Download - Mastoiditis Akut
Mastoiditis akut: studi satu tahun pada Rumah Sakit Anak Universitas Kairo
Abstrak
Latar belakang: Mastoiditis akut adalah sebuah komplikasi serius dari otitis media akut,
terutama pada kelompok usia anak-anak. Studi ini melaporkan pengalaman penulis dalam
perawatan anak-anak dengan mastoiditis akut yang dimasukkan ke Rumah Sakit Anak
Universitas Kairo selama tahun 2007. Kami juga bermaksud untuk mengevaluasi
penatalaksanaan yang kami lakukan untuk penyakit serius ini.
Metode-metode: Sebanyak 19 anak diikutsertakan dalam studi ini, yaitu sebelas orang
perempuan dan delapan orang laki-laki. Usia mereka berkisar antara sembilan bulan sampai
sebelas tahun. Semua anak dirawat dengan antibiotik intravena pada saat awal masuk.
Miringotomi dipertimbangkan untuk kasus-kasus yang tidak memberikan respon terhadap
perawatan medis selama 48 jam. Sementara kortikal mastoidektomi (dengan miringotomi)
dicadangkan untuk kasus-kasus yang pada awalnya menunjukkan abses subperiosteal dengan
atau tanpa fistula post aurikula, untuk kasus-kasus dengan komplikasi intra-cranial dan untuk
kasus-kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap miringotomi (setelah 48 jam).
Tindakan lanjutan untuk pasien dilaksanakan selama minimal satu tahun.
Hasil-hasil: Penatalaksanaan medis saja mencukupi untuk diberikan pada lima kasus (26%);
semua kasus tersebut memiliki kemerahan pada mastoid pada tampilan yang pertama. Tujuh
kasus (37%) membutuhkan miringotomi, dua diantaranya tidak menunjukkan respon dan
keduanya membutuhkan kortikal mastoidektomi. Lima kasus yang lain menunjukkan respon
yang baik, kecuali untuk satu kasus yang berkembang menjadi abses subperiosteal post
aurikula dua bulan kemudian, yang mengharuskan kortikal mastoidektomi dan tidak ada bukti
adanya kejadian ulangan sampai akhir periode tindak lanjut. Tujuh kasus (37%) hadir dengan
abses subperiosteal dan kasus-kasus tersebut membutuhkan kortikal mastoidektomi dengan
miringotomi. Kasus-kasus ini tidak menunjukkan kejadian ulangan sampai akhir studi.
Kesimpulan: Penatalaksanaan konservatif merupakan sebuah metode yang efektif pada
perawatan mastoiditis akut tanpa komplikasi. Tapi miringotomi hendaknya dipertimbangkan
jika tidak ada respon dalam waktu 48 jam. Kortikal mastoidektomi hendaknya digunakan
bersama-sama dengan penatalaksanaan medis pada perawatan kasus-kasus komplikatif.
Latar belakang
Mastoiditis akut adalah sebuah komplikasi serius dari Otitis Media Akut. Penyakit ini lebih
umum pada kelompok usia anak-anak karena kebanyakan pasien berusia lebih muda dari
empat tahun. Jumlah kejadian yang lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih muda
mencerminkan usia puncak untuk Otitis Media Akut. Namun demikian, kejadiannya telah
berkurang karena revolusi terapi antibiotik. Beberapa literatur terkini menyatakan
peningkatan kejadian penyakit pada tahun-tahun terakhir, terutama di negara-negara dengan
peresepan antibiotik yang lebih sedikit. Sementara literatur yang lain melaporkan tidak
adanya penambahan kejadian meskipun ada petunjuk nasional mengenai pembatasan
peresepan antibiotik. Penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi-komplikasi signifikan dan
membahayakan kehidupan diluar sistem timpanomastoid; termasuk abses subperiosteal, abses
Bezold, kelumpuhan wajah, labirintis supurative, meningitis, penyakit epidural dan subdural,
abses otak, thrombophlebitis sinus lateral, dan otitis hidrocephalus.
Perawatan mastoiditis akut bermacam-macam, mulai dari penatalaksanaan konservatif
dalam bentuk terapi antibiotik yang diawasi orang tua sampai miringotomi (dengan atau
tanpa penempatan tabung ventilasi), hingga tindakan intervensi yang lebih agresif dalam
bentuk mastoidektomi.
Laporan studi ini merupakan pengalaman penulis pada perawatan anak-anak dengan
mastoiditis akut yang dimasukkan ke Rumah Sakit Anak Universitas Kairo selama tahun
2007. Kami juga bermaksud untuk mengevaluasi penatalaksanaan kami yang ada saat ini
untuk penyakit serius ini dalam populasi anak-anak.
Metode-metode
Studi ini melibatkan semua pasien anak-anak yang hadir dengan mastoiditis akut selama
tahun 2007 pada Unit Otolaringologi, Rumah Sakit Anak Universitas Kairo. Subyeknya
terdiri dari 19 anak, sebelas orang perempuan dan delapan orang laki-laki. Usia mereka
berkisar antara sembilan bulan sampai sebelas tahun, dengan usia rata-rata empat tahun dan
tujuh bulan. Penyebaran bulanan kasus-kasus tersebut dicatat dan dianalisis.
Protokol berikut diimplementasikan pada semua kasus:
Pengambilan riwayat dan pemeriksaan otolaringologi: kriteria untuk diagnosis
mastoiditis akut adalah tanda-tanda inflamasi post aurikula, perpindahan aurikula
antero-inferior dan bukti adanya otitis media akut atau yang baru saja terjadi. Riwayat
serangan Otitis Media Akut sebelumnya dicatat. Para pasien dengan data yang tidak
lengkap atau dimana diagnosis tidak bersifat konklusif dikecualikan. Selain itu, para
pasien yang diduga mengalami kolesteatom juga dikecualikan.
Studi mikrobiologis: kultur dilakukan untuk kasus-kasus yang hadir dengan kotoran
telinga sebelum memulai terapi antibiotik, sementara kultur ini tidak dilakukan untuk
kasus-kasus yang berada pada terapi antibiotik karena hasilnya bisa jadi tidak dapat
dipercaya (misalnya, antibiotik tersebut bisa mempengaruhi pertumbuhan bakteri).
Kultur tersebut juga tidak dilakukan untuk kasus-kasus yang hadir dengan membran
timpani yang utuh dan bahkan setelah miringotomi karena semua kasus yang
menjalani tindakan ini sudah berada pada terapi antibitoik.
CT scan tulang temporal dilakukan untuk semua kasus guna mendeteksi komplikasi-
komplikasi yang bisa muncul dengan mastoiditis akut. Namun demikian, MRI
merupakan alat diagnosis yang lebih diandalkan untuk komplikasi-komplikasi intra-
cranial. Tapi protokol dari institusi kami adalah harus melakukan CT scan dengan
kontras karena peralatan yang terbatas.
Penatalaksanaan: pada saat penerimaan, semua anak dirawat dengan antibiotik
intravena (Ceftriaxone dalam dosis 20-50 mg/kg berat tubuh selama minimal satu
minggu, tapi hal ini dapat diubah setelah kulturnya memberikan hasil). Miringotomi
dipertimbangkan untuk kasus-kasus yang tidak memberi respon terhadap perawatan
medis selama 48 jam. Sementara kortikal mastoidektomi (dengan miringotomi)
dicadangkan untuk kasus-kasus yang pada awalnya hadir dengan abses subperiosteal
– terlihat secara klinis atau secara radiologis – dengan atau tanpa fistula post-aurikula,
untuk kasus-kasus dengan komplikasi-komplikasi intra-cranial dan untuk kasus-kasus
yang tidak menunjukkan respon terhadap miringotomi saja (setelah 48 jam).
Miringotomi dilakukan tanpa adanya pemasukan tabung ventilasi menurut protokol
institut kami jika terjadi infeksi. Kegagalan perawatan didefinisikan sebagai
keberlanjutan nyeri post aurikular dan/atau demam.
Tindak lanjut kepada para pasien dilaksanakan selama minimal satu tahun setelah
keluar dari rumah sakit.
Hasil-hasil
Diantara 10.654 pasien yang datang ke Klinik Pasien Luar, Rumah Sakit Anak Universitas
Kairo pada tahun 2007; 19 anak diterima dengan mastoiditis akut, sebelas orang perempuan
dan delapan orang laki-laki dengan usia rata-rata empat tahun dan tujuh bulan. Orang tua dari
12 anak memberikan riwayat serangan Otitis Media Akut sebelumnya, satu anak memiliki
riwayat insisi telinga belakang untuk pengeringan abses post aurikular, dan tidak ada pasien
kami yang memiliki sindrom-sindrom kongenital, anomali-anomali craniofacial atau
imunodefisiensi. Hanya tujuh anak yang menerima antibiotik oral sebelum penampilan.
Penyebaran kasus bulanan menunjukkan puncak tertinggi penyakit pada bulan Maret
(5 kasus = 26%) diikuti dengan puncak lainnya pada bulan Desember (4 kasus = 21%).
Mengenai tampilan klinisnya (Tabel 1); delapan kasus hadir dengan erythema dan
kelunakan diatas mastoid, dengan membran timpani yang padat pada enam kasus
diantaranya, sementara dua kasus lainnya menunjukkan perlubangan dan kotoran. Tujuh
kasus hadir dengan pembengkakan post aurikula yang tidak tetap dengan membran timpani
padat pada satu kasus dan perlubangan dengan kotoran pada enam kasus. Dua kasus hadir
dengan pembengkakan post aurikula (Gambar 1) yang disertai dengan perlubangan dan
kotoran membran timpani. Dua kasus hadir dengan post aurikula yang melepaskan fistula
(Gambar 1), yang keduanya memiliki membran timpani yang berlubang dengan kotoran.
Kultur bakteri dari kotoran telinga dilakukan untuk 12 kasus; Streptococcus
pneumoniae teridentifikasi pada lima kasus dan Streptococcus pyogenes pada tiga kasus,
sementara Staphylococcus aureus diisolasi pada satu kasus. Tidak didapatkan pertumbuhan
pada tiga kasus. Organisme-organisme yang terisolasi menunjukkan sensitivitas terhadap
Ceftriaxone.
Temuan-temuan radiologis (CT scan) dari tulang mastoid menunjukkan abses
subperiosteal dengan kerusakan korteks pada tujuh kasus; salah satunya menunjukkan
trombosis sinus sigmoid meskipun tidak ada perwujudan klinisnya (Gambar 2).
Mengenai hasil perawatan (Tabel 2); penatalaksanaan medis saja mencukupi pada
lima kasus (26%); semuanya memiliki kemerahan pada mastoid pada tampilan yang pertama.
Miringotomi dilakukan untuk tujuh kasus (37%); dua diantaranya tidak menunjukkan adanya
perbaikan dan dua kasus tersebut membutuhkan kortikal mastoidektomi. Sementara
perbaikan dicapai pada lima kasus dengan tanpa kejadian ulangan, kecuali pada satu kasus
yang berkembang menjadi abses subperiosteal post aurikula dua bulan kemudian, yang
mengharuskan kortikal mastoidektomi dengan miringotomi. Kortikal mastoidektomi dengan
miringotomi pada awalnya dilakukan bersama-sama dengan terapi antibiotik untuk tujuh
kasus (37%) yang hadir dengan abses subperiosteal dengan atau tanpa fistula (dilakukan
pengeringan trombosis sinus sigmoid pada salah satu diantaranya). Semua kasus yang
diarahkan pada kortikal mastoidektomi – baik pada saat permulaan atau setelah kegagalan
miringotomi – tidak menunjukkan adanya kejadian ulangan sampai akhir studi ini.
Table 1 clinical features at presentation
Clinical feature Number n = 19 Percentage
Post-aural erythema 8 42
Non-fluctuant post-aural swelling 7 37
Fluctuant post-aural swelling 2 10.5
Post-aural fistula 2 10.5
Congested tympanic membrane 7 37
Perforation and discharge 12 63
Figure 1 Post-auricular abscess. (A) without fistula and (B) with fistula.
Figure 2 CT of the skull shows subperiosteal abscess, (A) axial view and (B) coronal view with the arrow points to sigmoid sinus thrombosis
Table 2 treatment outcome
Treatment Number n = 19 Improved patients Recurrence
Antibiotic therapy alone 5 5 0
Myringotomy 7 5 1
Cortical mastoidectomy 10 10 0
Diskusi
Tidak diragukan lagi bahwa jumlah kejadian mastoiditis akut telah menurun pada era pasca
antibiotik. Pada 1946, House menunjuk kepada sebuah penurunan jumlah mastoidektomi
sebesar 80% yang dilakukan setelah pengenalan sulfonamid. Pada 1959, Palva dan Pukkinen
melaporkan bahwa 0,4% Otitis Media Akut berkembang menjadi mastoiditis akut. Sementara
pada 1985, jumlah kejadiannya berkurang hingga 0,004%. Akhir-akhir ini, beberapa penulis
menemukan bahwa jumlah anak-anak yang dimasukkan ke beberapa rumah sakit dengan
mastoiditis akut telah meningkat. Namun, Luntz. melaporkan bahwa penggunaan antibiotik
bukanlah jaminan yang aman terhadap mastoiditis akut dan hal ini bisa mengarah ke
mastoiditis laten (tertutupi). Kvaerner – dalam studinya yang berbasis pendaftaran atas 399
anak Norwegia – juga membuktikan bahwa jumlah kejadian mastoiditis akut belum
bertambah di Norwegia meskipun ada pembatasan nasional untuk penggunaan antibiotik pada
perawatan primer.
Pada studi ini, 19 kasus terdiagnosis mengalami mastoiditis akut sebagai bentuk
komplikasi Otitis Media Akut selama tahun 2007 di Unit Otolaringologi Anak dari institusi
kami; sekitar 47% kasus tercatat pada bulan Maret dan Desember. Hal ini bisa dijelaskan
dengan jumlah kejadian yang tinggi dari demam biasa dan Otitis Media Akut dalam periode
tahun ini.
Benito dan Gorricho melaporkan bahwa tidak diketahui apakah kegagalan
mendiagnosis Otitis Media Akut secara cepat mempengaruhi kecenderungan mastoiditis akut,
atau penyakit telinga tengah pada kasus-kasus tersebut memerlukan tindakan subklinis;
terutama pada balita. Di sisi lain, Glyn mempelajari 29 anak dengan mastoiditis akut; 69%
pasien mereka sebelumnya tidak memiliki riwayat Otitis Media Akut, sebelum tampilan.
Namun, semua kasus kami memiliki patologi telinga tengah, baik dalam bentuk membran
timpani yang padat atau berlubang, yang hampir sesuai dengan hasil dari Luntz yang
melaporkan perubahan-perubahan patologis dari membran timpani pada semua kasus mereka,
kecuali pada 3,1% kasusnya. Bahadori juga melaporkan perubahan-perubahan membran
timpani pada 95% kasus mereka.
Sel-sel udara mastoid berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui aditus dan
antrum yang besar kemungkinan dapat terhalangi oleh reaksi inflamasi dari mukosa pembatas
dalam Otitis Media Akut, yang mengakibatkan lubang mastoid tidak mengering yang
terinfeksi. Sementara telinga tengah dapat mengering melalui saluran eustasius. Sehingga,
tampilan klasik dari mastoiditis akut berupa pembengkakan telinga belakang dengan tanda-
tanda inflamasi.
Pada mastoiditis akut klasik, tonjolan aurikula dan cellucitis retroaurikular penting
untuk diagnosis. Pada tahap ini atau sesudahnya, membran timpani yang melemah bisa
pecah, dan dapat berkembang menjadi otorrhea akut. Sebelum kerusakan tulang mastoid
(osteoitis), ada phlegmon yang tersebar (inflamasi akut jaringan penghubung yang mendasari
rongga mastoid).
Perkembangan lebih lanjut dari proses inflamasi didalam ruang mastoid mengarah
kepada kerusakan sistem delicate trabekular (mastoidis gabungan). Abses subperiosteal, yang
lebih mengarah ke atau secara langsung diatas ujung mastoid, terjadi ketika pernanahan
keluar melalui korteks mastoid luar yang menipis (atau dengan thrombophlebitis sebuah
vena) dan terjebak oleh periosteum dan kulit diluar tulang temporal dan ujung mastoid.
Mengenai tampilan klinis para pasien kami; 42% kasus menunjukkan erythema post-
aurikular, pembengkakan post-aurikular ditemukan pada 58% kasus (berupa fluktuasi pada
10,5%, non-fluktuasi pada 37% dan berhubungan dengan fistula pada 10,5%). Sementara
kotoran aural dengan perlubangan membran timpani terdeteksi pada 63% kasus. Tarantino
mendeteksi pembengkakan post-aurikular pada 100% kasus mereka dengan fluktuasi sebesar
25% diantara mereka; membran timpani juga abnormal pada semua kasus yang 15%-nya
memiliki perlubangan dan kotoran. De melaporkan bahwa 87,5% kasus mereka mengalami
pembengkakan post-aurikular dan 57,1%-nya memiliki kotoran aural. Namun, perbedaan
dalam literatur bisa jadi karena tahap tampilan pasien dan perawatan yang diterima sebelum
tampilan mereka.
CT scan untuk para pasien kami menunjukkan abses subperiosteal pada 37% pasien
dan trombosis sinus sigmoid pada 5% pasien. Bahadori melaporkan abses subperiosteal pada
13,5% kasus mereka, sementara Benito dan Gorricho mempelajari 215 kasus mastoiditis dan
mereka melaporkan komplikasi-komplikasi – satu atau lebih – pada 21 pasien (9,76%); 15
pasien memiliki abses subperiosteal, satu pasien mengalami kelumpuhan saraf facial, dan
sembilan pasien mengalami beberapa jenis komplikasi intra-cranial. Namun, komplikasi-
komplikasi radiologis mastoiditis sulit untuk diperkirakan. Sehingga banyak penulis tidak
merekomendasikan CT scan, kecuali untuk kasus-kasus yang diduga memiliki komplikasi-
komplikasi intra-cranial dan perwujudan-perwujudan neurologis.
Kultur bakteri dilakukan untuk 12 orang pasien kami yang hadir dengan kotoran
aural. Tidak ada sampel yang diambil selama miringotomi atau mastoidektomi karena para
pasien yang diarahkan ke prosedur-prosedur seperti itu sudah berada pada terapi antibiotik
(Ceftriaxone) yang bisa mengubah hasil-hasilnya. Organisme tumbuh pada sembilan kasus,
dimana Streptococcus pneumoniae adalah bakteri paling umum yang teridentifikasi, yang
diikuti oleh Streptococcus pyogenes; sebuah temuan yang telah dilaporkan sebelumnya oleh
banyak penulis. Meskipun Haemophilus influenzae adalah salah satu patogen yang paling
umum dalam AOM pada bayi, patogen ini tidak teridentifikasi dalam kultur mastoiditis akut.
Namun, Dudkiewicz, Dhooge dan Benito dan Gorricho melaporkan bahwa Haemophilus
influenzae biasanya menyebabkan penyakit jaringan-jaringan lunak dan jarang berkembang
menjadi invasi tulang. Kami memilih Ceftriaxone sebagai antibiotik pilihan karena antibiotik
ini biasanya aktif terhadap kebanyakan agen-agen kausatif yang bertanggung jawab atas
mastoiditis akut yang disebutkan sebelumnya oleh banyak penulis.
Pada studi kami; terapi antibiotik saja mencukupi untuk lima kasus (26%), sementara
mirongotomi dibutuhkan pada tujuh kasus (37%); dua diantaranya tidak menunjukkan adanya
perbaikan dan keduanya membutuhkan kortikal mastoidektomi. Kortikal mastoidektomi pada
awalnya dilakukan bersama-sama dengan terapi antibiotik untuk tujuh kasus (37%). Semua
kasus merespon dengan baik terhadap protokol perawatan, kecuali satu kasus (5,3%) yang
berkembang menjadi kejadian ulangan dengan abses subperiosteal dua bulan kemudian dan
dia diarahkan ke kortikal mastoidektomi dengan tanpa kejadian ulangan sampai akhir periode
studi.
Protokol penatalaksanaan yang serupa digunakan oleh banyak penulis; Tarantino
menemukan bahwa perawatan medis saja mencukupi pada 65% kasus mereka, mirongotomi
dibutuhkan pada 20% kasus, sementara 15% kasus membutuhkan mastoidektomi. Mereka
mencapai tingkat kesembuhan sebesar 100% dengan metode perawatan ini. Papournas
melaporkan bahwa 23,2% kasus mastoiditis akut biasanya perlu mastoidektomi. Katz
mempelajari 116 kasus; mereka mencatat bahwa 12% kasus membutuhkan mirongotomi,
sementara 28%-nya membutuhkan kortikal mastoidektomi.
Harely mempelajari 58 kasus mastoiditis akut; 29% anak-anak mereka menerima
terapi antibiotik sebagai sebuah bentuk perawatan tunggal. Hal ini efektif dalam pengendalian
penyakit (tingkat kesembuhan sebesar 100%). 71% anak-anak tersebut membutuhkan terapi
tambahan dalam bentuk mirongotomi untuk 28 kasus dan mastoidektomi untuk 13 kasus.
Tingkat kesembuhannya sebesar 82% pada permulaan dan 92% pada akhir. Namun, beberapa
anak tersebut memiliki kolesteatoma.
Holt dan Gates melaporkan bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas bisa
mengarah kepada penekanan gejala-gejala yang ada dan tanda-tanda mastoiditis, yang
menyebabkan dokter mendapat pengertian keamanan yang salah setelah penyelesaian yang
nyata untuk infeksi telinga tengah. Bagian ini bisa jadi begitu tersembunyi sehingga
kewaspadaan pertama akan mastoiditis bisa mengikuti tampilan komplikasi intra-cranial,
seperti meningitis, trombosis sinus lateral, atau abses otak. Luntz juga menyimpulkan bahwa
mastoiditis yang tertutupi bisa disebabkan oleh penggunaan antibiotik. Sehingga mereka
merekomendasikan mirongotomi awal. Namun, tindak lanjut yang ketat dari para pasien yang
dirawat bisa membantu dalam diagnosis masalah ini pada tahap awal.
Kesimpulan
Dari pengalaman kami, kami dapat menyimpulkan bahwa penatalaksanaan konservatif
merupakan sebuah metode efektif dalam perawatan mastoiditis akut non-komplikatif.
Namun, mirongotomi hendaknya dipertimbangkan jika tidak ada respon dalam waktu 48 jam.
Sementara kortikal mastoidektomi hendaknya digunakan bersama-sama dengan
penatalaksanaan medis pada perawatan kasus-kasus yang hadir dengan abses subperiosteal
(dengan atau tanpa fistula), pada kasus-kasus komplikatif, dan pada kasus-kasus yang
menunjukkan kegagalan dari mirongotomi.