ni luh putu sri maryuni adnyasari

93
TESIS PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN 0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012

Upload: doandang

Post on 08-Dec-2016

257 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: ni luh putu sri maryuni adnyasari

TESIS

PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH

MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN

0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG

NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2012

Page 2: ni luh putu sri maryuni adnyasari

TESIS

PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH

MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN

0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG

NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI NIM 0990761046

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2012

Page 3: ni luh putu sri maryuni adnyasari

PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH

MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN

0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG MERADANG

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI LUH PUTU SRI MARYUNI ADNYASARI NIM 0990761046

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2012

Page 4: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 26 Januari 2012

Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K) Dr.dr. Bgs. Km Satriyasa, M.Repro NIP. 19461231 196902 1 001 NIP. 19640417 199601 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof.Dr.dr.Wimpie I Pangkahila, Sp.And., FAACS Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19461213 197107 1 001 NIP. 19590215 198510 2 001

Page 5: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Januari 2012

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 0144/ UN14. 4/HK/ 2012.

Tanggal 16 Januari 2012 Ketua : Prof.Dr.dr. Nym. Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K) Anggota :

1. Prof. DR. dr. Alex Pangkahila, MSc, Sp. And 2. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro 3. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si 4. dr. I.G.N Mayun, Sp.HK

Page 6: ni luh putu sri maryuni adnyasari

SURAT PERNYATAAN BUKAN KARYA PLAGIAT

Nama : drg. Ni Luh Putu Sri Maryuni Adnyasari

NIM : 0990761046

PROGRAM STUDI : S2 Ilmu Biomedik Pascasarjana Universitas Udayana

JUDUL TESIS : Pemberian Tetrasiklin HCl Gel Secara Topikal Konsentrasi

0,4% Lebih Mempercepat Proliferasi Kolagen

Dibandingkan dengan Konsentrasi 0,2% dan 0,3% pada

Gingiva Tikus yang Meradang.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 25 Januari 2012

( drg. Ni Luh Putu Sri Maryuni Adnyasari)

Page 7: ni luh putu sri maryuni adnyasari

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena karunia-Nyalah, tesis

yang berjudul: “Pemberian Tetrasiklin HCl Gel Secara Topikal Konsentrasi 0,4%

Lebih Mempercepat Proliferasi Kolagen Dibandingkan dengan Konsentrasi 0,2% dan

0,3% pada Gingiva Tikus yang Meradang ” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro., PA(K), selaku

pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberi dorongan, semangat,

bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam

penyelesaian tesis ini. Terimakasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada

Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, selaku pembimbing II yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD(KHOM),

Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,

Sp.S(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Ketua Program

Biomedis Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS., atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis mengikuti program magister di Universitas Udayana. Tidak

lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH., MM,

Rektor Universitas Mahasaraswati dan drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, Dekan

Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Mahasaraswati atas ijin dan fasilitas yang

d i b e r i k a n k e p a d a p e n u l i s u n t u k m e n g i k u t i p r o g r a m m a g i s t e r .

Ungkapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis,

yaitu Prof. DR. dr. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And, Dr. dr. Wayan Putu Sutirta Yasa,

Page 8: ni luh putu sri maryuni adnyasari

M.si dan dr. I.G.N Mayun, Sp.HK, yang telah memberikan masukan, saran,

sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terimakasih

kepada Bapak dr. I Made Miasa (alm), Ibu Ni Ketut Arini, nenek dan kakek tercinta

yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasar-dasar berpikir

logik dan suasana demokratis sehingga tercipta suasana yang baik untuk

berkembangnya kreativitas. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Mertua Ni

Ketut Gasiati dan Bapak Mertua I Ketut Saber yang membantu mengasuh anak-anak

sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta I Nyoman

Andy Wirawan,ST, serta putra-putraku terkasih I Gede Pradnya Pramudya, I Made

Arditya Wirajaya dan I Nyoman Andika Triwardana yang dengan penuh

pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih

berkonsentrasi menyelesaikan naskah tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu secara lengkap, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, Januari 2012

Penulis

Page 9: ni luh putu sri maryuni adnyasari

ABSTRAK

PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL SECARA TOPIKAL KONSENTRASI 0,4% LEBIH MEMPERCEPAT PROLIFERASI KOLAGEN DIBANDINGKAN DENGAN KONSENTRASI 0,2% DAN 0,3% PADA GINGIVA TIKUS YANG

MERADANG

Radang gingiva sering dijumpai. Perubahan patologis pada gingivitis dihubungkan dengan adanya mikroorganisme. Organisme ini memiliki kemampuan mensistesis produk ( seperti kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, atau endotoksin) yang menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat (cell coat). Penyebab utama radang gingiva adalah bakteri plak. Bakteri pertama yang berkolonisasi didominasi oleh oleh bakteri gram positif. Tetrasiklin telah digunakan dalam perawatan penyakit-penyakit periodontal. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik dan efektif terhadap bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cepatnya proliferasi kolagen pada gingiva tikus meradang yang diberikan tetrasiklin HCl Gel secara topikal dengan berbagai konsentrasi.

Penelitian dilakukan dengan pretest-posttest Control Group Design, terdiri atas 4 kelompok yaitu kelompok kontrol dengan gel dan kelompok perlakuan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel dengan konsentrasi 0,2%; 0,3% dan 0,4%.

Hasil penelitian berdasarkan uji perbandingan antar keempat kelompok dengan One way Anova menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,01).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proliferasi kolagen lebih cepat pada konsentrasi 0,4% dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3%.

Disimpulkan bahwa pemberian terasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0.4% lebih mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3% pada gingiva tikus yang meradang. Kata kunci: gingiva yang meradang, tetrasiklin HCl Gel, proliferasi kolagen.

Page 10: ni luh putu sri maryuni adnyasari

ABSTRACT

THE APPLICATION OF TETRACYCLIN HCL GEL TOPICALLY CONCENTRATION OF 0.4 % MORE ACCELARETE THE COLLAGEN PROLIFERATION COMPARED WITH 0.2% AND 0.3% IN GINGIVAL

INFLAMATION OF RATS

Gingival inflammation are often encountered. Pathologic changes in gingivitis are associated with the presence of oral microorganism. These organisms are capable of synthesizing products (e.g., collagenase, hyaluronidase, protease, chondroitin sulfatase, or endotoxin) that cause damage to ephitelial and connective tissue cells, as well as to intercellular constituents, such as collagen, ground substance, and glycocalyx (cell coat). The primary cause of gingival inflammation is bacterial plaque. The initial bacteria colonizing are predominantly gram-positive facultative microorganisms. Tetracycline has been used in the treatment of periodontal diseases. This antibiotic are bacteriostatic and effective against gram-positive bacteria than gram-negative bacteria. The study aims to determine more accelerate the collagen proliferation on gingival inflammation of rats that given tetracycline HCl Gel topically with various concentrations.

The study was conducted with a pretest-posttest control group design, consisted of four groups: the control group with gel and the other groups treated with tetracycline HCl Gel with a concentration of 0.2%, 0.3%, 0.4%.

The result based on comparison test between the groups with One Way Anova, showed that the average collagen proliferation in the four groups after receiving the treatment was significantly different (p<0.01).

The result of the test showed collagen proliferation in group concentration of 0.4% faster than concentration 0.2% and 0.3%.

It was conclude that application of tetracycline HCl Gel concentration 0.4% more accelerate the collagen proliferation compared with concentration 0.2 % and 0.3% in gingival inflammation of rats. Keywords: gingival inflammation, tetracycline HCl Gel, collagen proliferation

Page 11: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR ISI

Halaman SAMPUL DALAM …………………………………………………….... i PRASYARAT GELAR ……………………………………………… ii LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………… iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv SURAT PERNYATAAN ……………………………………………… v UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………… vi ABSTRAK ……………………………………………………………… viii ABSTRACT ……………………………………………………………… ix DAFTAR ISI ……………………………………………………... x DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... xiii DAFTAR TABEL …………………………………………………….... xiv DAFTAR SINGKATAN …………………………………………….... xv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… xvi BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….... 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 6 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………… 6

1.3.1 Tujuan umum …………………………………………... 6 1.3.2 Tujuan khusus …………………………………………. 6

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………… 7 1.4.1 Manfaat akademi ……………………………………….. 7 1.4.2 Manfaat praktis …………………………………….... 7 1.4.3 Manfaat sosial …………………………………........ 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……………………………………... 8 2.1 Gingiva ……………………………………………............... 8

2.1.1 Serat kolagen gingiva ……………………………... 10 2.1.2 Serabut-serabut gingiva (kolagen gingiva) ……………. 10 2.1.3 Peranan kolagen pada penyembuhan gingivitis ……….. 13

2.2 Hubungan Klinis dan Mikroskopis …………………………... 14 2.3 Gingivitis ..…………………………………………… 14

2.3.1 Gingivitis stadiumI (initial lesion) ……………………. 16 2.3.2 Gingivitis stadium II (lesi awal)……………………….. 16 2.3.3 Gingivitis stadium III(lesi yang menetap)…………….. 17 2.3.4 Gingivitis stadium IV(lesi lanjutan)…………………… 17 2.3.5 Gambaran klinis gingivitis ……………………………. 18 2.3.6 Etiologi gingivitis …………………………….............. 20

Page 12: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.3.7 Penyembuhan gingivitis ……………………... ……… 22 2.3.7.1 Fase inflamasi ……………………... ……………… 23 2.3.7.2 Fase proliferasi ……………………………………… 25 2.3.7.3 Fase maturasi ……………………………………… 26 2.3.8 Perawatan gingivitis ……………………………… 26

2.4 Tetrasiklin ……………………………………………… 28 2.4.1 Sifat kimia ……………………………………… 32 2.4.2 Farmakologi ……………………………………... 32 2.4.3 Farmakodinamik ……………………………... ……… 32 2.4.4 Farmakokinetika……………………………………….. 33

2.5 Tikus Putih ……………………………………………… 34 2.6 Penelitian Pendahuluan ……………………………………… 35

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN ........................................................... .......... 39 3.1 Kerangka Berpikir …………………………………….. 39 3.2 Kerangka Konsep ……….…………………………….. 41 3.3 Hipotesis Penelitian …………………………………….. 42

BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………... 43

4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………... 43 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………… 44

4.2.1 Lokasi ……………………………………………... 44 4.2.2 Waktu penelitian ……………………………………… 45

4.3 Penentuan Sumber Data ……………………………………… 45 4.3.1 Besar sampel ……………………………………... 45 4.3.2 Kriteria sampel ……………………………………... 46 4.3.2.1 Kriteria inklusi ……………………………………… 46 4.3.2.2 Kriteria eksklusi ……………………………………… 46 4.3.2.3 Kriteria drop out ……………………….……………… 46

4.4 Variabel Penelitian ………………..………...................... 47 4.4.1 Klasifikasi variabel ……………………………... ……… 47

4.4.2 Hubungan antar variabel ………………………………. 48 4.5 Definisi Operasional ……………………………..………. 48 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ……………………………... 49

4.6.1 Bahan penelitian ……………………………............... 49 4.6.2 Alat penelitian ……………………………………... 50

4.7 Prosedur Penelitian ……………………………………… 50 4.7.1 Pembuatan Tetrasiklin HCl Gel ……………………… 50 4.7.2 Perlakuan pada Tikus ……………………………… 51 4.7.3 Pembuatan sediaan mikroskopis ……………………… 51

Page 13: ni luh putu sri maryuni adnyasari

4.7.4 Menentukan proliferasi kolagen …………..…………. 52 4.8 Prosedur penelitian …………………………………….. 53 4.9 Analisis Data ……………………………………………... 54

BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………….. 55 5.1 Uji Normalitas Data …………………………………….. 55 5.2 Uji Homogenitas Data …………………………………….. 56 5.3 Kolagen …………………………………………………….. 57

5.3.1 Analisis komparabilitas ……………………………... 57 5.3.2 Analisis efek pemberian Tetrasiklin HCl Gel …….. 57

BAB VI PEMBAHASAN …………………………………………….. 62 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN …………………………….. 66 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 67 LAMPIRAN ……………………………………………………………… 71

Page 14: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gingiva ……………………………………………… 9 Gambar 2.2 Struktur kimia Tetrasiklin ………………………… ……… 29 Gambar 2.3 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi

tetrasiklin HCl Gel 0,2% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X ……………………………… 36

Gambar 2.4 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin HCl Gel 0,3% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperikasa di bawah mikroskop elektrik pembearan 400X…………………………………… 37 Gambar 2.5 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin HCl Gel 0,4% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X…………………………………. 38

Gambar 3.1 KonsepPenelitian ……………………………………… 41 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………… 43 Gambar 4.2 Tetrasiklin HCl Gel dan Gel ……………………………… 49 Gambar 4.3 Alat-alat yang dipergunakan penelitian ……………… 50 Gambar 4.4 Alur Penelitian ……………………………………… 53 Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Proliferasi Kolagen Sebelum Dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok ……………… 59

Page 15: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR TABEL

5.1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen masing-masing

Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan ……………………………………………………… 56

5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Proliferasi Kolagen Antar Kelompok Perlakuan ……………………………………… 56 5.3 Rerata Proliferasi Kolagen sebelum Diberikan Tetrasiklin HCl Gel ……………………………… 57 5.4 Perbedaan Proliferasi Kolagen pada Gingiva Tikus Meradang Antar Kelompok Sesudah diberikan Tetrasiklin HCl Gel ……………………………………………… 58 5.5 Analisis Komparasi Kolagen Sesudah Perlakuan antar Kelompok ……………………………………………... ……… 60

Page 16: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR SINGKATAN

HCl : Hidro Clorida PMN : Polymorphonuclear PMNs : Polymorphonuclear leukocytes CGF : Crevicular Gingival Fluid CSS : Cairan serebro spinal tRNA : transfer- Ribonucleic Acid mRNA : messenger-Ribonucleic Acid IL-1 : Interleukin-1 ASI : Air Susu Ibu HE : Haematoxillin Eosin IUPAC : International Union of Pure and Applied Chemistry

Page 17: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Normalitas Data ……………………............................ 71 Lampiran 2 Uji One Way Anova Data Kolagen ……………………… 72 Lampiran 3 Post Hoc Test ……………………………………… 73

Page 18: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gingivitis sering ditemukan di masyarakat. Penyakit ini dapat menyerang

semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

dengan kebersihan mulut yang baik dapat terjangkit penyakit gingivitis, apabila tidak

dirawat dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal lainnya bahkan dapat

menyebabkan terjadinya kehilangan gigi.

Gingiva merupakan pertahanan pertama terhadap pengaruh mekanis dan

serangan mikroorganisme. Serabut-serabut gingiva mengandung ikatan serat kolagen

yang berfungsi melekatkan gingiva dengan kuat pada permukaan gigi, menyediakan

kekenyalan yang penting untuk mempertahankan posisinya terhadap tekanan kunyah

tanpa tergeser dari permukaan gigi serta menyatukan tepi gingiva bebas dengan

sementum pada akar gigi dan gingiva cekat di dekatnya (Fiorellini et al. 2006 a).

Perubahan patologis pada gingivitis dihubungkan dengan jumlah

mikroorganisme. Organisme ini memiliki kemampuan untuk mensintesis produk

(kolagenase, hialuronidase, protease, kondrotin sulfatase, atau endotoksin) yang

menyebabkan kerusakan pada epitel dan jaringan ikat seperti kolagen, substansi

dasar, dan glicocalic (cell coat) (Melatibiyantini, 2009).

Gingivitis adalah keradangan pada gingiva dan merupakan penyakit

periodontal yang paling umum ditemukan pada manusia. Respon-respon inflamasi

Page 19: ni luh putu sri maryuni adnyasari

dalam jaringan periodontal disebabkan oleh mikroorganisme dalam plak gigi

sehingga menyebabkan kerusakan jaringan, kehilangan tulang dan kehilangan gigi

(Kirkwood et al. 2006).

Gingivitis yang umum terjadi adalah gingivitis kronis ditandai dengan

pembengkakan gingiva dan lepasnya epitel perlekatan dan merupakan respon

inflamasi tanpa merusak jaringan pendukung. Gingivitis adalah gingiva yang

mengalami perubahan warna dari kemerahan sampai merah kebiruan sesuai dengan

bertambahnya proses peradangan. Gingivitis pada setiap individu pada umumnya

dengan keparahan dan keberadaannya bervariasi sesuai dengan umur, jenis kelamin,

status ekonomi dan tingkat pendidikan (Riyanti, 2008).

Penyakit yang menyerang gingiva dan jaringan periodontal merupakan

penyakit infeksi yang serius. Periodontitis dimulai dari gingivitis yang tidak dirawat

sehingga terjadi kerusakan jaringan periodontal yang lebih dalam berupa kerusakan

ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar (Wahyukundari, 2009).

Keradangan gingiva dan penyakit periodontal dipicu oleh akumulasi bakteri

yang terdapat pada dentogingiva margin. Host menghasilkan infiltrate sel radang

pada jaringan yang lebih dalam sampai poket periodontal dimana sel ini berfungsi

sebagai pertahanan untuk melawan serangan mikroba (Steinsvoll et al. 2004).

Permulaan pembentukkan plak banyak dijumpai kokus gram positif antara lain

streptokokus sanguis, actinomyces viscosus dan beberapa strain lainnya.

Mikroorganisme non-bakteri yang dijumpai dalam plak adalah spesies Mycoplasma,

Page 20: ni luh putu sri maryuni adnyasari

ragi, protozoa dan virus. Plak gigi mempunyai pengaruh yang kuat pada

perkembangan gingivitis dan periodontitis (Sadoh, 2004).

Bakteri yang terdapat pada plak gigi ditetapkan sebagai penyebab utama

gingivitis. Kuantitas plak yang terbentuk setelah permukaan gigi benar-benar

dibersihkan, dipengaruhi oleh sejumlah faktor termasuk diet, faktor saliva, dan

karakteristik permukaan (Dahan, 2004).

Akumulasi plak dalam jumlah banyak umumnya pada regio interdental dan

menyebar ke sekitar leher gigi. Gingivitis dimulai dari tepi gingiva oleh karena

invansi bakteri atau rangsangan endotoksin. Endotoksin dan enzim gram negatif

menghancurkan substansi interseluler epitel sehingga menimbulkan ulserasi epitel

sulkus (Riyanti, 2008).

Bakteri yang terdapat dalam plak gigi diperkirakan memegang peranan

penting dalam pembentukan kalkulus, yaitu proses mineralisasi. Kalkulus secara

langsung tidak berpengaruh terhadap terjadinya penyakit periodontal. Kalkulus

terbentuk dari plak gigi yang termineralisasi karena pengaruh komponen saliva, maka

secara tidak langsung kalkulus juga dianggap sebagai penyebab gingivitis. Plak gigi

dan kalkulus mempunyai hubungan yang erat dengan gingivitis (Lelyati, 1996).

Penelitian klasik Loe et al. (1965), telah membuktikan bahwa ada hubungan

erat antara akumulasi plak dengan terjadinya gingivitis. Terbukti dalam akumulasi

plak ditemukan berbagai jenis kuman, sehingga disepakati penyebab gingivitis adalah

kuman. Berdasarkan perihal tersebut antibiotika baik secara sistemik maupun secara

lokal sering digunakan (Prayitno, 1996).

Page 21: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Peranan plak gigi terhadap terjadinya kelainan periodontal sudah dikenal

selama hampir 80 tahun. Kelainan periodontal yang lanjut biasanya ditandai dengan

adanya radang jaringan lunak, kerusakan membran periodontal, kerusakan tulang

serta bergeraknya epithelial attachment ke arah apikal (Prijantojo, 1993).

Skeling adalah suatu tindakan pembersihan plak gigi, kalkulus dan deposit-

deposit lain di permukaan gigi. Skeling subgingiva lebih sulit dilakukan daripada

skeling supragingiva karena sangat diperlukan kepekaan perabaan. Skeling dan

penghalusan akar gigi adalah bagian dari terapi awal yang paling sering dilakukan.

Terapi awal perawatan non bedah periodontal bertujuan menghilangkan seluruh

faktor penyebab lokal (Lelyati, 1996).

Tindakan skeling dan penghalusan akar gigi kadang-kadang tidak dapat

mencapai hasil maksimal. Kompleksitas anatomi gigi menyulitkan akses instrumen

ke dalam poket periodontal sehingga membatasi efektivitas penghalusan akar gigi.

Repopulasi bakteri dalam tubulus dentin dan jaringan lunak yang berdekatan dengan

poket memungkinkan terjadinya rekurensi penyakit (Suwandi, 2003).

Bahan kemoterapi banyak digunakan dalam perawatan klinis penyakit

periodontal. Terapi lokal dapat mengurangi perlawanan serangan bakteri pada

jaringan periodontal. Bahan kemoterapi harus memiliki keuntungan untuk terapi

klinis baik melalui aksi antimikroba atau meningkatkan resistensi host (Jolkovsky dan

Ciancio, 2006).

Sistem pemberian obat antibiotik secara lokal di bidang periodontal dengan

cara irigasi poket periodontal menggunakan larutan kimia atau menempatkan obat-

Page 22: ni luh putu sri maryuni adnyasari

obat tertentu dalam bentuk padat atau semi padat. Syarat untuk efektifitas adalah

obat dapat bertahan beberapa waktu pada target dan sampai terjadi efek

antimikrobialnya. Antibiotika yang diberikan secara lokal dewasa ini adalah

tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate (tetracycline fibers 25%). Hasil penelitian

dengan menggunakan bahan ini menurunkan rata-rata kedalaman poket 1,02 mm

dibandingkan dengan skeling saja dengan rata-rata 0,67 mm (Prayitno dan Herman,

1996).

Penelitian Purwaningsih (2004), bahwa terdapat perbedaan yang sangat

bermakna (p<0,01) penurunan kedalaman poket dan penambahan perlekatan klinis

antara perawatan skeling dan root plening dengan tetrasiklin dibanding perawatan

skeling dan root plening tanpa Tetrasiklin HCl Gel 0,5%.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan (2011),

diperoleh hasil pemberian Tetrasiklin HCl gel 0,4% = 15,94 µm lebih mempercepat

proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% = 73,15 µm dan 0,3% =

45,16 µm pada gingiva tikus yang meradang.

Sehubungan dengan hasil penelitian di atas, maka peneliti ingin melakukan

penelitian tentang penggunaan Tetrasiklin HCl Gel secara topikal tetapi dengan

konsentrasi yang berbeda. Peneliti berharap bahwa dengan pemakaian konsentrasi

yang rendah akan mendapatkan hasil yang maksimal atau hampir sama dengan

penelitian sebelumnya. Peneliti mempertimbangkan efek samping tetrasiklin bila

dipakai dalam waktu yang lama dan dengan konsentrasi yang tinggi dapat merugikan

tubuh.

Page 23: ni luh putu sri maryuni adnyasari

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal lebih

mempercepat proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang dibandingkan

dengan konsentrasi 0,2% ?

2. Apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal lebih

mempercepat proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang dibandingkan

dengan konsentrasi 0,3% ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui perbandingan pemberian Tetrasiklin HCl Gel secara

topikal dengan berbagai konsentrasi terhadap cepatnya proliferasi kolagen

gingiva tikus yang meradang .

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel konsentrasi

0,4% menyebabkan proliferasi kolagen lebih cepat pada gingiva tikus

yang meradang dibandingkan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel

dengan konsentrasi 0,2%.

Page 24: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2. Untuk mengetahui apakah pemberian Tetrasiklin HCl Gel konsentrasi

0,4% menyebabkan proliferasi kolagen lebih cepat pada gingiva tikus

yang meradang dibandingkan dengan pemberian tetrasiklin HCl Gel

dengan konsentrasi 0,3%.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademi

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk

pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

1.4.2 Manfaat praktis

Harapan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tambahan

kepada klinisi untuk menentukan terapi yang efektif dan efisisen kepada

penderita gingivitis.

1.4.3 Manfaat sosial

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memotivasi

masyarakat agar selalu menjaga kebersihan mulut dan rajin kontrol ke dokter

gigi.

Page 25: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gingiva

Gingiva merupakan bagian mukosa rongga mulut yang menutupi tulang

alveolar pada rahang dan mengelilingi leher gigi. Fungsi khusus sebagai pertahanan

terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor mekanis dan mikroba, sehingga

dengan struktur yang spesifik mencerminkan keefektifannya sebagai pertahanan

terhadap penetrasi mikroba dan bahan-bahan yang membahayakan ke dalam jaringan

yang lebih dalam. Gingiva yang normal menutupi tulang alveolar dan akar gigi

sampai agak koronal dari cementoenamel junction. Secara anatomi gingiva dibagi

menjadi daerah gingiva margin (tepi gingiva), attached gingiva (gingiva cekat) dan

interdental (Fiorellini et al. 2006 b).

Tepi gingiva merupakan bagian gingiva yang mengelilingi gigi seperti kerah

baju, dengan kedalaman sekitar 1 mm, dan membentuk dinding jaringan lunak sulkus

gingiva. Tepi gingiva dapat dipisahkan dengan prob periodontal dari permukaan

gigi. Jaringan penghubung tepi gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan

serat kolagen disebut serabut-serabut gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).

Sulkus gingiva merupakan cekungan dangkal atau ruang disekitar gigi yang

dibatasi oleh permukaan gigi pada salah satu sisi dan garis epitel tepi gingiva pada

sisi yang lainnya. Sulkus gingiva berbentuk huruf ”V” dan dapat diukur dengan

menggunakan prob periodontal. Pada potongan histologis, kedalaman sulkus gingiva

Page 26: ni luh putu sri maryuni adnyasari

1,8 mm. Penentuan klinis kedalaman sulkus gingiva merupakan parameter diagnosis

yang penting (Fiorellini et al. 2006 b).

Gingiva cekat merupakan kelanjutan dari tepi gingiva, memiliki ciri-ciri yang

padat, kenyal dan melekat erat pada periosteum tulang alveolar di bawahnya.

Kedalaman gingiva cekat pada aspek fasial berbeda pada berbagai daerah di dalam

rongga mulut, dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan pada gigi yang

supra erupsi. Kedalaman gingiva cekat merupakan parameter klinis (Fiorellini et al.

2006 b).

Gingiva interdental menempati embrasure gingiva yang merupakan ruang

interproksimal diantara daerah kontak gigi, berbentuk piramida dan puncaknya

terletak diantara titik kontak. Bentuknya tergantung pada titik kontak antara dua gigi

yang berdekatan dan adanya beberapa derajat resesi, permukaan fasial dan lingualnya

meruncing kearah kontak interproksimal (Fiorellini et al. 2006 b).

Gambar 2.1 Gingiva normal pada manusia.

http://nl.wikipedia.org/wiki/Benstand:Healthy_gingiva,jpg

Tepi gingiva Interdental gingiva

Gingiva cekat

Page 27: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.1.1 Serat kolagen gingiva

Komponen utama jaringan penghubung gingiva adalah serat-serat kolagen

(sekitar 60% dari volume total), fibroblas (5%), pembuluh darah, saraf dan matriks

(sekitar 35 %). Jaringan penghubung gingiva dikenal sebagai lamina propria. Terdiri

dari 2 lapis yaitu lapisan pappilary di dekat epithelium dan lapisan retikuler yang

berdekatan dengan periosteum tulang alveolar (Fiorellini et al. 2006 b).

Jaringan penghubung gingiva mangandung bagian seluler dan ektraseluler

yang terpisah dan terdiri dari serat- serat dan substansi dasar. Jaringan penghubung

sebagian besar merupakan jaringan penghubung fibrous yang memiliki elemen-

elemen yang berasal dari jaringan penghubung mukosa oral atau rongga mulut

(Fiorellini et al. 2006 b).

Serabut jaringan penghubung ada tiga tipe yaitu kolagen, retikuler dan elastik.

Kolagen tipe I membentuk ketebalan lamina propria dan memberikan kekuatan

tarikan-regangan pada jaringan gingiva, sedangkan kolagen tipe IV (serat

argyrophilic reticulum ) bercabang di antara ikatan kolagen tipe I dan dilanjutkan

dengan serat-serat pada dasar membran dan dinding pembuluh darah (Fiorellini et al.

2006 b).

2.1.2 Serabut-serabut gingiva (kolagen gingiva)

Jaringan penghubung gingiva adalah kolagen padat, mengandung ikatan serat

kolagen yang jelas terlihat disebut serabut-serabut gingiva. Fungsi dari serabut-

serabut gingiva adalah melekatkan tepi gingiva dengan kuat pada permukaan gigi,

menyediakan kekenyalan yang penting untuk mempertahankan posisinya terhadap

Page 28: ni luh putu sri maryuni adnyasari

tekanan penguyahan tanpa tergeser dari permukaan gigi dan untuk menyatukan tepi

gingiva dengan sementum pada akar gigi dan gingiva cekat di dekatnya (Fiorellini et

al. 2006 b).

Kolagen adalah protein yang tersusun dari asam amino yang berbeda-beda ,

yang paling penting adalah glycine, proline, hydroxylysine dan hydroxyproline.

Sejumlah kolagen dalam jaringan dapat ditentukan oleh kandungan hydroxyproline.

Biosintesis kolagen terjadi di dalam fibroblas untuk membentuk molekul

tropokolagen, bersama-sama masuk mikrofibril yang bergabung bersama untuk

membentuk fibril. Fibril kolagen mempunyai striasi melintang dengan karakteristik

periodicity 64 nm, striasi ini disebabkan oleh penyusunan yang overlapping dari

molekul tropocollagen. Sebagian besar serabut-serabut dasar tersusun dari kolagen

tipe I (Fiorellini et al. 2006 b).

Kolagen merupakan komponen kunci semua fase penyembuhan luka. Segera

setelah injuri, paparan kolagen fibriler ke darah akan menyebabkan agregasi dan

aktivasi trombosit dan melepaskan faktor-faktor kemotaksis yang memulai proses

penyembuhan luka. Fragmen-fragmen kolagen melepaskan kolagenase leukositik

untuk menarik fibroblas ke daerah injuri. Selanjutnya kolagen menjadi pondasi untuk

matrik ekstraseluler yang baru. Akumulasi kolagen pada daerah luka tergantung pada

ratio antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen oleh enzim. Fase awal proses

penyembuhan luka, jumlah degradasi kolagen rendah, tetapi akan meningkat seiring

dengan maturasi dari luka (Triyono, 2005).

Page 29: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Berkas serabut kolagen dalam jaringan pengikat berdiameter antara 1 -12 µm

dengan rata-rata sebesar diameter eritrosit (7,7 µm). Sebenarnya serabut kolagen

terdiri dari gabungan serabut-serabut yang lebih halus disebut fibril. Serabut kolagen

dalam keadaan segar berwarna putih, oleh karena itu dinamakan serabut putih

(Subowo, 2009).

Massa kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler ini berfungsi untuk

mengembalikan kontinuitas, kekuatan dan fungsi jaringan. Kelambatan proses

penyembuhan dapat disebabkan oleh keberadaan luka yang memanjang, sementara

abnormalitas proses penyembuhan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut

abnormal (Triyono, 2005).

Serabut-serabut gingiva ada 3 kelompok yaitu gingivodental, sirkular dan

transeptal (Fiorellini et al. 2006 b).

1. Kelompok gingivodental terdapat pada permukaan fasial, lingual dan

interproximal. Tersembunyi dalam sementum di balik epitelium pada dasar

sulkus gingiva, terproyeksi dari sementum berbentuk kipas menuju puncak dan

permukaan luar tepi gingiva dan berakhir di dekat epitelium.

2. Kelompok sirkular berjalan melalui jaringan penghubung tepi gingiva dan

interdental melingkari gigi seperti cincin.

3. Kelompok transeptal berada pada daerah interproksimal membentuk ikatan-

ikatan horizontal yang meluas pada sementum antar gigi.

Page 30: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.1.3 Peranan kolagen pada penyembuhan gingivitis

Penyembuhan luka adalah proses yang kompleks dan berkesinambungan.

Hemostasis atau penghentian perdarahan adalah proses pertama dalam proses

penyembuhan luka. Trombosit dan faktor-faktor pembekuan merupakan faktor

hemostatik intravaskuler yang utama. Kolagen merupakan agen hemostatik yang

sangat efisien, sebab trombosit melekat pada kolagen, membengkak dan melepaskan

substansi yang memulai proses hemostasis (Triyono, 2005).

Hemostasis kemudian diikuti dengan vasokonstriksi dan vasodilatasi.

Vasokonstriksi berlangsung ± 5 - 10 menit dan mengurangi keluarnya darah dari

daerah luka. Akumulasi lekosit PMN dan makrofag yang cepat terjadi pada tempat

injuri. Kolagen mempunyai kemampuan kemotaksis terhadap monosit. Monosit

seperti makrofag berfungsi memfagosit daerah luka dan membersihkan debris

(Triyono, 2005).

Sintesa kolagen dimulai hari ke-3 setelah injuri dan berlangsung secara cepat

sekitar minggu ke-2 – ke-4. Sintesis kolagen dikontrol oleh kolagenase dan faktor-

faktor lain yang merusak kolagen sebagai kolagen yang baru. Remodeling kolagen

selama fase maturasi tergantung pada berlangsungnya sintesis kolagen dan adanya

degradasi kolagen. Kolagenase dan metalloproteinase di dalam luka membuang

kelebihan kolagen sementara sintesis kolagen yang baru tetap. Selama remodeling,

kolagen menjadi lebih terorganisir (Triyono, 2005).

Page 31: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.2 Hubungan klinis dan mikroskopis

Warna gingiva cekat dan tepi gingiva umumnya coral pink oleh karena suplai

darah, ketebalan dan derajat keratinisasi pada epitel serta adanya sel-sel yang

mengandung pigmen. Melanin, pigmen coklat yang merupakan derivate non-

hemoglobin bertanggung jawab terhadap pigmentasi normal kulit, gingiva dan

membran mukosa oral (Fiorellini et al. 2006 b).

Gingiva memiliki konsistensi padat, kenyal dan melekat erat pada tulang di

bawahnya, kecuali pada tepi gingiva. Tekstur permukaan menyerupai kulit jeruk

(stippling), dan terlihat jelas dengan mengeringkan gingiva. Berkurang atau

hilangnya stippling merupakan tanda adanya penyakit pada gingiva (Fiorellini et al.

2006 b).

Ukuran gingiva berbanding lurus dengan jumlah total ketebalan elemen-

elemen seluler dan interseluler serta suplai vaskulernya. Perubahan ukuran

merupakan ciri-ciri umum penyakit gingiva. Kontur atau bentuk gingiva bervariasi

tergantung pada bentuk gigi dan perlekatannya pada lengkung rahang. Kolagen

lamina propria menentukan kepadatan gingiva cekat sedangkan serabut-serabut

gingiva mempengaruhi kepadatan tepi gingiva (Fiorellini et al. 2006 b).

2.3 Gingivitis

Pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, gingivanya dapat mengalami

pembengkakkan tipe ringan sampai berat dan menunjukkan perubahan warna dari

merah pucat sampai magenta. Kehilangan stippling pada gingiva dan perubahan

Page 32: ni luh putu sri maryuni adnyasari

topografi permukaan meliputi menumpulan atau membulatnya tepi gingiva dan

bertambah datarnya cekungan pada papilla. Perdarahan gingiva, baik spontan atau

sebagai respon terhadap prob periodontal, merupakan hal yang umum, dan dapat pula

ditemukan eksudat cairan krevikular yang berhubungan dengan peradangan dan

nanah pada poket periodontal (Novack, 2006 a).

Perubahan warna pada gingivitis dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran

pembuluh darah, ketebalan epitel, kuantitas keratinisasi dan pigmentasi dalam epitel.

Perubahan warna gingiva merupakan tanda klinis penting pada gingivitis. Inflamasi

kronis dapat meningkatkan derajat kemerahan sebagai akibat proliferasi vaskuler dan

berkurangnya keratinisasi diakibatkan oleh tekanan jaringan yang mengalami

inflamasi (Melatibiyantini, 2009).

Luka pada gingiva yang biasa terjadi dibidang kedokteran gigi dapat

menyebabkan terjadinya radang gingiva. Radang merupakan reaksi jaringan hidup

tehadap semua bentuk jejas. Radang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah

netrofil dan enzim siklooksigenase di daerah luka. Gingivitis memberikan ciri yang

khas dengan adanya tanda klinis peradangan pada gingiva tanpa menunjukkan

kehilangan jaringan perlekatan (Novack, 2006 b).

Gingivitis merupakan reaksi keradangan yang timbul pada gingiva akibat

adanya jejas, baik mekanis maupun kimiawi. Perubahan patologis pada struktur

gingiva terjadi akibat adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam sulkus gingiva

sehingga menimbulkan kerusakan epitel, sel-sel jaringan ikat, dan struktur

interseluler. Keradangan ini diawali oleh adanya akumulasi plak yang mampu

Page 33: ni luh putu sri maryuni adnyasari

merubah kondisi gingiva yang sehat menjadi gingivitis yang bertingkat (initial –

early – established – advanced lesion) (Gilangrasuna, 2010).

2.3.1 Gingvitis stadium I (initial lesion)

Manifestasi pertama inflamasi adalah perubahan vaskuler (dilatasi pembuluh

darah dan peningkatan aliran darah). Perubahan ini terjadi sebagai respon terhadap

aktivasi mikroba, tetapi secara klinis respon gingiva pada stadium I tidak terlihat.

Secara mikroskopis, gambaran klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat di

bawah epitel penghubung (Fiorellini et al. 2006 a).

2.3.2 Gingivitis stadium II (lesi awal)

Lesi awal berkembang dari lesi inisial dalam kurun waktu sekitar 1 minggu

setelah dimulainya akumulai plak. Tanda-tanda klinis eritema akan terlihat serta dapat

terjadi perdarahan pada saat probing. Pemeriksaan mikroskopis gingiva,

menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dalam jaringan ikat di bawah epitel

penghubung. Jumlah kerusakan kolagen meningkat, 70% kolagen yang rusak ada di

sekitar infiltrat seluler. Kumpulan serabut utama yang terlibat tampak pada jaringan

dentogingival. PMNs melepaskan lisosomnya untuk memfagositosis bakteri.

Fibroblas menunjukkan perubahan sitotoksik, dengan penurunan kemampuan untuk

memproduksi kolagen (Fiorellini et al. 2006 a).

Page 34: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.3.3 Gingivitis stadium III ( lesi yang menetap )

Perkembangan lesi menetap ditandai dengan banyaknya jumlah sel-sel

plasma dan limfosit B serta mungkin berhubungan dengan pembentukan poket

gingiva . Se-sel B yang ditemukan sebagian besar adalah subklas immunoglobulin

G1 (IgG1) dan G3 (IgG3). Pembuluh darah tesumbat dan memadat, aliran balik vena

mengalami gangguan mengakibatkan anoxemia gingiva yang terlokalisasi, dilapisi

warna kebiru-biruan di atas gingiva yang kemerahan. Aliran eritrosit ke jaringan

penghubung dan kerusakan hemoglobin menyebabkan radang gingiva menjadi lebih

gelap (Fiorellini et al. 2006 a).

2.3.4 Gingivitis stadium IV ( lesi lanjutan )

Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar sebagai tanda stadium keempat disebut

stadium lanjutan atau fase kerusakan periodontal. Secara mikroskopis terdapat

jaringan gingiva fibrosis serta manifestasi kerusakan jaringan radang dan

imunopatologis yang tersebar luas, sel-sel plasma mendominasi jaringan ikat, serta

neutrofil tetap mendominasi epitel penghubung. Pada orang yang rentan dapat

berkembang menjadi periodontitis (Fiorellini et al. 2006 a).

Gingivitis dibedakan berdasarkan perjalanannya dan lamanya serta

penyebarannya. Berdasarkan perjalanan dan lamanya diklasifikasikan menjadi 4

yaitu gingivitis akut (rasa sakit timbul secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu yang

pendek), gingivitis subakut (tahap yang lebih hebat dari kondisi gingivitis akut),

gingivitis rekuren (peradangan gusi yang dapat timbul kembali setelah dibersihkan

Page 35: ni luh putu sri maryuni adnyasari

dengan perawatan atau hilang secara spontan dan dapat timbul kembali), gingivitis

kronis (peradangan gusi yang paling umum ditemukan, timbul secara perlahan-lahan

dalam waktu yang lama dan tidak terasa sakit). Berdasarkan penyebarannya,

gingivitis diklasifikasikan menjadi 5 yaitu localized gingivitis , generalized gingivitis,

marginal gingivitis, pappilary gingivitis, dan diffuse gingivitis (Riyanti, 2008).

2.3.5 Gambaran klinis gingivitis

Tanda-tanda klinis gingivitis adalah kemerahan pada gingiva, perdarahan,

perubahan kontur dan adanya adanya kalkulus atau plak gigi. Pada pemeriksaan

histologis pada gingivitis terlihat adanya ulserasi epitel. Mediator inflamasi

memberikan efek negatif pada fungsi epitel sebagai barier perlindungan dan

perbaikan ulserasi pada epitel tergantung proliferasi atau regenerasi dari aktivitas sel

epitel (Melatibiyantini, 2009).

Gingivitis merupakan sebuah proses keradangan yang terbatas pada jaringan

epitel mukosa di sekitar servikal gigi. Gingivitis diklasifikasikan menurut

penampakannya (misalnya, ulceratif, hemorrhagic, necrotizing, purulent). Tipe

gingivitis yang paling umum adalah bentuk kronis yang ditimbulkan oleh plak

(Masdin, 2010).

Kelompok usia remaja mempunyai prevalensi gingivitis yang tinggi daripada

anak-anak ataupun orang tua. Peningkatan hormon sex selama masa remaja

Page 36: ni luh putu sri maryuni adnyasari

memberikan pengaruh yang besar terhadap meningkatnya gingivitis (Beck dan Arbes,

2006).

Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya

mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan mungkin yang ada di dalam atau

didekat sulkus gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk

(misal: kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang

dapat menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen

interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan glycocalyx (cell coat) (Fiorellini et al.

2006 a).

Manifestasi pertama gingivitis adalah perubahan vaskuler yang terdiri dari

dilatasi kapiler dan peningkatan aliran darah. Perubahan ini terjadi sebagai respon

terhadap aktivasi mikroba dari sisa-sisa leukosit dan stimulasi sel-sel endotel.

Terdapat sedikit perubahan pada epitelium junctional dan jaringan ikat peri vaskuler

pada stadium awal (Fiorellini et al. 2006 a).

Fase inflamasi terjadi oleh karena adanya respon vaskuler dan seluler yang

terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Respon inflamasi ditandai

dengan timbunan sel polimorfonuklear (PMN) yaitu neutrofil, disekitar jaringan

inflamasi. Fase ini dimulai dari hari ke-1 - ke-4 setelah perlukaan, pembuluh darah

mengalami kerusakan menyebabkan platelet keluar dan berfungsi sebagai hemostasis.

Platelet menutupi pembuluh darah yang terbuka dan mengeluarkan substansi

vasokonstriksi (Julica, 2009).

Page 37: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Fibroblast aktif bergerak ke daerah inflamasi dan mengalami proliferasi serta

mengeluarkan beberapa substansi kolagen, elastin, fibronektin dan proteoglycans

yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru. Fungsi kolagen yang spesifik adalah

membentuk connective tissue matrix (Julica, 2009).

Gambaran ciri-ciri klasik radang akut dapat terlihat pada jaringan ikat dibawah

epitelium junctional. Karakter dan intensitas respon host menentukan apakah lesi

inisial berkembang secara cepat, disertai peningkatan neutrofil. Deposisi fibrin dan

kerusakan kolagen bisa ditemukan pada tahap awal. Pada sekitar 1 pekan, transisi ke

lesi-lesi dini ditandai dengan perubahan infiltrat-infiltrat limfosit yang menonjol.

Monosit dan sel-sel plasma juga bisa ditemukan. Semakin lama, lesi-lesi ini menjadi

kronis dan ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit B. Ketika inflamasi

kronis berkembang menyebabkan terbentuknya poket. Poket menjadi bertambah

dalam sehingga menyebabkan perdarahan selama menyikat gigi bahkan saat

mengunyah biasa. Karena inflamasi ini berlangsung terus menerus, maka ligamen

periodontal akan terurai dan terjadi kerusakan tulang alveolar lokal, gigi mulai

longgar dan akhirnya tanggal (Masdin, 2010).

2.3.6 Etiologi gingivitis

Penyebab utama gingivitis adalah adanya bakteri pada plak gigi, bersama

faktor penyebab lainnya seperti kalkulus, maloklusi, restorasi yang kurang bagus,

Page 38: ni luh putu sri maryuni adnyasari

komplikasi yang berhubungan terapi ortodontik, luka yang dibuat sendiri,

penggunaan tembakau dan radiasi (Hinrichs, 2006).

Plak gigi adalah struktur lunak, substansi yang berwarna kuning keabuan yang

melekat kuat pada permukaan keras dalam rongga mulut seperti pada restorasi cekat

dan lepasan. Plak gigi terutama tersusun oleh bakteri yang terdapat dalam matriks

glikoprotein saliva dan polisakarida ekstraseluler. Plak gigi terutama tersusun oleh

mikroorganisme, dimana 1 gram plak gigi (berat basah) mengandung kira-kira 1011

bakteri. Jumlah bakteri pada plak gigi supragingiva pada satu permukaan gigi dapat

melebihi angka 109. Pendekatan molekuler baru untuk identifikasi bakteri,

diperkirakan sebanyak 30% dari mikroorganisme berhubungan dengan gingivitis

(Quirynen et al. 2006).

Mikroba supragingiva berbeda komposisi dengan plak gigi subgingiva,

terutama karena ketersediaan produk lokal dari darah dan potensi oksidasi dan

reduksi yang rendah ditandai dengan lingkungan yang anaerobik. Plak gigi

didominasi oleh batang dan kokus gram positif seperti Streptococcus mitis, S.sanguis,

A.naeslundil dan spesies Eubacterium (Quirynen et al. 2006).

Komponen anorganik plak gigi terutama adalah kalsium dan fosfor dan

sejumlah mineral meliputi sodium, potasium dan fluorid. Sumber utama bahan

anorganik plak gigi supragingva adalah saliva sehingga dengan adanya peningkatan

kandungan mineral, massa plak gigi menjadi terkalsifikasi menjadi kalkulus. Proses

Page 39: ni luh putu sri maryuni adnyasari

pembentukan melalui 3 fase utama yaitu pembentukan pelikel pada permukaan gigi,

perlekatan awal dan perlekatan bakteri serta kolonisasi dan maturasi plak gigi

(Quirynen et al. 2006).

2.3.7 Penyembuhan gingivitis

Proses penyembuhan jaringan lunak gingiva berlangsung secara normal selama

lebih kurang sepuluh sampai empat belas hari setelah terapi dimana pada prosesnya

terjadi beberapa tahap yakni regenerasi, repair dan proses pembentukan jaringan baru

pada tahap akhir (Haryono, 2006).

Rangsang eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel, dan

selanjutnya memicu reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh

darahnya. Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang

mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali.

Proses inflamasi terjadi pada jaringan ikat dengan pembuluh darah yang mengandung

plasma, sel yang bersirkulasi, elemen seluler dan ekstra seluler jaringan pengikat.

Komponen seluler adalah eritrosit, lekosit (netrofil, eosinofil, basofil), monosit,

limfosit, trombosit, sedangkan sel jaringan pengikat adalah sel mast, fibroblas,

monosit, makrofag dan limfosit. Elemen ekstra seluler antara lain kolagen, elatin,

glikoproptein adesif ( fibronektin, laminin, kolagen non fibril, tenasen, proteoglikan )

(Triyono, 2005).

Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan dan penghancuran sel atau

agen penyebab kerusakan sel. Proses reparasi, proses pembentukan kembali jaringan

Page 40: ni luh putu sri maryuni adnyasari

rusak atau proses penyembuhan jaringan rusak terjadi pada saat yang sama. Proses

ini baru selesai sempurna sesudah agen penyebab kerusakan sel dinetralkan. Selama

proses reparasi berlangsung, jaringan rusak diganti oleh regenerasi sel parenkimal asli

dengan cara mengisi bagian yang rusak dengan jaringan fibroblas (proses scarring)

(Triyono, 2005).

Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang mengalami

kerusakan untuk tidak mengalami infeksi dan meluas tidak terkendali. Proses

inflamasi sangat erat berhubungan dengan penyembuhan luka. Tanpa adanya

inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka. Luka akan tetap menjadi

sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan cenderung

menimbulkan nyeri (Triyono, 2005).

Fase penyembuhan pada gingivitis, mengalami fase yang sama dengan proses

pemyembuhan secara umum.

2.3.7.1 Fase inflamasi

Fase inflamasi terjadi pada hari ke- 0 – ke-5. Luka karena trauma atau karena

pembedahan menimbulkan kerusakan jaringan dan perdarahan. Darah pada awalnya

akan mengisi jaringan yang cedera dan paparan darah terhadap kolagen akan

mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman.

Kemudian akan memicu sistem biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin,

kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini memperkuat sinyal dari

daerah terluka, yang tidak saja mengaktifkan pembentukan bekuan yang menyatukan

tepi luka tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke

Page 41: ni luh putu sri maryuni adnyasari

daerah luka. Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini menyebabkan

edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya

luka (Norvianzah, 2008).

Polimorfonuklear (PMN) adalah sel pertama yang menuju ke tempat

terjadinya luka. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24 – 48

jam. Fungsi utamanya adalah memfagositosis bakteri yang masuk. Pada

penyembuhan luka normal tampaknya kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting sebab

penyembuhan luka dapat terjadi tanpa keberadaan sel-sel ini. Adanya sel ini

menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi sel-sel

PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ketiga.

Elemen imun seluler yang berikutnya adalah makrofag. Sel ini turunan dari monosit

yang bersirkulasi, terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi. Muncul pertama

48 – 96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke-3

(Triyono, 2005) .

Makrofag berumur lebih panjang dibanding dengan sel PMN dan tetap ada di

dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna. Sesudah makrofag akan

muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncak

pada hari ke-7. Sebaliknya dari PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaanya

pada penyembuhan luka normal. Makrofag seperti halnya netrofil, memfagositosis

dan mencerna organisme-organisme patologis dan sisa-sisa jaringan. Makrofag juga

melepas zat biologis aktif. Zat ini mempermudah terbentuknya sel inflamasi

Page 42: ni luh putu sri maryuni adnyasari

tambahan yang membantu makrofag dalam dekontaminasi dan membersihkan sisa

jaringan. Makrofag juga melepas faktor pertumbuhan dan substansi lain yang

mengawali dan mempercepat pembentukan formasi jaringan granulasi. Zat yang

berfungsi sebagai transmiter interseluler ini secara keseluruhan disebut sitokin

(Triyono, 2005).

2.3.7.2 Fase proliferasi

Fase ini terjadi pada hari ke-3 – ke-14. Apabila tidak ada kontaminasi atau

infeksi yang bermakna, fase inflamasi berlangsung pendek. Setelah luka berhasil

dibersihkan dari jaringan mati dan sisa material yang tidak berguna, dimulailah fase

proliferasi. Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada

luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblas

dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya kapiler baru tertanam dalam

jaringan longgar ekstra seluler dari matriks kolagen, fibronektin dan asam hialuronik.

Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak

pada hari ke-7. Peningkatan jumlah fibroblas pada daerah luka merupakan kombinasi

dari proliferasi dan migrasi (Triyono, 2005).

Fibroblas ini berasal dari sel-sel mesenkimal lokal, terutama yang berhubungan

dengan lapisan adventisia, pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi

oleh makrofag dan limfosit. Fibroblas merupakan elemen utama pada proses

perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan

jaringan. Fibroblas juga memproduksi kolagen dalam jumlah besar, kolagen ini

berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks ekstraseluler yang berguna

Page 43: ni luh putu sri maryuni adnyasari

membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali dideteksi pada hari

ke-3 setelah luka, meningkat sampai minggu ke-3. Kolagen terus menumpuk sampai

tiga bulan. Penumpukan kolagen pada awalnya terjadi berlebihan kemudian fibril

kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka

(Triyono, 2005).

2.3.7.3 Fase maturasi

Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun. Segera setelah

matriks ekstrasel terbentuk, mulai terjadi reorganisasi. Matriks ekstrasel pada

awalnya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel

substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan

kolagen oleh fibroblas. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk

matriks. Serabut kolagen pada awalnya terdistribusi acak membentuk persilangan

dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan

penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.

Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3 minggu kekuatan

penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Triyono, 2005).

2.3.8 Perawatan gingivitis

Tujuan utama perawatan jaringan periodontal tidak hanya menghentikan

penyakit periodontal, tetapi dapat juga meramalkan regenerasi jaringan periodonsium

yang mengalami kerusakan. Keberhasilan perawatan periodontal sangat bergantung

kepada kemampuan dalam menghilangkan keradangan pada gingiva, perdarahan

Page 44: ni luh putu sri maryuni adnyasari

gingiva, mengurangi kedalaman poket, menghentikan proses infeksi, menghentikan

pembentukan pus, menghentikan kerusakan jaringan lunak dan tulang, mengurangi

kegoyangan gigi, memperbaiki fungsi oklusi, memperbaiki jaringan yang mengalami

kerusakan, mencegah rekurensi penyakit serta mengurangi hilangnya gigi geligi

(Syafril, 1996)

Regenerasi adalah pertumbuhan serta pembelahan sel-sel baru dan substansi

interseluler yang membentuk jaringan baru. Regenerasi terdiri dari fibroplasia,

proliferasi endotel, deposisi substansi dasar intersisial dan kolagen, epitelisasi dan

pematangan jaringan ikat (Syafril, 1996).

Peran mikroorganisme terhadap penyakit periodontal sangat menentukan, dan

banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan macam obat yang paling efektif

terhadap mikoorganisme tersebut. Obat kumur sering dianjurkan untuk perawatan ini

disamping pemberian antibiotika lokal atau sistemik. Sistem pemberian obat

antibiotika secara lokal dengan cara irigasi. Syarat pokok untuk efektifitas adalah

obat dapat mencapai dasar poket dan dapat bertahan beberapa waktu di tempat

sampai terjadi efek antimikrobialnya (Prayitno dan Herman, 1996).

Dasar pemikiran diindikasikannya terapi antibiotika sebagai penunjang

perawatan periodontal karena etiologi utama penyakit periodontal adalah bakteri yang

terdapat di dalam plak gigi. Beberapa spesies bakteri dapat mengadakan invansi ke

jaringan ikat gingiva, bahkan sampai ke permukaan tulang alveolar. Antibiotika

Page 45: ni luh putu sri maryuni adnyasari

dapat meningkatkan keberhasilan prosedur perlekatan baru dan prosedur regenerasi

tulang sehingga dapat menghindari terjadinya reinfeksi. Antibiotika yang dipilih

harus sesuai dengan bakteri yang akan disingkirkan dan mempunyai efek samping

minimal (Daliemunthe, 1995).

Antibiotika yang efektif sebagai penunjang perawatan periodontal harus cukup

tinggi konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva. Sebagai patokan adalah

konsentrasinya di dalam cairan sulkus gingiva dan bukan konsentrasi di dalam serum

darah. Antibiotika yang memenuhi syarat adalah tetrasiklin beserta derivatnya

(minosiklin dan doksisiklin) karena memiliki konsentrasi 2-4 kali lebih tinggi pada

poket periodontal dibandingkan dengan di serum darah (Daliemunthe, 1995).

2.4 Tetrasiklin

Tetrasiklin telah digunakan secara luas pada perawatan penyakit periodontal.

Tetrasiklin mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan

menghambat pertumbuhan Actinobacillus actinomycetemcomitans, dan mampu

merangsang suatu efek kolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan

jaringan dan mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Pemberian tetrasiklin atau metronidazol dalam waktu singkat atau pemakaian

tetrasiklin secara oral dengan alat irigasi yang lambat ternyata menyebabkan sangat

berkurangnya jumlah flora subgingiva (Manson dan Eley, 1993).

Tetrasiklin merupakan senyawa kristal berwarna kuning dan sedikit larut

dalam air. Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml

Page 46: ni luh putu sri maryuni adnyasari

sedangkan dalam metanol lebih dari 20 mg/ml. Tetrasiklin memiliki rumus molekul

C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC [4s-(4α,4aα,5aα,6β,12aα)] -4-

(dimetilamino) 1,4,4a,5,5a, 6-11,12a-oktahidro-3,6,10,12,12a- pentahidroksi- 6- metil

-1,11-diokso- 2- naftasenkarboksamida dengan bobot molekul 444,44 g/mol (Suryani,

2009) .

Gambar 2.2 Struktur kimia tetrasiklin

(http://putrikoto woodpress.com/2010/08/13/tetrasiklin//)

Senyawa tetrasiklin (1948), diperoleh dari streptomyces aureofacien

(klortetrasiklin ) dan Streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Tetapi setelah 1960, zat

induk tetrasiklin mulai dibuat secara sintetis seluruhnya, yang kemudian disusul oleh

derivat –oksi dan –klor serta senyawa long-acting doksisiklin dan minosiklin (Tan

dan Kirana, 2002).

Tetrasiklin bebas merupakan senyawa amfoter dalam bentuk kristal dengan

daya larut rendah, dan merupakan antibiotik berspektrum luas yang menghambat

Page 47: ni luh putu sri maryuni adnyasari

sintesis protein . Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri

gram-positif dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae,

mycoplasma, dan bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa

(Katzung, 2004).

Tetracycline fibers 25% adalah sediaan tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate,

minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25% dalam lipid gel (Elyzol)

dewasa ini sering dipergunakan secara topikal untuk perawatan periondititis (Prayitno

dan Herman, 1996).

Dua penelitian besar yang melibatkan masing-masing lebih dari 100 subyek

telah dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan

bahwa kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja

rata-rata 0,67mm (Prayitno dan Herman, 1996).

Tetrasiklin Periodontal fiber merupakan turunan tetrasiklin yang tidak hanya

memiliki sifat antibakteri namun juga dapat mengurangi inflamasi serta membantu

menghentikan kolagenase protein oleh karena sifatnya yang antikolagenase.

Antibiotika ini digunakan dalam bentuk lokal sebagai perawatan penunjang untuk

penyakit periodontal (Wulandari, 2007).

Minosiklin dalam bentuk lipid gel juga digunakan untuk perawatan saku

periodontal. Gel 0,5 gram yang mengandung 10 mg minosiklin diaplikasikan dengan

alat suntik ujung plastik, menghasilkan penurunan kedalaman poket 1,7 mm

dibandingkan tanpa minosiklin rata-rata 1,4 mm (Prayitno dan Herman, 1996).

Page 48: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Penggunaan tetrasiklin golongan antibiotika dalam terapi periodontal telah

dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, anti kolagenase dan anti

inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu

menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak

efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan

suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan

di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif

dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang

dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah

diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima

jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan

membuka matrix kolagen (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena

mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali daripada di dalam serum,

sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke

dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana

tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah

(2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap

jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Antibiotika lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat

etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9

Page 49: ni luh putu sri maryuni adnyasari

inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau

tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan

saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis

meningkat beberapa efek secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang

dihasilkan dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky

dan Ciancio, 2006).

2.4.1 Sifat kimia

Semua terasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter, garam klorida /fosfat

paling banyak digunakan. Larutan garam ini hanya stabil pada pH < 2 dan terurai

pesat pada pH lebih tinggi. Kapsul yang disimpan ditempat panas dan lembab mudah

terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk pengurainya epi-dan

anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi ginjal (Tan dan Kirana, 2002).

2.4.2 Farmakologi

Tetrasiklin merupakan sutau kelompok antibiotika yang diproduksi secara

alami dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik.

Antibiotika ini memilki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan

perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan

bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

2.4.3 Farmakodinamik

Terjadi 2 proses masuk ke dalam ribosom bakteri yaitu pertama difusi pasif

melalui kanal hidrofilik, kedua sebagai sistem transport aktif. Setelah masuk

Page 50: ni luh putu sri maryuni adnyasari

berikatan dengan ribosom, mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA

ribosom, terhentinya sintesis protein (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

2.4.4 Farmakokinetika

Tetrasiklin terutama berbeda dalam absorbsi setelah pemberian oral dan

eliminasinya. Absorbsi setelah pemberian oral adalah sekitar 30% untuk

chlortetrasikline, 60-70% untuk tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeclosiklin dan

metasilin, serta 95-100% untuk doxysiklin dan minosiklin (Katzung, 2004).

Tetrasiklin sekitar 30-80% diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan

minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung

dan usus halus. Makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali

minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi

dan pembentukan kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap

seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat

dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam

sesudah makan (Karlina dkk. 2009).

Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan

melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin di

ekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam

empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang di

ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini

masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi

obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami

Page 51: ni luh putu sri maryuni adnyasari

akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap, diekskresi melalui tinja (Karlina

dkk. 2009).

Tetrasiklin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan-jaringan dan cairan-

cairan tubuh, kecuali dalam cairan serebrospinal, dimana konsentrasinya adalah

sebesar 10-25% dari konsentrasi serum. Sekitar 40-80% tetrasiklin diikat oleh

protein-protein serum. Tetrasiklin mempunyai masa kerja singkat berdasarkan waktu

paruh serum (Katzung, 2004).

2.5 Tikus Putih (Rattus Norvegicus)

Tikus putih adalah tikus rumah, merupakan binatang asli Asia, India, dan

Eropa Barat. Tikus laboratorium adalah spesies tikus Rattus norvegicus yang

dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah

digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian.

Klasifikasidari tikus putih

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordota

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : Norwegicus

Page 52: ni luh putu sri maryuni adnyasari

2.6 Penelitian Pendahuluan

Peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan dengan mempergunakan

sampel tikus sebanyak 16 ekor, dibagi dalam 4 kelompok dan masing- masing

kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Gingiva tikus pada bagian labial di antara insisivus

sentralis rahang bawah dilukai dengan scalpel no 11 sampai menyentuh tulang

alveolar di bawahnya. Perlakuan diberikan mulai pada hari ke-5. Kelompok I,

diberikan perlakuan dengan diolesi gel, kelompok II diberikan perlakuan dengan

diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,2%. Kelompok II diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,3% dan

kelompok IV diberikan perlakuan dengan diolesi Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.

Pengolesan dilakukan 2x sehari dengan tekanan ringan, selama 5 hari. Tikus

didekapitasi pada hari ke-10 dan jaringan gingiva diambil. Sediaan mikroskopis

dibuat dan diukur proliferasi kolagennya.

Dari penilaian didapat hasil sebagai berikut :

1. Kelompok I (kontrol) diberikan perlakuan gel diperoleh proliferasi

kolagen rata-rata 134,23 µm.

2. Kelompok II dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,2% diperoleh

proliferasi kolagen rata-rata 73,15 µm.

3. Kelompok III dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,3% diperoleh

proliferasi kolagen rata-rata 45,16 µm.

4. Kelompok IV dengan pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% diperoleh

proliferasi kolagen rata-rata 15,94 µm.

Page 53: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gambar 2.3 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin

HCl Gel 0,2% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di

bawah mikroskop elektrik pembesaran 400X

Page 54: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gambar 2.4 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin

HCl Gel 0,3% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah

mikroskop elektrik pembesaran 400X

Page 55: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gambar 2.5 Hasil pengamatan proliferasi kolagen setelah diolesi tetrasiklin

HCl Gel 0,4% dengan mempergunakan pengecatan HE dan diperiksa di bawah

mikroskop elektrik pembesaran 400X

Page 56: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Gingivitis adalah keradangan pada gingiva. Gingivitis merupakan reaksi

keradangan yang timbul pada gingiva akibat adanya jejas, baik mekanis maupun

kimiawi. Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya

mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan di dalam atau di dekat sulkus

gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk (misal:

kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang dapat

menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen

interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan glycocalyx (cell coat).

Pada kondisi inflamasi atau patologis dapat terjadi berbagai macam perubahan,

seperti perubahan jumlah sel epitel, serta perubahan ukuran sel dan inti sel. Peran

mikroorganisme terhadap penyakit periodontal sangat menentukan, dan banyak

penelitian yang dilakukan untuk menentukan macam obat yang paling efektif

terhadap mikoorganisme tersebut. Dasar pemikiran diindikasikannya terapi

antibiotika sebagai penunjang perawatan periodontal karena etiologi utama penyakit

periodontal adalah bakteri yang terdapat di dalam plak gigi. Beberapa spesies bakteri

Page 57: ni luh putu sri maryuni adnyasari

dapat mengadakan invansi ke jaringan ikat gingiva, bahkan sampai ke permukaan

tulang alveolar.

Antibiotika dapat meningkatkan keberhasilan prosedur perlekatan baru dan

prosedur regenerasi tulang sehingga dapat menghindari terjadinya reinfeksi.

Tetrasiklin beserta derivatnya (minosiklin dan doksisiklin) memenuhi syarat untuk

perawatan gingivitis karena memiliki konsentrasi 2-4 kali lebih tinggi pada saku

periodontal dibandingkan dengan di serum darah.

Page 58: ni luh putu sri maryuni adnyasari

3.2. Kerangka Konsep

Berdasarkan permasalahan dan kajian pustaka yang telah diuraikan , maka

dibuat suatu kerangka konsep yang terkait dengan masalah penelitian.

Gingiva Meradang

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Tetrasiklin HCl Gel

Faktor Endogen - Hormonal - Psikologis - Genetik - Sistem kekebalan

Faktor Eksogen - Lingkungan - Stress - Infeksi - Obat

proliferasi kolagen

Gingiva Meradang

Page 59: ni luh putu sri maryuni adnyasari

3.3. Hipotesis Penelitian

1. Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal menyebabkan

proliferasi kolagen lebih cepat dibandingkan konsentrasi 0,2% pada gingiva

tikus yang meradang.

2. Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,4% secara topikal menyebabkan proliferasi

kolagen lebih cepat dibandingkan konsentrasi 0,3% pada gingiva tikus yang

meradang.

Page 60: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental Randomized pretest-

posttest control group design (Pocock, 2008).

K

P1

P2

P3

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian

Keterangan :

P = Populasi

R = Random

S = Sampel

P S

O2

O3 O4

05 O6

R

Ra

O1

O7 O8

Page 61: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Ra = Random alokasi

O1 = Observasi awal kelompok I sebelum perlakuan

O3 = Observasi awal kelompok II sebelum perlakuan

O5 = Observasi awal kelompok III sebelum perlakuan

O7 = Observasi awal kelompok IV sebelum perlakuan

P0 = Perlakuan pada kelompokI diberikan gel

P1 = Perlakuan pada kelompok II diolesi tetrasiklin gel 0,2 %

P2 = Perlakuan pada kelompok III diolesi tetrasiklin gel 0,3%

P3 = Perlakuan pada kelompok IV diolesi tetrasiklin gel 0,4 %

O2 = Observasi akhir kelompok I setelah diberikan perlakuan

dengan gel

O4 = Observasi akhir kelompok II setelah diberikan perlakuan

Tetrasiklin HCl Gel 0,2%

O6 = Observasi akhir kelompok III setelah diberikan perlakuan

Tetrasiklin HCl Gel 0,3%

O8 = Observasi akhir kelompok IV setelah diberikan perlakuan

Tetrasiklin HCl Gel 0,4%

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi

Page 62: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, dan Laboratorium

Farmacetikal SMF Saraswati Denpasar.

4.2.2. Waktu penelitian

Bulan November 2011

4.3. Penentuan Sumber Data

Sesuai dengan rancangan penelitian,maka sampel (tikus) dalam penelitian ini

jumlahnya 32 dan dibagi dalam 4 kelompok, yaitu satu kelompok kontrol

diberikan gel, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,2%;

satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,3%; satu kelompok

perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.

4.3.1 Besar sampel

Menghitung jumlah sampel (Pocock, 2008)

n = 2 σ2 x f (α.β )

(µ1-µ2)2

Keterangan : n = jumlah sampel

σ = simpangan baku : 4,6

α = tingkat kesalahan I (α = 0,05)

β = tingkat kesalahan II (β = 0,1)

Page 63: ni luh putu sri maryuni adnyasari

µ1 = rerata nilai pada kelompok control

µ2 = rerata nilai pada kelompok perlakuan

Dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut :

n = 2. 4,6 2 x 10,5

8,52

= 42,3 x 10,5

72.3

= 6,14

Untuk mengantisipasi adanya sampel yang mati maka ditambah 20% dari

sampel yang didapat dari perhitungan (20%x6,14 = 1,3). Jadi jumlah sampel

6,14+1,3 = 7,44.

4.3.2 Kriteria sampel

Sampel yang digunakan sebagai obyek penelitian ini adalah tikus putih jantan

(Ratus novergicus) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

4.3.2.1 Kriteria inklusi

a. Tikus putih jantan dewasa strain wistar

b. Umur 8 12 minggu

Page 64: ni luh putu sri maryuni adnyasari

c. Berat badan 180 – 200 gram

d. Sehat

4.3.2.2 Kriteria ekslusi

a. Tidak mau makan

4.3.2.3 Kriteria drop out

a. Tikus mati saat penelitian

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi variabel

Variabel bebas

a. Gel

b. Tetrasiklin HCl Gel 0,2%

c. Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %

d. Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %

Variabel Tergantung : proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang

Variabel Terkendali

a. Makanan dan kandang tikus

b. Umur tikus 8 – 12 minggu

c. Jenis kelamin jantan

d. Berat badan tikus 180-200 gram

Page 65: ni luh putu sri maryuni adnyasari

4.4.2 Hubungan antar variabel

Variabel bebas a. Gel b. Tetrasiklin HCL Gel 0,2% c. Tetrasiklin HCL Gel 0,3% d. Tetrasiklin HCL Gel 0,4%

Variabel Terkendali

a. Makanan dan kandang tikus b. Umur tikus 2 bulan c. Jenis kelamin jantan d. Berat badan tikus 180-200

Variabel Tergantung

Proliferasi kolagen gingiva tikus yang meradang

Page 66: ni luh putu sri maryuni adnyasari

4.5 Definisi Operasional

a. Tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak

40 mg kemudian dicampur dengan 9,960 gram gel.

b. Tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak

30 mg kemudian dicampur dengan 9,970 gram gel.

c. Tetrasiklin HCl Gel 0,% adalah tetrasiklin HCl murni yang ditimbang sebanyak

20 mg kemudian dicampur dengan 9,980 gram gel.

d. Proliferasi kolagen adalah terbentuknya kolagen setelah diolesi Tetrasiklin HCl

Gel pada permukaan gingiva yang meradang setelah dibuat preparat dengan

pengecatan Harries Hematoxylin-Eosin dan dilihat pada lima lapang pandang

yang diukur dengan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400X dan Olympus

DP12 Digital Camera.

e. Gingiva meradang adalah suatu keadaan radang pada gingiva tikus setelah

dilukai dengan scalpel no. 11 sampai menyentuh tulang alveolar di bawahnya

pada gingiva tikus bagian labial di antara insisivus sentralis rahang bawah.

4.6 Bahan dan Alat Penelitian

4.6.1 Bahan penelitian :

a. Tetrasiklin HCl Gel 0.2%;0.3% dan 0,4%

b. Gel (kontrol)

c. Cat Harris Hematoxyllin-Eosin

d. Alkohol 70%

Page 67: ni luh putu sri maryuni adnyasari

e. Larutan buffer formalin10%

Gambar 4.2 Tetrasiklin HCl Gel dan Gel

4.6.2 Alat penelitian

a. Mikroskop cahaya

b. Micro brush

c. Pinset

d. Gunting Bedah

e. Scalpel no.11

f. Olympus DP12 Digital Camera

Gambar 4.3 Alat-alat yang dipergunakan penelitian

4.7 Prosedur Penelitian

Page 68: ni luh putu sri maryuni adnyasari

4.7.1 Pembuatan Tetrasiklin HCl Gel

Tetrasiklin HCl ditimbang pada timbangan elektrik sesuai dengan konsentrasi

yang dipakai untuk penelitian. Gel dibuat dengan mencampur hidroksipropil

metilselulosa (PT Salompas), propilen glikol (Brataco, Surabaya) dan aquadest.

Untuk konsentrasi 0,2 % maka tetrasiklin HCl murni ditimbang sebanyak 20

mg kemudian dicampur dengan 9,980 gram gel. Konsentrasi 0,3% maka tetrasiklin

murni ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dicampur dengan 9,970gram gel.

Konsentrasi 0,4% maka tetrasiklin murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian

dicampur dengan 9,960gram gel.

4.7.2 Perlakuan pada tikus

Tikus yang digunakan sebagai hewan coba diadaptasikan selama satu minggu

dalam kandang individual. Tikus tidak boleh stress dengan menempatkannya pada

tempat yang tenang dan bersih dengan intensitas cahaya dan sirkulasi udara yang

baik. Makanan yang diberikan harus sesuai standar nutrisi dan pemberian air minum

yang cukup untuk mencegah dehidrasi.

Gingiva tikus sebeluan dilukai, diolesi xylonor pellet sebagai anastesi topikal

sebelum ditoreh dengan scalpel. Radang gingiva dibuat pada gingiva tikus bagian

labial di antara insisivus sentralis rahang bawah ditoreh dengan scalpel no.11 sampai

menyentuh tulang alveolar di bawahnya.

Tetrasiklin HCl Gel 0,2%;0,3% dan 0,4% dioleskan pada masing kelompok

II,III dan IV, sedangkan pada kelompok I hanya diolesi gel. Masing-masing

kelompok diolesi dengan tekanan ringan dengan micro brush yang dilakukan 2 kali

Page 69: ni luh putu sri maryuni adnyasari

sehari, pagi dan sore. Tikus didekapitasi pada hari ke-10 dengan cloroform. Setelah

mati daerah gingiva yang mengalami radang diambil, dimasukkan dalam pot yang

berisi buffer formalin 10% selanjutnya dibuat sediaan mikroskopis.

4.7.3 Pembuatan sediaan mikroskopis

Fiksasi jaringan gingiva dilakukan dengan buffer formalin 10% maksimum

selama 24 jam. Jaringan yang telah difiksasi dimasukkan ke dalam automatic tissue

processor untuk menyempurnakan fiksasi. Dehidrasi dengan alkhol 70% - 100%

secara bertahap untuk membersihkan sisa-sisa bahan fiksasi. Sisa alkohol

dibersihkan dengan xylol dalam proses clearing dan infiltrasi parafin cair pada suhu

57 ºC -59 ºC untuk mengisi rongga dalam jaringan yang ditempati oleh air sehingga

terbentuk blok parafin dan didinginkan sebentar di dalam freezer . Setiap blok

parafin dilakukan pengirisan jaringan setebal 3-4 µm dengan menggunakan

mikrotom. Irisan jaringan tersebut dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu di

bawah titik cair parafin. Air pada jaringan diuapkan dengan cara diinkubasi dengan

hot plate pada suhu 40-50ºC selama15 menit.

Prosedur pengecatan dengan deparafinisasi dengan xylol. Rehidrasi dengan

alkohol dari konsentrasi rendah untuk menghilangkan xylol dan memasukkan air ke

dalam jaringan. Sisa alkohol dihilangkan dengan mencuci preparat di bawah air

mengalir, kemudian diberi cat Harris Hematoxillin-eosin. Proses pembersihan dengan

xylol dilakukan untuk memberikan warna bening pada jaringan. Prosedur mounting

dilakukan agar preparat menjadi awet dan menambah kejernihan. Tahap selanjunya

preparat ditutup dengan deckglass dan diberi label.

Page 70: ni luh putu sri maryuni adnyasari

4.7.4 Menentukan proliferasi kolagen

Kolagen dilihat pada potongan melintang pada 5 lapang pandang dengan

menggunakan mikroskop elektrik merk Olympus CX21 dengan pembesaran 400X.

Untuk morfometri menggunakan Olympus DP12 Digital Camera.

Penilaian proliferasi kolagen dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

> 91µm = jika tidak ditemukan adanya proliferasi kolagen

61µm - 90µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen ringan

31µm - 60µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen sedang

0 - 30µm = jika ditemukan adanya proliferasi kolagen rapat/padat

4.8 Prosedur Penelitian

32 ekor tikus

Kel. kontrol Kel.perlakuan

Gingiva meradang dibuat pada gingiva labial diantara insisivus sentralis rahang bawah dengan scalpel

Kelompok I (Kontrol) Olesi gel 2X sehari

Kelompok II OlesiTetrasiklin HCl Gel 0,4% 2X sehari

Kelompok III OlesiTetrasiklin HCl Gel 0,3 % 2X sehari

Kelompok IV Olesi Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % 2X sehari

tikus

random

Page 71: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gambar 4.4 Alur Penelitian

4.9 Analisis Data

Data yang diperoleh dinalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Analisis deskriptif : analisis data untuk memberikan gambaran tentang

karakteristik data yang didapatkan dari hasil penelitian.

2. Analisis normalitas dan homogenitas :

2.1 Uji normalitas dengan uji Shapiro-wilk (SW) karena sampelnya <30.

2.2 Uji homogenitas dengan uji Levene´s test.

3. Uji efek perlakuan

3.1 Untuk perbandingan antar kelompok dengan uji parametrik One-way anova.

Dekapitasi hari ke-10

Pembuatan preparat dgn pengecatan HE

Pemeriksaan proliferasi kolagen dengan mikroskop elektrik

Analisis Data

Page 72: ni luh putu sri maryuni adnyasari

3.2 Untuk mengetahui seberapa besar efek dilanjutkan dengan LSD Post Hoc

Test.

Page 73: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini mempergunakan 40 tikus putih jantan (Rattus novergicus)

berumur 8- 12 minggu, berat badan 180 – 200 g, dan sehat sebagai sampel. Delapan

ekor tikus dipergunakan untuk data pre-test, dan 32 ekor tikus dipergunakan untuk

data post-test yang terbagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu

kelompok kontrol diberikan aplikasi gel, satu kelompok perlakuan diberikan

Tetrasiklin HCl Gel 0,2%, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,3%,

dan satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%. Bab ini akan

menguraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji

efek perlakuan.

5.1 Uji Normalitas Data

Data kolagen baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-

masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Disajikan pada Tabel 5.1.

Page 74: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Tabel 5.1

Hasil Uji Normalitas Data Kolagen masing-masing Kelompok Baik Sebelum maupun Sesudah Perlakuan

Kelompok Perlakuan n p Keterangan Kontrol pre Kontrol post Tetrasiklin HCl Gel 0,2% post Tetrasiklin HCl Gel 0,3% post Tetrasiklin HCl Gel 0,4% post

8 8 8 8 8

0.074 0.627 0.595 0.742 0.833

Normal Normal Normal Normal Normal

Table 5.1 hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05).

5.2 Uji Homogenitas Data

Data proliferasi kolagen diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji

Levene’s test. Disajikan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Proliferasi Kolagen antar Kelompok Perlakuan

Kelompok Subjek F p Keterangan

Proliferasi kolagen Pre

Proliferasi kolagen

Post

0,351

2,493

0,789

0,111

Homogen

Homogen

Tabel 5.2 hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05).

Page 75: ni luh putu sri maryuni adnyasari

5.3 Kolagen 5.3.1 Analisis komparabilitas

Analisis komparabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan, karena sebelum

perlakuan (pre-test) hanya mempergunakan satu kelompok dengan jumlah tikus 8

ekor. Hasil analisis deskriptif disajikan pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Rerata Proliferasi Kolagen Sebelum Diberikan Tetrasiklin HCl Gel

Kelompok Subjek N Rerata Kolagen SB

Kontrol (pre-test)

8

132,64 14,78

Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok

kontrol (pre-test) adalah 132,64±14,78.

5.3.2 Analisis efek pemberian Tetrasiklin HCl Gel

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata proliferasi kolagen pada

gingiva tikus meradang antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa

Page 76: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Tetrasiklin HCl Gel. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan

pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Perbedaan Proliferasi Kolagen pada Gingiva Tikus Meradang Antar Kelompok

Sesudah Diberikan Tetrasiklin HCl Gel

Kelompok Subjek N Rerata Kolagen SB F p

Kontrol (Aplikasi Gel)

Tetrasiklin HCl Gel 0,2 %

Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %

Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %

8

8

8

8

136,24

74,63

45,54

16,64

5,34

4,67

5,22

2,36

403,96 0,001

Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok

kontrol (aplikasi gel) adalah 136,24±5,34, median kelompok Tetrasiklin HCl Gel

0,2% adalah 74,63±4,67, median kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah

45,54±5,22, dan median kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah 16,64±2,36.

Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F

=403,96 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata proliferasi kolagen pada

keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Page 77: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Proliferasi Kolagen Sebelum dan Sesudah Perlakuan antar Kelompok

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference – test (LSD). Hasil uji

disajikan pada tabel 5.5.

Page 78: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Tabel 5.5 Analisis Komparasi Kolagen Sesudah Perlakuan antar Kelompok

Kelompok Beda Rerata p

Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % 61,61 0,000*

Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % 90,70 0,000*

Kontrol dan Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % 119,60 0,000*

Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % dan Tetrasiklin HCl

Gel 0,3 % 29,09 0,000*

Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % dan Tetrasiklin HCl

Gel 0,4 % 57,99 0,000*

Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % dan Tetrasiklin HCl

Gel 0,4 % 28,90 0,000*

*Berbeda Bermakna

Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:

1. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan

kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 %

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

2. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan

kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 %

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

Page 79: ni luh putu sri maryuni adnyasari

3. Rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol berbeda bermakna dengan

kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 %

lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).

4. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % berbeda

bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % (rerata kelompok

Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin

HCl Gel 0,2 %).

5. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,2 % berbeda

bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok

Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin

HCl Gel 0,2 %).

6. Rerata proliferasi kolagen kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,3 % berbeda

bermakna dengan kelompok Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % (rerata kelompok

Tetrasiklin HCl Gel 0,4 % lebih rendah daripada rerata kelompok Tetrasiklin

HCl Gel 0,3 %).

Page 80: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB VI

PEMBAHASAN

Obyek dalam penelitian ini mempergunakan 40 tikus putih jantan (Rattus

novergicus) berumur 8 – 12 minggu, berat badan 180 – 200 g, dan sehat. Delapan

ekor tikus dipakai sebagai pre-test. Tiga puluh dua ekor tikus yang dipergunakan

untuk post-test dibagi menjadi 4 kelompok yang tidak berpasangan, yaitu satu

kelompok kontrol diberikan aplikasi gel, satu kelompok perlakuan diberikan

Tetrasiklin HCl Gel 0,2%, satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel

0,3%, dan satu kelompok perlakuan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,4%.

Uji perbandingan antara keempat kelompok sesudah perlakuan berupa

pemberian tetrasiklin HCl Gel menggunakan Uji One Way Anova. Berdasarkan hasil

analisis didapatkan bahwa rerata proliferasi kolagen kelompok kontrol (aplikasi gel)

adalah 136,24±5,34, median kelompok tetrasiklin HCl Gel 0,2% adalah 74,63±4,67,

median kelompok tetrasiklin HCl Gel 0,3% adalah 45,54±5,22, dan median kelompok

tetrasiklin HCl Gel 0,4% adalah 16,64±2,36. Analisis kemaknaan dengan uji One

Way Anova menunjukkan bahwa nilai F =403,96 dan nilai p = 0,001, berarti

bahwa rerata proliferasi kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan

perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Data di atas menunjukkan bahwa

terjadi perbedaan pembentukan kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan

perlakuan berupa tetrasiklin HCl Gel secara bermakna.

Page 81: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Berdasarkan hasil di atas terjadi proliferasi kolagen sedang sampai rapat/padat

pada kelompok konsentrasi 0,3%, dan 0,4%, sedangkan pada kelompok konsentrasi

0,2% terjadi proliferasi ringan. Data di atas menunjukkan bahwa tetrasiklin

mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan menghambat

pertumbuhan Actinobacillus actinomycetem comitans, dan mampu merangsang suatu

efek kolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan jaringan dan

mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas yang menghambat sintesis

protein. Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram-positif

dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae, mycoplasma, dan

bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa, contohnya ameba

(Katzung, 2004). Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, tetapi hanya melalui injeksi

intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya

berdasarkan terganggunya sintesa protein kuman (Tan dan Kirana, 2002).

Penelitian Prayitno (1996), yang melibatkan lebih dari 100 subyek telah

dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan bahwa

kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja rata-rata

0,67mm.

Penggunaan tetrasiklin golongan antibiotika dalam terapi periodontal telah

dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, antikolagenase dan anti

inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu

menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak

Page 82: ni luh putu sri maryuni adnyasari

efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan

suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan

di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif

dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang

dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah

diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima

jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan

membuka matrix kolagen (Wahyukundari,2009).

Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena

mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali dibandingkan dalam serum,

sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke

dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana

tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah

(2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap

jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Antibiotik lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat

etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9

inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau

tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan

saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis

meningkat secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang dihasilkan

Page 83: ni luh putu sri maryuni adnyasari

dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky dan

Ciancio, 2006).

Tetrasiklin merupakan suatu kelompok antibiotik yang diproduksi secara alami

dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik.

Antibiotik ini memiliki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan

perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan

bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Page 84: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian aplikasi tetrasiklin HCl Gel didapatkan

simpulan sebagai berikut:

1. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih

mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2%

pada gingiva tikus yang meradang.

2. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih

mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,3%

pada gingiva tikus yang meradang.

7.2 Saran

Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi optimal

aplikasi topikal tetrasiklin HCl Gel terhadap proliferasi kolagen gingiva yang

meradang dengan mempertimbangkan efek toksik obat.

Page 85: ni luh putu sri maryuni adnyasari

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian aplikasi tetrasiklin HCl Gel didapatkan

simpulan sebagai berikut:

3. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih

mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,2%

pada gingiva tikus yang meradang.

4. Pemberian tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4 % lebih

mempercepat proliferasi kolagen dibandingkan dengan konsentrasi 0,3%

pada gingiva tikus yang meradang.

7.2 Saran

Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi optimal

aplikasi topikal tetrasiklin HCl Gel terhadap proliferasi kolagen gingiva yang

meradang dengan mempertimbangkan efek toksik obat. Pemberian pada anak-anak

di bawah umur 7 tahun ( pada masa pertumbuhan benih gigi) dan wanita hamil perlu

pertimbangan khusus .

Page 86: ni luh putu sri maryuni adnyasari

DAFTAR PUSTAKA

Adnyasari, N.L.Pt.S.M. 2011. ”Pemberian Tetrasiklin HCl Gel secara topikal konsentrasi 0,4% lebih mempercepat proliferasi Kolagen Dibandingkan dengan konsentrasi 0,2% dan 0,3 % pada Gingiva Tikus yang Meradang” (Penelitian Pendahuluan). Denpasar: Universitas Udayana.

Alma, B. 2009. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Cet.6. Bandung. Alfabeta. Anonim. 2010. Menghitung Besar Sampel Penelitian. (cited 2011 feb.13).

Available at: URL: http:// suyatno.blog.undip. ac. Id /files/2010/05/ MENGHITUNG-BESAR-SAMPEL-PENELITIAN.pdf.

Anonim. 2010. Gingiva Manusia Normal. (cited 2011 Apr.15). Available at: URL:

http:// nl.wikipedia.org/wiki/Benstand:Healthy_gingiva,jpg Beck, J.D., Arbes, S.J. 2006. Epidemiology Gingival and Periodontal Desease. In:

Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A.,editors. Clinical Periodontology. 10th.Ed. Missouri: Saunders Elsevier.

Budiarto, E. 2002. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta. EGC. Dahan, M., Timmerman , M.F., Winkelhoff , A.J., Velden, U. 2004. The Effect of

Feriodontal Treatment on the Salivary Bacterial Load and Early Plaque Formation. Journal of Clinical Periodontal., Vol.31.p.972.

Daliemunthe, S.H. 1995. Pengantar Perawatan Klinis Periodonsia. Medan.

Universitas Sumatera Utara Pres. Hal.103. Fiorellini, J.P., Ishikawa, S.O., Kim, D.M. 2006. a. The Gingiva. In: Newman. G.

N., Takei.H.H, Caranza.F.A. (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.

Fiorellini, J.P., Kim.D.M., Ishikawa.S.O. 2006. b. Gingival Inflammation. In:

Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A. (editors). Clinical Periodontology. 10th.Ed.Missouri. Saunders Elsevier.

Page 87: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Gilangrasuna. 2010. Histopatogenesis Gingivitis dan Periodontitis. (cited 2011 feb. 13). Available from:URL: http:// gilangrasuna. wordpress. com/2010/05/16/ histopatogenesis -gingivitis- dan-periodontitis/

Haryono. 2006. Proses Penyembuhan Jaringan Gingiva setelah Terapi Kuretase (Studi Pustaka). (cited 2010 jan. 9). Available from:URL: http:// adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1- 2006- hariyonomo-2162&PHPSESSID =8a7a5c0c4786e87e5f0855c3ca4c5702

Hinrichs, J. E. 2006. The Role of Dental Calculus and Other Predisposing Factor. In: Newman. G.N., Takei. H. H., Caranza. F. A., (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.

Jolkozsky, D.L., Ciancio,S. 2006. Chemoteraphy Agent. In: Newman.G.N., Takei.

H.H, Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10th. Ed. Missouri. Saunders Elsevier.

Julica, M.P. 2009. Pengamatan Keadaan Epitel Lidah, Bukal, Gingiva, Palatum, dan

Dasar Mulut dengan Prosedur Pembuatan Preparat Apusan. (cited 2011 Feb. 13 ). Available from:URL: http://belindch.wordpress.com/2009/12/07/sitologi-sel-epitel-rongga-mulut/

Karlina., Siagian, R.I., Wijaya, A. 2009. (Cited 2011 Feb. 13 ). Available

from:URL: http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/farmakokinetika-klinik-tetrasiklin/

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. Salemba Medika. Kirkwood, K.L., Nisegard.R.J., Haake.S.K., Miyasaki.K.T. 2006. Immunity and

Inflammation: Basic Concepts. In:Newman.G.N., Takei. H.H, Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10thEd. Missouri . Saunders Elsevier.

Lelyati, S. 1996 Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit Periodontal dan

Penanganannya. Cermin Dunia Kedokteran. No.113. p.17-20. Manson, J.D., Eley, B.M. 1993. Buku Ajar Periodonti. Ed-2. Alih bahasa: drg.

Anastasia. Jakarta. Hipokrates.

Page 88: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Masdin. 2010. Gingivitis. (cited 2011 Feb. 13 ). Available from:URL: http://www. topreference.co. tv/2010/03/ gingivitis.html.

Melatibiyantini, N. 2009. (cited 2011 Maret 24). Available from:URL: http;/www.scribd.com/doc/20852893/penyakit-gingiva-penyakit-periodontal.

Muninjaya. 2002. Langkah-langkah Praktik Penyusunan Proposal Dan Publikasi

Ilmiah. Jakarta. EGC. Novack, M.J. 2006. a. Chronic Periodontitis. In: Newman. G. N., Takei. H.H,

Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology. 10th.Ed. Missouri. Saunders Elsevier.p.494

Novack, M.J. 2006. b. Classification of Diseases and Conditions Affecting the

Periodontium. In: Newman.G.N., Takei.H.H,Caranza.F.A., (editors). Clinical Periodontology.10thEd. Missouri. Saunders Elsevier.p.100.

Novrianzah, R. 2008. Perbedaan Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi Tikus

Wistar Yang Dibalut Kasa konvensional dan Penutup Oklusif Hidrokoloid selama 2 dan 14 Hari (tesis). Semarang: Univ. Diponogoro.

Pocock, S.J. 2008. Clinical Trials : A Practical Approach. New York: John Wiley &

Sons. p.128. Prayitno, S.W., Herman.M.J. 1996. Periodontologi dari Masa ke Masa. Cermin

Dunia Kedokteran. No.113. Prijantojo. 1993. Antiseptik Sebagai Obat Kumur-Peranannya terhadap Pembentukan

Plak Gigi dan Radang Gusi. Lab.Periodontologi. Jakarta : FKG UI, Purwaningsih, A. 2000. Pengaruh Pemberian Tetrasiklin HCl Gel 0,5%setelah

Skeling dan Root Planing terhadap Keadaan Klinis Jaringan Periodontal dan Kadar HbA1c Penderita Diabetes Mellitus Type II. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Putrikoto. 2010. Struktur Kimia Tetrasiklin. (cited 2011 Nov.16) Available from:

http://putrikoto woodpress.com/2010/08/13/tetrasiklin// Quirynen, M., Teugles, W., Haake, S.K., Newman, M.G. 2006. Micriobiology

Periodontal Desease. In: Newman.G.N., Takei.H.H, Caranza.F.A., editors.Clinical Periodontology.10thEd. Missouri. Saunders Elsevier.

Page 89: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Riyanti, E. 2008. Penatalaksanaan Terkini Gingivitis Kronis pada Anak. M.I.Kedokteran Gigi. Vol.23.No.3. Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak. FKG Universitas Gajah Mada. Hal 137-142.

Sadoh, D.R., Watts, T.L.P., Newton, J.T. 2004. Effect of two toothcleaning

frequencies on periodontal status in patients with advanced periodontitis. Journal of Clinical Periodontal., Vol.31: hal.470.

Steinsvoll, S., Helgeland, K., Schenck, K. 2004. Mast Cell-a Role in Periodontal

Disease?. Journal of Clinical Periodontal. Vol.31:Hal.413. Subowo. 2009.Histologi Umum.Ed.2.Jakarta. Sagung Seto. Suryani. 2009. Validasi Metode Analisis Residu Antibiotik Tetrasiklin Dalam

Daging Ayam Pedaging Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. (cited 2010 Jan. 9 ). Available from: URL: http:// repository. ipb.ac.id/ bitstream/handle/ 123456789/12576/G09dsu2_ abstract.pdf?sequence=1

Suwandi, T. 2003. Efek Klinis Aplikasi Subgingival Racikan Gel Metronidasol 25%

dan Larutan Povidon Iodin 10% sebagai Terapi Penunjang Skeling –Penghalusan Akar pada Periodontitis Kronis. (cited 2010 Feb.10 ). Available from: URL:http:/www.ties-metronidazole.com/tesis_abstrak.html.

Syafriel,Y. 1996. Regenerasi Jaringan Periodontium setelah Perawatan Periodontal.

Cermin Dunia Kedokteran no.113.FKG UI. Jakarta. Hal.23-26 Tan, H.T., Kirana, R. 2002. Obat-obat Penting (Khasiat , Penggunaan, dan Efek-

efek Sampingnya). Ed.5. Cet.2. Jakarta. Pt.Elex Media Komputindo. Triyono, B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus

Wistar yang diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak diberi Levobupivakain (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.

Wahyukundari, M.A. 2009. Perbedaan Kadar Matrixmetalloproteinase-8 setelah

scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI. Vol.58 No.1, Januari-April 2009. Surabaya: FKG Airlangga. p. 1-6.

Wulandari, P. 2007. Tetrasiklin Periodontal Fiber sebagai Perawatan Penunjang pada

Penyakit Periodontal. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara.

Page 90: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Lampiran 1 Uji Normalitas Data

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

Statistic df Sig.

Kolagen_post

Kontrol .163 8 .200* .942 8 .627

Tetrasiklin HCl Gel 0,2% .203 8 .200* .938 8 .595

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% .184 8 .200* .953 8 .742

Tetrasiklin HCl Gel 0,4% .209 8 .200* .962 8 .833

Kolagen_pre

Kontrol .187 8 .200* .839 8 .074 Tetrasiklin HCl Gel 0,2% .200 8 .200* .883 8 .202

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% .232 8 .200* .865 8 .135

Tetrasiklin HCl Gel 0,4% .187 8 .200* .839 8 .074

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Page 91: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Lampiran 2 Uji One Way Anova Data Kolagen

Descriptives

Kolagen_post

N Mean

Std. Deviatio

n Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximum

Lower Bound

Upper Bound

Kontrol 8 1.3624E2 5.34434 1.96438 125.9174 146.5576 112.5

0 150.70

Tetrasiklin HCl Gel 0,2% 8 74.6325 4.67472 1.652

76 70.7243 78.5407 65.58 80.49

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 8 45.5400 5.22092 1.845

87 41.1752 49.9048 36.09 54.35

Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 8 16.6412 2.36296 .8354

3 14.6658 18.6167 13.08 20.21

Total 32 68.2628 45.50345

8.04395 51.8571 84.6686 13.08 150.70

Test of Homogeneity of Variances Kolagen2

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Page 92: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Test of Homogeneity of Variances Kolagen2

Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.493 3 28 .111

ANOVA Kolagen2

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 62737.944 3 20912.648 403.958 .000 Within Groups 1449.541 28 51.769 Total 64187.485 31 Lampiran 3 Post Hoc Tests

Multiple Comparisons Kolagen2 LSD

(I) Kelompok (J) Kelompok

Mean Difference

(I-J) Std.

Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

Kontrol Tetrasiklin HCl Gel 0,2% 61.60500* 3.5975

5 .000 54.2358 68.9742

Page 93: ni luh putu sri maryuni adnyasari

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 90.69750* 3.5975

5 .000 83.3283 98.0667

Tetrasiklin HCl Gel 0,4%

119.59625*

3.59755 .000 112.2270 126.9655

Tetrasiklin HCl Gel 0,2%

Kontrol -61.60500* 3.59755 .000 -68.9742 -54.2358

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% 29.09250* 3.5975

5 .000 21.7233 36.4617

Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 57.99125* 3.5975

5 .000 50.6220 65.3605

Tetrasiklin HCl Gel 0,3%

Kontrol -90.69750* 3.59755 .000 -98.0667 -83.3283

Tetrasiklin HCl Gel 0,2% -29.09250* 3.5975

5 .000 -36.4617 -21.7233

Tetrasiklin HCl Gel 0,4% 28.89875* 3.5975

5 .000 21.5295 36.2680

Tetrasiklin HCl Gel 0,4%

Kontrol -119.59625

*

3.59755 .000 -126.9655 -112.2270

Tetrasiklin HCl Gel 0,2% -57.99125* 3.5975

5 .000 -65.3605 -50.6220

Tetrasiklin HCl Gel 0,3% -28.89875* 3.5975

5 .000 -36.2680 -21.5295

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.