Download - Case Report Tugas Forensik Fix
CASE REPORT FORENSIK
Penganiayaan Pada Wanita Paruh Baya
Oleh:
Yusufa Ibnu Sina Setiawan 201420401011094
Alya Batami Primasari 201420401011101
Sheila Widyariskya Firdausy 201420401011090
Pembimbing:
dr. Abdul Aziz,SpF
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
RUMAH SAKIT SITI KHODIJAH SEPANJANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
SIDOARJO
2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT
PENGANIAYAAN PADA WANITA PARUH
BAYA
Referat dengan judul “PENGANIAYAAN PADA WANITA PARUH BAYA” telah diperiksa
dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi program pendidikan
profesi dokter di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal pada Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang yang dilakukan di RS Siti Khodijah Sepanjang - Sidoarjo.
Sidoarjo, 30 September 2015
Pembimbing
dr. Abdul Aziz, Sp.F
KATA PENGANTAR
2
Assalamu ’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas case report yang berjudul Penganiayaan Pada Wanita Paruh
Baya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdul Aziz, Sp.F selaku pembimbing, atas
bimbingan, saran, petunjuk dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan penulisan
selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Sidoarjo, 30 September 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
COVER ………………………………………………………………….......
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT ……………………………….......
KATA PENGANTAR ……………………………………………………....
DAFTAR ISI……………………………………………………………........
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….......
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….....
1.1 Prosedur Medikolegal ................…....……………………………………
1.2 Traumatologi ..............................................................................................
1.3 Penganiayaan …………………………………………………………….
BAB III PEMBAHASAN…...…………………………………....................
3.1 Ilustrasi kasus ……………………………………………………………
3.2 Pembahasan Kasus ………………………………………………………
3.2.1 Prosedur Medikolegal ……………………………………………..
3.2.2 Pemeriksaan Korban ……………………………………………….
3.2.2 Hukuman Terhadap Pelaku ………………………………………...
BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
1
2
3
4
5
7
7
8
14
17
17
20
20
20
21
23
24
BAB 1
PENDAHULUAN
Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan
perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan yang terjadi di
muka bumi ini sama usia tuanya dengan sejarah manusianya itu sendiri. Luka merupakan
salah satu kasus tersering dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Luka bisa terjadi pada korban
hidup maupun korban mati. ( Dahlan,2007)
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Luka merupakan
kerusakan atau hilangnya hubungan antara jaringan (discontinuous tissue) seperti jaringan
kulit, jaringan lunak, jaringan oto, jaringan pembuluh darah, jaringan saraf dan tulang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal luka kelalaian atau
karena yang disengaja. Luka yang terjadi ini disebut “Kejahatan Terhadap Tubuh atau
Misdrijven Tegen Het Lijf”. Kejahatan terhadap jiwa ini diperinci menjadi dua yaitu
kejahatan doleuse (yang dilakukan dengan sengaja) dan kejahatan culpose (yang dilakukan
karena kelalaian atau kejahatan). Jenis kejahatan yang dilakukan dengan sengaja diatur
dalam BAB XX, pasal-pasal 351-358. Jenis kejahatan yang disebabkan karena kelalaian
diatur dalam pasal 359,360 dan 361 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dijumpai kata-kata,
“mati, menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan sementara”, yang
tidak disebabkan secara langsung oleh terdakwa, akan tetapi ‘karena salahnya’ diartikan
sebagai kurang hati-hati, lalai, lupa dan amat kurang perhatian. (peraturan uu kedokteran,
1994)
Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak hukum dalam
melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban korban perlukaan. Dokter sebaiknya
dapat menyelesaikan permasalahan mengenai jenis luka apa yang ditemui, jenis
kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka dan bagaimana kualifikasi dari luka itu.
Sebagai seorang dokter, ia tidak mengenal istilah penganiayaan. Jadi istilah penganiayaan
tidak boleh dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan tetapi sebaiknya dokter tidak
boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai misalnya luka lecet yang satu-dua hari
akan sembuh sendiri secara sempurna dan tidak mempunyai arti medis, tetapi sebaliknya
dari kaca mata hukum. (Budiyanto, 1994)
5
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa
penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et Repertum, dimana
didalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan,
ataupun mati. Seorang dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka.
Visum et Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prosedur Medikolegal
Dalam ilmu kedokteran forensik, peranan ilmu kedokteran forensik berfungsi
membantu penegakan hukum antara lain pembuatan visum et repertum terhadap
seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik). Tujuan pemeriksaan forensik pada korban
hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau
sakitnya tersebut, dimaksudkan untuk memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Peristiwa
yang dapat mengakibatkan tindak pidana antara lain peristiwa kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal.
Korban dengan luka ringan merupakan salah satu hasil tindak pidana tersebut, yaitu
berupa penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), korban dengan luka sedang merupakan
hasil dari tindak penganiayaan, dan korban dengan luka berat. (Budiyanto, 1997)
Penyidik membutuhkan bantuan dari ahli, salah satunya dokter maupun ahli
kedokteran kehakiman, untuk mengungkap kasus dan membuat perkara menjadi lebih
terang agar kasus bisa terselesaikan. Hal ini dikarenakan, dokterlah seseorang yang
paling memahami tubuh manusia. Peranan dokter maupun ahli kedokteran kehakiman
tersebut tertuang dalam Pasal 133 ayat 1 KUHAP yang berbunyi, “Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainnya.” (peraturan uu kedokteran,1994)
Yang dimaksud keterangan ahli tertuang dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang
berbunyi, “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan”. Surat keterangan ahli ini dinyatakan dalam surat yang disebut
visum et repertum, sesuai dengan Pasal 133 ayat 2 KUHAP, dan berfungsi sebagai alat
bukti yang sah di pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Visum et
Repertum juga berguna dalam proses penyidikan. (peraturan uu kedokteran,1994)
7
Keterangan ahli yang berupa Visum et Repertum (VER) tersebut adalah keterangan
yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau diduga
bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan. Seorang dokter juga berkewajiban memberikan keterangan ahli
seperti yang diminta penyidik yang berwenang tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal
179 KUHAP yang berbunyi, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.” (peraturan uu kedokteran,1994)
Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) perlu diperiksa kelengkapannya sebelum
dokter atau ahli kedokteran kehakiman melakukan pemeriksaan dan membuat visum et
repertum. Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983, bahwa
kelengkapan SPV harus memenuhi kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang
dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian, permintaan jenis pemeriksaan,
jabatan peminta visum, dan tanda tangan peminta visum. VER pun memiliki lima
komponen tetap yang terdiri dari Pro Justitia, bagian Pendahuluan, bagian Pemberitaan,
bagian Kesimpulan, dan bagian Penutup. (peraturan uu kedokteran,1994)
VER merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai otentik karena dibuat atas
sumpah jabatan sebagai seorang dokter. Sesuai dengan Stb 350 tahun 1937 yang
menyatakan bahwa visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah
mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter. Pada kasus perlukaan,
korban yang dimintakan visum et repertumnya adalah kasus dengan dugaan adanya
tindak kekerasan yang diancam hukuman oleh KUHP. Seorang dokter untuk membantu
peradilan, wajib membuktikan adanya luka atau memar. Derajat luka sangat diperlukan
untuk menentukan hukuman yang akan diterima oleh korban, sehingga dokter harus
menentukan derajat luka dengan benar. Dokter harus menuliskan luka-luka, cedera, atau
penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, serta derajat perlukaan, pada visum et
repertum. (peraturan uu kedokteran,1994)
2.2 Traumatologi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa). Sementara luka adalah suatu keadaan
8
ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Kekerasan dapat dibedakan
berdasarkan sifatnya, yaitu mekanik (kekerasan oleh benda tajam, kekerasan oleh benda
tumpul, dan tembakan senjata api), fisika (suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan
udara, akustik, dan radiasi), dan kimia (asam atau basa kuat). (Dahlan,2007)
a. Trauma benda tajam
Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh
oleh benda-benda tajam. Ciri-ciri umum dari luka benda tajam adalh sebagai berikut :
(Dahlan,2007)
1) Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
2) Bila ditautkan akan mejadi rapat (karena benda tersebut hanya memisahkan , tidak
menghancurkan jaringan) dan membentuk garis lurus dari sedikit lengkung.
3) Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan.
4) Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus
scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum).
1) Luka sayat
Luka sayat ialah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh
karena alat ditekan pada kulit dengan kekuatan relativ ringan kemudian
digeserkan sepanjang kulit.(De Jong,2005)
Ciri luka sayat :
a) Pinggir luka rata
b) Sudut luka tajam
c) Rambut ikut terpotong
d) Jembatan jaringan ( - )
e) Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai tulang
9
2) Luka tusuk
Luka tusuk ialah luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau
tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada
permukaan tubuh. .(De Jong,2005)
Contoh:
-Belati, bayonet, keris
-Clurit
-Kikir
-Tanduk kerbau
10
Ciri luka tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) :
Tepi luka rata
Dalam luka lebih besar dari panjang luka
Sudut luka tajam
Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
Sering ada memar / echymosis di sekitarnya
3) Luka bacok
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau
agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar.
Contoh : pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal. .(De Jong,2005)
Ciri luka bacok :
Luka biasanya besar
Pinggir luka rata
Sudut luka tajam
Hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan
bagian tubuh yang terkena bacokan
Kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, aberasi
b. Trauma benda tumpul
Trauma tumpul ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh oleh benda-benda tumpul. hal ini disebabkan oleh benda-benda yang
mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, martil, terkena bola, ditinju, jatuh
dari tempat ketinggian, kecelakaan lalu-lintas dan lain-lain sebagainya. Trauma
tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu: (Budiyanto,1997)
11
1) Luka memar (contusio)
Memar merupakan salah satu bentuk luka yang ditandai oleh kerusakan
jaringan tanpa disertai diskontinuitas permukaan kulit. Kerusakan tersebut
disebabkan oleh pecahnya kapiler sehingga darah keluar dan meresap kejaringan
di sekitarnya. (Sylvia, 2006)
Mula – mula terlihat pembengkakan, berwarna merah kebiruan. Sesudah 4
sampai 5 hari berubah menjadi kuning kehijauan dan sesudah lebih dari
seminggu menjadi kekuningan. (Kumar,2007)
Pada orang yang menderita penyakit defisiiensi atau menderita kelainan
darah, kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih besar di
bandingkan pada orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak
dapat di jadikan ukuran untuk menentukan besar kecilnya benda penyebabnya
atau kekerasan tidaknya pukulan. Pada wanita atau orang – orang yang gemuk
juga akan mudah terjadi memar. (Kumar, 2007)
Dilihat sepintas lalu luka memar terlihat seperti lebam maya, tetapi jika di
periksa dengan seksama akan dapat dilihat perbedaan – perbedaanya, yaitu :
(Dahlan, 2007)
Memar Lebam mayat
Lokasi Bisa dimana saja Pada bagian
terendah
Pembengkakan Positif Negatif
Bila di tekan Warna tetap Memucat / hilang
Mikroskopik Reaksi
jaringan( + )
Reaksi jaringan ( - )
2) Luka lecet (abrasio)
Luka lecet adalah luka yang disebabkan oleh rusaknya atau lepasnya lapisan
luar dari kulit, yang ciri – cirinya adalah : (De Jong, 2005)
o Bentuk luka tak teratur
o Batas luka tidak teratur
o Tepi luka tidak rata
12
o Kadang – kadang di temukan sedikit perdarahan
o Permukaannya tertutup oleh krusta ( serum yang telah mongering )
o Warna coklat kemerahan
o Pada pemeriksan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih di
tutupi epitel dan reaksi jaringan (inflamasi)
Bentuk luka lecet kadang–kadang dapat memberi petunjuk tentang benda
penyebabnya; seperti misalnnya kuku, ban mobil, tali atau ikat pinggang. Luka
lecet juga dapat terjadi sesudah orang meninggal dunia, dengan tanda – tanda
sebagai berikut : (Budiyanto, 1997)
o Warna kuning mengkilat
o Lokasi biasnya didaerah penonjolan tulang
o Pemeriksaan mikroskopik tidak di temukan adanya sisa- sia epitel dan tidak
di temukan reaksi jaringan.
3) Luka robek (vulnus laceratum)
Luka terbuka / robek adalah luka yang disebabkan karena persentuhan
dengan benda tumpul dengan kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan
kulit dan jaringan di bawahnya, yang ciri–cirinya sebagai berikut : (De
Jong,2005)
o Bentuk garis batas luka tidak teratur dan tepi luka tak rata
o Bila ditautkan tidak dapat rapat ( karena sebagaian jaringan hancur )
o Tebing luka tak rata serta terdapat jembatan jaringan
o Di sekitar garis batas luka di temukan memar
o Lokasi luka lebih mudah terjadi pada daerah yang dekat dengan tulang ( mis-
alnya daerah kepala, muaka atau ekstremitas ).
Karena terjadinya luka disebabkan oleh robeknya jaringan maka bentuk dari
luka tersebut tidak menggambarkan bentuk dari benda penyebabnya. Jika benda
tumpul yang mempunyai permukaan bulat atau persegi dipukulkan pada kepala
maka luka robek yang terjadi tidak berbentuk bulat atau persegi. (Dahlan,2007)
13
2.3 Penganiayaan
Penganiayaan ini diatur dalam KUHP pasal 351, yaitu sebagai berikut:1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Untuk mengetahui peyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakit pada kor-
ban hidup maka diperlukan pemeriksaan kedokteran forensik. Hal ini dimaksudkan utuk
memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Oleh karena itu, catatan medic pada setiap
pasien harus lengkap hasil pemeriksaannya, terutama korban yang diduga tindak pidaa.
Hal ini diperlukan untuk pembuatan visum et repertum. (peraturan uu kedokteran,1994)
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan
ringan, seperti yang tertuang dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi: (peraturan uu
kedokteran,1994)
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pen-
carian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat di-
tambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bek-
erja padanya atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada korban dengan luka sedang, dapat pula merupakan hasil dari tindak pengani-
ayaan, seperti yang disebutkan pada Pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi “Penga-
niayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pi-
dana denda paling banyak 4500 rupiah” dan Pasal 353 KUHP ayat (1) yaitu: “Penga-
niayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana pejara palig lama 4
tahun.”
14
Korban dengan luka berat seperti yang disebutkan pada pasal 90 KUHP adalah seba-
gai berikut: (peraturan uu kedokteran,1994)
Luka berat berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pen-
carian;
3) Kehilangan salah satu pancaindra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Hasil dari tindak penganiayaan tersebut dengan akibat luka berat diatur dalam
pasal 351 ayat (2) yang berbunyi: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana pejara paling lama 5 tahun” atau Pasal 353 ayat (2)
yaitu “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikarenakan pi-
dana pejara palig lama tujuh tahun”. Sementara, jika korban dengan luka berat meru-
pakan akibat penganiayaan berat, undang-undang mengaturnya dalam Pasal 354 ayat (1)
yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam,
karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun” atau Pasal 355 ayat (1) yaitu “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan ren-
caa lebih dahulu, diancam degan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Sementara dalam KUHP, yang dimaksud penganiayaan ringan adalah pengani-
ayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
halangan pekerjaan, seperti bunyi Pasal 352 KUHP. Umumnya, korban datang tanpa
luka, atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau tidak
menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka ini dimasukkan ke kategori luka
ringan atau luka derajat satu. (peraturan uu kedokteran,1994)
Hoge Road pada tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan pengertian penganiayaan
yang tidak disebutkan di KUHP, bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menim-
bulkan sakit atau luka. Dalam hal ini, semua keadaan yang “lebih berat” dari luka ringan
15
dimasukkan ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) dan luka berat (luka dera-
jat tiga). Luka sedang adalah keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat.
(peraturan uu kedokteran,1994)
Penentuan derajat luka ini penting utuk membuat visum et repertum, sehingga
dokter harus memeriksa dengan teliti korban yang datang. Uraian yang dibuat meliputi
keadaan umum sewaktu datang, letak, jenis dan sifat luka serta ukuran, pemeriksaan
khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit, dan
keadaan akhir saat perawatan. Secara objektif, dapat dimasukkan gejala yang ditemukan
pada korban. (Dahlan, 2007)
BAB 3
16
PEMBAHASAN
3.1 Ilustrasi Kasus
No. Registrasi RSSK : -
Waktu Pemeriksaan : Jumat, 25 September 2015, pukul 14.00 WIB
Identitas Korban
Nama : Nn. EM
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 36 tahun
Status Perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jalan Kemalaten Baru Nomor 30 Surabaya
Keterangan : Korban datang ke Rumah Sakit Siti Khodijah dengan aparat
kepolisian membawa Surat Permintaan Visum (SPV) utuk meminta pembuatan Visum et
Repertum (VER) pada tanggal 25 September 2015.
Riwayat Medis
Anamnesis
korban mengaku dianiaya oleh teman. TKP di kosan korban (didepan kamar). Mulanya
penganiaya datang dengan keadaan emosi. Kemudian korban di tarik bajunya sampai
robek. Lalu korban mencoba melawan, kemudian korban dicekik dengan kedua tangan.
Setelah itu korban melawan kembali, lalu bahu korban dicengkeram oleh kedua tangan
penganiaya sambil ditendang bagian perut bawah. Setelah itu, korban berteriak maling, lalu
penganiaya pergi. Setelah kejadian, korban mengaku muntah 2 kali.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sadar penuh, keadaan umum baik, sikap kooperatif
Suhu : 36,5 derajat celcius, tidak demam
Tanda vital
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
17
o Frekuensi nadi : 80 kali/menit
o Frekuensi napas : 24 kali/menit
Keadaan gizi : Baik
Status Generalis
Kepala/Leher : Anemis (-), icteric (-), Vulnus ekskoriatum
Thoraks : dalam batas normal
Abd : hematom (-), nyeri tekan regio hipogastrium (+)
Ekst : dalam batas normal
Status Lokalis Luka
Luka lecet, di leher sebelah kiri berukuran 0.5 kali 5 cm
Luka lecet di leher bagian tengah berukuran 0.5 kali 0.5 cm dan 0.5 kali 0.5
cm
18
Luka lecet di lengan kanan ukuran 0.5 kali 1 cm
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
Tindakan/Pengobatan
Tindakan rawat luka dengan betadine
Pembuatan Visum et Repertum.
19
Kesimpulan
Pada perempuan berusia 36 tahun ini korban diduga mengalami luka menyerupai trauma
benda tajam. Luka-luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian.
3.2 Pembahasan Kasus
3.2.1 Prosedur medikolegal
Prosedur medikolegal pada kasus ini sudah terpenuhi dengan adanya surat
permintaan visum tertulis dari kepolisian karang pilang Surabaya yang berisi tentang
permohonan untuk dilakukan pemeriksaan luar terhadap korban seorang wanita berumur
37 tahun yang telah mengalami penganiayaan pada tanggal 25 september 2015 pada
pukul 20.15 WIB .
Pada kasus ini surat permintaan visum sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam KUHAP pasal 133 ayat 2 yaitu secara tertulis dengan komponen – komponen
sebagai berikut :
1. Institusi pengirim : Polsek Karang Pilang Surabaya
2. Nomor surat : VER/B/05/1/2015/SPKT
3. Tujuan surat : RS Siti Khodijah Muhammadiyah cabang sepanjang
4. Identitas : Eka marliana astutik umur: 36 tahun
5. Permintaan Penyidik : pemeriksaan luar dan pembuatan Visum et Repertum
6. Jabatan pengirim : Pamudji
3.2.2 Pemeriksaan Korban
Pada tanggal 25 september 2015 pukul 14.00 WIB korban datang ke IGD beserta
dengan aparat kepolisian untuk dibuatkan surat VeR. Kemudian oleh dokter jaga igd
melakukan pemeriksaan luar.
Pada pemeriksaan luar ditemukan terdapat lecet di leher kiri berukuran 0,5 x 5
cm, luka lecet di leher bagian tengah berukuran 0.5 kali 0.5 cm dan 0.5 kali 0.5 cm. Dan
Luka lecet di lengan kanan ukuran 0.5 kali 1 cm.
Luka tersebut termasuk dalam luka lecet karena Bentuk luka tak teratur,Batas
luka tidak teratur, Tepi luka tidak rata, Kadang – kadang di temukan sedikit perdara-
han,Permukaannya tertutup oleh krusta ( serum yang telah mongering ) dan Warnanya
20
coklat kemerahan. Bentuk luka lecet kadang–kadang dapat memberi petunjuk tentang
benda penyebabnya; seperti misalnnya kuku, ban mobil, tali atau ikat pinggang. Luka
lecet adalah luka yang superficial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada lapisan kulit
epidermis. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis. Pembuluh darah dapat
terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dari
pemeriksaan luka. Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis tergulung, tanda
yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan
benda yang mengenainya. Pola darik abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda
yang mengenainya. Waktu terjadinya luka sendiri dapat dinilai dengan mata telanjang.
Perkiraan usia luka dapat ditentukan dengan mikroskopik. Kategori yang ditentukan
untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum), baru terjadi
beberapa jam sebelum sampai beberapa hari. Beberapa hari lalu, lebih dari beberapa hari.
Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi infeksi dapat terjadi pada abrasi luas.
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai
luka lecet gores (Scratch), luka lecet serut ( crape), luka lecet tekan (impact abration) dan
luka lecet berbekas (Patterned abration ). Luka lecet gores (Scratch) diakibatkan oleh
benda runcing ( misal kuku jari yang menggores kulit) yang menggeser lapisan
permukaan tersebut terangkat, sehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.
Abrasi kuku jari biasanya sering ditemukan pada leher, muka, lengan atas dan lengan
depan. Mungkin berupa goresan linier jika jari – jari tersebut menarik ke bawah. Tanda
kurva atau garis lurus jika tangan tersebut menggenggam. Sesuai dengan korban
tergolong luka lecet gores yang diperkirakan akibat kuku panjang dari orang yang
menganiaya. Untuk perkiraan luka lecet tersebut antara hari 1 – 3 karena warna luka
merah kecoklatan. Pada hari ke 4 – 5 warna pelan pelan menjadi gelap dan hari ke 7 – 14
pembentukan epidermis baru. Beberapa minggu terjadi penyembuhan lengkap.
3.2.3 Hukuman Terhadap Pelaku
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan
ringan, seperti yang tertuang dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi: (peraturan uu
kedokteran,1994)
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pen-
21
carian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat di-
tambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bek-
erja padanya atau menjadi bawahannya.
22
BAB 4
KESIMPULAN
Dalam ilmu kedokteran forensik, peranan ilmu kedokteran forensik berfungsi membantu
penegakan hukum antara lain pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim
oleh polisi (penyidik).Tujuan pemeriksaan forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui
penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut, dimaksudkan untuk
memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Peristiwa yang dapat mengakibatkan tindak pidana
antara lain peristiwa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan,
perkosaan, maupun korban meninggal.
Penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka baik korban hidup
ataupun mati. Dalam hal ini yang dimaksud luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan
jaringan tubuh akibat kekerasan. Kekerasan dapat dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu mekanik
(kekerasan oleh benda tajam, kekerasan oleh benda tumpul, dan tembakan senjata api), fisika
(suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan udara, akustik, dan radiasi), dan kimia (asam atau basa
kuat).
Penentuan derajat luka ini penting untuk membuat visum et repertum, sehingga dokter
harus memeriksa dengan teliti korban yang datang. Uraian yang dibuat meliputi keadaan umum
sewaktu datang, letak, jenis dan sifat luka serta ukuran, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan
medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit, dan keadaan akhir saat perawatan. Secara
objektif, dapat dimasukkan gejala yang ditemukan pada korban. Hal ini dikarenakan visum et
repertum merupakan alat bukti yang sah dalam peradilan dan juga berguna dalam proses
penyidikan.
Seorang dokter untuk membantu peradilan, wajib membuktikan adanya luka atau memar.
Derajat luka sangat diperlukan untuk menentukan hukuman yang akan diterima oleh korban,
sehingga dokter harus menentukan derajat luka dengan benar. Dokter harus menuliskan luka-
luka, cedera, atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, serta derajat perlukaan, pada
visum et repertum.
23
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI;
1997.
Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 67-91.
De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 67-8.
Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta:
EGC. 35-84.
Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1994.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1. Jakarta: EGC. 56-75.
24