Download - Makalah Kelompok 1 (PPGD)
KEGAWAT DARURATAN CEDERA KEPALA DAN
TULANG BELAKANG
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pelatihan Penanganan
Gawat Darurat”
Disusun oleh:
Kelompok 1
Ahmad Jaelani (SA 10002)
Al baihaqi (SA 10004)
Apriani (SA 10007)
Dessy Angghita (SA 10017)
Eva Wahyu Ratnaningrum (SA 10022)
PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah tentang kegawat daruratan cedera kepala dan tulang
belakang.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tugas ini, tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Monika Ginting, S.Kep., Ners., M.Kep
2. Nur Intan Hayati, S.Kep., Ners., M.Kep
3. Sri Hesti Manan, S.Kep., Ners., M.Kes., AIFO
4. Antonius Ngadiran, S.Kep., Ners., M.Kep
5. Rosmawati, S.Kep., Ners., M.Kep
6. Dalia Novitasari, S.Kep., Ners
7. Ricky, S.Kep., Ners
Penulis menyadari akan berkembangnya ilmu pengetahuan yang tak pernah
berhenti, oleh karena itu Penulis menerima semua saran dan kritik guna untuk
memperbaiki di masa mendatang.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua amal baik semua yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini, Amin.
Bandung, 4 Juni 2014
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.............................................................................................4
C. Metode Penulisan............................................................................................4
D. Sistematika Penulisan.....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
A. Konsep Cedera Kepala....................................................................................6
B. Konsep Cedera Tulang Belakang..................................................................22
BAB III PENANGANAN......................................................................................37
A. Penanganan Cedera Kepala...........................................................................37
B. Penanganan Cedera Tulang Belakang..........................................................39
BAB IV SIMPULAN.............................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat
sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan
resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera
dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital (Tobing, 2011). Cedera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
(Muttaqin, 2008).
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang
servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral.
Diskus intervertebrae merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae.
Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang
belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang
tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di
tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer,
Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran
satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Sjamsuhidayat, 2011).
1
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang
belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang,
ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat
menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan
darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.
Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007
terdapat di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ka
tahun. 49553 orang dengan korban meninggal 16955 orang, luka berat 20181,
luka ringan 46827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan 59164, korban meninggal
20188, luka berat 23440 yang menderita luka ringan 55731 orang. Tahun 2009
jumlah kecelakaan 62960, korban meninggal 19979, luka berat 23469, dan
luka ringan 62936, (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia) Angka kejadian
kecelakaan di Jawa Tengah pada bulan November 2010 yang bertempat di
Semarang (ANTARA news) yang dicatat oleh Direktorat Lalu Lintas
Kepolisian Daerah Jawa Tengah 603 orang pengguna jalan raya tewas akibat
berbagai kecelakaan yang terjadi selama semester pertama 2010. Selama
semester pertama 2010 tercatat 4.438 kejadian kecelakaan, penderita yang
dirujuk di rumah sakit dr Kariadi dan dirawat inap diruang bedah saraf
mencapai 576 orang.
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin
bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah
penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat
atau sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2009) angka kejadian cedera
kepala (58%) laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat
(Smeltzer, 2009).
2
Berdasarkan atas penurunan tingkat kesadaran serta ada tidaknya deficit
neorologis fokal penderita cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme, morfologi, dan keparahan cedera kepala. Berdasarkan mekanisme
cedera kepala dikelompokkan menjadi 2, yaitu cedera kepala tertutup
dancedera kepala dengan penitrasi atau luka tembus. Berdasarkan atas
morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi cedera kepala dengan
fraktur tengkorak dan cedera kepala dengan lesi intrakraniaBerdasarkan atas
derajat beratnya cedera kepala dikategorikan menjadi cedera kepala ringan,
cedera kepala sedang, cedera kepala berat (Mansjoer, 2000).
Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti
perintah sederhana, namun penderita tampak bingung atau mengantuk dan
dapat disertai deficit neurologis fokal seperti hemiparesis, sebanyak 10-20%
dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam
koma, untuk itu penderita harus dikelola secara intensif dimana harus
dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24 jam
pertama. (IKABI, 2004).
Kondisi penderita seperti ini dapat menimbulkan gangguan kesadaran. Dalam
kaitannya dengan gangguan kesadaran ini untuk menilai digunakan metode
glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) merupakan instrumen
standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien
trauma kepala. Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah satu komponen
yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan
klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki
peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari
GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala.
Sesuai klasifikasinya yaitu penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS
total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
3
ekstremitasnya flaksit dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai
GCSnya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai cedera kepala berat. Berdasarkan nilai GCS maka
penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera
kepala sedang, dan dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera
kepala ringan. (IKABI, 2004).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan mata kuliah keperawatan gawat darurat, mahasiswa
mampu mengevaluasi simulasi pengolahan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien dengan kondisi kegawatdaruratan trauma kepala
dan trauma tulang belakang
2. Tujuan Khusus proses keperawatan
a. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep cedera kepala dan tulang
belakang
b. Mahasiswa dapat menerapkan proses pengkajian pada cedera kepala
dan trauma belakang
c. Mahasiswa dapat menerapkan proses diagnosa keperawatan pada
cedera kepala dan trauma belakang
d. Mahasiswa dapat menerapkan proses intervensi pada cedera kepala
dan trauma belakang
e. Mahasiswa dapat menguraikan prosedur tindakan pada klien dengan
cedera kepala dan trauma belakang
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah pola
deskripsi, yakni mengambarkan, memaparkan serta menjelaskan kembali apa
yang telah didapat dan telah dipelajari sebelumnya dari berbagai sumber yang
telah dipadukan menjadi satu rangkaian berdasarkan pemahaman penulis.
4
Ada pula teknik pengumpulan data untuk bahan sumber yang dibutuhkan
adalah sebagai berikut:
1. Mencari bahan di perpustakaan berdasarkan sumber yang sesuai
dengan materi
2. Mencari buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan
3. Mencari sumber dari internet.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Berisikan tentang latar belakang, pembatasan masalah,tujuan
penulisan dan metode penulisan makalah ini.
Bab II Tinjauan Teoritis
Berisikan mengenai konsep umum mengenai cedera kepala dan
cedera tulang belakang
Bab III Penatalaksanaan
Berisikan tentang penatalaksanaan kegawatdaruratan cedera kepala
dan cedera tulang belakang mulai dari pengkajian sampai dengan
penanganan cedera kepala dan trauma belakang
Bab IV Simpulan
Berisikan tentang kesimpulan
Daftar Pustaka
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Cedera Kepala
1. Pengertian
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secaralangsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsineurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanent (Irwana,2009). Cedera kepala adalah suatu
gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Budi, Hendri,2008).Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan
bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkankerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2. Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksaan).
6
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001), antara
lain:
a. Trauma tajam
b. Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam
c. Trauma tumpul
d. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
e. Cedera akselerasi
f. Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
g. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
h. Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
i. Kecelakaan lalu lintas
j. Jatuh
k. Kecelakaan industri
l. Serangan yang disebabkan karena olah raga
m. Perkelahian
3. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur.
7
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh
proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr
dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam
tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam
Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang
efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami
cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
8
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam
bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik
bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
(Lombardo, 2003).
5. Glasglow Coma Scale (GCS)
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan
-Terhadap rangsangan suara
-Terhadap nyeri
-Tidak ada
4
3
2
1
2 Verbal :
-Orientasi baik
-Orientasi terganggu
-Kata-kata tidak jelas
-Suara tidak jelas
-Tidak ada respon
5
4
3
2
1
3 Motorik :
- Mampu bergerak
-Melokalisasi nyeri
-Fleksi menarik
-Fleksi abnormal
-Ekstensi
-Tidak ada respon
6
5
4
3
2
1
Total 3-15
9
6. Klasifikasi
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke
dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel
otak akibat benda tajam atau tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam
otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio
(gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001; Long,1990)
Klasisifikasi kepala berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta
seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma.
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit sampai 24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan
(bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio
serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo,
1996)
10
7. Tanda dan Gejala
a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak
tegap, kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua
fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman
dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau
lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau
hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot
hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan
dalam regulasi tubuh.
11
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang –
ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
p. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
q. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
r. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
s. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak
dengan kompresi pada batang otak.
t. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan
dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk
berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma
subdural kronis juga dapat terjadi.
u. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
v. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi
pernapasan)
w. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstrimitas
12
8. Perdarahan Yang Ditemukan Pada Cedera Kepala
a. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah atau cabang – cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah
ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangatberbahaya. Dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling
seringyaitu di lobus temporalis danparietalis. Gejala-gejala yang
terjadi: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam cepat
kemudian penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena /
jembatan vena yang biasanya terdapat diantar aduramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hariatau 2
minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah: nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarikdiri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil. Perdarahan intra
cerebral berup aperdarahan di jaringan otak karena pecahnya
pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya: nyeri
kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia
kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
c. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,
hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
13
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
1) AGD: untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
2) Kimia elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
1) CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
2) MRI : sama dengan CT Scan
3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
4) EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5) Sinar X: untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan)
adanya fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
9) Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
10) Thorax X ray: Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
11) Fungsi lumbal: CSS, dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan sub arakhnoid.
12) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
13) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
14
14) Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari
inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita
dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
10. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan otak
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut
sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang
dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol
atau obat-obatan. Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih
sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan.
Bagaimanapun, lebih kurang 3% mengalami perburukan yang tidak
terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila
perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.
Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera
otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit
kepala hebat, GCS<15. atau adanya defisit neurologis fokal. Foto
servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher. CT scan
merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak
memungkinkan, pemeriksaan foto polos/ rontgen kepala dapat
digunakan untuk membedakan trauma tumpul ataupun tembus. Pada
foto polos kepala harus dicari: (1) fraktur linear atau depresi, (2) posisi
glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi), (3) bates air-
udara pada daerah sinus, (4) pneumosefal, (5) fraktur tulang wajah, (6)
benda asing. Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai
menunda transfer penderita.
15
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat
gejala neurologis yang abnormal, penderita harus dibawa ke rumah
sakit dan dikonsulkan ke ahli Bedah Saraf. Bila penderitanya
asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama
beberapa jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal,
dikatakan penderita aman. Idealnya, keluarga diberi lembar observasi,
penderita didampingi dan diobservasi selama 24 jam berikutnya. Bila
dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan kesadaran, atau
terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit
gawat darurat Pada semua kasus yang dirawat di luar rumah sakit,
instruksi harus jelas dan dilakukan berulang oleh pendamping
penderita. Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi
kurang terhadap rangsang verbal maupun tulisan, keputusan untuk
memulangkan penderita harus ditinjau ulang.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15)
Riwayat:
• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan •Tingkat kewaspadaan
• Mekanisme cedera •Amnesia: Retrograde, Antegrade
• Waktu cedera •Sakit kepala ringan, sedang, berat
Tidak sadar segera setelah cedera
Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita,
kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan
neurologis normal
16
Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS
gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam
beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah
waktu yang kritis dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat
dekat anda sedikitnya dalam waktu itu. Bila kelak timbul gejala-gejala
berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus segera menghubungi
dokter anda atau kembali ke RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan
setiap 2 jam selama periode tidur).
2. Mual dan muntah.
17
Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada Fscan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/ obat obatan
Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea
Cedera penyerta yang bermakna
Tak ada keluarga di rumah GCS < 15 Defisit neurologis fokal
Dipulangkan dari RSTidak memenuhi kriteria
rawat.Diskusikan kemungkinan
kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar observasi
Jadwalkan untuk kontrol ulang
3. Kejang.
4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.
5. Sakit kepala hebat
6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
7. Bingung atau perubahan tingkah laku.
8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang
lain, gerakan- gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan
penglihatan lain.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang
tidak teratur
Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas
selembar kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan
semakin hebat walau telah dibantu dengan kantung es, segera hubungi
RS.
Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan
minum minuman yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah
cedera.
Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari
Acetaminophen sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat
mengandung aspirin.
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat,
kami dapat dihubungidi nomor telepon:........................
Nama dokter:....................................
2. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita
cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti
perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk
18
dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami
perburukan dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan
anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopuhnoner
sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala harus
selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita
harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana
observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12
- 24 jam pertama. pemeriksaan CT scan lanjutan dalam 12 - 24 jam
direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan
status neurologis penderita
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun
masihmampu menuruti perintah (GCS:9-13).
Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah
sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus
c. Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akan dipulangkan.
19
Bila kondisi membaik (90%)
Pulang bila
rnemungkinkan
Kontrol di poliklinik
Bila kondisi buruk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan
perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan
penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.
3. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil.
Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera otak, tetapi
dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko morbiditas dan
mortalitas yang paling besar. Pendekatan
"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah
sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang cepat
sangatlah penting. Jangan menunda transfer penderita karena
menunggu CT scan.
Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat
Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena
kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
1. Pemeriksaan dan penatalaksanaan
2. ABCDE
3. Primary Survey dan resusitasi
4. Secondary Survey dan riwayat AMPLE
5. Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan
defmitif Bedah saraf
6. Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mate
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
7. Obat-obatan
8. Manitol
9. Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)
10. Antikonvulsan
11. TesDiagnostik (sesuai urutan)
20
Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
Penderita Dengan Cedera Otak Berat
a. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera
diresusitasi (ABCDE) setibanya di unit gawat darurat
b. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis
dilakukan (GCS dan refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa
mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap dilakukan dan
dicatat adanya hipotensi
c. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah
dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk
stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis
menjadi prioritas kedua.
d. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD
atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala
dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu
massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole
eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy
sedang berlangsung.
e. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda
klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka
prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di
UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi
neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.
f. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat
terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke
ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau
thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat
antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.
21
B. Konsep Cedera Tulang Belakang
1. Pengertian
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah
tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah
tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di
dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,
yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi
syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,
kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau
pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit
neurologi (Sjamsuhidayat, 2011).
2. Anatomi Fisiologi
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang
punggung pada manusia, 5 di antaranya bergabung membentuk bagian
sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di
atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher),
12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5 tulang lumbal. Banyaknya
22
tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian terjarang
terjadi ketidaknormalan adalah bagian leher.
Struktur Umum
Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang
terdiri daribadan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang
terdiri dari arcusvertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki”
atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau
procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan procesus
spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebutforamen
vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk
saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di
antara dua tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut foramen
intervertebrale.
a. Tulang punggung cervical
Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau
procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang
pendek, kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek.
Diberi nomor sesuai dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical),
namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2
atau aksis. Setiap mamalia memiliki 7 tulang punggung leher,
seberapapun panjang lehernya.
b. Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk.
Beberapa gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga
sebagai ‘tulang punggung dorsal’ dalam konteks manusia. Bagian ini
diberi nomor T1 hingga T12.
c. Tulang punggung lumbal
23
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini
memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa
gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
d. Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan
tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
e. Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan
tanpa celah. Beberapa hewan memiliki tulang coccyx atau tulang ekor
yang banyak, maka dari itu disebut tulang punggung kaudal (kaudal
berarti ekor).
24
Setiap cedera yang unik dan dua cedera dikategorikan sebagai tingkat
yang sama tidak akan selalu menunjukkan jumlah yang sama kembali
dan fungsi. Banyak faktor lain datang ke dalamnya juga. Akan ada
beberapa derajat tumpang tindih antara tingkat tulang belakang yang
berbeda juga.
Tingka
t
Kemampuan Tujuan Fungsional
C1-C3 Terbatas gerakan kepala
dan leher
Pernapasan: Tergantung pada
ventilator atau implan untuk
mengendalikan pernapasan.
Komunikasi: Berbicara kadang sulit,
sangat terbatas atau tidak mungkin.
Jika kemampuan berbicara yang
terbatas, komunikasi dapat dilakukan
secara independen dengan tongkat
mulut dan teknologi bantu seperti
komputer untuk pidato atau mengetik.
Komunikasi verbal yang efektif
memungkinkan individu dengan SCI
untuk mengarahkan perawat dalam
kegiatan sehari-hari orang tersebut,
seperti mandi, berpakaian, kebersihan
pribadi, mentransfer serta kandung
kemih dan usus manajemen.
Tugas sehari-hari: Teknologi
Assistive memungkinkan untuk
kemerdekaan dalam tugas-tugas
seperti halaman berubah, dengan
menggunakan telepon dan lampu
25
operasi dan peralatan.
Mobilitas: Dapat mengoperasikan
sebuah kursi roda listrik dengan
menggunakan kontrol kepala, tongkat
mulut, atau kontrol dagu. Sebuah
kemiringan kursi roda listrik juga
untuk pelepas tekanan independen.
C4 Biasanya memiliki kepala
dan leher kontrol. Individu
pada tingkat C4 bisa
mengangkat bahu mereka.
Pernapasan: awalnya Mei
memerlukan ventilator untuk bernafas,
biasanya menyesuaikan diri dengan
bernapas penuh-waktu tanpa bantuan
ventilator.
Komunikasi: normal, mungkin
memiliki proyeksi suara lemah
Tugas sehari-hari: Dengan peralatan
khusus, beberapa mungkin memiliki
kebebasan terbatas dalam makan dan
mandiri mengoperasikan tempat tidur
disesuaikan dengan controller
disesuaikan.
C5 Biasanya memiliki kepala
dan kontrol leher, bahu
mengangkat bahu dapat dan
memiliki kontrol bahu. Bisa
menekuk nya / siku dan
telapak tangan menghadap
ke atas gilirannya.
Tugas-tugas harian: Kemerdekaan
dengan makan, minum, mencuci
muka, menyikat gigi mencukur, wajah
dan perawatan rambut setelah bantuan
dalam menyiapkan peralatan khusus.
Perawatan kesehatan: Dapat
mengelola perawatan kesehatan
mereka sendiri dengan melakukan diri
membantu batuk dan relief tekanan
dengan bersandar ke depan atau sisi ke
26
sisi.
Mobilitas: Mei memiliki kekuatan
untuk mendorong kursi roda manual
untuk jarak pendek di atas permukaan
halus. Sebuah kursi roda kekuasaan
dengan kontrol tangan biasanya
digunakan untuk kegiatan sehari-hari.
Mengemudi mungkin setelah
dievaluasi oleh seorang profesional
yang memenuhi syarat untuk
menentukan kebutuhan peralatan
khusus.
C6 Apakah gerakan di kepala,
leher, bahu, lengan dan
pergelangan tangan. Bahu
bahu dapat, siku menekuk,
putar telapak tangan ke atas
dan bawah dan
memperpanjang
pergelangan tangan.
Tugas sehari-hari: Dengan bantuan
beberapa peralatan khusus, dapat
melakukan dengan lebih mudah dan
kemerdekaan, tugas-tugas sehari-hari
makan, mandi, perawatan, kebersihan
pribadi dan pakaian. Independen dapat
melakukan tugas rumah tangga ringan.
Perawatan kesehatan: Dapat secara
independen melakukan relief tekanan
itu, pemeriksaan kulit dan gilirannya
di tempat tidur.
Mobilitas: Beberapa individu mandiri
dapat melakukan transfer tetapi sering
membutuhkan papan geser. Dapat
menggunakan kursi roda manual untuk
aktivitas sehari-hari tetapi dapat
menggunakan kursi roda listrik untuk
kemudahan yang lebih besar
27
kemerdekaan.
C7 Memiliki gerakan yang
sama sebagai individu
dengan C6, dengan
kemampuan ditambahkan
untuk meluruskan / nya
siku.
Tugas sehari-hari: Mampu
melakukan tugas-tugas rumah tangga.
Butuh bantuan adaptif lebih sedikit
dalam hidup mandiri.
Kesehatan: Mampu untuk melakukan
up mendorong kursi roda relief
tekanan itu.
Mobilitas: penggunaan harian dari
kursi roda manual. Dapat mentransfer
dengan lebih mudah.
C8-T1 Memiliki kekuatan
ditambahkan dan ketepatan
jari-jari yang menghasilkan
fungsi tangan terbatas atau
alami.
Tugas-tugas harian: Bisa hidup
mandiri tanpa alat bantu dalam
memberi makan, mandi, dandan,
kebersihan mulut dan wajah, rias,
manajemen kandung kemih dan usus
manajemen.
Mobilitas: Menggunakan kursi roda
manual. Dapat mentransfer secara
independen.
T2-T6 Memiliki fungsi motorik
normal di kepala, leher,
bahu, lengan, tangan dan
jari. Apakah peningkatan
penggunaan otot rusuk dan
dada, atau kontrol bagasi.
Tugas sehari-hari: Harus benar-benar
independen dengan semua kegiatan.
Mobilitas: Beberapa individu yang
mampu berjalan terbatas dengan
bracing yang luas. Ini membutuhkan
energi yang sangat tinggi dan
menempatkan tekanan pada bagian
atas tubuh, tidak memberikan
keuntungan fungsional. Dapat
menyebabkan kerusakan sendi atas.
T7-T12 Telah menambahkan fungsi Tugas sehari-hari: Mampu
28
motorik dari kontrol perut
meningkat.
melakukan aktivitas duduk yang tidak
didukung.
Mobilitas: Sama seperti di atas.
Perawatan kesehatan: Apakah batuk
efektivitas ditingkatkan.
L1-L5 Sudah kembali tambahan
gerakan motorik di bagian
pinggul dan lutut.
Mobilitas: Berjalan dapat menjadi
fungsi yang layak, dengan bantuan
kaki khusus dan kawat gigi
pergelangan kaki. Tingkat yang lebih
rendah berjalan dengan lebih mudah
dengan bantuan alat bantu.
S1-S5 Tergantung pada tingkat
cedera, ada berbagai tingkat
pengembalian sukarela
kandung kemih, usus dan
fungsi seksual.
Mobilitas: Peningkatan kemampuan
untuk berjalan dengan perangkat yang
lebih sedikit atau tidak mendukung
3. Klasifikasi
Cedera tulang belakang dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
cedera, jenis cedera vertebra, level cedera, atau penyebab cedera. Cedera
medulla spinalis terjadi karena cedera penetrasi atau benturan mekanis.
Cedera penetrasi, yang sering kali disebabkan oleh luka tembakan atau
tusuk, merusak medula spinalis, dan menyebabkan hilangnya fungsi
neurologis
a. Mekanisme cedera
Benturan mekanis yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
meliputi hiperfleksi, hiperekstensi, pembebanan aksial (kompresi) dan
benturan rotasi.
1) Hiperfleksi
Disebabkan oleh deselerasi mendadak kepala dan leher. Cedera
hiperfleksi biasanya tampak pada pasien yang mengalami trauma
29
terus-menerus akiibat tabrakan pada bagian depan kendaraan
bermotor atau kecelakaan saat menyelam. Area servikal paling
sering terkena, terutama pada tingkat C5 - C6
2) Hiperekstensi
Hiperekstensi adalah jenis cedera yang paling umum. Cedera
hiperekstensi dapat disebabkan oleh jatuh, tabrakan di bagian
belakang kendaraan bermotor atau dipukul pada bagian kepala
(misalnya selama pertandingan tinju). Hiperekstensi kepala dan
leher dapat disebabkan kontusio dan iskemia medulla spinalis
tampak kerusakan kolumna vertebra. Cedera salah urat pada leher
adalah akibat hiperekstensi.
3) Pembebanan aksial (Axial loading)
Pembebanan aksial (Axial loading) disebut juga dengan kompresi,
khususnya terjadi jika individu mendarat ke tanah dengan kaki
atau bokong setelah jatuh atau lompat dari ketinggian. Kolumna
vertebra mengalami kompresi, menyebabkan fraktur yang
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.
4) Cedera rotasional
Cedera rotasional terjadi akibat kekuatan yang menyebabkan
kepala dan leher mengalami terpelintir atau fleksi lateral yang
eksterm. Fraktur atau dislokasi vertebra juga dapat terjadi.
b. Jenis cedera vertebra
Kekuatan mekanis dapat menyebabkan fraktur atau dislokasi vertebra,
atau keduanya. Jika terjadi cedera vertebra, jenis cedera vertebra dapat
digunakan untuk menggambarkan cedera medulla spinalis yang
dialami individu. Fraktur dapat dianggap tidak stabil jika liagamen
posterior robek.
c. Level cedera
30
Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan berdasarkan segmen
medulla spinalis yang mengalami gangguan:
1. Cedera servikal atas (C1– C2) (fraktur atlas sublukasiatlantoksial,
fraktur odontoid, dan fraktur hangman)
2. Cedera servikal bawah (C3 – C8)
3. Cedera toraks (T1 – T12)
4. Cedera lumbal (L1 – L5)
5. Cedera sacral (S1 – S5)
Derajat penyembuhan fungsional bergantung pada lokasi dan luasnya
cedera. Level cedera medulla spinalis ditentukan oleh efek cedera
pada fungsi sensorik dan motorik. Retensi pada semua atau beberapa
fungsi motorik atau sensorik di bawah level cedera menunjukkan
bahwa lesi tidak komplet. Kehilangan total control otot volunteer dan
sensasi di bawah level cedera menunjukkan bahwa lesi komplet. Lesi
komplet yang melibatkan are medulla spinalis C1 - T1 menyebabkan
tetraplegia. Lesi komplet yang mengenai area medulla spinalis T2 –
L1 menyebabkan paraplegia. Individu yang mengalami cedera
medulla komplet mengikuti alur dermatom untuk level kehilangan
sensori yang ditunjukan.
d. Penyebab cedera
Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan menurut penyebab
cedera. Penyebab cedera medulla spinalis meliputi cedera gegar otak
atau jarring-jaring (cedera akibat goncangan); kompresi elemn neural
oleh fragmen tulang atau perdarahan; kontusio (memar) medulla
spinalis; dan leserasi, transeksi, atau penyumbatan pembuluh yang
menyuplai korda.
4. Etiologi
31
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari
ketinggian
c. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,
penyelam, dll)
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis
yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang
(Harsono, 2000).
5. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse
Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat
menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi
pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah
gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang
secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang
sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada
waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan
paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi.
Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau
32
menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat
tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah
berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh
darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis
kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan
pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan
dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang
terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).
Hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk
lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “
yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk,
terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis
terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan
kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang
patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang
didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor,
kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks
colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah
nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut
hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika
33
radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri
radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit
sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan
sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
6. Manifestasi Klinis
Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada
belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien
sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf
spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat
dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe
cedera.
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah
mengalami paralysis sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol
kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retansi urin dan distensi
kandung kemih , penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan
tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.
7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medulla spinalis lanjut
dan mengopservasi gejala penurunan neurologik. Pasiaen diresusitasi bila
perlu, dan stabilitas oksigenasi dan kardiovaskuler dipertahankan. Prinsip
melakukan imobilisasi tulang belakang dan log roll yaitu:
a. Penderita dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi log roll dan
immobilisasi penderita dan immobilisasi penderita, seperti pada long
spine board : (1) satu untuk mempertahankan immobilisasi segaris
34
kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan(termasuik pelvis dan
panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai dan,(4) satu mengatur
prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam
kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang
belakang. Saat melakukan prosedur ini, immobilisasi sudah dilakukan
pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur;
1) Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi
penderita
2) Dilakukan in line immobilisasi kepala dan leher secara manual,
kemudian dipasang kolar servikal semirigid.
3) Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan
4) Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati – hati dan
diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang
belakang, ke2 pergelangan kaki diikat satu sama lainnya dengan
plester.
5) Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu
orang kedua memegang penderita pada daerah bahu dan
pergelangan tangan.
6) Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala
dan leher, dilakukan log roll sebagai satu unit kearah kedua
penolong yang berada pada sisis penderita, hanya memerlukan
spine board dibawah penderita.
7) Spine board terletak dibawah penderita, dan dilakukan log roll
kearah spine board.
8) Demi mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan
penderita maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah
leher penderita.
9) Bantalan, selimut yang dibulatkan diletakkan atau alat penyangga
lainnya diletakkan disebelah kiri dan kanan kepala dan leher
penderitadan kepala diikat dengan spine board.
35
b. Penderita anak
1) Untuk immobilisasi anak diperlukan long spine board pediatric.
Bila tidak ada maka dapat menggunakan long spine board untuk
dewasa dengan gulungan selimut diletakkan diseluruh sisi tubuh
untuk mencegah pergerakan kearah lateral.
2) Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa, olehnya itu harus dipasang bantalang dibah bahuuntuk
menaikkan badan sehingga kepala yang besar pada anak tidak
menyebabkan fleksi tulang leher,sehingga dapat mempertahankan
kesegarisan tulang belakang anak.
3) Pengelolaan umum
Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan immobilisasi
sebelum transper penderita ke UGD. Setiap penderita yang
dicurigai harus dilakukan imobilisasi dibagian atas dan bawah
yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan rongsen. Imobilisasi yang tepat
dilakukan pada penderita yaitu dengan posisi netral, seperti
berbaring terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang
belakang. Perlu digunakan bantalan yang tepat untuk mencegah
terbentuknya dekubitus. Bila terdapat deficit neurologist
secepatnya melepas penderita dari long spine board untuk
mencegah terjadinya dekubitus. Tempat tersering adalah pada
daerah oksiput dan sacrum.
36
BAB III
PENANGANAN
A. Penanganan Cedera Kepala
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi: suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler: pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf:
a) Kesadaran: GCS.
b) Fungsi saraf cranial: trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c) Fungsi sensori-motor: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
c. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar, tanyakan pola makan.
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron: retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
d. Kemampuan bergerak: kerusakan area motorik: hemiparesis/ plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
e. Kemampuan komunikasi: kerusakan pada hemisfer dominan: disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
f. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
37
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
c. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan berhubungan dengan
gagal nafas, adanya sekresi, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
d. Ketidak seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan pemasukan makanan atau mencerna
makanan dan atau mengabsorbsi zat-zat gizi karena faktor biologis.
e. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
f. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
g. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
h. Devisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
i. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, tindakan invasif,
immunosupresif, kerusakan jaringan
j. Kurang pengetahuan keluarga tentang penyakit dan perawatannya b/d
kurang paparan terhadap informasi, keterbatasan kognitif
3. Penanganan Cedera Otak Berat
a. Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head
up 15°- 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga
tekanan intra kranial turun.
b. Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
c. Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika
tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.
d. Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB/24jam.
38
e. Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan
perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang
ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada
hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian
sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus,
menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi
(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak
terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa
lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai
didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal.
Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada
penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus
masuk kedalam system portal.
f. Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari
terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan
miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.
g. Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak
boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena
dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan
terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi
karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat
tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock,
Febris.
B. Penanganan Cedera Tulang Belakang
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah pasien pernah menderita :
1) Stroke
2) Infeksi Otak
39
3) DM
4) Diare/muntah
5) Tumor Otak
6) Trauma kepala
b. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan
otot-otot pernafasan tambahan
2) Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi
3) Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera
kepala
4) Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan,adanya quadriplegia, paraplegia
5) Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis
kerusakan, postspinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada
gangguan upper motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan
lower motor neuron/ LMN).
6) Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis
kerusakan
7) Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler
8) Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia,
hidungtersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan
gangguan penglihatan.
40
9) Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising
usus, stressulcer, feses keras atau inkontinensia.
10) Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
11) Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM
12) Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal
dekubitus)
13) Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur
14) Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat
Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan
tulang belakang. Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya
cedera tulang vertebra servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari
mekanisme cedera. Pada penderita dengan cedera multipel dengan penurunan
tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sampai cedera pada
tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Bila
penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga
adanya ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan
radiologis untuk mengetahui letak dari cedera tulang belakang. Bila penderita
sadar, neurologis normal, tidak mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada
tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan pada saat palpasi tulang
belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi tidak
diperlukan.
41
Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus
tetap diimobilisasi pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk
mengetahui foto yang diperlukan untuk menyingkirkan adanya suatu fraktur.
Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan
prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang lebih
baik.
2. Memindahkan Pasien Ke Ambulans
a. Pada saat ambulans datang anda harus mampu menjangkau pasien
sakit atau cedera tanpa kesulitan, memeriksa kondisinya, melakukan
prosedur penanganan emergensi di tempat dia terbaring, dan
kemudian memindahannya ke ambulans.
b. Pada beberapa kasus tertentu, misalnya pada keadaan lokasi yang
berbahaya atau pasien yang memerlukan prioritas tinggi maka proses
pemindahan pasien harus didahulukan sebelum menyelesaikan proses
pemeriksaan dan penanganan emergensi diselesaikan.
c. Jika dicurigai adanya cedera spinal, kepala harus distabilkan secara
manual dan penyangga leher (cervical collar) harus dipasang dan
pasien harus diimobilisasi di atas spinal board.
d. Pemindahan pasien ke ambulans dilakukan dalam 4 tahap berikut
1) Pemilihan alat yang digunakan untuk mengusung pasien.
2) Stabilisasi pasien untuk dipindahkan
3) Memindahan pasien ke ambulans
4) Memasukkan pasien ke dalam ambulans
e. Pasien sakit atau cedera harus distabilkan agar kondisinya tidak
memburuk.
f. Perawatan luka dan cedera lain yang diperlukan harus segera
diselesaikan, benda yang menusuk harus difiksasi, dan seluruh balut
serta bidai harus diperiksa sebelum pasien diletakkan di alat
pengangkut pasien.
42
g. Jangan menghabiskan banyak waktu untuk merawat pasien dengan
cedera yang sangat buruk atau korban yang telah meninggal. Pada
prinsipnya, kapanpun seorang pasien dikategorikan dalam prioritas
tinggi, segera transpor dengan cepat.
h. Penyelimutan pasien membantu menjaga suhu tubuh, mencegah
paparan cuaca, dan menjaga privasi.
i. Alat angkut (carrying device) pasien harus memiliki tiga tali pengikat
untuk menjaga posisi pasien tetap aman. Yang pertama diletakkan
setinggi dada, yang kedua setinggi pinggang atau panggul, dan yang
ketiga setinggi tungkai. Kadang-kadang digunakan empat tali
pengikat di mana dua tali disilangkan di dada.
j. Jika penderita/korban tidak mungkin diangkut dengan tandu misalnya
pada penggunaan spinalboard dan hanya bisa diletakkan di atas
tandu/usungan ambulans (ambulance stretcher),maka disyaratkan
untuk menggunakan tali kekang yang dapat mencegah pasien
tergelincir ke depan jika ambulans berhenti mendadak
3. Mempersiapkan Pasien Untuk Transportasi
a. Lakukan pemeriksaan menyeluruh. Pastikan bahwa pasien yang sadar
bisa bernafas tanpa kesulitan setelah diletakan di atas usungan. Jika
pasien tidak sadar dan menggunakan alat bantu jalan nafas (airway),
pastikan bahwa pasien mendapat pertukaran aliran yang cukup saat
diletakkan di atas usungan.
b. Amankan posisi tandu di dalam ambulans. Pastikan selalu bahwa
pasien dalam posisI aman selama perjalanan ke rumah sakit. Tandu
pasien dilengkapi dengan alat pengunci yang mencegah roda usungan
brgerak saat ambulans tengah melaju.
c. Posisikan dan amankan pasien. Selama pemindahan ke ambulans,
pasien harus diamankan dengan kuat ke usungan. Perubahan posisi di
dalam ambulans dapat dilakukan tetapi harus disesuaikan dengan
kondisi penyakit atau cederanya. Pada pasien tak sadar yang tidak
43
memiliki potensi cedera spinal, ubah posisi ke posisi recovery (miring
ke sisi) untuk menjaga terbukanya jalan nafas dan drainage cairan.
Pada pasien dengan kesulitan bernafas dan tidak ada kemungkinan
cedera spinal akan lebih nyaman bila ditransport dengan posisi duduk.
Pasien syok dapat ditransport dengan tungkai dinaikkan 8-12 inci.
Pasien dengan potensi cedera spinal harus tetap diimobilasasi dengan
spinal board dan posisi pasien harus diikat erat ke usungan.
d. Pastikan pasien terikat dengan baik dengan tandu. Tali ikat keamanan
digunakan ketika pasien siap untuk dipindahkan ke ambulans,
sesuaikan kekencangan tali pengikat sehingga dapat menahan pasien
dengan aman tetapi tidak terlalu ketat yang dapat mengganggu
sirkulasi dan respirasi atau bahkan menyebabkan nyeri.
e. Persiapkan jika timbul komplikasi pernafasan dan jantung. Jika kondisi
pasien cenderung berkembang ke arah henti jantung, letakkan spinal
board pendek atau papan RJP di bawah matras sebelum ambulans
dijalankan. Ini dilakukan agar tidak perlu membuang banyak waktu
untuk meletakkan dan memposisikan papan seandainya jika benar
terjadi henti jantung.
f. Melonggarkan pakaian yang ketat. Pakaian dapat mempengaruhi
sirkulasi dan pernafasan. Longgarkan dasi dan sabuk serta buka semua
pakaian yang menutupi leher. Luruskan pakaian yang tertekuk di
bawah tali ikat pengaman. Tapi sebelum melakukan tindakan apapun,
jelaskan dahulu apa yang akan Anda lakukan dan alasannya, termasuk
memperbaiki pakaian pasien.
g. Periksa perbannya. Perban yang telah di pasang dengan baik pun dapat
menjadi longgar ketika pasien dipindahkan ke ambulans. Periksa setiap
perban untuk memastikan keamanannya. Jangan menarik perban yang
longgar dengan enteng. Perdarahan hebat dapat terjadi ketika tekanan
perban dicabut secara tiba-tiba.
h. Periksa bidainya. Alat-alat imobilisasi dapat juga mengendur selama
pemindahan ke ambulans. Periksa perban atau kain mitella yang
44
menjaga bidai kayu tetap pada tempatnya. Periksa alat-alat traksi untuk
memastikan bahwa traksi yang benar masih tetap terjaga. Periksa
anggota gerak yang dibidai perihal denyut nadi bagian distal, fungsi
motorik, dan sensasinya.
i. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien. Bila
tidak ada cara lain bagi keluarga dan teman pasien untuk bisa pergi ke
rumah sakit,biarkan mereka menumpang di ruang pengemudi-bukan di
ruang pasien- karena dapat mempengaruhi proses perawatan pasien.
Pastikan mereka mengunci sabuk pengamannya.\
j. Naikkan barang-barang pribadi. Jika dompet, koper, tas, atau barang
pribadi pasien lainnya dibawa serta, pastikan barang tersebut aman di
dalam ambulans. Jika barang pasien telah Anda bawa, pastikan Anda
telah memberi tahu polisi apa saja yang dibawa. Ikuti polisi dan isilah
berkas-berkas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
k. Tenangkan pasien. Kecemasan dan kegelisahan seringkali menerpa
pasien ketika dinaikkan ke ambulans. Ucapkan beberapa patah kata
dan tenangkan pasien dengan cara yang simpatik. Perlu diingat bahwa
mainan seperti boneka beruang dapat berarti banyak untuk
menenangkan pasien anak yang ketakutan. Senyum dan nada suara
yang menenangkan adalah hal yang penting dan dapat menjadi
perawatan kritis yang paling dibutuhan oleh pasien anak yang
ketakutan.
l. Ketika anda merasa bahwa pasien dan ambulans telah siap
diberangkatkan, beri tanda kepada pengemudi untuk memulai
perjalanan ke rumah sakit. Jika yang Anda tangani ini adalah pasien
prioritas tinggi, maka tahap persiapan, melonggarkan pakaian,
memeriksa perban dan bidai, menenangkan pasien, bahkan
pemeriksaan vital sign dapat ditangguhkan dan dilakukan selama
perjalanan daripada harus diselesaikan tetapi menunda transportasi
pasien ke rumah sakit.
45
4. Perawatan Pasien Selama Perjalanan
a. Lanjutkan perawatan medis emergensi selama dibutuhkan. Jika usaha
bantuan hidup (life support) telah dimulai sebelum memasukkan
pasien ke dalam ambulans, maka prosedur tersebut harus dilanjutkan
selama perjalanan ke rumah sakit. Pertahankan pembukaan jalan
nafas, lakukan resusitasi, berikan dukungan emosional, dan lakukan
hal lain yang diperlukan termasuk mencatat temuan baru dari usaha
pemeriksaan awal (initial assesment) pasien.
b. Gabungkan informasi tambahan pasien. Jika pasien sudah sadar dan
Anda telah mempertimbangkan bahwa perawatan emergensi
selanjutnya tidak akan terganggu, maka Anda dapat mulai mencari
informasi baru dari pasien.
c. Lakukan pemeriksaan menyeluruh dan monitor terus vital sign.
Peningkatan denyut nadi secara tiba-tiba misalnya, dapat menandakan
syok yang dalam. Catat vital sign dan laporkan perubahan yang
terjadi pada anggota staf bagian emergensi segera setelah mencapai
fasilitas medis. Lakukan penilaian ulang vital sign setiap 5 menit
untuk pasien tidak stabil dan setiap menit untuk pasien stabil.
d. Beritahu fasilitas medis yang menjadi tujuan Anda. Beberkan
informasi hasil pemeriksaan dan penanganan pasien yang sudah Anda
lakukan, dan beri tahu perkiraan waktu kedatangan Anda.
e. Periksa ulang perban dan bidai.
f. Bicaralah dengan pasien, tapi kendalikan emosi Anda. Bercakap-
cakap terkadang berguna untuk menenangkan pasien yang ketakutan.
g. Jika terdapat tanda-tanda henti jantung, minta pengemudi untuk
menghentikan ambulans sementara Anda melakukan Resusitasi dan
memberikan AED (defibrilator). Beri tahu pengemudi untuk
menjalankan ambulans lagi setelah memastikan bahwa henti jantung
telah teratasi. Pastikan bahwa UGD mengetahui adanya henti jantung.
Adalah hal yang sangat membantu jika Anda memang secara rutin
selalu meletakkan bantalan keras di antara matras pelbet (cot) dan
46
punggung pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami henti
jantung.
5. Memindahkan Pasien Ke Unit Gawat Darurat
a. Dampingi staf UGD bila dibutuhkan dan berikan laporan lisan atas
kondisi pasien Anda. Beritahu setiap perubahan kondisi pasien yang
telah Anda amati.
b. Segera setelah Anda tidak lagi menangani pasien, siapkan laporan
perawatan pra rumah sakit.
c. Serahkan barang-barang pribadi pasien ke pihak rumah sakit.. Jika
benda-benda berharga pasien dipercayakan penuh pada penjagaan
anda, segera serahkan kepada staf UGD yang bertanggung jawab.
47
BAB IV
SIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secaralangsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsineurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanent (Irwana,2009). Sedangkan Cedera tulang belakang adalah cidera
mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan
fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan
defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 2011). Untuk penanganan prioritas evaluasi
penderita dengan cedera otak berat semua penderita cedera otak dengan koma
harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di unit gawat darurat, segera
setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan
refleks pupil), dan bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan
neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi
48
DAFTAR PUSTAKA
Al Fauzi A. (2002). Penanganan Cedera Kepala Di Puskesmas.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/073002/pus-1htm. Di Unduh 3 Juni
2014
Corwin, Elizabeth J. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hanif G Tobing (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Departemen Bedah Saraf
FKUI-RSCM. Jakarta : Sagung Seto.
Mansjoer, Arif, et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Potter, Patricia A. and Perry, Anne G. (2009). Buku ajar fundamental
keperawatan, konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2009). Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 1. Jakarta:
EGC
Sjamsuhidayat. (2011). Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC
49