Download - CHA Asep Cahyaning
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpenting dari pembangunan
nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan kesehatan tersebut, maka
diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang, dan
terpadu (Budiarto, 2003).
Kebijakan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan mutu
sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan
paradigma sehat yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan, pencegahan,
penyembuhan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai lanjut
usia, sedangkan tujuan Pembangunan Kesehatan adalah meningkatkan jumlah,
efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan (Budiarto, 2003).
Tingginya angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh perilaku hidup
sehat masyarakat yang tidak baik berdasarkan data di Puskesmas Kebasen
menjadi permasalahan yang semestinya dapat ditanggulangi atau diminimalisasi
melalui upaya promosi kesehatan. Untuk dapat mewujudkan visi dan misi
promosi kesehatan, maka perlu dilakukan pemecahan masalah terhadap
tingginya angka kejadian penyakit yang disebabkan karena perilaku hidup sehat
yang kurang baik. Dengan adanya pemecahan masalah di puskesmas Kebasen
melalui promosi kesehatan ini diharapkan berhasilnya pembangunan kesehatan
di sektor paling dasar yaitu puskesmas.
Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan
masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu PTM
yang menyita banyak perhatian adalah Diabetes Melitus (DM). Di Indonesia DM
merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatankarena dapat
2
menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes (gangrene) sehingga harus
diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Depkes, 2014).
Global status report on NCD World Health Organization (WHO) tahun
2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian semua umur di duniaadalah
karena PTM. DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian. Sekitar
1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4 persen meninggal sebelum usia
70 tahun. Pada Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab
kematian dunia. Sedangkan untuk di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030
akan memiliki penyandang DM (diabetisi) sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes,
2014).
Tingginya prevalensi DM yang sebagian besar tergolong dalam DM tipe 2
disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan
terhadap lingkungan. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan
risiko DM tipe 2 adalah perpindahan dari pedesaan ke perkotaan atau urbanisasi
yang kemudian menyebabkan perubahan gaya hidup seseorang. Perubahan gaya
hidup di antaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang yang dapat
menyebabkan obesitas. Kondisi obesitas tersebut akan memicu timbulnya DM
tipe 2. Pada orang dewasa, obesitas akan memiliki risiko timbulnya DM tipe 2 4
kali lebih besar dibandingkan dengan orang dengan status gizi normal
(Wicaksono, 2011).
Selain pola makan yang tidak seimbang dan gizi lebih, aktivitas fisik juga
merupakan faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya DM. Latihan fisik yang
teratur dapat meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua
aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki
toleransi glukosa. Hasil penelitian di Indian Pima, orang-orang yang aktivitas
fisiknya rendah mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar mengalami DM
dibandingkan dengan orang-orang yang aktif (Wicaksono, 2011). Dengan
mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan DM tipe 2, maka dapat
dilakukan upaya pencegahan.
3
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen.
2. Tujuan Khusus
a. Mengenali permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi di tempat
penelitian.
b. Menentukan prioritas masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di desa
yang menjadi tempat penelitian.
c. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2
d. Mencari alternatif pemecahan masalah kesehatan di tempat penelitian.
e. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah kesehatan untuk
mengatasi masalah kesehatan di tempat penelitian.
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi
pengembang ilmu kedokteran pada umumnya dan studi bidang Ilmu
Kesehatan Masyarakat pada khususnya, terutama mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja
Puskesmas Kebasen.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas
Kebasen khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis
beserta solusinya.
b. Sebagai bahan untuk tindakan preventif atau pencegahan terhadap
kejadian diabetes melitus tipe 2
c. Sebagai pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman kepada
masyarakat tentang diabetes melitus tipe 2
4
d. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan
terhadap penyakit dan manfaat hidup sehat.
5
II. ANALISIS SITUASI
A. Deskripsi, Situasi, Kondisi dan Wilayah Kerja Puskesmas
1. Keadaan Geografis
Kecamatan Kebasen merupakan salah satu bagian wilayah Kabupaten
Banyumas dengan luas wilayah 5399,51 Ha (5400 km2). Kecamatan Kebasen
terdiri dari 12 desa dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Patikraja
b. Sebelah Selatan : Kabupaten Cilacap
c. Sebelah Timur : Kecamatan Banyumas
d. Sebelah Barat : Kecamatan Rawalo
Pemanfaatan lahan di Kecamatan Kebasen dapat dirinci sebagai
berikut :
a. Tanah Sawah : 1.049,60 Ha (19,43 %)
b. Tanah Pekarangan/ Bangunan : 1.542,33 Ha (28,56 %)
c. Tanah Tegal/ Kebun : 1.041,66 Ha (19,29 %)
d. Tanah Kebasen : 10,800 Ha (0,20 %)
e. Tanah Hutan Negara : 916,000 Ha (16,96 %)
f. Tanah Perkebunan Rakyat : 565,100 Ha (10,44 %)
g. Lain-lain : 274,025 Ha (5,09 %)
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen
tahun 2012, jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 55.975 jiwa
terdiri dari 28.223 jiwa laki-laki dan 27.752 jiwa perempuan yang
tergabung dalam 15.670 rumah tangga/KK.
Jumlah penduduk terbanyak tahun 2012 adalah penduduk desa
Cindaga yaitu sebanyak 9527 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah
ada di desa Tumiyang sebanyak 1222 jiwa. Kepadatan penduduk
6
Kecamatan Kebasen pada tahun 2012 adalah 1037 jiwa/km2, kepadatan
tertinggi ada di desa Cindaga dengan tingkat kepadatan sebesar 1944/km2.
b. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur.
Jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan Kebasen
tahun 2012 dapat dilihat pada tabel :
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
No
Kelompok
Umur
(Tahun)
Jumlah Penduduk
Laki-laki PerempuanLaki-laki +
Perempuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
0 – 4
5 – 9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
65 – 69
70 – 74
75+
2.611
2.712
2.906
2.252
1.663
1.965
2.103
2.143
2.094
1.918
1.610
1.408
878
751
507
702
2.513
2.541
2.721
1.923
1.586
2.062
2.186
2.212
2.136
1.980
1.632
1.191
872
782
644
771
5.124
5.253
5.627
4.175
3.249
4.027
4.289
4.355
4.230
3.898
3.242
2.599
1.750
1.533
1.151
1.473
Jumlah 28.223 27.752 55.975
7
Jumlah penduduk Kebasen tahun 2012 penduduk laki-laki berjumlah
28,223 dan jumlah perempuan 27.752 jiwa. Kelompok umur terbanyak
pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 5.627 jiwa.
c. Tingkat Pendidikan
Tabel 2.2. Jenis Pendidikan menurut Jenis Kelamin
No Jenis PendidikanJenis Kelamin
JumlahLaki-laki Perempuan
1 Tidak/Belum Tamat
SD/MI
7.806 7.866 15.672
2 Tamat SD/MI 9.960 10.197 20.157
3 SLTP/Sederajat 3.481 2.836 6.317
4 SLTA/Sederajat 1.997 1.432 3.429
5 Diploma III 392 311 703
6 Universitas 248 158 406
Jumlah 23884 22800 46684
Tingkat pendidikan masyarakat Kebasen di dominasi dengan tamat
SD atau MI dengan jumlah 20.157 jiwa. Masyarakat yang berpendidikan
hingga jenjang universitas memiliki jumlah yang sedikit yaitu 406 jiwa.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kebasen
cukup rendah.
d. Mata Pencaharian
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen
tahun 2012, mata pencaharian atau jenis pekerjaan penduduk di
Kecamatan Kebasen 10 besar yaitu petani (30,68%), buruh tani (42,67%),
pengusaha (0,62%), buruh industri (4,45%), buruh bangunan (6,08%),
pedagang (4,41%), pengangkutan (1,19%), PNS (1,80%), ABRI (0,26%),
pegawai BUMN/BUMD (2,47%), pensiunan (0,05%), penggalian
(1,82%), jasa sosial (0,28%) dan lain-lain (3,22%).
8
B. Pencapaian Program Kesehatan
1. Derajat Kesehatan Masyarakat
Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dasar diharapkan dapat
memberikan pelayanan secara tepat dan cepat agar masalah kesehatan
masyarakat dapat teratasi. Keberhasilan pelayanan kesehatan dapat dilihat dari
indikator derajat kesehatan masyarakat yang merupakan salah satu indikator
Indonesia Sehat 2010, meliputi kejadian kematian (mortalitas), kesakitan
(morbiditas) dan status gizi masyarakat. Berikut ini merupakan pencapaian
beberapa program Puskesmas Kebasen periode tahun 2012 :
a. Mortalitas
1) Angka Kematian Bayi
Kelahiran hidup di Kecamatan Kebasen pada tahun 2012
menurut Profil Kesehatan Puskesmas Kebasen yaitu 1.052 dengan
jumlah bayi mati sebanyak 8 bayi. Angka Kematian Bayi (AKB) di
Kecamatan Kebasen sebesar 7,6 per 1000 lahir hidup, sehingga AKB
dilaporkan sebesar 7,6. Sedangkan AKB tahun 2011 sebesar 15,4
sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan 7,8 dari tahun
sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya peningkatan jumlah kelahiran
hidup pada tahun 2012 sebesar 1.052 lahir hidup dibandingkan dengan
tahun 2011 sebanyak 1.032 lahir hidup. Jika dibandingkan dengan
indikator Indonesia Sehat 2010, AKB di puskesmas Kebasen masih
lebih rendah, begitu juga dibandingkan cakupan MDG’s ke-4 tahun
2015 (IIS = 40 per 1000 kelahiran hidup, MDG’s 2015 = 17 per 1000
kelahiran hidup).
Tingginya angka kematian bayi menunjukan masih rendahnya
status kesehatan ibu dan bayi baru lahir disebabkan oleh masih
rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat
khususnya pelayanan kesehatan ibu dan anak
9
2) Angka Kematian Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) di Kecamatan Kebasen pada tahun
2010 sampai 2012 berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Kebasen
yaitu sebesar 0 orang. AKI tahun 2013 tidak bisa dihitung karena data
yang terkumpul hanya sampai bulan Februari. Angka Kematian Ibu
(AKI) di Kecamatan Kebasen pada tahun 2012 berdasarkan Profil
Kesehatan Puskesmas Kebasen adalah 0 orang. Angka Kematian Ibu
(AKI) tahun 2012 sebesar 0 per 100.000 kelahiran hidup.
3) Angka Kematian Balita
Pada tahun 2012 jumlah balita 5.124 anak dengan kematian
balita 2 anak. Dengan demikian angka kematian di tahun 2012 sebesar
1,9 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian balita pada
tahun 2011 sebesar 18 anak per 1000 kelahiran hidup.
Upaya peningkatan kualitas kesehatan demi mencegah
peningkatan angka kematian balita dengan cara POSYANDU, Desa
Siaga, Dana Sehat dan berbagai usaha lainnya yang dilakukan oleh
pihak Puskesmas Kebasen
4) Angka Kecelakaan
Pada tahun 2011 di Kecamatan Kebasen tahun 2011 kejadian
kecelakaan yaitu 8 kejadian dengan 13 korban luka ringan dan tidak
ada korban luka berat ataupun meninggal.
Pada tahun 2012 kejadian kecelakaan yaitu 16 kejadian dengan
23 korban luka ringan dan tidak ada korban luka berat ataupun
meninggal. Pada tahun 2013 kejadian kecelakaan belum bisa di
simpulkan.
b. Morbiditas
1) Penyakit Malaria
Tahun 2013 kasus Malaria di Kecamatan Kebasen 0 kasus.
Angka Kesakitan Malaria tahun 2013 tidak dapat dihitung karena data
yang terkumpul belum sampai akhir bulan Desember. Tahun 2012 di
10
Kecamatan Kebasen terjadi kasus malaria positif sebanyak 8 kasus
atau angka kesakitan malaria sebesar 0,1 per 1000 penduduk. Tahun
2011 terjadi kasus sebanyak 5 kasus atau angka kesakitan malaria
sebesar 0,085 per 1000 penduduk. Jika dibandingkan angka kesakitan
malaria antara tahun 2012 dan 2011, terdapat peningkatan kasus pada
tahun 2012 dibandingkan tahun 2011. Daerah endemik di Kecamatan
Kebasen adalah Desa Kalisalak.
2) TB Paru
Kasus baru TB Paru BTA positif tahun 2013 di Kecamatan
Kebasen sebanyak 59 kasus, dengan jumlah kasus BTA positif
sebanyak 17 kasus dan gejala klinis 42 kasus. Dengan perkiraan
jumlah kasus BTA positif sebanyak 140 kasus maka angka penemuan
penderita TB paru BTA positif tahun 2013 sebesar 42,1%.Kasus baru
TB Paru BTA positif tahun 2012 sebanyak 24 kasus dan gejala klinis
sebanyak 25.
Terjadi penurunan kasus TB paru BTA + sebanyak 28% dari
tahun 2012-2013. Hal ini belum memenuhi target Puskesmas yang ,
berdasarkan standar pelayanan minimal cakupan penemuan dan
penanganan penderita TB Paru sebanyak 70%.
3) Demam Berdarah Dengue (DBD)
Jumlah kasus DBD di Kecamatan Kebasen pada tahun 2012
sebanyak 3 kasus dengan morbiditas DBD sebesar 5,4 per 100.000.
Sebelumnya tahun 2011 dengan angka kesakitan DBD 4 kasus dengan
7,1 per 100.000. Dengan demikian terjadi penurunan angka DBD
dibandingkan tahun sebelumnya.Hal ini terkait kesadaran masyarakat
untuk melakukan usaha pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin
dan berkesinambungan.
4) Diare
Berdasarkan data tahun 2013 angka kejadian penyakit diare
sebesar 78. Angka kejadian diare mengalami penurunan dari tahun
11
2012 jumlah angka kejadian diare sebanyak 268 kasus. Tidak dijumpai
penderita yang meninggal akibat diare.
5) Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Berdasarkan data Puskesmas, angka kejadian ISPA tahun 2013
sebanyak 1451, dan tidak semua dari jumlah itu tertangani dengan
baik. Tahun 2012 ditemukan kasus 900 kasus, hal ini menunjukkan
peningkatan angka kejadian ISPA di daerah layanan kesehatan
Puskesmas Kebasen.
6) Status Gizi
Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas Kebasen tahun 2012,
jumlah bayi di Kecamatan Kebasen sebanyak 1.052 bayi dan balita
sebanyak 5.124. Bayi yang mendapat vitamin A sebanyak 1.202 bayi
dan balita yang mendapat dua kali vitamin A sebanyak 3.825 balita.
Jumlah tersebut telah memenuhi target standar pelayanan minimal
propinsi Jawa Tengah tahun 2011.
7) Penyakit Tidak Menular
Kasus Penyakit Tidak Menular (PTM) di Kecamatan Kebasen
tahun 2011 dan 2012 berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas
Kebasen 2012 disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.3. Data Penyakit Tidak Menular tahun 2011 dan 2012
No Nama Penyakit Tidak Menular 2011 2012
1 Diabetes mellitus(DM) 91 121
2 Penyakit jantung dan pembuluh
darah (PJP)
46 1017
3 Asma bronchial 379 170
4 Kecelakaan lalu lintas 40 19
Berdasarkan data di atas Puskesmas Kebasen bekerja sama
dengan salah satu apotek yang ada di Purwokerto mengadakan
program Prolanis, yaitu Program Pengelolaan Penyakit Kronis untuk
peserta Askes dan Jamkesmas yang dilaksanakan setiap 1 bulan sekali.
12
Puskesmas Kebasen mulai bulan Januari telah melaksanakan program
Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) yang ditujukan untuk monitoring
dan deteksi dini faktor risiko PTM secara mandiri dan berkelanjutan.
2. Pelayanan Kesehatan Dasar
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
a. Pelayanan K4
Jumlah ibu hamil di Kecamatan Kebasen berdasarkan profil
kesehatan tahun 2012 adalah 1.135 ibu hamil. Ibu hamil yang
mendapatkan pelayanan K-4 sebanyak 1.105 (92,5%). Pencapaian jumlah
pelayanan K-4 pada ibu hamil di Kecamatan Kebasen belum memenuhi
standar pelayanan minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil K-4 yaitu
95%.
b. Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)
Jumlah ibu bersalin tahun 2012 sebanyak 1.024 orang, jumlah
yang ditolong oleh nakes sebanyak 1.024 orang (100%). Target standar
pelayanan minimal untuk pertolongan persalinan oleh nakes tahun 2012
sebesar 81%.
c. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Jumlah bayi lahir hidup 1.502 bayi. Bayi dengan berat badan lahir
rendah 32 bayi atau 3%.
d. Pelayanan Keluarga Berencana
Jumlah pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan data dari Badan
Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB sebanyak 12.728
pasangan. Jumlah PUS tertinggi terdapat di desa Kalisalak yaitu sebanyak
2.067 pasangan. Peserta KB aktif pada tahun 2012 sebesar 9.266 (72,8%)
dan belum memenuhi target standar pelayanan minimal tahun 2012 untuk
cakupan peserta KB aktif yaitu sebesar 80%.
e. Pelayanan Imunisasi
Kecamatan Kebasen memiliki 12 desa yang telah memenuhi target
standar pelayanan minimal untuk pelayanan imunisasi. Hal ini disebabkan
13
karena desa Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2012
sebanyak 12 desa atau 100% dengan target standar pelayanan minimal
untuk UCI sebesar 100%.
3. Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Rujukan dan Penunjang
Jumlah kunjungan baru rawat jalan di Puskesmas Kebasen
berdasarkan profil kesehatan 2012 adalah 20.441 (36,5%) dari jumlah
penduduk. Target kunjungan rawat jalan berdasarkan Indonesia Sehat 2012
sebesar 15% dengan demikian penggunaan fasilitas rawat jalan di Puskesmas
Kebasen sudah mencapai target.
Jumlah kunjungan baru pasien rawat inap sebanyak 824 pasien (1,5%)
dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut sudah mencapai target Indikator
Indonesia Sehat 2010 yaitu 1,5 %.
4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
a. Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru
Kasus baru TB Paru BTA positif tahun 2012 di Kecamatan Kebasen
sebanyak 49 kasus, dengan jumlah kasus BTA positif sebanyak 18 kasus
dan gejala klinis 31 kasus. Kasus baru TB Paru BTA positif tahun 2011
sebanyak 28 kasus dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif sebanyak
63 kasus maka angka penemuan penderita TB paru BTA positif tahun
2011 sebesar 44,44%. Target standar pelayanan minimal tahun 2010 untuk
penemuan penderita TB paru BTA positif sebesar 70%.
b. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA
Berdasarkan data Puskesmas Kebasen tahun 2012, perkiraan
pneumonia balita sebanyak 490 anak sedangkan yang ditemukan dan
ditangani sebanyak 23 anak atau 4,7%. Dari jumlah kasus tersebut semua
kasus pneumonia yang ditemukan seluruhnya (100%) ditangani dengan
baik.Standar pelayanan minimal 2010 untuk balita pneumonia yang
ditangani sebesar 100%.
c. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD
14
Jumlah kasus DBD di Kecamatan Kebasen pada tahun 2012
sebanyak 3 kasus dengan morbiditas DBD sebesar 5,4 per 100.000.
Sebelumnya tahun 2011 dengan angka kesakitan DBD 4 kasus dengan 7,1
per 100.000. Dengan demikian terjadi penurunan angka DBD
dibandingkan tahun sebelumnya.Hal ini terkait kesadaran masyarakat
untuk melakukan usaha pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin
dan berkesinambungan.
d. Pengendalian Penyakit Malaria
Tahun 2013 kasus Malaria di Kecamatan Kebasen 0 kasus. Angka
Kesakitan Malaria tahun 2013 tidak dapat dihitung karena data yang
terkumpul belum sampai akhir bulan Desember. Tahun 2012 di
Kecamatan Kebasen terjadi kasus malaria positif sebanyak 8 kasus atau
angka kesakitan malaria sebesar 0,1 % per 1000 penduduk. Tahun 2011
terjadi kasus sebanyak 5 kasus atau angka kesakitan malaria sebesar 0,085
% per 1000 penduduk. Jika dibandingkan angka kesakitan malaria antara
tahun 2012 dan 2011, terdapat peningkatan kasus pada tahun 2012
dibandingkan tahun 2011. Daerah endemik di Kecamatan Kebasen adalah
Desa Kalisalak.
e. Pengendalian Vektor
Kegiatan pengendalian vektor untuk nyamuk yang dilakukan
secara rutin adalah dengan gerakan PSN, abatisasi, fogging dan
penyuluhan.Namun langkah yang paling efektif adalah PSN. Jumlah
rumah atau bangunan yang ada dan diperiksa sebanyak 7877 rumah, yang
terbukti bebas jentik yaitu sebanyak 6651 rumah. Angka rumah atau
bangunan bebas jentik sebanyak 84,44%. Target standar pencapaian
minimal 2012 yaitu lebih dari 95%.
5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
1) Pelayanan Kesehatan Lingkungan
Jumlah institusi yang terdiri dari sarana kesehatan, sarana
pendidikan, sarana ibadah dan perkantoran di Kecamatan Kebasen yang
15
dibina kesehatan lingkungannya sebanyak 290 buah dan yang dibina
sebanyak 211 buah (72,8%). Standar pelayanan minimal untuk institusi
yang dibina 2012 sebesar 70% dengan demikian institusi yang dibina
sebesar 72,8%.
2) Pelayanan Higiene Sanitasi Tempat-Tempat Umum
Jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang ada di Kecamatan
Kebasen sebanyak 336 buah dan yang diperiksa persyaratan kesehatannya
sebanyak 291 buah. Dari 291 buah TTU yang diperiksa persyaratan
kesehatannya, yang memenuhi syarat kesehatan terdapat 266 buah TTU
atau sebesar 91,41%. Target standar pelayanan minimal 2012 untuk
pelayanan hygiene sanitasi TTU sebesar 80%.
3) Rumah Sehat
Jumlah rumah yang diperiksa di Kecamatan Kebasen tahun 2012
adalah 7.877 rumah dan 3.749 rumah (47,6%) diantaranya memenuhi
syarat kesehatan. Target standar pelayanan minimal 2012 untuk rumah
sehat sebesar 65%
16
III. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS
MASALAH
A. Daftar Masalah Kesehatan Puskesmas Kebasen
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga
menimbulkan rasa tidak puas. Dalam memutuskan adanya masalah, diperlukan
tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Adanya kesenjangan
2. Adanya rasa tidak puas
3. Adanya rasa tanggung jawab untuk menanggulangi masalah (Timmreck,
2004).
Kepanitraan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) di Puskesmas Kebasen
mengidentifikasi permasalahan dari segi morbiditas penyakit di wilayah
Puskesmas Kebasen.
Angka morbiditas penyakit dilihat dari besar penyakit tahun 2013.
Tabel 3.1. 6 Besar Penyakit pada IRJ di Puskesmas KebasenSumber: Data Sekunder Puskesmas Kebasen 2013
B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)
Penentuan prioritas masalah di Puskesmas Kebasen menggunakan metode
Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4 kelompok kriteria, yaitu:
1. Kelompok kriteria A : Besarnya masalah
2. Kelompok kriteria B : Kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak
urgensi dan biaya
3. Kelompok kriteria C : Kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian
terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah
No Penyakit Jumlah Kasus Prevalensi 1 Ispa 1451 4.22 Dispepsia 414 2.33 Hipertensi 355 2.44 Diare 78 4.35 TB 59 0.16 DM 35 0.2
17
4. Kelompok kriteria D : PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety,
economic, acceptability, resources availability, legality
Adapun prioritas masalah di Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut:
1. Kriteria A (besarnya masalah)
Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya
penduduk yang terkena efek langsung.
Tabel 3.2. Skor Besarnya MasalahMasalah
KesehatanBesarnya masalah berdasarkan prevalensi penyakit Nilai<20%
(1)20-40%
(2)40-60%
(3)60-80%
(4)80-100%
(5)Ispa X 1Dispepsia X 1Hipertensi X 1Diare X 1TB X 1DM X 1
2. Kriteria B (kegawatan masalah)
Severity (Memberikan mortalitas atau fatalitas yang tinggi)
a. Tidak gawat
b. Kurang gawat
c. Cukup gawat
d. Gawat
e. Sangat gawat
Urgency (Apakah masalah tersebut menuntut penyelesaian segera, menjadi
perhatian publik)
a. Tidak urgent
b. Kurang urgent
c. Cukup urgent
d. Urgent
e. Sangat urgent
Cost (Besarnya dampak ekonomi kepada masyarakat)
18
a. Sangat murah
b. Murah
c. Cukup mahal
d. Mahal
e. Sangat mahal
Masalah kesehatan Severity Urgency Cost Nilai
Ispa 1 1 3 1,3Dispepsia 1 1 1 1Hipertensi 2 2 2 2Diare 4 3 2 3TB 3 2 2 2,3DM 3 2 2 2,3
3. Kriteria C (Kemudahan dalam Penanggulangan)
Kriteria C digunakan untuk menilai kemudahan dalam
penanggulangan masalah, maka dinilai apakan sumber daya dan teknologi
yang ada dapat menyelesaikan masalah. Skor yang digunakan dari skala 1
sampai 5. Semakin sulit penanggulangan, skor yang diberikan semakin kecil.
Tabel 3.4 Kemudahan Dalam Penanggulangan
Masalah NIspa 3Dispepsia 2Hipertensi 2,8Diare 4TB 2,4DM 2,6
4. Kriteria D (PEARL factor)
Kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan dapat
tidaknya suatu program dilaksanakan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Kesesuaian (Propriety)
Tabel 3.3. Skor KegawatanMasalah
19
b. Murah (Economic)
c. Dapat diterima (Acceptability)
d. Tersedianya sumber (Resources Availability)
e. Legalitas terjamin (Legality)
Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai PEARL untuk masing-masing
masalah
Tabel 3.5 Kriteria PEARL
Masalah Kesehatan
P E A R L Hasil Perkalian
Ispa 1 1 1 1 1 1Dispepsia 1 1 1 1 1 1Hipertensi 1 1 1 1 1 1Diare 1 1 1 1 1 1TB 1 1 1 1 1 1DM 1 1 1 1 1 1
Penetapan Nilai
Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut
dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x C
Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D
Tabel 3.6. Skor total penilaian Hanlon
Masalah A B C D NPD NPT Urutan prioritasP E A R L
Ispa 1 1,3 3 1 1 1 1 1 6,9 6,9 5Dispepsia 1 1 2 1 1 1 1 1 4 4 6Hipertensi 1 2 2,8 1 1 1 1 1 8,4 8,4 3Diare 1 3 4 1 1 1 1 1 16 16 1TB 1 2,3 2,4 1 1 1 1 1 7,92 7,92 4DM 1 2,3 2,6 1 1 1 1 1 8,58 8,58 2
Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan
hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya
adalah sebagai berikut :
1. Diare
20
2. DM
3. Hipertensi
4. TB
5. Ispa
6. Dispepsia
21
IV. KERANGKA KONSEP MASALAH
A. Diabetes Melitus
1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan kronik mengenai
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Gambaran khas dari Diabetes
Mellitus adalah gangguan atau kekurangan respon sekresi insulin, yang
diterjemahkan menjadi gangguan penggunaan karbohidrat (glukosa) dengan
hasil akhir timbulnya hiperglikemia (Robbins dan Kumar, 1995). Diabetes
Mellitus adalah sekolompok penyakit metabolik yang memberikan gejala
fenotip hiperglikemia (Fauci, 2008). Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis
metabolik, yang mana terjadi insulin resisten atau defisiensi insulin
(Balakumar, 2009). Diabetes Melitus adalah penyakit multisistem yang
kompleks yang dikarakteristikkan dengan defek insulin baik dalam aksi
maupun sekresi yang menghasilkan gangguan dalam metabolisme asam amino,
asam lemak dan protein (Zhiting, 2009).
2. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
a. Berdasarkan glukosa plasma vena sewaktu
Penderita diabetes melitus sering datang dengan keluhan klinis
yang jelas seperti haus, banyak kencing, berat badan menurun, glukosuri,
bahkan kesadaran menurun sampai koma. Dengan keluhan klinis yang
jelas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu sudah dapat menegakkan
diagnosis DM. Apabila kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl (plasma
vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Dengan kata lain,
pada mereka dengan keadaan klinis jelas, kadar glukosa plasma > 200
mg/dl sudah memenuhi kriteria DM. Pada mereka ini tidak diperlukan lagi
pemeriksaan tes toleransi glukosa (Fauci, 2008) .
b. Berdasarkan glukosa plasma vena puasa
Glukosa plasma dalam keadaan puasa dibagi atas tiga nilai, yaitu <
110 mg/dl, antara > 110 mg/dl - < 126 mg/dl, dan 126 mg/dl. Kadar
22
glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, 126 mg/dl adalah
diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah
puasa terganggu (GDPT). Dengan demikian pada mereka dengan kadar
glukosa plasma vena setelah berpuasa sedikitnya 10 jam > 126 mg/dl sudah
cukup untuk membuat diagnosis diabetes melitus. Bahkan untuk penelitian
epidemiologis di lapangan dianjurkan untuk menggunakan pemeriksaan
kadar glukosa plasma puasa bukan tes toleransi glukosa oral (Fauci, 2008).
c. Dengan menggunakan tes toleransi glukosa oral
Apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar glukosa
plasma tidak normal, yaitu antara 140-200 mg/dl, maka pada mereka ini
harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral untuk meyakinkan
apakah diabetes melitus atau bukan. Sesuai dengan kesepakatan WHO
maka tes toleransi glukosa oral harus dilakukan dengan beban 75 gram
setelah berpuasa minimal 10 jam. Penilaian dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.1. Nilai glukosa plasma puasa dan toleransi glukosa setetah beban
75 gram glukosa
Glukosa plasma puasaNormal
< 110 mg/dl (6,1 mmol/L)
Glukosa puasa terganggu 110 mg/dl (6,1 mmol/L), dan < 126 mg/dl(7,0 mmol/L)
Diabetes mellitus > 126 mg/dl (7,0 mmol/L)Hasil tes toleransi glukosa oral, glukosa plasma 2 jamNormal
< 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl (7,8 mmol/L), dan < 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Diabetes mellitus 200 mg/dl (11,1 mmol/L)Sumber: ADA 2007
Cara mendiagnosis DM menurut American Diabetes Association
(ADA) 1997 sebenarnya tidak berbeda dengan cara WHO 1985. Perbedaan
utama hanya terletak pada batasan glukosa plasma puasa, yaitu 126 mg/dl.
Pada Tabel 2.2 dapat dilihat secara ringkas kriteria diagnosis ADA 1997.
23
Tabel 4.2 Kriteria Diagnosis DM orang dewasa tidak hamil (ADA, 1997)
1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L) pada seseorang dengan keluhan diabetes melitus, seperti banyak kencing, haus dan berat badan menurun. 2. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa sedikitnya 10 jam. 3. Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral, 2 jam setelah beban 75 mg glukosa oral, > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Sumber: ADA, 2007
3. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM berdasarkan proses patogenesis hingga menyebabkan
hiperglikemia (Fauci, 2008). Secara umum DM dibagi menjadi 4 tipe DM tipe
1, DM tipe 2, DM gestasional dan tipe khusus lainnya (Fauci, 2008). Menurut
American Diabetes Association 2007, DM diklasifikasikan berdasarkan
etiologinya yaitu
a. DM Tipe 1
Prevalensi DM tipe 1 paling tinggi di Scandavia, sedangkan negara-
negara yang berada di daerah samudra pasifik termasuk Indonesia memiliki
prevalensi yang lebih rendah (Kronenberg, 2008). Sebagian besar terjadi
destruksi sel β. Biasanya menyebabkan defisiensi absolut insulin.
Kerusakan maupun defisiensi sel β disebabkan oleh proses imunologi dan
idiopatik (Fauci, 2008)
Selain proses autoimun terdapat proses nonimun yang
menyebabkan defisiensi insulin. Mekanisme nonimun tersebut adalah
karena kecepatan mengalami ketosis, kebanyakan hal ini diwariskan pada
orang Afrika, Amerika, atau Asia. Pada mereka ini jelas ditemukan
insulinopeni tanpa petanda imun, dan mudah sekali mengalami
ketoasidosis (Fauci, 2008).
b. DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) dikarakteristikkan dengan
berkurangnya sekresi insulin, resisten insulin, over produksi dari glukosa
24
hepar, dan abnormalitas metabolisme lemak (Fauci, 2008). Patogenesis
DM tipe 2 kompleks dan merupakan interaksi antara faktor genetik
dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah gaya
hidup. DM tipe 2 sebagian besar penyebabnya adalah komponen genetik
(Fauci, 2008).
DM tipe 2, patofisiologinya berdasarkan karakteristiknya yaitu
berkurangnya sekresi insulin, resistensi insulin, over produksi dari glukosa
hepar, dan abnormalitas metabolisme lemak (Fauci, 2008). Mayoritas
kejadian intoleransi glukosa dalam diabetes disebabkan oleh resistensi
insulin (Kronenberg, 2008).
c. DM Tipe Khusus lainnya
DM ini disebabkan oleh
1) Defek genetik fungsi sel β yang dikarakteristikkan mutasi pada:
a) Kromosom 20, Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4α
(MODY 1)
b) Kromosom 7, Glucokinase (MODY 2)
c) Kromosom 12, HNF-1 α (MODY 3)
d) Kromosom 13, Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
e) Kromosom 17, HNF-1 β (MODY 5)
f) Kromosom 2, NeuroD1 (MODY 6)
g) DNA Mitokondria
h) Subunit dari ATP-sensitive potassium channel
i) Proinsulin atau konversi insulin
2) Defek Genetik dalam kerja insulin, misalnya
a) Tipe A resisten insulin
b) Leprechaunism
c) Sindrom Rabson-Mendenhall
d) Sindrom Lipodystrophy
25
3) Penyakit eksokrin pankreas misalnya: pankreatitis, pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, fibrocalculous
pancreatopathy, mutasi pada carboxyl ester lipase
4) Endokrinopati misalnya akromegali, Cushing's syndrome,
glucagonoma, pheochromocytoma, hyperthyroidism,
somatostatinoma, aldosteronoma
5) Karena obat atau zat kimia misalnya Vacor, pentamidine, nicotinic
acid, glucocorticoids, thyroid hormone, diazoxide, β-adrenergic
agonists, thiazides, phenytoin, α -interferon, protease inhibitors,
clozapine
6) Infeksi misalnya infeksi congenital rubella, cytomegalovirus,
coxsackie
7) Imunologi misalnya "stiff-person" syndrome, antibody anti reseptor
insulin
8) Sindrom genetik lain Down's syndrome, Klinefelter's syndrome,
Turner's syndrome, Wolfram's syndrome, Friedreich's ataxia,
Huntington's chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic
dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome.
d. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes ini berkembang selama kehamilan
4. Komplikasi DM
DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut maupun
komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa diabetik ketoasidosis dan sindrom
hiperosmolar non-ketotik yang dapat mengancam jiwa penderita (American
Diabetes Association, 2007). Sedangkan komplikasi kroniknya yaitu:
a. Mikrovaskular
1) Penyakit mata
a) Retinopathy (nonproliferative/proliferative)
b) Edema Makular
2) Neuropati
26
a) Sensorik dan motorik (mono- and polyneuropathy)
b) Autonomik
3) Nefropati
b. Makrovaskular
1) Penyakit arteri koroner
2) Penyakit arteri perifer
3) Penyakit Serebrovaskuler
c. Yang lain
1) Gastrointestinal (gastroparesis, diare)
2) Genitourinary (uropathy/sexual dysfunction)
3) Dermatologik
4) Infeksi
5) Katarak
6) Glaukoma
7) Penyakit Periodontal (Qureshi, 2007; Fauci, 2008; Kronenberg, 2008)
Durasi dan keparahan hiperglikemia berhubungan kuat dengan
progresivitas penyakit mikrovaskular akibat diabetes. (Fauci, 2008;
Kronenberg, 2008), Hal ini berdasarkan bahwa pencegahan hiperglikemia
kronik dapat menunda terjadinya retinopathy, neuropathy, dan
nephropathy. (Fauci, 2008)
5. Patofisiologi Komplikasi DM
Mekanisme hiperglikemia kronik menyebabkan komplikasi belum
sepenuhnya diketahui, tetapi ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis
tersebut (Fauci, 2008; Kronenberg, 2008).
a. Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular diawali dengan keadaan hiperglikemia.
Keadaan hiperglikemia yang menyebabkan kerusakan hanya terjadi pada
beberapa jenis sel seperti sel endotel. Sel endotel mengalami keadaan
hiperglikemik intraselular pada keadaan hiperglikemia karena mereka tidak
27
dapat mengatur penurunan transpor glukosa dalam keadaan hiperglikemia.
Transpor glukosa ke dalam sel endotel memiliki jumlah yang sama pada
konsentrasi gula ekstraselular yang rendah maupun tinggi. Tidak seperti sel
lain yang akan menurunkan masukan glukosa ke dalam sel jika berada
pada lingkungan yang hiperglikemia (Kronenberg, 2008).
Peningkatan glukosa intraselular meningkatkan pembentukan
Advanced Glycosylation End Products (AGEs) secara nonenzimatik. Hal
ini merupakan hasil dari interaksi antara glukosa dan asam amino dalam
protein. AGEs tampak pada protein cross linked (misalnya kolagen,
ektraselular matrix) yang mempercepat terjadinya atherosclerosis,
disfungsi glomerular, penurunan sintesis NO, disfungsi endotel, dan
mengganggu komposisi dan struktur matrix ekstraselular (Fauci, 2008)
Hiperglikemia menyebabkan gangguan pada aliran dan
permeabilitas retina, glomerulus, dan vasa nervorum. Peningkatan aliran
darah dan tekanan intrakapiler disebabkan oleh penurunan NO dan juga
peningkatan sensitivitas angiotensin II yang diinduksi oleh DM. Keadaan
tersebut mengakibatkan disfungsi endotel, misalnya terjadi kebocoran
pada kapiler retina dan glomerulus. Pada awalnya, keadaan ini bersifat
reversibel, tetapi pada tahap lanjut dapat menjadi irreversibel (Kronenberg,
2008).
Pada keadaan hiperglikemia terjadi penyempitan dan oklusi lumen
pembuluh darah yang mengakibatkan perfusi tidak adekuat dan gangguan
fungsi jaringan (Kronenberg, 2008). Penyempitan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1) Kebocoran protein plasma yang mengandung karbohidrat sehingga
tertumpuk pada dinding pembuluh darah. Kebocoran ini merangsang
sekresi growth factor dan matriks ekstraselular oleh sel mesangial dan
perisit.
2) Ekstravasasi growth factor yang menstimulasi overproduksi komponen
ekstraselular.
28
3) Hipertensi menginduksi ekspresi gen seperti GLUT 1, Growth Factor,
Growth Factor Receptor, dan molekul adesi yang mengkativasi
sirkulasi leukosit (Kronenberg, 2008).
Oklusi pada lumen pembuluh darah juga diikuti dengan apoptosis
sel. Pada retina, apoptosis diinduksi poleh sel Muller, gangglion, perisit,
dan endotel. Di glomerulus masih belum diketahui, tetapi diperkirakan
berhubungan dengan hilangnya podosit. Pada vasa nervorum, sel endotel
dan pericyte terjadi degenerasi (Kronenberg, 2008).
Teori lain mengatakan bahwa hiperglikemia meningkatkan
metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Glukosa intraselular terutama
dimetabolisme dengan fosforilasi dan glikolisis, tetapi ketika jumlah
glukosa meningkat maka beberapa glukosa diubah menjadi sorbitol dengan
enzim aldose reductase. Peningkatakn konsentrasi sorbitol ini mengganggu
potensial redoks, peningkatan osmolaritas selular, menghasilkan ROS
(reactive oxygen species) (Nam, 2008), dan disfungsi selular. Tetapi
penggunaan aldose inhibitor tidak menghasilkan efek yang signifikan pada
manusia untuk menghambat efek komplikasi mikrovaskular (Fauci, 2008).
Growth factor tampaknya memiliki peran penting dalam
patogenesis komplikasi DM (Ezzidi 2008). VEGF-A meningkat pada
penderita diabetik retinopati dan menurun setelah dilakukan fotokoagulasi.
TGF-β meningkat pada diabetik nephropati dan menstimulasi produksi
kolagen serta fibronektin pada membranan basalis oleh sel mesangial.
PDGF, IGF, EGF, FGF, dan insulin juga diperkirakan mempengaruhi
terjadinya komplikasi DM (Fauci 2008, Thomson 2008).
b. Komplikasi makrovaskular
Insulin pada dasarnya mempunyai dua efek yaitu antiaterogenik dan
aterogenik. Efek antiaterogenik adalah menstimulasi produksi NO dari
endotel. NO sendiri salah satu fungsinya adalah menginhibisi proses
pengumpulan dan perlekatan platelet ke dinding pembuluh darah. NO
endotel juga berfungsi mengontrol ekspresi gen termasuk aterogenesis. NO
29
sel endotel juga menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Dan NO
menginhibisi proliferasi sel otot polos pembuluh darah (King, 1996;
Hsueh, 1998; Ezzidi 2008; Fauci, 2008).
Resistensi insulin pada jaringan adiposa dapat menyebabkan
pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini menstimulasi hepatosit
untuk mensekresi VLDL sehingga terjadi hipertrigliseridemia (TG). VLDL
menstimulasi perubahan TG menjadi cholesteryl ester (CE) berbanding
terbalik dengan High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density
Lipoprotein (LDL), dikatalis dengan CE transfer protein (CETP). TG
memperkaya HDL dengan memisahkan diri dari ApoA-1, meninggalkan
sidikit HDL untuk transport kolesterol. TG memperkaya LDL kemudian
berubah menjadi atherogenik kecil, Small Dense LDL Particles (SD LDL)
(Kronenberg, 2008). Untuk lebih memahami lihat gambar 2.6
Gambar 4.1 Resistensi Insulin menghasilkan Asam Lemak Bebas
(Sumber: Kronenberg, 2008)
Diabetes mellitus biasanya secara kronik terjadi iskemia oleh
karena itu untuk mengkompensasinya dibentuk pembuluh darah baru hasil
dari sel progenitor yang berasal dari sumsum tulang. Pembuluh darah baru
tersebut sering disebut neovaskularisasi, misalnya di retina menyebabkan
retinopati diabetik (Kronenberg, 2008).
30
B. Faktor Risiko Diabetes Melitus
Pengukuran faktor risiko DM dilakukan pada masyarakat yang berumur
20 tahun ke atas sesai dengan jenis faktor risiko yang disebutkan oleh
Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2006. Faktor risiko DM
dibedakan menjadi fktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat
dimodifikasi (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2008).
1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Ras dan Etnik
Ras dan etnik dari masyarakat yang diperiksa misalnya, suku
minang, suku bugis, suku sunda.
b. Usia
Orang yang berusia ≥45 tahun mempunyai risiko 9 kali untuk
terjadinya DM tipe 2 dibandingkan dengan yang berumur kurang dari 45
tahun. Teori mengatakan bahwa seseorang yang berusia ≥45 tahun
memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi
glukosa karena faktor degeneratif yaitu menurunnya fungsi tubuh untuk
memetabolisme glukosa. Namun kondisi ini ternyata tidak hanya
disebabkan oleh faktor umur saja, tetapi tergantung juga pada lamanya
penderita bertahan pada kondisi tersebut. Sejumlah penelitian menunjukan
bahwa terdapat peningkatan kasus hingga mencapai usia 60 tahun. Risiko
untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Menurut PERKENI, orang pada usia di atas 45 tahun
harus dilakukan pemeriksaan DM. Beberapa studi epidemiologi
mengatakan bahwa tingkat kerentanan terjangkitnya penyakit DM tipe-2
sejalan dengan bertambahnya umur. (Wicaksono, 2011).
c. Riwayat Keluarga dengan DM
Seorang anak merupakan keturunan pertama dari orang tua dengan
DM (ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan). Risiko seorang
anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila salah seorang orang tuanya
menderita DM dan kemungkinan 75% bila kedua-duanya menderita DM.
31
Bila seseorang menderita DM, maka saudara kandungnya mempnyai
risiko DM sebanyak 10%.
d. Riwayat melahirkan dengan BB bayi lahir > 4 kg
e. Riwayat Lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) < 2,5 kg
Seseorang yang lahir dengan BBLR dimngkinkan memiliki
kerusakan pankreas sehingga kemampan pankreas untuk memproduksi
insulin akan terganggu.
2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
a. Indeks Massa Tubuh
Berat badan lebih terjadi jika makanan yang dimakan mengandung
energi melebihi kebtuhan tubuh, sehingga kelebihan energi tersebut akan
disimpan oleh tubuh sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak.
Kelebihan berat badan merupakan salah sat faktor risiko DM. cara
sederhana untuk mengetahui kelebihan berat badan adalah dengan
mengukur indeks massa tubuh (IMT). Penggunaan IMT hanya berlaku
pada orang dengan usia di atas 18 tahun.
Batas ambang IMT untuk orang Indonesia dikategorikan merujk
FAO/WHO yang telah dimodifikasi berdasarkan pengalaman klinis dan
hasi penelitian di beberapa berkembang, sebagai berikut:
Tabel 4.3. Batas Ambang IMT Orang Indonesia
Kategori IMTKurus < 17Normal 17,0 – 18,4Kegemukan >25,0 – 27,0Obesitas >27,0
b. Hipertensi
Kategori hipertensi dapat dihitung dengan mengukur tekanan darah
arteri bracialis di lengan atas. Hipertensi pada DM tipe 2 dapat muncul
bersamaan dengan atau mungkin muncul terlebih dahulu sebelum adanya
diabetes melitus. Hal ini disebabkan pada penderita hipertensi sering
32
ditemukan adanya sekumpulan kelainan lainnya seperti: obesitas sentral,
dislipidemi, hiperurisemi dan hiperinsulinemia atau resistensi insulin atau
yang sekarang disebut sindroma metabolik. Orang yang memiliki riwayat
hipertensi lebih berisiko terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki riwayat hipertensi meskipun secara statistik tidak
bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Amerika yang
menunjukkan bahwa individu dengan hipertensi 2,5 kali lebih sering
mengalami DM tipe-2 dibanding normotensi (Wicaksono, 2011).
Tabel 4.4. Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VII 2003
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)Normal <120 <80Prehipertensi 121-139 81-90Hipertensi derajat 1 140-159 91-99Hipertensi derajat 2 >160 >100
c. Pola Makan (Konsumsi Gula Berlebih)
Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinngi gula dan rendah
serat merupakan faktor risiko dari DM. Orang yang memiliki kebiasaan
mengonsumsi makanan atau minuman manis memiliki risiko 2 kali terjadi
DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kebiasaan
mengonsumsi makanan atau minuman manis (Wicaksono, 2011).
d. Olahraga
Olahraga secara teratur dapat menambah sensitivitas insulin dan
menambah toleransi glukosa. Olahraga mempunyai efek menguntungkan
pada lemak tubuh, tekanan darah, dan distribusi lemak tubuh atau berat
badan, yaitu pada aspek ganda ‘sindroma metabolic kronik’, sehingga
dapat mencegah penyakit kardiovaskuler. Hubungan antara inaktivasi fisik
dengan DM masih terlihat, bahkan setelah di-adjusted dengan obesitas,
hipertensi, dan riwayat keluarga DM tipe 2. Dengan demikian olahraga
memiliki efek protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat
badan melalui bertambahnya aktivitas fisik. Pada penelitian ini aktivitas
Faktor intrinsik
Diabetes Melitus Tipe 2
Faktor eksternal
IMTPola MakanOlah ragaKebiasaan Merokok
Riwayat Keluarga dengan DMHipertensi
Gambar 4.2 Kerangka Konsep Penelitian
33
olahraga < 3 kali /minggu selama 30 menit menunjukkan risiko menderita
DM lebih tinggi dari pada aktivitas olah raga yang rutin. Hal ini sesuai
dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
kurangnya olah raga memperlihatkan perbedaan prevalensi DM tipe-2
hingga 2-4 kali lipat (Wicaksono, 2011).
e. Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan
gangguan metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin. Pada
kondisi hiperglikemi, nikotin dan karbon monoksida akan mempercepat
terjadinya penggumpalan darah. Diabetisi yang merokok cenderung
mengalami penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah sehingga
lebih banyak mengalami komplikasi kebutaan, impotensi, gagal ginjal dan
tindakan amputasi (Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
2008).
C. Kerangka Konsep Penelitian
34
D. Hipotesis
Terdapat hubungan antara faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik terhadap
kejadian Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen.
35
V. METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan studi observasional analitik dengan
menggunakan desain case-control Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Kebasen.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
a. Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah warga Kecamatan Kebasen
yang mengikuti Posyandu Lansia.
c. Teknik pengambilan sampel
Tehnik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, yaitu
teknik penentuan sampel dengan memberi kesempatan yang sama pada
setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel kemudian proses
pemilihan sejumlah sampel n dan N yang dilakukan secara random.
d. Besar sampel
Estimasi besar sampel untuk penelitian analitik kategorik tidak
berpasangan menggunakan rumus sebagai berikut:
n 1=n2=(Z α √2 PQ+Z β√ P1 Q 1+P 2 Q 2)2
(P 1−P 2)2
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Zα = Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% maka Zα = 1,64
Zβ = Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20% maka Zβ = 0,84
36
n 1=n2=(1,64√2 x 0,55 x0,45+0,84√0,35 x0,65+0,75 x 0,25)2
(0,35−0,75)2
n1 = n2 = 17,75 = 18
Berdasarkan rumus dan nilai yang telah ditetapkan diatas, maka sampel
minimal untuk penelitian ini adalah 18 orang untuk setiap kelompok,
ditambah 10% menjadi 20 orang setiap kelompok.
e. Kriteria inklusi dan ekslusi
1) Kriteria inkusi untuk sampel kasus:
a) Menderita DM tipe 2
b) Berdomisili di desa Kecamatan Kebasen
c) Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan menjadi subyek penelitian setelah membaca
lembar informed consent.
2) Kriteria inkusi untuk sampel kontrol:
a) Bukan pasien DM tipe 2
b) Berdomisili di Kecamatan Kebasen
c) Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani
lembar persetujuan menjadi subyek penelitian setelah membaca
lembar informed consent.
3) Kriteria eksklusi :
a) Penderita DM tipe 1
b) Tidak mengisi data kuesioner secara lengkap
C. Variabel Penelitian
1. Variabel terikat : Diabetes Melitus tipe 2
2. Variabel bebas : Riwayat keluarga menderita DM, hipertensi, IMT, pola
makan, olahraga, kebiasaan merokok
D. Definisi Operasional
Tabel 5.1. Definisi Operasional
37
Variabel Keterangan Skala
Diabetes Melitus tipe 2
Keadaan seseorang yang didiagnosis dokter memiliki diabetes melitus tipe 2.Dikategorikan menjadi :Ya: didiagnosis DM tipe 2Tidak: tidak didiagnosis DM tipe 2
Nominal
Riwayat keluarga menderita DM
Adanya keluarga responden yang memiliki penyakit diabetes melitus..ya : memiliki keluarga yang terkena DMtidak : tidak memiliki keluarga yang terkena DM
Nominal
Hipertensi Keadaan seseorang memiliki tekanan darah sistolik >140 mmHg dan atau Diastolik >90 mmHg.Dikategorikan menjadi :Ya : memiliki hipertensiTidak : tidak memiliki hipertensi
Nominal
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pengukuran yang membandingkan berat badan dan tinggi badan seseorang untuk memperkirakan berat badan ideal dengan tinggi badan tertentu. Rumus IMT dirancang dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan (dalam meter) yang dikuadratkan. Jadi: IMT = [Berat Badan (Kg)] / [Tinggi badan(m)xTinggi badan(m)]Dikategorikan menjadi :Underweigt :17,0 – 18,4 kg/m2
Normoweight : 18,5– 25,0 kg/m2
Overweight : 25,1 – 27,0 kg/m2
Obesitas : > 27,0 kg/m2
Nominal
Pola Makan Jumlah konsumsi gula pasir dalam satu hari< 2 sdm 2-3 sdm> 3 sdm
Nominal
Olahraga Melakukan olah raga teratur 3 kali seminggu selama 30 menit dengan jenis olahraga aerobik.Ya : teratur melakukan olah ragaTidak : tidak teratur melakukan olah raga
Nominal
Kebiasaan Merokok
Kegiatan merokok meliputi : Ya = merokokTidak = tidak merokok
Nominal
E. Instrumen Pengambilan Data
38
Sumber data adalah primer yang diperoleh dari wawancara terstruktur
dengan menggunakan kuesioner. Wawancara dilakukan pada Posyandu Lansia
yang rutin dilakukan setiap bulan.
F. Rencana Analisis Data
Data deskriptif disajikan dengan gambar dan tabel. Untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dan terikat diuji dengan chi square pada program
SPSS 17.
G. Tata Urutan Kerja
1. Tahap persiapan
a. Studi pendahuluan (orientasi) di Puskesmas Kebasen.
b. Analisis situasi.
c. Identifikasi dan analisis penyebab masalah.
2. Tahap pelaksanaan
a. Mencatat dan menentukan nama responden.
b. Pengambilan data primer.
c. Tahap pengolahan dan analisis data.
d. Tahap penyusunan laporan.
H. Waktu dan Tempat
Kegiatan dilaksanakan pada:
Tanggal : Februari 2014
Tempat : Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas.
39
VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Responden
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2014 di wilayah kerja
Puskesmas Kebasen. Responden berasal dari Desa Cindaga, Desa Tumiyang,
Desa Kebasen, Desa Kalisalak, Desa Kaliwedi dan Desa Mandirancan.
Penelitian dilakukan terhadap 60 reponden, 24 orang didiagnosis dokter
menderita DM tipe 2 dan 36 orang tidak menderita DM tipe 2. Jumlah
responden di kelompok kontrol lebih banyak dibanding kelompok kasus,
sehingga responden di kelompok kontrol dikurangi 12 agar jumlahnya sama
dengan umlah responden kelompok kasus.
Gambaran umum responden didapatkan dari analisis univariat dan
dimaksudkan untuk mengetahui dengan jelas karakteristik. Jumlah sampel
minimal yang telah ditetapkan sebelumnya sebanyak 20 responden untuk
setiap kelompok. Jumlah responden penelitian ini adalah, 24 responden pada
kelompok kasus dan 24 responden pada kelompok kontrol.
2. Deskripsi Variabel
Hasil analisis univariat faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
diabetes melitus tipe 2 di Kecamatan Kebasen didapatkan hasil deskripsi
frekuensi tiap variabel penelitian, yaitu sebagai berikut:
a.Usia dan Jenis Kelamin
Berdasarkan data penelitian terhadap 48 responden yang memenuhi
kriteria penelitian, terdapat karakteristik usia dan jenis kelamin seperti
yang tertera pada tabel 6.1.
40
Tabel 6.1. Karakteristik Responden
Variabel Frekuensi %Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
741
14,685,4
Usia < 45 tahun > 45 tahun
147
2,197,9
Sumber: Data primer, 2014
Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi
responden menurut jenis kelamin terdiri dari 7 orang (14,6%) laki-laki dan
41 orang (85,4%) perempuan. Kelompok usia yang paling banyak menjadi
responden adalah kelompok usia lebih besar sama dengan 45 tahun dengan
jumlah responden sebanyak 47 orang (97,9%). Kelompok usia yang paling
sedikit menjadi responden adalah kelompok usia di bawah 45 tahun, yaitu 1
orang (2,1%).
b. Hipertensi
Berdasarkan data penelitian terhadap 48 responden yang memenuhi
kriteria penelitian, terdapat karakteristik tekanan darah responden yang
tertera pada tabel 6.2.
Tabel 6.2. Distribusi Tekanan Darah Responden
Kejadian Kasus DM Tipe 2
Total
Kasus Kontrol
HipertensiYa
9(33,33%)
18(66,67%)
27(100%)
Tidak15
(71,43%)6
(28,57%)21
(100%)
c.Indeks Massa Tubuh (IMT)
Penelitian dilakukan terhadap 48 responden. Berat badan dan tinggi
badan responden diukur menggunakan timbangan dan alat ukur tinggi
badan yang sudah dikalibrasi. Karakteristik penndapatan responden
penelitian sebagai berikut
41
Tabel 6.3. Distribusi IMT Responden
Kejadian Kasus DM Tipe 2 TotalKasus Kontrol
IMT
Underweight0
(0%)10
(100%)10
(100%)
Normal23
(65,71%)12
(34,29%)35(%)
Overweight 02
(100%)2
(100%)
Obesitas 1
(100%)0 1
(100%)
d. Pola Makan
Penelitian dilakukan terhadap 48 responden. Responden diwawancarai
mengenai jumlah konsumsi gula pasir setiap harinya. Karakteristik pola
makan responden penelitian sebagai berikut(tabel 6.4.)
Tabel 6.4. Distribusi Frekuensi Pola Makan Responden
Kejadian Kasus DM Tipe 2 TotalKasus Kontrol
Pola Makan
<2 sdm2
(10%)18
(90%)20
(100%)
2-3 sdm5
(50%)5
(50%)10
(100%)
>3 sdm17
(94,4%)1
(5,56%)18
(100%).
e. Olahraga
Karakteristik keteraturan olahraga responden penelitian sebagai
berikut (tabel 6.5).
Tabel 6.5. Distribsi Frekensi Olahraga
Variabel KlasifikasiKejadian Diabetes
Melitus Tipe 2 TotalKasus Kontrol
Olahraga Teratur 2(28,57%)
5 (71,43%)
7 (100 %)
Tidak 22(53,66%)
19(46,34%)
41 (100 %)
42
f. Kebiasaan Rokok
Berdasarkan hasil wawancara mengenai konsumsi rokok oleh
responden, didapatkan data seperti yang tertera pada tabel 6.6.
Tabel 6.6. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok
VariabelKlasifikasi
Kejadian Kasus Diabetes Melitus Tipe 2 Total
Kasus KontrolMerokok Ya 4
(80%) 1 (20%)
5 (100%)
Tidak 20 (46,51%)
23 (53,49%)
43 (100%)
3. Analisis Bivariat
Analalisis bivariat bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antara variabel bebas berupa faktor risiko dengan kejadian diabetes
melitus tipe 2. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Chi-Square Test dan Kolmorgorov Smirnov Test.
a. Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Diabetes Melitus Tipe 2
Tabel 6.7. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Jenis Kelamin dan
DM Tipe 2
Variabel KlasifikasiKejadian DM
Tipe 2 JumlahPYa Tidak
Jenis Kelamin Laki-laki 5 2 70,220Perempuan 19 22 41
Keterangan : p=Signifikansi; hubungan bermakna jika p<0,05
Berdasarkan uji Chi Squre Test di atas (Tabel 6.9), tidak terdapat
hubungan yang bermakna secara statistika antara pengetahuan dan
penyakit TB (p = 0,220).
43
b. Hubungan antara Usia dan DM Tipe 2
Tabel 6.8. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Usia dan DM Tipe 2
Variabel KlasifikasiKejadian DM Tipe 2
JumlahPYa Tidak
Usia <45 tahun 1 0 10,312>45 tahun 23 24 47
Berdasarkan uji Chi Squre Test di atas (Tabel 6.8), tidak terdapat
hubungan yang bermakna secara statistika antara usia dan DM Tipe 2 (p =
0,312).
c. Hubungan Antara Hipertensi dan DM Tipe 2
Tabel 6.9. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Hipertensi dan DM
Tipe 2
Variabel KlasifikasiKejadian DM Tipe 2
JumlahPYa Tidak
Hipertensi Ya 9 18 27
0,009Tidak 15 6 21Keterangan : p=Signifikansi; hubungan bermakna jika p<0,05
Berdasarkan uji Chi Squre Test di atas (Tabel 6.9), terdapat
hubungan yang bermakna secara statistika antara Hipertensi dan DM Tipe
2 (p = 0,009).
d. Hubungan Antara IMT dan DM Tipe 2
Tabel 6.10. Uji Chi Square Test Hubungan Antara IMT dan DM Tipe
2
Variabel KlasifikasiKejadian DM Tipe 2
JumlahPYa Tidak
IMT Underweight 0 10 100,31Normal 23 12 35
Overweight 0 2 2Obesitas 1 0 1
44
Keterangan : p=Signifikansi; hubungan bermakna jika p<0,05
Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov Test di atas (Tabel 6.10),
tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistika antara IMT dan
DM Tipe 2 (p = 0,31).
e. Hubungan Antara Pola Makan dan DM Tipe 2
Tabel 6.11. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Pola Makan dan
DM Tipe 2
Variabel KlasifikasiKejadian DM
Tipe 2 JumlahPYa Tidak
Konsumsi Gula <2 sdm 2 18 200,0002-3 sdm 5 5 10
>3 sdm 17 1 18Keterangan : p=Signifikansi; hubungan bermakna jika p<0,05
Berdasarkan uji Chi Square Test di atas (Tabel 6.11), terdapat
hubungan yang bermakna secara statistika antara konsumsi gula dan DM
Tipe 2 (p = 0,000).
f. Hubungan Antara Olahraga dan DM Tipe 2
Tabel 6.12. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Olahraga dan DM
Tipe 2
Variabel KlasifikasiKejadian DM
Tipe 2 JumlahPYa Tidak
Olahraga Teratur 2 5 70,220Tidak Teratur 22 19 41
Keterangan : p=Signifikansi; hubungan bermakna jika p<0,05
Berdasarkan uji Chi Square Test di atas (Tabel 6.12), tidak terdapat
hubungan yang bermakna secara statistika antara keteraturan olahraga
dengan DM Tipe 2 (p = 0,220).
45
g. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan DM Tipe 2
Tabel 6.13. Uji Chi Square Test Hubungan Antara Kebiasaan
Merokok dan DM Tipe 2
Kejadian DM Tipe 2N P
Ya TidakMerokok Ya 4 1 5
0,156Tidak 20 23 43
Berdasarkan uji Chi Square Test di atas (Tabel 6.13), terlihat bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan
merokok dan DM Tipe 2 (p = 0,156).
B. Pembahasan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubngan
dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Kebasen.
Responden penelitian terdiri 24 orang di kelompok kasus dan 24 orang di
kelompok kontrol.
Usia responden pada penelitian ini sebagian besar adalah >45 tahun dan
sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil peneletian yang dilakukan oleh Wicaksono (2011) yang
menyebutkan bahwa orang yang berusia ≥45 tahun mempunyai risiko 9 kali untuk
terjadinya DM tipe 2 dibandingkan dengan yang berumur kurang dari 45 tahun.
Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa perempuan lebih berisiko terkena
DM tipe-2 dibandingkan laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di
Amerika yang mengatakan bahwa jenis kelamin perempuan lebih berisiko terkena
DM tipe 2 daripada laki-laki. Namun, studi di Augsburg mendapatkan hasil
insidens rate yang distandardisasi menurut umur pada laki-laki sebesar 5,8 per-
1000/orang-tahun dan 4,0 per-1000/orang-tahun pada perempuan.
46
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
hipertensi dengan kejadian DM Tipe 2. Hipertensi pada DM tipe 2 dapat muncul
bersamaan dengan atau mungkin muncul terlebih dahulu sebelum adanya diabetes
melitus. Hal ini disebabkan pada penderita hipertensi sering ditemukan adanya
sekumpulan kelainan lainnya seperti: obesitas sentral, dislipidemi, hiperurisemi
dan hiperinsulinemia atau resistensi insulin atau yang sekarang disebut sindroma
metabolik. Orang yang memiliki riwayat hipertensi lebih berisiko terkena DM
tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat hipertensi
meskipun secara statistik tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya di Amerika yang menunjukkan bahwa individu dengan hipertensi 2,5
kali lebih sering mengalami DM tipe-2 dibanding normotensi (Wicaksono, 2011).
Hasil penelitian menunjukan bahwa IMT tidak berpengaruh terhadap
kejadian DM Tipe 2. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Wicaksono (2011) bahwa orang dengan status gizi overweight memiliki
risiko 2 kali terjadi DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang status gizinya
normal. Obesitas merupakan faktor utama dari insiden DM tipe 2. Penelitian di
Denmark menggambarkan penyebaran obesitas pada pasien baru yang didiagnosis
DM tipe 2 mencapai 80%, dimana penyebaran obesitas dengan latar belakang
populasi yang memiliki umur sama adalah sekitar 40%. Penelitian kohort yang
dilakukan oleh Cassano,et al juga menunjukkan adanya hubungan tingkat kadar
gula darah dengan obesitas.
Hubungan antara pola makan, terutama konsumsi gula dengan DM Tipe 2
bermakna secara statistika. Teori menyebutkan bahwa seringnya mengonsumsi
makanan dan atau minuman manis akan meningkatkan risiko kejadian DM tipe 2
karena meningkatkan konsentrasi glukosa dalam darah.
Hubungan antara keteraturan olahraga dengan kejadian DM Tipe 2 tidak
bermakna. Olahraga atau aktivitas fisik secara teratur dapat menambah
sensitivitas insulin dan menambah toleransi glukosa. Olahraga juga mempunyai
efek menguntungkan pada lemak tubuh, tekanan darah, dan distribusi lemak
tubuh atau berat badan, yaitu pada aspek ganda ‘sindroma metabolic kronik’,
47
sehingga dapat mencegah penyakit kardiovaskuler. Olahraga memiliki efek
protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan melalui
bertambahnya aktivitas fisik. Orang yang tidak teratur berolahraga atau aktivitas
olahraga < 3 kali /minggu selama 30 menit mempunyai risiko menderita DM
lebih tinggi dari pada orang yang rutin melakukan olahraga (Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2008; Wicaksono, 2011).
Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian DM Tipe 2 tidak
bermakna. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono
(2011) yang menyebutkan bahwa orang dengan kebiasaan merokok lebih berisiko
terkena DM tipe-2. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan gangguan
metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan
peningkatan risiko terkena DM.
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka peneliti melakukan
intervensi berupa pelaksanaan plan of action (POA) yang bertujuan untuk
mengurangi angka kejadian diabetes melitus.
48
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
A. Penyusunan Alternatif Pemecahan Masalah
Berdasarkan hasil dan pembahasan tentang faktor yang berhubungan
dengan kejadian penyakit DM di wilayah kerja Puskesmas Kebasen, maka dapat
diketahui bahwa pola makan terutama konsumsi gula berpengaruh terhadap
kejadian DM Tipe 2. Dengan melihat analisis data maka dapat dibuat beberapa
alternatif pemecahan masalah terkait pola makan dengan kejadian DM Tipe 2,
yaitu:
1. Penyuluhan tentang faktor risiko diabetes mellitus
2. Pemberian pamflet dan edukasi tentang DM pada penderita dan lingkungan
sekitar
3. Pemeriksaan glukosa darah pada keluarga pasien yang memiliki faktor risiko
penyakit DM.
B. Penentuan Alternatif Terpilih
Pemilihan prioritas alternatif pemecahan masalah harus dilakukan karena
adanya keterbatasan baik dalam sarana, tenaga, dana, serta waktu. Salah satu
metode yang dapat digunakan dalam pemilihan prioritas pemecahan masalah
adalah metode Reinke.
Efektifitas jalan keluar meliputi besarnya masalah yang dapat diatasi,
kelanggengan selesainya masalah, dan kecepatan penyelesaian masalah. Efisiensi
jalan keluar dikaitkan dengan biaya yang diperlukan dalam menyelesaikan
masalah.
49
Tabel 7.1. Kriteria dan Skoring Efektivitas Jalan Keluar
Skor
M(besarnya
masalah yang dapat diatasi)
I(kelanggengan
selesainya masalah)
V(Kecepatan
penyelesaian masalah)
C(Biaya yang diperlukan)
1 Sangat kecil Sangat tidak langgeng
Sangat lambat Sangat Murah
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah3 Cukup besar Cukup
langgengCukup cepat Cukup Mahal
4 Besar Langgeng Cepat Mahal5 Sangat besar Sangat
langgengSangat cepat Sangat Mahal
Prioritas pemecahan masalah dengan menggunakan metode Reinke adalah
sebagai berikut:
Tabel 7.2. Prioritas Pemecahan Masalah Metode Reinke
NoDaftar Alternatif Jalan
KeluarEfektivitas Efisiensi MxIxV
C
Urutan Prioritas MasalahM I V C
1 Penyuluhan tentang faktor risiko diabetes mellitus
3 4 2 2 12 1
2 Pemberian pamflet dan edukasi tentang DM pada penderita dan lingkungan sekitar
3 3 3 3 9 2
3 Pemeriksaan glukosa darah pada keluarga pasien yang memiliki faktor risiko penyakit DM.
3 3 2 2 4 3
Berdasarkan hasil perhitungan prioritas pemecahan masalah
menggunakan metode Reinke, didapat prioritas pemecahan masalah, yaitu
penyuluhan tentang faktor risiko diabetes melitus.
50
VIII. RENCANA KEGIATAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan kronik mengenai
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Gambaran khas dari Diabetes
Mellitus adalah gangguan atau kekurangan respon sekresi insulin, yang
diterjemahkan menjadi gangguan penggunaan karbohidrat (glukosa) dengan
hasil akhir timbulnya hiperglikemia (Robbins dan Kumar, 1995). Diabetes
Mellitus adalah sekolompok penyakit metabolik yang memberikan gejala
fenotip hiperglikemia (Fauci, 2008). Kasus DM yang ditemukan dari hasil
pencatatan Puskesmas Kebasen tahun 2012 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2011 karena terjadi peningkatan dari 91 kasus di tahun
2011 menjadi 121 kasus di tahun 2012.
Paradigma sehat diprioritaskan pada upaya peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai
lanjut usia. Dengan paradigma ini maka pembangunan kesehatan lebih
ditekankan pada upaya promotif dan preventif disbanding dengan upaya
kuratif dan rehabilitative (Depkes RI,2007).Hal inilah yang mendorong kami
untuk lebih memusatkan kegiatan pengendalian penyakit DM.
Hasil analisis bivariat untuk mencari faktor risiko yang paling
berpengaruh dalam timbulnya penyakit DM yang dilakukan terhadap 48
subjek penelitian menunjukkan bahwa pola makan, terutama konsumsi gula
menjadi faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian kasus DM di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen, Kabupaten Banyumas.
Berdasarkan hasil perhitungan prioritas pemecahan masalah
menggunakan metode Reinke, didapat prioritas pemecahan masalah yaitu
penyuluhan tentang faktor risiko diabetes melitus.
51
B. Tujuan
Meningkatkan pengetahuan masyarakat Kecamatan Kebasen mengenai faktor
risiko diabetes melitus.
C. Bentuk dan Materi Kegiatan
Kegiatan yang akan dilaksanakan berupa penyuluhan mengenai faktor risiko
diabetes melitus dan skrining diabetes melitus menggunakan stik glukosa.
D. Sasaran
Warga desa Kalisalak, Kaliwedi, Kebasen, Mandirancan dan Cindaga, baik
yang sudah didiagnosis diabetes melitus maupun yang belum.
E. Pelaksanaan
1. Personil
a. Penanggung jawab : dr. Tri Lestari Kusumaningsih
b. Pembimbing : dr. Agung S. Dwi Laksana., M.Sc. PH.
c. Pelaksana :
1) Asep Cevy Saputra
2) Cahyaning Tias
2. Waktu dan Tempat
Waktu : 11-12 Februari 2014
Tempat : Balai Desa Kaliwedi
F. Rencana Anggaran
Transportasi : Rp 20.000,00
G. Evaluasi
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan pengetahuan warga desa Kalisalak,
Kaliwedi, Kebasen, Mandirancan dan Cindaga dapat menghindari faktor
risiko yang menyebabkan diabetes melitus serta penemuan kasus baru setelah
dilakukan skrining.
52
IX. PELAKSANAAN DAN EVALUASI KEGIATAN
A. Pelaksanaan
1. Pelaksanaan Kegiatan
Penyuluhan mengenai faktor risiko diabetes melitus dilakukan terhadap
warga desa Kalisalak, Kaliwedi, Kebasen, Mandirancan dan Cindaga.
Pelaksanaan kegiatan POA dilaksanakan melalui 3 tahap, yaitu:
a. Tahap Persiapan
1) Perizinan
Perizinan diajukan dalam bentuk lisan oleh dokter muda kepada
pemegang program PTM dan Kepala Puskesmas Kebasen pada hari
Sabtu, 8 Februari 2014 dan disetujui pada hari yang sama.
2) Pendataan penderita DM yang masih berobat di Puskesmas Kebasen
b. Tahap Pelaksanaan
1) Judul Kegiatan
“Penyuluhan Faktor-Faktor Penyebab Penyakit Diabetes Melitus
(Kencing Manis) di Kecamatan Kebasen.”
2) Waktu
Selasa,10–11 Februari 2014 pukul 10.00.
3) Tempat
Balai Desa Kaliwedi
4) PenanggungJawab
a) dr. Agung S. Dwi Laksana M.Sc. PH. selaku pembimbing fakultas
b) dr. Tri Lestari Lestari Kusumaningsih selaku Kepala Puskesmas
Kebasen dan pembimbing lapangan
5) Pelaksana
a) Asep Cevy Saputra
b) Cahyaning Tias
53
6) Peserta
Warga Kalisalak, Kaliwedi, Kebasen, Mandirancan dan Cindaga.
7) Isi Kegiatan
Penyuluhan mengenai faktor risiko penyebab diabetes melitus.
B. Evaluasi
Tahap evaluasi adalah melakukan evaluasi mengenai 3 hal, yaitu evaluasi
input, proses dan output.
1. Evaluasi Input
Evaluasi sumber daya meliputi evaluasi terhadap 5 M yaitu man,
money, metode, material, machine. Tetapi pada penyuluhan ini, pelaksana
hanya mencakup 3 M, yaitu:
a. Man : Narasumber memiliki materi yang cukup untuk disampaikan
pada kegiatan ini. Pada saat sesi diskusi, narasumber bisa
menjawab pertanyaan yang diajukan pada peserta dan
peserta merasakan puas dengan jawaban dan penjelasan
yang diberikan oleh narasumber. Evaluasi untuk sumber
daya manusia seperti ini termasuk kategori baik.
b. Methode : Metode yang digunakan adalah penyuluhan yang
dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sasaran penyuluhan
tertarik dengan kegiatan ini.
c. Material : Materi yang disiapkan adalah materi tentang DM.
2. Evaluasi proses
Evaluasi terhadap proses pada kegiatan ini adalah evaluasi terhadap
proses pelaksanaan penyuluhan yang dijadwalkan pada hari Senin-Selasa, 10-
11 Februari 2014 mengenai DM. Pelaksanaan kegiatan berlangsung secara
baik. Peserta banyak mengajukan pertanyaan pada sesi tanya jawab dan ini
menunjukkan tingkat antusiasme yang tinggi terhadap kegiatan ini. Peserta
juga merasa puas terhadap semua jawaban yang telah diberikan oleh
narasumber.
54
X. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil analisis permasalahan kesehatan komunitas yang terjadi di Puskesmas
Kebasen yaitu DM yang difokuskan sebagai prioritas permasalahan.
2. Faktor risiko DM yang paling berpengaruh di Wilayah Kerja Puskesmas
Kebasen adalah pola makan.
3. Alternatif pemecahan masalah yang diprioritaskan untuk masalah tersebut
adalah penyuluhan mengenai faktor risiko diabetes melitus.
B. Saran
Bagi Puskesmas sebaiknya lebih aktif dalam melakukan penyuluhan mengenai
DM tipe 2, skrining dan pencatatan kejadian DM Tipe 2 di masyarakat.
55
DAFTAR PUSTAKA
Balakumar, P., Mandeep Kumar Arora, Manjeet Singh (2009). "Emerging role of PPAR ligands in the management of diabetic nephropathy." Pharmacological Research xxx: xxx–xxx.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. 2008. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Fauci, A. S., Braunwald Eugene, Kasper Dennis, Hauser Stephen, Longo, Larry Jameson, Joseph Loscalzo. (2008). Harrison's Principles Of Internal Medicine Seventeenth Edition. United States of America, The McGraw-Hill Companies.
Katzung, Bertram G. 2005. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VIII. Salemba Medika, Jakarta. Hal 158 - 180
Kurtz, W.T. dan Prevenec, M. 2005. Antidiabetic mechansm of ACE Inhibitors and all receptor antagonist: Beyond the rennin angiotensin system. Journal of Hypertension; 22 (12):2253-2261.
Neal, Michael J. 2006. At Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Erlangga, Jakarta. Hal 31.
Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit.EGC, Jakarta. Hal 933-936-1004
Syarif, Amir, et al. 2006. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 343 – 360.
Wicaksono, Radio P. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes melitus tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi). Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.
Yogiantoro dalam Sudoyo et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 1515 – 1524, 610 -617.
56
Lampiran 1 Daftar Responden Penelitian
Jenis Kelamin
Usia IMT Menderita DM Tipe 2
Hipertensi Pola Makan
Olahraga Merokok
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Laki-laki >= 45 Underweight Tidak Ya > 3 sdm Teratur YaPerempuan >= 45 Normal Tidak Ya < 2 sdm Tidak
TeraturTidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak < 2 sdm Teratur TidakLaki-laki >= 45 Underweight Tidak Ya < 2 sdm Tidak
TeraturTidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Tidak < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Tidak < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya < 2 sdm Teratur TidakPerempuan >= 45 Underweight Tidak Tidak < 2 sdm Tidak
TeraturTidak
Perempuan >= 45 Overweight Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Tidak < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Tidak < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Ya < 2 sdm Teratur TidakPerempuan >= 45 Normal Tidak Ya < 2 sdm Tidak
TeraturTidak
Perempuan >= 45 Overweight Tidak Ya < 2 sdm Teratur TidakPerempuan >= 45 Normal Tidak Ya 2-3 sdm Tidak
TeraturTidak
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Tidak < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Tidak Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Underweight Tidak Ya < 2 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan < 45 Normal Ya Ya < 2 sdm Tidak Tidak
57
TeraturPerempuan >= 45 Underweight Tidak Ya 2-3 sdm Teratur TidakPerempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Teratur TidakLaki-laki >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak
TeraturYa
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Laki-laki >= 45 Normal Ya Ya > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya 2-3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Laki-laki >= 45 Normal Ya Ya > 3 sdm Tidak Teratur
Ya
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Laki-laki >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Laki-laki >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Ya
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Ya
Perempuan >= 45 Normal Ya Ya > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Obesitas Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak
Perempuan >= 45 Normal Ya Tidak > 3 sdm Tidak Teratur
Tidak