akhir kelompok IV setelah diberikan perlakuan
Tetrasiklin HCl Gel 0,4%
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, dan Laboratorium
Farmacetikal SMF Saraswati Denpasar.
4.2.2. Waktu penelitian
Bulan November 2011
4.3. Penentuan Sumber Data
Sesuai dengan rancangan penelitian,maka sampel (tikus) dalam penelitian ini
jumlahnya 32 dan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu satu kelompok kontrol
diberikan gel, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,2%;
satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,3%; satu kelompok
perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.
4.3.1 Besar sampel
Menghitung jumlah sampel (Pocock, 2008)
n = 2 σ2 x f (α.β )
(µ1-µ2)2
Keterangan : n = jumlah sampel
σ = simpangan baku : 4,6
α = tingkat kesalahan I (α = 0,05)
β = tingkat kesalahan II (β = 0,1)
µ1 = rerata nilai pada kelompok control
µ2 = rerata nilai pada kelompok perlakuan
Dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut :
n = 2. 4,6 2 x 10,5
8,52
= 42,3 x 10,5
72.3
= 6,14
Untuk mengantisipasi adanya sampel yang mati maka ditambah 20% dari
sampel yang didapat dari perhitungan (20%x6,14 = 1,3). Jadi jumlah sampel
6,14+1,3 = 7,44.
4.3.2 Kriteria sampel
Sampel yang digunakan sebagai obyek penelitian ini adalah tikus putih jantan
(Ratus novergicus) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a. Tikus putih jantan dewasa strain wistar
b. Umur 8 12 minggu
c. Berat badan 180 – 200 gram
d. Sehat
4.3.2.2 Kriteria ekslusi
a. Tidak mau makan
4.3.2.3 Kriteria drop out
a. Tikus mati saat penelitian
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi variabel
Variabel bebas
a. Gel
b. Tetrasiklin HCl Gel 0,2%
c. Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %
d. Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %
Variabel Tergantung : proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang
Variabel Terkendali
a. Makanan dan kandang tikus
b. Umur tikus 8 – 12 minggu
c. Jenis kelamin jantan
d. Berat badan tikus 180-200 gram
4.4.2 Hubungan antar variabel
Variabel bebas a. Gel b. Tetrasiklin HCL Gel 0,2% c. Tetrasiklin HCL Gel 0,3% d. Tetrasiklin HCL Gel 0,4%
Variabel Terkendali
a. Makanan dan kandang tikus b. Umur tikus 2 bulan c. Jenis kelamin jantan d. Berat badan tikus 180-200
Variabel Tergantung
Proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang
4.5 Definisi Operasional
a. Tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak
40 mg kemudian dicampur dengan 9,960 gram gel.
b. Tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak
30 mg kemudian dicampur dengan 9,970 gram gel.
c. Tetrasiklin HCl Gel 0,% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak
20 mg kemudian dicampur dengan 9,980 gram gel.
d. Proliferasi kolagen adalah terbentuknya kolagen setelah diolesi Tetrasiklin HCl
Gel pada permukaan gingiva yang meradang setelah dibuat preparat dengan
pengecatan Harries Hematoxylin-Eosin dan dilihat pada lima lapang pandang
yang diukur dengan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400X dan Olympus
DP12 Digital Camera.
e. Gingiva meradang adalah suatu keadaan radang pada gingiva tikus setelah
dilukai dengan scalpel no. 11 sampai menyentuh tulang alveolar di bawahnya
pada gingiva tikus bagian labial di antara insisivus sentralis rahang bawah.
4.6 Bahan dan Alat Penelitian
4.6.1 Bahan penelitian :
a. Tetrasiklin HCl Gel 0.2%;0.3% dan 0,4%
b. Gel (kontrol)
c. Cat Harris Hematoxyllin-Eosin
d. Alkohol 70%
e. Larutan buffer formalin10%
Gambar 4.2 Tetrasiklin HCl Gel dan Gel
4.6.2 Alat penelitian
a. Mikroskop cahaya
b. Micro brush
c. Pinset
d. Gunting Bedah
e. Scalpel no.11
f. Olympus DP12 Digital Camera
Gambar 4.3 Alat-alat yang dipergunakan penelitian
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Pembuatan Tetrasiklin HCl Gel
Tetrasiklin HCl ditimbang pada timbangan elektrik sesuai dengan konsentrasi
yang dipakai untuk penelitian. Gel dibuat dengan mencampur hidroksipropil
metilselulosa (PT Salompas), propilen glikol (Brataco, Surabaya) dan aquadest.
Untuk konsentrasi 0,2 % maka tetrasiklin HCl murni ditimbang sebanyak 20
mg kemudian dicampur dengan 9,980 gram gel. Konsentrasi 0,3% maka tetrasiklin
murni ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dicampur dengan 9,970gram gel.
Konsentrasi 0,4% maka tetrasiklin murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian
dicampur dengan 9,960gram gel.
4.7.2 Perlakuan pada tikus
Tikus yang digunakan sebagai hewan coba diadaptasikan selama satu minggu
dalam kandang individual. Tikus tidak boleh stress dengan menempatkannya pada
tempat yang tenang dan bersih dengan intensitas cahaya dan sirkulasi udara yang
baik. Makanan yang diberikan harus sesuai standar nutrisi dan pemberian air minum
yang cukup untuk mencegah dehidrasi.
Gingiva tikus sebeluan dilukai, diolesi xylonor pellet sebagai anastesi topikal
sebelum ditoreh dengan scalpel. Radang gingiva dibuat pada gingiva tikus bagian
labial di antara insisivus sentralis rahang bawah ditoreh dengan scalpel no.11 sampai
menyentuh tulang alveolar di bawahnya.
Tetrasiklin HCl Gel 0,2%;0,3% dan 0,4% dioleskan pada masing kelompok
II,III dan IV, sedangkan pada kelompok I hanya diolesi gel. Masing-masing
kelompok diolesi dengan tekanan ringan dengan micro brush yang dilakukan 2 kali
sehari, pagi dan sore. Tikus didekapitasi pada hari ke-10 dengan cloroform. Setelah
mati daerah gingiva yang mengalami radang diambil, dimasukkan dalam pot yang
berisi buffer formalin 10% selanjutnya dibuat sediaan mikroskopis.
4.7.3 Pembuatan sediaan mikroskopis
Fiksasi jaringan gingiva dilakukan dengan buffer formalin 10% maksimum
selama 24 jam. Jaringan yang telah difiksasi dimasukkan ke dalam automatic tissue
processor untuk menyempurnakan fiksasi. Dehidrasi dengan alkhol 70% - 100%
secara bertahap untuk membersihkan sisa-sisa bahan fiksasi. Sisa alkohol
dibersihkan dengan xylol dalam proses clearing dan infiltrasi parafin cair pada suhu
57 ºC -59 ºC untuk mengisi rongga dalam jaringan yang ditempati oleh air sehingga
terbentuk blok parafin dan didinginkan sebentar di dalam freezer . Setiap blok
parafin dilakukan pengirisan jaringan setebal 3-4 µm dengan menggunakan
mikrotom. Irisan jaringan tersebut dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu di
bawah titik cair parafin. Air pada jaringan diuapkan dengan cara diinkubasi dengan
hot plate pada suhu 40-50ºC selama15 menit.
Prosedur pengecatan dengan deparafinisasi dengan xylol. Rehidrasi dengan
alkohol dari konsentrasi rendah untuk menghilangkan xylol dan memasukkan air ke
dalam jaringan. Sisa alkohol dihilangkan dengan mencuci preparat di bawah air
mengalir, kemudian diberi cat Harris Hematoxillin-eosin. Proses pembersihan dengan
xylol dilakukan untuk memberikan warna bening pada jaringan. Prosedur mounting
dilakukan agar preparat menjadi awet dan menambah kejernihan. Tahap selanjunya
preparat ditutup dengan deckglass dan diberi label.
4.7.4 Menentukan proliferasi kolagen
Kolagen dilihat pada potongan melintang pada 5 lapang pandang dengan
menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus CX21 dengan pembesaran 400X.
Untuk morfometri menggunakan Olympus DP12 Digital Camera.
Penilaian proliferasi kolagen dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
> 91µm = jika tidak ditemukan adanya proliferasi kolagen
61µm - 90µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen ringan
31µm - 60µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen sedang
0 - 30µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen rapat/padat
4.8 Prosedur Penelitian
32 ekor tikus
Kel. kontrol Kel.perlakuan
Gingiva meradang dibuat pada gingiva labial diantara insisivus sentralis rahang bawah dengan scalpel
Kelompok I (Kontrol) Olesi gel 2X sehari
Kelompok II OlesiTetrasiklin HCl Gel 0,4% 2X sehari
Kelompok III OlesiTetrasiklin HCl Gel 0,3 % 2X sehari
Kelompok IV Olesi Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % 2X sehari
tikus
random
Gambar 4.4 Alur Penelitian
4.9 Analisis Data
Data yang diperoleh dinalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Analisis deskriptif : analisis data untuk memberikan gambaran tentang
karakteristik data yang didapatkan dari hasil penelitian.
2. Analisis normalitas dan homogenitas :
2.1 Uji normalitas dengan uji Shapiro-wilk (SW) karena sampelnya <30.
2.2 Uji homogenitas dengan uji Levene´s test.
3. Uji efek perlakuan
3.1 Untuk perbandingan antar kelompok dengan uji parametrik One-way anova.
Dekapitasi hari ke-10
Pembuatan preparat dgn pengecatan HE
Pemeriksaan proliferasi kolagen dengan mikroskop elektrik
Analisis Data
3.2 Untuk mengetahui seberapa besar efek dilanjutkan dengan LSD Post Hoc
Test.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini mempergunakan 40 tikus putih jantan (Rattus novergicus)
berumur 8- 12 minggu, berat badan 180 – 200 g, dan sehat sebagai sampel. Delapan
ekor tikus dipergunakan untuk data pre-test, dan 32 ekor tikus dipergunakan untuk
data post-test yang terbagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu
kelompok kontrol diberikan aplikasi gel, satu kelompok perlakuan diberikan
Tetrasiklin HCl Gel 0,2%, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,3%,
dan satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%. Bab ini akan
menguraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji
efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data kolagen baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-
masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.
Disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Kolagen masing-masing Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan
Kelompok Perlakuan n p Keterangan Kontrol pre Kontrol post Tetrasiklin HCl Gel 0,2% post Tetrasiklin HCl Gel 0,3% post Tetrasiklin HCl Gel 0,4% post
8 8 8 8 8
0.074 0.627 0.595 0.742 0.833
Normal Normal Normal Normal Normal
Table 5.1 hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05).
5.2 Uji Homogenitas Data
Data proliferasi kolagen diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji
Levene’s test. Disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Proliferasi Kolagen antar Kelompok Perlakuan
Kelompok Subjek F p Keterangan
Proliferasi kolagen Pre
Proliferasi kolagen
Post
0,351
2,493
0,789
0,111
Homogen
Homogen
Tabel 5.2 hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05).
5.3 Kolagen 5.3.1 Analisis komparabilitas
Analisis komparabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan, karena sebelum
perlakuan (pre-test) hanya mempergunakan satu kelompok dengan jumlah tikus 8
ekor. Hasil analisis deskriptif disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Rerata Proliferasi Kolagen Sebelum Diberikan Tetrasiklin HCl Gel
Kelompok Subjek N Rerata Kolagen SB
Kontrol (pre-test)
8
132,64 14,78
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok
kontrol (pre-test) adalah 132,64±14,78.
5.3.2 Analisis efek pemberian Tetrasiklin HCl Gel
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata proliferasi kolagen pada
gingiva tikus meradang antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa
Tetrasiklin HCl Gel. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan
pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Perbedaan Proliferasi Kolagen pada Gingiva Tikus Meradang Antar Kelompok
Sesudah Diberikan Tetrasiklin HCl Gel
Kelompok Subjek N Rerata Kolagen SB F p
Kontrol (Aplikasi Gel)
Tetrasiklin HCl Gel 0,2 %
Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %
Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %
8
8
8
8
136,24
74,63
45,54
16,64
5,34
4,67
5,22
2,36
403,96 0,001
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok
kontrol (aplikasi gel) adalah 136,24±5,34, median kelompok Tetrasiklin HCl Gel
0,2% adalah 74,63±4,67, median kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah
45,54±5,22, dan median kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah 16,64±2,36.
Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F
=403,96 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata proliferasi kolagen pada
keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Proliferasi Kolagen Sebelum dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji
disajikan pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 Analisis Komparasi Kolagen Sesudah Perlakuan antar Kelompok
Kelompok Beda Rerata p
Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % 61,61 0,000*
Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % 90,70 0,000*
Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % 119,60 0,000*
Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % dan Tetrasiklin HCl
Gel 0,3 % 29,09 0,000*
Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % dan Tetrasiklin HCl
Gel 0,4 % 57,99 0,000*
Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % dan Tetrasiklin HCl
Gel 0,4 % 28,90 0,000*
*Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:
1. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan
kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 %
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
2. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan
kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
3. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan
kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
4. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % berbeda
bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % (rerata kelompok
Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin
HCl Gel 0,2 %).
5. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % berbeda
bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok
Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin
HCl Gel 0,2 %).
6. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % berbeda
bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok
Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin
HCl Gel 0,3 %).
BAB VI
PEMBAHASAN
Obyek dalam penelitian ini mempergunakan 40 tikus putih jantan (Rattus
novergicus) berumur 8 – 12 minggu, berat badan 180 – 200 g, dan sehat. Delapan
ekor tikus dipakai sebagai pre-test. Tiga puluh dua ekor tikus yang dipergunakan
untuk post-test dibagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu
kelompok kontrol diberikan aplikasi gel, satu kelompok perlakuan diberikan
Tetrasiklin HCl Gel 0,2%, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel
0,3%, dan satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.
Uji perbandingan antara keempat kelompok sesudah perlakuan berupa
pemberian tetrasiklin HCl Gel menggunakan Uji One Way Anova. Berdasarkan hasil
analisis didapatkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol (aplikasi gel)
adalah 136,24±5,34, median kelompok tetrasiklin HCl Gel 0,2% adalah 74,63±4,67,
median kelompok tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah 45,54±5,22, dan median kelompok
tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah 16,64±2,36. Analisis kemaknaan dengan uji One
Way Anova menunjukkan bahwa nilai F =403,96 dan nilai p = 0,001, berarti
bahwa rerata proliferasi kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan
perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Data di atas menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan pembentukan kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan
perlakuan berupa tetrasiklin HCl Gel secara bermakna.
Berdasarkan hasil di atas terjadi proliferasi kolagen sedang sampai rapat/padat
pada kelompok konsentrasi 0,3%, dan 0,4%, sedangkan pada kelompok konsentrasi
0,2% terjadi proliferasi ringan. Data di atas menunjukkan bahwa tetrasiklin
mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan menghambat
pertumbuhan Actinobacillus actinomycetem comitans, dan mampu merangsang suatu
efek kolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan jaringan dan
mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas yang menghambat sintesis
protein. Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram-positif
dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae, mycoplasma, dan
bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa, contohnya ameba
(Katzung, 2004). Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, tetapi hanya melalui injeksi
intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya
berdasarkan terganggunya sintesa protein kuman (Tan dan Kirana, 2002).
Penelitian Prayitno (1996), yang melibatkan lebih dari 100 subyek telah
dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan bahwa
kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja rata-rata
0,67mm.
Penggunaan tetrasiklin golongan antibiotika dalam terapi periodontal telah
dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, antikolagenase dan anti
inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu
menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak
efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan
suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan
di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).
Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif
dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang
dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah
diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima
jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan
membuka matrix kolagen (Wahyukundari,2009).
Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena
mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali dibandingkan dalam serum,
sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke
dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana
tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah
(2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap
jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
Antibiotik lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat
etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9
inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau
tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan
saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis
meningkat secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang dihasilkan
dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky dan
Ciancio, 2006).
Tetrasiklin merupakan suatu kelompok antibiotik yang diproduksi secara alami
dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik.
Antibiotik ini memiliki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan
perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan
bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian aplikasi tetrasiklin HCl Gel didapatkan
simpulan sebagai berikut:
1. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih
mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2%
pada gingiva tikus yang meradang.
2. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih
mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,3%
pada gingiva tikus yang meradang.
7.2 Saran
Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi optimal
aplikasi topikal tetrasiklin HCl Gel terhadap proliferasi kolagen gingiva yang
meradang dengan mempertimbangkan efek toksik obat.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian aplikasi tetrasiklin HCl Gel didapatkan
simpulan sebagai berikut:
3. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih
mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2%
pada gingiva tikus yang meradang.
4. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih
mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,3%
pada gingiva tikus yang meradang.
7.2 Saran
Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi optimal
aplikasi topikal tetrasiklin HCl Gel terhadap proliferasi kolagen gingiva yang
meradang dengan mempertimbangkan efek toksik obat. Pemberian pada anak-anak
di bawah umur 7 tahun ( pada masa pertumbuhan benih gigi) dan wanita hamil perlu
pertimbangan khusus .
DAFTAR PUSTAKA
Adnyasari, N.L.Pt.S.M. 2011. ”Pemberian Tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4% lebih mempercepat proliferasi Kolagen Dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3 % pada Gingiva Tikus yang Meradang” (Penelitian Pendahuluan). Denpasar: Universitas Udayana.
Alma, B. 2009. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cet.6. Bandung. Alfabeta. Anonim. 2010. Menghitung Besar Sampel Penelitian. (cited 2011 feb.13).
Available at: URL: http:// suyatno.blog.undip. ac. Id /files/2010/05/ MENGHITUNG-BESAR-SAMPEL-PENELITIAN.pdf.
Anonim. 2010. Gingiva Manusia Normal. (cited 2011 Apr.15). Available at: URL:
http:// nl.wikipedia.org/wiki/Benstand:Healthy_gingiva,jpg Beck, J.D., Arbes, S.J. 2006. Epidemiology Gingival and Periodontal Desease. In:
Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A.,editors. Clinical Periodontology. 10th.Ed. Missouri: Saunders Elsevier.
Budiarto, E. 2002. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta. EGC. Dahan, M., Timmerman , M.F., Winkelhoff , A.J., Velden, U. 2004. The Effect of
Feriodontal Treatment on the Salivary Bacterial Load and Early Plaque Formation. Journal of Clinical Periodontal., Vol.31.p.972.
Daliemunthe, S.H. 1995. Pengantar Perawatan Klinis Periodonsia. Medan.
Universitas Sumatera Utara Pres. Hal.103. Fiorellini, J.P., Ishikawa, S.O., Kim, D.M. 2006. a. The Gingiva. In: Newman. G.
N., Takei.H.H, Caranza.F.A. (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.
Fiorellini, J.P., Kim.D.M., Ishikawa.S.O. 2006. b. Gingival Inflammation. In:
Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A. (editors). Clinical Periodontology. 10th.Ed.Missouri. Saunders Elsevier.
Gilangrasuna. 2010. Histopatogenesis Gingivitis dan Periodontitis. (cited 2011 feb. 13). Available from:URL: http:// gilangrasuna. wordpress. com/2010/05/16/ histopatogenesis -gingivitis- dan-periodontitis/
Haryono. 2006. Proses Penyembuhan Jaringan Gingiva setelah Terapi Kuretase (Studi Pustaka). (cited 2010 jan. 9). Available from:URL: http:// adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1- 2006- hariyonomo-2162&PHPSESSID =8a7a5c0c4786e87e5f0855c3ca4c5702
Hinrichs, J. E. 2006. The Role of Dental Calculus and Other Predisposing Factor. In: Newman. G.N., Takei. H. H., Caranza. F. A., (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.
Jolkozsky, D.L., Ciancio,S. 2006. Chemoteraphy Agent. In: Newman.G.N., Takei.
H.H, Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.
Julica, M.P. 2009. Pengamatan Keadaan Epitel Lidah, Bukal, Gingiva, Palatum, dan
Dasar Mulut dengan Prosedur Pembuatan Preparat Apusan. (cited 2011 Feb. 13 ). Available from:URL: http://belindch.wordpress.com/2009/12/07/sitologi-sel-epitel-rongga-mulut/
Karlina., Siagian, R.I., Wijaya, A. 2009. (Cited 2011 Feb. 13 ). Available
from:URL: http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/farmakokinetika-klinik-tetrasiklin/
Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. Salemba Medika. Kirkwood, K.L., Nisegard.R.J., Haake.S.K., Miyasaki.K.T. 2006. Immunity and
Inflammation: Basic Concepts. In:Newman.G.N., Takei. H.H, Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10thEd. Missouri . Saunders Elsevier.
Lelyati, S. 1996 Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit Periodontal dan
Penanganannya. Cermin Dunia Kedokteran. No.113. p.17-20. Manson, J.D., Eley, B.M. 1993. Buku Ajar Periodonti. Ed-2. Alih bahasa: drg.
Anastasia. Jakarta. Hipokrates.
Masdin. 2010. Gingivitis. (cited 2011 Feb. 13 ). Available from:URL: http://www. topreference.co. tv/2010/03/ gingivitis.html.
Melatibiyantini, N. 2009. (cited 2011 Maret 24). Available from:URL: http;/www.scribd.com/doc/20852893/penyakit-gingiva-penyakit-periodontal.
Muninjaya. 2002. Langkah-langkah Praktik Penyusunan Proposal Dan Publikasi
Ilmiah. Jakarta. EGC. Novack, M.J. 2006. a. Chronic Periodontitis. In: Newman. G. N., Takei. H.H,
Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10th.Ed. Missouri. Saunders Elsevier.p.494
Novack, M.J. 2006. b. Classification of Diseases and Conditions Affecting the
Periodontium. In: Newman.G.N., Takei.H.H,Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology.10thEd. Missouri. Saunders Elsevier.p.100.
Novrianzah, R. 2008. Perbedaan Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi Tikus
Wistar Yang Dibalut Kasa konvensional dan Penutup Oklusif Hidrokoloid selama 2 dan 14 Hari (tesis). Semarang: Univ. Diponogoro.
Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials : A Practical Approach. New York: John Wiley &
Sons. p.128. Prayitno, S.W., Herman.M.J. 1996. Periodontologi dari Masa ke Masa. Cermin
Dunia Kedokteran. No.113. Prijantojo. 1993. Antiseptik Sebagai Obat Kumur-Peranannya terhadap Pembentukan
Plak Gigi dan Radang Gusi. Lab.Periodontologi. Jakarta : FKG UI, Purwaningsih, A. 2000. Pengaruh Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,5%setelah
Skeling dan Root Planing terhadap Keadaan Klinis Jaringan Periodontal dan Kadar HbA1c Penderita Diabetes Mellitus Type II. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Putrikoto. 2010. Struktur Kimia Tetrasiklin. (cited 2011 Nov.16) Available from:
http://putrikoto woodpress.com/2010/08/13/tetrasiklin// Quirynen, M., Teugles, W., Haake, S.K., Newman, M.G. 2006. Micriobiology
Periodontal Desease. In: Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A., editors.Clinical Periodontology.10thEd. Missouri. Saunders Elsevier.
Riyanti, E. 2008. Penatalaksanaan Terkini Gingivitis Kronis pada Anak. M.I.Kedokteran Gigi. Vol.23.No.3. Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak. FKG Universitas Gajah Mada. Hal 137-142.
Sadoh, D.R., Watts, T.L.P., Newton, J.T. 2004. Effect of two toothcleaning
frequencies on periodontal status in patients with advanced periodontitis. Journal of Clinical Periodontal., Vol.31: hal.470.
Steinsvoll, S., Helgeland, K., Schenck, K. 2004. Mast Cell-a Role in Periodontal
Disease?. Journal of Clinical Periodontal. Vol.31:Hal.413. Subowo. 2009.Histologi Umum.Ed.2.Jakarta. Sagung Seto. Suryani. 2009. Validasi Metode Analisis Residu Antibiotik Tetrasiklin Dalam
Daging Ayam Pedaging Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. (cited 2010 Jan. 9 ). Available from: URL: http:// repository. ipb.ac.id/ bitstream/handle/ 123456789/12576/G09dsu2_ abstract.pdf?sequence=1
Suwandi, T. 2003. Efek Klinis Aplikasi Subgingival Racikan Gel Metronidasol 25%
dan Larutan Povidon Iodin 10% sebagai Terapi Penunjang Skeling –Penghalusan Akar pada Periodontitis Kronis. (cited 2010 Feb.10 ). Available from: URL:http:/www.ties-metronidazole.com/tesis_abstrak.html.
Syafriel,Y. 1996. Regenerasi Jaringan Periodontium setelah Perawatan Periodontal.
Cermin Dunia Kedokteran no.113.FKG UI. Jakarta. Hal.23-26 Tan, H.T., Kirana, R. 2002. Obat-obat Penting (Khasiat , Penggunaan, dan Efek-
efek Sampingnya). Ed.5. Cet.2. Jakarta. Pt.Elex Media Komputindo. Triyono, B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus
Wistar yang diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak diberi Levobupivakain (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.
Wahyukundari, M.A. 2009. Perbedaan Kadar Matrixmetalloproteinase-8 setelah
scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI. Vol.58 No.1, Januari-April 2009. Surabaya: FKG Airlangga. p. 1-6.
Wulandari, P. 2007. Tetrasiklin Periodontal Fiber sebagai Perawatan Penunjang pada
Penyakit Periodontal. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara.
Lampiran 1 Uji Normalitas Data
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Statistic df Sig.
Kolagen_post
Kontrol .163 8 .200* .942 8 .627
Tetrasiklin HCl Gel 0,2% .203 8 .200* .938 8 .595
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% .184 8 .200* .953 8 .742
Tetrasiklin HCl Gel 0,4% .209 8 .200* .962 8 .833
Kolagen_pre
Kontrol .187 8 .200* .839 8 .074 Tetrasiklin HCl Gel 0,2% .200 8 .200* .883 8 .202
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% .232 8 .200* .865 8 .135
Tetrasiklin HCl Gel 0,4% .187 8 .200* .839 8 .074
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 2 Uji One Way Anova Data Kolagen
Descriptives
Kolagen_post
N Mean
Std. Deviatio
n Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum
Maximum
Lower Bound
Upper Bound
Kontrol 8 1.3624E2 5.34434 1.96438 125.9174 146.5576 112.5
0 150.70
Tetrasiklin HCl Gel 0,2% 8 74.6325 4.67472 1.652
76 70.7243 78.5407 65.58 80.49
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 8 45.5400 5.22092 1.845
87 41.1752 49.9048 36.09 54.35
Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 8 16.6412 2.36296 .8354
3 14.6658 18.6167 13.08 20.21
Total 32 68.2628 45.50345
8.04395 51.8571 84.6686 13.08 150.70
Test of Homogeneity of Variances Kolagen2
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Test of Homogeneity of Variances Kolagen2
Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.493 3 28 .111
ANOVA Kolagen2
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 62737.944 3 20912.648 403.958 .000 Within Groups 1449.541 28 51.769 Total 64187.485 31 Lampiran 3 Post Hoc Tests
Multiple Comparisons Kolagen2 LSD
(I) Kelompok (J) Kelompok
Mean Difference
(I-J) Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Kontrol Tetrasiklin HCl Gel 0,2% 61.60500* 3.5975
5 .000 54.2358 68.9742
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 90.69750* 3.5975
5 .000 83.3283 98.0667
Tetrasiklin HCl Gel 0,4%
119.59625*
3.59755 .000 112.2270 126.9655
Tetrasiklin HCl Gel 0,2%
Kontrol -61.60500* 3.59755 .000 -68.9742 -54.2358
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 29.09250* 3.5975
5 .000 21.7233 36.4617
Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 57.99125* 3.5975
5 .000 50.6220 65.3605
Tetrasiklin HCl Gel 0,3%
Kontrol -90.69750* 3.59755 .000 -98.0667 -83.3283
Tetrasiklin HCl Gel 0,2% -29.09250* 3.5975
5 .000 -36.4617 -21.7233
Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 28.89875* 3.5975
5 .000 21.5295 36.2680
Tetrasiklin HCl Gel 0,4%
Kontrol -119.59625
*
3.59755 .000 -126.9655 -112.2270
Tetrasiklin HCl Gel 0,2% -57.99125* 3.5975
5 .000 -65.3605 -50.6220
Tetrasiklin HCl Gel 0,3% -28.89875* 3.5975
5 .000 -36.2680 -21.5295
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.