makalah kelompok 1 (ppgd)

81
KEGAWAT DARURATAN CEDERA KEPALA DAN TULANG BELAKANG Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pelatihan Penanganan Gawat Darurat” Disusun oleh: Kelompok 1 Ahmad Jaelani (SA 10002) Al baihaqi (SA 10004) Apriani (SA 10007) Dessy Angghita (SA 10017) Eva Wahyu Ratnaningrum (SA 10022)

Upload: dessy-angghita

Post on 19-Jan-2016

871 views

Category:

Documents


41 download

DESCRIPTION

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas PPGD

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

KEGAWAT DARURATAN CEDERA KEPALA DAN

TULANG BELAKANG

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pelatihan Penanganan

Gawat Darurat”

Disusun oleh:

Kelompok 1

Ahmad Jaelani (SA 10002)

Al baihaqi (SA 10004)

Apriani (SA 10007)

Dessy Angghita (SA 10017)

Eva Wahyu Ratnaningrum (SA 10022)

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL

BANDUNG

2014

Page 2: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, penulis dapat menyusun dan

menyelesaikan makalah tentang kegawat daruratan cedera kepala dan tulang

belakang.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tugas ini, tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Monika Ginting, S.Kep., Ners., M.Kep

2. Nur Intan Hayati, S.Kep., Ners., M.Kep

3. Sri Hesti Manan, S.Kep., Ners., M.Kes., AIFO

4. Antonius Ngadiran, S.Kep., Ners., M.Kep

5. Rosmawati, S.Kep., Ners., M.Kep

6. Dalia Novitasari, S.Kep., Ners

7. Ricky, S.Kep., Ners

Penulis menyadari akan berkembangnya ilmu pengetahuan yang tak pernah

berhenti, oleh karena itu Penulis menerima semua saran dan kritik guna untuk

memperbaiki di masa mendatang.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua amal baik semua yang telah

membantu dalam proses penyusunan makalah ini, Amin.

Bandung, 4 Juni 2014

Kelompok 1

i

Page 3: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Tujuan Penulisan.............................................................................................4

C. Metode Penulisan............................................................................................4

D. Sistematika Penulisan.....................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6

A. Konsep Cedera Kepala....................................................................................6

B. Konsep Cedera Tulang Belakang..................................................................22

BAB III PENANGANAN......................................................................................37

A. Penanganan Cedera Kepala...........................................................................37

B. Penanganan Cedera Tulang Belakang..........................................................39

BAB IV SIMPULAN.............................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49

ii

Page 4: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan

lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi

korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat

sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan

resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera

dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya

evaluasi unsur vital (Tobing, 2011). Cedera kepala adalah suatu gangguan

traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan

interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

(Muttaqin, 2008).

Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai

ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang

servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral.

Diskus intervertebrae merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae.

Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang

belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang

tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di

tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer,

Arif, et al. 2000).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,

kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran

satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi

(Sjamsuhidayat, 2011).

1

Page 5: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang

belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang pada tulang belakang,

ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat

menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan

darah ke medula spinalis dapat ikut terputus.

Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007

terdapat di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ka

tahun. 49553 orang dengan korban meninggal 16955 orang, luka berat 20181,

luka ringan 46827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan 59164, korban meninggal

20188, luka berat 23440 yang menderita luka ringan 55731 orang. Tahun 2009

jumlah kecelakaan 62960, korban meninggal 19979, luka berat 23469, dan

luka ringan 62936, (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia) Angka kejadian

kecelakaan di Jawa Tengah pada bulan November 2010 yang bertempat di

Semarang (ANTARA news) yang dicatat oleh Direktorat Lalu Lintas

Kepolisian Daerah Jawa Tengah 603 orang pengguna jalan raya tewas akibat

berbagai kecelakaan yang terjadi selama semester pertama 2010. Selama

semester pertama 2010 tercatat 4.438 kejadian kecelakaan, penderita yang

dirujuk di rumah sakit dr Kariadi dan dirawat inap diruang bedah saraf

mencapai 576 orang.

Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin

bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah

penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat

atau sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2009) angka kejadian cedera

kepala (58%) laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini

diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan

kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping

penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat

(Smeltzer, 2009).

2

Page 6: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Berdasarkan atas penurunan tingkat kesadaran serta ada tidaknya deficit

neorologis fokal penderita cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan

mekanisme, morfologi, dan keparahan cedera kepala. Berdasarkan mekanisme

cedera kepala dikelompokkan menjadi 2, yaitu cedera kepala tertutup

dancedera kepala dengan penitrasi atau luka tembus. Berdasarkan atas

morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi cedera kepala dengan

fraktur tengkorak dan cedera kepala dengan lesi intrakraniaBerdasarkan atas

derajat beratnya cedera kepala dikategorikan menjadi cedera kepala ringan,

cedera kepala sedang, cedera kepala berat (Mansjoer, 2000).

Penderita cedera kepala sedang pada umumnya masih mampu menuruti

perintah sederhana, namun penderita tampak bingung atau mengantuk dan

dapat disertai deficit neurologis fokal seperti hemiparesis, sebanyak 10-20%

dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam

koma, untuk itu penderita harus dikelola secara intensif dimana harus

dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24 jam

pertama. (IKABI, 2004).

Kondisi penderita seperti ini dapat menimbulkan gangguan kesadaran. Dalam

kaitannya dengan gangguan kesadaran ini untuk menilai digunakan metode

glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) merupakan instrumen

standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien

trauma kepala. Glasgow coma scale (GCS) merupakan salah satu komponen

yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan

klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki

peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari

GCS dapat diperoleh informasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala.

Sesuai klasifikasinya yaitu penderita yang mampu membuka kedua matanya

secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS

total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot

3

Page 7: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

ekstremitasnya flaksit dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai

GCSnya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8

didefinisikan sebagai cedera kepala berat. Berdasarkan nilai GCS maka

penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera

kepala sedang, dan dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera

kepala ringan. (IKABI, 2004).

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Setelah menyelesaikan mata kuliah keperawatan gawat darurat, mahasiswa

mampu mengevaluasi simulasi pengolahan asuhan keperawatan yang

komprehensif pada klien dengan kondisi kegawatdaruratan trauma kepala

dan trauma tulang belakang

2. Tujuan Khusus proses keperawatan

a. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep cedera kepala dan tulang

belakang

b. Mahasiswa dapat menerapkan proses pengkajian pada cedera kepala

dan trauma belakang

c. Mahasiswa dapat menerapkan proses diagnosa keperawatan pada

cedera kepala dan trauma belakang

d. Mahasiswa dapat menerapkan proses intervensi pada cedera kepala

dan trauma belakang

e. Mahasiswa dapat menguraikan prosedur tindakan pada klien dengan

cedera kepala dan trauma belakang

C. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah pola

deskripsi, yakni mengambarkan, memaparkan serta menjelaskan kembali apa

yang telah didapat dan telah dipelajari sebelumnya dari berbagai sumber yang

telah dipadukan menjadi satu rangkaian berdasarkan pemahaman penulis.

4

Page 8: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Ada pula teknik pengumpulan data untuk bahan sumber yang dibutuhkan

adalah sebagai berikut:

1. Mencari bahan di perpustakaan berdasarkan sumber yang sesuai

dengan materi

2. Mencari buku sumber yang sesuai dengan materi yang dibutuhkan

3. Mencari sumber dari internet.

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah

sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Berisikan tentang latar belakang, pembatasan masalah,tujuan

penulisan dan metode penulisan makalah ini.

Bab II Tinjauan Teoritis

Berisikan mengenai konsep umum mengenai cedera kepala dan

cedera tulang belakang

Bab III Penatalaksanaan

Berisikan tentang penatalaksanaan kegawatdaruratan cedera kepala

dan cedera tulang belakang mulai dari pengkajian sampai dengan

penanganan cedera kepala dan trauma belakang

Bab IV Simpulan

Berisikan tentang kesimpulan

Daftar Pustaka

5

Page 9: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cedera Kepala

1. Pengertian

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik

secaralangsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada

gangguan fungsineurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat

temporer atau permanent (Irwana,2009). Cedera kepala adalah suatu

gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai

perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

kontinuitas otak (Budi, Hendri,2008).Menurut Brain Injury Assosiation of

America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan

/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran

yang mana menimbulkankerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2. Etiologi

a. Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor

bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga

menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

b. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau

meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika

masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.

c. Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau

perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau

matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang

atau orang lain (secara paksaan).

6

Page 10: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001), antara

lain:

a. Trauma tajam

b. Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak,

misalnya tertembak peluru atau benda tajam

c. Trauma tumpul

d. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya

e. Cedera akselerasi

f. Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh

pukulan maupun bukan dari pukulan

g. Kontak benturan (Gonjatan langsung)

h. Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek

i. Kecelakaan lalu lintas

j. Jatuh

k. Kecelakaan industri

l. Serangan yang disebabkan karena olah raga

m. Perkelahian

3. Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :

a. Akselerasi

Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada

orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.

b. Deselerasi

Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada

kepala yang terbentur.

7

Page 11: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

c. Deformitas

Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat

trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau

pemotongan pada jaringan otak.

4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada

kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan

oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh

proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr

dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa

perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,

tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-

deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak

dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak

bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam

tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam

Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan

dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang

efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga

beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami

cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,

menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa

perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan

aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada

dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan

8

Page 12: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,

bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam

bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik

bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan

sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,

menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak

(Lombardo, 2003).

5. Glasglow Coma Scale (GCS)

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata :

-Spontan

-Terhadap rangsangan suara

-Terhadap nyeri

-Tidak ada

 

4

3

2

1

2 Verbal :

-Orientasi baik

-Orientasi terganggu

-Kata-kata tidak jelas

-Suara tidak jelas

-Tidak ada respon

 

5

4

3

2

1

3 Motorik :

- Mampu bergerak

-Melokalisasi nyeri

-Fleksi menarik

-Fleksi abnormal

-Ekstensi

-Tidak ada respon

 

6

5

4

3

2

1

Total 3-15

9

Page 13: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

6. Klasifikasi

a. Cedera Kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya

tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini

ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan

otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke

dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel

otak akibat benda tajam atau tembakan. Cedera kepala terbuka

memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak

b. Cedera Kepala Tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah

goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang

bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam

otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio

(gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,

2001; Long,1990)

Klasisifikasi kepala berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), dapat

diklasifikasikan menjadi:

a. Cedera kepala ringan

Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.

Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta

seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma.

b. Cedera kepala sedang

Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit sampai 24

jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan

(bingung)

c. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio

serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo,

1996)

10

Page 14: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

7. Tanda dan Gejala

a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak

tegap, kehilangan tonus otot.

b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan

frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan

bradikardia disritmia).

c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua

fungsi.

e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,

disfagia)

f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental

(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,

pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil

(respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan

mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman

dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau

lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,

kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi

tubuh.

g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah

tidak bisa beristirahat, merintih.

h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas

berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena

aspirasi).

i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,

perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau

hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot

hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan

dalam regulasi tubuh.

11

Page 15: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang –

ulang.

k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

l. Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.

m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.

n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,

sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam

penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian

lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.

o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya

lama.

p. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,

kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya

hematoma atau edema intestisium.

q. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.

r. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan

gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.

s. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.

Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan

detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak

dengan kompresi pada batang otak.

t. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan

dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk

berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma

subdural kronis juga dapat terjadi.

u. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

v. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi

pernapasan)

w. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau

posisi abnormal ekstrimitas

12

Page 16: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

8. Perdarahan Yang Ditemukan Pada Cedera Kepala

a. Epidural Hematoma

Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan

duramater akibat pecahnya pembuluh darah atau cabang – cabang

arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah

ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangatberbahaya. Dapat

terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling

seringyaitu di lobus temporalis danparietalis. Gejala-gejala yang

terjadi: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,

hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam cepat

kemudian penurunan nadi, peningkatan suhu.

b. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi

akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena /

jembatan vena yang biasanya terdapat diantar aduramater, perdarahan

lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hariatau 2

minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.

Tanda-tanda dan gejalanya adalah: nyeri kepala, bingung, mengantuk,

menarikdiri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil. Perdarahan intra

cerebral berup aperdarahan di jaringan otak karena pecahnya

pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya: nyeri

kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia

kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

c. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh

darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang

hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

13

Page 17: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

9. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium

1) AGD: untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi

perdarahan sub arakhnoid.

2) Kimia elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.

b. Radiology

1) CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya

hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan

otak.

2) MRI : sama dengan CT Scan

3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,

seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.

4) EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya

gelombang patologis.

5) Sinar X: untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang

(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan)

adanya fragmen tulang.

6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani

obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.

9) Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya

bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.

10) Thorax X ray: Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.

11) Fungsi lumbal: CSS, dapat menduga kemungkinan adanya

perdarahan sub arakhnoid.

12) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

13) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani

obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.

14

Page 18: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

14) Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari

inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita

dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

10. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan

Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan otak

dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut

sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang

dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat

namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol

atau obat-obatan. Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih

sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan.

Bagaimanapun, lebih kurang 3% mengalami perburukan yang tidak

terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila

perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.

Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera

otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit

kepala hebat, GCS<15. atau adanya defisit neurologis fokal. Foto

servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher. CT scan

merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak

memungkinkan, pemeriksaan foto polos/ rontgen kepala dapat

digunakan untuk membedakan trauma tumpul ataupun tembus. Pada

foto polos kepala harus dicari: (1) fraktur linear atau depresi, (2) posisi

glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi), (3) bates air-

udara pada daerah sinus, (4) pneumosefal, (5) fraktur tulang wajah, (6)

benda asing. Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai

menunda transfer penderita.

15

Page 19: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat

gejala neurologis yang abnormal, penderita harus dibawa ke rumah

sakit dan dikonsulkan ke ahli Bedah Saraf. Bila penderitanya

asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama

beberapa jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal,

dikatakan penderita aman. Idealnya, keluarga diberi lembar observasi,

penderita didampingi dan diobservasi selama 24 jam berikutnya. Bila

dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan kesadaran, atau

terdapat defisit neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit

gawat darurat Pada semua kasus yang dirawat di luar rumah sakit,

instruksi harus jelas dan dilakukan berulang oleh pendamping

penderita. Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi

kurang terhadap rangsang verbal maupun tulisan, keputusan untuk

memulangkan penderita harus ditinjau ulang.

Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan

Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15)

Riwayat:

• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan •Tingkat kewaspadaan

• Mekanisme cedera •Amnesia: Retrograde, Antegrade

• Waktu cedera •Sakit kepala ringan, sedang, berat

Tidak sadar segera setelah cedera

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

Pemeriksaan neurologis terbatas.

Pemeriksaan rontgen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine

Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita,

kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan

neurologis normal

16

Page 20: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS

gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam

beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah

waktu yang kritis dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat

dekat anda sedikitnya dalam waktu itu. Bila kelak timbul gejala-gejala

berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus segera menghubungi

dokter anda atau kembali ke RS.

1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan

setiap 2 jam selama periode tidur).

2. Mual dan muntah.

17

Observasi atau dirawat di RS CT scan tidak ada Fscan abnormal Semua cedera tembus Riwayat hilang kesadaran Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat

Intoksikasi alkohol/ obat obatan

Kebocoran likuor: Rhinorea-otorea

Cedera penyerta yang bermakna

Tak ada keluarga di rumah GCS < 15 Defisit neurologis fokal

Dipulangkan dari RSTidak memenuhi kriteria

rawat.Diskusikan kemungkinan

kembali Ke rumah sakit bila memburuk dan berikan lembar observasi

Jadwalkan untuk kontrol ulang

Page 21: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

3. Kejang.

4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.

5. Sakit kepala hebat

6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.

7. Bingung atau perubahan tingkah laku.

8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang

lain, gerakan- gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan

penglihatan lain.

9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang

tidak teratur

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas

selembar kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan

semakin hebat walau telah dibantu dengan kantung es, segera hubungi

RS.

Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan

minum minuman yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah

cedera.

Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari

Acetaminophen sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat

mengandung aspirin.

Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat,

kami dapat dihubungidi nomor telepon:........................

Nama dokter:....................................

2. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita

cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti

perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk

18

Page 22: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.

Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami

perburukan dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan

anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopuhnoner

sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala harus

selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita

harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana

observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12

- 24 jam pertama. pemeriksaan CT scan lanjutan dalam 12 - 24 jam

direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan

status neurologis penderita

Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang

Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun

masihmampu menuruti perintah (GCS:9-13).

Pemeriksaan awal:

a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah

sederhana

b. Pemeriksaan CT scan kepala pada semua kasus

c. Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat:

a. Pemeriksaan neurologis periodik

b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila

penderita akan dipulangkan.

19

Bila kondisi membaik (90%)

Pulang bila

rnemungkinkan

Kontrol di poliklinik

Bila kondisi buruk (10%)

Bila penderita tidak mampu melakukan

perintah lagi, segera lakukan

pemeriksaan CT scan ulang dan

penatalaksanaan sesuai protokol cedera

kepala berat.

Page 23: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

3. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan

perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil.

Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera otak, tetapi

dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko morbiditas dan

mortalitas yang paling besar. Pendekatan

"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah

sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang cepat

sangatlah penting. Jangan menunda transfer penderita karena

menunggu CT scan.

Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat

Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena

kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

1. Pemeriksaan dan penatalaksanaan

2. ABCDE

3. Primary Survey dan resusitasi

4. Secondary Survey dan riwayat AMPLE

5. Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan

defmitif Bedah saraf

6. Reevaluasi neurologis: GCS

Respon buka mate

Respon motorik

Respon verbal

Refleks cahaya pupil

7. Obat-obatan

8. Manitol

9. Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)

10. Antikonvulsan

11. TesDiagnostik (sesuai urutan)

20

Page 24: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase

Penderita Dengan Cedera Otak Berat

a. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera

diresusitasi (ABCDE) setibanya di unit gawat darurat

b. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis

dilakukan (GCS dan refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa

mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap dilakukan dan

dicatat adanya hipotensi

c. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah

dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk

stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis

menjadi prioritas kedua.

d. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD

atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala

dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu

massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole

eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy

sedang berlangsung.

e. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda

klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka

prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di

UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi

neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.

f. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat

terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke

ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau

thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat

antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

21

Page 25: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

B. Konsep Cedera Tulang Belakang

1. Pengertian

Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher

sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah

tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah

tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua

korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan

(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di

dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf,

yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi

syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan

lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas,

kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau

pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit

neurologi (Sjamsuhidayat, 2011).

2. Anatomi Fisiologi

Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang

membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang

punggung pada manusia, 5 di antaranya bergabung membentuk bagian

sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di

atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher),

12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan, 5 tulang lumbal. Banyaknya

22

Page 26: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian terjarang

terjadi ketidaknormalan adalah bagian leher.

Struktur Umum

Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang

terdiri daribadan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang

terdiri dari arcusvertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki”

atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau

procesus yakni procesus articularis, procesus transversus, dan procesus

spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebutforamen

vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk

saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di

antara dua tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut foramen

intervertebrale.

a. Tulang punggung cervical

Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau

procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang

pendek, kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek.

Diberi nomor sesuai dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical),

namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2

atau aksis. Setiap mamalia memiliki 7 tulang punggung leher,

seberapapun panjang lehernya.

b. Tulang punggung thorax

Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk.

Beberapa gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga

sebagai ‘tulang punggung dorsal’ dalam konteks manusia. Bagian ini

diberi nomor T1 hingga T12.

c. Tulang punggung lumbal

23

Page 27: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan

menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini

memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa

gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.

d. Tulang punggung sacral

Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan

tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.

e. Tulang punggung coccygeal

Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan

tanpa celah. Beberapa hewan memiliki tulang coccyx atau tulang ekor

yang banyak, maka dari itu disebut tulang punggung kaudal (kaudal

berarti ekor).

24

Page 28: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Setiap cedera yang unik dan dua cedera dikategorikan sebagai tingkat

yang sama tidak akan selalu menunjukkan jumlah yang sama kembali

dan fungsi. Banyak faktor lain datang ke dalamnya juga. Akan ada

beberapa derajat tumpang tindih antara tingkat tulang belakang yang

berbeda juga.

Tingka

t

Kemampuan Tujuan Fungsional

C1-C3 Terbatas gerakan kepala

dan leher

Pernapasan: Tergantung pada

ventilator atau implan untuk

mengendalikan pernapasan.

Komunikasi: Berbicara kadang sulit,

sangat terbatas atau tidak mungkin.

Jika kemampuan berbicara yang

terbatas, komunikasi dapat dilakukan

secara independen dengan tongkat

mulut dan teknologi bantu seperti

komputer untuk pidato atau mengetik.

Komunikasi verbal yang efektif

memungkinkan individu dengan SCI

untuk mengarahkan perawat dalam

kegiatan sehari-hari orang tersebut,

seperti mandi, berpakaian, kebersihan

pribadi, mentransfer serta kandung

kemih dan usus manajemen.

Tugas sehari-hari: Teknologi

Assistive memungkinkan untuk

kemerdekaan dalam tugas-tugas

seperti halaman berubah, dengan

menggunakan telepon dan lampu

25

Page 29: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

operasi dan peralatan.

Mobilitas: Dapat mengoperasikan

sebuah kursi roda listrik dengan

menggunakan kontrol kepala, tongkat

mulut, atau kontrol dagu. Sebuah

kemiringan kursi roda listrik juga

untuk pelepas tekanan independen.

C4 Biasanya memiliki kepala

dan leher kontrol. Individu

pada tingkat C4 bisa

mengangkat bahu mereka.

Pernapasan: awalnya Mei

memerlukan ventilator untuk bernafas,

biasanya menyesuaikan diri dengan

bernapas penuh-waktu tanpa bantuan

ventilator.

Komunikasi: normal, mungkin

memiliki proyeksi suara lemah

Tugas sehari-hari: Dengan peralatan

khusus, beberapa mungkin memiliki

kebebasan terbatas dalam makan dan

mandiri mengoperasikan tempat tidur

disesuaikan dengan controller

disesuaikan.

C5 Biasanya memiliki kepala

dan kontrol leher, bahu

mengangkat bahu dapat dan

memiliki kontrol bahu. Bisa

menekuk nya / siku dan

telapak tangan menghadap

ke atas gilirannya.

Tugas-tugas harian: Kemerdekaan

dengan makan, minum, mencuci

muka, menyikat gigi mencukur, wajah

dan perawatan rambut setelah bantuan

dalam menyiapkan peralatan khusus.

Perawatan kesehatan: Dapat

mengelola perawatan kesehatan

mereka sendiri dengan melakukan diri

membantu batuk dan relief tekanan

dengan bersandar ke depan atau sisi ke

26

Page 30: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

sisi.

Mobilitas: Mei memiliki kekuatan

untuk mendorong kursi roda manual

untuk jarak pendek di atas permukaan

halus. Sebuah kursi roda kekuasaan

dengan kontrol tangan biasanya

digunakan untuk kegiatan sehari-hari.

Mengemudi mungkin setelah

dievaluasi oleh seorang profesional

yang memenuhi syarat untuk

menentukan kebutuhan peralatan

khusus.

C6 Apakah gerakan di kepala,

leher, bahu, lengan dan

pergelangan tangan. Bahu

bahu dapat, siku menekuk,

putar telapak tangan ke atas

dan bawah dan

memperpanjang

pergelangan tangan.

Tugas sehari-hari: Dengan bantuan

beberapa peralatan khusus, dapat

melakukan dengan lebih mudah dan

kemerdekaan, tugas-tugas sehari-hari

makan, mandi, perawatan, kebersihan

pribadi dan pakaian. Independen dapat

melakukan tugas rumah tangga ringan.

Perawatan kesehatan: Dapat secara

independen melakukan relief tekanan

itu, pemeriksaan kulit dan gilirannya

di tempat tidur.

Mobilitas: Beberapa individu mandiri

dapat melakukan transfer tetapi sering

membutuhkan papan geser. Dapat

menggunakan kursi roda manual untuk

aktivitas sehari-hari tetapi dapat

menggunakan kursi roda listrik untuk

kemudahan yang lebih besar

27

Page 31: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

kemerdekaan.

C7 Memiliki gerakan yang

sama sebagai individu

dengan C6, dengan

kemampuan ditambahkan

untuk meluruskan / nya

siku.

Tugas sehari-hari: Mampu

melakukan tugas-tugas rumah tangga.

Butuh bantuan adaptif lebih sedikit

dalam hidup mandiri.

Kesehatan: Mampu untuk melakukan

up mendorong kursi roda relief

tekanan itu.

Mobilitas: penggunaan harian dari

kursi roda manual. Dapat mentransfer

dengan lebih mudah.

C8-T1 Memiliki kekuatan

ditambahkan dan ketepatan

jari-jari yang menghasilkan

fungsi tangan terbatas atau

alami.

Tugas-tugas harian: Bisa hidup

mandiri tanpa alat bantu dalam

memberi makan, mandi, dandan,

kebersihan mulut dan wajah, rias,

manajemen kandung kemih dan usus

manajemen.

Mobilitas: Menggunakan kursi roda

manual. Dapat mentransfer secara

independen.

T2-T6 Memiliki fungsi motorik

normal di kepala, leher,

bahu, lengan, tangan dan

jari. Apakah peningkatan

penggunaan otot rusuk dan

dada, atau kontrol bagasi.

Tugas sehari-hari: Harus benar-benar

independen dengan semua kegiatan.

Mobilitas: Beberapa individu yang

mampu berjalan terbatas dengan

bracing yang luas. Ini membutuhkan

energi yang sangat tinggi dan

menempatkan tekanan pada bagian

atas tubuh, tidak memberikan

keuntungan fungsional. Dapat

menyebabkan kerusakan sendi atas.

T7-T12 Telah menambahkan fungsi Tugas sehari-hari: Mampu

28

Page 32: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

motorik dari kontrol perut

meningkat.

melakukan aktivitas duduk yang tidak

didukung.

Mobilitas: Sama seperti di atas.

Perawatan kesehatan: Apakah batuk

efektivitas ditingkatkan.

L1-L5 Sudah kembali tambahan

gerakan motorik di bagian

pinggul dan lutut.

Mobilitas: Berjalan dapat menjadi

fungsi yang layak, dengan bantuan

kaki khusus dan kawat gigi

pergelangan kaki. Tingkat yang lebih

rendah berjalan dengan lebih mudah

dengan bantuan alat bantu.

S1-S5 Tergantung pada tingkat

cedera, ada berbagai tingkat

pengembalian sukarela

kandung kemih, usus dan

fungsi seksual.

Mobilitas: Peningkatan kemampuan

untuk berjalan dengan perangkat yang

lebih sedikit atau tidak mendukung

3. Klasifikasi

Cedera tulang belakang dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme

cedera, jenis cedera vertebra, level cedera, atau penyebab cedera. Cedera

medulla spinalis terjadi karena cedera penetrasi atau benturan mekanis.

Cedera penetrasi, yang sering kali disebabkan oleh luka tembakan atau

tusuk, merusak medula spinalis, dan menyebabkan hilangnya fungsi

neurologis

a. Mekanisme cedera

Benturan mekanis yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis

meliputi hiperfleksi, hiperekstensi, pembebanan aksial (kompresi) dan

benturan rotasi.

1) Hiperfleksi

Disebabkan oleh deselerasi mendadak kepala dan leher. Cedera

hiperfleksi biasanya tampak pada pasien yang mengalami trauma

29

Page 33: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

terus-menerus akiibat tabrakan pada bagian depan kendaraan

bermotor atau kecelakaan saat menyelam. Area servikal paling

sering terkena, terutama pada tingkat C5 - C6

2) Hiperekstensi

Hiperekstensi adalah jenis cedera yang paling umum. Cedera

hiperekstensi dapat disebabkan oleh jatuh, tabrakan di bagian

belakang kendaraan bermotor atau dipukul pada bagian kepala

(misalnya selama pertandingan tinju). Hiperekstensi kepala dan

leher dapat disebabkan kontusio dan iskemia medulla spinalis

tampak kerusakan kolumna vertebra. Cedera salah urat pada leher

adalah akibat hiperekstensi.

3) Pembebanan aksial (Axial loading)

Pembebanan aksial (Axial loading) disebut juga dengan kompresi,

khususnya terjadi jika individu mendarat ke tanah dengan kaki

atau bokong setelah jatuh atau lompat dari ketinggian. Kolumna

vertebra mengalami kompresi, menyebabkan fraktur yang

mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis.

4) Cedera rotasional

Cedera rotasional terjadi akibat kekuatan yang menyebabkan

kepala dan leher mengalami terpelintir atau fleksi lateral yang

eksterm. Fraktur atau dislokasi vertebra juga dapat terjadi.

b. Jenis cedera vertebra

Kekuatan mekanis dapat menyebabkan fraktur atau dislokasi vertebra,

atau keduanya. Jika terjadi cedera vertebra, jenis cedera vertebra dapat

digunakan untuk menggambarkan cedera medulla spinalis yang

dialami individu. Fraktur dapat dianggap tidak stabil jika liagamen

posterior robek.

c. Level cedera

30

Page 34: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan berdasarkan segmen

medulla spinalis yang mengalami gangguan:

1. Cedera servikal atas (C1– C2) (fraktur atlas sublukasiatlantoksial,

fraktur odontoid, dan fraktur hangman)

2. Cedera servikal bawah (C3 – C8)

3. Cedera toraks (T1 – T12)

4. Cedera lumbal (L1 – L5)

5. Cedera sacral (S1 – S5)

Derajat penyembuhan fungsional bergantung pada lokasi dan luasnya

cedera. Level cedera medulla spinalis ditentukan oleh efek cedera

pada fungsi sensorik dan motorik. Retensi pada semua atau beberapa

fungsi motorik atau sensorik di bawah level cedera menunjukkan

bahwa lesi tidak komplet. Kehilangan total control otot volunteer dan

sensasi di bawah level cedera menunjukkan bahwa lesi komplet. Lesi

komplet yang melibatkan are medulla spinalis C1 - T1 menyebabkan

tetraplegia. Lesi komplet yang mengenai area medulla spinalis T2 –

L1 menyebabkan paraplegia. Individu yang mengalami cedera

medulla komplet mengikuti alur dermatom untuk level kehilangan

sensori yang ditunjukan.

d. Penyebab cedera

Cedera medulla spinalis juga dapat digolongkan menurut penyebab

cedera. Penyebab cedera medulla spinalis meliputi cedera gegar otak

atau jarring-jaring (cedera akibat goncangan); kompresi elemn neural

oleh fragmen tulang atau perdarahan; kontusio (memar) medulla

spinalis; dan leserasi, transeksi, atau penyumbatan pembuluh yang

menyuplai korda.

4. Etiologi

31

Page 35: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari

ketinggian

c. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola,

penyelam, dll)

d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra

e. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis

yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang

(Harsono, 2000).

5. Patofisiologi

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,

jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse

Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat

menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada

medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek

trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi

pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah

gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang

secara cepat dan mendadak.

Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah

maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang

sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada

waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan

paraplegia.

Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,

hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi.

Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau

32

Page 36: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat

tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat

sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah

berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh

darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis

kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan

pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.

Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang

belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat

mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan

dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang

terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).

Hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk

lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “

yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk,

terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis

terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan

kanalis vertebralis.

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra

meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang

patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang

didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor,

kista dan abses didalam kanalis vertebralis.

Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis

dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks

colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah

nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut

hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika

33

Page 37: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik

dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri

radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit

sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan

sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.

6. Manifestasi Klinis

Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada

belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien

sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf

spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat

dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe

cedera.

Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan

motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah

mengalami paralysis sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol

kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retansi urin dan distensi

kandung kemih , penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan

tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.

7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medulla spinalis lanjut

dan mengopservasi gejala penurunan neurologik. Pasiaen diresusitasi bila

perlu, dan stabilitas oksigenasi dan kardiovaskuler dipertahankan. Prinsip

melakukan imobilisasi tulang belakang dan log roll yaitu:

a. Penderita dewasa

Empat orang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi log roll dan

immobilisasi penderita dan immobilisasi penderita, seperti pada long

spine board : (1) satu untuk mempertahankan immobilisasi segaris

34

Page 38: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan(termasuik pelvis dan

panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai dan,(4) satu mengatur

prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam

kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang

belakang. Saat melakukan prosedur ini, immobilisasi sudah dilakukan

pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur;

1) Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi

penderita

2) Dilakukan in line immobilisasi kepala dan leher secara manual,

kemudian dipasang kolar servikal semirigid.

3) Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan

4) Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati – hati dan

diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang

belakang, ke2 pergelangan kaki diikat satu sama lainnya dengan

plester.

5) Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu

orang kedua memegang penderita pada daerah bahu dan

pergelangan tangan.

6) Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala

dan leher, dilakukan log roll sebagai satu unit kearah kedua

penolong yang berada pada sisis penderita, hanya memerlukan

spine board dibawah penderita.

7) Spine board terletak dibawah penderita, dan dilakukan log roll

kearah spine board.

8) Demi mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan

penderita maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah

leher penderita.

9) Bantalan, selimut yang dibulatkan diletakkan atau alat penyangga

lainnya diletakkan disebelah kiri dan kanan kepala dan leher

penderitadan kepala diikat dengan spine board.

35

Page 39: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

b. Penderita anak

1) Untuk immobilisasi anak diperlukan long spine board pediatric.

Bila tidak ada maka dapat menggunakan long spine board untuk

dewasa dengan gulungan selimut diletakkan diseluruh sisi tubuh

untuk mencegah pergerakan kearah lateral.

2) Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang

dewasa, olehnya itu harus dipasang bantalang dibah bahuuntuk

menaikkan badan sehingga kepala yang besar pada anak tidak

menyebabkan fleksi tulang leher,sehingga dapat mempertahankan

kesegarisan tulang belakang anak.

3) Pengelolaan umum

Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan immobilisasi

sebelum transper penderita ke UGD. Setiap penderita yang

dicurigai harus dilakukan imobilisasi dibagian atas dan bawah

yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat

disingkirkan dengan pemeriksaan rongsen. Imobilisasi yang tepat

dilakukan pada penderita yaitu dengan posisi netral, seperti

berbaring terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang

belakang. Perlu digunakan bantalan yang tepat untuk mencegah

terbentuknya dekubitus. Bila terdapat deficit neurologist

secepatnya melepas penderita dari long spine board untuk

mencegah terjadinya dekubitus. Tempat tersering adalah pada

daerah oksiput dan sacrum.

36

Page 40: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

BAB III

PENANGANAN

A. Penanganan Cedera Kepala

1. Pengkajian

a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat

kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan

segera setelah kejadian.

b. Pemeriksaan fisik

1) Sistem respirasi: suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,

biot, hiperventilasi, ataksik)

2) Kardiovaskuler: pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

3) Sistem saraf:

a) Kesadaran: GCS.

b) Fungsi saraf cranial: trauma yang mengenai/meluas ke batang

otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

c) Fungsi sensori-motor: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,

gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,

riwayat kejang.

c. Sistem pencernaan

1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,

kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.

Jika pasien sadar, tanyakan pola makan.

2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron: retensi natrium dan cairan.

3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

d. Kemampuan bergerak: kerusakan area motorik: hemiparesis/ plegia,

gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

e. Kemampuan komunikasi: kerusakan pada hemisfer dominan: disfagia

atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

f. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat

pasien dari keluarga.

37

Page 41: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:

a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema

serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.

b. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.

c. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan berhubungan dengan

gagal nafas, adanya sekresi, dan meningkatnya tekanan intrakranial.

d. Ketidak seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan pemasukan makanan atau mencerna

makanan dan atau mengabsorbsi zat-zat gizi karena faktor biologis.

e. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan  muntah.

f. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau

meningkatnya tekanan intrakranial.

g. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. 

h. Devisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan

menurunnya kesadaran.

i. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, tindakan invasif,

immunosupresif, kerusakan jaringan

j. Kurang pengetahuan keluarga tentang penyakit dan perawatannya b/d

kurang paparan terhadap informasi, keterbatasan kognitif

3. Penanganan Cedera Otak Berat

a. Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head

up 15°- 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga

tekanan intra kranial turun.

b. Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.

c. Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika

tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.

d. Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30

CC/KgBB/24jam.

38

Page 42: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

e. Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan

perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang

ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada

hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian

sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus,

menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi

(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak

terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa

lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai

didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal.

Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada

penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di

dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus

masuk kedalam system portal.

f. Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari

terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan

miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.

g. Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak

boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena

dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan

terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi

karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat

tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock,

Febris.

B. Penanganan Cedera Tulang Belakang

1. Pengkajian

a. Riwayat Penyakit Sebelumnya

Apakah pasien pernah menderita :

1) Stroke

2) Infeksi Otak

39

Page 43: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

3) DM

4) Diare/muntah

5) Tumor Otak

6) Trauma kepala

b. Pemeriksaan Fisik 

1) Sistem pernafasan

Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan

otot-otot pernafasan tambahan

2) Sistem kardiovaskuler

Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi

3) Status neurologi

Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera

kepala

4) Fungsi motorik

Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis

kerusakan,adanya quadriplegia, paraplegia

5) Refleks Tendon

Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis

kerusakan, postspinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada

gangguan upper motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan

lower motor neuron/ LMN).

6) Fungsi sensorik

Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis

kerusakan

7) Fungsi otonom

Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler

8) Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)

Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia,

hidungtersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan

gangguan penglihatan.

40

Page 44: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

9) Sistem gastrointestinal

Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising

usus, stressulcer, feses keras atau inkontinensia.

10) Sistem urinaria

Retensi urine, inkontinensia

11) Sistem Muskuloskletal 

Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM

12) Kulit

Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal

dekubitus)

13) Fungsi seksual

Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur

14) Psikososial 

Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan

masyarakat

Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan

tulang belakang. Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya

cedera tulang vertebra servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari

mekanisme cedera. Pada penderita dengan cedera multipel dengan penurunan

tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sampai cedera pada

tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Bila

penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga

adanya ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan

radiologis untuk mengetahui letak dari cedera tulang belakang. Bila penderita

sadar, neurologis normal, tidak mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada

tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan pada saat palpasi tulang

belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi tidak

diperlukan.

41

Page 45: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus

tetap diimobilisasi pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk

mengetahui foto yang diperlukan untuk menyingkirkan adanya suatu fraktur.

Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan

prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang lebih

baik.

2. Memindahkan Pasien Ke Ambulans

a. Pada saat ambulans datang anda harus mampu menjangkau pasien

sakit atau cedera tanpa kesulitan, memeriksa kondisinya, melakukan

prosedur penanganan emergensi di tempat dia terbaring, dan

kemudian memindahannya ke ambulans.

b. Pada beberapa kasus tertentu, misalnya pada keadaan lokasi yang

berbahaya atau pasien yang memerlukan prioritas tinggi maka proses

pemindahan pasien harus didahulukan sebelum menyelesaikan proses

pemeriksaan dan penanganan emergensi diselesaikan.

c. Jika dicurigai adanya cedera spinal, kepala harus distabilkan secara

manual dan penyangga leher (cervical collar) harus dipasang dan

pasien harus diimobilisasi di atas spinal board.

d. Pemindahan pasien ke ambulans dilakukan dalam 4 tahap berikut

1) Pemilihan alat yang digunakan untuk mengusung pasien.

2) Stabilisasi pasien untuk dipindahkan

3) Memindahan pasien ke ambulans

4) Memasukkan pasien ke dalam ambulans

e. Pasien sakit atau cedera harus distabilkan agar kondisinya tidak

memburuk.

f. Perawatan luka dan cedera lain yang diperlukan harus segera

diselesaikan, benda yang menusuk harus difiksasi, dan seluruh balut

serta bidai harus diperiksa sebelum pasien diletakkan di alat

pengangkut pasien.

42

Page 46: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

g. Jangan menghabiskan banyak waktu untuk merawat pasien dengan

cedera yang sangat buruk atau korban yang telah meninggal. Pada

prinsipnya, kapanpun seorang pasien dikategorikan dalam prioritas

tinggi, segera transpor dengan cepat.

h. Penyelimutan pasien membantu menjaga suhu tubuh, mencegah

paparan cuaca, dan menjaga privasi.

i. Alat angkut (carrying device) pasien harus memiliki tiga tali pengikat

untuk menjaga posisi pasien tetap aman. Yang pertama diletakkan

setinggi dada, yang kedua setinggi pinggang atau panggul, dan yang

ketiga setinggi tungkai. Kadang-kadang digunakan empat tali

pengikat di mana dua tali disilangkan di dada.

j. Jika penderita/korban tidak mungkin diangkut dengan tandu misalnya

pada penggunaan spinalboard dan hanya bisa diletakkan di atas

tandu/usungan ambulans (ambulance stretcher),maka disyaratkan

untuk menggunakan tali kekang yang dapat mencegah pasien

tergelincir ke depan jika ambulans berhenti mendadak

3. Mempersiapkan Pasien Untuk Transportasi

a. Lakukan pemeriksaan menyeluruh. Pastikan bahwa pasien yang sadar

bisa bernafas tanpa kesulitan setelah diletakan di atas usungan. Jika

pasien tidak sadar dan menggunakan alat bantu jalan nafas (airway),

pastikan bahwa pasien mendapat pertukaran aliran yang cukup saat

diletakkan di atas usungan.

b. Amankan posisi tandu di dalam ambulans. Pastikan selalu bahwa

pasien dalam posisI aman selama perjalanan ke rumah sakit. Tandu

pasien dilengkapi dengan alat pengunci yang mencegah roda usungan

brgerak saat ambulans tengah melaju.

c. Posisikan dan amankan pasien. Selama pemindahan ke ambulans,

pasien harus diamankan dengan kuat ke usungan. Perubahan posisi di

dalam ambulans dapat dilakukan tetapi harus disesuaikan dengan

kondisi penyakit atau cederanya. Pada pasien tak sadar yang tidak

43

Page 47: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

memiliki potensi cedera spinal, ubah posisi ke posisi recovery (miring

ke sisi) untuk menjaga terbukanya jalan nafas dan drainage cairan.

Pada pasien dengan kesulitan bernafas dan tidak ada kemungkinan

cedera spinal akan lebih nyaman bila ditransport dengan posisi duduk.

Pasien syok dapat ditransport dengan tungkai dinaikkan 8-12 inci.

Pasien dengan potensi cedera spinal harus tetap diimobilasasi dengan

spinal board dan posisi pasien harus diikat erat ke usungan.

d. Pastikan pasien terikat dengan baik dengan tandu. Tali ikat keamanan

digunakan ketika pasien siap untuk dipindahkan ke ambulans,

sesuaikan kekencangan tali pengikat sehingga dapat menahan pasien

dengan aman tetapi tidak terlalu ketat yang dapat mengganggu

sirkulasi dan respirasi atau bahkan menyebabkan nyeri.

e. Persiapkan jika timbul komplikasi pernafasan dan jantung. Jika kondisi

pasien cenderung berkembang ke arah henti jantung, letakkan spinal

board pendek atau papan RJP di bawah matras sebelum ambulans

dijalankan. Ini dilakukan agar tidak perlu membuang banyak waktu

untuk meletakkan dan memposisikan papan seandainya jika benar

terjadi henti jantung.

f. Melonggarkan pakaian yang ketat. Pakaian dapat mempengaruhi

sirkulasi dan pernafasan. Longgarkan dasi dan sabuk serta buka semua

pakaian yang menutupi leher. Luruskan pakaian yang tertekuk di

bawah tali ikat pengaman. Tapi sebelum melakukan tindakan apapun,

jelaskan dahulu apa yang akan Anda lakukan dan alasannya, termasuk

memperbaiki pakaian pasien.

g. Periksa perbannya. Perban yang telah di pasang dengan baik pun dapat

menjadi longgar ketika pasien dipindahkan ke ambulans. Periksa setiap

perban untuk memastikan keamanannya. Jangan menarik perban yang

longgar dengan enteng. Perdarahan hebat dapat terjadi ketika tekanan

perban dicabut secara tiba-tiba.

h. Periksa bidainya. Alat-alat imobilisasi dapat juga mengendur selama

pemindahan ke ambulans. Periksa perban atau kain mitella yang

44

Page 48: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

menjaga bidai kayu tetap pada tempatnya. Periksa alat-alat traksi untuk

memastikan bahwa traksi yang benar masih tetap terjaga. Periksa

anggota gerak yang dibidai perihal denyut nadi bagian distal, fungsi

motorik, dan sensasinya.

i. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien. Bila

tidak ada cara lain bagi keluarga dan teman pasien untuk bisa pergi ke

rumah sakit,biarkan mereka menumpang di ruang pengemudi-bukan di

ruang pasien- karena dapat mempengaruhi proses perawatan pasien.

Pastikan mereka mengunci sabuk pengamannya.\

j. Naikkan barang-barang pribadi. Jika dompet, koper, tas, atau barang

pribadi pasien lainnya dibawa serta, pastikan barang tersebut aman di

dalam ambulans. Jika barang pasien telah Anda bawa, pastikan Anda

telah memberi tahu polisi apa saja yang dibawa. Ikuti polisi dan isilah

berkas-berkas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

k. Tenangkan pasien. Kecemasan dan kegelisahan seringkali menerpa

pasien ketika dinaikkan ke ambulans. Ucapkan beberapa patah kata

dan tenangkan pasien dengan cara yang simpatik. Perlu diingat bahwa

mainan seperti boneka beruang dapat berarti banyak untuk

menenangkan pasien anak yang ketakutan. Senyum dan nada suara

yang menenangkan adalah hal yang penting dan dapat menjadi

perawatan kritis yang paling dibutuhan oleh pasien anak yang

ketakutan.

l. Ketika anda merasa bahwa pasien dan ambulans telah siap

diberangkatkan, beri tanda kepada pengemudi untuk memulai

perjalanan ke rumah sakit. Jika yang Anda tangani ini adalah pasien

prioritas tinggi, maka tahap persiapan, melonggarkan pakaian,

memeriksa perban dan bidai, menenangkan pasien, bahkan

pemeriksaan vital sign dapat ditangguhkan dan dilakukan selama

perjalanan daripada harus diselesaikan tetapi menunda transportasi

pasien ke rumah sakit.

45

Page 49: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

4. Perawatan Pasien Selama Perjalanan

a. Lanjutkan perawatan medis emergensi selama dibutuhkan. Jika usaha

bantuan hidup (life support) telah dimulai sebelum memasukkan

pasien ke dalam ambulans, maka prosedur tersebut harus dilanjutkan

selama perjalanan ke rumah sakit. Pertahankan pembukaan jalan

nafas, lakukan resusitasi, berikan dukungan emosional, dan lakukan

hal lain yang diperlukan termasuk mencatat temuan baru dari usaha

pemeriksaan awal (initial assesment) pasien.

b. Gabungkan informasi tambahan pasien. Jika pasien sudah sadar dan

Anda telah mempertimbangkan bahwa perawatan emergensi

selanjutnya tidak akan terganggu, maka Anda dapat mulai mencari

informasi baru dari pasien.

c. Lakukan pemeriksaan menyeluruh dan monitor terus vital sign.

Peningkatan denyut nadi secara tiba-tiba misalnya, dapat menandakan

syok yang dalam. Catat vital sign dan laporkan perubahan yang

terjadi pada anggota staf bagian emergensi segera setelah mencapai

fasilitas medis. Lakukan penilaian ulang vital sign setiap 5 menit

untuk pasien tidak stabil dan setiap menit untuk pasien stabil.

d. Beritahu fasilitas medis yang menjadi tujuan Anda. Beberkan

informasi hasil pemeriksaan dan penanganan pasien yang sudah Anda

lakukan, dan beri tahu perkiraan waktu kedatangan Anda.

e. Periksa ulang perban dan bidai.

f. Bicaralah dengan pasien, tapi kendalikan emosi Anda. Bercakap-

cakap terkadang berguna untuk menenangkan pasien yang ketakutan.

g. Jika terdapat tanda-tanda henti jantung, minta pengemudi untuk

menghentikan ambulans sementara Anda melakukan Resusitasi dan

memberikan AED (defibrilator). Beri tahu pengemudi untuk

menjalankan ambulans lagi setelah memastikan bahwa henti jantung

telah teratasi. Pastikan bahwa UGD mengetahui adanya henti jantung.

Adalah hal yang sangat membantu jika Anda memang secara rutin

selalu meletakkan bantalan keras di antara matras pelbet (cot) dan

46

Page 50: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

punggung pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami henti

jantung.

5. Memindahkan Pasien Ke Unit Gawat Darurat

a. Dampingi staf UGD bila dibutuhkan dan berikan laporan lisan atas

kondisi pasien Anda. Beritahu setiap perubahan kondisi pasien yang

telah Anda amati.

b. Segera setelah Anda tidak lagi menangani pasien, siapkan laporan

perawatan pra rumah sakit.

c. Serahkan barang-barang pribadi pasien ke pihak rumah sakit.. Jika

benda-benda berharga pasien dipercayakan penuh pada penjagaan

anda, segera serahkan kepada staf UGD yang bertanggung jawab.

47

Page 51: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

BAB IV

SIMPULAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik

secaralangsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada

gangguan fungsineurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer

atau permanent (Irwana,2009). Sedangkan Cedera tulang belakang adalah cidera

mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian,

kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan

fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan

defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 2011). Untuk penanganan prioritas evaluasi

penderita dengan cedera otak berat semua penderita cedera otak dengan koma

harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di unit gawat darurat, segera

setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan

refleks pupil), dan bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan

neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi

48

Page 52: Makalah Kelompok 1 (PPGD)

DAFTAR PUSTAKA

Al Fauzi A. (2002). Penanganan Cedera Kepala Di Puskesmas.

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/073002/pus-1htm. Di Unduh 3 Juni

2014

Corwin, Elizabeth J. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Hanif G Tobing (2011). Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Departemen Bedah Saraf

FKUI-RSCM. Jakarta : Sagung Seto.

Mansjoer, Arif, et al. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media

Aesculapius

Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Potter, Patricia A. and Perry, Anne G. (2009). Buku ajar fundamental

keperawatan, konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC

Smeltzer & Bare. (2009). Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 1. Jakarta:

EGC

Sjamsuhidayat. (2011). Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC

49