Download - Makalah Agama Islam
Makalah Agama Islam
“TINDAK PIDANA (JINAYAT)”
Disusun oleh :
Isti Madinah Hasibuan 130405072 (Teknik Kimia)
Suryadi Putra Siregar 130403062 (Teknik Industri)
Muhammad Yahya 130404054 (Teknik Sipil)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013/2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “Tindak Pidana (Jinayat)” ini
dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterimakasih
kepada Bapak Katsron M. Nasution selaku Dosen mata kuliah Agama Islam yang telah
membimbing kami selama proses pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai pengertian Tindak Pidana (Jinayat), macam-macam tindak pidana
seperti Qisas, Diyat, dan Tindak Pidana Jinayat. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam makalah ini
dan kami memohon kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini.
Medan, Desember 2013
Penulis2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 4
1.3 Tujuan ...................................................................................................................................5
1.4 Manfaat ..................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 6
2.1 Pengertian Tindak Pidana / Jinayat ....................................................................................... 6
2.2 Macam-Macam Tindak Pidana ........................................................................................... 10
2.2.1 Qisas ........................................................................................................................... 10
2.2.2 Diyat .......................................................................................................................... 16
2.2.3 Tindak Pidana Jinayat ................................................................................................ 21
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 27
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................................... 27
3.2 Saran ................................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 29
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia, kenyamanan, ketentraman, dan rasa aman adalah hal-
hal yang diinginkan setiap manusia. Tidak ada satu pun manusia yang ingin hidupnya
penuh dengan keresahan, namun tak dapat dipungkiri lagi bahwa tidak ada manusia yang
bisa terhindar dari masalah-masalah yang meresahkan hidupnya. Terkadang keresahan itu
bisa timbul karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.
Kejahatan tersebut dapat berupa pembunuhan, perampokan, pencurian, dan
sebagainya. Tidak semua kejahatan membahayakan nyawa manusia, namun kejahatan-
kejahatan tersebut dapat merugikan manusia secara materi, seperti kasus perampokan
yang membahayakan harta benda dan dapat mengusik ketenangan seseorang.
Dari uraian di atas, kami selaku penulis makalah ini ingin menjelaskan tindak
pidana menurut pandangan Islam dan bagaimana cara Agama Islam menyelesaikan
masalah-masalah tindak pidana tersebut untuk menambah pengetahuan kita tentang
Tindak Pidana dalam Islam.
Dalam penulisan makalah ini kami akan mengulas sedikit tentang Tindak Pidana
dalam Islam yang meliputi pengertian tindak pidana, dan macam-macam tindak pidana
yaitu Qisas, Diyat, dan Tindak Pidana Jinayat.
1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa saja jenis-jenis tindak pidana menurut pandangan Islam?
2. Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tindak pidana menurut pandangan
Islam?
4
3. Apa saja syarat-syarat dalam penentuan hukuman yang diberikan kepada seseorang
yang melanggar hukum berdasarkan syariat Islam?
1.3 TujuanTujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang Tindak Pidana menurut pandangan Islam
2. Untuk memahami macam-macam Tindak Pidana dalam Islam
3. Untuk memahami bagaimana cara Agama Islam mengatasi masalah-masalah
pelanggaran hukum
1.4 ManfaatManfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui tentang Tindak Pidana menurut Islam
2. Dapat memahami macam-macam Tindak Pidana dalam Islam
3. Dapat mengerti cara penyelesaian masalah pelanggaran hukum dalam Islam
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tindak Pidana/Jinayat
Tindak pidana dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah jinayah dan jarimah.
Para ahli hukum Islam sering menggunakan kata janayat untuk menyebut kejahatan. Janayat
mengandung pengertian setiap kelakuan buruk yang dilakukan oleh seseorang. (Nurcahaya,
2013:135)
Secara terminologi, kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang
diungkapkan oleh Abd Al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh
syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Ahmad Djazuli (dalam Angga Nindia Saputra, 2009 : 10) mengemukakan bahwa Jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had
atau ta’zir, sedangkan jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. Akan tetapi kebanyakan fuqaha’ menggunakan istilah
jinayah hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti,
penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha’ yang membatasi istilah
jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qisas saja.
Ahmad Wardi Muslich (dalam Angga Nindia Saputra, 2009 : 10) mengemukakan bahwa
suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah karena perbuatan tersebut merugikan terhadap tata
aturan masyarakat, kepercayaan dan agamanya, harta benda, nama baiknya, serta pada umumnya
merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat.
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jarimah apabila perbuatan tersebut telah
terpenuhi unsur-unsurnya. Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana
dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan unsur moral sebagai berikut :
6
1. Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan
larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara
yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu
pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.
2. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata
mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut mukallaf.
(Angga Nindia Saputra, 2009 : 10)
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH,
yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dimana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan
perbuatan yang melanggar syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan
masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu. Maksud pokok hukuman
adalah memelihara dan menciptakan kemashlahatan manusia yang menjaga mereka dari hal
rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Adapun syarat
adanya pemidanaan adalah adanya ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya (syar’i),
ada pelaku pidana (maddi), dan adanya perbuatan pidana (adabi).
Di dalam Islam dikenal prinsip-prinsip pemidanaan yaitu :
1. Harus sesuai dengan hukum Islam
2. Ada bukti
3. Bukan balas dendam
4. Bertujuan untuk kemaslahatan
5. Hati-hati dalam pelaksanaan pemidanaan
Tujuan pemidanaan sendiri dapat dikaji dalam perspektif Al-Qur’an, hukum Islam dan
tujuan hukum pada umumnya. Menurut Al-Qur’an tujuan pemidanaan dapat berarti :
1. Penghinaan di dunia, maupun siksaan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana
diberikan kepada pelaku perampokan.
7
ما �ن ذ�ين جزاء إ ه يحار�بون ال الل
فسادا األرض� ف�ي ويسعون ورسوله
لوا أن بوا أو يقت أيد�يه�م تقطع أو يصل
م�ن ينفوا أو خ�الف م�ن وأرجلهم
�ك األرض� الدنيا ف�ي خ�زي لهم ذل
رة� ف�ي ولهم عظ�يم عذاب اآلخ�“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-
Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (QS. Al-Maidah
(5) : 33)
2. Siksaan di dunia, maupun pembalasan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana
diberikan kepada pelaku pencurian.
ار�ق ار�قة والس فاقطعوا والس
�ما جزاء أيد�يهما ه� م�ن نكاال كسبا ب الل
ه حك�يم عز�يز والل8
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah (5) : 38)
3. Pembalasan (Qisas) di dunia, maupun sebagai azab, baik di dunia maupun di akhirat,
sebagaimana diberikan kepada pelaku pembunuhan dengan sengaja.
“Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya
mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari
Allah) sesuatu kejadianpun.” (QS. An-Nisa (4) : 42)
Hukum Islam karena bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist mempunyai tujuan
pemidanaan yang berkaitan dengan :
1. Pencegahan umum dan khusus. Terhadap tujuan pemidanaan ini dapat diberikan
sanksi pidana yang berat yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut,
penderitaan, penyesalan dan menjerakan, misalnya dengan pidana mati (rajam atau
salib), amputasi anggota tubuh, qisas, dan hukuman cambuk.
2. Pembinaan maupun memperbaiki perilaku manusia. Terhadap tujuan ini diberikan
sanksi pidana yang ringan, misalnya dalam bentuk pembuangan, penahanan,
pemasyarakatan, dan pemenjaraan. (Zainuddin Ali, 2012 : 11)
Menurut Al Faruk Asadulloh, tindak pidana atau kejahatan dalam hukum pidana Islam
telah dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu sebagai berikut. (Nurcahaya, 2013 : 135)
1. Tindak pidana Jinayat, meliputi pembunuhan disengaja, pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan dan melukai organ tubuh.
9
2. Tindak pidana Hudud, meliputi minum khamar, zina, homo seksual, menuduh orang
baik-baik melakukan zinah, mencuri yang mencapai batas dikenai had potong tangan,
merampok, memberontak, dan murtad.
3. Tindak pidana Ta’zir, meliputi semua tindak pidana yang tidak termasuk dalam
tindak pidana Hudud dan tindak pidana Jinayat.
2.2 Macam-Macam Tindak Pidana
2.2.1 Qisas
Menurut Ali Imran Sinaga (dalam Nurcahaya, 2013 : 136) bahwa Qisas secara
bahasa berarti hukuman-hukuman, balasan-balasan, atau pembalasan yang sepadan
terhadap suatu kelakuan yang diperbuat. Sementara itu, menurut definisi qisas adalah
hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dangan perbuatan yang dilakukan
seseorang kepada orang lain yang berbentuk pembunuhan, pelukaan, pengrusakan
anggota badan atau menghilangkan manfaat anggota badan lainnya berdasarkan
ketentuan yang diatur oleh syara’.
Qisas ada 2 macam:
a. Qisas jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qisas anggota badan, yakni hukum qisas atau tindak pidana melukai, merusakkan
anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
Syarat-syarat wajibnya hukum Qisas
Hukum Qisas tidak boleh dilaksanakan kecuali telah memenuhi beberapa syarat
berikut ini:
a. Pembunuh harus orang mukallaf (Aqil Baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan
orang tidur tidak terkena hukum qisas. Nabi Muhammad Saw bersabda:
10
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (Kedua)
dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (Ketiga) orang yang tidur
hingga jaga.” (Shahih: Shahihul Jami’is Shaghir no: 3512)
b. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh. Tidak wajib qisas bila bapak
membunuh anaknya dan wajib qisas bila anak membunuh bapaknya, karena ada
hadist Nabi Muhammad Saw:
“Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya.” (shahih: Irwa-
ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II: 428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
c. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang orang kafir.”
(Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141, Fathul Bari XII: 260 no:6915, Tirmidzi II:
432 no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23)
d. Qisas dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota tubuh dengan
anggota tubuh, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Orang yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali orang kafir, pezina
mukhsa, pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras dengan hadist Rasulullah:
“Tidaklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir
setelah beriman, berzina, dan membunuh tidak di jalan yang benar/aniaya.”(HR.
Turmudzi dan Nasaa’)
Semua anggota tubuh ada qisasnya. Hal ini selaras dengan firman Allah Swt:
فس أن ف�يها عليه�م وكتبنا فس� الن �الن ب
�العين� والعين �األنف� واألنف ب واألذن ب
11
�األذن� ن ب ن والس �الس والجروح ب
�ه� تصدق فمن ق�صاص له كفارة فهو ب
�ما يحكم لم ومن ه أنزل ب �ك الل فأولئ
�مون هم الظال
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, luka-luka (pun) ada Qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak
Qisasnya), maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.” (Q.S Al-Maidah: 45)
Ini adalah madzhab jumhur ulama, mereka dengan banyak dalil yang kesemuanya
tidak lepas dari pembicaraan. Riwayat-riwayat ini banyak meskipun masing-masing
darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian yang
lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan hujjah.
Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh karena telah
membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak ada hak menuntut qisas bagi hamba
sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka
semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik:
Dari Sa’id bin Musyyab bahwa Umar bin Khattab r.a pernah membunuh sekelompok
orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan 12
pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat
yang sepi lalu dibunuh) dan ia berkata: “Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol
membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201,
Muwaththa Malik hal. 628 no: 1584, asy-syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan BaihaqinVIII:
41).
Hukum Qisas bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
a. Pengakuan dari pelaku
Dari Anas r.a bahwa ada seseorang Yahudi menumbuk kepala seorang budak
perempuan diantara dua batu. Lalu budak itu ditanya, “Siapa yang berbuat begini
kepadamu? Si A atau si B? Sehingga disebutlah nama si Yahudi itu lalu dia
menundukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah orang yahudi itu (setelah
ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi Muhammad Saw menyuruh agar kepala
yahudi itu ditumbuk dengan batu juga. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XII: 198
no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i VIII: 22 dan Ibnu Majjah II: 889 no: 2666).
b. Kesaksian 2 orang laki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif r.a berkata: “Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari
kaum Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya
menemui Nabi Muhammad Saw lantas mereka menyampaikan kasus pembunuhan
tersebut kepada beliau. Kemudian beliau bersabda: “Apakah kalian memiliki dua
laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu? Jawab mereka,
“Ya Rasulullah, disana tak ada seorangpun dari kaum muslimin. Mereka adalah
kaum yahudi dan jarang mereka melakukan penganiayaan lebih kejam dari pada
ini.” Beliau bersabda “Kalau begitu, pilihlah lima puluh ribu diantara mereka,
kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun mereka menolak. Kemudian Nabi
Muhammad Saw membayar diyat kepada ahli waris dari kantongnya sendiri.”
(Shahih Lighairihi: Shaih Abu Daud no: 3793dan Aunul Ma’bud XII: 250 no:
4501)
Demi kesempurnaan Qisas, ada tiga Syarat yang mesti dipenuhi:13
a. Ahli waris si korban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau
gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
b. Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qisas karena itu manakala ada
sebagian diantara mereka yang memaafkan secara gratis, maka gugurlah hukum
qisas dari si pembunuh.
c. Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah.
Oleh karena itu, hukum qisas yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan
yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan
sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Prinsip pelaksanaan hukum qisas, si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia
dibunuh, karena hal ini serupa dengan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah SWT
menegaskan:
ن� م� م� ص م ا ن� ت� م�ا ت� ت� ل� م�ا ن� م�ا م� ل� ا ن� ل� م�� ن�ا� ت� م�ا م� ل� ا ت� ل� م�� ا�ت�وا �� م م�ا ل ت! ل" م# م$ ى% م' م) ل$ ا م�ا ن( ل* ن� �ن ن+ ل" م# م$ ت'�ا م) ل$ م�ا ل ت! ل" م# م$ ى% م' م) ل$ ام� "�ن (� م ت� ل� ا م, م� م+ #� م ا� م�- م.ا ت�وا م# ل$ م�ا م+ #� م ا�
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS Al-Baqarah: 194)
مو ت� م� ل ت� ل� م/ م0 ن�1 م� م� ن+ �ن ت) ل/ ن� ت$و م�ا ن( ل* ن� �ن ت/وا ن� م2ا م� ل ت) ل/ م� م$ا ل- ن3ا م� م� ن�ي �ن م� ا ل�# ص� ل" م6
14
“Dan Jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS An-Nahl: 126)
Disamping itu Rasulullah Saw pernah melempar dengan batu kepala orang yahudi
sebagaimana orang tersebut melempar dengan batu kepala seorang perempuan.
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di
kalangan ulama bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qisas, khususnya balas
bunuh adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qisas
dan hukum had dan semisalnya, karena Allah Swt menuntut segenap kaum mukminin
untuk melaksanakan Qisas, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk
berkumpul melaksanakan hukum qisas maka mereka mengangkat penguasa hakim
sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qisas dan lain-lainnya yang
termasuk hukum had. “(Al-Jami’ Li-ahkamil Qur’an II: 245-246).
Hukum Qisas Selain Balas Bunuh
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qisas berupa balas bunuh, maka
begitu pula berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada pembunuhan. Meskipun
hukum ini telah diwajibkan pada umat sebelum kita, namun ia merupakan syariat bagi
kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Adapun syarat-syarat qisas selain balas bunuh yaitu:
Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf.
Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat
keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas
bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan kepadanya.
Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang
muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh di qisas, demikian pula dengan orang
merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
15
Hukum Qisas yang menimpa anggota tubuh
Untuk melaksanakan hukum qisas yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga
syarat yang harus dipenuhi :
Memungkinkan pelaksanaan qisas ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan
penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua
sisi hidung yang lentur bukan tulangnya. Maka tidak ada qisas pada tubuh bagian dalam,
tidak pula pada tengah lengan, dan tidak pula pada tulang rahang.
Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak
boleh dibalas dengan anggota tubuh yang kiri dan sebaliknya, jari kelingking tidak boleh
dibalas dengan jari manis dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama,
dan tidak pula anggota tubuh yang asli dibalas dengan tambahan (melalui proses operasi)
karena tidak sama letak dan daya manfaatnya.
Kondisi anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan si teraniaya dalam hal kesehatan
dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan
anggota tubuh yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat dan sempurna dibalas
dengan tangan yang kurang jari-jarinya.
2.2.2 Diyat
Kata diyat (د�ية ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa
diyatan”( ود�ية وديا يد�ى ودى ). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وديا ) berarti sâla (
(mengalir =سال yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah
Azza wa Jalla :
� ك أنا نيإ ك نعليك فاخلع رب �ن �الواد� إ ب
طوى المقدس�16
“Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu.
Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” [Thâhâ/20: 12].
Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (د�ية), berarti membayar
harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana
penganiyaan (jinâyat). Bentuk asli kata diyat ( ) adalah widyat (د�ية yang dibuang (و�دية
huruf wau-nya. Secara terminologi, diyat adalah sebagai ganti rugi yang diberikan oleh
seorang pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena suatu tindak
pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang. Diyat merupakan
hukuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja dan tersalah (tidak sengaja).
Diyat juga diartikan sebagai sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu
tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat juga merupakan hukuman
pengganti qisas dalam tindak pidana pembunuhan atau pelukaan yang dilakukan secara
sengaja, apabila qisas digugurkan atau tidak bisa dilaksanakan. Diyat disyariatkan dalam
pembunuhan dan penganiayaan.
Yang menjadi dasar hukum disyariatkannya Diyat dalam Islam adalah firman
Allah SWT dalam Surah An-Nisa ’ (4) ayat 92,
ن7ا ن� ل9 ت� م( م) م� م�� م� ن.ا م: م6 م�>ا ن3ا ن7ا ن� ل9 ت� م( ت) �ل مي م.ا- ن� ن� ل9 ت� ن� م- م<ا م�ا م� م.ا- �>ا م ن3ا ن+ ن# ل? م.ا ى@ م� ن3ا Aص م� #� م Bم ت�� Aص مي Cن م� Aن م7 ن� ل9 ت�� Aن م/ م� Dم ت� ن�ي ل� م) م� ن.ا م: م6 Aن م/ م� Dم ت� ن�ي ل� م) م� ص� ن� ل9 ت� مو ت? م� ل ت! �� م و� ت' م$ ن� لو م� ن�� م- م<ا ن3ا- م� ت�وا م�' م� مي
Aص م� #� م Bم ت�� Aص مي ن' م� Fص م*ا ل�" ت� م7 ل" �م م� ل ت! م7 ل" �م ن� لو م� ن�� م- م<ا ن3ا- م� Aن م7 ن� ل9 ت��
17
ن� لي م� ل� Gم ت� م"ا ن م� ل' Hن مي ل �� م م�� م� Aن م7 ن� ل9 ت�� Aن م/ م� Dم ت� ن�ي ل� م� م� ن+ ن# ل? م.ا ى@ م� ن3ا ن�ا ن!" Iم ن�ا ن#" م$ ت+ #� م ا� م- م<ا م� ن+ #� م ا� م� ل� Aن �م لو م� ن� ل" م2 �ن م)ا م) ت�
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar Diyat yang diserahkan kepada keluarga terbunuhnya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) itu bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia
(si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Sekalipun ayat ini berbicara tentang pembunuhan tersalah, ulama fikih sepakat
menyatakan bahwa ketika qisas digugurkan atau tidak bisa dilaksanakan, diyat
diwajibkan sebagai hukum pengganti dalam tindak pidana pembunuhan sengaja.
Selanjutnya ulama fikih juga mengemukakan dasar hukum diyat dari sunah Rasulullah
SAW, yaitu hadis Amr bin Hisyam yang artinya, “Sesungguhnya Rasulullah SAW
memberitahukan kepada penduduk Yaman melalui surah yang kandungannya berkaitan
dengan faraid (pembagian warisan) dan diyat.”
Sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya siapa yang terbukti membunuh
seorang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan syara’ dikenakan hukuman qisas, kecuali
apabila ahli warisnya rela untuk menerima ganti rugi, maka untuk satu jiwa yang hilang
diyatnya 100 ekor unta...” (HR. Malik, an-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-
Hakim, dan Baihaqi).
18
Diyat Pembunuhan Sengaja
Pembunuh tersebut harus membayar diyat yang berat yaitu sejumlah 100 ekor unta, yaitu:
30 ekor unta betina berusia 3 tahun
30 ekor unta betina berusia 4 tahun
40 ekor unta betina yang sedang bunting (Pengantar Fiqh, 1997 : 316-318)
Diyat Pembunuhan Semi Sengaja dan Tidak Sengaja
Menurut pendapat “Qaul Jadid Imam Syafi’I”, pembayaran diyat untuk
pembunuhan semi sengaja yang telah dilakukan adalah dengan unta saja. Yaitu
membayar sebanyak 100 ekor unta yang berat. Diyat wajib dibayar selama tiga tahun. Tiap-tiap
akhir tahun dibayar 1/3 dari seluruhnya sehingga selesai selama tiga tahun. Diyat yang
berat tersebut ialah :
30 ekor unta betina berusia 3 tahun yang masuk tahun keempat.
30 ekor unta betina berusia 4 tahun yang masuk tahun kelima.
40 ekor unta yang sedang bunting.
Jika pembunuhan yang dilakukan tidak sengaja, maka pembayaran diyat
menggunakan 100 ekor unta yang lebih ringan, yaitu :
20 ekor unta betina berusia satu tahun yang masuk tahun kedua.
20 ekor unta betina berusia dua tahun yang masuk tahun ke tiga.
20 ekor unta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun ke empat.
20 ekor unta betina berusia empat tahun yang masuk tahun ke lima.
20 ekor unta jantan berusia dua tahun yang masuk tahun ketiga.
Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, pembayaran diyat boleh dilakukan
dengan emas, perak atau unta. Selain itu jika tidak ada unta ditempat tersebut, maka
dibolehkan membayar diyat dengan sejumlah uang yang nilainya sama dengan harga
pasaran unta. (Pengantar Fiqh, 1997 : 319-320)
19
Syarat Wajibnya Diyat
Ada beberapa syarat wajibnya diyat, namun syarat-syarat tersebut tidak semuanya
disepakati oleh ulama fikih. Syarat yang disepakati oleh ulama fikih adalah pembunuhan
tersebut dilakukan terhadap orang yang dilarang syara’ untuk dibunuh. Oleh sebab itu
menurut kesepakatan ulama fikih, apabila yang dibunuh adalah kafir harbi (orang kafir
yang memusuhi Islam) maka pembunuhnya tidak dikenakan diyat. Namun ulama fikih
berbeda pendapat jika yang dibunuh adalah pemberontak dalam negara Islam. Jumhur
ulama mengatakan apabila seorang mukmin membunuh pemberontak maka
pembunuhnya tidak dikenakan diyat. Sedangkan menurut ulama Mazhab Syafi'i
pembunuhnya wajib membayar diyat, karena darah mereka maksum (dipelihara syara’).
Berdasarkan syarat ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa orang-orang yang
tidak cakap bertindak hukum pun (seperti anak kecil, orang gila, dan orang dungu) wajib
dikenakan diyat apabila melakukan pembunuhan. Hal ini berdasarkan kepada keumuman
kandungan Surah An-Nisa’ (4) ayat 92 di atas. Sedangkan syarat-syarat yang tidak
disepakati adalah sebagai berikut, Ulama Mazhab Hanafi mensyaratkan wajibnya diyat
jika yang terbunuh itu berada di wilayah yang dikuasai Islam. Karenanya menurut
mereka, orang mukmin yang terbunuh di wilayah kafir harbi maka pembunuhnya tidak
dapat dituntut Diyat.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “... jika ia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin..” (QS, 4: 92). Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam ayat ini Allah
SWT hanya mewajibkan memerdekakan hamba sahaya bagi seseorang yang membunuh
seorang mukmin di wilayah kafir harbi. Akan tetapi jumhur ulama fikih tetap
mewajibkan Diyat bagi pembunuh tersebut, sekalipun pembunuhan itu dilakukan di
wilayah kafir harbi.
20
Diterapkannya Hukuman Diyat
Diyat merupakan sebagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas:
1. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh orang Mukmin,
secara tidak di sengaja atau mirip sengaja. Namun, apabila ahli waris korban
merelakan diyat tersebut, terhukum dan keluarganya tidak wajib membayar diyat
tersebut.
2. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh kafir dzimmi (orang
kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang
Islam).
3. Orang yang dijatuhi hukuman karena qisas (pembunuhan atau pelukaan dengan
sengaja),tetapi dimaafkan oleh ahli waris korban.
2.2.3 Tindak Pidana Jinayat
Abdurrahman Al Maliki (dalam Nurcahaya, 2013 : 138) mengemukakan bahwa
Jinayat adalah bentuk jamak (plural) dari Jinayah. Menurut bahasa, jinayat bermakna
penganiayaan terhadap badan, harta, atau jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinayat
merupakan pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya diwajibkan qisas dan diyat.
Jinayat juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan badan. Dengan
demikian, tindak penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan
badan disebut dengan jinayat.
Perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagi jinayah jika perbuatan-
perbuatan tersebut diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut dari syara’,
maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat.
Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab).
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak kecil atau orang gila tidak dapat dikategorikan
sebagai jinayah, karena tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif.
21
Unsur atau rukun jinayah adalah:
1. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman
hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan unsur formal (al
ruknu al-syar’i).
2. Adanya perbuatan yang membentuk jinayah, baik melakukan perbuatan yang dilarang
atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan unsur
material (al-ruknu al-madi).
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami
taklif. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-adabi).
Jinayat/Jarimah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang ditonjolkan, pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek
berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dan al-hadits,
atas dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu : Jarimah hudud, Jarimah
qisas/diyat, dan ta’zir.
1. Jinayat/Jarimah Hudud
Jinayat hudud yaitu hukum dengan aturan tertentu terhadap tindak kejahatan atau
maksiat, untuk mencegah tindakan serupa pada yang kedua kalinya.
Yang termasuk dalam jinayat hudud adalah:
a. Zina
Berzina termasuk dosa besar dan harus dihukum sesuai dengan ketentuan hukum
(had). Berzina hukumannya dicambuk sebanyak 100 kali bagi pelaku yang
belum menikah atau melakukannya baru pertama kali, dan dirajam (dicambuk
sampai mati) bagi pelaku yang sudah menikah atau pernah melakukan
hubungan suami istri sebelumnya.
b. Qodzaf
Qodzaf adalah menuduh orang baik-baik telah melakukan perzinaan. Penuduh
zina dikenai hukuman dicambuk 80 kali jika tuduhannya tidak terbukti.
22
c. Minum khamar
Khamar adalah minuman yang mengandung alkohol dan atau yang dapat
memabukkan. Pemabuk dikenai hukuman cambuk sebanyak 40 sampai 80 kali.
d. Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain dengan jalan diam-diam, diambil
dari tempat penyimpanannya. Pencuri hukumannya adalah dipotong tangannya
jika telah mencapai batas minimal.
e. Merampok
Perbedaan asasi antara pencurian dan perampokan/pembegalan terletak pada cara
pengambilan harta. Bila pencurian dilakukan dengan diam-diam, sedangkan
perampokan dengan terang-terangan atau disertai kekerasan.
f. Pemberontakan
Ulama’ Syafi’yyah berkata :’’Pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi
imam , dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak
kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi dan pemimpin”.
g. Murtad
Murtad adalah keluar dari agama islam atau pindah ke agama lain atau menjadi
tidak beragama. Hukuman bagi orang yang murtad adalah hukuman mati jika ia
tidak bertaubat. (Tim Dosen SPAI Universitas Pendidikan Indonesia, “Hukum
Jinayat Dalam Islam”)
2. Jinayat/jarimah Qishas
a. Pembunuhan sengaja
Yaitu dilakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya
dengan perkakas yang biasa dapat digunakan untuk membunuh orang.
) جار�ية أن رضياللهعنه مال�ك بن� وعنأنس�
: , ل� م� م?ا ت�و م.ا Bم م� ن� لي م� Hم Iم م� ل" �م Jم� Dت ل' م� م�ا Kت ل.ا Dم م' Lم ت�23
. ? �يا ن Cن ت�و مي ت��ا م< Mم م�)@ Iم ص- مOا ت� ص- مOا ت� مPا م? Qن �ن م, م7 م0
, , , Rت تKو Dم م� م� م.ا م� �� م م� م.ا م� Sت� Cن ت�و م" ل� ما Pم ن6 ت.ا م� م�ا Kن ل.ا م� �ن ل� م.ا م� ل� م.ا م�
م� ل" �م ت+ Kت ل.ا Dم Jم� م� تي ل- م.ا #K� +"#$ ا�#+ @#0 ن+ م�# ما�
ن�. ) لي م� Hم Iم , ن ن# Bل ت� ن� Tت Uل #� م م�ا� ن+ ل" م# م$ Vص Uم (� م ت�“Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis ditemukan
kepalanya sudah retak di antara dua batu besar, lalu mereka bertanya kepadanya:
Siapakah yang berbuat ini padamu? Si Fulan? atau Si Fulan? Hingga mereka
menyebut nama seorang Yahudi, gadis itu menganggukkan kepalanya. Lalu
ditangkaplah orang Yahudi tersebut dan ia mengaku. Maka Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meretakkan kepalanya di antara dua batu
besar itu.”
b. Pembunuhan semi sengaja
Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang tidak direncanakan, yang terjadi
karena unsur kekeliruan dan ketidaksengajaan.
: Rت تKو Dم Rم م�ا Rم م�ا م�ا ت� ل7 م$ ت+ #� م ما� Wم Xن Dم Yن �/ا م م$ ن� �ل نا ل� م$ م� م
ل� ( م.ا �"ا م ل� ن$ Wن� م( ن) ت� ل� م� #K� +"#$ ا�#+ @#0 ن+ م�# ما�
, , , , ن3ا م: Zم ل� ما ت( �ل م$ ن+ ل" م# م2 م� ن ا م$ ل� م.ا ن] لو Kم ل� م.ا ن� Hم م� �ن �"ا م ل� Dن
, ن+ ل" م# م2 م� ت+ م\ �Cت Rم مIا ل� م� م� Cص مو م� مو ت� م� ن'ا ل� م$ م( ن) ت� ل� ن� م�24
( ن+ #� م ما� Aت م7 ل2 , م� , ت� �ل م�ا Wت� ن[ مBا 7� م م�ا� Cم ت� مCا ت�و م.ا ت+ Lم م� ل6 م.ا
,Sو نو م� Cن م7ا Kل ن3ا �ن ل+ Lم م�ا“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa terbunuh dengan tidak diketahui pembunuhnya, atau
terkena lemparan batu, atau kena cambuk, atau kena tongkat, maka dendanya ialah
denda bunuh karena kekeliruan. Barangsiapa dibunuh dengan sengaja, maka
dendanya hukum mati. Barangsiapa menghindar dari berlakunya hukuman itu, maka
laknat Allah padanya." Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad
kuat.
c. Pembunuhan karena kesalahan
Pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang tidak direncanakan yang
terjadi seolah-olah disengaja, maksudnya, seseorang bermaksud memukul, atau
melukai dengan suatu alat yang bukan alat-alat senjata yang digunakan untuk
membunuh.
3. Jinayat/Jarimah dengan hukuman ta’zir
Ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh Hakim atau
perbuatan dosa yang memang hukumannya belum ditentukan oleh nash al-qur’an
maupun hadist. (Tim Dosen SPAI Universitas Pendidikan Indonesia, “Hukum Jinayat
Dalam Islam”)
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi tiga bagian :
a. Jarimah hudud atau qisas/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun
sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.
25
b. Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak ditentukan
sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan
menghina agama.
c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemashlahatan umum.
Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan pertimbangan penentuan
kemaslahatan umum.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
26
Jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lainnya. Sedangkan Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Akan tetapi kebanyakan fuqaha’
menggunakan istilah jinayah hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa seperti, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha’ yang
membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud
dan qisas saja.
Macam-macam tindak pidana ada tiga, yaitu Qisas, Diyat, dan Tindak Pidana Jinayat.
Qisas adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dangan perbuatan yang
dilakukan seseorang kepada orang lain yang berbentuk pembunuhan, pelukaan, pengrusakan
anggota badan atau menghilangkan manfaat anggota badan lainnya berdasarkan ketentuan yang
diatur oleh syara’. Terdapat 2 macam Qisas, yaitu Qisas jiwa dan Qisas anggota badan.
Diyat adalah sebagai ganti rugi yang diberikan oleh seorang pelaku tindak pidana kepada
korban atau ahli warisnya karena suatu tindak pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota
badan seseorang. Diyat juga merupakan hukuman pengganti qisas dalam tindak pidana
pembunuhan atau pelukaan yang dilakukan secara sengaja, apabila qisas digugurkan atau tidak
bisa dilaksanakan. Tindak pidana jinayat merupakan pelanggaran terhadap badan yang di
dalamnya diwajibkan Qisas dan Diyat.
3.2 Saran
Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan
perbuatan yang melanggar syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan
masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu. Maksud pokok hukuman
27
adalah memelihara dan menciptakan kemashlahatan manusia yang menjaga mereka dari hal
rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Oleh karena itu, dalam menjatuhkan hukuman tindak pidana kepada seseorang yang
melanggar hukum, harus dilakukan berdasarkan hukum Islam, ada bukti yang kuat dan benar,
bertujuan untuk kemashlahatan, bukan termasuk unsur balas dendam, dan dilakukan dengan hati-
hati dalam pelaksanaan pemidanaan.
DAFTAR PUSTAKA
28
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Ali, Zainuddin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika
Nurcahaya. 2013. Pendidikan Agama Islam. Medan : USU press
Saputra, Angga Nindia. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan
Yang Mengakibatkan Kematian. Yogyakarta
Suryana, Toto. 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara
Muda, Abdul Latif, dan Ali, Rosmawati. 1997. Pengantar Fiqh. Kuala Lumpur : Pustaka Salam Kuala Lumpur
http://almanhaj.or.id/content/3122/slash/0/hukum-diyat/
http://blitarq-doel.blogspot.com/2012/09/hukum-pidana-dalam-islam-jinayat.html
29