Download - Csr Achi Karin
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, setiap insan
manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan
mempertimbangan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya
memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah
meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut triple bottom line.
Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan
( sustainable development )
Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha sebagai akibat liberalisasi
ekonomi, berbagai kalangan swasta, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan berupaya
merumuskan dan mempromosikan tanggung jawab sosial sektor usaha dalam hubungannya
dengan masyarakat dan lingkungan.
Namun saat ini – saat perubahan sedang melanda dunia – kalangan usaha juga tengah
dihimpit oleh berbagai tekanan, mulai dari kepentingan untuk meningkatkan daya saing, tuntutan
untuk menerapkan corporate governance, hingga masalah kepentingan stakeholder yang makin
meningkat. Oleh karena itu, dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan
seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan
kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu
bersaing.
Upaya tersebut secara umum dapat disebut sebagai corporate social responsibility atau
corporate citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam
menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan
lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara
berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia
1
usaha.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang
secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan
stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan;
serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan.
Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan
tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi
bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya
tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga
harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka
panjang.
Pembangunan secara sederhana diartikan oleh Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho
sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan secara terukur dan alami yang mana fokus
utamanya adalah untuk menciptakan kesejahteraan manusia. Pembangunan tersebut bisa meliputi
pembangunan fisik, ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
implementasi pembangunan ini pada kenyataannya tidak semulus perencanaannya, terutama di
Indonesia, ada banyak permasalahan yang menghambat, salah satunya adalah masalah
pembiayaan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, diartikan sebagai
pembangunan yang tidak ada henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan datang
tidak boleh lebih buruk atau justru harus lebih baik daripada tingkat generasi saat ini
(Suparmoko, 2000:13). Dari definisi tersebut mencerminkan bahwa pembangunan yang
dilakukan saat ini harus memiliki jaminan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam harus dikelola
dengan baik, proyek-proyek pembangunan yang dilakukan juga sedapat mungkin harus
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.
2
Suatu perencanaan pembangunan, baik dalam bentuk program, kebijakan, maupun
strategi dikatakan lebih lanjut oleh Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho hanya akan tinggal
sebagai dokumen sia-sia dan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dikaitkan dengan
pembiayaannya. Hal ini dikarenakan untuk melakukan program-program pembangunan
dibutuhkan biaya yang sangat besar sementara di lain pihak, anggaran pemerintah terbatas. Oleh
karena itu, dalam perencanaan pembiayaan pembangunan selain perlu merencanakan anggaran
biaya juga perlu merencanakan alternatif sumber pembiayaan agar program-program
pembangunan dapat tetap dilaksanakan.
CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan sebuah program yang
mengimplementasikan tanggung jawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas yang
mana lebih jelasnya didefinisikan dalam ISO 26000, yaitu:
“Responsibility of an organization for the impacts of its decision and
activities on society and the environment, through transparent and
ethical behavior that contributes to sustainable development, health
and the welfare of society; takes into account the expectations of
stakeholders; isi n compliance with applicable law and consistent with
international norm and behavior; and is integrated throughout the
organization and practiced in its relationships.”
3
Dari definisi ISO 26000 tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan kepada masyarakat luas (CSR) dapat berupa kontribusi dalam pembangunan
khususnya pembangunan berkelanjutan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu, saat ini banyak perusahaan yang melakukan CSR dengan melakukan pemberian beasiswa,
pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak, serta program penyelesaian masalah-masalah
lingkungan hidup. Namun pada pelaksanaanya, banyak aktivitas CSR yang bias dan seringkali
dilakukan hanya sebagai kegiatan promosi produk atau perusahaan saja tanpa ada keinginan
sedikitpun untuk membangun dan memberdayakan masyarakat, yang ada hanya manajemen
krisis. Walaupun memang dijalankan atas pilihan dan inisiatif perusahaan sendiri, namun yang
harus ditekankan dalam CSR ini adalah tanggung jawab sosial atas dampak, keputusan, atau
aktivitas perusahaan di masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, segala bentuk tanggung
jawab perusahaan tersebut seharusnya berhubungan dengan segala dampak dari apa yang
dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam menjalankan usahanya baik dampak di masyarakat
maupun lingkungan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dampak Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan dalam Bisnis Global
Keterkaitan antara sektor bisnis dan lingkungan bisa dikatakan dimulai sejak lebih dari
dua dekade yang lalu. Berbagai kegiatan serta kampanye mengenai permasalahan lingkungan
(keanekaragaman hayati, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, dll.) yang diadakan dari
tahun 1969 sampai dengan 1992, telah meningkatkan gaung akan isu lingkungan di tingkat
internasional dan nasional yang pada gilirannya menyebabkan sektor bisnis atau swasta bereaksi.
Pembentukan US Environmental Protection Agency (US-EPA) di tahun 1970 dan
penyelenggaraan United Nations Stockholm Conference on Human Development (UNSCHD) di
tahun 1972, sebagai contoh, telah menandai era lingkungan modern. Hal ini, yang kemudian
diikuti oleh serangkaian kegiatan lingkungan (United Nations Conference of Environment and
Development atau UNCED, World Summit on Sustainable Development atau WSSD, dll.) dan
pembentukan badan lingkungan lainnya (United Nations Environment Program atau UNEP, dll.)
di tingkat internasional dan nasional, menambah magnifikasi isu lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan di banyak kalangan. Saat ini terdapat lebih dari 200 kesepakatan multilateral dan
bilateral yang menjadi payung agenda lingkungan dunia – dengan fokus antara lain pada
pengelolaan sumberdaya alam, pengawasan pencemaran, pengelolaan limbah dan jasa produk.
Dekade tahun 1970 dan 1980-an juga ditandai oleh berbagai rangkaian kejadian “bencana
lingkungan” seperti Seveso (1976), Three Mile Island (1979), Bhopal (1986), Chernobyl (1986)
dan tumpahan minyak Exxon Valdez (1989). Di Indonesia, beberapa kejadian yang berkaitan
dengan permasalahan dan bencana lingkungan juga tercatat seperti Waduk Kedung Ombo (1988-
89), Indorayon (akhir 1980), dan Kali Tapak (1991). Semua kejadian ini membentuk “persepsi”
dari banyak kalangan bahwa sektor bisnis dan industri berperan – langsung atau tidak langsung –
terhadap terjadinya permasalahan lingkungan dunia dan nasional.
Persepsi semacam ini berkembang di masyarakat luas dan politisi terutama di Eropa dan
Amerika yang menganggap sektor bisnis dan industri tidak mempunyai sistem dan manajemen
yang “layak” dalam mengelola sumberdaya alam, melakukan operasi perusahaan dan mengelola
limbahnya. Dengan kata lain, di era tersebut sektor bisnis dan industri seringkali tersudutkan 5
dengan cap atau terminologi yang dikenal sebagai “pollute, grow and clean up later”. Persepsi ini
di banyak tempat kemudian bertransformasi menjadi tekanan dan tuntutan (terutama dari
lembaga non pemerintah atau NGO dan konsumen) akan perubahan perilaku dan kinerja suatu
perusahaan ke arah yang lebih bertanggung jawab.
Bertubi-tubi tekanan dialamatkan ke sektor swasta dalam pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam, sektor ini yang dimotori oleh perusahaan berskala besar dan trans-national
corporations/ TNCs secara perlahan mulai mencoba mengubah kebijakan dan “sebagian”
perilaku perusahaannya ke arah yang lebih lestari dan bertanggung jawab (berkelanjutan atau
sustainable). Tekanan dari masyarakat terutama konsumen/pengguna produk dari sektor bisnis
dan industri telah mengubah pandangan sektor ini dari sekedar melihat aspek lingkungan sebagai
bottom line cost menjadi sebuah kesempatan “komersial” untuk “berubah” dan merebut kembali
hati masyarakat (terutama dalam membangun citra) dengan mengakomodasi aspek lingkungan
sebagai konsideran penting kebijakan dan perilaku perusahaan.
Pergerakan sektor swasta untuk lebih bertanggung jawab (termasuk dalam pengelolaan
aspek lingkungan) yang tertuang dalam kebijakan maupun perilaku suatu perusahaan inilah yang
sering dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). CSR berkembang dan diadopsi
oleh banyak perusahaan karena dua faktor penting, yaitu: ketergantungan perusahaan kepada
pasar dan konsumennya dalam rangka penjagaan citra penjagaan lingkungan dan meningkatnya
kerapuhan perusahaan karena meningkatnya faktor resiko termasuk resiko lingkungan/liability,
dsb.
2.1.1 Isu Ekologi dan Lingkungan Global
Salah satu tema/masalah pokok dalam dimensi ini dalah perubahan iklim. Selama 50
tahun terakhir telah dapat dibuktikan bahwa pemanasan global yang seakrang ini kita rasakan
yang terjadi terutama karena ulah manusia sendiri. Emisi dari gas-gas rumah kaca seperti CO 2
dan N2O dari kativitas manusia adalah penyebabnya. Konsentrasi gas CO2 di atmosfer naik 30%
selama 150 tahun terakhir. Kenaikan jumlah emisi CO2 ini terutama disebabkan karena
pembakaran sumber energi dari bahan fosil (antara lain minyak bumi). Selain itu perubahan
dalam penggunaan sumber alam lainnya juga memberikan konstribusi pada kenaikan jumlah CO2
6
di atmosfer: 15% oleh penggundulan dan pembakaran hutan dan lahan untuk diubah fungsinya,
misalnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi.
Masalah ekologi lainnya adalah degradasi tanah atau hilangnya kesuburan tanah. Ini
dapat diakibatkan oleh erosi akibat air dan angin, penggaraman dan pengasaman, dll. Penyebab
hilangnya kesuburan tanah lainnya adalah hilangnya lapisan humus dan mikro organisme, zat
makanan pada tanah, kemampuan tanah menguraikan sampah/limbah. Tanah yang tandus adalah
akibat degradasi tanah sumber tanah seperti yang sudah lama pada beberapa daerah tandus di
Indonesia. Diseluruh dunia, 15% mengalami degradasi. Selain itu diakibatkan erosi oleh air dan
angin, degradasi tanah ini juga disebabkan oleh penggunaan zat-zat kimia (pestisida).
Memisahkan atau memperlakukan ekologi dengan ekonomi politik lingkungan hidup
internasional sebagai bidang yang berbeda merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan pada
masa sekarang. Kajian-kajian ekonomi politik hal tersebut harus memperhatikan faktor-faktor
ekologi dikarenakan bumi kita cuma ada satu meskipun didalamnya telah terbagi dalama lima
benua dan ratusan negara. Sehingga perlu adanya instrumen hukum internasional maupun
nasional untuk melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman perubahan iklim
dan pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan umat manusia.
Masalah lingkungan hidup yang diciptakan oleh kemakmuran serta sebaliknya oleh
kemiskinan memicu pada meningkatnya perhatian serta kebutuhan untuk membangun
mekanisme baru dalam mengimplementasikan peralihan ke arah pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Ciri-ciri dari isu lingkungan hidup yang baru adalah: isu atau masalah
yang dihadapi bernuasa global, setiap pelosok dunia merasakan dampaknya, upaya
penanggulangan masalah perlu ditangani bersama dan tidak bisa sendiri-sendiri secara sporadis.
Perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjadi tekad, kesepakatan, dan kepedulian
global (global concern). Kesadaran atas konsep ini hendaknya menjadi kepentingan setiap
negara, baik karena tingkat interdepensi tinggi yang hadir pada setiap bagian dari ekonomi global
maupun karena hal itu menimbulakan persoalan penting menyangkut pelestarian sumber daya
lingkungan hidup, tetapi merupakan institusi utama yang menangani bekerjanya ekonomi dunia,
contohnya World Bank serta IMF.
7
Dengan begitu maka kecenderungan dapat dilihat menunjukkan bahwa institusi-institusi
tersebut memasukkan topik kepedulian terhadap lingkungan ke dalam ruang lingkup
perencanaan ekonomi serta pembuatan keputusan dengan tidak memisahkan dari keterkaitanya
dengan persoalan pokok di bidang ekonomi. Dengan begitu isu lingkungan hidup tidak lagi
diperlakukan sebagai ruang lingkup pinggiran. Sejak berlangsunya konferensi lingkungan hidup
sedunia di stockhlom, swedia tahun 1972, masalah lingkungan hidup ini telah mendapatkan
perhatian yang cukup besar. Berlanjut dengan konferensi yang sama di Rio de Janeiro, Brasil
tahun 1992 yang disebut KTT Bumi (earth summit), pertemuan sedunia di Tokyo tahun 1996
yang membahas tentang Global Warming. kemudian KTT Bumi ke-2 di johanesburg, afrika
selatan pada tahun 2002. Singkatnya dewasa ini isu tentang lingkungan telah ditanggapi secara
serius. Isu lingkungan hidup yang terjadi saat ini yaitu :
1. Makin meluasnya kerusakan hutan dan lahan kritis;
2. Degradasi lingkungan hidup di wilayah pesisir dan laut yang semakin meningkat, seperti
pencemaran perairan laut akibat limbah industri dan rumah tangga, abrasi pantai, serta
rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang;
3. Turunnya kualitas air sungai akibat buangan industri, domestik dan rusaknya kawasan
hulu serta sempadan sungai;
4. Makin meningkatnya bencana alam akibat kerusakan lingkungan dan dampak dari
perubahan iklim, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lain-lain;
5. Belum optimalnya koordinasi dan sinergitas antar pemangku kepentingan dalam
perindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
6. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dan pelaku usaha dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
2.1.2 Isu dari Masyarakat Global Terhadap Dampak Lingkungan dan Pembangunan
Berkelanjutan
Isu-isu global yang muncul dewasa ini menunjukkan pada kenyataan bahwa teknologi
baru dalam tranportasi, komunikasi, produksi dan distribusi terkait dengan perusakan lingkungan
hidup. Dari isu dan kenyataan yang telah berlangsung tersebut kemudian tercipta sejumlah besar
kaitan antar negara, masyarakat, kota dan bahkan desa di seluruh muka bumi.Keterkaitan 8
tersebut selanjutnya melahirkan berbagai isu global mengenai lingkungan hidup, energi, pangan,
kependudukan, HAM, interdependensi/dependensi ekonomi, pembangunan, dan lain-lain. Suatu
isu disebut isu global jika jaringan yang terdiri dari penduduk berbagai belahan bumi ini
meyakini bahwa hal tersebut memang menjadi isu yang menyangkut kepentingannya atau kalau
sejumlah besar penduduk bumi ini telah yakin bahwa isu itu memang telah menunjukkan gejala
bahkan akibat yang nyata serta dirasakan dan mempengaruhi di seluruh muka bumi.
Aspek sosial, maksudnya pembangunan yang berdimensi pada manusia dalam hal
interaksi, interrelasi dan interdependesi. Yang erat kaitannya juga dengan aspek budaya. Tidak
hanya pada permasalahan ekonomi, pembangunan berkelanjutan untuk menjaga
keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya sebuah amsyarakat tetap bisa eksis
untuk menlajalani kehidupan serta mempunyai sampai masa mendatang.
Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena perhatian
kepada lingkungan. Terutama sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sedang ekspoitasi
terhadapnya dilakukan terus menerus.
Pengertian dari tidak mengurangi dan mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang adalah pembangunan yang dilakuakn dimasa sekarang itu jangan sampai merusak
lingkungan, boros terhadap SDA dan juga memperhatikan generasi yang akan datang. Generasi
yang akan datang juga jangan terlalu dimanjakan dengan tersedianya semua fasilitas. Tetapi
mereka juga harus di beri kesempatan untuk berekspresi menuangkan ide kreatifnya untuk
mengolah dan mengembangkan alam dan pembangunan.
2.2 Mengelola Isu Lingkungan
Perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi aneka ragam bidang dan
keahlian, tetapi harus menjadi bagian penting dari perencanaan dan pengelolaan nasional apabila
berhasil. Lingkungan hidup dan masalah-masalah lingkungan hidup seharusnya tidak dianggap
terpisah dari fungsi-fungsi pemerintahan, tetapi seharusnya dianggap sebagai masalah pokok.
Ada lima komponen dari proses yang dinamis dan interaktif untuk pengelolaan sumber daya 9
alam dan perlindungan lingkungan hidup, yaitu inventarisasi; evaluasi; perencanaan,
pengelolaan dan pemantauan.
1. Inventorisasi
Secara tradisional, peta dan laporan mendokumentasikan basis sumber daya alam, dan
penggunaannya. Sekarang ada beberapa teknologi baru (Sistem Informasi Geografi, “Remote
Sensing”, “Spatial Interpolation Techniques”, Gambaran Tiruan, dan “Modelling”), yang
memungkinkan pegeseran dari pola bentang darat yang statis ke pendekatan yang
“parametris”, yang memfokuskan pada hal-hal lingkungan dan diperlukan untuk membentuk
proses-proses bentang darat dan jawaban-jawaban biologis. Data minim yang sudah ada
memberikan masukan yang sangat diperlukan untuk model teknis, hidrologi, agronomi,
silvikulturis, dan ekologi. Hasilnya adalah bahwa banyak macam produksi dan pelestarian
lingkungan hidup dapat dinilai dalam suatu sistem “Spatial Referencing”. Contohnya
pengembangan database untuk negara yang sudah dan sedang berkembang akan tersedia.
2. Evaluasi
Pemakaian data “abiotic” (cuaca, lapangan tanah, dan “substrate”) sebagai basis untuk
mengevaluasi tanah dan gunanya untuk pertanian, penggembalaan dan penebangan hutan
sudah lama berjalan. Belakangan ini, pemakaian data “abiotic” untuk perencanaan pelestarian
dan pengelolaan lingkungan hidup makin populer.
3. Perencanaan
Definisi-Definisi resmi tentang perencanaan menunjukkan bahwa ada aneka ragam
pendekatan untuk proses yang sangat penting ini. Apabila berhasil, perencanaan harus
memperhitungkan faktor-faktor tertentu seperti faktor fisik, biologis, ekonomis, sosial,
budaya, hukum, dan administratif.
10
4. Pengelolaan
Pengelolaan lingkungan hidup biasanya berlangsung dengan cara tidak langsung, karena
pengelolaan tersebut bersifat berusaha untuk mengendalikan dan mengatur tingkah laku para
pembuat dan pembeli, masyarakat, dan lembaga-lembaga. Akan tetapi, pengelolaan
lingkungan hidup dengan tujuan pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada prinsip-
prinsip ekologis yang kuat. Sayangnya, walaupun ekologi memang dapat memberikan
pengertian dan pemahaman yang sangat diperlukan, ekologi jarang dapat memberikan tingkat
keterincian dan pengaturan yang diinginkan pengelola sumber daya tanah, para insinyur, dan
para teknisi.
5. Pemantauan
Masalah yang terakhir, tetapi tidak kurang pentingnya, pengelolaan lingkungan hidup
tidak akan berhasil tanpa adanya pemantauan berjalannya sistem tersebut, apakah di tingkat
nasional, propinsi, lokal, atau suatu sistem produksi tertentu. Walaupun lembaga keuangan
besar dan perusahaan industrial mengakui situasi demikian, tidak semua pemerintahan dan
badan-badannya memahami akan pentingnya pemantauan. Statistik-statistik seringkali
dianggap kurang penting bila keadaan fiskal sedang mengalami kesulitan.
Membangun masyarakat yang berkelanjutan memerlukan perhatian pada tiga masalah pokok:
1. Kelangsungan ekonomi
2. Keadilan social
3. Lingkungan hidup yang berkelanjutan.
2.2.1 Peranan Pemerintah dan Regulasi
Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang
Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga
diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan
dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan
penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah.11
Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sangatlah besar sehingga tuntutan untuk meningkatkan kinerja dan penerapan kebijakan
dalam bidang lingkungan hidup sangatlah dibutuhkan. Sistem Pemerintahan Daerah otonom
sebelum UU No 22 tahun 1999 terbagi dalam Sistem Pemerintahan Administratif dan Otonom,
dalam Sistem Pemerintahan Administratif Pemerintah Daerah berperan sebagai pembantu dari
penyelenggaraan pemerintah pusat yang dikenal sebagai azas dekosentrasi dalam UU No 54
tahun 1970 tentang Pemerintah Daerah, hal ini diaplikasikan dalam Pemerintahan Daerah
Tingkat I dan Pemerintahan Daerah tingkat II. Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Otonomi
Pemerintahan Daerah adalah mandiri dalam menjalankan urusan rumah tanganya. Pemerintahan
Daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri sebagai pegawai/pejabat –pejabat daerah
dan bukan pegawai/pejabat pusat. Memberikan wewenang untuk menyelenggarakan rumah
tangga sendiri berarti pula membiarkan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk
merealisir itu, daerah memerlukan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang
diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar di kemudian
hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah mengenai hal –hal tersebut diatas.
Dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan
besar dalam kewenangan Pemerintahan Daerah. Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting
untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu
internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara. Pemerintahan Daerah diberikan
kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota
atau Kabupaten.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan
daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD
(Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua
adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa
dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh
Pemerintah daerah dengan baik.
Pembiayaan pembangunan semakin lama semakin menjadi kebutuhan yang mendesak
dan sekali lagi, kemampuan keuangan pemerintah cenderung masih terbatas terutama pemerintah
daerah sehingga seringkali masih bergantung pada dana dari pemerintah pusat. Padahal program-
12
program pembangunan yang direncanakan pemerintah sangat banyak mengingat Indonesia masih
merupakan negara yang berkembang dan banyak daerah-daerah di Indonesia yang masih
tertinggal dari daerah-daerah lain yang lebih maju sehingga perlu dilakukan percepatan
pembangunan agar tidak terjadi disparitas wilayah dan sosial. Oleh karena itu, CSR ini bisa jadi
merupakan salah satu solusi yang menguntungkan dan tidak terlalu berisiko sebagai suatu
alternatif sumber pembiayaan dibandingkan alternatif sumber pembiayaan lain. Selain itu, hal ini
juga akan meningkatkan peran serta sektor swasta dalam pembangunan, khususnya
pembangunan wilayah.
Namun, kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembiayaan pembangunan dengan
menggunakan dana CSR ini tidak serta merta dilakukan secara sembarangan, tetapi harus
direncanakan dengan tepat serta dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar
pembangunan-pembangunan yang diprogramkan dapat diimplementasikan secara optimal.
Optimalisasi dana CSR untuk pembiayaan pembangunan secara tepat, terpadu, dan berkelanjutan
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1. Mengoordinasikan perusahaan-perusahaan secara terpadu dibawah lembaga
pemerintah
Pemerintah, sebagai fasilitator dan pemegang kebijakan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan (masyarakat luas merupakan subjek/pelaku dalam
pembangunan berdasarkan bottom-up planning), maka pemerintah-lah yang mengetahui
rencana-rencana program pembangunan sehingga pemerintah perlu mengoordinasikan
perusahaan-perusahaan pemberi CSR secara terpadu agar terkoordinir dalam satu atap
sehingga pemanfaatan dana CSR tersebut nantinya bisa maksimal dan tepat sasaran.
2. Memetakan perusahaan-perusahaan pemberi CSR dan mengklusterkannya
berdasarkan dampak yang dihasilkan dari usaha kerjanya
Program-program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah sangat banyak dan
meliputi berbagai aspek, yakni aspek fisik, ekonomi, sosial, politik, maupun hukum
sehingga dana yang dibutuhkan juga sangat besar, apalagi mengingat jumlah penduduk
Indonesia juga banyak dan luas wilayah Indonesia yang sangat luas, maka untuk
melakukan pemerataan pembangunan dana yang dibutuhkan juga akan semakin besar dan
13
tidak sedikit jumlahnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pemetaan terhadap perusahaan-
perusahaan pemberi CSR berdasarkan jenis usaha yang dijalankan kemudian diklusterkan
berdasarkan dampak-dampak yang dihasilkan dari proses usaha tersebut. Dengan demikian
maka bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan akibat
dampak, keputusan, dan aktivitasnya bisa lebih terarah dan benar-benar betujuan untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
3. Merencanakan arahan pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR
berdasarkan pemetaan dan pengklusteran yang telah dilakukan
Jika pemetaan dan pengklusteran perusahaan-perusahaan berdasarkan dampak yang
dihasilkan dari usaha yang dijalankan oleh perusahaan tersebut telah di-list, maka
selanjutnya pemerintah perlu merencanakan arahan kepada perusahaan-perusahaan terkait
pemerataan pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR sehingga nantinya
perusahaan-perusahaan tersebut dapat diarahkan untuk memberikan dana CSR-nya pada
aspek, program, dan kegiatan pembangunan yang akan dilakukan di suatu daerah. Dengan
demikian, maka diharapkan pembangunan di daerah-daerah khususnya di daerah-daerah
tertinggal terutama terkait pembangunan infrastruktur dapat dilakukan merata. Akan tetapi,
data dan informasi terkait perencanaan dan pembiayaan pembangunan yang akan
dilaksanakan serta daerah-daerah tujuan aliran dana CSR harus sudah di-list terlebih
dahulu dengan jelas agar dapat berjalan sukses.
Alternatif sumber pembiayaan pembangunan dengan menggunakan dana CSR ini mungkin
merupakan suatu bentuk kerjasama baru antara pemerintah dengan swasta. Namun, dalam proses
kerjasama ini harus dilakukan atas dasar saling percaya dan tetap menerapkan asas transparency
dan akuntabilitas agar proses kerjasama ini dapat berlangsung kontinu dan segala program
pembangunan dapat berlanjut (sustainable cooperation).
2.2.2 Biaya dan Manfaat dalam Mengelola Lingkungan
Dalam pengelolaan pencemaran lingkungan, para pengambil kebijakan akan
menggunakan sejumlah teknik-teknik valuasi ekonomi untuk menentukan nilai ekonomi dari
suatu barang lingkungan. Dengan memiliki informasi yang lengkap, para pengambil kebijakan 14
dapat memprioritaskan dalam menentukan instrumen ekonomi yang diperlukan untuk
pengendalian pencemaran.
Teknik-teknik yang digunakan sebagai berikut :
1. Teknik berdasarkan pasar.
Teknik ini menggunakan harga pasar aktual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai
dari barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan bersih. Prinsip dari
metoda ini adalah dasar penentuan nilai ekonomi kawasan dari hasil produksi dan
kesehatan masyarakat.Lingkungan yang bersih menjamin ketahanan industri-industri
yang bertumpu atassumberdaya alam produktif. Sehingga, jika lingkungan rusak akibat
kegiatan ekonomi maka akanmenyebabkan jumlah produksi menurun.
2. Teknik berdasarkan biaya
Teknik ini menghitung biaya oportunitas dari lingkungan yang bebas pencemaran.
Biaya/kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat hilangnya akses pemanfaatan
lingkungan dan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan barang dan jasa yang
secara alami disumbangkan oleh lingkungan merupakan nilai dari kerusakan lingkungan.
Teknik ini masih dibagi menjadi beberapa cara sebagai berikut:
Biaya kesempatan.
Nilai ekonomi lingkungan bersih dapat diketahui melalui net present value dari
berbagai alternatif penggunaan lahan. Sebagai contoh, dapat diperkirakan nilai
sekarang sebuah hutan alam dengan menghitung manfaat ekonomi yang dapat
dikuantifikasi dan biaya pengelolaannya.
Biaya Pencegahan
Lingkungan yang bersih dapat menghindari kerugian masyarakat. Sebagai contoh,
fungsi keutuhan hutan bagi pengendalian banjir di daerah sekitarnya (Ashari,
Seandainya penebangan hutan dilakukan, maka masyarakat dan pemerintah harus
mengeluarkan biaya penanggulangan banjir. Biaya tersebut merefleksikan nilai
ekonomi hutan tersebut.
Biaya Pengganti.
Lingkungan berfungsi mempertahankan kualitas lahan dan siklus unsur hara. Jika
terjadi penggundulan hutan maka akan meningkatkan erosi tanah dan hilangnya
lapisan anah yang subur yang mengandung banyak unsur hara. Unsur hara tersebut 15
dapat diganti oleh pupuk. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk
merefleksikan nilai ekonomi dari lingkungan.
3. Teknik biaya perjalanan.
Teknik ini menentukan nilai rekreasi dari kawasan konservasi dengan melihat kesediaan
membayar para pengunjung (Grafton et al., 2004). Teknik ini menunjukkan bahwa nilai
kawasan konservasi bukan hanya dari tiket masuk saja, tapi juga mempertimbangkan
biaya yang dikeluarkan pengunjung menuju lokasi kawasan konservasi dan hilangnya
pendapatan potensial mereka karena waktu yang digunakannya untuk kunjungannya
tersebut.
4. Metoda contingent valuation.
Teknik ini digunakan pada saat tidak ada pasar yang relevan terhadap barang dan jasa
lingkungan. Teknik ini membangun variabel-variabel pasar yang secara langsung
bertanya kepada individu-individu tentang kesediaan mereka membayar terhadap barang
dan jasa lingkungan yang mereka peroleh serta kesediaan mereka menerima kompensasi
jika barang dan jasa lingkungan tersebut tidak dapat mereka manfaatkan lagi (Mourato et
al., 2000).
5. Teknik-teknik ekonometrik
Digunakan untuk memperoleh sebuah fungsi permintaan akan jasa sumberdaya alam dan
lingkungan valuasi dari responden. Studi yang mempergunakan teknik ini membutuhkan
pertanyaan-pertanyaan survei, implementasi dan pengambilan sampel secara hati-hati
supaya mendapatkan penyimpangan yang minimal.
Valuasi ekonomi lingkungan merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, ini dapat
dilakukan dengan menggunakan hasil valuasi yang telah dilakukan oleh tim ahli untuk menilai
pencemaran lingkungan yang sejenis. Istilah ini disebut dengan transfer manfaat (Garrod dan
Willis,1999). Cara ini dianggap valid jika digunakan untuk mengambil kebijakan dalam
memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, dan memberikan subsidi kepada pihak
yang telah melakukan perbaikan lingkungan (Ready, et al., 2004; Rozan, 2004).
16
2.2.3 Manajemen Berbasis Lingkungan Sebagai Keunggulan Kompetitif
Pakar lingkungan dari Bandung, Otto Soemarwoto, mengajukan enam tolok ukur
pembangunan berkelanjutan baik untuk pemerintah pusat maupun di daerah. Keenam tolok ukur
itu diyakininya akan mampu menjadi kriteria keberhasilan seorang kepala pemerintahan.
Tolok ukur itu meliputi pro dengan bentuk negara kesatuan RI, pro lingkungan hidup, pro
rakyat miskin, pro kesetaraan jender, pro penciptaan lapangan kerja dan harus antikorupsi, kolusi
serta nepotisme.
Kotler dan Lee mengidentifikasi enam pilihan program bagi perusahaan untuk melakukan
inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial sekaligus sebagai wujud
komitmen dari tanggung jawab sosial perusahaan. Keenam inisiatif sosial yang bisa dieksekusi
oleh perusahaan adalah:
o Pertama, cause promotions dalam bentuk memberikan kontribusi dana atau
penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial
tertentu seperti, misalnya, bahaya narkotika.
o Kedua, cause-related marketing bentuk kontribusi perusahaan dengan
menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan sebagai donasi bagi masalah
sosial tertentu, untuk periode waktu tertentu atau produk tertentu.
o Ketiga, corporate social marketing di sini perusahaan membantu pengembangan
maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk merubah perilaku
tertentu yang mempunyai pengaruh negatif, seperti misalnya kebiasaan berlalu
lintas yang beradab.
o Keempat, corporate philantrophy adalah inisitiatif perusahaan dengan
memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering dalam
bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.
17
o Kelima, community volunteering dalam aktivitas ini perusahaan memberikan
bantuan dan mendorong karyawan, serta mitra bisnisnya untuk secara sukarela
terlibat dan membantu masyarakat setempat.
o Keenam, socially responsible business practices, ini adalah sebuah inisiatif di
mana perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta
investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi
lingkungan.
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development, diartikan sebagai
pembangunan yang tidak ada henti-hentinya dengan tingkat hidup generasi yang akan
datang tidak boleh lebih buruk atau justru harus lebih baik daripada tingkat generasi
saat ini (Suparmoko, 2000:13). Dari definisi tersebut mencerminkan bahwa
pembangunan yang dilakukan saat ini harus memiliki jaminan bahwa pemanfaatan
sumberdaya alam harus dikelola dengan baik, proyek-proyek pembangunan yang
dilakukan juga sedapat mungkin harus memperhatikan dampaknya terhadap
lingkungan.
2. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah
besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan
tersebut.Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang
jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko
Wasbangpan.
Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar
sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan
yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat
harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan
lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
19
DAFTAR PUSTAKA
www.csrindonesia.com
www.wikipedia.org/wiki/corporate_social_responsibility
pusham.uii.ac.id/id_edi_s.
www.formulabisnis.com
businessenvironment.wordpress.com
20
21