Download - Guide Book Ekskursi Fix2
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011 1
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
EKSKUSI REGIONAL JAWA BARAT 2011 Program Studi Pasca Sarjana 2009/2010
Studi Formasi-Formasi Cekungan Bogor dan Tinggian Bayah Daerah Sukabumi, Pelabuhan Ratu dan Bogor
2011
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung
1/1/2011
GUIDE BOOK
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung ii
Daftar Isi
Pendahuluan II
Daftar Peserta Ekskursi dan Dosen III
Itinerary IV
1. Tatanan Geologi Jawa Barat 1
1.1 Kerangka Tektonik 1
1.2 Stratigrafi Regional 3
1.3 Evolusi Cekungan Jawa Barat 8
Outcrops Walat 1 14
Outcrops Walat 2 16
Outcrops Fm.Batuasih 18
Outcrops Cimandiri 19
Outcrops Bayah (Karang Taraje) 20
Outcrops Fm.Citarate 22
Outcrops Fm.Cimandiri (Nyalindung Molusca) 23
Outcrops Cipamingkis 24
Outcrops Fm.Parigi 28
Referensi 29
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung iii
Pendahuluan
Ekskursi Regional adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa untuk program pascasarjana di
Jurusan Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Ekskursi Regional untuk angkatan 2009/2010 akan dilaksanakan di Jawa Barat dengan
menekankan pada endapan-endapan sedimen pada Cekungan Bogor dan Tinggian Bayah
yang akan diwakili oleh Formasi Gunung Walat, Formasi Bayah, Formasi Batuasih, Formasi
Rajamandala, Formasi Cimandiri, Formasi Cibulakan dan Formasi Parigi.
Dalam ekskursi regional ini akan mempelajari berbagai aspek baik sedimentologi, stratigrafi,
struktur geologi juga lingkungan pengendapan dari Formasi-Formasi yang terbentuk di Jawa
Barat terutama Cekungan Bogor dan Tinggian Bayah untuk memberikan gambaran tatanan
geologi dan evolusi Cekungan Jawa Barat secara umum.
Perjalanan direncanakan akan berlangsung selama tiga hari berangkat dari Bandung dengan
menggunakan minibus karena keseluruhan singkapan sangat mudah untuk diakses, yang akan
mencakup wilayah Sukabumi (Cibadak)-Warung Kiara pada hari pertama, wilayah Bayah
pada hari kedua, dan Bogor (Jonggol)-Karawang (Pangkalan) pada hari ketiga.
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung iv
Daftar Peserta Ekskursi dan Dosen
Peserta : Nama NIM
1. Albert Septario Tempessy 22009001
2. Dwi Hendro Heru Nugroho 22009002
3. Heri Syaeful 22009003
4. Luli Gustiantini 22009005
5. Imas Nurzanah 22009006
6. Konethasine Bounathone 22009007
7. Yuniarti Yuskar 22009008
8. Yunara Dasa Triana 22009009
9. Nelly Susanna 22009010
10. Azarico Putra 22009011
11. Cahyaningratriprima Riyandhani 22009012
12. G.M. Lucki Junursyah 22009015
13. Bambang Sugiarto 22009014
14. Aulia Pradana 22009017
15. Toriqa Indriaty 22009018
16. Erry Hafriandy 22009019
17. Arie Awaluddin Achmad 22009021
18. Rahmat Hidayat 22009022
19. Indra Nurdiana 22009023
20. Felli Arryandi 22009025
21. Elite Yasyin Sulistyawati 22009026
22. Rizky Nur Hakim 22009301
23. Rizki Pratama 22009302
24. Tyas Indriarto 22009303
25. Mika Rizki Puspaningrum 22009304
26. M Budisatya Wiranatanagara 22009305
27. Mutiara Gani 22009306
28. Nurul Burhan 22009307
29. Yunia Witasari 22009308
Dosen : 1. Dardji Noeradi, Dr. Ir.
2. Agus H. Harsolumakso, Dr. Ir.
3. Chalid Idham Abdullah, Dr. Ir.
4. Dr. Ir. Yan Rizal, Dipl. Geol.
5. Khoiril Anwar M., Dr. Ir. M
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung v
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung vi
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung vii
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung viii
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung ix
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011 1
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
1. Tatanan Geologi Jawa Barat
1.1 Kerangka Tektonik Berdasarkan hasil studi pola struktur di Pulau Jawa, Pulonggono dan Martodjojo (1994)
menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik
di Pulau Jawa. Ada tiga pola struktur utama yang berkembang di Pulau Jawa. Pola Meratus
(baratdaya-timurlaut) dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-52 juta tahun yang lalu
diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah
Paparan Sunda. Arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa Timur pada
rentang waktu Eosen-Oligosen Akhir. Di Jawa Barat, Pola Meratus diwakili oleh Sesar
Cimandiri yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur. Sesar ini juga
berkembang di bagian selatan Jawa.
Gambar 1. Elemen Tektonik Lempeng di Indonesia Saat ini
Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini disebabkan
oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan Benua India dan Eurasia yang
menimbulkan rollback berumur Eosen-Oligosen Akhir. Pola ini umumnya terdapat di bagian
barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat.
Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi
yang menghasilkan Pola Jawa (barat-timur). Di Jawa Tengah hampir semua sesar di jalur
Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini
menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Kala Miosen Awal-
Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan
busur magmatik, berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik sehingga
terbentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan (gambar2).
2
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 2. Penampang Struktur melalui Pulau Jawa Saat Ini (baratdaya-timurlaut)
Jawa Barat dapat dibagi menjadi 4 bagian berdasarkan elemen struktural utama (gambar 3) :
Gambar 3. Pembagian Wilayah Jawa Barat Berdasarkan Elemen Struktural Utama
Cekungan Barat Laut Jawa; sebuah wilayah platform yang relatif, sebagai bagian dari Benua
Sundaland. Cekungan ini meliputi cekungan rift berarah utara-selatan yang diisi oleh klastik
non-marine Oligocene dan dilapisi oleh klastik Miosen dan endapan muda tipe shallow shelf.
3
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Tidak seperti wilayah selatan, tidak ada struktur kompresi di wilayah ini. Wilayah ini juga
diakui sebagai penghasil minyak dan gas yang produktif.
Cekungan Bogor dan Rangkasbitung Subbasin; wilayah ini dapat disebut sebagai zona thrust-
fold belt dari Jawa. Sedimen berumur Miosen dan yang lebih muda menebal ke arah selatan
dan terdiri dari fasies laut yang lebih dalam. Antiklin berumur muda dengan arah barat-timur
terbentuk selama episode pergerakan ke utara akibat gaya kompresi.
Modern Vulkanik Arc; vulkanik andesitik aktif berhubungan dengan subduksi Lempeng
Indian Oceanic di bawah Benua Sundaland (yaitu Gunungapi Gede Pangrango, Salak,
Papandayan)
Wilayah Selatan; ini adalah zona pengangkatan regional yang mempengaruhi sebagian besar
sedimen Eosen-Miosen. Karakter lainnya yaitu merupakan struktur yang kompleks,
kecenderungan sesar berarah utara-selatan, antiklin dan sesar naik berarah barat-timur, dan
kemungkinan adanya tektonik wrench. Wilayah ini sekarang berada di bagian fore-arc dan
kemungkinan bagian ujung dari batas Benua Sundaland, wilayah ini mungkin merupakan
passive margin pada kala Eosen
1.2 Stratigrafi Regional Sketsa peta geologi untuk bagian Jawa bagian baratdaya dapat dilihat pada gambar 4.
Sedangkan untuk pembagian formasi dan stratigrafi di Jawa bagian baratdaya dapat dilihat
pada gambar 5.
Gambar 4. Peta Geologi Jawa Bagian Baratdaya, diambil dari GRDC
4
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 5. Stratigrafi Formasi Jawa Bagian Barat, Udin Adinegoro (1976)
Beberapa Formasi yang akan ditemukan pada ekskursi regional ini diantaranya dari tua ke
muda menurut Martodjojo (1984), yaitu :
Formasi Bayah
Penyebaran singkapan Fm. Bayah di Jawa Barat pada umumnya tidak menerus. Singkapan
terluas terdapat di daerah Bayah, Memanjang hampir sekitar 25 km. Singkapan lain dari Fm.
Bayah terdapat di sekitar selatan kota Sukabumi. Yang teluas adalah di G. Walat dan Pasir
(Bukit) Bongkok, singkapan di kedua lokasi ini sangat baik. Ciri litologi Fm. Bayah adalah
batupasir umumnya konglomeratan atau konglomerat pasiran, pada bagian bawah sering
menunjukkan lapisan bersusun, sedangkan diatasnya terdapat lapisan silang siur, keatas
diikuti oleh batupasir kotor dan terakhir terdapat lempung-lempung yang umumnya
mengandung batubara. Pasir pada susunan demikian mencapai ketebalan 4 sampai 7 m.
batubara umumnya 10 cm sampai yang tertebal adalah 100 cm.
Kedudukan stratigrafi Fm. Bayah terhadap Fm. Ciletuh dibawahnya dapat diterangkan
sebagai kedudukan selaras, sebagai akibat proses regresi pada Kala Eo-Oligosen. Kedudukan
terhadap Fm. Batuasih yang berada diatasnya tidak jelas, karena kebanyakan berupa kontak
sesar. Kontak antara Fm. Bayah dan Fm. Batuasih di G. Walat, desa Batuasih, menunjukkan
kemiringan yang sama, tetapi dengan ciri litologi yang tegas, dimana Formasi Batuasih
5
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
endapan marin. Batas sesar di daerah ini juga menyulitkan penafsiran ciri batas sesungguhnya
dari Formasi Bayah ini.
Berdasar ciri litologi, terutama struktur sedimen, komposisi butir, serta banyaknya sisipan
batubara, maka lingkungan pengendapan Formasi Bayah adalah darat. Bagian bawah
menunjukkan pengendapannya fluviatil dengan tipe sungai teranyam (braided system) dan
berakhir sampai meander, atau mungkin delta.
Formasi Batuasih
Formasi Batuasih yang menutupi Formasi Bayah di G. Walat kebanyakan terdiri dari
lempung yang keras, padat sering napalan. Beberapa sisipan tipis lanau pasiran juga
ditemukan dan kadang-kadang juga dijumpai pasir. Lanau pasiran ini umumnya terdiri dari
kwarsa dan rijang, tidak mengandung fragmen volkanik. Pirit umum dijumpai. Salah satu
singkapan yang baik di S. Cibatu. Bagian atas, terutama lebih bersifat napalan banyak
mengandung fosil foraminifera dan gastropoda disamping fragmen echinoid dan bryozoa.
Warna umumnya abu-abu kehitaman, getas dan menyerpih.
Ciri batas bawah dari Formasi Batuasih dengan Formasi Bayah di G. Walat, ditandai oleh
berkurangnya atau hilangnya pasir dan konglomerat pada Formasi Bayah. Lempung pada
Formasi Batuasih bagian bawah sulit dibedakan dengan beberapa sisipan lempung yang tebal
pada Formasi Bayah di daerah G. Walat. Batas di daerah tipe tidak jelas, karena terusakkan
oleh sesar. Dari gejala tersebut Baumann (1972) menganggap bahwa Formasi Batuasih
merupakan fasies lautan dari Formasi Bayah Atas. Oleh karena itu Baumann (1972)
menganggap kedudukan antara Formasi Rajamandala dan Formasi Batuasih adalah tidak
selaras, walaupun antara keduanya tidak terdapat selang waktu sedimentasi yang berarti.
Formasi Batuasih berumur Oligosen Atas, dan Formasi Rajamandala ditutupi oleh Formasi
Citarum yang berumur Oligosen Akhir (terakhir).
Warna Formasi Batuasih umumnya hitam, abu-abu, sering mengandung mineral pirit. Fosil di
bagian bawah umumnya jarang. Kearah atas fosil makin mengarah ke fosil laut. Di bagian
tengah banyak mengandung pelecypoda dan gastropoda, sedangkan pada bagian atas sering
dijumpai napal yang mengandung foraminifera. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
lingkungan pengendapan Formasi Batuasih adalah laut transisi dengan kondisi reduksi pada
bagian bawahnya.
Formasi Rajamandala
Penyebaran Formasi Rajamandala umumnya terbatas pada jalur Padalarang - Sukabumi (G.
Walat). Batuan yang semacam (gamping) dan seumur juga terdapat di daerah Bayah, disini
dinamakan sebagai Formasi Citarate. Formasi Rajamandala, umumnya merupakan gamping
berlapis, dan di beberapa tempat berkembang sebagai terumbu (Ps. Pabeasan, Tjahyo Hadi,
1972). Formasi Rajamandala dicirikan oleh batugamping. Macam batugamping pembentuk
formasi ini, ternyata secara lateral banyak berubah. Singkapan batugamping sebagai
hipostratotipe di Ps. Pabeasan kebanyakan terdiri dari batugamping fragmental, berselingan
dengan batugamping masif, kadang-kadang bersifat lithografis (Tjahyo Hadi, 1972).
Ciri batas antara Formasi Rajamandala dengan Formasi Batuasih yang berada dibawahnya,
umumnya tertutup oleh talus hasil rombakan dari batugamping itu sendiri. Di beberapa
tempat seperti di Sungai Cilubang di Batuasih, didapatkan kontak yang selaras antara
batulempung hitam mengandung mollusca dengan batugamping berlapis tebal, kaya akan
fragmen batupasir kwarsa. Menurut Baumann (1972) ternyata hubungan tersebut adalah
6
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
hubungan sesar sehingga tidak dapat dipakai sebagai penentu ciri kontak. Hubungan antara
Formasi Rajamandala dengan Formasi Citarum yang berada diatasnya adalah selaras.
Dari peneliti terdahulu, Harting (1929), Kupper (1941) berkesimpulan bahwa lingkungan
pengendapan Formasi Rajamandala adalah laut dangkal. Sudradjat (1973), memberikan
gambaran lebih mendalam mengenai lingkungan pengendapannya, dimana ditentukan bahwa
batugamping Sanghiangtikoro lebih bersifat inti terumbu (Reef Core), G. Manik adalah talus
(Reef Talus Slope), dan di Ps. Cikamuning sebagai transisi terumbu depan (Fore Reef
Transition Zone).
Formasi Cimandiri
Nama Cimandiri dipakai sebagai pengganti Nyalindung Beds, mengingat derajat nama yang
pernah dipakai, Cimandiri lebih tinggi daripada Nyalindung. penyebaran satuan yang berciri
sama sebagaimana dinamakan Duyfjes sebagai Nyalindung kebanyakan terdapat sepanjang S.
Cimandiri.
Formasi ini tersingkap baik di S.Citalahab. Satuan terbawah di S.Citalahab terdiri dari lanau,
berwarna abu-abu, kehitaman sampai kehijauan, “conchoidal”, agak padat dan berlapis tebal.
Beberapa sisipan tipis dari lanau, atau pasir mengandung glauconit dan karbon, struktur
sedimen melensa (lenticular) dan flaser banyak terlihat. Sisipan gamping (20 - 40 cm) sering
terdapat terutama di bagian bawah. Pada batugamping lempungan sampai pasiran banyak
mengandung mollusca laut, serta pecahan koral. Konkresi batulempung pasiran umum
terdapat pada bagian ini, konkresi ini umumnya gampingan, tetapi kadang-kadang limonitan.
Bagian tengah dari Formasi Cimandiri terdiri dari pasir sampai pasir lempungan dan pasir
gampingan. Batupasir pada bagian ini umumnya gampingan, berwarna abu-abu muda hingga
kecoklatan pada yang lapuk, banyak mengandung mollusca marin, pecahan koral. Sisipan
lempung atau lanau pada satuan ini mengandung serpihan batubara, kristal-kristal belerang
dan butiran batuambar. Bagian teratas terdiri dari konglomerat, abu-abu. Komponen
umumnya adalah batu andesit, sering mengandung glauconit pada pasirnya. Beberapa horison
lapisan silang siur terdapat pada bagian atas. Bagian konglomerat ini diendapkan sebagai
“point bar”, yang mungkin terjadi di tepi pantai.
Di daerah Pegunungan Selatan Jawa Barat, khususnya di daerah Nyalindung (S. Citalahab, S.
Cigadog) kedudukan satuan ini tidak selaras diatas Formasi Jampang yang berumur lebih tua
(N8). Di daerah lain yakni di S. Cijurei dan sungai-sungai lainnya di Cianjur Selatan. Satuan
ini mempunyai kemiringan 30° - 40°, sama dengan kemiringan Formasi Saguling yang
membawahinya. Oleh karena itu kedudukannya diperkirakan selaras mengingat pula umur
kedua satuan ini juga berurutan (Saguling N9-N13 dan Formasi Cimandiri N12-N14).
Formasi Cimandiri, bercirikan batuan yang terdiri dari lempung dengan sisipan konglomerat
dan pasir. Konglomerat dan pasir menunjukkan ciri batas bawah tegas dan berangsur keatas
ke lempung yang sering mengandung lapisan lignit. Beberapa tempat juga ditemukan sisipan
gamping, kaya akan foraminifera. Dari ciri ini dapat disimpulkan bahwa lingkungan
pengendapan Formasi Nyalindung adalah laut transisi.
Formasi Cibulakan
Formasi Cibulakan adalah khas endapan epikontinen Sunda. Satuan ini mulai dari batas
Cekungan Bogor di selatan meluas ke utara ke daerah lepas pantai. Ciri Formasi Cibulakan di
bawah permukaan, bagian bawah dimulai oleh serpih karbonan berwarna coklat keabu-abuan
7
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
dengan sisipan lapisan batubara. Pasir umumnya jarang, kadang-kadang ditemukan lapisan
konglomerat. Makin keatas kandungan karbonat makin banyak, napalnya berwarna abu-abu
banyak mengandung glauconit. Sisipan batugamping makin banyak. Kandungan foraminifera
plangton makin kaya. Formasi Cibulakan bagian tengah umumnya terdiri dari gamping,
berwarna putih kotor, umumnya padat, tetapi kadang-kadang kapuran. Sisipan serpih dan
pasir tipis yang mengandung glauconit juga dijumpai. Formasi Cibulakan bagian atas,
umumnya terdiri dari pasir gampingan berselang-seling dengan napal di bagian bawah dan
berubah keatas menjadi lempung, lanau yang banyak mengandung fragmen mollusca. Bagian
teratas dari Formasi Cibulakan terdiri napal berselingan dengan batugamping kadang-kadang
dolomitan.
Batas bawah Formasi Cibulakan merupakan kontak tidak selaras dengan Formasi Jatibarang
yang berciri endapan gunungapi, atau dengan batuan beku maupun metamorf. Ciri batas atas,
di lapangan sangat mudah ditandai, yakni dengan munculnya batugamping masif, yang
merupakan bagian terbawah dari Formasi Parigi yang menutupinya.
Formasi Cibulakan terbawah terendapkan pada lingkungan transisi, mungkin pada
lingkungan lagoon maupun dataran pasang surut (tidal flat). Bagian tengah dan atas
merupakan endapan neritik. Hal ini juga dibuktikan dari kandungan fosil foram bentos,
dimana Nonion hampir 70%, Robulus dan Bulimina sekitar 10%, Glandulina kira-kira 5%
menunjukkan lingkungan dengan kedalaman maksimal 200 m.
Formasi Parigi
Formasi Parigi, merupakan ciri khas endapan paparan pada Cekungan Belakang Busur
Gunungapi. Kearah Cekungan Bogor satuan ini tidak berkembang. Ciri umum batuan ini
adalah batugamping, setempat membentuk terumbu. Umumnya gamping kaya akan fosil,
berwarna abu-abu muda sampai putih kekuningan, jarang yang berwarna coklat muda.
Beberapa tempat sangat dolomitan, sedangkan di tempat lain dapat berubah menjadi pasiran
sampai napalan. Bagian bawah di daerah Parigi, berciri “boundstone”, kaya akan koral,
ganggang, foraminifera. Bagian atas gamping agak pasiran, berwarna putih abu-abu,
mengandung kwarsa, bioklastik, fragmen saling bersentuhan membentuk “packstone”
(Bhanuindra, 1974).
Ciri batas Formasi Parigi mudah dikenal, karena cirinya sangat berbeda dengan satuan diatas
dan dibawahnya. Dengan Formasi Cibulakan yang berada dibawahnya, agak lebih sulit
dikenal. Pada beberapa tempat, seperti pada Perbukitan Jatiluhur, antara Formasi Cibulakan
Atas dan Formasi Parigi terdapat hubungan yang menjari. Ciri batas atas dengan Formasi
Subang mudah dikenal, dengan tanda berubahnya gamping menjadi lempung.
Lingkungan pengendapan Formasi Parigi adalah berupa laut dangkal, dengan temperatur
hangat (warm) dan kegaraman normal. Formasi Parigi merupakan ciri khas endapan
epikontinen pada Cekungan Belakang Busur Volkanik. Dengan demikian ciri batas
penyebarannya kearah Cekungan Bogor dapat dianggap batas berakhirnya epikontinen dan
bermulanya endapan cekungan dalam pada Cekungan Belakang Busur Volkanik, yakni
Cekungan Bogor.
8
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 6. Diagram Stratigrafi Formasi Jawa Barat (Cekungan Bogor)
1.3 Evolusi Cekungan di Jawa Barat Kala Kapur (?) - Awal Eosen
Batuan tertua di Cekungan Bogor dan juga di Jawa Barat berumur Eosen Awal didapatkan di
Teluk Ciletuh, Pelabuhan Ratu. Sebelum kala ini di Ciletuh diendapkan Kompleks Melange
Ciletuh, yang berupa batuan “campur aduk” (melange) dengan struktur rancu. Endapan di
atas melange terdiri dari Formasi Ciletuh dan Formasi Bayah. Formasi Ciletuh berumur
Eosen - Oligosen Awal. Hubungan Formasi Ciletuh dan Bayah terhadap endapan melange
sudah dibahas oleh Soejono dkk. (1978). Mereka menafsirkan, keseluruhan batuan ini
menunjukkan ciri khas kumpulan batuan prisma akresi (accretionary prism). Oleh karena itu
dapat ditafsirkan bahwa daerah Ciletuh pada Kala Eosen Awal, adalah merupakan suatu
bagian busur luar dari sistem busur kepulauan. Letak busur magmatik pada Kala Eosen Awal,
diperkirakan berada di lepas pantai utara Jawa. Bukti adanya busur magmatik pada kala itu,
ditentukan berdasarkan adanya batuan granit yang berumur sama dengan batuan di Ciletuh.
Kala Eosen Tengah
Pada Kala Eosen Tengah, di daerah Jawa Barat, pola struktur maupun tektoniknya masih
mengikuti pola sebelumnya. Disini mulai terlihat aktifnya gerak turun sepanjang Sesar
Cimandiri yang berupa sesar di belakang busur luar. Pada kala ini pula Cekungan Bogor
mulai terbentuk. Pengendapan di Proto Cekungan Bogor ini umumnya berupa endapan darat
sampai laut transisi, dimana diendapkan Formasi Bayah. Arah pengendapan dapat dilihat dari
9
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
arah lapisan silang siur pada formasi ini, yakni relatif dari arah utara. Kemungkinan besar
suatu sistem delta berkembang di daerah ini. Formasi Bayah umumnya terdiri dari kwarsa,
dan tidak didapatkan fragmen batuan asal gunungapi. Formasi Bayah ditafsirkan bahwa
batuan asalnya adalah berupa batuan granit dan sedikit batuan metamorf. Kesirnpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa pada Kala Eosen Tengah tidak ada aktifitas gunungapi di utara
Jawa Barat ini. Formasi Jatibarang kemungkinan sebagian besar telah tertutup oleh endapan
lain. Kondisi tektonik pada kala ini adalah stabil, sehingga memungkinkan pengayakan yang
cukup lama pada sedimen yang diendapkan. Proses sedimentasi di Cekungan Bogor pada
Eosen Tengah sifatnya adalah regresi, dimana pengendapan lebih cepat dari penurunan. Hal
ini terjadi terutama di daerah selatan. Di daerah jalur magmatik, di lepas pantai Laut Jawa,
pengangkatan tetap berlangsung yang menyingkapkan batuan granit di daerah ini.
Kala Oligo-Miosen (N3-N4) Pada akhir Kala Oligosen, di Jawa Barat dan juga di lepas pantai terjadi peristiwa yang
penting. Pengangkatan yang aktif di utara mulai berkurang dan kemudian diikuti oleh
penurunan. Penurunan ini telah membentuk Cekungan Bogor berkembang lebih nyata.
Daerah yang mula-mula digenangi laut adalah daerah paling selatan dari Cekungan Depan
Busur Magmatik di sepanjang Sesar Cimandiri. Daerah ini sekarang terletak di sekitar
Sukabumi menerus ke Purwakarta, mengikuti pola sesar yang ada. Di daerah ini diendapkan
Formasi Cijengkol (di Bayah) dan Formasi Batuasih yang bersifat laut transisi. Sementara itu
di daerah Ciletuh dan Jampang, masih tetap merupakan daratan. Penurunan di utara Sesar
Cimandiri menerus, sehingga pada akhir Oligosen lingkungan di daerah ini sudah menjadi
lautan. Kondisi lautan ini telah memungkinkan pertumbuhan terumbu pada pinggir selatan
cekungan, dari mulai Sukabumi - Rajamandala dan G. Kromong. Sementara itu di utara dari
jajaran terumbu ini lautan makin dalam. Ke arah utara, transgresi dimulai dari selatan dan
timur.
Pada kala ini pola paleogeografi di Jawa Barat adalah sama dengan Kala Oligosen Awal,
hanya kondisi lautan dan daratan lebih nyata. Pada Oligo-Miosen ini daerah lautan terletak di
utara Sesar Cimandiri dengan bagian terdalam diperkirakan di sekitar Purwakarta. Sebelah
selatan Sesar Cimandiri pada akhir Oligo-Miosen diperkirakan masih pada keadaan darat. Hal
ini dibuktikan dengan adanya ketidak selarasan antara Oligosen dan Miosen di lepas pantai
Cilacap (Bolliger dan Ruiter, 1975). Morfologi Cekungan di Jawa Barat pada akhir Kala
Oligosen atau Oligo-Miosen di lepas pantai utara Jawa berupa daratan, makin ke selatan
berubah ke laut dangkal, seterusnya ke laut dalam di poros Cekungan Bogor. Di sepanjang
Sesar Cimandiri lingkungannya adalah laut dangkal. Arah poros cekungan tetap baratdaya-
timurlaut, seperti pada kala sebelumnya. Tetapi sebelum Miosen Awal, daerah Jampang
secara perlahan-lahan turun dan akhirnya keseluruhan daerah selatan Jawa Barat berada di
bawah muka laut sebelum Miosen Awal.
Kala Miosen Awal (N5–N8)
Pada Kala Awal Miosen, di Jawa Barat terjadi suatu peristiwa yang penting. Pada kala ini
mulai terlihat bukti adanya endapan asal gunungapi yang berasal dari selatan. Batuan asal
gunungapi ini bersifat basalt sampai andesit dengan komposisi kimia adalah calc-alkali
(Whitford, 1975). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pada awal Miosen ini hasil
aktifitas gunungapi di selatan Jawa telah mempengaruhi daerah Jawa Barat. Deretan
gunungapi ini diperkirakan sebagian besar berupa deretan gunungapi bawah muka laut.
Deretan gunungapi inilah yang menjadi batuan asal dari “old andesite” atau Formasi Jampang
di Jawa Barat. Aktifitasnya mungkin mulai dari Akhir Oligosen. Sistem penyebaran endapan
gunungapi ini berupa kipas lautan yang memencar dari arah selatan. Cepatnya penyebaran
10
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah membunuh pertumbuhan koral
(Formasi Rajamandala) dan akhirnya seluruh sistem pengendapan di Cekungan Bogor
berganti menjadi sistem aliran gravitasi. Pada daerah lebih ke utara, batuan pembentuk
umumnya mempunyai fragmen batuan yang lebih halus, walaupun breksi sering terdapat
sebagai selingan. Formasi ini adalah Formasi Citarum yang berumur sama dengan Formasi
Jampang. Hubungan antara Formasi Jampang dan Citarum di lapangan sangat sulit diikuti,
karena keduanya berhubungan saling menjemari.
Kala Awal Miosen Tengah (N9-N13 )
Pada Miosen Tengah sebagian besar geologi Jawa Barat, tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti dengan Kala Miosen Awal. Perubahan yang penting terjadi di daerah Banten dan di
daerah Jampang Kulon. Di Banten, di atas endapan asal gunungapi (Formasi Cimapag ~
Formasi Jampang) diendapkan Formasi Saraweh dan Badui yang berumur sekitar N8 - N13.
Formasi Saraweh dan Badui terdiri dari napal dengan sisipan gamping. Di beberapa tempat
gamping ini bersifat gamping terumbu. Perubahan sedimentasi ini dapat ditafsirkan sebagai
perubahan gerak tektonik di daerah ini. Pada awal Miosen daerah Banten Selatan dipengaruhi
oleh endapan aliran gravitasi. Endapan ini menunjukkan bahwa daerah ini mempunyai relief
yang cukup menyolok dibanding daerah sekitarnya, serta mempunyai gerak turun yang cepat.
Pada waktu pengendapan Formasi Saraweh dan Badui yang terdiri dari napal dan gamping
menunjukkan bahwa daerah ini mempunyai lingkungan laut dangkal dan kondisi tektonik
stabil. Daerah lain yang menarik adalah daerah Jampang Kulon, di daerah ini batuan yang
berumur antara N8 dan N12 tidak pernah ditemukan. Formasi Bojonglopang yang terdiri dari
gamping dan Formasi Cimandiri yang berupa pasir dan lempung, keduanya berumur N12-
N14, menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Citarum dan Formasi Jampang,
yangberumur N8 (non Orbulina). Oleh karena itu kita dapat simpulkan bahwa daerah
Jampang Kulon pada sebagian besar Miosen Tengah, merupakan daratan. Pada Kala Miosen
Tengah ini, pada Cekungan Bogor diendapkan batuan hasil arus gravitasi. Satuan ini adalah
Formasi Saguling yang berumur antara N8 - N12, terdiri dari breksi dengan sisipan pasir dan
lempung. Penyebaran Formasi Saguling ini terutama pada daerah barat dan tengah dari
Cekungan Bogor. Sementara itu di daerah paparan, di utara Cekungan Bogor, keadaan
pengendapan Kala Miosen Awal tetap dipertahankan, menghasilkan batuan lempung, napal,
pasir dan gamping yang termasuk dalam Formasi Cibulakan bagian atas.
Kala Akhir Miosen Tengah (N12-N15)
Pada waktu akhir Miosen Tengah daerah Paparan di Jawa Utara pengendapannya relatif lebih
berkurang, walaupun lingkungan paparan masih tetap dipertahankan. Di daerah ini
diendapkan gamping dari Formasi Parigi yang penyebarannya merata di seluruh paparan. Di
daerah Banten, di atas Formasi Saraweh dan Badui diendapkan Formasi Bojongmanik yang
berumur N12 - N15 (?). Di daerah Leuwiliang didapatkan suatu perubahan facies dari arah
barat ke timur, dari Formasi Bojongmanik yang mempunyai lingkungan laut transisi di barat
ke Formasi Cibulakan dan Parigi yang mempunyai lingkungan laut terbuka di sebelah
timurnya. Di Cekungan Bogor, penyebaran kipas lautan dari selatan makin meluas. Mungkin
pada kala ini terjadi beberapa kipas yang sama-sama mengisi Cekungan Bogor ke arah utara.
Di Lembah Cimandiri diendapkan Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan
turbidit halus. Di Cekungan Bogor lainnya, tepatnya di daerah Kerawang Selatan, Bogor dan
Purwakarta aktifitas kipas lautan sangat nyata, disini diendapkan Formasi Bantargadung. Di
daerah lebih ke timur di Majalengka endapan arus gravitasi berupa pasir dan breksi yang
membentuk Formasi Cinambo. Di daerah Jampang Kulon, pada Kala akhir Miosen Tengah
diendapkan Formasi Bojonglopang dan Formasi Cimandiri yang berciri endapan laut
dangkal. Oleh karena itu kita dapat simpulkan, bahwa sebagian daerah Jampang pada akhir
11
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Miosen Tengah ini telah mengalami penurunan. Melihat banyaknya pertumbuhan gamping di
akhir Miosen Tengah dapat simpulkan bahwa aktifitas gerak tektonik pada waktu ini
berkurang dibanding waktu sebelumny
Kala Miosen Akhir (N15-N18)
Pada Kala Akhir Miosen morfotektonik Jawa Barat tidak berubah dari kala sebelumnya.
Perubahan yang cukup penting hanya pada fisiografi atau geografi dari masing-masing
daerah. Pada Kala Miosen Tengah daerah Jawa Barat Utara merupakan lautan terbuka dan
berbentuk paparan, pada Miosen Akhir ini lautan mulai mendangkal. Di Jawa Barat Utara
diendapkan lempung dan pasir dari lingkungan pantai landai sampai transisi, termasuk
Formasi Cisubuh. Lebih ke arah utara, di Laut Jawa sekarang, kondisinya masih berupa
lautan terbuka. Daerah Banten pada Kala Miosen Akhir ini, kemungkinan besar merupakan
daratan, karena tidak dijumpainya endapan yang berumur Miosen Akhir dalam daerah ini.
Cekungan Bogor pada Miosen Akhir menempati daerah yang sama seperti pada Kala Miosen
Tengah. Tetapi pada kala ini pengendapannya kebanyakan terdiri dari breksi dengan sisipan
pasir dan lempung. Di daerah Lembah Cimandiri, pada kala ini terjadi perubahan
sedimentasi. Pada kala sebelumnya (Miosen Tengah), di daerah ini diendapkan endapan arus
gravitasi yang berukuran paling kasar berukuran pasir. Tetapi pada Kala Miosen Akhir ini,
breksi menjadi sangat dominan (Formasi Cigadung). Di daerah Kerawang Selatan menerus ke
timur, pada Kala Miosen Akhir ini diendapkan breksi yang berselingan dengan lempung dan
pasir. Batuan yang tersingkap di Kerawang Selatan dan Purwakarta dikenal sebagai Formasi
Cantayan dan di daerah aliran Cimanuk dikenal sebagai Formasi Cantayan juga. Pada akhir
Miosen ini di daerah Pegunungan Selatan, Blok Jampang menerus ke timur lebih merupakan
daratan. Disini endapan lautan berumur Miosen Akhir tidak pernah dijumpai. Batuan yang
mungkin berumur Akhir Miosen adalah berupa endapan batuan asal gunungapi, yang dikenal
sebagai Formasi Beser. Tetapi beberapa peneliti beranggapan aktifitas gunungapi ini adalah
pada Awal Pliosen.
Gerak tektonik pada Kala Miosen Akhir ini dapat dikatakan jauh lebih aktif dibanding kala
sebelumnya. Hal ini dibuktikan makin besarnya fragmen pembentuk endapan Kala Miosen
Akhir dibanding dengan Kala Miosen Tengah. Dilihat dari sedimentasinya, semakin besarnya
breksi pada Kala Miosen Akhir ini dapat ditafsirkan bahwa pada daerah ini sudah ditempati
kipas laut bagian hulu, sedangkan pada kala sebelumnya lebih dominan bagian hilirnya
(distal).
Kala Pliosen Pada Kala Pliosen, morfotektonik Jawa Barat berbeda dengan pola sebelumnya. Perubahan
ini juga mempengaruhi fisiografi atau geografi pada masing-masing daerah. Di Jawa Barat
Utara, pada Kala Pliosen ini, lingkungan pengendapannya adalah laut transisi, kebanyakan
berupa lagoon, atau mungkin berbentuk delta kecil. Ke utara ke arah Laut Jawa,
lingkungannya berubah menjadi lautan sebagaimana keadaan sekarang. Daerah Banten, pada
Kala Pliosen, tetap dalam lingkungan darat, kecuali pada bagian-bagian tepinya serta Lembah
Malingping di selatan dimana lingkungannya berupa laut transisi (Formasi Cimanceuri).
Cekungan Bogor pada Kala Pliosen sebagian sudah merupakan daratan. Satuan yang lebih
muda dari Formasi Cantayan tidak dapat ditemukan di daerah ini. Kemungkinan besar
mengalami erosi karena pengangkatan pada akhir Pliosen. Daerah Pegunungan Selatan pada
Kala Pliosen, terbagi menjadi dua bagian. Bagian selatan mengalami penurunan, dan
mengalami genang laut, yang menghasilkan Formasi Bentang. Sementara itu di bagian utara,
di daerah Rajamandala terjadi aktifitas gunungapi yang menghasilkan Formasi Beser.
12
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Pola tektonik pada Kala Pliosen mengalami perubahan yang penting dari waktu sebelumnya.
Busur magmatik pada Kala Miosen yang berada di selatan Pulau Jawa, pada permulaan Kala
Pliosen terutama pada akhir Pliosen, terlihat berpindah ke tengah Pulau Jawa. Perpindahan ini
mengakibatkan status beberapa cekungan di Jawa berubah. Perubahan status ini
menyebabkan aktifitas tektoniknya juga berbeda dari sebelumnya. Daerah Jawa Barat Utara,
atau Daerah Cekungan Minyak Jawa Utara umumnya, keadaannya tetap sebagaimana Kala
Miosen. Gerakan vertikal disini boleh dikatakan sangat kecil. Lapisan di lepas pantai pada
umur ini umumnya datar. Cekungan Bogor, yang pada waktu Miosen merupakan Cekungan
Belakang Busur yang penting, pada Kala Pliosen ini ditempati oleh puncak-puncak
gunungapi. Dengan kata lain Cekungan Bogor pada Kala Pliosen ini berubah menjadi jalur
magmatik. Pegunungan Selatan pada Kala Pliosen mengalami penurunan. Daerah ini kini
terletak di depan deretan gunungapi. Bagian paling selatan mengalami penurunan yang cukup
berarti. Pada Kala Plio-Plistosen, seluruh daerah Jawa Barat mengalami pengangkatan yang
penting, terutama bagian selatan dan tengah. Bagian utara dari Jawa Barat merupakan kaki
pegunungan. Disini diendapkan kipas aluvium dari aliran sungai ke laut Jawa. Endapan
aluvium ini adalah berupa Formasi Citalang.
Kala Plistosen - Resen
Pada Kala Plistosen geologi Pulau Jawa sudah sama dengan geologi sekarang ini. Aktifitas
gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen, menghasilkan Formasi Tambakan
serta sebagian dari endapan gunungapi muda sekarang ini. Daerah Jawa Barat Utara yang
pada Kala Miosen sampai Pliosen dipengaruhi oleh lautan, maka pada permulaan kala
Plistosen, merupakan endapan kipas daratan dari pegunungan, hasil pengangkatan kala Plio
Plistosen yang terletak di selatannya. Pada permulaan Kala Plistosen mungkin menerus
sepanjang Plistosen, seluruh Jawa mengalami pengangkatan yang penting. Di bagian selatan
Jawa, pengangkatan lebih sederhana, tanpa disertai oleh penyesaran dan perlipatan yang
berarti. Bagian tengah Pulau Jawa, pengangkatan dan penyesaran umumnya mengikuti pola
sesar lama. Di bagian utara Pulau Jawa, terjadi sesar naik yang penting. Sesar ini dikenal
sebagai Sesar Baribis (van Bemmelen, 1949). Sesar Baribis menyebabkan batuan yang
berumur Pliosen dan Plistosen Awal (Formasi Kaliwangu dan Formasi Citalang) terlipat kuat.
Jalur Sesar Baribis ini juga memotong sistem sesar yang lebih tua (Sesar Jatigede), seperti
terlihat di daerah Talaga (baratdaya G. Ceremai) Suatu hal yang menarik pada permulaan
Kala Plistosen, adalah adanya perpindahan pusat gunungapi dari selatan ke tengah Pulau
Jawa. Perpindahan pusat gunungapi seperti di Jawa ini pada permulaan Kala Plistosen
ternyata merupakan gejala umum di seluruh gugusan gunungapi Sirkum Pasifik (Karig dan
Sharman, 1975).
13
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 7. Eveolusi Cekungan Kapur-Miosen Awal
14
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 8. Eveolusi Cekungan Miosen Awal-Miosen Tengah
15
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 9. Eveolusi Cekungan Miosen Tengah-Resen
16
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Gambar 10. Korelasi Stratigrafi dan Evolusi Cekungan Jawa Barat
17
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Outcrops
18
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
19
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
20
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
21
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
22
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
23
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
24
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
25
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
26
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
27
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
28
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
29
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
30
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
31
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
32
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
33
Ekskursi Regional Jawa Barat 2011
Program Pasca Sarjana 2009-2010 Institut Teknologi Bandung
Referensi
Hall, R., 1995, Plate Tectonic Reconstructions of the Indonesian Region, Proc. of Indonesian
Petroleum Association, 2411, 71-84.
Martodjojo, Soedjono., 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat, Disertasi Doktor, ITB
(tidak diterbitkan)
Satyana, A.H., 2005. Oligo-Miocene Carbonates of Java, Indonesia: Tectonic Volcanic
Setting and Petroleum Implications, Proceedings Indonesian Petroleum
Association, the 30th Annual Convention & Exhibition.
Situmorang. dkk, 1976. Wrench Fault Tectonics and Aspects of Hydrocarbon Accumulation
in Java, IPA, Fifth Annual Convention, vol 2