Download - Makalah PBL Blok 16
Karsinoma Esofagus, Komplikasi dan Pencegahannya
Gian Alodia Risamasu
102011344
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Pendahuluan
Esofagus merupakan organ berupa tabung muskular yang berfungsi dalam transport
bahan-bahan yang ditelan. Panjangnya kira-kira 24 cm, menghubungkan faring yang terletak
sekitar vertebra servikal 6, dan esophagogastric junction yang berada tepat di bawah diafragma
pada ketinggian vertebra torakal 11. Jika dihitung dari gigi seri (incisivus) panjang esofagus ini
kira-kira 40 cm. Mukosa esofagus terdiri atas epitel berlapis gepeng yang merupakan kelanjutan
dari mukosa faring, lamina propria berupa jaringan ikat longgar yang berada langsung di bawah
epitel, dan lamina muskularis mukosa. Di bawah mukosa terdapat lapisan submukosa yang
terdiri atas serat elastik dan kolagen. Lapisan muskular pada 50% sampai 60% bagian bawah
esofagus merupakan otot polos, pada 5% bagian proksimal adalah otot skelet, sisanya berupa
campuran otot polos dan otot skelet.1
Seperti saluran cerna lainnya, pada esofagus dapat tumbuh tumor baik jinak maupun
ganas. Tumor ganas yang paling sering ditemukan di esofagus adalah karsinoma sel skuamosa.
Penyebab tumor esofagus tidak diketahui, namun faktor risiko yang diduga mempengaruhi
adalah faktor genetik dan iritasi asam yang kronik pada gastroesofageal reflus disease (GERD).
Hampir 95% kanker esofagus merupakan karsinoma yang berasal dari epitel berlapis gepeng
(squamous cell carcinoma) yang melapisi lumen esofagus.2
Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731Email: [email protected]
1
Anamnesis
Anamnesis riwayat medis yang cermat harus mencakup penilaian terhadap kesehatan
umu pasien. Riwayat diet yang teliti perlu ditanyakan. Demikian pula, penggunaan obat oleh
pasien yang harus ditinjau kembali. Faktor-faktor psikologi dapat memainkan peranan sebagai
penyebab, gejala depresi atau histeria harus dicatat.3
Pada skenario yang didapat, pasien datang dengan keluhan muntah setiap makan yang
semakin berat sejak 1 minggu smrs. Sebenarnya sudah sekitar 1 bulan pasien muntah-muntah
setiap makan, tapi awalnya minum masih bisa. Seminggu terakhir minum juga dimuntahkan.
Muntah sekitar 10-15 menit sehabis makan. Sejak 10 tahun pasien dikatakan sakit maag. Dalam
3 tahun terakhir badan makin kurus, semua pakaian menjadi longgar.
Hal yang harus ditanyakan adalah mengenai keluhan muntah pasien. Tanyakan apa isi
muntahan, apakah ada darah atau lendir. Tanyakan bagaimana konsistensi muntah, apakah cair,
atau kental, dan sebagainya. Tanyakan juga bagaimana frekuensi muntah selama 1 hari, apakah
selalu sehabis makan, atau saat pagi saja, malam saja. Tanyakan volume muntah, apakah segelas,
atau kebih banyak dari itu.
Tanyakan secara khusus mengenai gambaran sistemik penyakit seperti, demam,
penurunan berat badan, dan gejala lain ynag dirasakan pasien. Temukan akibat fungsional seperti
pasien tak dapat berjalan, makan, dan lain-lain. Tanyakan mengenai penyakit maag yang diderita
pasien, apakah sudah pernah diobati sebelumnya, apa obat yang pernah dikonsumsi, dan
bagaimana perubahan kondisi fisik pasien seteleh mengkonsumsi obat tersebut. Tanyakan apa
pekerjaan pasien, lingkungan tempat tinggalnya, makanan sehari-hari yang dimakan. Tanyakan
juga riwayat penyakit keluarga, apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik jarang dapat membantu menegakkan diagnosis kanker esofagus,
tetapi penemuan adanya kelainan fisis akan bermanfaat dalam menentukan prognosis.1
2
Pada kanker esofagus adanya limfadenopati, hepatomegali, pneumonia, dan sindrom
Horner menunjukan bahwa kankernya sudah stadium lanjut. Limfadenopati dijumpai di daerah
servikal supraklavikular dan aksila.1
Differential Diagnose
Akalasia
Akalasia adalah gangguan motorik yang mengenai segmen otot polos di duapertiga
bawah esofagus, akibat dari degenerasi neuron pleksus mienterik intramural. Akibat terjadi
gangguan relaksasi LES (lower esophageal sphincter) dan hilangnya peristaltik, yang
menimbulkan disfagia, nyeri dada dan regurgitasi. Akalasia menyebabkan obstruksi fungsional
dan berkurangnya peristaltik di esofagus, sehingga mengganggu pengosongannya. Obstruksi
fungsional ini bias diatasi bila tekanan hidrostatik makanan melebihi tekanan LES. Hal ini yang
menjelaskan kenapa pada tahap awal akalasia masih bisa menelan makanan padat. Mayoritas
usia 25-60 tahun sering menderita penyakit ini. Kelainan ini tidak berhubungan dengan faktor
herediter dan memerlukan waktu bertahun-tahun hingga timbul gejala.2 Bila ditinjau dari etiologi
akalasia dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: akalasia primer, yang diduga disebabkan oleh virus
neurotopik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
misenterikus pada esofagus; dan akalasia sekunder yang dapat disebabkan oleh infeksi (misalnya
Penyakit Chagas), tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstra luminer
seperti pseudokista pankreas.
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal reflux disease / GERD)
Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak
dialami orang sehat, terutama sesudah makan. GERD adalah kondisi patologis dimana sejumlah
isis lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai
keluhan. Refluks ini juga ternyata menimbulkan simptom ekstraesofageal, disamping penyulit
intraesofageal seperti striktur, Barrett’s esphagus atau bahkan karsinoma esophagus. GERD
dapat terjadidi segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun. Simptom
khas dari GERD adalah heartburn, yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri dan regurgitasi (rasa
asam pahit dari lambung terasa di lidah).2
3
GERD terjadi karena ketidakseimbangan faktor ofensif dan defensif, yang melalui 3
mekanisme : 1). Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). Aliran retrograd
yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan. Aliran balik dari gaster ke esofagus
melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (>3 mmHg). 3).
Meningkatnya tekanan intra abdomen. Mekanisme 1 dan 2 merupakan contoh dari faktor ofensif,
sedangkan mekanisme 3 merupakan contoh faktor defensif1
Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri darirasa nyeri / tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, rasa
panas yang menjalar di dada. Dispepsia merupakan keluhan utama yang dalam waktu tertentu
dapat dialami oleh seseorang. belum ada data epidemiologi di Indonesia. Bila didapatakn tanda
alarm, yaitu mual muntah yang tidak sembuh dengan terapi yang lazim, terapi empiris gagal,
anemia, melena, dan / hematemesis, penurunan berat badan yang signifikan akibat penyakit,
disfagia, maka investigasi yang berupa pemeriksaan laboratorium, radiologik dan endoskopik
harus dijalankan.2
Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll) dan
kelompok di mana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi,
endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau
biokomiawi. Atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan fungsional.1
Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks. Pada foto toraks, air-fluid level di daerah mediastinum menunjukan adanya
cairan yang tertahan di dalam lumen esofagus yang berdilatasi. Mungkin terapat kelainan berupa
metastasis tumor di paru-paru, metastasis ke tulang, pneumonia, pneumoperikardium, deviasi
trakea, efusi pleura, dan limfadenopati.1
Esofagografi memakai barium sering merupakan prosedur pertama dan penting dalam
diagnosis dan penentuan stadium kanker. Lokasi tumor, panjang lesi, dan kelainan jaringan
4
sekitar tumor dapat dinilai melalui pemeriksaan esofagus dengan menggunakan suspensi barium.
CT scan memperlihatkan stadium, resektabilitas dan perencanaan terapi endoskopik paliatit.1
Computed tomography (CT), pada pasien yang sesuai dengan pertimbangan bedah
(mengingat prevalensi komorbiditas yang signifikan) pemeriksaan CT pada dada dan perut atas
akan menyingkirkan metastasis ke paru dan / hati dan bisa mengidentifikasi invasi lokal ke
struktur lain yang penting seperti perikardium dan aorta. Ultrasonografi endoskopik, lebih
sensitif dari CT dalam mendeteksi invasi tumor lokal.4
Laparoskopi untuk menentukan stadium kadang-kadang dilakukan sebelum
mengupayakan kuratif, karena penyebaran keganasan ke kelenjar getah bening bisa terlewatkan
pada CT scan.4
Working Diagnose
Gambaran Klinis. Karsinoma esofagus merupakan pembunuh terselubung karena pada
stadium awal tidak menimbulkan keluhan sedangkan pada saat ada keluhan umumnya sudah
terjadi metastasis. Harapan terbaik untuk pengelolaannya adalah jika tumor ditemukan pada
seseorang yang asimtomatik yang mengalami evaulasi untuk suatu sebab. Keluhan-keluhan
pasien yang bersifat samar-samar dan tidak progresif mengakibaatkan diagnosis sering
terlambat.1
Oleh karena keluhan-keluhan pada stadium awal seringkali masih dapat ditoleransi dan
mudah diatasi, biasanya pasien akan menangguhkan beberapa bulan sebelum datang berobat.1
Disfagia merupakan gejala paling sering ditemukan, terjadi pada lebih dari 90% kasus.
Esofagus mudah berdistensi sehingga pasien baru akan menyadari adanya kelainan jika hampir
separuh diameter lumen esofagus sudah terkena. Pada keadaan ini penyakit sudah terlampau
lanjut untuk direksesi. Bebrapa macam upaya biasanya dilakukan pasien untuk mengatasi
disfagia yaitu: 1) sering minum pada saat makan, 2) makan makanan yang lebih cair, dan 3)
makan secara lambat. Disfagia akan progresif sejalan dengan lamanya sakit. Pada mulanya,
disfagia terjadi saat menelan makanan padat, kemudian tidak dapat menelan makanan padat dan
kemudian akhirnya tidak dapat menelan makanan cair termasuk saliva yang selalu akan meleleh
keluar dari mulut. Berbeda dengan spasme esofagus, disfagia pada kanker esofagus bersifat
5
kronik dan progresif. Berat badan yang menurun selalu ditemukan. Adanya anoreksia merupakan
tanda prognostik yang negatif.1
Odinofagia (nyeri saat menelan) ditemukan lebih jarang dibandingkan dengan disfagia.
Nyeri terus-menerus, tidak bersifat tajam / seperti ditusuk, nyeri menyebar ke punggung.1
Adanya suara serak menandakan invasi ke N. Laringeus rekurens atau aspirasi kronik.
Batuk kronik dapat terjadi karena aspirasi kronik atau fistula trakeoesofageal yang pada
gilirannya juga mengakibatkan batuk-batuk selagi menelan. Komplikasi pulmonal lainnya yang
sering terjadi adalah pneumonia. Perdarahan pada tumor mengakibatkan anemia defisiensi besi,
atau hematemesis dan melena.1
Etiologi dan Patogenesis
Pada karsinoma esofagus tidak diektahui adanya suatu faktor tunggal tertentu sebagai
penyebab terjadinya kanker ini. Aneka ragam faktor etiologi diperkirakan berperan dalam
etiopatogenesis kanker tersebut yaitu faktor lingkungan, faktor diet, kebiasaan merokok dan
konsumsi alkohol, iritasi kronik pada mukosa, dan kultural.1
Faktor lingkungan yang berperan misalnya, lokasi geografis, kadar molibdium dalam
tanah yang rendah, kadar garam dalam tanah, dan suhu. Faktor diet misalnya, jika pasien diet
aflatoksin, asbestos, defisiensi vit.A, vit.E, dan vit.C, riboflavin, niasin, dan zink. Faktor
kebiasaan misalnya alkohol dan rokok. Iritasi kronik pada mukosa oleh faktor fisis, karena
radiasi, akalasia, skleroterapi injeksi. Faktor kultural misalnya, status sosial-ekonomi dan ras.1
Patogenesisnya bersifat multifaktorial, berbagai faktor yang telah disebutkan diatas
berperan dalam patogenesis karsinoma esofagus. Selain itu, faktor genetik juga berperan, seperti
displasia ektodermal, epidermolisis bulosa, disposisi rasial.5
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kanker esofagus relatif jarang dijumpai akan tetapi sangat letal. Pada
tahun 2003 ditemukan 13.900 kasus baru dan 13.000 kematian akibat penyakit ini. Penyakit ini
sering ditemukan di daerah yang dikenal dengan julukan Asian esophageal cancer belt yang
terbentang dari tepi selatan laut Kaspi di sebelah barat sampai ke utara Cina meliputi Iran, Asia
6
Tengah, Afganistan, Siberia dan Mongolia. Selain itu kanker esofagus banyak terdapat di
Finlandia, Islandia, Afrika Tenggara, dan Perancis Barat Laut. Di Amerika Utara dan Eropa
Barat, penyakit ini lebih sering terdapat pada laki-laki kulit hitam berusia lebih dari 50 tahun
dengan status sosio-ekonomi rendah.2
Penatalaksanaan
Sebelum merencanakan dan memberikan terapi pada karsinoma esofagus, perlu
dilakukan penentuan stadium (staging) dan pengelompokan stadium tumor seperti tampak pada
tabel berikut ini1 :
Tabel 1. TNM StagingTumor primer (T)TXTOTisT1T2T3T4
Tumor primer tidak dapat dinilaiTumor primer tidak terbuktiCarcinoma in situInvasi ke lamina propria atau submukosaInvasi ke tunika muskularis propriaInvasi ke tunika adventisiaInvasi ke struktur sekitar
Kelenjar getah bening (KGB) regional (N)NXNON1
Kelenajar getah bening regional tidak dapat dinilaiTidak ada metastasis jauhAda metastasis ke KGB regional
Metastasis jauh (M)MXM0M1
Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilaiTidak ada metastasis jauhAda metastasis jauh
Pengelompokan StadiumStadium 0Stadium IStadium IIA
Stadium IIIB
Stadium III
Stadium IV
TisT1T2T3T1T1T3T4Setiap T
NONONONON1N1N1Setiap NSetiap N
MOMOMOMOMOMOMOMOM1
Penentuan tingkatan tumor ini dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium. Prosedur dilanjutkan dengan esofagografi
7
memakai suspensi barium, foto dada, CT scan dada dan abdomen. Pada kasus-kasus tertentu
perlu dilakukan bronkoskopi, mediastinoskopi, atau sidik tulang. Pasien dengan lesi TO, atau
dengan lesi T1 atau T2 dan NO MO merupakan kandidat baik untuk terapi operatif. Metastasis
jauh (M1) menunjukan prognosis buruk, dan kenyataan inilah yang seringkali dijumpai pada saat
pasien datang dan diagnosis ditegakkan. Prognosis karsinoma esofagus buruk, five-years survival
rate setelah diagnosis dan tanpa terapi adalah kurang dari 5%.1
Reseksi total hanya dapat dikerjakan pada 40% kasus, dan sering terjadi tumor residif.
Pascabedah reseksi total five-years survival rate menunjukan jumlah yang kurang dari 20%.
Mortalitas pascabedah yang ditemukan sebesar 20% disebabkan oleh fistula anastomosis, abses
subfrenik, dan komplikasi kardiopulmonal.1
Karsinoma esofagus bersifat radiosensitif. Pada kebanyakan pasien, radiasi eksternal
memberikan efek penyusutan tumor. Komplikasi akibat radiasi sering berupa striktura, fistula
dan perdarahan. Kadang-kadang dijumpai komplikasi kardiopulmonal.1
Kemoterapi dapat diberikan sebagai pelengkap terapi bedah dan terapi radiasi. Biasanya
digunakan kemoterapi kombinasi misalnya kombinasi sisplatin bersama bleomisin dan 5-FU
memberikan respons sempurna pada 37% dan respons parsial pada 20%.1
Pada kasus inoperabel, terapi paliatif dapat berupa dilatasi berulang secara endoskopik,
pemasangan protesis melewati tumor dengan menggunakan stent, atau dikenakan gastrotomi.
Pada kasus yang obstruktif, massa tumor juga dapat dikikis dengan menggunakan sinar laser.1
Prognosis
Pada stadium 0, five-years survival rate setelah operasi > 95%, 50-80% pada stadium I,
30-40% pada stadium IIA, 10-30% pada stadium IIB, dan 10-15% pada stadium III. Stadium IV
mendapat kemoterapi mempunyai median survival kurang dari 1 tahun.
8
Kesimpulan
Hipotesis diterima ! Karsinoma esofagus merupakan tumor yang sangat agresif dengan
prognosis yang buruk. Biasanya tumor ini ditemukan dalam stadium lanjut dimana penyembuhan
sudah sulit dilakukan. Tujuan terapi adalah untuk mengatasi disfagia serta mencegah
progresifitas tumor semaksimal mungkin. Reseksi esofagus masih merupakan pilihan utama
penanganan karsinoma esofagus. Dengan perawatan perioperatif dan standar teknik operasi yang
baik, angka morbiditas dan mortalitas operasi karsinoma esofagus telah dapat diturunkan.
Daftar Pustaka
1. Abdurachman SA. Karsinoma esofagus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. h. 497-50.
2. Ndraha Suzanna. Tumor esofagus. Dalam: Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013. h. 16-8.
3. S Lawrence, J Kurt / Friedman, Isselbacher. Anoreksia, nausea, vomitus, dan dispepsia.
Dalam: Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 2000. h. 247.
4. Davey Patrick. Kanker esofagus. Dalam: At a glance medicine. Jakarta : Erlangga; 2005. h.
229.
5. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Patogenesis, tumor ganas. Dalam: Dasar patologis
penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2009. h.472.
9