PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU MAIN HAKIM SENDIRI
(EIGENRECHING) DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Maruli
1112045100008
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTASSYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02 Oktober 2017
MARULINIM: 1112045100008
ABSTRAK
Maruli, NIM: 1112045100008, Pemidanaan Terhadap Pelaku Main HakimSendiri (Eigenreching) Ditinjau Dari Hukum Positif Dan Hukum Islam, ProgramStudi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syarî’ah dan Hukum, Universitas IslâmNegeri Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, 1439 H / 2017 M. xv + 74 halaman + 12halaman lampiran.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan pemidanaan terhadappelaku main hakim sendiri ditinjau dan dianalisa dari hukum positif dan hukumIslam. Masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil dan/atau kurangnyakepercayaan kepada aparatur Negara sering melakukan main hakim sendiri(Pengadilan Jalanan) dalam upaya mencari keadilan. Dalam upaya tersebut,masyarakat sering melakukan kekerasan kepada si pembuat korban sehinggamenimbulkan banyak kemungkinan pada si pembuat korban tersebut bahkan bisaberujung pada kematian. Maka di sini sangatlah penting mendapatkan perhatiansecara khusus melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia dan hukum Islamsecara khusus, karena Indonesia merupakan mayoratisa penganut agama Islamterbanyak di dunia agar permasalahan cepat terselesaikan.
Tujuan dari penelitian ini adalah agar sadar bahwa tindakan main hakimsendiri tidak dibenarkan dalam hukum positif dan hukum Islam khusus dalamprikemanusiaan. Pada dasarnya yang memiliki wewenang kepada orang-orangyang melakukan kejahatan adalah pemerintah, seharusnya masyarakat tidakmengambil alih wewenang pemerintah tersebut agar terhindar dari perbuatanzhalim yang sangat tidak disukai oleh Allah dan Rasulnya.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatifyang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenispenelitian normatif yakni metode analisis yang memaparkan hukum yang telahtertulis dalam Undang-Undang yag berlaku dalam masyarakat, serta penelitian inikepustakaan (library research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dandokumen yang relevan dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwamain hakim sendiri dalam mencari keadilan bukanlah hal yang tepat. Sebagaiwarga Negara yang taat hukum dan umat Islam yang taat pada ajaran agamasehausnya menghindari hal-hal yang berakibat buruk kepada orang lain. Undang-undang yang berlaku di Indonesia memang membenarkan untuk memberi sanksiterhadap pelaku pidana, namun pengadilan jalan bukanlah hal yang tepat.
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag
Daftar Pustaka : 1962-2015 Tahun
vi
KATA PENGANTAR
﷽Puji syukur kehadirat Allâh Subhânahu Wata’âla yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, taufik, hidayah dan ‘inayah-Nya, terucap dengan tulus dan
ikhlas Alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Salâwat seiring salâm semoga selalu tercurah limpahkan kepada insân pilihan
Tuhan Nabî akhir zamân Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahâbat dan
umamatnya. Amin.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis
didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri
karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan semata-
mata hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua
pihak. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas
Syarî’ah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarî’ah
dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh
Jakarta;
2. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag, Selaku Ketua Program Studi
Hukum Pidana Islam dan Nur Rohim, LLM selaku Sekretaris
Program Studi Hukum Pidana Islam;
vii
3. Bapak Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A, selaku Dosen Penasehat
Akademik Penulis;
4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri
(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan
mengajarkan ‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm
Negeri Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
7. Bapak Ahmad Khaetami Efendi S.Sos.I Pimpinan Pondok Pesantren
Al-Musarofah Pandeglang Banten, yang telah meluangkan waktunya
kepada penulis untuk melakukan wawancara guna menambah data
skripsi penulis;
8. Bapak H. Dede Ahmad Permana, MA Kandidat Doktor Hukum Islam
Universitas Zaitunnah Tunis Sekaligus Dosen Syariah IAIN Serang
Banten yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk
melakukan wawancara guna menambah data skripsi penulis;
9. Bapak Mahbub Ma’afi Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) yang telah
meluangkan waktunya kepada penulis untuk melakukan wawancara
guna menambah data skripsi penulis;
10. Bapak Asep Romli, Kanit Satlantas Kabupaten Bekasi yang telah
meluangkan waktunya kepada penulis untuk melakukan wawancara
viii
guna menambah data skripsi penulis;
11. Bapak Saepuddin, Reserse Jatanras Polsek Cikarang yang telah
meluangkan waktunya kepada penulis untuk melakukan wawancara
guna menambah data skripsi penulis;
12. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang telah
mencintai saya dengan segenap jiwa dan raga, memberikan segala
yang mereka bisa, baik doa maupun dukungan sehingga dengan ridha
mereka saya bisa sampai seperti ini;
13. Seluruh keluarga besar H. Maman yang terus menerus memberikan
semangat yang luar biasa;
14. Rahmat Abdullah yang selalu menemani penulis dalam melakukan
wawancara guna mengumpulkan data skripsi penulis;
15. Sahâbat-sahâbat seperjuangan, khususnya penghuni Kostan Pondok
Betawi. Teman-teman Mahasiswa/i Hukum Pidana Islam Fakultas
Syarî’ah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2012;
16. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan
balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan
menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 02 Oktober 2017
MARULINIM: 1112045100008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
KAT PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ............................................. 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.............................................. 6
D. Tinjaun (Review) Kajian Terdahulu ....................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................... 8
F. Teknik Analisis Data .............................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 10
BAB II TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM KUHP
A. Pengertian Main Hakim Sendiri............................................. 12
B. Pemidanaan Tindak Main Hakim Sendiri .............................. 16
C. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Tindakan
Main Hakim Sendiri............................................................... 22
BAB III TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Main Hakim Sendiri Dalam Hukum Islam .......... 27
B. Dalil-dalil tentang Tindakan Main Hakim Sendiri................. 37
C. Pendapat para Ulama tentang Tindakan Main Hakim
Sendiri ..................................................................................... 41
BAB IV PERATURAN YANG MENGATUR TINDAKAN MAIN HAKIM
SENDIRI SERTA PENDAPAT PARA ULAMA
A. Peraturan yang mengatur Tindakan Main Hakim Sendiri...... 44
B. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan main
hakim sendiri........................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 65
B. Saran-saran ............................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 73
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
ا Alif Tidak dilambangkan
ب Ba b Be
ت Ta t Te
ث Tsa ts Te dan es
ج Jim j Je
ح Cha h Ha dengan dengan bawah
خ Kha kh Ka dan ha
د Dal d De
ذ Dzal dz De dan zet
ر Ra r Er
ز Zay z Zet
س Sin s Es
ش Syin sy Es dan ye
ص Shad s Es dengan garis bawah
ض Dhat d De dengan garis bawah
1 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSH-UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.
xiii
ط Tha t Te dengan garis bawah
ظ Dzha z Zet dengan garis bawah
ع ‘Ain ‘ Koma terbalik di atas hadapkanan
غ Ghain gh Ge dan ha
ف Fa f Ef
ق Qaf q ki
ك Kaf k Ka
ل Lam l El
م Mim m Em
ن Nun n En
و Wawu w We
ھـ Ha h Ha
ء Hamzah ’ Apostrof
ي Ya y Ye
2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab
yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi
vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
‒ a fathah
‒ i Kasrah
‒ i dammah
xiv
Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan
dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
‒ ي ai A dan I
‒ و au A dan U
3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat
dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf
dan tanda macron (coretan horisontal):
آ â A dengan topi di atas
‒ى î I dengan topi di atas
‒و û U dengan topi di atas
4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qomariyyah, Misalnya:
اإلجتھاد = al-ijtihad
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
5. Ta’ marbutah mati atau yang dibaca seperti ber-harakat sukun,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
sedangkan ta’ marbûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya
( رؤیة الھالل = ru’yah al-hilâl atau ru’yatul hilâl ).
6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
xv
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
فعةالش = al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-Syuf’ah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat agar terciptanya ketertiban. Pengertian hukum itu sendiri menurut E.
Utrecht, bahwa hukum adalah kumpulan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu
masyarakat dan ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.1
Berbicara tentang hukum, maka kita berbicara pula tentang sebuah sistem.
Dewey memandang, bahwa hukum sebagai sebuah sistem adalah serangkaian
komponen-kompenen yang saling terhubung satu sama lain baik secara langsung
maupun tidak langsung dan membentuk suatu pola.2
Peradilan merupakan salah satu subsistem dalam sistem hukum positif
Indonesia. Dalam menyelesaikan perkara pidana dilakukan dalam sistem peradilan
pidana. Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System kini telah menjadi
suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulan kejahatan
dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.3
Melihat maraknya kekerasan akhir-akhir ini dipengaruhi oleh banyaknya
orang yang mengalami ketertindasan akibat krisis berkepanjangan. Aksi itu juga
dipicu oleh lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah
penegakkan hukum. Sementara itu pada saat kontrol sosial melemah, juga terjadi
1 R. Soeroso, pengantar ilmu hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.35.2 Tolib Effendi, sistem peradilan pidana perbandingan komponen dan proses sistem
peradilan pidana dibeberapa negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, h.2.3 Nurman Syah Wisurya, “pengerian sistem peradilan pidana”, di akses pada tanggal 14
April 2016 dari http:/nurmansyahwisurya.wordpress.com/2012/04/13/pengertian-sistem-peradilan-pidana
2
demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan. Aparat yang
harusnya menjaga keamanan, justru melakukan tindak pelanggaran. Masyarakat
pun kemudian melihat bahwa hukum telah jatuh. Pada saat yang sama masyarakat
belum atau tidak melihat adanya upaya yang berarti dari aparat keamanan sendiri
untuk mengembalikan citra yang telah jatuh tersebut.4
Memperkirakan masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum,
sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama,
karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang
selama ini diam, tiba-tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat
sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih
kendali hukum.5
Eigen richting atau yang biasa di kenal dengan perbuatan main hakin
sendiri adalah istilah tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati
proses yang sesuai hukum. Main hakim sendiri merupakan jenis konflik kekerasan
yang cukup dominan di indonesia. Bentuknya bisa penganiayaan, perusakan harta
benda, dan sebagainya.
Main hakim sendiri memang bukan fenomena baru, istilah keren dari main
hakim sendiri adalah streetjustice atau pengadilan jalanan, bisa diartikan hukuman
atau balasan yang diberikan dengan tindakan main hakim sendiri atau juga bisa
diartikan dengan hukuman yang diberikan di luar jalur resmi.
4 Juli Ardiheri, ”Kekerasan,Premanisme & Kriminalitas yang membudaya diIndonesia”, di akses pada tanggal 14 April 2016 darihttp://juliardiheri.blogspot.co.id/2013/04/makalah-kekerasan-premanisme.html.
5 Juli Ardiheri, ”Kekerasan,Premanisme & Kriminalitas yang membudaya di Indonesia”.
3
Cara penghukuman ala pengadilan jalanan adalah illegal dan berlebihan.
Memang jika diartikan secara akademik atau kacamata hukum, bisa jadi
pengadilan jalanan adalah cara yang berleihan. Namun, bisa saja dari kacamata
masyarakat pengadilan jalanan atau tindak main hakim sendiri adalah hukuman
setimpal. Masyarakat yang melakukan tindakan tersebut berharap bisa
menimbulkan efek jera.6
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum secara
khusus mengatur mengenai tindakan Main Hakim Sendiri. Akan tetapi bukan
berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main
hakim sendiri. Dalam tindak main hakin sendiri, bagi korban tersebut dapat
melaporkan kepada pihak yang berwenang antara lain atas dasar ketentuan-
ketentuaan berikut:
a. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan
ayat (1) penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lamadua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratusrupiah..
ayat (2) jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yangbersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
Ayat (3) jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjarapaling lama tujuh tahun.
Dalam penjelasan pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi,7 “penganiayaan”
diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak,
rasa sakit atau luka.
6 “Pengadilan Jalanan”, SINDONEWS.COM, di akses pada tanggal 16 april 2016 darihttp://nasional.sindonews.com/read/967855/16/pengadilanjalanan
7 R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya,(Surabaya: Usaha Nasional, 1980), h. 421.
4
b. Pasal 170 KUHP tentang kekerasan dengan ancaman pidana penjara
Ayat (1) barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan mengunakan kekerasan terhadap seseorang atau barang, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Dalam penjelasan pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi kekerasan terhadap
orang maupun barang yang dilakukan yang dilakukan secara bersama-sama, yang
dilakukan di muka umu seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap
orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-
buang barang sehingga berserakan.8
c. Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang perusakan dengan ancaman pidana
penajara atau denda.
Ayat (1) barang siapa dengan sengaja dan melawan hukummenghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat terpakai atau menghilangkanbarang sesuatu yang seluruhnya atau sebagiann adalah kepunyaan orang lain,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau dendapaling banyak tiga ratus rupiah.
Dalam penjelasan pasal 406 KUHP oleh R.Sugandhi, perusahaan barang
yang dimaksud mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat
dipakai lagi atau hilang melawan dengan melawan hukum.9
Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang dilarang
menurut peraturan perundang undangan di Indonesia terlebih lagi menurut Syari'at
Islam. Karena hal itu, keadilan tidak akan didapatkan. Seseorang yang mencuri
ayam harus mati dihajar massa, seorang jambret di bakar hidup hidup hingga mati
8 R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, h.202.
9 R. Sugandhi, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya, h.451.
5
dan lain sebagainya. Tentu hal itu bukanlah keadilan yang didapat, bahkan pelaku
tindakan main hakim sendiri sudah melakukan perbuatan keji yang sungguh
dilarang dalam ajaran Islam.
"Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan,
bermurah hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, munkar
dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadi pengertian bagimu."
(Q.S. An-Nahl [16]: 90).
Keadilan adalah sebuah istilah yang menyeluruh, dan termasuk juga segala
sifat hati yang bersih dan jujur. Tetapi agama menuntut yang lebih hangat dan
lebih manusiawi, melakukan pekerjaan yang baik, meskipun ini tidak diharuskan
secara ketat oleh keadilan, seperti kejahatan yang dibalas dengan kebaikan, atau
suka membantu mereka yang dalam bahasa duniawi “tak mempunyai suatu
tuntutan” kepada kita dan sudah tentu pula memenuhi segala tuntutan yang
tuntutannya dibenarkan oleh kehidupan sosial. Begitu juga yang sebaliknya
hendaknya dihindari segala yang diakui sebagai perbuatan munkar, dan segala
yang benar-benar tidak adil, kekejaman, dan segala kekufuran dan kefasikan
terhadap Hukum Allah, atau terhadap kesadaran batin kita sendiri dalam
bentuknya yang paling peka.10
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis pada tema pembahasan yang menjadi tema titik sentral, maka perlu
10 Abdullah Yusuf Ali, “Qur’an terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah”,Pustaka Firdaus, jakarta 1993.
6
penulis uraikan masalah. Untuk mendapatkan pembahasan objektif, maka dalam
skripsi ini penulis membatasinya dengan pembahasan mengenai Pemidanaan
Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri (Eigenreching) Ditinjau dari Hukum Positif
dan Hukum Islam
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas dapat di uraikan beberapa masalah yang
di rumuskan dengan pertanyaan penelitian. (research question), yaitu:
1. Apakah faktor penyebab terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri?
2. Bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap
Tindakan Main Hakim Sendiri?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan hukum positif terhadap perbuatan Main
Hakim Sendiri.
2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya Tindakan Main
Hakim Sendiri.
Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah:
1. Dalam rangka perkembangan dan memperluas wawasan pengetahuan
mengenai Tindakan Main Hakim Sendiri.
2. Dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai faktor yang
menyebabkan terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri.
7
3. Menabah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Hukum Pidana
Islam.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya,
maka penulis me-riview beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir
sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini penulis menemukan
beberapa skripsi, yaitu:
1. Skripsi berjudul Perbuatan Main Hakim Sendiri Dalam Kajian
Kriminologis dan Sosiologis yang ditulis oleh Fitriati.11 Dalam karya
ilmiah ini, Fitriati menjelaskan faktor-faktor tindakan main hakim sendiri
dalam kajian Kriminologis dan Sosiologis. Secara Kriminologis tindakan
main hakim sendiri disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara
hak-hak pelaku dan korban. Korban tidak menerima kompensasi dalam
bentuk pemidanaan pelaku karena kejahatan yang telah dilakukan oleh
pelaku terhadap dirinya. Rasa ketidakpercayaan public terhadap aparat
penegak hukum menjadi faktor sosiologis yang menyebabkan terjadinya
main hakim sendiri.
2. Skripsi berjudul Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindakan Main Hakim
Sendiri (Eigenrechting) Yang Dilakukan Oleh Masa Terhadap Pelaku
Tindak Pidana yang ditulis oleh Eli Supianto.12 Dalam karya ilmiah ini Eli
Supianto menguraikan faktor-faktor penyebab tindakan main hakim hakim
11 Fitriati, Perbuatan Main Hakim Sendiri Dalam Kajian Kriminologis dan Sosiologis,Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Tamansiswa, Padang, 2012.
12 Eli Supianto, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri(Eigenrechting) Yang Dilakukan Oleh Masa Terhadap Pelaku Tindak Pidana, Skripsi FakultasHukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.
8
sendiri yang dilakukan oleh masa terhadap pelaku tindak pidana adalah: 1)
Faktor internal pelaku main hakim sendiri, antara lain: Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penegak hukum dalam menangani pelaku tindak
pidana, Emosi dan sakit hati terhadap pelaku tindak pidana, agar pelaku
tindak pidana jera dan supaya calon pelaku tindak pidana lain takut
melakukan hal yang sama, anggapan bahwa menghakimi pelaku tindak
pidana adalah kebiasaan dalam masyarakat, ikut-ikutan, dan rendahnya
tingkat pendidikan. 2) Faktor eksternal pelaku main hakim sendiri, antara
lain: Faktor kepolisian yang melakukan pembiaran terhadap tindakan main
hakim sendiri yang dilakukan oleh massa, dan Faktor kepolisian yang
lamban dan tidak profesional dalam menangani kasus-kasus tindak pidana.
Pembahasan dalam dua skripsi yang telah penulis kemukakan di atas
difokuskan pada pendekatan tidakan main hakim sendiri dalam kajian
kriminologis dan sosiologis, sedangkan pembahasan mengenai hukum tindakan
main hakim sendiri dalam hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana Islam
tidak dibahas sama sekali, demikian juga dalam dua skripsi tersebut tidak
membahas hukuman bagi pelaku tindak main hakim sendiri baik personal maupun
yang dilakukan oleh masa. Dengan demikian permasalahan yang penulis angkat
dalam skripsi ini jauh berbeda dengan dua skripsi tersebut dan belum ada yang
membahasnya.
E. Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh data dan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut
9
metodologi penelitian adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan
pikiran sesama untuk mencapai suatu tujuan.13 Metode adalah pedoman cara
seorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang dihadapi.14
Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu
sistematika. Metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang
baru atau asli dalam memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di
masyarakat.15 Dalam penelitian ini skripsi ini penulis, melakukan satu jenis
penelitian, yaitu penelitian pustaka (library research).
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bodgan dan
Taylor mendefinisikan kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang prilakunya di
amati.16 Karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap keunikan
individu, kelompok, masyarakat, atau organisasi tertentu dalam kehidupannya
sehari-hari. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang sedikit menggambarkan atau melukiskan keadaan
subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, organisasi, dan
13 Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi pustaka,1997), h. 1.
14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas IndonesiaPress, 1986), h. 6.
15 Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2004), h. 111.
16 Barowi dan Suwandi, Memahami penelitian kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.21.
10
lain-lain). Pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau
sebagaimana adanya.17
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan satu jenis sumber
data, yaitu data sekunder, merupakan data yang di peroleh dari studi pustaka yang
bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku-buku, hasil
penelitian, jurnal-jurnal, artikel, tulisan-tulisan di internet dan lain-lainnya. Yang
berkaitan dengan Tindakan Main Hakim Sendiri.
3. Sitematika Penulisan
Dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman,
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika
penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap bab terdiri dari sub-sub bab
dengan rincian sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, serta sitematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum tentang Tindakan Main Hakim Sendiri,
meliputi pengertian, peraturan yang mengatur, penyebab
17 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 2007), h. 67.
11
terjadinya Tindakan Main Hakim sendiri, penanggulangan
terhadap aksi Tindakan Main Hakim Sendiri.
BAB III Tindakan Main Hakim Sendiri dalam Hukum Islam, meliputi
pengertian, Dalil-dali terkait Tindakan Main Hakim Sendiri,
serta pendapat para ulama terhadap Tindakan Main Hakim
sendiri.
BAB IV Peraturan Undang-Undang terkait Tindakan Main Hakim
Sendiri, serta pandangan ulama terhadap Tindakan main
Sendiri.
BAB V Merupakan penutupan, meliputi kesimpulan dan saran-saran
dari penulis.
12
BAB II
PEMIDANAAN DAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI
A. Pengertian Main Hakim Sendiri
Main hakim sendiri atau yang biasa diistilahkan masyarakat luas dan
media massa dengan peradilan massa, penghakiman massa, pengadilan jalanan,
pengadilan rakyat, amuk massa, anarkisme massa atau juga brutalisme massa,
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “Eigenrechting” yang berarti
cara main hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa
sepengetahuan pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah.
Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan sejajar dengan pelanggaran
hak-hak orang lain, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan perbuatan ini
menunjukkan nahwa adanya indikasi rendahnya kesadaran terhadap hukum.1
Menurut kamus besar bahasa Indonesia main hakim sendiri atau istilah
hukumnya Eigenrichting adalah menghakimi orang lain tanpa mempedulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dng pemukulan, penyiksaan, pembakaran
dan lain sebagainya.2 Eigenrichting dalam ilmu hukum yaitu merupakan tindakan
menghakimi sendiri atau aksi sepihak. Tindakan ini yaitu seperti memukul orang
yang telah menipu kita, ataupun tindakan menyekap orang yang tidak mau
melunasi hutangnya kepada kita. Tindakan menghakimi sendiri seperti ini
merupakan sebuah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri
1 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 167.2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 532.
13
dengan sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.
Sebagai sebuah Negara dengan doktrin Negara hukum seperti yang termaktub
dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa “Indonesia adalah sebuah negara hukum”.
Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satupun alasan pembenar dari
sisi normative.
Kasus main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan salah satu bentuk
reaksi masyarakat karena adanya pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat.
Reaksi masyarakat, ditinjau dari sudut sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua
aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif.3
Aspek positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatan-pendekatan
kemasyarakatan sesuai dengan latar belakang terjadinya suatu
tindakan kejahatan.
(2) Reaksi masyarakat didasarkan atas kerja sama dengan aparat
keamanan atau penegak hukum secara resmi.
(3) Tujuan penghukuman adalah pembinaan dan penyadaran atas pelaku
kejahatan.
(4) Mempertimbangkan dan memperhitungkan sebab-sebab dilakukannya
suatu tindakan kejahatan.
Sedangkan aspek negatif jika:
(1) Reaksi masyarakat adalah serta merta, yaitu dilakukan dengan dasar
luapan emosional.
3 Abdul Syahni, Sosiologi Kriminalitas, (Bandung: Remaja Karya, 1987), h. 100-101.
14
(2) Reaksi masyarakat didasarkan atas ketentuan lokal yang berlaku di
dalam masyarakat yang bersangkutan (tak resmi).
(3) Tujuan penghukuman cenderung lebih bersifat pembalasan,
penderaan, paksaan, dan pelampiasan dendam.
(4) Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dan memperhitungkan latar
belakang mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.
Dalam hukum, perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi
kepada sesorang untuk menegakkan hukum karena pelaksanaan sanksi adalah
monopoli penguasa. Seperti yang ditegaskan Blackstone, “Law is a rule of action
prescribed or dictated by some superior which some interior is bound to obey”.
“Hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-
orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasai untuk ditaati”. Dari
proposisi yang ditegaskan oleh Blackstone tersebut mengindikasikan bahwa
semua bentuk tindakan hukum terhadap pelanggaran maupun kejahatan adalah
otoritas pemerintah. Masyarakat di luar dari pemerintah sebagai pemiliki otoritas
tidak memiliki hak sama sekali untuk melakukan sebuah tindakan karena secara
normative tidak memiliki dasar legitimasi. Tetapi dari konteks sosiologi
Eigenrichting masih marak terjadi. Kecenderungan massa ketika menemukan
pelaku kejahatan dalam keadaan tertangkap basah langsung melakukan
pemukulan. Jelas tindakan ini tidak punya alasan pembenar dari sisi hukum
apalagi ketika kita kembali pada kesimpulan bahwa hukum adalah otoritas
penguasa dalam hal ini diwakilkan melalui lembaga-lembaga hukum.
Kecenderungan ini akan banyak ditemui dengan maraknya kasus pemukulan
15
yang dilakukan secara beramai-ramai oleh massa. Massa tidak bisa
mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan situasi seperti ini.4
Tindakan menghakimi sendiri itu dilarang pada umumnya tetapi tidak
selalu demikian. Ada juga tindakan yang sebenarnya dikategorikan main hakim
sendiri atau Eigenreichting tetapi memiliki alasan pembenar ataupun alasan
pemaaf. Alasan pembenar dan pemaaf kemudian sehingga suatu perbuatan
sekalipun dikategorikan sebagai tindakan main hakim sendiri tetapi tidak bisa
dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab adanya alasan pembenar ataupun
pemaaf menjadikan suatu unsur pidananya menjadi gugur. Setiap pelanggaran
kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi, setiap pembunuhan, setiap
pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi ada perbuatan-
perbuatan tertentu yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaedah hukum
tetapi pelanggarnya tidak dikenakan sanksi.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan
sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak
kalap dan tidak terkendali. Smelser5 mempertanyakan kenapa perilaku kolektif
terjadi. Dia merinci enam faktor yang menurutnya menentukan untuk terjadinya
perilaku atau kekerasan kolektif, enam faktor tersebut adalah:
1. Adanya pendorong struktural (structural condusivenness)
2. Ketegangan struktural (structural strain)
4 Achmad Ali, Teori Hukum dan Teori Pengadilan, (Jakarta: Prenada Media Group,2009), h. 25.
5 Seorang Profesor Sosiologi masyarakat, penulis buku “A Rivew of Theory of CollectiveBehavior.”
16
3. Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang digeneralisasikan
(Growth and spread of belief)
4. Factor-faktor pencetus (precipitating factors)
5. Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of
Partifsipants for action)
6. Bekerjanya pengendalian sosial (The operation of social control).6
B. Pemidanaan Tindak Main Hakim Sendiri
1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
(a) Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan kata “strafbaar feit”
untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan
mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan Strafbaar feit tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda bearti “sebagian dari
suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijheid”, sedang “strafbaar”
berarti dapat dihukum, hingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu
diterjemahkan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang
sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang
dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan
kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.7
6 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior, (New York: The Free Press, 1962), h. 40.7 Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 181.
17
Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk
undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang
sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di
dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan
“strafbaar feit” tersebut.
Hazenwinkal-Suringa misalnya, mereka telah membuat suatu rumusan
yang bersifat umum dari “strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia yang
pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam pergaulan hidup tertentu dan
dianggap sebagai perilaku yang harus dibedakan oleh hukum pidana dengan
menggunakan sarana-sarana bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.8
Para penulis lama seperti Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit”
sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain yang
menurut Hazewinkel-Suringa dianggap kurang tepat.9
Dengan Demikian, secara teoritis setiap pelanggaran norma atau setiap
normovetreding itu merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah sengaja
dilakukan ataupun telah dengan tidak sengaja dilakukan oleh seorang pelaku,
yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat
bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat
“wederrechttelijk”.
(b) Unsur-unsur Tindak Pidana
Secara umum unsur-unsur tindak pidana dibedakan ke dalam dua macam
yaitu:
8 Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, h. 181.9 Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, h. 182.
18
1) Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang
dapat berupa:
a) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat. Contoh
unsur obyektif yang berupa “perbuatan” yaitu perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan diancam oleh Undang-undang. Perbuatan-
perbuatan tersebut antara lain perbatan-perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 242, 263, 362 KUHP. Di dalam
ketentuan pasal 362 misalnya, unsur obyektif yang berupa
“perbuatan” dan sekaligus merupakan perbuatan yang dilarang dan
diancam oleh Undang-undang adalah mengambil.
b) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil.
Contoh unsur obyektif berupa suatu “akibat” adalah akibat-akibat
yang dilarang dan diancam oleh Undang-undang dan sekaligus
merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana antara lain akibat-
akibat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351, 338
KUHP.
Dalam ketentuan pasal 338 KUHP misalnya, unsur obyektif yang
berupa “akibat” yang dilarang adalah akibat berupa matinya orang.
c) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan
diancam oleh Undang-undang. Contoh unsur obyektif berupa
suatu “keadaan” yang dilarang dan diancam oleh Undang-undang
adalah keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal
19
160, 281 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya,
unsur obyektif yang berupa “keadaan” adalah di tempat umum.
2) Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri pelaku (dader)
yang berupa:
a) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap
perbuatan yang telah dilakukan (Kemampuan Bertanggung jawab)
b) Kesalahan atau schuld. Berkaitan dengan masalah kemampuan
bertanggung jawab diatas. Seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi 3
syarat, yaitu:
(1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga iadapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena jugamengerti akan nilai dari akibat perbuatannya.
(2) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapatmenentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
(3) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang danperbuatan mana yang tidak dilarang oleh Undang-undang.10
2. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri
Dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa tinggi rendahnya
tindakan main hakim sendiri Eigenrichting akan sangat ditentukan oleh
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Kecenderungannya adalah
bahwa jika kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dalam proses
hukum atau peradilan tinggi maka tindakan main hakim sendiri akan rendah atau
berkurang, dan sebaliknya jika kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum
atau peradilan rendah maka tindakan main hakim sendiri akan meningkat atau
10 Tongat, Hukum Pidana Materiil. (Malang: UMM Press, 2006), h. 4.
20
bertambah. Atas dasar itu kemudian maka perlu ada upaya-upaya yang harus
dilakukan oleh penegak hukum dalam mengatasi masalah tersebut. Upaya
penegak hukum meliputi tiga hal yakni upaya pre-emptif, preventif, represif.
Uraiannya dijelaskan di bawah ini:
1. Upaya Pre-emptif
Upaya Pre-emtif adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak
kepolisian untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana. Secara teoritis upaya
pre-emptif adalah upaya pencegahan sebelum terjadinya suatu tindak pidana akan
tetapi pada praktiknya terkadang direposisi menjadi upaya meminimalisir, dalam
artian bahwa tindakan itu pada dasarnya memang sudah terjadi tinggal bagaimana
mengurangi atau menekan kenaikan jumlah tindak pidana atau kriminalitas
tersebut.11
Untuk mencegah terjadinya suatu tindakan main hakim sendiri maka salah
satu upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah melakukan sosialisasi
terhadap masyarakat, mulai dari keberadaan suatu perundang-undangan sampai
pada tahapan menjadikan masyarakat sebagai bagian dari pihak yang ikut
berpartisipasi dalam penegakan hukum, misalnya dengan cara mengajak
msyarakat untuk tertib pada aturan lalu lintas. Tentu ini sejalan dengan semboyan
kepolisian yaitu pengayom masyarakat.12
Dari hasil wawancara tersebut dapat diamati bagaimana upaya
pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh pihak kepolisian. Tahapan ini
11 Wawancara Pribadi dengan Saipuddin, Reserse Jatanras Polsek Cikarang. Selasa, 24Januari 2017. Pukul 19.50 WIB.
12 Wawancara Pribadi dengan Asep Romli, Kanit Satlantas Kabupaten Bekasi. Kamis, 7November 2016. Pukul 11.00 WIB.
21
merupakan suatu proses internalisasi nilai, yakni bagaimana agar masyarakat taat
dan patuh pada peraturan hukum yang berlaku karena kesadarannya. Membangun
masyarakat yang sadar hukum tentu merupakan suatu hal yang harus menjadi
prioritas. Seperti adagium terkenal “lebih baik mencegah dari pada mengobati”,
oleh sebab itu upaya pre-emptif perlu mendapat perhatian yang besar dari para
aparat penegak hukum. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
pembenahan sistem hukum sebagai bagian dari upaya pre-emptif terhadap
munculnya tindakan main hakim sendiri.
2. Upaya Preventif
Upaya dijelaskan sebagai usaha suatu cara, sedangkan preventif dalam
istilah bahasa Inggris berarti pencegahan atau mencegah. Dalam referensi lain
preventif adalah penyampaian suatu maksud untuk mencari jalan keluar atau
bersifat mencegah supaya jangan terjadi. Upaya preventif merupakan usaha
pencegahan terhadap timbulnya masalah. Upaya Preventif juga dapat di maksud
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terarah
untuk menjaga sesuatu hal agar tidak meluas atau timbul. Upaya-upaya preventif
ini adalah merupakan tindakan lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam
tataran pencegahan sebelum terjadi kejahatan. Dalam upaya preventif yang
ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.
Jadi dalam upaya preventif kesempatan untuk melakukan sebuah tindak pidana
atau kejahatan ditutup.13
13 Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010),h. 99.
22
3. Upaya Represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara
konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan
dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai
dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka sadar bahwa
perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan
merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga
tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat
berat.14
Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem
peradilan pidana Indonesia yang memiliki 5 sub-sistem kehakiman, kejaksaan,
kepolisian, pemasyarakatan, kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan
yang terangkai dan berhubungan secara fungsional.
Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode
perlakuan (treatment) dan Penghukuman (punishment).15
C. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Tindakan Main Hakim
Sendiri
Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu respon masyarakat yang
malah menciptakan suasana tidak tertib. Masyarakat yang harusnya menaati
hukum yang berlaku yang telah ditetapkan oleh penguasa bertindak sebaliknya,
mereka melakukan suatu respon terhadap adanya kejahatan dengan menghakimi
14 Abdul Syahni, Sosiologi Kriminalitas, h. 139.15 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h. 79.
23
sendiri pelaku tindak pidana. Akan tetapi apabila dilihat dari pengertian tindak
pidana yang telah diuraikan di muka maka akan tampak jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh
masyarakat dengan dipukuli sampai babak belur bahkan sampai dengan
membakarnya hidup-hidup merupakan suatu bentuk lain dari kejahatan.
Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal
untuk menghindari tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan dari
teman atau keluarga korban. Tindak kekerasan yang diambil masyarakat
dianggap sebagai langkah tepat untuk menyelesaikan suatu masalah yang
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Bentuk-bentuk tindak pidana main hakim sendiri (eigenrechting) terhadap
pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh massa, dapat dilihat bahwa tidak ada
perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang
membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh
karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasannya dititik
beratkan pada kata “massa”. Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada
pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih atau tidak
terbatas maksimalnya.
Melihat definisi tersebut, perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa
juga dapat dikatakan dilakukan secara kolektif, karena dalam melakukan
perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini dengan jumlah yang banyak/lebih dari
satu orang dimana secara langsung atau tidak langsung baik direncanakan
ataupun tidak direncanakan telah terjalin kerja sama baik hal tersebut dilakukan
24
secara bersama-sama maupun sendiri sendiri dalam hal satu rangkaian peristiwa
kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana atau lebih spesifik
menimbulkan/mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun non fisik.
Hal ini diatur dalam pasal 170 KUHP.16
Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:
“(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukankekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanyalima tahun enam bulan.
(2) Tersalah dihukum:1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan
sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itumenyebabkan sesuatu luka.
2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itumenyebabkan luka berat pada tubuh
3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasanitu menyebabkan matinya orang.”
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini sebagai berikut:
1. Barangsiapa. Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi sebagai
pelaku.
2. Di muka umum. Perbuatan itu dilakukan di tempat di mana publik dapat
melihatnya.
3. Bersama-sama, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau
lebih. Arti kata bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuatan itu
dilakukan dengan sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan yang pasti,
jadi bukanlah merupakan ketidaksengajaan (delik culpa).
16 Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 7.
25
4. Kekerasan, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani
yang tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri
dari “merusak barang” atau “penganiayaan”.
5. Terhadap orang atau barang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang
atau barang sebagai korban.
Selain Pasal di atas, beberapa ketentuan yang mengatur tentang tindakan
main hakim sendiri juga dipaparkan dalam Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal
406 Ayat (1) tentang Pengrusakan, da nada beberapa pasal lain yang dapat
dikaitkan dengan tindakan main hakim sendiri, di antaranya: Pasal 187, 188, 200,
201, 338, 354, 358, 408, dan 409 KUHP. Lebih jelasnya sebagai berikut:
- Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, dengan ancaman pidana
penjara atau denda.
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahundelapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratusrupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancamdengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lamatujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
- Pasal 406 ayat (1) KUHP tentang Perusakan dengan ancaman pidana
penjara atau denda.
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatuyang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam denganpidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyaktiga ratus rupiah”.
26
- Pasal 187 KUHP tentang kejahatan yang membahayakan keamanan
umum bagi orang atau barang
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir,diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatantersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenaperbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; 3. denganpidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama duapuluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya baginyawa orang lain dan meng- akibatkan orang mati.
- Pasal 200 KUHP tentang pengrusakan terhadap barang
Barang siapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak gedung ataubangunan diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatanitu timbul bahaya umum bagi barang;
2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenaperbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3. dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktutertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan itu timbulbahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
- Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karenapembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukanpenganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancamdengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
27
BAB III
TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Main Hakim Sendiri Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Main Hakim Sendiri
Secara khusus tindak main hakim sendiri dalam hukum Islam tidak
dijelaskan secara rinci, namun hal ini dikaitkan dengan perbuatan kekerasan dan
penganiayaan. Dalam praktiknya masyarakat yang melakukan tindakan main
hakim sendiri selalu disertai dengan tindak kekerasan dan penganiayaan.
Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan jarimah yang berasal
dari kata ( جرم ) yang sinonimnya ( قطع و كسب ) yang berarti berusaha dan bekerja
yang dalam hal ini khusus untuk pengertian usaha yang tidak baik atau dibenci
oleh manusia. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik definisi yang jelas bahwa
pengertian jarimah secara bahasa adalah melakukan setiap perbuatan yang
menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama).1
Menurut Ahmad Wardi Muslich sebagaimana dikutip dari Abdul Qadir
Audah dalam kitabnya yang berjudul Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, jarimah
kekerasan atau penganiayaan atau tindak pidana selain jiwa adalah setiap
perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai
menghilangkan nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana selain jiwa adalah
setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan
1 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,Cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 9.
28
anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan nyawanya tidak
terganggu.2
Menurut sebagian fukaha, kekerasan atau penganiayaan (tindak pidana
selain jiwa) adalah perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang,
namun tidak mengakibatkan kematian. Ini adalah pendapat yang sangat teliti dan
mampu memuat setiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa
digambarkan, sehingga masuk di dalamnya: melukai, memukul, mendorong,
menarik, memeras, memotong rambut dan pencabutannya, dan lain-lain.3
2. Pemidanaan Dalam Hukum Islam
a) Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam dalam pengertian fikih dapat disamakan dengan
istilah "jarimah" yang diartikan sebagai larangan syara’ yang dijatuhi sanksi oleh
pembuat syari'at (Allah) dengan hukuman had atau ta’zir. Para fuqaha
menggunakan kata "jinayah" untuk istilah "jarimah" yang diartikan sebagai
perbuatan yang dilarang.4
2 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. 2, h.179.
3 Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum PIdana Islam, (Jakarta: KharismaIlmu, 2008), h. 19.
4 Kedua istilah tersebut memang berbeda namun memiliki esensi arti yang sama. Salahsatu fuqaha yang menggunakan istilah jarimah untuk menyebut hukum pidana Islam adalahAhmad Abu Rus, sedangkan salah satu fuqaha yang menggunakan istilah jinayah untukpenyebutan hukum pidana Islam adalah Abdul Qadir Audah. Kata "jinayah" merupakan bentukverbal noun (masdar) dari kata "jana". Secara etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah,sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Lihat dalam Makhrus Munajat,Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 1. Kata jarimahberasal dari akar kata jarama yang sinonim dengan kata kasaba wa qatha’a yang berarti usahadan bekerja. Batasan usaha dan bekerja yang dimaksud adalah usaha dan bekerja yang tidak baikatau dibenci oleh manusia. Dari definisi tersebut dapat ditarik definisi secara bahasa mengenaijarimah dengan arti melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, danjalan yang lurus (agama). Secara istilah kata jarimah mempunyai beberapa pengertian, sepertiyang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang
29
Pengertian "jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan pengertian
tindak pidana (peristiwa pidana); delik dalam hukum positif (pidana). Sebagian
para ahli hukum Islam sering menggunakan kata-kata "jinayah" untuk "jarimah"
yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang dilarang saja. Sedangkan yang
dimaksud dengan kata "jinayah" ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’,
apakah perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.5
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum pidana Islam adalah
seperangkat aturan yang dikhususkan terkait dengan perbuatan-perbuatan
manusia terhadap manusia yang berhubungan dengan nyawa, badan dan harta
benda yang didasarkan pada syari’at Islam. Sebagai hukum yang bersumber pada
syari’at Islam, maka hukum pidana Islam berlaku bagi seluruh umat Islam atau
bagi manusia yang berada dalam wilayah pemerintahan Islam yang telah
mukallaf.6 Hukum pidana Islam berlaku perorangan tanpa membedakan serta
memberikan perlindungan kepada umat Islam maupun umat non Islam yang
berada di bawah perlindungan Islam seperti kafir dzimmi.7
oleh agama (syara’) yang diancam dengan hukuman had atau takzir. Lihat dalam Ahmad WardiMuslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 9.
5 Penjelasan mengenai istilah tersebut diperkenalkan oleh Abdul Qadir Audah yangditulis dalam kitab aslinya. Lihat dalam Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy,(Beirut: Daar al-Kitab, t.th.), h. 67. Pengertian istilah jinayah itu juga dapat dilihat dalam RahmadRosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari'at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 123.
6 Secara fisik dan rohani, syarat mukallaf meliputi berakal, cukup umur, mempunyaikemampuan bebas (muchtar). Sedangkan secara pengetahuan, syarat mukallaf meliputi pelakusanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi, dan merupakan orang yangpantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman. Lihat dalam Haliman, HukumPidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), h. 67.
7 Kata jarimah berasal dari akar kata jarama yang sinonim dengan kata kasaba waqatha’a yang berarti usaha dan bekerja. Batasan usaha dan bekerja yang dimaksud adalah usahadan bekerja yang tidak baik atau dibenci oleh manusia. Secara istilah, jarimah memiliki artimelakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus(agama).
30
Hukum pidana Islam baru dapat diberlakukan manakala telah ada nash
atau ketentuan hukum yang telah mengaturnya. Apabila belum ada ketentuan
hukum yang mengatur tentang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
Allah dalam salah satu firman-Nya Q.S. al-Isra’ ayat 15:
ها وال تزر وازرة وزر أخرى ا يضل عليـ ا يـهتدي لنـفسه ومن ضل فإمن وما كنا معذبني من اهتدى فإمنعث رسوال ).١٥. (سورة اإلسراء: حىت نـبـ
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), MakaSesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; danBarangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosaorang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutusseorang rasul.” (QS. al-Isra’: 15)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui spesifikasi ruang lingkup
hukum pidana Islam sebagai berikut:
1) Hukum pidana Islam merupakan produk aturan mengenai perbuatan
manusia atas manusia yang meliputi nyawa, badan dan kepemilikan;
2) Hukum pidana Islam berlaku dan diberlakukan bagi umat Islam dan
umat non Islam yang berada di bawah perlindungan negara Islam
yang telah mukallaf;
3) Hukum pidana Islam hanya diberlakukan bagi orang dan bersifat
perorangan serta tidak membedakan antar manusia; dan
4) Hukum pidana Islam dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan
setelah adanya nash atau ketentuan syari’at yang telah mengatur
perbuatan tersebut.
31
b) Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
Secara umum, suatu tindakan dapat disebut tindak pidana dalam hukum
pidana Islam manakala telah memenuhi aspek utama dari tindak pidana yakni
adanya aspek pelanggaran terhadap syara’. Penilaian pelanggaran terhadap
syara’ harus terkandung unsur dan syarat sebagai berikut:8
1) Unsur formil (adanya undang-undang atau nash)
Suatu perbuatan dapat disebut pelanggaran terhadap sari’at manakala
perbuatan tersebut telah terkandung pelanggaran terhadap ketentuan yang telah
ditetapkan. Ketentuan yang telah ditetapkan tersebut mencakup ketentuan syari’at
yang ditetapkan oleh Allah maupun ketetapan hukum yang dibuat oleh manusia
seperti perundangundangan.
2) Unsur materiil (sifat melawan hukum)
Unsur materiil meliputi perbuatan yang melawan hukum. Secara
sederhana, perbuatan dalam unsur materiil dapat disebut sebagai tindak pidana
(jarimah) manakala dalam perbuatan yang dilakukan tersebut terkandung unsur
melawan hukum. Aspek melawan hukum dalam hukum pidana Islam dapat
dinilai dari niat, perbuatan, dan akibat yang dihasilkan dari perbuatannya.
Meskipun dalam berbuat untuk mewujudkan niatnya tersebut belum mencapai
hasil akhir sesuai niat, tidak selesainya perbuatan, namun jika dalam perbuatan
yang belum selesai tersebut telah menimbulkan akibat yang dapat merugikan
orang lain, baik karena sengaja maupun tidak sengaja, maka tindakan tersebut
dapat disebut sebagai tindakan melawan hukum.
8 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: SinarGrafika, 2004), h. 8.
32
3) Unsur moril (pelakunya mukallaf)
Perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (jarimah)
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang telah mukallaf. Secara garis
besar, mukallaf adalah orang yang telah mengetahui hukum dan memiliki
tanggung jawab hukum. Batasan mengetahui tidak hanya terbatas pada hakekat
mengetahui semata namun mencakup kemungkinan untuk mengetahui.
Maksudnya adalah apabila seseorang telah mukallaf dan tinggal di sebuah
wilayah Islam, maka ia tidak dapat mengajukan alasan tidak mengetahui karena
adanya kemungkinan untuk mengetahui hukum tersebut. Seorang dapat
dibebaskan dari pertanggungjawaban dengan sebab tidak mengetahui hukum
manakala ia berada di wilayah pedalaman dan tidak pernah bergaul dengan orang
Islam atau seseorang yang baru masuk Islam dan baru tinggal sebentar di wilayah
muslim.9
3. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan
seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam syariat Islam pertanggung
jawaban itu didasarkan kepada tiga hal, yaitu:
a) Adanya perbuatan yang dilarang
b) Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
9 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, (Beirut: Daar al-Kitab, t.th.), h. 430-431.
33
c) Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.10
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula
pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak di bawah umur, orang
yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban. Karena dasar
pertanggung jawaban pada mereka ini tidak ada. Pertanggungjawaban tersebut
diwujudkan dengan adanya pemberian hukuman atau sanksi pidana yang dalam
Islam dikenal dengan istilah pemidanaan.
4. Hal-hal Yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban11
Meski setiap perbuatan memiliki konsekuensi pertanggungjawaban dalam
hukum pidana Islam, namun ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
pertanggungjawaban atas suatu perbuatan. Hal-hal tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Aspek Tidak Tahu
Pengertian tidak tahu dalam hukum Islam ketidaktahuan seseorang
tentang hukum suatu perbuatan. Konsekuensi dari adanya ketidaktahuan adalah
tidak adanya beban pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana.
Batasan mengetahui tidak hanya terbatas pada hakekat mengetahui semata
namun mencakup kemungkinan untuk mengetahui. Maksudnya adalah apabila
seseorang telah mukallaf dan tinggal di sebuah wilayah Islam, maka ia tidak
10 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 17.11 Penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban
dalam hukum pidana Islam dapat dilihat dalam Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, h. 430-443.
34
dapat mengajukan alasan tidak mengetahui karena adanya kemungkinan untuk
mengetahui hukum tersebut.
Seorang dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban dengan sebab tidak
mengetahui hukum manakala ia berada di wilayah pedalaman dan tidak pernah
bergaul dengan orang Islam atau seseorang yang baru masuk Islam dan baru
tinggal sebentar di wilayah muslim.
b) Aspek Lupa
Terkait dengan aspek lupa, terdapat dua pandangan di kalangan fuqaha.
Pandangan yang pertama menganggap bahwa perbuatan pidana yang dilakukan
karena lupa tidak akan menimbulkan dosa atau hukuman bagi pelakunya. Dalam
arti yang lain, pelaku akan terbebas dari pertanggungjawaban. Pendapat ini
didasarkan pada tidak berdosanya orang yang lupa melaksanakan ibadah. Namun
demikian, apabila terdapat kerugian material yang dirasakan oleh korban, maka
aspek lupa tidak dapat melepaskan pelaku dari pertanggungjawaban penggantian
kerugian materi (perdata).
Pandangan atau pendapat yang kedua menyatakan bahwa aspek lupa
hanya dapat menghilangkan pertanggungjawaban akhirat semata dan tidak dapat
melepaskan pelaku dari pertanggungjawaban dunia. Oleh sebab itu, aspek lupa
dapat menghapus hukuman manakala berkaitan dengan hak Allah.
c) Aspek Keliru
Aspek perbuatan yang dapat dikenakan pertanggungjawaban adalah
adanya aspek kesengajaan. Terkait dengan keliru, maka apabila syara’ tidak
mengatur ketentuan terkait dengan perbuatan tersebut, maka pelaku akan terbebas
35
dari pertanggungjawaban. Sedangkan apabila syara’ mengatur ketentuan tersebut,
maka pelaku tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya namun tingkat
pertanggungjawabannya di bawah pertanggungjawaban perbuatan yang
disengaja.
d) Aspek Kerelaan
Kerelaan korban pada dasarnya tidak dapat mengubah sifat jarimah dan
pertanggungjawaban perbuatan pelaku kecuali apabila kerelaan tersebut mampu
menghapus salah satu unsur jarimah. Contohnya adalah kerelaan korban
pencurian yang mengizinkan pencuri untuk mengambil hartanya. Dengan adanya
kerelaan dari korban, maka perbuatan pencurian tidak dapat dimasukkan ke
dalam kategori jarimah melainkan sebagai perbuatan yang mubah.
Sedangkan terkait dengan jarimah penganiayaan dan pembunuhan, maka
terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Perbedaan tersebut didasarkan
pada perbedaan pandangan mengenai kerelaan dianggap sebagai syubhat atau
bukan. Bagi fuqaha yang memandang kerelaan bukan sebagai syubhat melainkan
sebagai pengampunan, maka kerelaan tersebut akan membebaskan
pertanggungjawaban dari pelaku. Sedangkan fuqaha yang menganggap kerelaan
sebagai syubhat berpendapat bahwa adanya kerelaan tidak menghilangkan
pertanggungjawaban melainkan hanya mengubah status pertanggungjawaban dari
qishash menjadi diat.
36
5. Hapusnya Pertanggungjawaban
Menurut Abdul Qadir Audah, hapusnya pertanggungjawaban seseorang
atas perbuatan yang dilakukannya dalam konteks hukum pidana Islam disebabkan
oleh enam hal, yakni:12
a) Pembelaan yang sah
b) Pendidikan dan Pengajaran
c) Pengobatan
d) Permainan olahraga
e) Hapusnya jaminan keselamatan
f) Penggunaan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
6. Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
Secara bahasa, hukuman dalam konteks hukum Islam berasal dari bahasa
Arab dari akar kata ‘aqaba yang memiliki arti mengiringi atau mengikuti di
belakangnya. Dari pengertian tersebut diperoleh pengertian secara lebih luas
bahwa hukuman adalah sesuatu yang mengikuti perbuatan dan dilaksanakan
setelah perbuatan tersebut dilakukan.13 Sedangkan dalam konteks bahasa
Indonesia, hukuman memiliki arti siksa dan sebagainya atau keputusan yang
dijatuhkan oleh hakim.14
Ada dua tujuan diberlakukannya hukuman, yakni tujuan pencegahan serta
tujuan perbaikan dan pendidikan. Tujuan pencegahan yang terkandung dalam
hukuman dibedakan menjadi dua, yakni pencegahan pelaksanaan pelanggaran
12 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, h. 472.13 Lihat dalam Ibrahim Anis et.al, al-Mu’jam al-Wasith, (Saudi Arabia: Daar al-Ihya’ al-
Turats, t.th.), h. 612.14 WJS. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), h. 315.
37
terhadap perbuatan yang dilarang dan pencegahan terhadap tidak
dilaksanakannya suatu kewajiban. Pada tujuan pencegahan yang pertama,
hukuman ditujukan untuk mencegah atau menghindari terjadinya pelaksanaan
tindakan yang melanggar hukum Islam. Sedangkan pada tujuan kedua,
pencegahan ditujukan untuk mencegah atau menghindari tidak dilaksanakannya
kewajiban beribadah oleh umat Islam. Dalam konteks ini, hukuman berfungsi
untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan.
Pada tujuan perbaikan dan pendidikan, hukuman berfungsi setelah
terjadinya perbuatan yang melawan hukum. Dua hal tersebut, perbaikan dan
pendidikan, memiliki kesinambungan. Maksudnya adalah hukuman yang
diberlakukan ditujukan untuk memperbaiki dan mendidik pelaku sekaligus juga
sebagai upaya perbaikan dan pendidikan hukum bagi masyarakat yang
mengetahui pelaksanaan hukuman tersebut.
B. Dalil-Dalil Tentang Tidakan Main Hakim Sendiri
1. Al-Qur’an
a) QS. Ash-Shuraa[42]:39-43
تصرون ( وجزاء سيئة سيئة مثـلها فمن عفا وأصلح فأجره على )٣٩والذين إذا أصابـهم البـغي هم يـنـ إنه ال حيب الظالمني ( ا ٤١) ولمن انـتصر بـعد ظلمه فأولئك ما عليهم من سبيل (٤٠ا ) إمن) ولمن ٤٢الناس ويـبـغون يف األرض بغري احلق أولئك هلم عذاب أليم (السبيل على الذين يظلمون
).٤٣-٣٩. (سورة الشوري: )٤٣صبـر وغفر إن ذلك لمن عزم األمور (
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan denganzalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalahkejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik(kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh,Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Tetapi orang-orang yangmembela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan
38
mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yangberbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa(mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih.Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itutermasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Ash-Shuraa[42]:39-43)
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan
zalim”. Yakni diperlakukan dzalim oleh orang-orang musyrik. Seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa “ Hal itu karena kaum musyrikin menzhalimi,
menyakiti dan dan mengusir Rasulallah saw bersama para sahabatnya dari kota
Makkah. Allah kemudian mengijinkan mereka intuk melawan, mengukuhkan
mereka di muka bumi, dan memenangkan mereka atas orang-orang yang
menzhalimi mereka.15
Menurut pendapat lain, Firman Allah itu berlaku umum untuk setiap
kezhaliman. Baik yang dilakukan oleh orang kafir maupun yang lainnya. Yakni
apabila mereka ditimpa kezhaliman, mereka tidak pasrah atas kezdaliman
tersebut. Ini isyarat yang ditujukan kepada amar ma’ruf nahi munkar serta
menjatuhkan hukuman. Menurut Al-Qurthubi sendiri, “Firman tersebut
menunjukkan bahwa membela diri dalam posisi ini lebih baik.”
Adapun keadaan dimana orang yang dizhalimi diperintahkan untuk
memberikan maaf, jika orang yang menzhaliminya itu merasa menyesal dan
meninggalkan perbuatan zhalimnya tersebut. sedangkan firman Allah: ولمن ٱنتصر
ن سبیل ئك ما علیھ م م بعد ظلمھۦ فأول ” Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri
sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.”Hal ini
15 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 16, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 96-97
39
menunjukkan bahwa membela diri merupakan suatu hal yang diperbolehkan,
bukan diperinahkan.16
b) QS. Hud [11] : 18
أولئك يـعرضون على رم ويـقول األشهاد هؤالء الذين كذب ومن أظلم كذ وا ممن افـتـرى على ا على الظالمني ).١٨. (سورة هود: على رم أال لعنة ا
Artinya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buatdusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhanmereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telahberdusta terhadap Tuhan mereka”. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan)atas orang-orang yang zalim.” (QS. Hud: 18).
c) Q.S. An-Nahl [16]: 90
حسان وإيتاء ذي القرىب ويـنـهى عن الفحشاء والمنكر والبـ لعدل واإل مر غي يعظكم إن ا)٩٠. (سورة النهل: لعلكم تذكرون
Artinya: "Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan,bermurah hati kepada kerabat, dan Ia melarang melakukan perbuatankeji, munkar dan kekejaman. Ia mengajarkan kepadamu supaya menjadipengertian bagimu." (Q.S. An-Nahl [16]: 90).
d) Q.s. Al-Maidah [5]: 8
لقسط وال جيرمنكم شنآن قـوم على أال تـعد أيـها شهداء لوا اعدلوا الذين آمنوا كونوا قـوامني خبري مبا تـعملون إن ا )٨. (سورة املائدة: هو أقـرب للتـقوى واتـقوا ا
Artinya: "Hai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagaisaksi-saksi karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamumembuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepadatakwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamukerjakan." (QS. al-Maidah: 8).
2. Al-Hadits
a) Diriwatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya
16 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 98.
40
عبادي إ عن أيب ذر تـبارك وتـعاىل أنه قال عليه وسلم فيما روى عن ا ين عن النيب صلى انكم حمرما فال تظالموا ١٧(رواه مسلم)..حرمت الظلم على نـفسي وجعلته بـيـ
Artinya: “Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi waSallam bersabda tentang apa yang Beliau riwayatkan dariAllah Tabaraka wa Ta’ala bahwa Dia berfirman: Wahai hambaKu Akuharamkan aniaya atas diri-Ku. Dan kujadikan ia larangan bagimu, makajanganlah saling menganiaya.” (HR. Imam Muslim)
b) Diriwatkan oleh Imam Bukhory dalam shahihnya
١٨. (رواه البخاري).المسلم أخو المسلم ال يظلمه وال يسلمه
Artinya: “Muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidakmenyerahkannya (kepada musuh).” (HR. Bukhari).
c) Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thayalisi
حدثنا أبو داود قال حدثنا الربيع عن يزيد عن أنس قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم: ، وظلم يـغفر ، وظلم ال يـغفر ، فأما الظلم الذ ركه ا رك الظلم ثالثة : فظلم ال يـتـ ي ال يـغفر فالش
نه وبـني ربه ، وأما الذ ال ، وأما الظلم الذي يـغفر فظلم العبد فيما بـيـ رك فـقص هللا يـغفره ا ي ال يـتـ.١٩بـعضهم من بـعض
Artinya: “Berkata kepada kami Abu Daud, berkata kepada kami Ar Rabi’, dariYazid, dari Anas, katanya bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi waSallam: Kezaliman ada tiga; 1. Kezaliman yang tidak akan Allah biarkan.2. Kezaliman yang akan diampuni. 3. Kezaliman yang tidak akandiampuni. Ada pun kezaliman yang tidak akan diampuni adalahkesyirikan, Allah tidak akan mengampuninya. Lalu kezaliman yangdiampuni adalah kezaliman seorang hamba jika dia berbuat kesalahanantara dirinya dengan Rabbnya (baca: maksiat). Sedangkan kezalimanyang tidak akan Allah biarkan adalah kezaliman sesama manusia
17 HR. Imam Muslim No. 2577, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 490, Al Baihaqidalam As Sunan Al Kubra No. 11283, juga Syu’abul Iman No. 7088, Ibnu Hibbandalam Shahihnya No. 619, Al Bazar dalam Musnadnya No. 4053, Ath Thabarani dalam MusnadAsy Syamiyin No. 338, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20272, Ibnu ‘Asakirdalam Mu’jamnya No. 870.
18 HR. Bukhari No. 2442, 6951, Muslim No. 2580.19 HR. Ath Thayalisi No. 2109, 2223, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 20276, dari
Qatadah atau Al Hasan, Al Bazzar No. 2493. Hadits ini hasan. Lihat Shahih Kunuz As Sunnah AnNabawiyah, 1/101. Lihat juga Shahihul Jami’ No. 3961.
41
(maksudnya Allah Ta’ala akan memberikan balasan setimpal bagipelakunya).” (HR. Ath Thayalisi).
C. Pendapat Para Ulama Tentang Tindakan Main Hakim Sendiri
1. Imam Utsman al-Bakry dalam Kitab I’anat al-Thalibin
كفارةواحدكلعلىوجيباملكافأةوجودبشرطلكنواحدابقتلهمأيبواحد)مجعويقتل(قولهأيهلاوقولهمبثقلأومبحددجراحاتواحدااجلمعجرحكأنأي)جراحاتجرحوهكأنقوله(
واحدةكلتكونأنيشرتطالأنهذاوأفادالروحخروجأيالزهوقيفدخلوقولهللجراحاتج به ما لو مل وخر الزهوقيفدخلهلايكونأنالشرطبلانفردتلوغالباتقتلاجلراحاتمن
ا وال شيء على ن كانت خفيفة حبيث ال تؤثر يف القتل فال اعتبار يكن هلا دخل يف الزهوق ٢٠.صاحبها
Artinya: “(Keterangan dan dibunuh sekelompok masa akibat pembunuhan atasdiri seseorang) hanya saja disyaratkan terjadinya mukafaah(persamaan dalam penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawaseseorang) dan masing-masing dikenakan dendakriminal.(Keterangan seperti saat mereka melukainya dengan berbagailuka tubuh) artinya sekawanan masa tersebut melukainya denganberbagai luka tubuh dengan memakai benda tajam atau alatberat.(Keterangan berbagai luka tubuh) yang mengakibatkan hilangnyanyawa seseorang, dengan demikian tidak disyaratkan untukterjadinya hukum qisas bagi masa tersebut tidak diharuskan masing-masing harus melakukan penganiaayaan yang penganiayaannya dalamkadar dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang bila sendiriannamun cukup masing-masing dari mereka ikut andil dalam kriminal yangmengakibatkan terbunuhnya seseorang.”
2. Wahbah Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu
ماحتقيقعلىاملكرهقدرةـهي:أوال لإلكراهثالثةشروطعلىواحلنابلةالشافعيةاتفقواخلالصة:نيا كاللصتغلبأوبسلطانبههدد وأنغريه،أورباإلكراهدفععناملستكرهعجزـوحنوه.و
لثا إىلجيبهملإنبهالوعيدنزولظنهعلىيغلب كثريا ضررا بهستضريممايكونأنـماطلبه.و
20 Utman bin Syaton al-Bakry Abu Bakry, I’anat al-Thalibin ‘Ala Hali Alfazi FathulMu’in, Juz. 4, (Beirut: Daar Ihya al-Kutub al-Ilmiyyah al-Arabiyah, 2015), h. 119.
42
فليسالسبأوالشتمأماوحنوه.مالوإتالفالطويلني،واحلبسوالقيدالشديد،والضربكالقتل.٢١رتط الشافعية أيضا أن يكون اإلكراه بغري حقكراه.واش
Artinya: “RINGKSAN. Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat untukdapatnya dikatakan ‘terpaksa’ harus memenuhi beberapa syarat: 1.Kemampuan pihak pemaksa untuk mewujudkan ancamannya sebab iapenguasa atau punya kemampuan mengalahkan seperti perampok dansejenisnya 2. Ketidakberdayaan pihak yang dipaksa untukmelawannya dengan melarikan diri atau lainnya dan ia percaya akanmenerima segala bentuk ancamannya bila tidak memenuhi tuntutan pihakpemaksa 3. Jenis ancaman berupa sesuatu yang membuat pihak yangdipaksa mengalami bahaya yang sangat berat seperti pembunuhan,pemukulan kasar, diikat, disekap, dirusak hartanya dan sejenisnya,sedangkan ancaman berupa umpatan, cacian maka tidak tergolongancaman.Kalangan Syafi’iyyah menambahkan dari syarat diatas“Paksaannya bukan terhadap perkara hak”.
Menurut Penulis, sesuai dengan pendapat Imam Utsman al-Bakry bahwa
yang dikenai hukuman bagi pelaku tindak pidana main hakim sendiri adalah
terhadap pihak-pihak yang berperan aktif dalam tindakan tersebut, baik itu
sebagai profokator, atau sebagai penyusun rencana dalam tujuan melakukan
tindakan main hakim sendiri tersebut. Tindakan main hakim sendiri
diperbolehkan menurut Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu menerangkan ada tiga syarat, yaitu:
1. Kemampuan pihak lain untuk mewujudkan ancaman;
2. Ketidakberdayaan pihak yang dipaksa untuk melawan atau melarikan
diri;
3. Jenis ancaman berupa sesuatu yang membuat pihak yang dipaksa
mengalami bahaya.
21 Wahbah Zuhali, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz. 6, Cetakan ke-II, (Kairo: Daaral-Fikr, 1985), h. 525.
43
Selain tiga hal tersebut, maka tindakan main hakim sendiri tidak dapat
dibenarkan, jika terjadi, maka harus akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
perbuatan yang telah dilakukannya.
Dalam turut serta secara tamalu (disepakati, direncanakan), semua pelaku
jarimah bertanggung jawab atas hasil yang terjadi. Menurut Abu Hanifah,
hukuman bagi tawafuq dan tamalu adalah sama saja, mereka di anggap sama-
sama melakukan perbuatan tersebut dan bertanggungjawab atas semuanya.
Pertanggung jawaban para pelaku main hakim sendiri adalah hukuman qisas atau
diyah. Hukuman qisas-diyah terhadap pelaku main hakim sendiri tidak dapat
disamaratakan. Karena pada dasarnya hukuman yang dikenakan kepada seorang
yang melakukan tindakan main hakim sendiri sesuai dengan perbuatannya.
44
BAB IV
PERATURAN YANG MENGATUR TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI
SERTA PENDAPAT PARA ULAMA
A. Peraturan Yang Mengatur Tindakan Main Hakim Senidiri
1. Hukum Positif
Main hakim sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat
sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dianggap bersalah karena
melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan suatu tindak pidana
dinamakan penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi. Main hakim sendiri
sering terjadi karena keretakan hubungan antara penjahat dan korban yang tidak
segera dipecahkan atau apabila telah dipecahkan dengan hasil yang dirsakan tidak
adil bagi korban atau keluarga korban sehingga tidak dapat mengembalikan
hubungan baik antara pembuat korban dan korban dan/atau keluarga korban.
Korban dan/atau keluarga korban merasa kepentingan dan hak-haknya diinjak-
injak bahkan dihancurkan oleh pembuat korban, maka korban berkewajiban
untuk mempertahankan kepentingannya dan hak-haknya terhadap pembuat
korban secara langsung.1
Korban dan/atau keluarga korban atau masyarakat dalam
mempertahankan kepentingan dan hak-haknya untuk mengambil kembali harta
benda miliknya dari pembuat korban secara langsung dengan jalan kekerasan
bahkan mungkin lebih keras dan lebih kejam daripada cara yang digunakan oleh
1 Fitriani, Perbuatan Main Hakim Senidiri Dalam Kajian Kriminologis dan Sosiologis,Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang, 2012, Jiid 4, h. 162.
45
pembuat korban untuk mengambil hak milik korban. Apabila terjadi demikian
maka berarti terdapat pergeseran yang semula merupakan korban berubah
menjadi pembuat korban dan sebaliknya yang semula pembuat korban menjadi
korban. Bilamana terjadi siklus yang demikian terus-menerus maka anggota
masyarakat dirundung keresahan dan ketakutan. Oleh karena itu perlu segera
mendapat perhatian dan solusinya. Solusinya yang dirasakan adil oleh anggota
masyarakan yang bersangkutan.2
Dalam hukum positif di Indonesia permasalahan main hakim sendiri
sering dilakukan oleh masa disbanding perorangan. Maka erat kaitannya dengan
turut serta dalam melakukan tindak pidana atau turut serta dalam melakukan
jarimah dalam hukum pidana Islam.
Secara etimologis, turut serta dalam bahasa Arab adalah al-ishtirak.
Dalam hukum pidana Islam, istilah ini disebut al-ishtirak fi al-jarimah (delik
pernyataan) atau ishtirak al-jarimah. Jika dikaitkan dengan pidana seperti
pencurian dan perzinaan, ungkapan ini disebut delik penyertaan pencurian atau
perzinahan.3
Bentuk turut serta atau kerjasama yang lain, dalam pasal 56 KUHP
disebutkan sebagai berikut:
a) Orang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan.
b) Orang yang dengan sengaja memberikan kesempatan, ikhtiar atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
2 Stephen Schafer, The Victim and His Criminal a Study in Functional Responsibility inNew York and Simultaneously in Toronto, (Canada: Random House of Canada, 1968), h. 25.
3 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana, (Surabaya: Pustaka Idea 2015), h. 79.
46
Dalam pasal 56 tersebut, Orang yang tidak berbuat sering membuat
perencana (otak) kejahatan (intellectual dader), pembuat tidak langsung
(middelijke dader) atau peminjam tangan. Ada juga Orang yang melakukan
sendiri menjadi kaki tangan atau alat (warktuig) yang disebut pembuat langsung
(ongmidelijke dader).4 Jarimah terkadang dilakukan oleh seorang diri dan kadang
dilakukan oleh beberapa orang. Hanafi membagi kerjasama dalam berbuat
jarimah dalam empat kemungkinan:5
a) Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil
bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan
melakukan bersama-sama.
b) Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan
jarimah.
c) Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah.
d) Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan
berbagai cara tanpa turut serta melakukannya.
Suatu perbuatan baru di anggap sebagai tindak pidana (jarimah) apabila
unsur-unsurnya terpenuhi. Adapun unsur jarimah dapat dikategorikan menjadi
dua:
a) Unsur umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap
jarimah.
Setiap tindak pidana (jarimah) mempunyai unsurunsur umum yang harus
dipenuhi. Unsur-unsur ini ada tiga, yaitu:
4 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana, h. 81.5 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 55.
47
1) Adanya undang-undang atau nash. Dalam hukum positif masalah
ini di kenal dengan istilah asas legalitas, yaitu suatu perbuatan
tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat
dikenai sanksi sebulum adanya peraturan yang
mengundangkannya.6 Kaidah yang mendukung unsur ini adalah
“tiada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya
ketentuan nass”.7 Apabila tidak ditemukan nass, maka Islam
membolehkan kepada muslim untuk membuat kesepakatan
(ijma’). Kesepakatan ijma’ tersebut adalah bersumber dari nass
dan bersifat lokalitas tidak bertentangan dengan ketentuan al-
Qur’an maupun al-Hadis.8
2) Adanya sifat melawan hukum artinya adanya tingkah laku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif)
maupun sikap tidak berbuat (negative). Melakukan sesuatu yang
dilarang, meninggalkan sesuatu yang diperintahkan, tidak berbut
sesuatu yang di perintahkan.
3) Pelakunya mukallah artinya, pelaku jarimah adalah orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang
dilakukannya.Haliman dengan desertasinya menambahkan, bahwa orang yangmelakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan sesalkan, artinya bukan6 KUHP Pasal 1 Ayat (1)7 ‘Abd. al-Qadir “ Awdah, al-Tashri’ al-Jina’iy al-Islamy Muqaranan bi al-Qanun al-
Wad’iy, Juz I, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992), h. 121.8 Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), h. 15.
48
orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena atau karena pembelaan diri.9Unsur-unsur umum diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namundikemukakan guna mempermudah dalam mengkaji persoalan-persoalanhukum pidana Islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi.10b) Unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis
jarimah terntentu.11
Unsur khusus. Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah unsur yang
hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara unsur
khusus pada jenis jarimah yang satu jenis jarimah yang lainnya. Menurut para
fuqaha tindak pidana selain jiwa (pengeniayaan) adalah setiap perbuatan yang
mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian.12 para fuqaha
membagi tindak pidana tersebut menjadi lima bagian:(a) Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya. Yaitu
memotong anggota badan dan sesuatu yang mempunyai mafaat
serupa, seperti memeotong tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung,
penis dll.(b) Menghilangkan mamfaat anggota badan, tetapi anggota badannya
tetap ada. Yaitu menghilangkan pendengaran, penglihatan,
penciuman, perasa, mamfaat bicara, termasuk di dalamnya
9 Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah waljamaah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1968), h. 48.
10 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 36.11 ‘Abd al-Qadir “ Awdah, al-Tashri’ al-Jina’iy, Juz II, h. 110-111.12 Abd. Al-Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, terj. Alie Yafie (dkk.)
(Jakarta: PT. Khalista Ilmu, 2008), h. 19.
49
merubah gigi menjadi hitam, merah, dan juga menghilangkan akal
dan lainnya.(c) Melukai kepala dan muka (al-shiijjaj), menurut imam Abu
Hanifah adalah pelukaan bagian muka dan kepala, tetapi khsus di
bagian tulang saja, seperti dahi.(d) Melukai selain kepala dan muka (al-jirah), yaitu selain kepala dan
muka, dan ini terbagi menjadi dua:
(1) Al-ja’ifah, yaitu luka yang sanpai ke dalam rongga dada, perut,
punggung, dua lambung, dan dubur.
(2) Ghair al-ja’ifah, yaitu luka yang tidak sampai kerongga
tersebut.(e) Yang tidak termasuk empat jenis di atas, yaitu penganiayaan yang
tidak meninggalkan bekas atau meninggalkan bekas yang tidak
dianggap jarh dan shajjaj.
Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu respon masyarakat yang
malah menciptakan suasana tidak tertib. Masyarakat yang harusnya menaati
hukum yang berlaku yang telah ditetapkan oleh penguasa bertindak sebaliknya,
mereka melakukan suatu respon terhadap adanya kejahatan dengan menghakimi
sendiri pelaku tindak pidana. Akan tetapi apabila dilihat dari pengertian tindak
pidana yang telah diuraikan dimuka maka akan tampak jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh
masyarakat dengan dipukuli sampai babak belur bahkan sampai dengan
membakarnya hidup-hidup merupakan suatu bentuk lain dari kejahatan.
50
Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal
untuk menghindari tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan dari
teman atau keluarga korban. Tindak kekerasan yang diambil masyarakat
dianggap sebagai langkah tepat untuk menyelesaikan suatu masalah yang
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Bentuk-bentuk tindak pidana main hakim sendiri (eigenrechting) terhadap
pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh massa, dapat dilihat bahwa tidak ada
perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang
membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh
karena itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasannya dititik
beratkan pada kata “massa”. Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada
pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan adalah dua orang lebih atau tidak
terbatas maksimalnya.
Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan
sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak
kalap dan tidak terkendali. Smelser mempertanyakan kenapa perilaku kolektif
terjadi. Dia merinci enam faktor yang menurutnya menentukan untuk terjadinya
perilaku atau kekerasan kolektif, enam faktor tersebut adalah:
a) Adanya pendorong struktural (structural condusivenness)
b) Ketegangan struktural (structural strain)
c) Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang digeneralisasikan
(Growth and spread of belief)
51
d) Factor-faktor pencetus (precipitating factors)
e) Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of
Partifsipants for action)
f) Bekerjanya pengendalian sosial (The operation of social control).13
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam kerangka teori Smelser ini
faktor-faktor penentu perilaku kolektif tersebut diorganisasikan dengan konsep
nilai tambah. Menurut Smelser, faktor-faktor terdahulu perlu ada sebelum faktor
berikutnya dapat terwujud. Dengan demikian faktor-faktor penyebab tingkah laku
tersebut membentuk kombinasi menurut suatu pola yang pasti.
a) Faktor penentu perilaku kolektif pertama, structural conduciveness,
ialah segi-segi struktural dari situasi sosial yang memungkinkan
terjadinya perilaku kolektif tertentu. Hal ini terlihat misalnya dengan
adanya kejadian penyerangan, perusakan dan pembakaran terhadap
aset-aset milik perorangan/kelompok dengan tanpa adanya reaksi
aparat terkait, dan pembiaran dari masyarakat luas.
b) Faktor kedua structural strain, menurut Smelser mengacu pada
berbagai tipe ketegangan struktural yang tidak memungkinkan
terjadinya perilaku kolektif. Namun agar perilaku kolekif dapat
berlangsung perlu ada kesepadanan antara ketegangan struktural ini
dengan dorongan struktural yang mendahuluinya. Namun keadaan itu
tidak akan melahirkan tingkah laku kolektif, karena memerlukan
kondisi lanjutan.
13 Neil Smelser, Theory of Collctive Behavior, (New York: The Free Press, 1962), h. 89.
52
c) Faktor ketiga Growth and spread of a generalized belief adalah
tumbuh dan berkembangnya kepercayaan /keyakinan bersama.
Misalnya cap dan klaim terhadap suatu aliran sebagai sesat.
Pemahaman seperti itu menyebar dan dipahami secara sama oleh
anggota kelompok. Keadaan ini mengacu pada ketika situasi menjadi
bermakna bagi orang-orang yang berpotensi menjadi pelaku-pelaku
kolektif dengan adanya penyebarluasan gagasan yang dapat membuka
wawasan individu kearah yang lebih dinamis. Kondisi ini dapat
menimbulkan perilaku kolektif dari individu yang telah mengalami
perkembangan pemikiran. Makna yang harus dipahami itu terkandung
dalam generalized belief yang mampu mengidentifikasi sumber
ketegangan menentukan sumber tersebut dan merinci tanggapan
terhadap sumber itu. Kendatipun faktor penentu sudah sampai pada
tahapan ini, namun untuk munculnya tingkah laku kolektif diperlukan
adanya kondisi khusus yaitu faktor penentu.
d) Faktor keempat Precipatating factors, merupakan faktor situasional
yaitu adanya suatu peristiwa yang menegaskan pendorong struktural,
ketegangan struktural dan kepercayaan umum rentang sumber
ketegangan yang memicu timbulnya tingkah laku kolektif. Namun
kendatipun ke empat faktor diatas sudah terakumulasi belum akan
melahirkan tingkah laku kolektif. Untuk terjadinya tingkah laku
kolektif masih memerlukan faktor berikutnya.14
14 Neil Smelser, Theory of Collctive Behavior, h. 99-101.
53
e) Faktor kelima, Mobillization of partisipants for actions, menurut
Smelser tinggal inilah yang perlu untuk dipenuhi untuk kemudian
terjadi tingkah laku kolektif. Dalam proses ini peranan figur yang
dapat memberikan simpati kepada masyarakat untuk melakukan
tindakan kolektif sangat diperlukan.
f) Faktor keenam, The opreration of social control, memegang peranan
penting bagi terjadinya tingkah laku kolektif. Dalam setiap tahap
proses tersebut diatas, bila pranata pengendalian sosial dapat
mengintervensi tahapan-tahapan faktor penentu tingkah laku kolektif
diatas, maka timbulnya tingkah laku kolektif dapat dihindarkan.
2. Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam di Indonesia bukanlah merupakan hukum positif.
Keberadaannya hanyalah sebagai suatu merupakan disiplin ilmu.15 Dan juga
merupakan terjemahan dari kata fiqih jinayah. Fiqih jinayah adalah segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban),
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-
Qur’an dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan
kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan
peraturan perundang-undangan yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis.16
Maraknya tindakan main hakim sendiri di Indonesia sebagian besar tidak
terselesaikan, dalam artian banyak kasus yang dibiarkan dan tidak ditindaklanjuti
15 A. Jazuli, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 5.16 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 1.
54
oleh aparat penegak hukum dan sering kali tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat sehingga timbul pemicu yang menyebabkan suatu ledakan kemarahan
masyarakat. Dengan adanya kenyataan yang demikian, masyarakat merasa main
hakim sendiri merupakan tindakan tegas dalam memberikan sanksi kepada
pelaku kejahatan. Masyarakat merasa semakin mudah menumpahkan
kemarahannya kepada pelaku kejahatan dengan melakukan pengeroyokan secara
beramai-ramai dengan tindakan fisik, mulai dari pemukulan ringan hingga
menyebabkan meninggalnya si korban atau pelaku tindak pidana. Tindakan main
hakim sendiri ini secara teknis disebut dengan istilah eigenrechting.
Dalam hal tindakan main hakim sendiri, perbuatan tersebut dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu turut serta berbuat langsung dengan berbuat tidak
langsung, fuqaha memberikan perbedaan:
1. Turut Serta Secara Langsung
Orang yang turut serta disebut peserta langsung )اإلشرتاك املباشرة( .
Yang dimaksud dengan turut serta secara langsung adalah orang yang
secara langsung terikat atau turut serta dalam melakukan tindak kejahatan
kekerasan. Dalam istilah fiqih jinayah peristiwa seperti ini disebut isytirak
mubasir, dan pelakunya di sebut mubasir.
١٧إشرتاك املباشرين األصل أن هذا النوع من اإلشرتاك يوجد يف حالة تعدد اجلناية الذين يباشرون.
Artinya: Turut serta secara langsung, pada dasarnya bentuk turut sertasemacam ini baru terjadi dalam hal banyaknya para pelaku yangsecara langsung mereka melakukan kejahatan.
17 ‘Abd al-Qadir Awdah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i, Juz. 1, Cet. Ke-2, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992), h. 360.
55
Turut serta secara langsung juga dapat terjadi, manakala seorang
melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan
jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat, yang dimaksudkan untuk
melaksanakan kejahatan kekerasan yang diperbuatnya itu selesai atau tidak,
karena selesai atau tidaknya suatu kejahatan tidak mempengaruhi kedudukannya
sebagai orang yang turut serta secara langsung. Pengaruhnya terbatas pada berat
atau ringannya hukuman yang dijatuhkan padanya.
Dianggap sebagai pelaku langsung, jika masing-masing pelaku
mengarahkan tembakan kepada korban dan mati karena tembakan tersebut. Disini
tidak dipermasalahkan tembakan siapa yang tepat dan tembakan siapa yang
meleset sehingga masing-masing dianggap melakukan pembunuhan secara
langsung. Demikian pula apabila mereka bersama-sama melukan pencurian atau
perampokan.
Dipandang sebagai pelaku langsung, adalah pelaku yang menjadi sebab
(tidak langsung) apabila pelaku tindak kejahatan kekerasan secara langsung
adalah kaki tangannya (orang kepercayaan). Pendapat ini disetujui oleh para
fuqaha, meskipun dalam penerapannya terdapat perbedaan pendapat. Sebagai
contoh, jika seorang menyuruh orang lain untuk membunuh, kemudian suruhan
itu melakukannya, maka orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pelaku
langsung. Pendapat ini menurut Imam madzhab meskipun dia tidak melakukan
56
perbuatan itu secara tidak langsung, namun dalam keadaan demikian orang yang
disuruh hanya merupakan alat.18
Dalam hal adanya perbuatan turut serta melakukan jarimah, para fuqaha
mengadakan pemisahan. Apakah kolektivitas dalam mewujudkan suatu tindak
kekerasan itu terjadi secara kebetulan, atau memang sudah direncanakan
bersama-sama sebelumnya. Keadaan pertama di sebut ‚tawafuq‛ dan keadaan
kedua disebut ‚tamalu‛.19
Artinya turut serta secara langsung dalam melakukan jarimah terbagi
dalam dua bentuk:
a) Turut berbuat langsung secara tawafuq
Artinya peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Dia melakukannya
tanpa kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain
melainkan atas kehendak pribadinya atau refleksi atas suatu kejadian di
hadapannya. Jadi, setiap pelaku dalam jarimah yang turut serta dalam bentuk
tawafuq ini tidak saling mengenal antara satu dan lainnya. Dalam kasus seperti
ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-
masing dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Hal ini sesuai
dengan kaidah:
٢٠يسأل كل شريك عن نتيجته فعله فقط يف حالة التوافق.
18 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h.139
19 A. Djazuli, Fiqih jinayah, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 1997), h. 17.20 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Bandung:
Pustaka Balai Quraisy, 2004), h. 25
57
Artinya: Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaantawafuq dituntut berdasarkan perbutannya masing masing.
b) Turut berbuat langsung secara tamalu
Dalam hal ini, para peserta sama-sama menginginkan terjadinya suatu
jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun dalam pelaksanaan
jarimah, masing-masing peserta melakukan fungsinya sendiri-sendiri. Seperti
dalam kasus pembunuhan, beberapa orang yang bersepakat membunuh seseorang
tidak membunuh (menusuk dengan pisau) secara bersamaan, diantara mereka ada
yang memegang, memukul, atau mengikat. Namun dalam hal
pertanggungjawaban, mereka semuanya bertanggung jawab atas kematian
korban. Hal ini sesuai dengan kaidah:
٢١يسأل كل شريك عن كل فعل شريك يف حالة التمالؤ.
Artinya: Setiap orang yang turut serta berbuat jarimah dalam keadaantamalu dituntut dari hasil keseluruhan perbuatan yang turut sertaberbuat jarimah.
2. Turut Serta Secara Tidak Langsung
Orang yang turut serta disebut peserta tidak langsung atau sebab الشرك)
(املتسب
Yang dimaksud turut serta tidak langsung disini ialah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak
kejahatan kekerasan atau menyuruh (membujuk) orang lain atau memberikan
bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam
21 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 25
58
kesepakatan. Dalam istilah fiqih jinayah, peristiwa seperti ini disebut isytirak bit-
tasabbubi dan pelakunya disebut mutasabbib.
Lebih lanjut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah mengemukakan istilah dengan:
يعترب شريكا متسببا من اتفق مع غريه على إرتكاب فعل معاقب عليه ومن حرض غريه أو أعانه علي هذا الفعل ويشرتط يف الشريك أن يكون قاصدان اإلتفاق أو التحريض أو اإلعانة علي
٢٢اجلرميمة.
Artinya: Dikatan turut secara tidak langsung yaitu orang mengadakanpersengkongkolan dengan orang lain untuk melakukan suatu tindakkejahatan atau menyuruh orang lain untuk memberikan bantuan dalamperbuatan tersebut.
Pada tindak kejahatan kekerasan kolektif, di mana ada beberapa pelaku
tidak turut serta secara langsung, para fuqaha sepakat untuk memberikan
beberapa syarat yang harus dipenuhi.
a) Perbuatan, di mana orang yang berbuat tidak langsung memberikan
bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga
tidak diperlukan bahwa pelaku langsung dihukum pula. Jadi ada
kemungkinan pelaku langsung, itu masih di bawah umur atau hilang
ingatannya.
b) Dengan kesepakatan atau bujukan atau bantuan, dimaksudkan agar
kejahatan tertentu dapat terlaksana. Jika tidak ada kejahatan tertentu
yang dimaksudkan maka dia dianggap turut berbuat pada tiap tindak
kejahatan yang terjadi.
22 ‘Abd al-Qadir Awdah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i, Juz. 1, Cet. Ke-2, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992), h. 356
59
Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan kesepakatan,
menyuruh dan membantu.23
a) Kesepakatan, kesepakatan bisa terjadi karena adanya saling
memahami dan kesamaan untuk melakukan kejahatan kekerasan, jika
tidak adanya kesempatan sebelumnya maka tidak ada turut serta.
Untuk terjadinya turut serta suatu kejahatan kekerasan kolektif harus
merupakan akibat kesepakatan, jika seorang bersepakat dengan orang
kedua untuk membunuh orang ketiga, kemudian orang ketiga tersebut
telah mengetahui apa yang akan diperbuat tersebut terhadap dirinya
dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tesebut, dan orang
ketiga itu hendak membubuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang
kedua dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk
membela diri maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap
sebagai kesepakatan. Meskipun terdapat orang kedua dijatuhi sanksi
hukum karena alasan pembelaan diri tersebut namun dia dapat
dihukum karena kesepakatan jahatnya orang lain. Sebab kesepakatan
jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat yang dapat dihukum
baik dilakukan ataupun tidak.24
b) Menyuruh, yang dikatakan dengan menyuruh ialah membujuk orang
lain untuk melakukan kejahatan kekerasan, dan bujukan itu menjadi
pendorong untuk dilakukannya kejahatan kekerasan. Dan jika orang
23 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang,1990), h.145.
24 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h.146.
60
yang megeluarkan suruhan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang
disuruh, seperti atasan kepada bawahannya maka suruhan tersebut
dianggap paksaan yang tidak mempunyai sanksi hukuman bagi
pelakunya. Namun dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada
tingkat paksaan maka yang disuruh itu harus bertanggungjawab atas
kematian korban, sedangkan yang menyuruh dikenakan sanksi ta’zir.
c) Memberikan batuan, Orang yang memberikan bantuan kepada orang
lain dalam melakukan kejahatan kekerasan dianggap sebagai turut
serta secara tidak langsung, meskipun tidak ada kesepakatan untuk itu
sebelumnya. Perbedaan antara pelaku langsung, dengan pemberian
bantuan adalah jika pelaku langsung itu bersentuhan langsung dengan
kejahatan kekerasan yang dimaksud, sedangkan pemberian bantuan
biasanya tidak bersentuhan langsung, dengan kejahatan, melainkan
hanya membantu mewujudkan kekerasan yang dimaksud.
Perbedaan antara kedua orang di atas, orang pertama menjadi kawan
nyata dalam melaksanakan jarimah. Sedangkan orang kedua menjadi sebab
adanya jarimah. Baik karena janji-janji menyuruh, menghasut, atau memberikan
bantuan tetapi tidak ikut serta dalam melaksanakan jarimah.25
Berbeda munurut Abu Hanifah, beliau berpendapat mengenai orang yang
menyuruh tidak dianggap sebagai pelaku langsung, kecuali suruhanya itu
mengandung unsur paksaan (ikrah), jika tidak sampai tingkat paksaan, maka
suruhan itu dianggap turut serta tidak langsung.
25 Sahid, Epistemologi Hukum Pidana, (Surabaya: Pustaka Idea, 2015), h. 80.
61
Menurut riwayat al-Dar Qutni, seperti di kutip Asy Syaukani ketentuan
turut serta berbuat langsung adalah hadis dari Abu Hurairah berikut:
عن النيب صلي هللا عليه وسلم قال: إذا أمسك الرجل الرجل وقتله األخر يقتل عن أيب هريرة ٢٦الذي قتل وحيبس الذي أمسك.
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW.‛ Apabila seseoranglaki-laki memegangi (korban), sedangkan laki-laki lain membunuhnya,maka dibunuh oleh orang yang membunuhnya dan di kurung bagi orangyang memeganginya.
Dalil tersebut menurut Asy-Syaukani menunjukkan bahwa qishash hanya
dikenakan bagi orang yang membunuhnya saja, sedangkan bagi orang yang
memegang, hukumannya adalah kurung. Kahalany juga berpendapat demikian
tanpa menyebutkan kadar waktunya.
An-Nasa’i, Imam Malik, dan Abi Laila berpendapat bahwa terhadap
orang yang memegangi korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai hukaman
qisas, sebab dia dianggap sebagai mubasyir (pelaku) pembunuhan juga. Menurut
mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna, tanpa
keterlibatan orang yang memegangi korban.
B. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan main hakim
sendiri
Pada dasarnya faktor-faktor penyebab tindakan main hakim sendiri dapat
dianalisis dalam dua ruang lingkup analisa yakni lingkup hukum dan lingkup
psikologi sosial. Kedua ruang lingkup tersebut memiliki keterkaitan. Pertama,
pada lingkup aspek keberadaan hukum, main hakim sendiri secara tidak langsung
26 Al-Shaukani, Nayl al-Awtar, Juz 5, (Mesir: Daar al- Bab al-Halabi wa Awladuh, t.t), h.168.
62
mengindikasikan adanya upaya pengesampingan hukum yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan pada lingkup kedua, yakni psikologi sosial, main hakim
sendiri bukanlah suatu perilaku yang muncul secara apa adanya melainkan timbul
dari suatu sebab dan muncul melalui sebuah proses.
Hukum dan perundang-undangan merupakan dua hal yang memiliki
kesamaan namun di sisi lain juga berbeda. Kesamaan dari keduanya adalah sama-
sama berfungsi sebagai pedoman perilaku atau norma agar tercipta kehidupan
yang aman tentram dan damai, hukum berfungsi sebagai a tool of social
enginering. Sedangkan perbedaan antara keduanya terkait dengan bentuk dan
ruang lingkupnya. Hukum merupakan wujud peraturan yang lebih luas
dibandingkan dengan perundang-undangan. Hukum tidak selalu dalam bentuk
tertulis melainkan dapat pula berbentuk tidak tertulis. Sebaliknya perundang-
undangan adalah peraturan yang berbentuk tertulis dan merupakan bagian dari
hukum.
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak main
hakim sendiri adalah sebagai berikut:
1. Faktor ketidakpercayaan terhadap penegak hukum dalam menanggapi
pelaku tindak pidana.
Kondisi peradilan di Indonesia dalam penegakan hukum saat ini masih
dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga
peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan
sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Banyaknya pelaku
63
kejahatan yang lolos dari jerat hukum ditambah kondisi penegak hukum yang
terlibat kasus hukum seperti kasus suap dan sebagainya.27
Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris
tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan
hukum yang mereka alami ke penegak hukum dan lebih memilih menciptakan
hukum sendiri seperti menghakimi sendiri pelaku tindak pidana yang mereka
tangkap.
2. Faktor emosi dan sakit hati terhadap pelaku tindak pidana.
Maraknya aksi tindak pidana di kota-kota sudah sangat meresahkan,
menimbulkan anggapan bahwa pelaku tindak pidana adalah musuh bersama yang
harus dibasmi. Masyarakat sudah sangat geram dan dendam terhadap pelaku
tindak pidana sehingga ketika ada pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh
warga, maka dengan mudah tersulut emosinya dan tanpa segan-segan warga
lansung menghakimi pelaku tersebut sampai tidak berdaya.28
3. Agar pelaku tindak pidana jera dan supaya calon pelaku lain takut
melakukan hal yang sama.29
4. Faktor anggapan bahwa menghakimi pelaku tindak pidana adalah
kebiasaan dalam masyarakat.
Kalau suatu tingkah laku atau perbuatan itu berlangsung secara tetap,
terulang, maka akan timbullah anggapan bahwa memang demikianlah
27 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1983), h. 5.28 Iswanto, Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari Aspek
Kriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar Main Hakim Sendiri olehMasyarakat. Diselenggarakan atas kerjasama UBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas.Purwokerto, 05 Agustus 2000. H. 2-3.
29 Paul Zvonimer Separovic, Victimology Studies of Victims, (Zagreb: Publisher“Zagreb”, 1985), h. 6.
64
seharusnya. Fenomena main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat
sudah menjadi trend dan sering terjadi bahkan dapat dijumpai disemua daerah.
Maraknya penghakiman terhadap pelaku tindak pidana menimbulkan anggapan
dalam masyarakat bahwa main hakim sendiri merupakan suatu kebiasaan yang
wajar, tidak bertentangan dengan hukum dan sudah seharusnya dilakukan
terhadap pelaku tindak pidana bahkan masyarakat menganggap hal yang mereka
lakukan telah meringankan beban kepolisian dalam menangkap pelaku tindak
pidana.30
5. Ikut-ikutan.
Terkadang Masyarakat hanya ikut-ikutan main hakim sendiri dalam
kerumunan massa. Pada awalnya hanya lewat dan menonton, namun karena
ajakan dan ingin juga merasakan memberi hukuman kepada pelaku tindak pidana,
maka kemudian mereka ikut menghakimi pelaku pencurian. Lebih parah lagi,
terkadang pelaku main hakim sendiri hanya terprovokasi dan ikut memukul atau
mengeroyok tanpa tahu masalah yang sebenarnya.31
6. Faktor rendahnya tingkat pendidikan.32
Tingkat pendidikan berpengaruh pada tindakan seseorang, semakin tinggi
pendidikannya semakin ia menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukannya
dalam bentuk perbuatan melawan hukum akan mendapat hukum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
30 Stephen Schafer, The Victim and his Criminal a Study Functional Responsibility inNew York and Simultaneously in Toronto, (Canada: Rondom House of Canada, 1968), h. 25.
31 Stephen Schafer, The Victim and his Criminal a Study Functional Responsibility inNew York and Simultaneously in Toronto, h. 27.
32 tutorialKuliah.blogspot.co.id/…/teori-tindakan-dan-teori-sistem-talcott/. Diaksestanggal 11 Februari 2017.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Pemidanaan Terhadap
Pelaku Main Hakim Sendiri (Eigenreching) Ditinjau Dari Hukum Positif Dan
Hukum Islam, penulis menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi inti
dari pembahasan skripsi ini.
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindakan main hakim
sendiri (Eigenrichting) oleh masyarakat: (a) Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat
penegak hukum. (b) Faktor psikologi sosial, Masyarakat cenderung
emosional terhadap pelaku kejahatan. (c) Masyarakat kurang pemahaman
terhadap persoalan hukum, tidak mengetahui kalau tindakan main hakim
sendiri itu merupakan suatu bentuk tindak pidana.
2. Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal
untuk menghindari tanggung jawab pribadi serta menghindari
pembalasan dari teman atau keluarga korban. Bentuk-bentuk tindak
pidana main hakim sendiri (eigenrechting) terhadap pelaku tindak
pidana yang dilakukan oleh massa, dapat dilihat bahwa tidak ada
perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang
membedakan adalah dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu
orang. Hukum positif memandang ini sebagai kejahatan bersama dan
mendapat hukuman sesuai dengan akibat hukum yang ditimbulkan
66
sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2), Pasal 187, Pasal
200, Pasal 338, Pasal 351, Pasal 354 Ayat (1) dan (2), dan Pasal 406
Ayat (1) KUHP. Sedangkan dalam hukum islam dikenal dengan
istirak al-jarimah, secara keseluruhan istirik al-jarimah dapat
dikategorikan menjadi 2, yaitu turut secara langsung (al-Isytirok al-
Mubasyiroh) dan secara tidak langsung (al-Syirku al-Mutasabbu),
dalam kondisi ini pun sama-sama mendapat hukuman sesuai dengan
perbuatannya. Contoh dalam kasus pembunuhan, jika seseorang
memegangi korban dan satu lainnya memukulinya hingga meninggal,
maka yang memukul dikenai hukaman qishas, sedangkan yang
memegangi dikenai hukuman ta’zir.
B. Saran-saran
Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini,
yaitu:
1. Mengenai permasalahan Tindakan main hakim sendiri masih sering
kita jumpai dalam masyarakat kita. Hal ini merupan tanggungjawab
kita bersama sebagain masyarakat dalam menimbulkan perasaan sadar
dan taat kepada hukum yang berlaku di Idnonesia. Pemerintah selaku
ulil amri bertanggungjawab secara khusus dalam sosialisasi tentang
akibat hukum yang akan didapati oleh masyarakat yang melakukan
tindak main hakim sendiri. Sebagai umat islam yang taat pada ajaran
islam yang diturunkan oleh Allah melalui kitab suci al-Qur’an dan
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW, secara jelas bahwa tindakan
67
main hakim sendiri merupakan suatu tindakan kezhaliman.
Bagaimanapun juga yang orang-orang yang bersalah masih memiliki
hak-hak yang harus dipenuhi, yaitu hak untuk mendapatkan keadilan
sesuatu dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Maka jelas
tindakan main hakim sendiri sangat tidak dibenarkan dalam Undang-
Undang yang berlaku di Indonesia maupun dalam ajaran Islam.
2. Penelitian ini mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian,
diharapkan penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut
mengenai Pemidanaan Terhadap Pelaku Main Hakim Sendiri Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam dengan menggunakan alat analisis
dan metode yang berbeda.
68
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka
Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahannya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
A. Djazuli, Fiqih jinayah. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
____________, Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Al-Atsqalânî, Ibnu Hajar. Bulûgh al-Marâm, Cet. VII. Penerjemah ‘Abdul RosyâdSiddîq. Jakarta: Akbar Media, 2012.
____________, Fathul Bârî, Juz I, Cet. I, Penerjemah Gazîrah Abdi Ummah.Jakarta: Pustaka Azzâm, 2002.
____________, Fathul Bârî Syarah Sahih al-Bukhâri, Juz. 13, Cet. I. Riyâd:Maktabah al-Malik, 2001.
al-Hanbali, Ibnu Rajab, Jami al-Ulum wa al-Hukmi, Juz. II. t.tp: Muassisah al-Risalah, 2001.
Al-Shaukani, Nayl al-Awtar, Juz 5. Mesir: Daar al-Halabi wa Awladuh, t.th.
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jilid 16. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ali, Abdullah Yusuf. “Qur’an terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah”.Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Ali, Achmad. Teori Hukum dan Teori Pengadilan. Jakarta: Prenada Media Group,2009.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. I.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Atmasasmita, Romli. Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam PenegakanHukum di Indonesia. Bandung: Alumni, 1982.
Audah, Abd. Al-Qodir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, terj. Alie Yafie (dkk).Jakarta: PT. Khalista Ilmu, 2008.
____________, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy. Beirut: Daar al-Kitab, t.th.
69
____________, “al-Tashri’ al-Jina’iy al-Islamy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, Juz I. Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992.
Bakry, Utman bin Syaton al-Bakry Abu, I’anat al-Thalibin ‘Ala Hali AlfaziFathul Mu’in, Juz. 4. Beirut: Daar Ihya al-Kutub al-Ilmiyyah al-Arabiyah,2015.
Barowi dan Suwandi. Memahami penelitian kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta,2008.
Djamali, Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010.
Doi, Abdurrahman I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta,1991.
Effendi, Tolib. Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan ProsesSistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara. Yogyakarta: PustakaYustisia, 2013.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah. Jakarta:Bulan Bintang, 1968.
Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
____________, Delik-delik Tertentu Dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ibrahim, Anis et.al, al-Mu’jam al-Wasith. Saudi Arabia: Daar al-Ihya’ al-Turats,t.th.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi danRefleksi, Cet. III. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra AdityaBakti, 1997.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam. Bandung:Pustaka Balai Quraisy, 2004.
Muhammad (eds), Ahsin Sakho, Ensiklopedi Hukum PIdana Islam. Jakarta:Kharisma Ilmu, 2008.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Narboko, Cholid dan Achmadi Abu, Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
70
Pustaka, 1997.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 2007.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI). Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni, 1983.
Rosyadi, Rahmad dan Ahmad, Rais, Formulasi Syari'at Islam dalam PerspektifTata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Rumidi, Sukandar. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 2004.
Sahid, Epistemologi Hukum Pidana. Surabaya: Pustaka Idea 2015.
Schafer, Stephen. The Victim and his Criminal a Study Functional Responsibilityin New York and Simultaneously in Toronto. Canada: Rondom House ofCanada, 1968.
Separovic, Paul Zvonimer. Victimology Studies of Victims. Zagreb: Publisher“Zagreb”, 1985.
Smelser, Neil. Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press, 1962.
Soehartoto, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik PenelitianBidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya , Cet. IX.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas IndonesiaPress, 1986.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, Cet.I. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.
Syahni, Abdul. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remaja Karya, 1987.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013. Ciputat: BiroAdministrasi Akademik dann Kemahasiswaan UIN Jakarta , 2012.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM-FSH UIN Jakarta,2012.
Tongat, Hukum Pidana Materiil. Malang: UMM Press, 2006.
71
WJS. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1989.
Zuhali, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz. 6, Cet. II. Kairo: Daar al-Fikr, 1985.
B. Jurnal
Fitriani, Perbuatan Main Hakim Senidiri Dalam Kajian Kriminologis danSosiologis, Jiid 4, Jurnal Fakultas Hukum Universitas TamansiswaPadang, 2012.
Iswanto, Kecenderungan Masyarakat Main Hakim Sendiri (Ditinjau dari AspekKriminologi-Viktimologi). Makalah disampaikan dalam Seminar MainHakim Sendiri oleh Masyarakat. Diselenggarakan atas kerjasamaUBSOED-POLWIL-PWI Perwakilan Banyumas. Purwokerto, 05 Agustus2000.
C. Internet
Ardiheri, Juli. ”Kekerasan,Premanisme & Kriminalitas Yang Membudaya DiIndonesia”, diakses pada tanggal 14 April 2016 darihttp://juliardiheri.blogspot.co.id/2013/04/makalah-kekerasan-premanisme.html.
SINDONEWS.COM. “Pengadilan Jalanan”, diakses pada tanggal 16 April 2016dari http://nasional.sindonews.com/read/967855/16/pengadilanjalanan/.
TutorialKuliah.blogspot.co.id/…/teori-tindakan-dan-teori-sistem-talcott/. Diaksestanggal 11 Februari 2017.
Wisurya, Nurman Syah. “Pengerian Sistem Peradilan Pidana”, diakses padatanggal 14 April 2016 darihttp:/nurmansyahwisurya.wordpress.com/2012/04/13/pengertian-sistem-peradilan-pidana/.
D. Wawancara
Wawancara Pribadi bersama Ahmad Khaetami Efendi S.Sos.I (Pimpinan PondokPesantren Al-Musarofah, Pandeglang Banten), Kamis, 22 Desember 2016,Pukul 10.00 WIB.
72
Wawancara Pribadi bersama H. Dede Ahmad Permana, Ma (Kandidat DoktorHukum Islam Universitas Zaitunnah Tunis Sekaligus Dosen Syariah IAINSerang Banten), Sabtu, 24 Desember 2016, Pukul 20.00 WIB.
Wawancara Pribadi bersama Mahbub Ma’afi (Wakil Sekretaris Lembaga BahtsulMasail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama – LBM-PBNU), Rabu, 28Desember 2016, Pukul 20.00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Asep Romli, Kanit Satlantas Kabupaten Bekasi.Kamis, 7 November 2016. Pukul 11.00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Saepuddin, Reserse Jatanras Polsek Cikarang. Selasa,24 Januari 2017. Pukul 19.50 WIB.
73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
78
Narasumber : Saepuddin
Jabatan : Reserse Jatanras Polsek Cikarang
Tempat Wawancara : Kediaman Beliau
Waktu Wawancara : 24 Januari 2017, 19:50 WIB
1. Apa Pengertian Eigenreching menurut bapak?
Secara singkat Eigenreching itu adalah Proses penghakiman yang
dilakukan oleh masa tanpa memperdulikan hukum yang berlaku.
2. Jika main hakim sendiri itu termasuk tindak pidana, maka dalam pasal
berapa kita bisa mendapati yang mengatur hal ini?
Dapat dilihat dalam pasal:
- Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan
- Pasal 170 tentang KUHP Kekerasan
- Pasal 406 tentang KUHP Pengrusakan
- Pasal 338 & 340 KUHP tentang Pembunuhan
3. Apa saja factor-faktor yang menyebabkan tindakan main hakim sendiri?
Biasanya factor utama yang mendasari timbulnya tindakan main
hakim sendiri karena factor emosional dan merasa kurang puas
dengan ketentuan hukum yang ada.
4. Apa saja kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi tindakan
main hakim sendiri?
Yang dapat dilakukan dalam menanggulangi tindakan main hakim
sendiri adalah pertama, Sosialisasi tentang segala peraturan dan
undang-undang kepada masyarakat dan memberikan sanksi kepada
79
siapapun yang berbuat sesuai dengan tindakan yang telah
dialkukannya.
5. Apa saja kendala yang didapati dalam menanggulai tindakan main hakim
sendiri?
Kendala-kendala yang sering terjadi dalam menangani tindakan main
hakim sendiri ini diantaranya:
- Berbenturan dengan masyarakat
- Belum memiliki sifat tertib
- Karena keawaman masyarakat.
80
Narasumber : Asep Romli
Jabatan : Kanit Satlantas Kabupaten Bekasi
Tempat Wawancara : Ruang Kerja Beliau
Waktu Wawancara : 07 November 2016, 11:00 WIB
1. Apa Pengertian Eigenreching menurut bapak?
Secara umum orang yang melakukan tindakan main hakim sendiri
adalah mereka Orang-orang yang tidak mengerti peraturan hukum
yang sebenarnya, sehingga timbullah suatu masalah bukan
menyelesaikan masalah. Jika kita menyelesaikan dengan hukum yang
ada dan mengikuti proses maka tercapailah suatu kepuasan.
2. Jika main hakim sendiri itu termasuk tindak pidana, maka dalam pasal
berapa kita bisa mendapati yang mengatur hal ini?
Dapat dilihat dalam pasal:
- Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan
- Pasal 170 tentang KUHP Kekerasan
- Pasal 406 tentang KUHP Pengrusakan
- Pasal 338 & 340 KUHP tentang Pembunuhan
3. Apa saja factor-faktor yang menyebabkan tindakan main hakim sendiri?
Biasanya factor utama yang mendasari timbulnya tindakan main
hakim sendiri karena factor emosional dan merasa kurang puas
dengan ketentuan hukum yang ada. Bisa juga karena factor dendam
terhadap pelaku tersebut, maka ketika melihat pelaku melakukan
tindakan pidana langsung menghakimi pelaku.
81
4. Apa saja kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi tindakan
main hakim sendiri?
Yang dapat dilakukan dalam menanggulangi tindakan main hakim
sendiri adalah pertama, Sosialisasi tentang segala peraturan dan
undang-undang kepada masyarakat dan memberikan sanksi kepada
siapapun yang berbuat sesuai dengan tindakan yang telah
dialkukannya.
5. Apa saja kendala yang didapati dalam menanggulai tindakan main hakim
sendiri?
Kendala-kendala yang sering terjadi dalam menangani tindakan main
hakim sendiri ini diantaranya:
- Berbenturan dengan masyarakat
- Belum memiliki sifat tertib
- Karena keawaman masyarakat.
82
Narasumber : Mahbub Ma’afi
Jabatan : Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU)
Tempat Wawancara : Ruang Kerja Beliau
Waktu Wawancara : Rabu, 28 Desember 2016, Pukul 20.00 WIB
1. Apa Pengertian tindakan main hakim sendiri dalam Islam?
Secara umum orang yang melukukan tindakan main hakim sendiri
adalah bagian dari kezaliman, karena pada hakekatnya dia tidak
memiliki wewenang untuk menghakimi. Dia telah mengambil
kewajiban yang seharusnya ditangani oleh pemerintah. Maka jelas
hal tersebut adalah merupakan bagian dari kezhaliman.
2. Apa saja yang dalil-dalil yang menunjukan hal ini?
Kalau kita sudah mengetahui bahwa main hakim sendiri itu adalah
bagian dari kezhaliman, maka dapat dikiaskan dalil-dalil tentang
kezhaliman termasuk dalam kategori larangan untuk melakukan
tindakan main hakim sendiri. Seperti dalam kaidah fiqih juga:
ال تظلمون وال تظلمون.-
ال ضرر وال ضرار.-
3. Bagaimana Hukum Islam meminimalisir dan mengantisipasi tindakan
main hakim sendiri?
Pertama-tama tanggungjawab itu terhadap pribadi, yaitu kesadaran
masyarakat tentang adanya suatu hukum. Kemudian sosialisai dari
83
pemerintah sangatlah penting dalam menanggulangi hal ini.
Masyrakat harus sadar tentang prosedur segala ketentuan hukum.
4. Hukuman apa yang bisa didapati ketika melakiukan tindakan main hakim
sendiri dalam hukum Islam?
Jika kita melihat Indonesia Negara islam atau bukan, maka menurut
saya Indonesia sudah islami. Mengapa, karena nilai-nilai dalam
undang-undang kita berdasarkan nilai-nilai islami. Dan adapun
hukumannya sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang
berlaku di Indonesia.
84
Narasumber : H. Dede Ahmad Permana, MA
Jabatan : Kandidat Doktor Hukum Islam Universitas Zaitunnah
Tunis Sekaligus Dosen Fakultas Syariah IAIN Serang
Tempat Wawancara : Kediaman Beliau
Waktu Wawancara : Sabtu, 24 Desember 2016, Pukul 20.00 WIB
1. Apa Pengertian tindakan main hakim sendiri dalam Islam?
Dalam islam tidak ada definisi khusus tentang tindakan main sendiri,
karena kasus itu maka diqiyaskan dan termasuk dalam kezhaliman.
2. Apa saja yang dalil-dalil yang menunjukan hal ini?
Dilihat dari sisi keadilan, ketika seseorang melakukan pelanggaran
hukum kemudian dihakimi oleh masa, maka terjadi ketidak
seimbangan antara pelanggaran dan hukuman yang didapat, maka
dalam islam adanya pemberlakuan hukum qishosh supaya ada
keberlangsungan hidup manusia karena maqasidu syariah salah
satunya menjaga jiwa, maka adanya aturan qishash dalam islam
untuk menjunjung tinggi keadilan.
Dalil-dalilnya dapat disimka dalam al-Qur’an Surat as-Shura ayat 39-
43, Surat Hud ayat 18, dan Surat an-Nahl ayat 90.
3. Bagaimana Hukum Islam meminimalisir dan mengantisipasi tindakan
main hakim sendiri?
Pertama-tama tanggungjawab itu terhadap pribadi, yaitu kesadaran
masyarakat tentang adanya suatu hukum. Kemudian sosialisai dari
85
pemerintah sangatlah penting dalam menanggulangi hal ini.
Masyrakat harus sadar tentang prosedur segala ketentuan hukum.
4. Hukuman apa yang bisa didapati ketika melakiukan tindakan main hakim
sendiri dalam hukum Islam?
Hukumnya kembali kepada alquran dan hadis, karena hukum dalam
alquran mengacung kepada keadilan masyarakat. Menjaga
keturunan, menjaga harta supaya hartanya tidak didzolimi oleh
orang lain, kemudian menjaga jiwa supaya tidak berlaku semena-
mena dalam membunuh.
86
Narasumber : Ahmad Khaetami Efendi S.Sos.I
Jabatan : Pimpinan Pondok Pesantren Al-Musarofah, Pandeglang
Banten
Tempat Wawancara : Kediaman Beliau
Waktu Wawancara : Kamis, 22 Desember 2016, Pukul 10.00 WIB
1. Apa Pengertian tindakan main hakim sendiri dalam Islam?
Belum ada penjelasan khusus dalam islam tentang tindakan main
hakim sendiri, walaupun ada maka tindakan main hakim sendiri ini
masuk dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar, ketika seserorang
atau sekelompok masa melakukan tindakan main hakim sendiri maka
dalam pandangan pelaku ia sedang melakukan amar ma’ruf nahi
munkar, misal, adanya sekelompok masa sedang memukuli pencuri
maka yang mereka lakukan itu adalah nahi munkar atau pemberian
hukuman terhadap pelaku kejahatan.
2. Apa saja yang dalil-dalil yang menunjukan hal ini?
- Hadis nabi “barang siapa diantara kalian yang melihat
kemungkaran maka ia mengubahnya dengan tangannya, kalau
tidak mampu dengan tangnanya maka dengan lisannya, kalau
tidak mampu dengan lisannya maka dengan hati (mengingkari)
tapi itu adalah iman yang paling lemah.”
- Surat Ali Imran: 110
3. Bagaimana Hukum Islam meminimalisir dan mengantisipasi tindakan
main hakim sendiri?
87
- Tinggkatkan kesadaran umat terhadap hukum melalui
pendidikan baik penyuluhan dan sosialisasi mungkin juga
memalui kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi, dakwah
para ulama. Supaya masyarakat ikut sadar bahwa tindakan main
sendiri itu baik.
- Supremasi hukum / penegakan hukum yang benar, maksudnya
andai masyarakat itu tahu bahwa pengeroyokan akan berakibat
mendapatkan hukuman dan terbukti maka prilaku tindakan main
hakim sendiri akan berkurang.
- penanaman nilai-nilai akhlaq mulia pada umat
4. Hukuman apa yang bisa didapati ketika melakiukan tindakan main hakim
sendiri dalam hukum Islam?
- Pelaku tersebut masuk kategori perusakan dimuka bumi, (dapat
menimbulkan madarat karena bukan keadilan yang ia dapat
melainkan persoalan baru).
- Pemberlakuan hukum qishosh, diasingkan, membayar denda
- ”qathlul jama’ah bil wahid” (melakukan pembunuhan secara
keroyokan)
- Pada masa umar bin khatab pernah terjadi permasalahan seperti
ini (pembunuhan secara masal) untuk menghindari hukuman
qishosh. Kemudian umar berkata “demi allah apabila orang
yaman semuanya bermufakat mengeroyok satu orang maka aku
akan mengqishosh semuanya.”