Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
i
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
Tentang Pelayanan Kepada
Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(LPPM) IAIN PURWOKERTO
Disusun Oleh :
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para Founding Fathers Indonesia menghendaki agar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
kesejahteraan atau the welfare state1.
Secara lebih lengkap, tujuan Negara Republik Indonesia
dikemukakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke-empat, yaitu; “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Makna dari masing-masing tujuan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Artinya, Negara Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap komponen bangsa, seluruh kekayaan
alamnya, dan seluruh masyarakat Indonesia serta kekayaan nilai-nilai bangsa Indonesia yang dicita-citakan. Nilai-nilai yang harus dilindungi dan dipertahankan tersebut adalah
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu; a) kemerdekaan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, b) cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia, dan c) Pancasila sebagai dasar negara, falsafah bangsa dan pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia.
2. Memajukan Kesejahteraan Umum
Artinya, Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
memajukan kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kesejahteraan orang per orang atau kelompok-kelompok tertentu. Oleh karena itu perlu disusun
suatu sistem yang dapat menjamin terselenggaranya keadilan sosial.
1 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2002), hlm. 58
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2
Selain itu, kesejahteraan yang harus diciptakan bukan hanya sekedar kesejahteraan ekonomis dan material,
melainkan kesejahteraan lahir dan batin. Artinya, kesejahteraan material itu harus terselenggara dalam
masyarakat yang saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing, masyarakat yang bebas dari rasa takut, masyarakat yang hidup dalam kesederajatan
dan kebersamaan atau bergotong royong. Pendek kata, masyarakat adil, makmur dan beradab.
3. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Artinya, Negara Republik Indonesia bertujuan untuk membangun peradaban bangsa, membangun seluruh
rakyat Indonesia menjadi manusia yang cerdas, sehingga bangsa Indonesia akan mampu hadir sebagai bangsa yang beradab yang dicirikan dengan kepribadian nasional yang
bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dari ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila.
4. Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang Berdasarkan Kemerdekaan Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial
Artinya, Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
melakukan politik luar negeri secara bebas dan aktif, ikut berperan aktif secara bebas seperti bangsa-bangsa yang lain dalam menertibkan dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu dimensi terpenting dalam prinsip keadilan
adalah adanya “perlakuan yang sama atau setara” (equal treatment). Artinya orang diperlakukan secara adil apabila ia
diberi kesempatan yang sama dan di bawah pertimbangan keadilan yang juga sama oleh pemerintah atau negara sehingga dengan itu ia bisa menikmati hak-hak dasarnya.2
Hal di atas senada dengan apa yang dikemukakan oleh salah seorang The Founding Fathers Negara Republik
Indonesia, Presiden Soekarno, dalam sebuah ceramah tentang Pancasila yang diselenggarakan oleh liga Pancasila di Istana Negara. Soekarno mengatakan bahwa keadilan sosial ialah
suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia “buat semua orang”, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan.
Cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja.
2 David Miller dalam Miller dan Walzer (ed), Pluralism, Justice and Equality,
(Oxford: Oxford Uni Press, 1995).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
3
Ungkapan Soekarno tentang keadilan sosial tersebut menunjukkan bahwa Soekarno, sebagai salah seorang The Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia, sangat memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai
hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Tentu saja, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang
masa gelap sejarah bangsa Indonesia, dimana bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan, penindasan,
penghinaan dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan Soekarno tentang keadilan sosial tersebut membuktikan bahwa Soekarno ingin mencanangkan keadilan
sosial sebagai “warisan” dan “etika” bangsa Indonesia yang harus diraih dan diwujudkan.3
Upaya untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku
bangsa akan bisa mencapai keadilan sosial jika rakyat Indonesia dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia.
Konsep keadilan sosial yang disampaikan oleh Soekarno itulah yang menjadi aspirasi dominan dan mendapatkan
perhatian penting dalam Undang-undang Dasar 1945. Prinsip keadilan sosial di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mendasari perumusan pasal-pasalnya.
Hal yang perlu difahami adalah bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidaklah berdiri sendiri.
Pemaknaan konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut harus dipahami sebagai ujung harapan dari keempat prinsip atau sila lainnya dalam Pancasila. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan muara amalan sila ketuhanan, ujung dari ekspresi moral kemanusiaan, ujung dari semangat persekutuan sejati bangsa ini, dan ujung
dari pemanfaatan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat dari para pemimpin yang berhikmat dan bijaksana.
Dengan demikian keadilan sosial merupakan norma pokok yang harus menjadi kiblat bagi setiap rezim politik yang memegang tampuk kekuasaan. Norma pokok itu bermakna
dua arah, yaitu; pertama, siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan negara ini haruslah mengerahkan seluruh
kemampuan dan kerangka kebijaksanannya untuk
3 Farrel M Rizky, Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa, (Jakarta :
Penerbit Buku Kompas Gramedia, 2009), hlm. 102.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
4
mewujudkan keadilan sosial. Kedua, kewajiban pemegang kekuasaan untuk mencegah tumbuh apalagi berkembangnya
ketidakadilan.
Dalam arah yang ke-dua di atas negara dituntut
memainkan peranan paling krusial yakni membuat dan menegakkan kebijakan agar struktur-struktur yang meniadakan ketidakadilan dapat bekerja dengan sebaik-
baiknya menegakkan dan mewujudkan aspirasi dominan Undang-undang Dasar 1945 yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Lantas, bagaimana seharusnya negara menuangkan makna keadilan sosial tersebut ke dalam kebijakan negara
dalam rangka pemenuhan hak konstitusional warga Negara ?
Jawabannya adalah bahwa kebijakan negara tersebut haruslah berpijak di atas beberapa fundamen, yaitu; pertama,
kebijakan harus mengarah dan diarahkan kepada cita-cita bangsa yakni masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
Kedua, kebijakan negara ditujukan untuk mencapai tujuan Negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Ketiga, kebijakan harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yaitu berbasis moral
agama, menghargai dan melindungi hak-hak manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dan semua ikatan primordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah
kekuasaan rakyat dan membangun keadilan sosial. Keempat, kebijakan harus dipandu oleh keharusan untuk melindungi
semua unsur dan elemen negara demi integritas ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi atau kedaulatan
rakyat dan nomokrasi atau kedaulatan hukum, serta menciptakan toleransi hidup beragama. Kelima, kebijakan
negara harus mengambil dan memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan nilai keadilan4.
Dalam konteks semua yang telah dikemukakan di atas,
Indonesia sebagai negara multikultural meniscayakan ruang
4 Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat SH, MS
(masa bakti 1 April 2013 sd 1 April 2018) yang disampaikan oleh Sekjend. Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam dialog refleksi 12 Tahun SJSN
(Sistem Jaminan Sosial Nasional) di Gedung Mahkamah Konstitusi (23
November 2016).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
5
koeksistensi (space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi berbagai identitas pembentuk multikulturalitasnya.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa dalam banyak kebijakan negara, sejak pemerintahan kolonial hingga
pemerintahan Orde Baru, menonjol politik monokultural, demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial.
Kebijakan dengan kecenderungan pada politik
monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi antar elemen multikultural, juga menambah potensi alamiah
konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme dan otoritarianisme.
Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting
dalam berbagai konflik multicultural.5
Kebijakan yang mengandung misrekognisi di bidang
apapun secara konseptual sama dengan atau akan berakibat pada terjadinya apa yang disebut dengan “eksklusi sosial”, yaitu proses menghalangi atau menghambat individu,
keluarga, kelompok atau komunitas dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial,
ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh. Meskipun eksklusi sosial ini umumnya terjadi sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah,
akan tetapi, eksklusi sosial bisa juga merupakan dampak dari faktor lain, seperti; diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan.
Melalui proses eksklusi sosial ini individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupannya
terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat6.
Konsep eksklusi sosial ini awalnya muncul di Perancis
pada tahun 1970an. Saat itu, istilah social exclusion digunakan untuk menggambarkan kondisi kelompok-kelompok
marjinal di masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan (the income
5 Suharno, S. Pd., M. Si., Politik Rekognisi Dalam Peraturan Daerah
Tentang Penyelesaian Konflik Di Dalam Masyarakat Multikultural, Disertasi pada
Program Studi S.3 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2011.
6 John Pierson, Tackling Social Exclusion, (London and New York :
Routledge, 2002).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
6
safety nets of the welfare state). Les exclus (mereka yang tereksklusi) tidak mendapatkan hak-hak asasi sebagai warga
negara, entah karena mereka menjadi korban diskriminasi, atau karena mereka bukan warga negara Perancis dan tinggal
di negeri itu sebagai pencari swaka politik. Mereka juga tidak memiliki akses terhadap lembaga-lembaga penting yang dapat menolong dan menyuarakan kepentingan mereka, seperti
serikat dagang atau serikat warga.7
Untuk di Indonesia, salah satu penyebab yang paling
dominan terjadinya fenomena eksklusi sosial tersebut adalah adanya misrekognisi (kehilangan pengakuan) yang dialami oleh sebagian warga negara akibat terjadinya diskriminasi, yang
tampak dalam kebijakan yang monokultural.
Kebijakan yang lahir dari pendekatan politik monokulturalisme ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia
demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Padahal, sebagaimana yang telah dikemukakan, alih alih menciptakan
stabilitas dan integrasi sosial, perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut justru
menjadi variabel penting dalam berbagai konflik multikultural.
Contoh ril terkait dengan kebijakan monokultural yang
mengandung misrekognisi tersebut adalah kebijakan kebebasan beragama/berkeyakinan. Secara konstitusional, negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan
beragama/berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E, dan Pasal 29 UUD Negara RI 1945. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik, yang memberikan jaminan kebebasan beragama / berkeyakinan, yang pada pasal 18 Undang Undang tersebut
dinyatakan, “Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut”.8
Akan tetapi, semua jaminan ini terkikis oleh kecenderungan arus politik penyeragaman (monokulturalisme). Pengikisan jaminan konstitusional kebebasan beragama /
7 John Pierson, Tackling Social Exclusion, (New York, NY: Routledge, 2010),
sebagaimana dikutip oleh Arif Maftuhin dalam artikelnya yang berjudul, “Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal Usul, Teori dan Indikator”, dalam Jurnal Tata Kelola, Volume 19 Nomor 2, Mei 2017, hlm. 93 – 103, (Semarang : Biro
Penerbit Planologi Undip, 2017). 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak Hak Sipil Dan Politik).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
7
berkeyakinan tentu saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Undang Undang
tersebut.
Penyikapan komprehensif atas kecenderungan ini mutlak
diperlukan untuk memastikan implementasi jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga. Jika tidak, maka implementasi jaminan hak-hak
konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga akan mengalami hambatan yang cukup serius.
Apa yang dikemukakan pada bagian terakhir di atas
terjadi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
tersebut menyatakan bahwa “keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database”.
Pasal-pasal tersebut di atas telah mendiskriminasi sebagian warga negara --dalam hal ini warga negara penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang kemudian menyebabkan sebagian warga negara tersebut tereksklusi untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan
hak-hak legalnya.
Beberapa hak konstitusional dan hak legal yang kemudian tidak bisa diperoleh oleh sebagian warga negara
akibat pemberlakuan pasal-pasal tersebut antara lain :
1. Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta
perlindungan atas hak-hak tersebut. Tidak bisa diperolehnya hak ini terjadi karena banyak kasus dimana para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dengan sangat terpaksa mengisi kolom agama pada KK dan KTP dengan salah satu agama yang dianggap sebagai
agama yang telah diakui, dimana hal itu dilakukan dalam rangka menghindari potensi-potensi negatif yang ditimbulkan jika kolom agama tersebut dikosongkan atau
diberi tanda strip.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
8
2. Hak atas layanan kependudukan, dalam bentuk kesulitan mengakses dokumen kependudukan, seperti; KTP
Elektronik, Kartu Keluarga, Akte Nikah, dan Akte Lahir. 3. Hak mendapatkan pekerjaan yang layak, yang kemudian
berimbas pada tidak bisa diperolehnya hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan hak untuk mengembangkan diri.
4. Hak atas jaminan sosial. 5. Hak untuk mengakses modal usaha dari lembaga
keuangan, seperti bank dan/atau koperasi.
6. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan pelajaran agama sesuai dengan agama dan/atau
kepercayaannya. 7. Hak untuk mendapatkan pemakaman umum.
Tereksklusinya sebagian Warga Negara Indonesia untuk
mendapat hak konstitusional dan hak legalnya sebagaimana dikemukakan di atas juga terjadi pada sebagian warga atau
masyarakat di Kabupaten Brebes, dalam hal ini adalah warga atau masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.9
Saat ini, Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “agama” dalam pasal pasal tersebut tidak termasuk aliran
kepercayaan. Hal itu dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan nomor 97/PUU-XIV/2016, yaitu putusan atas perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pengujian tersebut diajukan oleh empat orang
penghayat kepercayaan, yaitu; Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.
Dalam putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
dinyatakan bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat
jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan
9 Lihat Dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
9
hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang
dianut di dalam KK ataupun KTP-el.
Artinya keterangan mengenai kolom agama pada Kartu
Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau
bagi penghayat kepercayaan yang semula tidak diisi atau diberi tanda strip, berdasarkan putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sekarang diisi dengan “penghayat
kepercayaan.
Putusan MK sebagaimana dikemukakan di atas tentu
saja membutuhkan tindak lanjut yang relevan dalam rangka menghapuskan eksklusi sosial, dan dalam waktu yang bersamaan menciptakan inklusi sosial, khususnya di wilayah
Kabupaten Brebes, dan tindak lanjut yang tepat untuk hal tersebut adalah dengan membentuk regulasi berupa Peraturan
Daerah Kabupaten Brebes yang mengatur tentang Pelayanan Kepada Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Brebes.
Upaya tindak lanjut sebagaimana dikemukakan terakhir di atas sejalan dengan “Program Peduli”, yaitu sebuah prakarsa Pemerintah Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan
inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan
program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran tersebut adalah: (1) Anak dan remaja rentan, (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya
alam, (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama, (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi Sosial, dan (6) Waria.
Dalam konteks 6 kelompok sasaran inklusi sosial di atas, fokus sasaran Peraturan Daerah Kabupaten Brebes yang
mengatur tentang Pelayanan Kepada Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Brebes ini adalah kelompok masyarakat korban diskriminasi berbasis agama.
Adapun fokus pengaturan Peraturan Daerah ini adalah pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga
negara, khususnya masyarakat atau warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Brebes, yang terganggu akibat dari diskriminasi berbasis
agama.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
10
B. Identifikasi Masalah
Terkait dengan persoalan inklusi sosial dalam menjamin
kesetaraan warga negara --khususnya masyarakat atau warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di
Kabupaten Brebes-- dalam memperoleh hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Dalam konteks upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai negara multikultural, Indonesia meniscayakan ruang koeksistensi
(space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi berbagai identitas pembentuk multikulturalitasnya.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa dalam banyak kebijakan negara, sejak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan Orde Baru, menonjol politik monokultural.
Kebijakan dengan kecenderungan pada politik monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi
antar elemen multikultural, juga menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme
dan otoritarianisme. Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan
ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting dalam berbagai konflik multikultural.
2. Kebijakan yang mengandung misrekognisi di bidang apapun secara konseptual sama dengan atau akan berakibat pada terjadinya apa yang disebut dengan “eksklusi sosial”, yaitu
proses menghalangi atau menghambat individu, keluarga, kelompok atau komunitas dari sumber daya yang
dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh.
3. Untuk di Indonesia, salah satu penyebab yang paling
dominan terjadinya fenomena eksklusi sosial tersebut adalah adanya misrekognisi (kehilangan pengakuan) yang dialami oleh sebagian warga negara akibat terjadinya
diskriminasi, yang tampak dalam kebijakan yang monokultural. Salah satu kebijakan monokultural yang
mengandung misrekognisi tersebut adalah kebijakan kebebasan beragama/berkeyakinan. Dampak dari kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dalam
kebijakan kebebasan beragama/berkeyakinan tersebut adalah lahirnya kebijakan lain yang juga mengandung
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
11
misrekognisi terkait kehidupan beragama / berkeyakinan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang mengandung misrekognisi terhadap penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang pada gilirannya melahirkan diskriminasi.
4. Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016, telah membuka
ruang bagi upaya untuk menciptakan inklusi sosial, khususnya terkait dengan pemenuhan hak-hak
konstitusional dan hak-hak legal warga negara --dalam hal ini para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang sebelumnya terdiskriminasi dan kemudian
tereksklusi, di bidang yang secara langsung menjadi implikasi dari administrasi kependudukan.
5. Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 sebagaimana disebut dalam masalah nomor 4 di atas tentu saja meniscayakan pengaturan yang bersifat lebih teknis terkait
dengan berbagai hal yang menjadi implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sayangnya, pengaturan dimaksud sampai saat ini belum ada.
6. Mengingat implikasi dari Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut adalah menyangkut pemenuhan hak-
hak konstitusional dan hak-hak legal para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa yang bersifat mendasar, maka keberadaan pengaturan tentang hal
tersebut menjadi sesuatu yang mendesak keberadaannya.
7. Untuk wilayah Kabupaten Brebes, dimana sebelum keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
sebagian warga di sebagian wilayahnya --dalam hal ini adalah warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa-- mengalami diskriminasi, misrekognisi, dan eksklusi dalam pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya, perlu segera dibentuk aturan atau
regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016
tersebut.
8. Meskipun regulasi di tingkat nasional terkait tindak lanjut atas Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sampai
saat ini belum ada, upaya untuk membentuk aturan atau regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
12
dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sebenarnya dapat dilakukan, sepanjang bidang-
bidang yang akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut tersedia payung hukumnya. Artinya, berbagai
payung hukum yang terkait dengan bidang-bidang yang akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut dapat dijadikan dasar atau rujukan dalam membentuk aturan
atau regulasi yang bersifat lebih spesifik untuk diterapkan di Kabupaten Brebes.
C. Tujuan Dan Kegunaan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah di
atas, maka tujuan dari penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa ini adalah :
1. Untuk merumuskan permasalahan dan persoalan yang
dihadapi terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan yang kemudian berimplikasi pada diskriminasi dan eksklusi sosial sebagian warga --warga
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--Kabupaten Brebes dalam memenuhi hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya. Perumusan permasalahan tersebut
dilanjutkan dengan upaya untuk menemukan solusinya.
2. Untuk merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi
sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai dasar
hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Kabupaten Brebes, khususnya dalam hal yang terkait
dengan kebebasan beragama/berkeyakinan yang kemudian berimplikasi pada diskriminasi dan eksklusi sosial sebagian
warga --warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa-- Kabupaten Brebes dalam memenuhi hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya.
3. Untuk merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Peraturan Daerah
tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun kegunaan Naskah Akademik ini adalah sebagai
acuan atau referensi dalam penyusunan dan pembahasan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
13
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
D. Metode Penelitian Naskah Akademik
Penelitian dalam rangka penyusunan Naskah Akademis
ini adalah penelitian hukum, yaitu penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada Ilmu Hukum10, yang menurut jenis, sifat dan tujuannya dibedakan atas penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris11. Terkait dengan hal itu, jenis penelitian yang dominan digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder12. Namun demikian, data yang dijadikan acuan
dalam penelitian ini merupakan data empirik yang diperoleh dari berbagai sumber yang relevan.
Dari sudut pandang bentuk, tipe penelitian ini adalah penelitian preskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai
dengan keadaan/fakta yang ada13. Tipe penelitian ini sejalan dengan karakteristik Ilmu Hukum yang bersifat preskriptif, yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum14. Sifat preskriptif ini digunakan untuk menganalisis
dan menguji nilai-nilai yang terdapat dalam hukum, baik nilai-nilai dalam wilayah hukum positif, maupun nilai-nilai yang melatarbelakangi dan menyemangati lahirnya hukum tersebut.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian dalam rangka penyusunan naskah akademik ini adalah :
1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
10 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta : CV. Ganda, 2007),
hlm. 29, sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945”, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, hlm. 141. 11 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Penerbit
Sinar Grafika, 2002), hlm. 13. 12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 13. 13 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum ...., hlm. 8-9. 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2006),
hlm. 22.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
14
Pendekatan ini merupakan keharusan dalam sebuah penelitian hukum normatif. Pendekatan ini digunakan
untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya15.
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual digunakan karena pendekatan perundang-undangan saja belum cukup untuk
mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif. Pendekatan konseptual dilakukan dengan menggunakan
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di bidang Ilmu Hukum dan ilmu lainnya yang relevan. Dengan demikan diharapkan
akan terbangun argumentasi hukum dalam menjawab persoalan yang diteliti.
Dalam penelitian hukum normatif pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan, dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan
dalam penelitian hukum normatif16.
Selanjutnya, untuk mempertajam studi kepustakaan, dilakukan juga diskusi kelompok terfokus (FGD), workshop
dan konsultasi ahli. FGD, workshop dan konsultasi ahli ditujukan untuk menghimpun pendapat dan masukan dalam
rangka mempertajam kajian yang dilakukan.
-- --
15 Ibid, hlm. 93. 16 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum ...., hlm. 50.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIK
Meskipun dokumen naskah akademik ini diberi nama
“Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, akan tetapi isi dari
Dokumen Naskah Akademik ini tentu saja tidak sedang menyampaikan kajian yang diorientasikan untuk menghasilkan landasan akademis dalam rangka pengaturan
tentang “agama” atau “kehidupan beragama” di Kabupaten Brebes. Sebagaimana diketahui bahwa urusan agama atau
kehidupan beragama adalah salah satu urusan yang menjadi urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang
penyelenggaraan urusan pemerintahan absolut tersebut dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat atau dilimpahkan
wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi17.
Dokumen naskah akademik ini berisi kajian tentang “eksklusi sosial” yang merupakan implikasi dari masalah yang berhubungan dengan agama dan/atau keyakinan warga atau
masyarakat Kabupaten Brebes. Secara lebih khusus, masalah yang berhubungan dengan agama dan/atau keyakinan warga
atau masyarakat Kabupaten Brebes tersebut berpangkal dari pencatatan data tentang agama atau keyakinan warga dalam dokumen kependudukan atau administrasi kependudukan,
yang kemudian berimplikasi terhadap berbagai hal yang terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga.
Kerangka dan orientasi dari kajian ini adalah perwujudan welfare state atas dasar atau prinsip keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, melalui pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara Indonesia, dan secara spesifik adalah masyarakat Kabupaten Brebes. Artinya,
muara dari kajian ini adalah argumen dan solusi yang berupa pengaturan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak
legal warga yang berhubungan erat dengan dan/atau merupakan implikasi dari data administrasi kependudukan
17 Lihat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 10 Ayat (1) dan (2).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
16
warga dalam bidang atau urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Brebes18.
Dengan demikian, alur paparan bagian ini dimulai dengan kajian tentang “perwujudan cita-cita bangsa Indonesia”,
dilanjutkan dengan kajian tentang “hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara Indonesia”. Berikutnya, paparan dilanjutkan dengan kajian tentang “potensi paradoks
(janus face) agama dalam konteks perwujudan cita-cita bangsa Indonesia”.
Alur berikutnya, paparan berisi kajian tentang implikasi potensi negatif dari janus face agama, khususnya diskriminasi yang diakibatkan oleh “agama”, terutama terkait dengan
“eksklusi sosial”.
Paparan diakhiri dengan kajian tentang kemestian perwujudan “inklusi sosial”, yang sama artinya dengan
kemestian mengurangi atau menghilangkan “eksklusi sosial”, dalam hubungannya dengan upaya mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Secara keseluruhan, paparan pada bagian ini melibatkan baik kajian teoritis atau konseptual, maupun kajian empiris.
A. Cita-Cita Bangsa Indonesia dan Upaya Mewujudkannya
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan naskah akademik ini, dalam alam pikiran the founding fathers kita19, negara Indonesia merdeka yang dikehendaki adalah negara kesejahteraan atau the welfare
state, bukan negara liberal atau bentuk-bentuk negara lainnya. Negara kesejahteraan atau welfare state dalam hal
ini merupakan suatu manifestasi pemerintahan yang demokratis yang menegaskan bahwa negara
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyatnya.
18 Lihat kembali Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 11, 12, dan 13, lihat juga Peraturan
Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, Pasal 2 dan
4. 19 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2002), hlm. 58
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
17
Dalam kerangka itu dapatlah dikatakan bahwa pendirian negara bangsa Indonesia merdeka memiliki tujuan utama
untuk memuliakan dan menghadirkan rakyat Indonesia yang berkesejahteraan. Sejalan dengan itulah Undang
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengisyaratkan bahwa ujung pencapaian nilai-nilai kebangsaan harus bermuara pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam suatu ceramah tentang Pancasila yang diselenggarakan oleh liga Pancasila di Istana Negara,
Presiden Sukarno mengatakan keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan, semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja20.
Konsep keadilan sosial yang disampaikan oleh Bung
Karno demikian itulah yang menjadi aspirasi dominan dan mendapatkan perhatian penting dalam UUD 1945. Prinsip keadilan sosial di dalam pembukaan UUD 1945 mendasari
perumusan pasal-pasal Undang Undang Dasar.
Komitmen pada keadilan sosial ditunjukan secara
nyata, misalnya dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan negara. Pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan negara tersebut
menekankan pemilihan partisipasi dan daulat rakyat. Demikian pula dalam pasal-pasal yang menyangkut
pengelolaan perekonomian. Pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan perekonomian juga menekankan pemenuhan hak warga dan jaminan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Namun demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu tidaklah berdiri sendiri. Makna dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut harus
dipahami sebagai muara atau ujung harapan dari keempat prinsip atau sila lainnya dalam Pancasila. Artinya, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan muara dari amalan sila ketuhanan, ujung dari ekspresi moral kemanusiaan, ujung dari semangat persekutuan sejati
bangsa ini, dan ujung dari pemanfaatan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat dari para pemimpin yang berhikmat
dan bijaksana.
20 Farrel M Rizky, Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa, (Jakarta :
Penerbit Buku Kompas Gramedia, 2009), hlm. 102.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
18
Dengan demikian keadilan sosial merupakan norma pokok yang harus menjadi kiblat bagi setiap rejim politik
yang memegang tampuk kekuasaan. Norma itu bermakna dua arah; pertama, siapa pun yang memegang tampuk
kekuasaan negara ini haruslah mengerahkan seluruh kemampuan dan kerangka kebijaksanaannya untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, kewajiban pemegang
kekuasaan untuk mencegah tumbuh apalagi berkembangnya ketidakadilan. Dalam hal inilah negara
dituntut memainkan peranan paling krusial, yakni membuat dan menegakkan kebijakan agar struktur-struktur yang meniadakan ketidakadilan dapat bekerja
dengan sebaik-baiknya menegakkan dan mewujudkan aspirasi dominan Undang-undang Dasar 1945 yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menuangkan makna keadilan sosial ke dalam kebijakan negara dalam rangka pemenuhan hak
konstitusional warga negara, ada beberapa fundamen yang harus dijadikan sebagai pijakan, yaitu;
- Pertama, kebijakan harus mengarah dan diarahkan
kepada cita-cita bangsa yakni masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
- Kedua, kebijakan negara harus diarahkan untuk mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
- Ketiga, kebijakan harus dipandu oleh nilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara yaitu berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak-hak manusia
tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dan semua ikatan primordialnya, meletakkan
kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat dan membangun keadilan sosial.
- Keempat, dipandu keharusan untuk melindungi semua
unsur dan elemen negara demi integritas ideologi dan teritori, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan
kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi atau kedaulatan rakyat dan nomokrasi atau kedaulatan hukum, serta menciptakan toleransi hidup beragama.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
19
- Kelima, kebijakan negara harus mengambil dan memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan
nilai keadilan.
Dalam konteks apa yang telah dipaparkan di atas,
salah satu contoh penting kebijakan negara dalam rangka mewujudkan keadilan sosial tersebut adalah kebijakan dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara atas
jaminan sosial.
Hak atas jaminan sosial merupakan salah satu hak
asasi manusia karena hak atas jaminan sosial pada dasarnya berbicara tentang hak hidup. Berikutnya, hak asasi untuk hidup bagi manusia sudah barang tentu tidak
berhenti pada kemampuan bertahan hidup saja. Setiap manusia, siapapun itu, berhak untuk memiliki standar hidup yang layak, yang menjangkau hak atas kesehatan,
hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan hak-hak lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, hak atas
jaminan sosial berbicara mengenai penjaminan ketersediaan kebutuhan hidup demi pemenuhan standar kehidupan yang layak.
Oleh karena itulah, hak atas jaminan sosial sesungguhnya berbicara tentang kesaling-terikatan dan
kesaling-bergantungan hak asasi manusia.
Dalam perspektif hak asasi di bidang sipil dan politik, hak jaminan sosial mengandung aspek perlindungan hak
atas hidup, hak atas keamanan seseorang, dan juga hak atas perlindungan dari siksaan fisik maupun segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Di bidang ekonomi, sosial dan
budaya, hak atas jaminan sosial berbicara tentang pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan
dan lain sebagainya. Seiring dengan konstitusionalitas hak asasi manusia, hak atas jaminan sosial ditegaskan dalam UUD 1945.
Dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dinyatakan “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat”. Demikian pula dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 disebutkan “negara mengembangkan
jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
20
Artinya, UUD 1945 mengakui hak atas jaminan sosial dan mewajibkan negara mengembangkan jaminan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam lingkup hak asasi manusia, dimanapun,
secara konstitusional, kewajiban negara untuk memastikan terjaminnya kehidupan yang layak diletakan.
Dalam UUD 1945, dasar kewajiban konstitusional
penyelenggaraan negara untuk memenuhi hak warga negara atas jaminan sosial dinyatakan dalam Pasal 28I ayat (4), “perlindungan pemajuan penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. Pada Pasal 34 ayat (3) UUD
1945 juga dinyatakan, “negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak”.
Dari apa yang telah dipaparkan pada bagian terakhir di atas menunjukkan bahwa pemenuhan hak atas jaminan
sosial sesungguhnya merupakan bagian dari ekspresi tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya.
Dalam kerangka tersebut, kewajiban negara dapat
dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu;
- kewajiban menghormati (to respect);
- kewajiban melindungi (to protect); dan
- kewajiban memenuhi (to fulfill).
Kewajiban memenuhi mengharuskan negara untuk
bersikap proaktif. Tujuannya untuk memperkuat akses masyarakat atas sumber daya. Kewajiban ini menuntut
intervensi negara, menuntut campur tangan negara, sehingga terjamin kesempatan setiap warga negara untuk memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi melalui
usaha sendiri.
Dalam perspektif lain, kewajiban negara dalam
memenuhi hak konstutisional warganya dapat dibagi dalam dua tugas pokok, yaitu proteksi dan realisasi. Proteksi atau perlindungan mengharuskan negara untuk menjamin dan
melindungi hak konstitusonal. Negara hanya memberi regulasi secara konstitusional agar semua waga negara dapat menikmati hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki.
Sementara dari aspek realisasi merupakan kewajiban yang menuntut negara untuk bertindak secara aktif dalam
memenuhi hak konstitusional warga negara.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
21
Selain itu, situasi bahwa tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati hak
konstitusionalnya atas jaminan sosial merupakan isu keadilan. Disinilah upaya mewujudkan keadilan menuntut
agar ketidakadilan ditiadakan. Setiap orang harus diperlakukan menurut dan sesuai dengan hak-haknya. Tidak boleh ada perbedaan yang sewenang-wenang dalam
memperlakukan warga negara. Dalam konteks itu, menunda atau bahkan menolak pemenuhan hak konstitusional warga negara merupakan ketidakadilan,
yang sama artinya dengan melanggar atau menentang konstitusi. Lebih jauh lagi, menunda pemenuhan hak asasi
manusia sama artinya menentang kemanusiaan itu sendiri.
Sebagai hukum tertinggi, UUD 1945 harus dilaksanakan dan ditegakkan termasuk di dalamnya yang
menyangkut pemenuhan hak konstitusional warga negara. Jika tidak ditegakkan, konstitusi tak berarti apa-apa.
Lebih lanjut, ketentuan konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Dalam
kerangka penegakan konstitusi, norma-norma di dalam konstitusi diimplementasikan melalui legislasi di satu sisi, dan diterapkan serta ditegakkan melalui pengadilan,
melalui ajudikasi konstitusional, di sisi lain.
Legislasi berperan penting untuk memperjelas dan
merinci norma konstitusi serta mengatur implementasinya. Sedangkan ajudikasi konstitusional --yang diperankan oleh Mahkamah Konstitusi-- berperan dalam melakukan reviu
konstitusional pasca legislasi. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa legislasi bersifat aktif sedangkan ajudikasi konstitusional bersifat pasif (yaitu manakala
dimajukan ke Mahkamah Konstitusi).
B. Hak-Hak Konstitusional Dan Legal Warga Negara Indonesia
Hak warga negara terdiri atas hak konstitusional dan
hak legal. Hak legal ialah hak yang diberikan kepada warga negara oleh peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang Dasar 1945. Adapun hak konstitusional adalah hak yang diberikan kepada warga negara dan dijamin oleh konstitusi negara yakni UndangUndang Dasar
1945.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
22
Hak konstitusional dapat dilihat sebagai timbal balik atas kewajiban konstitusional sehingga hak konstitusional
dan kewajiban konstitusional tidak dapat dipisahkan, dimana dapat dijelaskan bahwa adanya hak konstitusional
dikarenakan adanya kewajiban konstitusional yang dilahirkan oleh UUD 1945. Kewajiban konstitusional merupakan konsekuensi warga negara dalam
kedudukannya sebagai warga negara dalam melaksanakan tindakan yang diwajibkan oleh negara. Misalnya kewajiban Negara untuk mengalokasi dana pendidikan 20 % dari
APBN, serta kewajiban untuk belajar, semua melahirkan hak konstitusional bagi warga Negara, terhadap siapa
Negara bekerja, serta yang menjadi tujuan Negara itu sendiri.
1. Kedudukan HAM Sebagai Hak Konstitusional
Warga Negara Ditinjau Dari UUD 1945
Dalam perjalananan perkembangan kehidupan
bernegara dewasa ini, Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi menjadi sesuatu yang sangat penting, dimana sebagai konsekuensi negara hukum (rechtstaat), penjaminan HAM harus diwujudkan melalui penghormatan dan dijunjung tinggi serta dijamin
perlindungannya oleh negara.
Sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di
Indonesia hak asasi tersebut diwujudkan dalam suatu legitimasi hukum. Bentuk legitimasi tersebut terdapat pada batang tubuh UUD 1945. Norma-norma yang
terdapat dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur organisasi kekuasaan lembaga negara dan hubungan
antar kekuasaan lembaga negara yang melahirkan kewenangan konstitusional (constitutional authorities)
dalam penyelenggaraan kehidupan negara, tetapi juga mengatur hubungan negara dengan warga negara dalam konteks kewenangan negara tersebut yang
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
23
berhadapan dengan hak konstitusional warga negaranya.
Dalam hubungan tersebut, hak warga negara diatur dalam UUD 1945 sebagai bentuk perlindungan
hak warga negara yaitu hak konstitusional warga negara atas tindakan negara dalam penyelenggaraan negara. Hak tersebut tidak boleh dilanggar dan menjadi
koridor pembatas tindakan negara dalam peyelenggaraan negara baik hak asasi maupun hak konstitusional warga negara.
Sebagaimana dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak
asasi telah mendapatkan jaminan konstitusional dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan
Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut21 :
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya22.
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah23.
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi24.
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu25.
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
21 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta :
Mahakamah Konstitusi, 2010), hlm. 3. 22 Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945. 23 Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua. 24 Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua. 25 Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
24
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali26.
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya27.
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat28.
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia29.
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi30.
10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain31.
11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan32.
12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan33.
26 Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua. 27 Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua. 28 Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua. 29 Dari Pasal 28F Perubahan Kedua. 30 Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua. 31 Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua. 32 Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua. 33 Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
25
13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat34.
14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun35.
15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia36.
16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya37.
17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum38.
18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja39.
19. Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan40.
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat
mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut41.
34 Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua. 35 Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua. 36 Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua. 37 Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua. 38 Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua. 39 Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua. 40 Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua. 41 Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang
perumusannya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini
perumusannya dibalik dengan subjek negara.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
26
21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras
dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa42.
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya43.
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah44.
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan45.
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak
42 Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika
perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
43 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan
penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam
lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan
perumusan alternatif 1 butir „c‟ dan „a‟. Akan tetapi, khusus mengenai anak
kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja,
karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang
meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat
menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak
selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan
oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti
pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang
seharusnya dijamin oleh UUD. 44 Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua. 45 Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan
perkataan “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan,
menegakkan, dan melindungi....”
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
27
Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang46.
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis47.
Dapat disimpulkan bahwa hak konstitusional
warga negara ialah HAM yang dimuat dalam Pasal 28A hingga 28J UUD 1945. Meskipun demikian hak
konstitusional tidak selalu identik dengan HAM. Hal ini dapat dilihat pada hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, hak ini tidak
berlaku pada orang yang bukan warga negara. Oleh karena itu, hak konstitusional berlaku bagi warga negara yang memenuhi syarat menurut hukum sebagai
warga negara. Hal ini berbeda dengan hak asasi yang berlaku secara universal.
Selain itu, dari pengertian hak asasi disimpulkan bahwa hak asasi tidak tergantung pada negara, apakah negara memberi hak asasi pada warga negaranya atau
tidak ?
Hal ini dikarenakan hak asasi telah ada sebelum lahirnya negara. Jadi timbul suatu pertanyaan bahwa
hak asasi itu siapa yang memberikannya ?
Dalam menjawab pertanyaan ini, dapat kita lihat
dari pengertian hak asasi. Hak asasi itu diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang mana hak asasi bersifat kodrati yang telah melekat sejak manusia itu dilahirkan
dimuka bumi ini sebagai anugerah-Nya. Jadi dapat dikatakan sejak Adam sebagai manusia pertama yang
46 Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan
undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan
tegas dalam UUD. 47 Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
28
diciptakan Tuhan, maka sejak saat itulah hak asasi itu telah ada.
Sementara itu seseorang yang berstatus kewarganegaraan dalam suatu negara memperoleh hak
warga negaranya. Hak konstitusional warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan oleh karena status kewarganegaraan yang
terlegitimasi dalam UUD 1945. Hak ini merupakan hasil legitimasi yang diakui dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dapat
dikatakan hak konstitusional merupakan hak warga negara.
Hak warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara atas status kewarganegaraan yang menurut peraturan perundang-undangan. Di dalam hak warga
negara disamping hak konstitusional, terdapat hak sipil. Hak sipil merupakan hak yang diberikan dan
dijamin dalam peraturan perundang-undangan di luar konstitusi yang diberikan oleh negara oleh karena status kewarganegaraan seseorang.
Jika ke-27 ketentuan yang disebutkan diatas diperluas dengan maksud menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga
mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi dan hak
warga negara dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi, yaitu48 :
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan
menjadi :
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala
bentuk perbudakan.
d. Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya.
48
Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak ......., hlm. 6.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
29
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
j. Setiap orang berhak akan status
kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan
kembali ke negaranya.
l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif tersebut.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang dapat dirumuskan menjadi :
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara
damai.
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
30
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa.49
l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian
dari kebudayaan nasional.
m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap
agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.50
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan, yang dapat dirumuskan menjadi :
49 Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan
sistematika perumusan keseluruhan Pasal ini dengan subjek negara dalam
hubungannya dengan warga negara. 50 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan
penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam
lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan
perumusan alternatif 1 butir „c‟ dan „a‟. Akan tetapi, khusus mengenai anak
kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi penduduk dari penyebaran
paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja,
karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat
menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak
selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi
domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti
pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang
seharusnya dijamin oleh UUD.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
31
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang
terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk
mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan
yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik
dan mental serta perkembangan pribadinya.
e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta
dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam
peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat
perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan
perlakuan khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi
Manusia, yang dapat dirumuskan menjadi :
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
32
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai
dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak
asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan
kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Dalam menjalankan kehidupan bernegara, Indonesia sebagai negara hukum telah merumuskan
hak konstitusional warga negara. Hak kostitusional dapat dilihat dari uraian diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
3. Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
4. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk meribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.
5. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
6. Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan.
7. Setiap warga negara berhak untuk berserikat,
berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
8. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan
dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
9. Setiap warga negara dapat diangkat untuk
menduduki jabatan-jabatan publik.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
33
10. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
11. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil,
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
12. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta
dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
2. Bentuk Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara
a. Penghormatan Hak Konstitusional
Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, Indonesia telah mengakui dan menghormati hak
konstitusional. Penghormatan tersebut ditemukan dalam Pancasila sebagai ideologi atau pandangan dasar negara Indonesia. Dalam sila ke-2 yang
menyatakan : Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila ke-5 yang menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bertolak dari kedua sila tersebut bahwa dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia harus
melihat nilai kemanusiaan yang terdapat di dalam diri manusia yang merupakan hal yang kodrati yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan di dunia
ini.
Penghormatan nilai kemanusiaan ini diaplikasikan ke dalam setiap tindakan pemegang
kekuasaan negara. Oleh karena itu, warga negara harus diperlakukan secara beradab oleh pemegang
kekuasaan negara. Bentuk penghormatan tersebut harus mencerminkan keadilan yang mana keadilan tersebut mencakup seluruh aspek sosial
masyarakat.
b. Pemenuhan Hak Konstitusional
Pengakuan hak konstitusional mengisyaratkan adanya pemenuhan hak konstitusional warga negara. Pemenuhan hak konstitusional warga
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
34
negara dituangkan dalam UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. Pemenuhan hak konstitusional warga
negara dimuat dalam Pasal 27 hingga Pasal 32 UUD 1945, terlebih lagi dalam pasal 28 A Hingga Pasal 28
J.
Pemenuhan hak tersebut merupakan jaminan hak warga negara yang mana harus dijunjung tinggi
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Semua bentuk kebijakan ataupun Produk hukum yang dibuat oleh pemegang kekuasaan negara tidak
dapat mengesampingkan hak yang termuat dalam UUD 1945.
Pemenuhan hak tersebut sebagai bentuk tindak lanjut dari penghormatan hak konstitusional warga negara.
c. Perlindungan Hak Konstitusional
Keberadaan hak konstitusional sebagai batasan
tindakan pemegang kekuasaan negara dalam penyelenggaraan negara yang berhadapan atas hak konstitusional warga negara bermuara pada satu
titik yakni bagaimana hak itu dijamin oleh negara melalui pengaturan dalam konstitusi.
Salah satu acuan dalam menentukan apakah
telah terselenggaranya penjaminan hak konstitusional warga negara ialah adanya
mekanisme hukum yang tegas dalam melindungi hak konstitusional warga negara dari tindakan pemegang kekuasaan negara dalam praktik
kehidupan bernegara.
Di dalam buku I Dewa Gede Palguna dijelaskan ada 2 (dua) mekanisme yang dapat ditempuh dalam
menjamin hak konstitusional warga negara yaitu :
1) Melalui Mekanisme Pengadilan
Perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan guna mempertahankan hak konstitusionalnya dari tindakan
pelanggaran yang mencederai hak konstitusional tersebut yang dilakukan pemegang kekuasaan
negara adalah sebagai berikut :
a) Mekanisme Pengadilan Tata Negara
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
35
Pengadilan tata negara di Indonesia yang dimaksud yakni Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga negara dalam bidang yudikatif yang mempunyai kompetensi
mengadili pengujian konstitusionalitas undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sebagai upaya
tegaknya hak konstitusional warga negara atas kelalaian pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menyusun undang-
undang yang menyebabkan tercederainya hak konstitusional warga negara.
Mekanisme ini merupakan upaya dalam menjamin konstitusionalitas baik judicial review maupun constitutional complaint. Dalam hal ini judicial review dan constitutional complaint harus dibedakan
karena judicial review merupakan upaya pengujian konstitusionalitas atas berlakunya
undang-undang di masyarakat sedangkan constitutional complaint merupakan upaya uji
konstitusionalitas terhadap perbuatan pemegang kekuasaan negara.51 Meskipun demikian, ada kemungkinan pengertian
judicial review dan constitutional complaint bertemu, yaitu takkala pengujian dilakukan
terhadap norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norm) dan yang diuji adalah konstitusionalitas dari
norma itu.52
Kedua mekanisme ini memang
merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh dalam mempertahankan hak konstitusional warga negara. Namun, judicial review harus tetap dipandang sebagai mekanisme hukum dalam menguji
konstitusionalitas undang-undang yang mana dapat dikatakan bahwa uji konstitusionalitas dalam pengertian sempit.
Hal berbeda dengan constitutional complaint, dimana ketika dikaitkan dengan konsep
51 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), Hlm. 153. 52 Ibid.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
36
negara dan kedaulatan, maka constitutional complaint merupakan mekanisme hukum
dalam pengertian luas yang melindungi hak-hak warga negara.
b) Mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara
Di dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyatakan bahwa sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pengertian diatas, diketahui
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang beersifat konkret, individual dan final menimbulkan akibat hukum bagi orang atau
badan hukum perdata.53 Keputusan tersebut dapat digugat apabila keputusan
bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dalam hal ini ada 3 pengertian
bertentangan dengan peraturan perundang-undang, yakni :54
1. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat formal.
2. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materil
3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.55
53 Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1986. 54 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan ..., hlm. 153. 55 Phillipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 326-327.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
37
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud yang diberikannya wewenang tersebut.
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana yang dimaksud dalm Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut
dengan keputusan itu, seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Dari uraian diatas bahwa mekanisme ini dapat ditempuh karena adanya Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
melanggar hak konstitusional orang atau badan hukum yang diatur Undang-Undang Dasar 1945 yang dimana keputusan tersebut
melanggar hak konstitusionalnya yang diperjelas melalui Undang-Undang yang mengatur akan hal tersebut serta
sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan Undang-Undang Dasar termasuk kategori peraturan perundang-undangan.
Maka dapat dikatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan
mekanisme yang dapat melindungi hak konstitusional warga negara atas dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
38
c) Mekanisme Pengadilan Biasa
Dalam praktik peradilan umum, ada
dua dua jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut pengadilan dalam
memeriksa dan mengadili perkara yakni pengadilan pidana dan pengadilan perdata.
Dalam pengadilan perdata sifat sengketa
yang diadili adalah sengketa antar individu atau badan hukum dan kebenaran yang ditegakkan ialah kebenaran formal.
Meskipun demikian terkait perlindungan hak konstitusional warga negara dapat kita
temukan pada upaya hukum yang dapat ditempuh yakni : banding, kasasi, verzet maupun peninjauan kembali. Mekanisme
hukum ini dapat ditempuh apabila salah satu pihak bersengketa merasa terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh hakim (hakim direpresentasikan sebagai kekuasaan negara). pelanggaran itu berupa penerapan
maupun penafsiran hukum yang salah yang menyebabkan salah satu pihak bersengketa dicederai hak konstitusionalnya dalam
meperoleh keadilan dan kepastian hukum.
Sementara dalam pengadilan pidana,
sengketa yang diperiksa dan diadili bersifat antar individu dan negara-perlindungan yang diberikan kepada seseorang individu sifatnya
luas yang dimaksudkan bahwa perlindungan telah diberikan sejak seseorang berstatus tersangka dimana ia masih dianggap tidak
bersalah dalam perkara yang diperiksa dan diadili sebelum hakim menjatuhkan vonis
serta dalam pengumpulan alat bukti adanya larangan dalam mendapatkan alat bukti secara tidak sah yang mengganggu
kebebasan individu. Selain itu, tersangka dapat menempuh upaya pra peradilan
sebelum perkara diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim apabila dalam proses penangkapan dan penyidikan perkara yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum ditemukan prosedur yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
39
Meskipun Majelis Hakim telah memutus perkara tersebut, apabila ditemukan
pelanggaran oleh hakim yang merugikan terdakwa, putusan tersebut mungkin terjadi
kesalahan hakim dalam menerapkan norma hukum. Perlindungan hak kontitusional warga negara dapat dilakukan melalui upaya
banding, kasasi, kasasi demi hukum dan peninjauan kembali. Secara umum tujuan dari dilakukannya sistem peradilan ini
mengandung prinsip perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.56
Meskipun demikian, perlindungan dalam sistem peradilan ini tidak hanya terkait atas perlindungan hak konstitusional
warga negara (dalam kaitan status kewarganegaraan tersangka) namun juga
menyangkut hak-hak asasi manusia yang perlindungannya diakui secara universal.
d) Mekanisme Pengadilan HAM ad Hoc
Hak konstitusional juga berkenaan akan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menegakkan hak asasi yang menjadi
bagian hak konstitusional warga negara maka mekanisme ini dapat ditempuh oleh
warga negara yang merasa hak asasi manusianya telah dilanggar oleh karena itu ia dapat menempuh upaya ini dalam
mempertahankan hak-haknya yakni hak asasinya yang terkandung dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini terkait juga atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses
perjalanan ketatanegaraan Indonesia.
2) Melalui Mekanisme Diluar Pengadilan
Selain melalui proses pengadilan,
mekanisme hukum yang dapat ditempuh dalam mempertahankan hak konstitusional warga
negara dapat ditempuh melalui jalur diluar pengadilan. Wujud dari perlindungan tersebut
56 Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice, (Cambridge :
Cambridge University Press, 2005), hlm. 92-94.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
40
berupa institusi yang dibentuk berdasarkan maksu pembentukan, wewenang serta
aktifitasnya.57 Institusi itu antara lain :
a) Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman Republik Indonesia dibentuk berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia. Nomenklatur lembaga ini sebelumnya ialah Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres
No. 44 Tahun 2000.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU no 37
tahun 2008, Ombudsman merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan,
termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ombudsman sebagai lembaga yang
memberi perlindungan hak konstitusional warga negara dapat kita lihat dari tujuan dibentuknya lembaga ini yang dimuat dalam
Pasal 4 UU Ombudsman, yaitu :
1) Mewujudkan negara hukum yang
demokratis, adil dan sejahtera.
2) Mendorong penyelenggara dan pemerintahan negara yang efektif dan
efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
3) Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara
57 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan ..., hlm. 154.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
41
dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang baik.
4) Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk
pemberantasan dan pencegahan praktik-praktik mal-administrasi58, diskriminasi, korupsi, kolusi serta nepotisme.
5) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan
kebenaran serta keadilan.
Dari penjelasan tujuan atas
dibentuknya Ombudsman Republik Indonesia diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui Ombudsman RI, warga negara
yang terlanggar hak konstitusionalnya dapat menempuh upaya ini dengan melakukan
pelaporan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, keseimbangan dalam penyelenggaraan negara dapat
teraplikasi dengan baik serta pelindungan hak konstitusional warga negara dapat dijamin.
b) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
atau yang biasa disebut Komnas HAM merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993
dan diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Dalam Pasal 1 angka 7 UU HAM,
Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi Hak
Asasi Manusia.
Perlindungan hak konstitusional warga
negara yang diberikan lembaga ini dapat kita
58 Dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
42
lihat dalam Pasal 75 UU HAM yang menjelaskan tujuan lembaga ini dibentuk,
yakni :
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal
HAM.
b. Meningkatkan perlindungan dan pengegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dari penjelasan tersebut terlihat jelas
bahwa lembaga ini memberikan perlindungan kepada warga negara dalam
mempertahankan hak konstitusionalnya serta harkat martabat sebagai manusia.
c) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang biasa disingkat LPSK dibentuk berdasarkan UU No. 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 1 angka 3, dijelaskan
bahwa :
“Lembaga ini merupakan lembaga yang bertugas untuk memberi perlindungan dan
hak-hak lain kepada saksi atau korban”.
Secara tersirat tujuan lembaga ini ialah memperjuangkan hak-hak tertentu
saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa penjaminan dan perlindungan hak konstitusional warga negara diberikan kepada saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana yang mana harus dilindungi dan dijamin hak-haknya selama
proses peradilan pidana dilakukan.
Dalam konteks semua yang telah dikemukakan di atas, sebagaimana telah disampaikan pada bagian
pendahuluan naskah akademik ini, Indonesia sebagai
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
43
negara multikultural meniscayakan ruang koeksistensi (space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi
berbagai identitas pembentuk multikulturalitasnya.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa dalam banyak
kebijakan negara, sejak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan Orde Baru, menonjol politik monokultural, demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial.
Kebijakan dengan kecenderungan pada politik monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi
antar elemen multikultural, juga menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme
dan otoritarianisme.
Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara
mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting dalam berbagai konflik multikultural.59
Kebijakan yang mengandung misrekognisi di bidang apapun secara konseptual sama dengan atau akan berakibat pada terjadinya apa yang disebut dengan
“eksklusi sosial”, yaitu proses menghalangi atau menghambat individu, keluarga, kelompok atau komunitas
dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh. Meskipun eksklusi sosial ini
umumnya terjadi sebagai konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, akan tetapi, eksklusi sosial bisa juga merupakan dampak dari faktor lain, seperti;
diskriminasi, tingkat pendidikan yang rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan.
Melalui proses eksklusi sosial ini individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupannya terputus dari layanan, jejaring sosial, dan
peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat60.
Konsep eksklusi sosial ini awalnya muncul di Perancis
pada tahun 1970an. Saat itu, istilah social exclusion
59 Suharno, S. Pd., M. Si., Politik Rekognisi Dalam Peraturan Daerah
Tentang Penyelesaian Konflik Di Dalam Masyarakat Multikultural, Disertasi pada
Program Studi S.3 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2011.
60 John Pierson, Tackling Social Exclusion, (London and New York :
Routledge, 2002).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
44
digunakan untuk menggambarkan kondisi kelompok-kelompok marjinal di masyarakat yang tidak memiliki
akses terhadap lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan (the income safety nets of the welfare state).
Les exclus (mereka yang tereksklusi) tidak mendapatkan hak-hak asasi sebagai warga negara, entah karena mereka menjadi korban diskriminasi, atau karena mereka bukan
warga negara Perancis dan tinggal di negeri itu sebagai pencari swaka politik. Mereka juga tidak memiliki akses
terhadap lembaga-lembaga penting yang dapat menolong dan menyuarakan kepentingan mereka, seperti serikat dagang atau serikat warga.61
Untuk di Indonesia, salah satu penyebab yang paling dominan terjadinya fenomena eksklusi sosial tersebut
adalah adanya misrekognisi (kehilangan pengakuan) yang dialami oleh sebagian warga negara akibat terjadinya diskriminasi, yang tampak dalam kebijakan yang
monokultural.
Kebijakan yang lahir dari pendekatan politik monokulturalisme ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia
demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Padahal, sebagaimana yang telah dikemukakan, alih alih
menciptakan stabilitas dan integrasi sosial, perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal
kebijakan tersebut justru menjadi variabel penting dalam berbagai konflik multikultural.
Contoh ril terkait dengan kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi tersebut adalah kebijakan kebebasan beragama/berkeyakinan. Secara konstitusional,
negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E, dan Pasal 29 UUD Negara RI 1945. Pemerintah
Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan jaminan
kebebasan beragama / berkeyakinan, yang pada pasal 18 Undang Undang tersebut dinyatakan, “Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,
61 John Pierson, Tackling Social Exclusion, (New York, NY: Routledge,
2010), sebagaimana dikutip oleh Arif Maftuhin dalam artikelnya yang berjudul, “Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal Usul, Teori dan Indikator”, dalam Jurnal Tata Kelola, Volume 19 Nomor 2, Mei 2017, hlm. 93 – 103, (Semarang : Biro
Penerbit Planologi Undip, 2017).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
45
berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut”.62
Akan tetapi, semua jaminan ini terkikis oleh kecenderungan arus politik penyeragaman
(monokulturalisme). Pengikisan jaminan konstitusional kebebasan beragama / berkeyakinan tentu saja merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana tertuang
dalam Undang Undang tersebut.
Penyikapan komprehensif atas kecenderungan ini mutlak diperlukan untuk memastikan implementasi
jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga. Jika tidak, maka implementasi
jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga akan mengalami hambatan yang cukup serius.
C. Potensi Paradoks (Janus Face) Agama
Salah satu tesis yang sampai saat ini belum tergoyahkan menyatakan bahwa agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan dasar setiap individu dari
sebuah masyarakat, yang kemudian menjadi komponen dominan yang mempengaruhi gerak langkah yang dilakukan oleh setiap individu yang menjadi anggota
masyarakat tersebut63.
Tesis tersebut tidak hanya berlaku bagi komunitas
yang berada di kawasan yang berperan sebagai tempat lahirnya agama-agama besar, akan tetapi, dalam intensitas dan scope yang beragam, juga berlaku bagi komunitas yang
berada di luar kawasan tersebut. Salah satu bukti tentang hal tersebut antara lain pengambilan sumpah jabatan
Presiden Amerika Serikat. Di negara yang sering dianggap sebagai prototipe negara sekuler tersebut, pengambilan sumpah jabatan presiden selalu melibatkan kitab suci
Bible. Demikian pula makna simbolik dari kenyataan bahwa Ratu Inggris dan kepala-kepala negara yang berada di kawasan Skandinavia --yang juga sering dianggap
62 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak Hak Sipil Dan Politik). 63 Beberapa hasil kajian yang mendasari pernyataan tersebut antara lain
lihat Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York :
Scribner‟s Sons, 1958), dan Robert N. Bellah, Tokugawa Religion; the Cultural Roots of Modern Japan, (New York : the Free Press, 1985).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
46
sebagai prototipe negara-negara sekuler-- berperan sebagai kepala Gereja Anglikan.
Bukti tersebut tentu saja berimplikasi pada seluruh perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, dimana agama
selalu hadir sebagai salah satu variabel yang mempengaruhinya, meski, sekali lagi, dalam intensitas dan scope yang beragam64.
Jika pada komunitas yang berada di kawasan yang dianggap sebagai prototipe sekuler saja kecenderungan
terhadap agama ini nampak, maka optimisme keagamaan pada komunitas di kawasan yang berperan sebagai tempat lahirnya agama-agama besar, kawasan Asia misalnya,
tentu lebih kental, dan Indonesia adalah termasuk salah satu di dalamnya.
Karena itulah, Agama memiliki posisi fundamental
bagi bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi yakni UUD 1945 dan Pancasila sila pertama.
Amanat itu tertuang secara jelas;
Pertama, dalam Pembukaan UUD 1945. Penyebutan frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” di
dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur Bangsa Indonesia
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur tangan” Tuhan melalui Rahmat dan Berkat-Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan terwujud.
Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, di mana ajaran
agama tidak hanya diyakini, tetapi juga menjadi faktor dominan yang mendrive gerak langkah yang dilakukan oleh setiap warganya.
Kedua, Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara
64 Lihat Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley,
Los Angeles, London : University of California Press, 1985).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
47
untuk memelihara budi pekerti, kemanusiaan yang luhur, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Ketiga, dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya serta berhak kembali”.
Hal ini bermakna bahwa kebebasan beragama dan
beribadat menurut agamanya merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.
Dalam konteks itu, kehadiran agama dapat dianggap
sebagai sesuatu yang memiliki nilai comparative advantage. Ia diharapkan akan memberi nilai tambah yang
fundamental terhadap upaya menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan immaterial, kehidupan yang profan dan yang sakral.65
Paradoks dengan apa yang dikemukakan di atas, seorang novelis sekaligus wartawan dari Inggris, A. N. Wilson, justru mengemukakan fikiran yang bersifat
pesimistis --tepatnya, negatif-- tentang agama. Dalam buku yang ditulisnya yang berjudul “Against Religion; Why We
Should Try to Live Without It”, A. N. Wilson, sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid66, mengemukakan bahwa jika dalam Alkitab (Bibel) dikatakan bahwa cinta uang adalah
akar segala kejahatan, mungkin lebih benar lagi kalau dikatakan bahwa cinta Tuhan adalah akar segala
kejahatan.
Lebih lanjut Wilson mengemukakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Dalam pandangan Wilson,
hampir tidak ada satupun agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan. Wilson menambahkan bahwa agama
mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat sendiri di atas
65 Lihat Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan,
(Bandung : Mizan, 188), hal. 122. 66 Lihat Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan
Untuk Generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1999), hal. 11.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
48
perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran.67
Untuk konteks Indonesia, meskipun bukan negara agama, akan tetapi Indonesia adalah negara yang seluruh
warganya beragama. Tentu saja pesimisme Wilson tersebut penting untuk menjadi bahan renungan sekaligus diantisipasi.
Bagi para penganutnya, ajaran agama diyakini menjanjikan jaminan kebaikan atau kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu, menurut para penganutnya,
agama juga memberikan jaminan bagi mereka untuk dapat keluar dari kegelapan menuju keadaan yang terang
benderang.
Dari sebagian kecil ajaran agama tersebut, kondisi ril yang seharusnya terjadi adalah bangsa Indonesia --yang
seluruh penduduknya beragama-- menjadi bangsa yang maju, terdepan, sukses menghadapi berbagai problem
kehidupan, dan tentunya menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.
Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini justru
menunjukkan kondisi yang belum sesuai dengan idealitas tersebut. Kondisi ril Bangsa Indonesia yang dapat dilihat dan dirasakan saat ini adalah bahwa bangsa ini masih
berhadapan dengan masalah keterbelakangan dan kemiskinan. Tenaga kerja Indonesia, bahkan tenaga kerja
yang terdidik sekalipun, masih belum bisa bersaing secara kualitatif dengan tenaga kerja dari negara lain. Bangsa Indonesia masih sangat bergantung dari hutang atau
bantuan negara lain.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia untuk tahun 2015 adalah 0,689. Kondisi ini menempatkan
Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, dan menempati peringkat ke 113 dari 188
negara dan wilayah yang diukur. Angka IPM tersebut menggambarkan harapan hidup saat lahir, rata-rata tahun bersekolah, harapan lama bersekolah dan pendapatan
nasional bruto (PNB) selama periode pengukuran tersebut. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah jika faktor
“kesenjangan” diperhitungkan, maka angka IPM Indonesia tersebut menurun tajam 0,563 (turun 18,2 persen).
67 Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk
Generasi Mendatang”, dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam …, hal.
11.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
49
Kesenjangan yang cukup krusial di Indonesia adalah kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir,
dimana angka kesenjangan dalam hal tersebut di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik68.
Dalam kehidupan sosial akhir-akhir ini juga ada kecenderungan yang sangat memprihatinkan dimana bangsa ini sedang disibukkan dengan saling hujat dan
bentrok antar sesama warga bangsa, yang ironisnya seringkali disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan atau dihubung-hubungkan dengan agama.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, berbagai upaya untuk meningkatkan vitalitas agama tentunya menjadi
sesuatu yang niscaya keberadaannya, terlebih dalam konteks bangsa Indonesia yang plural.
Upaya tersebut menjadi sangat penting terutama jika
mengingat apa yang dikemukakan oleh Jose Casanova. Sebagaimana dikutip oleh Bachtiar Effendy, Jose Casanova
mengemukakan bahwa kehadiran agama, secara umum, selalu disertai “dua muka” (janus face). Secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, agama juga kaya akan identitas yang
bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”69. Dengan kata lain, Jose Casanova ingin mengatakan bahwa
agama mempunyai energi potensial yang bersifat konstruktif dan dalam waktu yang bersamaan agama juga mempunyai energi potensial yang bersifat destruktif
terhadap umat manusia.
Dalam perjalanan sejarahnya, selain mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, agama juga
telah menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para
penguasa yang dzolim70.
Dengan demikian, harapan terhadap agama untuk mampu memberi nilai tambah terhadap upaya
68
Selim Jahan, et. all., Human Development Report 2016; Human Development for Everyone, (New York : United Nations Development Programme,
2016). 69 Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan:
Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan,
(Jogjakarta : Galang Press, 2001), hal. 42. 70 Lihat kembali apa yang dikemukakan Wilson, sebagaimana dikutip
Nurcholish Madjid dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam…, hal. 11.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
50
menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan immaterial bukanlah sesuatu yang bisa terwujud secara
taken for granted. Perwujudan harapan tersebut harus dilakukan melalui kiat-kiat sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.
Secara sosiologis, aspek yang diperhatikan dari diskursus agama adalah perilaku keagamaan, melihat
manusia sebagai pelaku, bagaimana manusia menggunakan agama dalam kehidupan sosialnya, bahkan
dalam semua segi kehidupannya.71
Sebagai obyek kajian ilmiah sosiologi, perilaku keagamaan manusia dibatasi pada aspek yang bersifat
universal dan dipraktikkan secara berulang-ulang. Perilaku universal dimaknai sebagai gejala yang berlaku di masyarakat sejak masa tradisional yang dapat ditemukan
oleh ilmu pengetahuan, sampai dengan sekarang. Perilaku yang diulang-ulang tampak pada perilaku ibadat dengan
menggunakan lambang-lambang keagamaan di dalamnya.72
Fungsi ibadat secara sosial dapat mempersatukan
kelompok-kelompok masyarakat dalam satu agama pada ikatan yang sangat erat. Namun sebaliknya, perbedaan
agama juga dapat menciptakan terjadinya pertentangan antara kelompok-kelompok masyarakat, baik sesama agama maupun antaragama yang berbeda.
Lambang-lambang yang disediakan agama membantu manusia mengungkapkan pengalaman-pengalaman terdalam yang tak terungkapkan. Ide tentang Tuhan,
misalnya, membantu manusia dapat menjalankan tugas sehari-hari, menerima nasib yang tidak baik dan berusaha
mencari jalan keluarnya. Agama mengidentifi kasi kutub-kutub kehidupan yang berlawanan: baik-buruk, benar-salah, sedih-bahagia, dan lain-lain, dan berusaha
mendamaikan kedua kutub itu dalam kehidupan.73
Agama dan masyarakat di Indonesia secara sosiologis ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Berbeda, tetapi
sulit dipisahkan. Agama tidak saja melekat sebagai identitas sosial dalam kehidupannya, melainkan juga
hampir setiap masalah-masalah yang muncul selalu dilihat
71 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar
Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Rajagrafi ndo Perkasa, 1994), hal. 5-9. 72 Ibid, hal. 4. 73 Ibid, hal. 4.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
51
dan dipandang dari perspektif agamanya. Satu sisi kenyataan ini adalah kekayaan yang sangat berharga dan
modal sosial yang sangat penting, namun di sini lain --apabila tidak ada sistem pengelolaan yang baik, adil, dan
setara-- kenyataan ini bisa menjadi rentan berpotensi timbul konflik yang destruktif.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural
yang memiliki sistem keyakinan dan agama yang kaya dan plural pula. Sebagian sistem keyakinan dan agama ini secara resmi dan eksplisit disebut oleh pemerintah, namun
sebagian besar tidak disebut secara resmi kendatipun hidup dan dihidupi dalam masyarakat. Jumlahnya jauh
lebih banyak ketimbang agama yang disebut “resmi” oleh negara.
Timbul beberapa masalah terkait dengan kekayaan
dan pluralitas agama di Indonesia dan status resmi dan tidak resmi tersebut.
Penyebutan secara resmi sebagian agama menimbulkan diskriminasi terhadap agama lain yang tidak disebutkan, karena agama yang tidak disebutkan dianggap
tidak ada, atau paling tidak disebut sebagai aliran kepercayaan saja.
Sementara ini, hanya ada lima agama yang diakui
resmi sampai dengan masa pemerintahan Orde Baru, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Sejak era
pemerintahan Abdurrahman Wahid ada tambahan satu agama lagi diakui secara resmi oleh pemerintah, yaitu Konghucu.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, agama lebih dimaknai sebagai organisasi sosial ketimbang seperangkat nilai dan spritualitas, sebagaimana tafsir substantif
terminologi agama. Agama bukan sekadar urusan privat antara seseorang dengan Tuhannya, tetapi juga landasan
bagi sebuah tindakan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Konsekuensinya bukan hanya terjadi tarik menarik antara agama dan kekuasaan, tetapi juga kompetisi pada internal
agama dan antaragama yang satu dengan agama yang lain. Kompetisi ini bertujuan untuk menghadirkan nilai-nilai
dan pandangan-pandangan keagamaannya ke ruang publik dan mempengaruhi etika publik pada satu sisi, namun pada sisi yang lain juga untuk merebut ruang kekuasaan
bagi kebesaran organisasi agamanya.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
52
Kompetisi itu sesungguhnya wajar dan tidak terhindarkan, tetapi ketika kompetisi itu melebar ke arena
politik kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik dan pengaruh politik. Dengan
demikian regulasi menjadi kebutuhan, bukan hanya sebagai perlindungan bagi hak warga negara, tetapi juga merumuskan wewenang dan posisi negara ketika kompetisi
yang terjadi berlangsung tidak seimbang, diskriminatif, dan mengakibatkan kerugian sosial bagi mereka yang minoritas dan menjadi korban.
Selain itu, pluralitas sistem keyakinan dan agama ini kerap melahirkan konflik yang diwarnai oleh keyakinan
keagamaan di Indonesia. Para ahli mengidentifikasi bentuk-bentuk konflik berdimensi agama ini secara berbeda-beda, namun beberapa bentuk ini mencakup
bentuk-bentuk yang mereka sebutkan, antara lain: (1) pendirian rumah ibadat, (2) penyiaran agama, (3) bantuan
luar negeri, (4) perkawinan beda agama, (5) perayaan hari besar keagamaan, (6) penodaan agama, (7) kegiatan aliran yang dianggap sesat, (8) masalah intern agama dan (9)
masalah penguburan jenazah.
D. Inklusi Sosial Bagi Korban Diskriminasi Berbasis Agama
Korban diskriminasi berbasis agama pada bagian ini secara spesifik menunjuk pada korban diskriminasi
berbasis agama dalam kasus Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan tersebut menyatakan bahwa “keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database”.
Pasal-pasal tersebut di atas telah mendiskriminasi
sebagian warga negara --dalam hal ini warga negara penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--,
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
53
yang kemudian menyebabkan sebagian warga negara tersebut tereksklusi untuk mendapatkan hak-hak
konstitusional dan hak-hak legalnya.
Beberapa hak konstitusional dan hak legal yang
kemudian tidak bisa diperoleh oleh sebagian warga negara akibat pemberlakuan pasal-pasal tersebut antara lain :
8. Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama
serta perlindungan atas hak-hak tersebut. Tidak bisa diperolehnya hak ini terjadi karena banyak kasus dimana para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dengan sangat terpaksa mengisi kolom agama pada KK dan KTP dengan salah satu agama yang
dianggap sebagai agama yang telah diakui, dimana hal itu dilakukan dalam rangka menghindari potensi-potensi negatif yang ditimbulkan jika kolom agama
tersebut dikosongkan atau diberi tanda strip.
9. Hak atas layanan kependudukan, dalam bentuk
kesulitan mengakses dokumen kependudukan, seperti; KTP Elektronik, Kartu Keluarga, Akte Nikah, dan Akte Lahir.
10. Hak mendapatkan pekerjaan yang layak, yang kemudian berimbas pada tidak bisa diperolehnya hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan hak
untuk mengembangkan diri.
11. Hak atas jaminan sosial.
12. Hak untuk mengakses modal usaha dari lembaga keuangan, seperti bank dan/atau koperasi.
13. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan
pelajaran agama sesuai dengan agama dan/atau kepercayaannya.
14. Hak untuk mendapatkan pemakaman umum.
Tereksklusinya sebagian Warga Negara Indonesia untuk mendapat hak konstitusional dan hak legalnya
sebagaimana dikemukakan di atas juga terjadi pada sebagian warga atau masyarakat di Kabupaten Brebes, dalam hal ini adalah warga atau masyarakat penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.74
74 Lihat Dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-
XIV/2016.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
54
Saat ini, Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
kata “agama” dalam pasal pasal tersebut tidak termasuk aliran kepercayaan. Hal itu dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan nomor
97/PUU-XIV/2016, yaitu putusan atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan. Pengujian tersebut diajukan oleh empat orang penghayat kepercayaan, yaitu; Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba,
dan Carlim.
Dalam putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016
tersebut dinyatakan bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan
dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan
mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di
dalam KK ataupun KTP-el.
Artinya keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi
penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan yang semula tidak diisi
atau diberi tanda strip, berdasarkan putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sekarang diisi dengan
“penghayat kepercayaan.
Putusan MK telah membuka ruang bagi upaya untuk menciptakan inklusi sosial, khususnya terkait dengan
pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara --dalam hal ini para penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang sebelumnya terdiskriminasi dan kemudian tereksklusi, di bidang yang secara langsung menjadi implikasi dari administrasi
kependudukan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
55
Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 sebagaimana disebut dalam masalah nomor 4 di atas tentu saja
meniscayakan pengaturan yang bersifat lebih teknis terkait dengan berbagai hal yang menjadi implikasi dari Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Sayangnya, pengaturan dimaksud sampai saat ini belum ada.
Mengingat implikasi dari Putusan MK nomor
97/PUU-XIV/2016 tersebut adalah menyangkut pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa yang
bersifat mendasar, maka keberadaan pengaturan tentang hal tersebut menjadi sesuatu yang mendesak
keberadaannya.
Untuk wilayah Kabupaten Brebes, dimana sebelum keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
sebagian warga di sebagian wilayahnya --dalam hal ini adalah warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa-- mengalami diskriminasi, misrekognisi, dan eksklusi dalam pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya, perlu segera dibentuk aturan atau
regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut.
Meskipun regulasi di tingkat nasional terkait tindak lanjut atas Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
sampai saat ini belum ada, upaya untuk membentuk aturan atau regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor
97/PUU-XIV/2016 tersebut sebenarnya dapat dilakukan, sepanjang bidang-bidang yang akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut tersedia payung hukumnya. Artinya,
berbagai payung hukum yang terkait dengan bidang-bidang yang akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut
dapat dijadikan dasar atau rujukan dalam membentuk aturan atau regulasi yang bersifat lebih spesifik untuk diterapkan di Kabupaten Brebes.
E. Implikasi Penerapan Peraturan Baru
Peraturan Daerah baru yang diusulkan dalam Naskah Akademik ini merupakan jawaban atas persoalan sosial, yakni terjadinya eksklusi sosial terhadap para
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, khususnya yang terjadi di wilayah Kabupaten Brebes.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
56
Implikasi dari eksklusi sosial ini adalah tertutupnya akses bagi para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam memperoleh hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya.
Untuk itu, Peraturan Daerah ini diharapkan mampu menjawab bagaimana diskriminasi berbasis agama yang kemudian melahirkan eksklusi sosial para Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini bisa dihentikan. Sebagai sebuah produk hukum, Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan ini diorientasikan untuk
menjamin terciptanya inklusi sosial bagi para Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
mereka mendapatkan jaminan untuk dapat mengakses pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya sama dan setara dengan warga negara lainnya.
-- --
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
57
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT
Peraturan Daerah yang diusulkan dalam naskah akademik
ini diorientasikan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini adalah masyarakat Kabupaten Brebes. Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab II naskah
akademik ini, keadilan sosial adalah sifat suatu masyarakat, yaitu adil dan makmur, “berbahagia buat semua orang”, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, dan tidak ada penghisapan,
semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja75.
Salah satu dimensi terpenting dalam prinsip keadilan adalah adanya “perlakuan yang sama atau setara” (equal treatment). Artinya orang diperlakukan secara adil apabila ia diberi
kesempatan yang sama dan di bawah pertimbangan keadilan yang juga sama oleh pemerintah atau negara sehingga dengan itu ia
bisa menikmati hak-hak dasarnya.76
Apa yang dikemukakan pada bagian akhir di atas sempat hilang dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di wilayah
Kabupaten Brebes. Hal itu terjadi akibat diberlakukannya sebuah undang-undang yang mengandung misrekognisi, yang kemudian
menyebabkan terjadinya diskriminasi dan eksklusi sosial terhadap sebagian warga negara, termasuk sebagian warga masyarakat Kabupaten Brebes dalam memperoleh hak-hak konstitusional dan
hak-hak legalnya.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I dan Bab II naskah akademik ini, undang-undang yang mengandung
misrekognisi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut menyatakan bahwa “keterangan mengenai kolom agama
75 Farrel M Rizky, Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa, (Jakarta :
Penerbit Buku Kompas Gramedia, 2009), hlm. 102. 76 David Miller dalam Miller dan Walzer (ed), Pluralism, Justice and
Equality, (Oxford: Oxford Uni Press, 1995).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
58
pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database”.
Pasal-pasal tersebut di atas telah mendiskriminasi sebagian warga negara --dalam hal ini warga negara penghayat kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang kemudian menyebabkan sebagian warga negara tersebut tereksklusi untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya.
Kini, Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “agama” dalam pasal pasal tersebut tidak termasuk aliran kepercayaan. Hal itu
dinyatakan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan nomor 97/PUU-XIV/2016, yaitu putusan atas perkara
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pengujian tersebut diajukan oleh empat orang penghayat kepercayaan, yaitu; Nggay Mehang Tana, Pagar
Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.
Dalam putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
dinyatakan bahwa agar tujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia
sangat banyak dan beragam, maka pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai “penghayat
kepercayaan” tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el.
Artinya keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan yang semula tidak diisi atau diberi tanda strip,
berdasarkan putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sekarang diisi dengan “penghayat kepercayaan.
Putusan MK sebagaimana dikemukakan di atas tentu saja
membutuhkan tindak lanjut yang relevan dalam rangka menghapuskan eksklusi sosial, dan dalam waktu yang bersamaan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
59
menciptakan inklusi sosial, khususnya di wilayah Kabupaten Brebes, dan tindak lanjut yang tepat untuk hal tersebut adalah
dengan membentuk regulasi berupa Peraturan Daerah Kabupaten Brebes yang mengatur tentang Pelayanan Kepada Penghayat
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Brebes.
Dokumen naskah akademik ini berisi kajian tentang “eksklusi sosial” yang merupakan implikasi dari masalah yang
berhubungan dengan agama dan/atau keyakinan warga atau masyarakat Kabupaten Brebes. Secara lebih khusus, masalah yang berhubungan dengan agama dan/atau keyakinan warga atau
masyarakat Kabupaten Brebes tersebut berpangkal dari pencatatan data tentang agama atau keyakinan warga dalam
dokumen kependudukan atau administrasi kependudukan, yang kemudian berimplikasi terhadap berbagai hal yang terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga.
Kerangka dan orientasi dari kajian ini adalah perwujudan welfare state atas dasar atau prinsip keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, melalui pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara Indonesia, dan secara spesifik adalah masyarakat Kabupaten Brebes. Artinya, muara dari kajian ini
adalah argumen dan solusi yang berupa pengaturan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga yang berhubungan erat dengan dan/atau merupakan implikasi dari
data administrasi kependudukan warga dalam bidang atau urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Kabupaten
Brebes77.
Ruang lingkup pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diatur dalam Peraturan
Daerah ini adalah; administrasi organisasi, pendidikan kepercayaan, sasana sarasehan atau sebutan lain, perkawinan, pemakaman, pelindungan, pemberdayaan dan peningkatan
kapasitas, dan advokasi.
Bab ini berisi evaluasi dan analisis berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
A. Persamaan Kedudukan Warga Negara
77 Lihat kembali Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 11, 12, dan 13, lihat juga Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan
Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes, Pasal 2 dan
4.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
60
Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), ditemukan beberapa ketentuan yang
memberikan jaminan persamaan kedudukan warga negara, antara lain :
- Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara.
- Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
- Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
- Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
- Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
61
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
- Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
- Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.
- Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
- Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
62
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
- Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
63
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
- Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
- Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
- Pasal 32
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
- Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
64
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
- Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Seluruh Pasal dalam UUD 1945 di atas adalah landasan
yuridis yang menunjukkan bahwa seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki kedudukan yang
sama, hak dan kewajiban yang sama di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan kata lain, NKRI melalui
UUD 1945 menyatakan bahwa dengan alasan atau dasar apapun tidak boleh ada diskriminasi di negara ini, termasuk dalam bidang-bidang yang akan diuraikan berikut ini.
B. Administrasi Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Administrasi Organisasi Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa antara lain:
1. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri
Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
65
- Pasal 1 Ayat (4) menyatakan: “Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat
Kepercayaan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata”.
- Pasal 6
(1) Bupati/Walikota menerbitkan SKT organisasi
Penghayat Kepercayaan untuk Kabupaten/Kota.
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:
a. akte pendirian yang dibuat oleh Notaris;
b. program kerja ditandatangani ketua dan
sekretaris;
c. Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah
nasional atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota;
e. foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
f. riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran
4 X 6 cm, foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus provinsi yang terdiri dari ketua,
sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:
g. formulir isian;
h. data lapangan;
i. foto tampak depan dengan papan nama alamat
kantor/sekretariat;
j. Nomor Pokok Wajib Pajak;
k. Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan camat;
l. surat kontrak/izin pakai tempat bermaterai
cukup;
m. surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi
konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris; dan
n. surat keterangan bahwa organisasi tidak
berafiliasi dengan partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan
sekretaris.
2. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 77
Tahun 2013 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
66
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dan Lembaga Adat
- Pasal 1 nomor 2 menyatakan: “Lembaga Kepercayaan adalah organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa untuk berhimpun dan bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan dan mencapai visi dan misinya.
- Pasal 4
(1) Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan kepada Lembaga
Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(2) Bentuk pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. inventarisasi dan dokumentasi; b. pelindungan;
c. pemberdayaan dan peningkatan kapasitas; dan d. advokasi.
- Pasal 5
(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan inventarisasi dan dokumentasi Lembaga Kepercayaan dan
Lembaga Adat di wilayah kerjanya.
(2) Inventarisasi lembaga kepercayaan meliputi pendataan identitas lembaga, pokok-pokok ajaran,
sumber ajaran, tokoh penggali ajaran, dan pendiri lembaga.
(4) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengumpulan, pengolahan dan penataan informasi hasil inventarisasi.
- Pasal 6 menyatakan: “Pemerintah provinsi menghimpun dan memverifikasi hasil inventarisasi dan dokumentasi Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat yang
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
- Pasal 7
(1) Pemerintah kabupaten / kota memberikan pelindungan kepada Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(2) Bentuk pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
67
a. pelindungan terhadap eksistensi Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat;
b. penguatan peraturan perundangan dan/atau kebijakan daerah;
c. pelindungan dari pencitraan dan stigma yang kurang baik;
d. pelindungan terhadap kegiatan yang
diselenggarakan Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat;
e. pelindungan terhadap tempat-tempat yang
diyakini memiliki nilai historis dan nilai spiritual oleh Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat;
dan f. pencegahan perlakuan diskriminatif oleh
masyarakat dan/atau aparatur pemerintah
kabupaten/kota.
- Pasal 9 menyatakan: “Dalam memberikan pelindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban:
a. memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila; b. memperhatikan tradisi, norma, etika, hukum adat
dan jati diri bangsa;
c. memperhatikan sifat kerahasiaan dan kesucian unsur-unsur kepercayaan dan adat tertentu yang
dipertahankan oleh masyarakat; d. memelihara ketentraman, ketertiban dan
memfasilitasi terwujudnya kerukunan masyarakat;
e. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya antara Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat
dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya; dan
f. berkoordinasi dengan instansi sektoral dalam rangka memelihara kerukunan.
- Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas Lembaga
Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(2) Bentuk pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sosialisasi nilai-nilai luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan adat;
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
68
b. sosialisasi peraturan perundangan-undangan dan kebijakan daerah yang berkaitan dengan
Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat; c. penyelenggaraan forum pertemuan dan dialog
tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat; dan
d. pelatihan dan bimbingan teknis Lembaga
Kepercayaan dan Lembaga Adat.
- Pasal 12
(1) Pemerintah kabupaten/kota memberikan advokasi
kepada Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(2) Advokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara
lain meliputi:
a. fasilitasi perbaikan citra kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan adat;
b. fasilitasi pemenuhan hal-hak sipil; c. fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam
Lembaga Kepercayaan dan antar lembaga kepercayaan; dan
d. fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam
Lembaga Adat dan antar lembaga adat.
- Pasal 14 Ayat (3) menyatakan: “Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan atas
pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembinaan Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat di
wilayah kabupaten/kota.
- Pasal 15
(1) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melakukan
pemantauan dan evaluasi secara berkala.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mengetahui perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat di daerah.
b. menjamin keterpaduan, sinergitas,
kesinambungan dan efektifitas dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan pembinaan
Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(3) Hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembinaan Lembaga Kepercayaan dan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
69
Lembaga Adat digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan
Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat tahun berikutnya.
- Pasal 16
(1) Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan pembinaan Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat kepada
Gubernur.
(2) Gubernur melaporkan pelaksanaan pembinaan Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Menteri.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) disampaikan setahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
- Pasal 26 Ayat (1) menyatakan: “Pendanaan
pelaksanaan Pembinaan pada Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat di kabupaten/kota bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan dari sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Beberapa catatan evaluasi terhadap dua peraturan yang terkait dengan organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut :
1. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri
Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa diundangkan
saat Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah Kementerian atau Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. Karenanya, Pasal 1 Ayat (4) menyatakan peraturan tersebut menyatakan: “Organisasi
Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri dan terinventarisasi di Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata”. Mulai tahun 2013, Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hal tersebut
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
70
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pasal 600 peraturan tersebut
menyatakan: “Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi mempunyai tugas melaksanakan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan
kebijakan serta fasilitasi penerapan standar teknis di bidang pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi.”
2. Terkait dengan apa yang dikemukakan pada bagian akhir point 1 di atas, inventarisasi organisasi penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak lagi dilakukan oleh Kementerian atau Departemen Budaya dan Pariwisata.
3. Dengan diundangkannya Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dan Lembaga Adat, inventarisasi organisasi penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, yaitu: “Pemerintah
kabupaten/kota melakukan inventarisasi dan dokumentasi Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat di wilayah
kerjanya.”
4. Selain itu, dengan diundangkannya Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013
Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dan Lembaga Adat, penerbitan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa tidak lagi dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, akan tetapi
dilakukan oleh Bupati. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan tersebut, yaitu:
“Bupati/Walikota menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan untuk Kabupaten/Kota.”
C. Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
71
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Pasal 2
(1) Peserta Didik memenuhi pendidikan agama melalui
Pendidikan Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kurikulum.
(2) Muatan Pendidikan Kepercayaan wajib memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks
pelajaran, dan pendidik.
(3) Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disusun oleh Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan diajukan kepada Kementerian untuk ditetapkan.
- Pasal 3 menyatakan: “dalam penyediaan Pendidikan Kepercayaan sebagaimana dimaksud pasal 2, Pemerintah
Daerah dan satuan pendidikan dapat bekerjasama dengan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah terdaftar sesuai peraturan perundang-
undangan.
- Pasal 4 menyatakan: “pendidik memberikan pelajaran Pendidikan Kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan
peserta didik dengan mengacu pada pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi dasar
yuridis bagi terbukanya kesempatan kepada peserta didik penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa untuk mendapatkan pendidikan agama/kepercayaan sesuai dengan
kepercayaannya sebagai penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kondisi prasyarat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan Pendidikan Kepercayaan tersebut adalah tersedianya Kurikulum Pembelajaran Pendidikan Kepercayaan
dan perangkat pembelajaran lainnya. Semua perangkat yang menjadi prasyarat terselenggaranya Pendidikan Kepercayaan
tersebut disusun oleh Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang kemudian ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
72
Penyiapan berbagai perangkat prasyarat terselenggaranya Pendidikan Kepercayaan tersebut dapat dilakukan dengan
kerjasama antara Pemerintah Daerah dan satuan pendidikan dengan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang telah terdaftar sesuai peraturan perundang-undangan.
Satu hal yang cukup penting untuk diperhatikan adalah
setelah seluruh perangkat prasyarat terselenggaranya Pendidikan Kepercayaan tersebut disiapkan, pendidik memberikan pelajaran Pendidikan Kepercayaan sesuai dengan
ajaran kepercayaan peserta didik dengan mengacu pada berbagai perangkat prasyarat yang telah disiapkan tersebut.
Hal tersebut penting untuk diperhatikan dalam rangka menjamin otentisitas materi yang diajarkan.
D. Sasana Saresehan Atau Sebutan Lain
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
sasana saresehan atau sebutan lain adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Pasal 1 Nomor 5 menyatakan bahwa Sasana Sarasehan
atau sebutan lain adalah tempat untuk melakukan kegiatan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
termasuk kegiatan ritual.
- Pasal 9
(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan atas keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi Penghayat Kepercayaan.
(2) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan.
- Pasal 10
Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus memenuhi persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 11
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
73
(1) Penghayat Kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan untuk penyediaan sasana
sarasehan atau sebutan lain dengan bangunan baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) kepada
Bupati/Walikota.
(2) Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya permohonan
pendirian sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Pasal 12
(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lainnya
yang telah mendapat ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 mendapat penolakan dari masyarakat, Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan
pembangunan sasana sarasehan dimaksud.
(2) Dalam hal fasilitasi pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terlaksana, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sasana sarasehan atau sebutan lain.
- Pasal 13
Bupati/Walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi
bangunan gedung sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang
wilayah.
E. Perkawinan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah :
1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Pasal 2
Ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Ayat (2) menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
74
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 Ayat (2) menyatakan: “Pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor
catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan.
Pasal 81
Ayat (1) menyatakan, “Perkawinan Penghayat Kepercayaan
dilakukan di hadapan Pemuka Penghayat Kepercayaan.
Ayat (2) menyatakan, “Pemuka Penghayat Kepercayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan.
Ayat (3) menyatakan, “Pemuka Penghayat Kepercayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Pasal 82 menyatakan bahwa, “Peristiwa perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan
menyerahkan:
a. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan; b. fotokopi KTP;
c. pas foto suami dan istri; d. akta kelahiran; dan
e. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.
Pasal 83
Ayat (1) menyatakan, Pejabat Instansi Pelaksana atau
UPTD Instansi Pelaksana mencatat perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tata cara:
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
75
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; dan
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.
Ayat (2) menyatakan, Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.
F. Pemakaman Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemakaman penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1987 Tentang Penyediaan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman
Pasal 1 huruf a menyatakan, “Tempat Pemakaman Umum
adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan
agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa.”
Pasal 1 huruf b menyatakan, “Tempat Pemakaman Bukan
Umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang pengelolaannya dilakukan oleh
badan sosial dan/atau badan keagamaan.”
Pasal 1 huruf c menyatakan, “Tempat Pemakaman Khusus adalah areal tanah yang digunakan untuk tempat
pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai arti khusus.”
Pasal 2
(1) Penunjukan dan penetapan lokasi tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Umum dilaksanakan
oleh Kepala Daerah untuk masing-masing Daerah Tingkat II di bawah koordinasi Gubernur Kepala Daerah, dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta
oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
76
(2) Penunjukan dan penetapan lokasi tanah termasuk tanah wakaf untuk keperluan Tempat Pemakaman
Bukan Umum dilaksanakan oleh Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dengan persetujuan
Menteri Dalam Negeri.
(3) Dalam melakukan penunjukan dan penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) harus berdasarkan pada Rencana Pembangunan Daerah, dan/atau Rencana Tata Kota, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. tidak berada dalam wilayah yang padat penduduknya;
b. menghindari penggunaan tanah yang subur;
c. memperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan hidup;
d. mencegah pengrusakan tanah dan lingkungan hidup;
e. mencegah penyalahgunaan tanah yang berlebih-lebihan.
Pasal 4
(1) Setiap orang mendapat perlakuan yang sama untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum.
(2) Untuk ketertiban dan keteraturan Tempat Pemakaman
Umum dan Tempat Pemakaman Bukan Umum diadakan pengelompokan tempat, bagi masing-masing
pemeluk agama.
Pasal 5
(1) Pengelolaan Tempat Pemakaman Umum yang terletak
di Kota dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(2) Pengelolaan Tempat Pemakaman Umum di Desa
dilakukan oleh Pemerintah Desa berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Pengelolaan Tempat Pemakaman Bukan Umum
dilakukan oleh suatu Badan atau Badan Hukum yang bersifat sosial dan/atau bersifat keagamaan dengan
izin Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan dan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
77
bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan izin Gubernur.
(4) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
Menteri Dalam Negeri.
Pasal 6
(1) Pengelolaan Tempat Pemakaman Bukan Umum diatur
dengan Peraturan Daerah Tingkat II yang bersangkutan, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
(2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Tempat Pemakaman
Umum dan Tempat pemakaman Bukan Umum harus memperhatikan dan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan
hidup.
(3) Dalam pengelolaan Tempat Pemakaman Umum
Pemerintah Daerah mengusahakan agar tidak memberatkan warga masyarakat, dan bagi pengelolaan Tempat Pemakaman Bukan Umum tidak dibenarkan
dikelola secara komersial.
2. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun 2009
Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Pasal 8
(1) Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum.
(2) Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum.
(3) Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat
Kepercayaan.
(4) Bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat
Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menjadi pemakaman umum.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
78
G. Pelindungan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelindungan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa Dan Lembaga Adat.
- Pasal 7
(3) Pemerintah kabupaten / kota memberikan pelindungan
kepada Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(4) Bentuk pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi:
a. pelindungan terhadap eksistensi Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat;
b. penguatan peraturan perundangan dan/atau kebijakan daerah;
c. pelindungan dari pencitraan dan stigma yang kurang baik;
d. pelindungan terhadap kegiatan yang
diselenggarakan Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat;
e. pelindungan terhadap tempat-tempat yang diyakini
memiliki nilai historis dan nilai spiritual oleh Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat; dan
f. pencegahan perlakuan diskriminatif oleh masyarakat dan/atau aparatur pemerintah kabupaten/kota.
- Pasal 9 menyatakan: “Dalam memberikan pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban:
a. memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila;
b. memperhatikan tradisi, norma, etika, hukum adat dan jati diri bangsa;
c. memperhatikan sifat kerahasiaan dan kesucian unsur-
unsur kepercayaan dan adat tertentu yang dipertahankan oleh masyarakat;
d. memelihara ketentraman, ketertiban dan memfasilitasi terwujudnya kerukunan masyarakat;
e. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling
pengertian, saling menghormati dan saling percaya
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
79
antara Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya; dan
berkoordinasi dengan instansi sektoral dalam rangka memelihara kerukunan.
H. Pemberdayaan Dan Peningkatan Kapasitas Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelindungan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa Dan Lembaga Adat.
- Pasal 10
(3) Pemerintah kabupaten/kota melakukan
pemberdayaan dan peningkatan kapasitas Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(4) Bentuk pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sosialisasi nilai-nilai luhur kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan adat; b. sosialisasi peraturan perundangan-undangan dan
kebijakan daerah yang berkaitan dengan Lembaga
Kepercayaan dan Lembaga Adat; c. penyelenggaraan forum pertemuan dan dialog
tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat; dan
d. pelatihan dan bimbingan teknis Lembaga
Kepercayaan dan Lembaga Adat.
I. Advokasi Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pelindungan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dan Lembaga Adat.
- Pasal 12
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
80
(3) Pemerintah kabupaten/kota memberikan advokasi kepada Lembaga Kepercayaan dan Lembaga Adat.
(4) Advokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi:
a. fasilitasi perbaikan citra kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan adat;
b. fasilitasi pemenuhan hal-hak sipil;
c. fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam Lembaga Kepercayaan dan antar lembaga kepercayaan; dan
d. fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam Lembaga Adat dan antar lembaga adat.
-- --
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
81
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Pertimbangan filosofis yang menjadi landasan pokok Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa ini adalah cita-cita luhur pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Salah satu dimensi terpenting dalam prinsip keadilan
adalah adanya “perlakuan yang sama atau setara” (equal treatment). Artinya orang diperlakukan secara adil apabila ia
diberi kesempatan yang sama dan di bawah pertimbangan keadilan yang juga sama oleh pemerintah atau negara sehingga dengan itu ia bisa menikmati hak-hak dasarnya.78
Untuk mewujudkan itulah Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini dibuat. Lawan dari keadilan adalah diskriminasi, yang menurut
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasai Manusia, Pasal 1,
adalah : “Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengutangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan
aspek kehidupan lainnya. Lokus diskriminasi bisa terletak dalam bentuk tindakan,
maksud, tujuan, dan diskriminasi sebagai dampak. Diskriminasi sebagai tindakan merupakan tindakan pembatasan, pelecehan, pembedaan, pengucilan sebagai akibat
dari pandangann dan pilihan menyikapi perbedaan. Bentuk diskriminasi ini merupakan diskriminasi langsung.
Diskriminasi sebagai maksud/tujuan, juga merupakan
78 David Miller dalam Miller dan Walzer (ed), Pluralism, Justice and
Equality, (Oxford: Oxford Uni Press, 1995).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
82
diskriminasi langsung dalam bentuk tindakan yang diniatkan oleh pelakunya (atau oleh pembentuk undang-undang dalam
kontek produk hukum yang diskriminatif) sebagai tindakan untuk menimbulkan akibat terdiskriminasinya seseorang atau
kelompok. Diskriminasi sebagai dampak timbul dari pembedaan, pembatasan atau pengucilan yang menunjuk pada akibat dari upaya-upaya pengurangan dan penghapusan atau
pengakuan, penikmatan dan penggunaan hak asasi manusia.79 Dalam konteks penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini, Sejalan dengan tujuannya untuk mewujudkan keadilan sosial,
maka penghapusan diskriminasi juga menjadi tujuan dari penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa ini.
B. Landasan Sosiologis
Adapun pertimbangan sosiologis yang menjadi landasan pokok Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes
tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini adalah realitas yang menunjukkan bahwa banyak terjadi kebijakan negara yang kental dengan
nuansa politik monokultural.
Kebijakan dengan kecenderungan pada politik
monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi antar elemen multikultural, juga menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis.
Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting
dalam berbagai konflik multikultural.80
Kebijakan yang mengandung misrekognisi di bidang
apapun secara konseptual sama dengan atau akan berakibat pada terjadinya apa yang disebut dengan “eksklusi sosial”, yaitu proses menghalangi atau menghambat individu,
79 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Mengatur Kehidupan
Beragama; Menjamin Kebebasan Beragama? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, (Pustaka Masyarakat Setara, 2011)
80 Suharno, S. Pd., M. Si., Politik Rekognisi Dalam Peraturan Daerah Tentang Penyelesaian Konflik Di Dalam Masyarakat Multikultural, Disertasi pada
Program Studi S.3 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, tahun 2011.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
83
keluarga, kelompok atau komunitas dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial,
ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh.
Meskipun eksklusi sosial ini umumnya terjadi sebagai
konsekuensi dari kemiskinan dan penghasilan yang rendah, akan tetapi, eksklusi sosial bisa juga merupakan dampak dari faktor lain, seperti; diskriminasi, tingkat pendidikan yang
rendah, dan merosotnya kualitas lingkungan.
Melalui proses eksklusi sosial ini individu atau kelompok masyarakat untuk beberapa periode waktu kehidupannya
terputus dari layanan, jejaring sosial, dan peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat81.
Contoh ril terkait dengan kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi tersebut adalah kebijakan kebebasan beragama/berkeyakinan. Secara konstitusional,
negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal
28E, dan Pasal 29 UUD Negara RI 1945. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan jaminan kebebasan beragama /
berkeyakinan, yang pada pasal 18 Undang Undang tersebut dinyatakan, “Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta
perlindungan atas hak-hak tersebut”.82
Akan tetapi, semua jaminan ini terkikis oleh
kecenderungan arus politik penyeragaman (monokulturalisme). Pengikisan jaminan konstitusional kebebasan beragama / berkeyakinan tentu saja merupakan pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana tertuang dalam Undang Undang tersebut.
Penyikapan komprehensif atas kecenderungan ini mutlak
diperlukan untuk memastikan implementasi jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil
warga. Jika tidak, maka implementasi jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga akan mengalami hambatan yang cukup serius.
81 John Pierson, Tackling Social Exclusion, (London and New York :
Routledge, 2002). 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak Hak Sipil Dan Politik).
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
84
Apa yang dikemukakan pada bagian terakhir di atas terjadi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan
Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut menyatakan bahwa “keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database”.
Pasal-pasal tersebut di atas telah mendiskriminasi
sebagian warga negara --dalam hal ini warga negara penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang
kemudian menyebabkan sebagian warga negara tersebut tereksklusi untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya.
C. Landasan Yuridis
Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan pokok
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa ini adalah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-XIV/2016, yaitu putusan atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, yang menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64
ayat (5) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang kata “agama” dalam pasal pasal
tersebut tidak termasuk aliran kepercayaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97/PUU-
XIV/2016 tersebut telah membuka ruang inklusi sosial bagi para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perwujudan inklusi sosial adalah sesuatu yang imperatif dan
memiliki landasan yang kokoh, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
85
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
-- --
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
86
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Jangkauan Dan Arah Pengaturan
1. Nama Peraturan Daerah
Secara teknis penamaan judul peraturan perundang-undangan telah diatur dalam ketentuan di dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa nama peraturan perundang-
undangan yang dibuat harus singkat dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan tersebut. Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat
dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah mencerminkan isi
peraturan perundang–undangan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka naskah akademik ini memilih untuk mengusulkan Peraturan
Daerah dengan judul: PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA.
2. Konsideran
Konsideran yang digunakan dalam Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pelayanan Kepada Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini memuat tiga unsur pokok, yaitu; konsideran atau pertimbangan filosofis, pertimbangan sosiologis, dan pertimbangan
yuridis.
a. Pertimbangan Filosofis
Pertimbangan filosofis yang menjadi landasan
pokok Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini adalah cita-cita luhur pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
87
Salah satu dimensi terpenting dalam prinsip keadilan adalah adanya “perlakuan yang sama atau
setara” (equal treatment). Artinya orang diperlakukan secara adil apabila ia diberi kesempatan yang sama dan
di bawah pertimbangan keadilan yang juga sama oleh pemerintah atau negara sehingga dengan itu ia bisa menikmati hak-hak dasarnya.
Lawan dari keadilan adalah diskriminasi, yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengutangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya.
b. Pertimbangan Sosiologis
Pertimbangan sosiologis yang menjadi landasan
pokok Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini adalah realitas yang menunjukkan bahwa telah terjadi diskriminasi yang kemudian menyebabkan terjadinya eksklusi sosial atas
sebagian warga negara, khususnya warga masyarakat di Kabupaten Brebes.
Diskriminasi yang kemudian berakibat pada
eksklusi sosial tersebut terjadi sebagai akibat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Pasal 61 ayat (1), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan tersebut menyatakan bahwa “keterangan mengenai kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database”.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
88
Pasal-pasal tersebut di atas telah mendiskriminasi sebagian warga negara --dalam hal ini warga negara
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang kemudian menyebabkan sebagian warga
negara tersebut tereksklusi untuk mendapatkan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya.
c. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan pokok Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini adalah Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016, telah membuka ruang bagi
upaya untuk menciptakan inklusi sosial, khususnya terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara --dalam hal ini para
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang sebelumnya terdiskriminasi dan kemudian
tereksklusi, di bidang yang secara langsung menjadi implikasi dari administrasi kependudukan.
Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
tentu saja meniscayakan pengaturan yang bersifat lebih teknis terkait dengan berbagai hal yang menjadi implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Sayangnya, pengaturan dimaksud sampai saat ini belum ada.
Mengingat implikasi dari Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut adalah menyangkut pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal
para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa yang bersifat mendasar, maka keberadaan pengaturan tentang hal tersebut menjadi sesuatu yang mendesak
keberadaannya. Untuk wilayah Kabupaten Brebes, dimana
sebelum keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sebagian warga di sebagian wilayahnya --dalam hal ini adalah warga penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa-- mengalami diskriminasi, misrekognisi, dan eksklusi
dalam pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legalnya, perlu segera dibentuk aturan atau regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi dari
keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
89
Meskipun regulasi di tingkat nasional terkait tindak lanjut atas Putusan MK nomor 97/PUU-
XIV/2016 tersebut sampai saat ini belum ada, upaya untuk membentuk aturan atau regulasi yang mengatur
berbagai hal yang menjadi implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sebenarnya dapat dilakukan, sepanjang bidang-bidang
yang akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut tersedia payung hukumnya. Artinya, berbagai payung hukum yang terkait dengan bidang-bidang yang akan
diatur dalam aturan atau regulasi tersebut dapat dijadikan dasar atau rujukan dalam membentuk aturan
atau regulasi yang bersifat lebih spesifik untuk diterapkan di Kabupaten Brebes.
3. Ketentuan Umum
Pada Bagian Ketentuan Umum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Brebes Tentang
Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa diuraikan berbagai istilah yang sering disebut dalam pasal-pasal Ranperda tersebut. Penjelasan
istilah tersebut dimaksudkan untuk memberikan batasan pengertian atau definisi dari istilah yang digunakan, serta untuk memberikan makna dalam istilah yang digunakan
oleh pembentuk Peraturan. Pengertian dan pendefinisian yang diajukan dalam Ketentuan Umum tidak saja
mengandung penjelasan etimologis dan terminologis dari sisi kebahasaan, tapi lebih dalam dari itu juga menggambarkan pilihan konseptual dan paradigmatik atas
pengertian setiap istilah tersebut. Istilah-istilah yang penting untuk dikemukakan pada
Bab Ketentuan Umum Ranperda Pelayanan Kepada
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. 2. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
90
3. Kementerian adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 4. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
5. Daerah adalah Kabupaten Brebes.
6. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Brebes.
7. Bupati adalah Bupati Brebes.
8. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD Kabupaten Brebes, yaitu unsur pembantu Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah,
Kecamatan, dan Kelurahan. 9. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dibantu
Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
10. Pelayanan adalah layanan yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan administrasi organisasi, pendidikan kepercayaan,
sasana sarasehan atau sebutan lain, perkawinan, pemakaman, pelindungan, pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas, dan advokasi. 11. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi
dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
12. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
13. Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan terinventarisasi di
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
91
14. Surat Keterangan Terdaftar selanjutnya disingkat SKT adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan. 15. Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi Penghayat
Kepercayaan telah terinventarisasi pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
16. Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
diberikan kepada peserta didik penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
17. Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang selanjutnya disebut pendidikan kepercayaan adalah pembelajaran tentang kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. 18. Peserta Didik Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang selanjutnya disebut peserta didik adalah peserta didik pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan
kesetaraan yang menyatakan dirinya sebagai Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
19. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, pamong belajar, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
20. Sasana Sarasehan atau sebutan lain adalah tempat untuk melakukan kegiatan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk kegiatan
ritual. 21. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. 22. Pemakaman adalah kegiatan menguburkan jenazah,
mengkremasi, dan/atau menyimpan abu jenazah. 23. Tempat Pemakamam Umum adalah areal tanah yang
disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi
setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
92
24. Tempat Pemakaman Bukan Umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah
yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan.
25. Tempat Pemakaman Khusus adalah areal tanah yang digunakan untuk tempat pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai arti
khusus. 26. Pelindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Penghayat
Kepercayaan dalam rangka menjamin pemenuhan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, serta terlindungi dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.
27. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas adalah suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada Penghayat Kepercayaan dalam rangka mengembangkan kemandirian dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan,
perilaku, kemampuan, kesadaran, serta pemanfaatan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan
esensi masalah dan prioritas kebutuhan Penghayat Kepercayaan.
28. Advokasi adalah suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Penghayat Kepercayaan dalam rangka memberikan bantuan
untuk mendapatkan layanan yang sebelumnya tidak mereka dapatkan karena adanya diskriminasi.
4. Asas dan Tujuan
Asas merupakan prinsip yang menjadi landasan bagi pengaturan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berupa penghapusan segala bentuk diskriminasi. Asas yang menjiwai pengaturan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
a. Kemajemukan, merupakan asas keanekaragaman
identitas alamiah dan sosial warga. Kemajemukan merupakan realitas alamiah dan sosial Bangsa Indonesia. Asas ini menempatkan keanekaragaman
identitas alamiah dan sosial masyarakat Indonesia sebagai dasar bagi perlindungan untuk seluruh warga
dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan. Seluruh
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
93
pengaturan kehidupan beragama/berkeyakinan bertujuan untuk mewujudkan dan menjaga harmoni
dan toleransi dalam bingkai keanekaragaman tersebut. Selain itu, pengaturan tersebut juga harus memberikan
ruang keterlibatan (civic engagement) bagi seluruh unsur keanekaragaman tersebut.
b. Kesetaraan adalah prinsip positif berupa persamaan
kedudukan setiap orang di hadapan hukum dan pemerintahan negara, sehingga setiap orang berhak
untuk mendapatkan perlakuan adil dan terlindungi dari segala bentuk tindakan diskriminatif. Dengan asas ini, berarti setiap pemeluk agama (dan keyakinan) apapun
memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan negara, sebagai warga negara yang
memiliki seperangkat hak yang dijamin dalam Konstitusi.
c. Nondiskriminasi merupakan prinsip ketiadaan atau
penghapusan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan agama (dan
keyakinan) tertentu, yang mengakibatkan tercabutnya atau terkuranginya pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
d. Keadilan merupakan prinsip pemberian perlakuan yang
sama oleh negara kepada seluruh warga negara. Asas keadilan ini berarti bahwa negara memberikan
perlakuan yang sama, baik dalam hal pemberian hak-hak, penuntutan kewajiban-kewajiban, dan pelaksanaan penghukuman tertentu sesuai dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan negara itu.
e. Kebebasan merupakan prinsip pengakuan atas hak
seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama, untuk menentukan pilihan-pilihan mandiri (otonom) sesuai dengan pikiran, sikap, dan hati nuraninya. Asas ini
bermakna bahwa kebebasan seseorang dalam wilayah pribadi (forum internum) harus dijamin oleh negara dan
dilindungi dari intervensi pihak manapun, sedangkan ekspresi kebebasan tersebut dalam wilayah publik (forum eksternum) harus dijamin oleh negara dan
dilindungi dari intervensi pihak manapun, namun dapat dibatasi oleh negara secara minimal yaitu demi
kepentingan keamanan, ketertiban, kesehatan, moral
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
94
masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dasar orang lain sepanjang dalam kerangka masyarakat demokratis
dan demi kepentingan kesejahteraan sosial. Pembatasan tersebut dinyatakan dan mengacu sepenuhnya pada
pasal-pasal dalam Ranperda ini.
f. Kemanusiaan universal, merupakan prinsip pengakuan terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan yang telah
diakui oleh negara-negara beradab di dunia yang tertuang dalam berbagai instrumen internasional, yang
mengikat secara hukum maupun yang sebatas menjadi landasan moral bangsa beradab, baik yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia maupun
yang belum diratifikasi.
Di samping asas yang menjadi jiwa dan landasan pengaturan Ranperda Pelayanan Kepada Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, perlu ditentukan tujuan pengaturan dalam bentuk pembuatan
Peraturan tersebut. Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah:
a. mendukung Pemerintah Daerah dalam memberikan
jaminan pemenuhan hak-hak para Penghayat Kepercayaan sebagai warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. menumbuhkembangkan partisipasi, kontribusi, dan kreatifitas masyarakat Kabupaten Brebes dalam
pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia;
c. memupuk solidaritas antar anggota masyarakat dalam semboyan bhineka tunggal ika untuk mewujudkan
kehidupan yang harmonis, saling menghargai dan menghormati;
d. memfasilitasi Penghayat Kepercayaan yang belum terorganisir sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. membantu penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan Penghayat Kepercayaan.
B. Ruang Lingkup Materi Yang Diatur
Materi pokok yang akan diatur dalam Ranperda Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan adalah sebagai
berikut :
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
95
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II ASAS DAN TUJUAN
BAB II PELAYANAN
Bagian Kesatu; Bidang Pelayanan
Bagian Kedua; Administrasi Organisasi
Bagian Ketiga; Pendidikan Kepercayaan
Bagian Keempat; Sasana Sarasehan atau Sebutan Lain
Bagian Kelima; Perkawinan
Bagian Keenam; Pemakaman
Bagian Ketujuh; Pelindungan
Bagian Kedelapan; Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas
Bagian Kesembilan; Advokasi
BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN
BAB IV PELAPORAN
BAB V PENDANAAN
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
-- --
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
96
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai sebuah bangsa yang multikultural, upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia meniscayakan ruang koeksistensi (space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi berbagai
identitas pembentuk multikulturalitasnya. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa dalam banyak kebijakan negara, sejak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan Orde Baru,
menonjol politik monokultural. Kebijakan dengan kecenderungan pada politik monokulturalisme selain
mempersempit ruang koeksistensi antar elemen multikultural, juga menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural
tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme dan otoritarianisme. Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan
negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting dalam berbagai konflik multikultural.
Kebijakan yang mengandung misrekognisi di bidang apapun secara konseptual sama dengan atau akan berakibat pada terjadinya apa yang disebut dengan
“eksklusi sosial”, yaitu proses menghalangi atau menghambat individu, keluarga, kelompok atau komunitas
dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh.
Untuk di Indonesia, salah satu penyebab yang paling dominan terjadinya fenomena eksklusi sosial tersebut adalah adanya misrekognisi (kehilangan pengakuan) yang
dialami oleh sebagian warga negara akibat terjadinya diskriminasi, yang tampak dalam kebijakan yang
monokultural. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, yang mengandung misrekognisi terhadap penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang pada gilirannya melahirkan diskriminasi.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
97
Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016, telah membuka ruang bagi upaya untuk menciptakan inklusi
sosial, khususnya terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak legal warga negara --dalam hal
ini para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa--, yang sebelumnya terdiskriminasi dan kemudian tereksklusi, di bidang yang secara langsung menjadi
implikasi dari administrasi kependudukan.
Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 di atas tentu saja meniscayakan pengaturan yang bersifat lebih teknis
terkait dengan berbagai hal yang menjadi implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sayangnya,
pengaturan dimaksud sampai saat ini belum ada.
Mengingat implikasi dari Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut adalah menyangkut pemenuhan hak-
hak konstitusional dan hak-hak legal para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa yang bersifat
mendasar, maka keberadaan pengaturan tentang hal tersebut menjadi sesuatu yang mendesak keberadaannya.
Untuk wilayah Kabupaten Brebes, dimana sebelum
keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sebagian warga di sebagian wilayahnya --dalam hal ini adalah warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa-- mengalami diskriminasi, misrekognisi, dan eksklusi dalam pemenuhan hak-hak konstitusional dan
hak-hak legalnya, perlu segera dibentuk aturan atau regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016
tersebut.
Meskipun regulasi di tingkat nasional terkait tindak lanjut atas Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut
sampai saat ini belum ada, upaya untuk membentuk aturan atau regulasi yang mengatur berbagai hal yang menjadi
implikasi dari keluarnya Putusan MK nomor 97/PUU-XIV/2016 tersebut sebenarnya dapat dilakukan, sepanjang bidang-bidang yang akan diatur dalam aturan atau regulasi
tersebut tersedia payung hukumnya. Artinya, berbagai payung hukum yang terkait dengan bidang-bidang yang
akan diatur dalam aturan atau regulasi tersebut dapat dijadikan dasar atau rujukan dalam membentuk aturan atau regulasi yang bersifat lebih spesifik untuk diterapkan
di Kabupaten Brebes.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
98
B. Rekomendasi
1. Dari hasil kajian, deskripsi dan analisa dalam Naskah
Akademik ini direkomendasikan agar penyusunan Ranperda Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengadopsi substansi gagasan pengaturan sebagaimana tertuang dalam Naskah Akademik ini sebagai bahan utama merumuskan
norma-norma Peraturan. Dengan demikian, setiap rumusan klausul dalam Ranperda memiliki landasan dan rujukan yang kokoh secara ilmiah.
2. Ranperda Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapatkan
prioritas pembahasan mengingat kebutuhan akan Perda ini sangat mendesak.
3. Dalam rangka memperoleh input material yang lebih
luas, diperlukan kegiatan-kegiatan lanjutan yang berjalan secara pararel dengan pembahasan Ranperda
Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini. Pelibatan masyarakat secara lebih luas, kalangan perguruan tinggi, tokoh agama,
lembaga swadaya masyarakat, media, dan lain-lain menjadi keharusan bagi penyempurnaan Naskah Akademik ini.
-- --
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
99
DAFTAR PUSTAKA
Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice, (Cambridge : Cambridge University Press, 2005)
Arif Maftuhin dalam artikelnya yang berjudul, “Mendefinisikan Kota Inklusif: Asal Usul, Teori dan Indikator”, dalam Jurnal Tata Kelola, Volume 19 Nomor 2, Mei 2017, hlm. 93 – 103,
(Semarang : Biro Penerbit Planologi Undip, 2017)
Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Jogjakarta : Galang Press, 2001)
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2002)
David Miller dalam Miller dan Walzer (ed), Pluralism, Justice and Equality, (Oxford: Oxford Uni Press, 1995)
Dokumen Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung
: Zaman Wacana Mulia, 1999)
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Rajagrafi ndo Perkasa, 1994)
F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, (Yogyakarta : CV. Ganda,
2007)
Farrel M Rizky, Bung Karno di Antara Saksi dan Peristiwa, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas Gramedia, 2009)
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), (Jakarta : Sinar Grafika, 2013)
Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Mahakamah Konstitusi, 2010)
............, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
2002)
John Pierson, Tackling Social Exclusion, (London and New York : Routledge, 2002)
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (New York : Scribner‟s Sons, 1958)
Nurcholis Madjid, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1988)
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
100
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2006)
Phillipe E Hammond (ed.), The Sacred in A Secular Age, (Berkeley, Los Angeles, London : University of California Press, 1985)
Phillipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
2005)
Robert N. Bellah, Tokugawa Religion; the Cultural Roots of Modern
Japan, (New York : the Free Press, 1985)
Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945”, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2009)
Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat SH, MS (masa bakti 1 April 2013 sd 1 April 2018) yang
disampaikan oleh Sekjend. Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam dialog refleksi 12 Tahun SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) di Gedung Mahkamah
Konstitusi (23 November 2016).
Selim Jahan, et. all., Human Development Report 2016; Human Development for Everyone, (New York : United Nations Development Programme, 2016)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajagrafindo Persada,
2006)
Suharno, S. Pd., M. Si., Politik Rekognisi Dalam Peraturan Daerah Tentang Penyelesaian Konflik Di Dalam Masyarakat Multikultural, Disertasi pada Program Studi S.3 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
tahun 2011.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
101
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES TENTANG PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
102
BUPATI BREBES PROVINSI JAWA TENGAH
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES
NOMOR ……. TAHUN 2018
TENTANG
PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
DI KABUPATEN BREBES
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BREBES,
Menimbang : a. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
merupakan salah satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh dari leluhur Bangsa
Indonesia; b. bahwa Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan warga negara Republik
Indonesia, berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan
kebebasan meyakini kepercayaannya; c. bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, Pemerintah
Daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan,
kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan nilai sosial
budaya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Di Kabupaten Brebes. Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1950 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah; 3. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
103
Negara Republik Indonesia Nomor 3019); 4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2013 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5475); 5. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5038); 6. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2O13 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430);
8. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 9. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2O13 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
104
Nomor 6084); 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang
Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3730);
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1987 Tentang Penyediaan Penggunaan Tanah
Untuk Keperluan Tempat Pemakaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 15);
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4736)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 265, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5373); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
15. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
16. Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
105
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat;
17. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 Tahun
2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
18. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor
77 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dan Lembaga Adat (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 856); 19. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor
10 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelestarian Tradisi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 187);
20. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1121);
21. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1989 Tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 Tentang Penyediaan
Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman;
22. Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Lembaran Daerah Kabupaten Brebes
Tahun 2014 Nomor 9);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BREBES
Dan
BUPATI BREBES
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PELAYANAN KEPADA PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DI KABUPATEN BREBES
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
106
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. 3. Kementerian adalah Kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
5. Daerah adalah Kabupaten Brebes.
6. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Brebes. 7. Bupati adalah Bupati Brebes.
8. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD Kabupaten Brebes, yaitu unsur pembantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari
Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
9. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dibantu Perangkat Desa
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. 10. Pelayanan adalah layanan yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan administrasi organisasi, pendidikan kepercayaan, sasana sarasehan atau sebutan
lain, perkawinan, pemakaman, pelindungan, pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, dan advokasi.
11. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa
Indonesia.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
107
12. Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap
orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
13. Organisasi Penghayat Kepercayaan, adalah suatu wadah Penghayat Kepercayaan yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan terinventarisasi di Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
14. Surat Keterangan Terdaftar selanjutnya disingkat SKT adalah
bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan.
15. Tanda Inventarisasi adalah bukti organisasi Penghayat Kepercayaan telah terinventarisasi pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 16. Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada peserta didik penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
17. Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang selanjutnya disebut pendidikan kepercayaan adalah pembelajaran tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. 18. Peserta Didik Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang selanjutnya disebut peserta didik adalah peserta didik pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan kesetaraan yang
menyatakan dirinya sebagai Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
19. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, pamong belajar, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
20. Sasana Sarasehan atau sebutan lain adalah tempat untuk
melakukan kegiatan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk kegiatan ritual.
21. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 22. Pemakaman adalah kegiatan menguburkan jenazah,
mengkremasi, dan/atau menyimpan abu jenazah.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
108
23. Tempat Pemakamam Umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap
orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau
Pemerintah Desa. 24. Tempat Pemakaman Bukan Umum adalah areal tanah yang
disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang
pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan.
25. Tempat Pemakaman Khusus adalah areal tanah yang
digunakan untuk tempat pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai arti khusus.
26. Pelindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Penghayat Kepercayaan dalam rangka menjamin pemenuhan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya,
serta terlindungi dari tindakan kekerasan dan diskriminasi. 27. Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas adalah suatu
bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
kepada Penghayat Kepercayaan dalam rangka mengembangkan kemandirian dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta pemanfaatan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan
yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan Penghayat Kepercayaan.
28. Advokasi adalah suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada Penghayat Kepercayaan dalam rangka memberikan bantuan untuk mendapatkan layanan yang sebelumnya tidak mereka dapatkan karena adanya
diskriminasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan asas :
a. Kemajemukan b. Kesetaraan c. Nondiskriminasi
d. Keadilan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
109
e. Kebebasan f. Kemanusiaan
Pasal 3
Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah: a. mendukung Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan
pemenuhan hak-hak para Penghayat Kepercayaan sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. menumbuhkembangkan partisipasi, kontribusi, dan kreatifitas
masyarakat Kabupaten Brebes dalam pelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia;
c. memupuk solidaritas antar anggota masyarakat dalam semboyan bhineka tunggal ika untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis, saling menghargai dan menghormati;
d. memfasilitasi Penghayat Kepercayaan yang belum terorganisir sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; e. membantu penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan
Penghayat Kepercayaan.
BAB III
PELAYANAN
Bagian Kesatu Bidang Pelayanan
Pasal 4
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. administrasi organisasi;
b. pendidikan kepercayaan; c. sasana sarasehan atau sebutan lain; d. perkawinan;
e. pemakaman; f. pelindungan; g. pemberdayaan dan peningkatan kapasitas; dan
h. advokasi.
Pasal 5
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
110
Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah
Daerah berkewajiban: a. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan masyarakat; b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati, dan saling percaya antar Penghayat
Kepercayaan, antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat, dan antara Penghayat Kepercayaan dengan Pemerintah;
c. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal dan perangkat daerah dalam pemeliharaan kerukunan antar Penghayat
Kepercayaan, antara Penghayat Kepercayaan dengan masyarakat, dan antara Penghayat Kepercayaan dengan Pemerintah.
Bagian Kedua Administrasi Organisasi
Pasal 6
(1) Bupati menerbitkan SKT organisasi Penghayat Kepercayaan.
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan sebagai berikut:
a. akte pendirian yang dibuat oleh Notaris; b. program kerja ditandatangani ketua dan sekretaris; c. Surat Keputusan Pendiri atau hasil musyawarah nasional
atau sebutan lainnya yang menyatakan susunan kepengurusan;
d. foto copy Surat Keterangan Terinventarisasi;
e. riwayat hidup (biodata), pas foto berwarna ukuran 4 X 6 cm, foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus
provinsi yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara masing-masing sebanyak 1 lembar:
f. formulir isian;
g. data lapangan; h. foto tampak depan dengan papan nama alamat
kantor/sekretariat; i. Nomor Pokok Wajib Pajak; j. Surat Keterangan Domisili ditandatangani oleh lurah dan
camat; k. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
111
l. surat keterangan organisasi tidak sedang terjadi konflik internal dengan bermaterai cukup yang ditandatangani
ketua dan sekretaris; dan m. surat keterangan bahwa organisasi tidak berafiliasi dengan
partai politik dengan bermaterai cukup yang ditandatangani ketua dan sekretaris.
Pasal 7
Surat Keterangan Terinventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d diajukan oleh pengurus organisasi kepada
Menteri dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: a. formulir isian; b. AD / ART;
c. ajaran tertulis; d. susunan pengurus;
e. daftar nominatif anggota; f. program kerja; dan g. riwayat hidup sesepuh.
Bagian Ketiga Pendidikan Kepercayaan
Pasal 8
(1) Peserta Didik memenuhi pendidikan agama melalui Pendidikan
Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kurikulum.
(2) Muatan Pendidikan Kepercayaan wajib memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, buku teks pelajaran, dan pendidik.
(3) Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh Majelis Luhur Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan diajukan kepada Kementerian untuk ditetapkan.
Pasal 9
Dalam penyediaan Pendidikan Kepercayaan sebagaimana
dimaksud pasal 8, Pemerintah Daerah dan satuan pendidikan dapat bekerjasama dengan Organisasi Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah terdaftar sesuai peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
112
Pasal 10
Pendidik memberikan pelajaran Pendidikan Kepercayaan sesuai dengan ajaran kepercayaan peserta didik dengan mengacu pada
pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3)
Bagian Keempat
Sasana Sarasehan atau Sebutan Lain
Pasal 11
(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan
atas keperluan nyata dan sungguh-sungguh bagi Penghayat
Kepercayaan. (2) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan.
Pasal 12
Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 harus memenuhi persyaratan administrasi dan
persyaratan teknis bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
(1) Penghayat Kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan untuk penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain dengan bangunan baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) kepada Bupati. (2) Bupati memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sejak diterimanya permohonan pendirian sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 14
(1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lainnya yang telah
mendapat ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mendapat penolakan dari masyarakat, Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan
dimaksud.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
113
(2) Dalam hal fasilitasi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terlaksana, Pemerintah Daerah
berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sasana sarasehan atau sebutan lain.
Pasal 15
Bupati memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Bagian Kelima
Perkawinan
Pasal 16 (1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan
Pemuka Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat
kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan (2) didaftar pada Kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Pasal 17
(1) Peristiwa perkawinan Penghayat Kepercayaan sebagaimana
dimaksud Pasal 16 wajib dilaporkan kepada Kantor Catatan
Sipil paling lambat 60 hari sejak perkawinan berlangsung. (2) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilampiri surat
perkawinan yang ditandatangani pemuka Penghayat Kepercayaan, salinan KTP, pasphoto, dan akta kelahiran suami dan isteri, atau paspor suami–isteri bagi orang asing.
(3) Petugas pada Kantor Catatan Sipil mencatat peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dengan tata cara:
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan; dan
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
114
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(4) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.
Bagian Keenam
Pemakaman
Pasal 18
(1) Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dapat
dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, Tempat Pemakaman Bukan Umum, atau Tempat Pemakaman Khusus.
(2) Tempat Pemakaman Bukan Umum sebagaimana dimaksud
ayat (1) adalah Tempat Pemakaman Bukan Umum yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan
Penghayat Kepercayaan. (3) Tempat Pemakaman Khusus sebagaimana dimaksud ayat (1)
adalah Tempat Pemakaman Khusus yang mempunyai arti
khusus karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan yang berhubungan dengan Penghayat Kepercayaan.
Pasal 19
(1) Penunjukan dan penetapan lokasi tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Umum dilaksanakan oleh Bupati.
(2) Penunjukan dan penetapan lokasi tanah termasuk tanah
wakaf untuk keperluan Tempat Pemakaman Bukan Umum dilaksanakan oleh Bupati dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri.
(3) Dalam melakukan penunjukan dan penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus berdasarkan pada
Rencana Pembangunan Daerah dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: d. tidak berada dalam wilayah yang padat penduduknya;
e. menghindari penggunaan tanah yang subur; f. memperhatikan keserasian dan keselarasan lingkungan
hidup; g. mencegah pengrusakan tanah dan lingkungan hidup; h. mencegah penggunaan tanah yang berlebih-lebihan.
Pasal 20
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
115
(1) Areal tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Umum diberikan status Hak Pakai selama dipergunakan untuk
keperluan Pemakaman. (2) Areal tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Bukan
Umum diberikan status Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku kecuali tanah wakaf yang dipergunakan untuk tempat pemakaman, dengan
status Hak Milik.
Pasal 21
(1) Pengelolaan Tempat Pemakaman Umum yang terletak di Kota
dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Daerah.
(2) Pengelolaan Tempat Pemakaman Umum di Desa dilakukan
oleh Pemerintah Desa berdasarkan Peraturan Daerah. (3) Pengelolaan Tempat Pemakaman Bukan Umum dilakukan oleh
suatu Badan atau Badan Hukum yang bersifat sosial dan/atau bersifat keagamaan dengan izin Bupati.
(4) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan setelah
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
Pasal 22
(1) Dalam pelaksanaan pengelolaan Tempat Pemakaman Umum dan Tempat Pemakaman Bukan Umum harus memperhatikan dan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai lingkungan hidup. (2) Dalam pengelolaan Tempat Pemakaman Umum Pemerintah
Daerah mengusahakan agar tidak memberatkan warga
masyarakat, dan bagi pengelolaan Tempat Pemakaman Bukan Umum tidak dibenarkan dikelola secara komersial.
Bagian Ketujuh
Pelindungan
Pasal 23 (1) Pemerintah Daerah memberikan pelindungan kepada
Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
116
(2) Bentuk pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pelindungan terhadap eksistensi Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya;
b. penguatan peraturan perundangan dan/atau kebijakan daerahterkait eksistensi Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya;
c. pelindungan dari pencitraan dan stigma yang kurang baik terhadap Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya;
d. pelindungan terhadap kegiatan yang diselenggarakan
Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya; e. pelindungan terhadap tempat-tempat yang diyakini
memiliki nilai historis dan nilai spiritual oleh Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya; dan
f. pencegahan perlakuan diskriminatif oleh masyarakat
dan/atau aparatur pemerintah terhadap Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya.
Pasal 24
Dalam memberikan pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pemerintah Daerah berkewajiban: a. memperhatikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila;
b. memperhatikan tradisi, norma, etika, hukum adat dan jati diri bangsa;
c. memperhatikan sifat kerahasiaan dan kesucian unsur-unsur kepercayaan yang dipertahankan oleh masyarakat;
d. memelihara ketentraman, ketertiban dan memfasilitasi
terwujudnya kerukunan masyarakat; e. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian,
saling menghormati dan saling percaya antara Penghayat
Kepercayaan dan Lembaganya dengan masyarakat dan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya; dan
f. berkoordinasi dengan instansi sektoral dalam rangka memelihara kerukunan.
Bagian Kedelapan
Pemberdayaan dan Peningkatan Kapasitas
Pasal 25
(1) Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
117
(2) Bentuk pemberdayaan dan peningkatan kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. sosialisasi nilai-nilai luhur kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. sosialisasi peraturan perundangan-undangan dan kebijakan daerah yang berkaitan dengan Penghayat Kepercayaan dan Lembaganya;
c. penyelenggaraan forum pertemuan dan dialog tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; dan
d. pelatihan dan bimbingan teknis Penghayat Kepercayaan
dan Lembaganya.
Bagian Kesembilan
Advokasi
Pasal 26
(1) Pemerintah Daerah memberikan advokasi kepada Penghayat
Kepercayaan dan Lembaganya. (2) Advokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain
meliputi:
a. fasilitasi perbaikan citra kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
b. fasilitasi pemenuhan hal-hak sipil Penghayat Kepercayaan; dan
c. fasilitasi penyelesaian permasalahan Penghayat
Kepercayaan dan permasalahan antar lembaga kepercayaan.
Pasal 27
Bupati melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan
kebijakan, program, dan kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan di Daerah.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 28
(1) Perselisihan antara Penghayat Kepercayaan dengan bukan
Penghayat Kepercayaan diselesaikan secara musyawarah
untuk mufakat antar kedua belah pihak.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
118
(2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, Bupati memfasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal fasilitasi penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui proses peradilan.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 29
(1) Bupati melaporkan penyelenggaraan pelayanan Penghayat
Kepercayaan di daerah kepada Gubernur.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau
sewaktu-waktu jika diperlukan.
BAB VI PENDANAAN
Pasal 30
(1) Penyelenggaraan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan dapat didanai dari dan atas beban: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
(1) Ketentuan teknis mengenai pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Daerah ini dan Peraturan Perundang-undangan yang relevan lainnya.
(2) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud ayat (1) dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.
Naskah Akademik Raperda Tentang Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
119
Pasal 32
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Brebes
pada tanggal ………………. 2018
BUPATI BREBES,
ttd
……………………..
Diundangkan di Brebes
pada tanggal …………………. 2018
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN BREBES,
ttd
…………………
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES TAHUN 2018 NOMOR ……………