11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Jenis Aset
Menurut Siregar (2004:178), “aset dapat dikatakan sebagai (thing) atau
sesuatu barang (anything) yang dapat dimiliki oleh suatu badan hukum, instansi
pemerintah, maupun perseorangan melalui perolehan yang legal dimana barang
tersebut memiliki nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial
value) atau nilai tukar (exchange value).
Aset juga dapat diartikan berdasarkan perspektif akuntansi (Sugiama,
2013:15). Berdasarkan perspektif akuntansi aset adalah kekayaan yang mencakup:
1. Kekayaan lancar (uang kas dan kekayaan lancar lainnya)
2. Aset jangka panjang atau aset tetap (long-term assets misal real estate,
pabrik, peralatan, dan perlengkapan)
3. Prepaid and deffered assets (expenditure for future costs misalnya asuransi,
hak sewa, dan bunga)
4. Harta tak berwujud (intengible assets) seperti hak merek (trademark), hak
paten, hak cipta (copyright), dan nama baik atau goodwill.
Keragaman aset dapat dikelompokkan menurut beberapa dasar (Sugiama,
2013: 24-25). Menurut bentuknya, aset dapat dibagi ke dalam dua bentuk :
1. Aset berwujud atau tangible assets adalah kekayaan yang dapat
dimanifestasikan secara fisik dengan menggunakan panca indera. Contoh
aset fisik berupa :
a. Tanah atau lahan
b. Bangunan
c. Infrastruktur misal jalan raya, jembatan, irigasi, waduk
d. Peralatan dan perlengkapan pabrik atau plant and machinery
e. Peralatan dan perlengkapan kantor misa meubel atau furniture
f. Persediaan barang
12
2. Aset tidak berwujud atau intangible assets adalah kekayaan yang
manifestasinya tidak berwujud secara fisik yakni tidak dapat disentuh,
dilihat, atau tidak dapat diukur secara fisik, namun dapt diidentifikasi
sebagai kekayaan secara terpisah, dan kekayaan ini memberikan manfaat
serta memiliki nilai tertentu secara ekonomi sebagai hasil dari proses usaha
atau melalui waktu. Aset ini antara lain berupa :
a. Hak paten misal untuk sebuah formulasi produk
b. Hak cipta atau copyright atas sebuah harga
c. Nama baik sebuah organisasi/perusahaan atau Goodwill
d. Hak merek dagang
e. Hak atas usaha waralaba atau franchise
Menurut Sugiama (2013:26) aset juga dapat dibagi ke dalam dua kelompok
berdasarkan tujuan penggunaan dan pemanfaatan aset tersebut yakni :
1. Aset untuk tujuan komersial misal aset yang dimiliki perusahaan guna
mencari laba. Perusahaan BUMN dan swasta menyediakan asetnya untuk
mendukung seluruh operasi perusahaan agar mencapai laba maksimum.
Seluruh lahan, bangunan berikut peralatan dan perlengkapan yang
dimilikinya diorientasikan untuk kepentingan bisnia/komersial.
2. Aset untuk tujuan non komersial seperti aset pemerintah untuk pelayanan
publik. Pemerintah menyediakan jalan, jembatan, irigasi, rumah sakit,
sekolah dan lain-lain ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Seluruh aset tersebut tidak ditujukan untuk mencari laba,
namun untuk meingkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Campbell (2011) terdapat beberapa klasifikasi aset yaitu Real
Estate and Facilities, Plant and Production, Mobile Assets, Infrastructure, and
Information Technology. Kelima klasifikasi aset tersebut dijabarkan pada Gambar
2.1.
13
Sumber: Campbell dan kawan-kawan (2011 :12)
Gambar 2. 1 Klasifikasi Aset
2.2. Manajemen Aset
Manajemen aset merupakan sebuah bidang keilmuan yang menjelaskan
mengenai instrumen dalam pengelolaan aset yang berwujud mau pun yang tidak
berwujud. Pengelolaan aset dimuat dalam beberapa peraturan pemerintah,
peraturan menteri dan kebijakan-kebijakan lainnya untuk mendukung pengelolaan
aset menjadi lebih baik. Pengeloaan aset secara umum bertujuan agar aset-aset yang
dimiliki dan dikuasai dapat dikelola dengan optimal sehingga dapat memberikan
nilai kemanfaatan yang seimbang dengan nilai dan potensi yang terkandung dalam
aset tersebut dan bermanfaat bagi banyak pihak. Ada beberapa definisi manajemen
aset menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Mitchell, dkk. (2006:1) mendefinisikan bahwa “Asset management is
a general term that is commonly utilized in finance, real estate, building space,
resource allocation and a host of other areas to mean maximizing utilization
and return on asset, primarily financial”.
14
2. Menurut Sugiama (2013) manajemen aset adalah ilmu dan seni untuk memandu
pengelolaan kekayaan mencakup proses merencanakan kebutuhan aset,
mendapatkan, menginventarisasi, melakukan legal audit, menilai,
mengoperasikan, memelihara, memberharukan atau menghapuskan hingga
mengalihkan aset secara efektif dan efisien.
3. Menurut Hasting (2010:4) menyatakan bahwa serangkaian kegiatan manajemen
aset meliputi identifikasi aset apa yang diperlukan, identifikasi kebutuhan
pendanaan, perolehan aktiva, penyediaan dukungan sistem logistik dan
pemeliharaan untuk aset serta penghapusan atau pembaruan aset.
4. Menurut Australian Construction and Procurement Council (APCC) (dalam
Australian Asset Management Collaborative Group, 2008:41) konsep ‘asset
management’ dalam sektor publik adalah sebagai “systematic approach to the
procurement, maintenance, operation, rehabilitation and disposal of assets,
which integrates the utilisation of assets and their performance with the
business requirements of the owner and users”.
5. Menurut Britton, Connellan, Croft (dalam Siregar, 2004:517) Asset
Management adalah “define good asset management in term of measuring the
value of properties (asset) in monetary term and employing the minimum
amount of expenditures on its management”.
Berdasarkan pengertian manajemen aset tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa manajemen aset merupakan suatu proses sistematis yang mempertahankan,
meng-upgrade, dan mengoperasikan aset dengan cara yang paling hemat biaya
melalui penciptaan, akuisisi, operasi, pemeliharaan, rehabilitasi, dan penghapusan
aset yang terkait dengan; (1) mengidentifikasi apa saja yang dibutuhkan aset, (2)
mengidentifikasi kebutuhan dana, (3) memperoleh aset, (4) menyediakan sistem
dukungan logistik dan pemeliharaan untuk aset, (5) menghapus atau
memperbaharui aset secara efektif dan efisien sehingga dapat memenuhi tujuan. Inti
dari manajemen aset yaitu bahwa pengelolaan aset berkaitan dengan menerapkan
penilaian teknis dan keuangan dan praktek manajemen yang baik untuk
memutuskan apa yang dibutuhkan aset untuk memenuhi tujuan bisnis dan atau
layanan, dan kemudian untuk memperoleh dan mempertahankan aset selama umur
15
hidup aset tersebut sampai ke penghapusan.
Menurut Victoria Deapartment of Treasury and Finance (2000), suatu aset
memiliki siklus hidup fisik yang terdiri dari empat fase yaitu pengadaan
(acquisition), operasi dan pemeliharaan (operation and maintenance), penghapusan
(disposal), dan perencanaan (planning). Menurut Campbel, dkk. (2011:3)
menyebutkan tahapan dalam siklus hidup aset dimulai dari strategi (strategy),
perencanaan (plan), evaluasi rencana/membuat rancangan (evaluate/design),
pengadaan (create/procure), pengoperasian (operate), pemeliharaan (maintain),
pengembangan (modify) dan penghapusan (dispose).
Aset memiliki fungsi untuk mendukung pelayanan/jasa sehingga penting
bagi pengelola aset untuk memperhatikan siklus hidup aset agar aset tersebut dapat
menghasilkan suatu pelayanan/jasa sesuai dengan tujuan organisasi selama jangka
waktu tertentu yang telah direncanakan. Semua rangkaian siklus tersebut didukung
dan dijalankan dengan manajemen keuangan yang baik sebagai pengaturan
terhadap biaya-biaya yang timbul akibat adanya siklus hidup aset (life cycle cost of
asset) dan terintegrasi oleh suatu teknologi dan membentuk suatu sistem (asset
management information system). Hal ini memudahkan pengelola aset untuk
menganalisis dan mengelola aset-aset secara efektif dan efisien selama masa umur
ekonomis aset-aset tersebut, sehingga aset-aset tersebut memberikan nilai yang
optimal. Rangkaian kegiatan siklus hidup aset dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa selama umur ekonomis aset dalam
siklusnya dibutuhkan kompetensi manajemen keuangan yang baik dan teknologi
yang mengintegrasikan itu semua. Suatu aset akan terus dipertahankan bahkan
dioptimalkan nilai/manfaat ekonomisnya selama siklus hidup aset tersebut. Fakta
bahwa aset memiliki siklus hidup dapat dilihat dari masukan atau input sumber
dayanya. Secara khusus, tanggung jawab untuk keputusan pengadaan, terutama
dalam hal biaya pada suatu organisasi berbeda dengan tanggung jawab untuk
operasi dan pemeliharaan aset; dan kedua tanggung jawab tadi berbeda dengan
tanggung jawab untuk penghapusan. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk
pemisahan tanggung jawab manajemen selama masa sikuls hidup aset.
16
Sumber: Campbel dan kawan-kawan (2011:16)
Gambar 2. 2 Siklus Hidup Aset
Memahami fase-fase dari siklus hidup aset dan biaya-biaya yang
menyertainya merupakan langkah penting pertama dalam mengelola aset atas dasar
konsep whole-of-life. Biaya siklus hidup (life cycle costing) merupakan komponen
penting dari perencanaan aset. Penggunaan biaya siklus hidup mengarahkan pada
evaluasi penuh terhadap biaya total dari pemilikan dan pemeliharaan sebelum
dilakukan pengadaan. Hal ini menimbulkan peluang untuk menentukan solusi
pemberian pelayanan yang efektif terhadap biaya (bisa menjadi solusi non-aset).
Mengestimasi biaya siklus hidup sebelum dilakukan pengadaan juga menyusun
standar yang akan menjadi dasar untuk mengontrol dan memonitor biaya setelah
pengadaan. Biaya modal adalah biaya dari pengadaan dan mungkin juga dapat
timbul dalam perbaikan berikutnya. Biaya siklus hidup terdiri dari biaya modal dan
biaya berulang (recurrent). Biaya modal merupakan biaya pengadaan aset. Biaya
tersebut mencakup tidak hanya harga pembelian tetapi semua ongkos dan beban
17
yang terkait, dan biaya pengiriman serta pemasangan yang terjadi sampai aset
tersebut siap untuk dioperasikan.
Biaya berulang (recurrent) merupakan biaya operasi atau biaya berjalan
yang mencakup biaya energi, pemeliharaan, dan biaya pembersihan. Biaya ini juga
mencakup biaya pegawai dimana pegawai spesialis ditugaskan untuk
mengoperasikan aset. Perbaikan dan pembaharuan yang direncanakan selama umur
manfaat aset, yang bersifat modal, juga dimasukkan sebagai bagian dari biaya
operasi untuk tujuan perencanaan. Biaya penghapusan hendaknya juga
dimasukkan, terutama jika biaya tersebut diperkirakan signifikan jumlahnya.
Mungkin akan menjadi masalah ketika suatu aset, proses yang berkaitan dengan
aset, atau output-nya, menimbulkan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
sehingga memerlukan pekerjaan pembetulan atau perbaikan.
Biaya pengoperasian dan pemeliharaan aset selama umur manfaatnya
seringkali lebih besar daripada biaya pengadaan. Dalam kasus tersebut, perlu
dilakukan evaluasi dan memastikan keseluruhan biaya program pemberian
pelayanan tidak boleh tidak diakui dan atau diminimalkan. Manajemen aset
dibutuhkan untuk membentuk dan menerapkan pemahaman mengenai pentingnya
aset bagi para pengelola sesuai dengan kapasitas, wewenang dan tanggung
jawabnya serta bagi para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan dalam
suatu organisasi (Hasting, 2010:5).
2.3. Optimasi Aset
Optimasi adalah proses pencarian solusi terbaik dalam persaingan suatu
bisnis untuk memprioritaskan bagaimana suatu aset dapat menghasilkan
pendapatan yang optimum melalui pengaturan prioritas hal penting dari
pendayagunaan suatu aset (Campbell, 2011:24). Optimasi aset merupakan suatu
proses kerja manajemen aset dalam rangka pemanfaatan aset yang bertujuan untuk
mengoptimalkan aset tersebut. Untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan suatu
aset, harus dicari faktor penyebab ketidakoptimalan pemanfaatan aset tersebut.
Faktor-faktor penyebab ini dapat meliputi berbagai aspek diantaranya legal, fisik,
nilai ekonomi dan faktor lainnya.
18
2.3.1. Definisi Optimasi Aset
Menurut Siregar (2004:519) optimasi aset merupakan suatu rangkaian
kegiatan dalam mengelola sebuah aset non produktif yang memiliki nilai ekonomi
dengan melihat potensi fisik, lokasi, jumlah/volume yang dimiliki aset tersebut.
Sedangkan menurut Sugiama (2013: 227) optimasi aset adalah sebuah cara untuk
menjadikan aset yang belum optimal pengelolaannya melalui perancangan yang
sistematis, efisien, dan efektif sehingga menghasilkan nilai tambah pada aset
tersebut sesuai rencana atau harapan. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan
bahwa optimasi aset merupakan sebuah tindakan atas pendayagunaan dan
pemanfaatan dari sebuah aset yang dapat menghasilkan manfaat lebih bagi suatu
entitas.
2.3.2. Tujuan Optimasi Aset
Menurut Siregar (2004:776), bahwa tujuan optimasi aset secara umum
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan inventarisasi semua aset meliputi bentuk, ukuran, fisik,
legal, sekaligus mengetahui nilai pasar atas masing-masing aset tersebut yang
mencerminkan manfaat ekonomisnya.
2. Memanfaatan aset, apakah aset tersebut telah sesuai dengan peruntukkannya
atau tidak.
3. Terciptanya suatu sitem informasi dan administrasi sehingga tercapainya
efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan aset.
2.3.3. Analisis Optimasi Pemanfaatan Aset Tetap
Menurut Siregar (2004:779) analisis ini merupakan aktivitas
mengelompokkan dan memilih jenis aset yang masuk kedalam kelompok aset
operasional atau aset non operasional. Studi optimasi dilakukan terhadap aset yang
belum mampu memenuhi fungsi layanan aset tersebut sesuai yang direncanakan.
Hasil studi optimasi menjadi rekomendasi bagi pemilik atau pengelola aset untuk
mengoptimalkan aset tersebut. Optimasi terhadap aset operasional dilakukan
dengan melihat bentuk pemanfaatan saat ini dari penggunaan tanah yang di atasnya
19
didirikan sebuah bangunan, kemudian melihat fungsi bangunan tersebut dari aspek
ekonomis. Sedangkan aset non operasional dapat dilakukan metode Highest & Best
Use jika aset tersebut masih dapat dioptimalkan. Umumnya objek kajian HBU
merupakan tanah atau tanah dan bangunan yang memiliki potensi untuk
dikembangkan atau dirasakan belum optimal pengembangannya (Siregar, 2004:
779).
2.4. Kantor Sewa
Bangunan kantor dirancang untuk kepentingan perusahaan dalam
menjalankan bidang usahanya, namun adapun bangunan kantor yang dirancang
khusus untuk kepentingan komersil dengan cara disewakan kepada pihak lain.
Menurut Marlina (2008:116), kantor sewa merupakan suatu fasilitas perkantoran
yang digunakan oleh penyewa dengan beragam jenis usaha dalam satu bangunan
yang merupakan manifestasi tumbuhnya bisnis baru akibat peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Menurut Hunt, W.D. (dalam Marlina, 2008), kantor sewa
adalah suatu bangunan komersial yang menyediakan layanan ruang sewa untuk
kegiatan bisnis suatu entitas secara profesional. Berdasarkan pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kantor sewa adalah bangunan atau ruangan yang
dipinjamkan dengan imbalan yang difungsikan sebagai tempat bekerja dimana
besaran atau nominal harganya disesuaikan atas dasar kesepakatan bersama dengan
melihat situasi dan kondisi pada saat ini. Di dalam produk properti perkantoran
untuk mencapai target pasar ada beberapa faktor yang menjadi kunci kesuksesan
terpenuhinya ruang kantor sewa (Marlina, 2008) meliputi: (1) fleksibilitas ruang,
(2) tingkat hunian, (3) harga sewa, (4) service charge, (5) citra/Image.
2.4.1. Klasifikasi Bangunan Kantor
Building Owner and Managers Association (BOMA) Canada tahun 2012
memaparkan bahwa terdapat beberapa klasifikasi bangunan kantor. Klasifikasi
bangunan kantor bersifat relatif yang didasarkan pada kondisi pasar tertentu.
Klasifikasi bangunan kantor terbagi atas 3 kelas diantaranya, Kelas A, Kelas B dan
Kelas C, berikut dijelaskan pemaparan rinci dari setiap kelas bangunan kantor:
20
1. Bangunan Kelas A
Kelas A merupakan bangunan paling bergengsi pada commercial building.
Bangunan kelas A memiliki banyak fasilitas dan terletak di lokasi yang
strategis. Bangunan kelas A dibangun dengan material, struktur, spesifikasi dan
metode konstruksi yang tinggi. Selain itu, bangunan ini biasanya memiliki
manajer profesional, akses yang baik, dan terletak di daerah sangat terlihat atau
terletak di jalanan yang memiliki mobilitas yang tinggi. Kriteria yang dimiliki
bangunan Kelas A adalah sebagai berikut:
a. Memilki kualitas bangunan terbaik.
b. Memiliki desain khas, tampilan yang menarik, memiliki desain eksterior
yang baik pada bagian luar bangunan, memiliki kualitas interior yang baik
di lobby atau di public area termasuk pada lift dan toilet.
c. Lokasi mudah ditemukan dan akses yang nyaman.
d. Dikelola oleh perusahaan dan manager profesional.
e. Harga sewa tinggi.
f. Berada pada kondisi pasar yang kuat.
g. Sistem yang memenuhi standar industri - otomatisasi mekanik, listrik dan
sistem keselamatan dan keamanan.
h. Keamanan 24 jam – akses keluar masuk setiap orang dan CCTV selalu
dipantau. Pengamanan dan pemantauan pada gedung yang ukurannya kecil
dilakukan pemantauan secara off-site. Dilakukan pengecekan berkala pada
seluruh bagian gedung secara berkala.
i. Parkir – Slot Parkir yang cukup untuk parkir khusus dan parkir umum,
untuk menampung penyewa dan pengunjung. Akses 24 jam untuk tenant
dengan kontrol keamanan pada area parkir.
j. Fasilitas – terdapat jalan penghubung/akses antar fasilitas dan terdapat
kanopi, terdapat pusat konferensi, pusat kebugaran, memiliki layanan
penunjang kantor berorientasi layanan ritel seperti toko, cafe, kantin /food
court dan restoran, layanan dry cleaning, ATM dan Wi-Fi. Jika bangunan
tidak terletak pada pusat kota atau memiliki akses lokasi yang kurang baik,
maka gedung menyediakan kantin dan tempat ibadah.
21
2. Bangunan Kelas B
Pada umumnya Gedung Kelas Kantor B adalah bangunan yang memiliki
kualitas bangunan di bawah kelas A dengan manajemen dan kualitas penyewa
yang baik. Gedung perkantoran kelas B biasanya memiliki dinding dengan
kualitas yang menengah, sistem mekanikal memadai, memiliki sistem
listrik,sistem keselamatan dan keamanan. Bangunan Kantor kelas B memiliki
Kriteria :
a. Memiliki kualitas bangunan di bawah kelas A
b. Banguan kantor yang masih tergolong baik kualitasnya.
c. Lokasi mudah ditemukan.
d. Dikelola oleh perusahaan dan manager professional.
e. Harga sewa menengah.
f. Berada pada kondisi pasar menengah.
g. Teknologi yang tersedia mencukupi
h. Terdapat akses keamanan yang cukup
i. Slot parkir mencukupi untuk parkir khusus dan umum.
j. Terawat - Fungsional.
k. Dapat ditingkatkan menjadi bangunan kelas A
3. Bangunan Kelas C
Bangunan kantor kelas C merupakan kelas terendah untuk gedung
perkantoran. Kriteria untuk bangunan kantor Kelas C adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kualitas bangunan di bawah kelas B.
b. Gedung perkantoran lama, arsitektur kurang mengesankan.
c. Terletak di lokasi yang kurang strategis
d. Dikelola oleh perusahaan dan manager berpengalaman.
e. Harga sewa rendah.
f. Berada pada kondisi pasar rendah.
g. Teknologi yang digunakan masih sederhana.
h. Akses keamanan masih kurang.
i. Slot parkir cukup.
j. Arsitektur Kurang mengesankan.
22
2.4.2. Perhitungan Sewa Kantor
Menurut Marlina (2008:122) terdapat istilah-istilah dalam perhitungan sewa
ruang kantor sebagai berikut:
1. Service Floor Area, meliputi area-area yang tidak termasuk disewakan, tetapi
merupakan layanan untuk penyewa seperti elevator, tangga, AC central, Fire
Tower Court.
2. Rentable Floor Area, dapat dibedakan menjadi:
a. Usable floor area, merupakan area yang disewakan dengan harga tertentu
b. Common floor area, meliputi elevator hall, koridor, dan toilet. Harga
sewa/m2 diperhitungkan berdasarkan rentable floor area.
3. Gross Area System
Sistem sewa dengan memperhitungkan semua bagian bangunan (ruang-ruang
yang ada) termasuk lobby, lift, lavatory dan ruang penunjang lainnya.
4. Net Area System
Sistem sewa dengan memperhitungkan luas ruang yang benar-benar hanya
digunakan oleh penyewa. Dalam hal ini lavatory, ruang lift, dan penunjang yang
tidak disewakan.
5. Semi Gross System
Sistem sewa dengan memperhitungkan semua ruang yang digunakan oleh
penyewa ditambah dengan beberapa ruang fasilitas, tetapi tidak termasuk ruang
transportasi, tangga darurat dan fasilitas umum lainnya.
2.5. Hotel
Hotel merupakan salah satu contoh fasilitas akomodasi yang
dikomersialkan dengan sistem sewa (Marlina, 2008:58). Hotel saat ini tidak lagi
dijadikan sebagai tempat untuk menginap, tetapi seiring berkembangnya zaman
hotel kini dijadikan sebagai sarana bisnis. Sebagian besar pendapatan hotel berasal
dari bisnis MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Menurut Pendit
(1999:25) MICE didefinisikan sebagai wisata konvensi dimana didalamnya
terdapat usaha jasa konvensi, perjalanan insentif, dan pameran. Selanjutnya
menurut Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017
23
menyebutkan bahwa MICE merupakan pemberian jasa bagi suatu pertemuan
sekelompok orang, penyelenggaraan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha
sebagai imbalan atas pretasinya, serta penyelenggaraan pameran dalam rangka
penyebarluasan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala
nasional, regional, dan internasional. Lokasi hotel ini biasa berada di pusat kota
dekat dengan pusat bisnis dan pemerintahan. Berikut penjelasan masing-masing
dari kata MICE berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2017:
1. Pertemuan (Meeting)
Pertemuan adalah pertemuan dua atau lebih orang yang diselenggarakan untuk
maksud mencapai tujuan bersama melalui interaksi verbal, seperti berbagi
informasi atau mencapai kesepakatan yang dapat berupa presentasi, seminar,
lokakarya, pelatihan, team building maupun event organisasi atau perusahaan
lainnya.
2. Insentif (Incentive)
Insentif adalah alat manajemen global yang menggunakan pengalaman wisata
yang luar biasa untuk memotivasi dan/atau memberikan pengakuan kepada
peserta dengan tujuan dapat meningkatkan kinerja dalam mendukung tujuan
organisasi atau perusahaan.
3. Konvensi (Convention)
Konvensi adalah sebuah pertemuan resmi dalam skala besar yang dihadiri oleh
perwakilan atau delegasi (pemerintah, asosiasi, atau industri) untuk melakukan
diskusi, pertukaran informasi atau tindakan atas permasalahan khusus yang
menjadi perhatian bersama.
4. Pameran (Exhibition)
Pameran adalah sebuah acara yang terorganisir dimana objek ditampilkan
kepada publik yang dapat berupa pameran dagang antar bisnis maupun pameran
untuk konsumen akhir.
24
2.5.1. Kelas Kamar Sebuah Hotel
Salah satu realisasi kenyamanan pada bangunan hotel dapat diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas yang disediakan pada setiap kamarnya. Semakin mewah
kelengkapan fasilitas yang tersedia, semakin tinggi pula kelas kamar tersebut.
Klasifikasi kelas kamar sebuah hotel menurut Marlina (2008:47) adalah sebagai
berikut:
1. Standart Room
Standart Room adalah jenis kamar yang harganya paling murah di suatu hotel
karena fasilitas yang tersedia di dalam kamar tersebut berlaku umum di semua
hotel.
2. Deluxe Room
Deluxe Room adalah jenis kamar dengan fasilitas yang lebih baik dari kamar
standar, misalnya dengan ukuran kamar yang lebih besar dan tambahan fasilitas
lain seperti televisi dan lemari es.
3. President Deluxe Suite Room
President Deluxe Suite Room adalah jenis kamar yang paling mahal dalam
suatu hotel. Fasilitas pada kamar ini lebih lengkap dibandingkan dengan deluxe
room, misalnya meja kursi baca, sofa untuk bersantai, meja kursi tamu, kamar
mandi yang lebih besar, serta ukuran kamar yang lebih luas.
2.5.2. Klasifikasi Hotel Berbintang
Klasifikasi hotel yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan klasifikasi
hotel secara umum yang berlaku di seluruh dunia. Lebih spesifik lagi, terdapat
klasifikasi hotel yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada pertimbangan
jumlah kamar, fasilitas dan peralatan yang disediakan, model sistem pengelolaan,
dan bermotto pelayanan (Marlina, 2008:71).
Berdasarkan pertimbangan aspek-aspek di atas, hotel dapat diklasifikasikan
menjadi berbagai tingkatan yang kemudian dinyatakan dalam sebutan bintang dan
melati yang masing-masing terdiri dari 5 (lima) tingkatan. Peninjauan terhadap
kelas-kelas hotel ini dilakukan setiap 3 tahun sekali. Pengklasifikasian hotel
25
berbintang didasarkan atas pertimbangan aspek-aspek berikut seperti pada Tabel
2.1.
Tabel 2. 1 Pengklasifikasian Hotel Berbintang
No. Jenis Hotel Aspek Pertimbangan Kriteria 1 Hotel Bintang 2 Umum 1. Lokasi mudah dicapai
2. Bebas polusi 3. Sirkulasi di dalam
bangunan mudah Bedroom 1. Minimum mempunyai 20
kamar dengan luasan 22 m2/kamar
2. Setidaknya terdapat 1 kamar suite dengan luasan 44 m2/kamar
Dining Room Standar luas 1,5 m2/tempat duduk
Bar Standar luas 1,1 m2/tempat duduk
Lobby 1. Harus ada lobby 2. Tata udara dengan
AC/Ventilasi 3. Kapasitas penerangan
minimum 150 lux 2 Hotel Bintang 3 Umum Unsur dekorasi Indonesia
tercermin pada lobby, restoran, kamar tidur, dan function room.
Bedroom 1. Terdapat minimum 20 kamar standar dengan luas 22 m2/kamar
2. Terdapat minimum 2 kamar suite dengan luas 44 m2/kamar
Dining room Bila tidak berdampingan dengan lobby, maka harus dilengkapi dengan kamar mandi/wc sendiri.
Bar 1. Apabila berupa ruang tertutup, maka harus dilengkapi AC dengan suhu 24oC
2. Lebar ruang kerja bartender setidaknya 1 m
Sumber: Marlina (2008:72-79)
26
Tabel 2.1 Pengklasifikasian Hotel Berbintang (Lanjutan)
No. Jenis Hotel Aspek Pertimbangan Kriteria Ruang fungsional 1. Dilengkapi dengan toilet
apabila tidak satu lantai dengan lobby
2. Terdapat pre function room Lobby 1. Mempunyai luasan
minimum 30 m2 2. Dilengkapi dengan lounge 3. Toilet umum minimum 1
buah dengan perlengkapan Drug store 1. Minimum terdapat
drugstore, bank, money changer, biro perjalanan, air line agent, souvenir shop, perkantoran, dan butik.
2. Tersedia poliklinik Sarana Rekreasi dan
Olahraga Minimum 1 buah dengan pilihan: tennis, bowling, golf, fitness, sauna, billiard, jogging, diskotik, atau taman bermain anak.
3 Hotel Bintang 4 Umum Minimum seperti pada hotel bintang 3
Bedroom 1. Mempunyai minimum 50 kamar standar dengan luasan 24 m2/kamar
2. Mempunyai minimum 3 kamar suite, dengan luasan minimum 48 m2/kamar
3. Dilengkapi dengan pengatur suhu kamar (AC) di dalam bedrom
Dining room Mempunyai minimum 2 buah dining room, salah satunya berupa coffe shop
Bar Mempunyai ketentuan minimum sama dengan hotel bintang 3
Ruang Fungsional Mempunyai ketentuan minimum sama dengan hotel bintang 3
Sumber: Marlina (2008:72-79)
27
Tabel 2.1 Pengklasifikasian Hotel Berbintang (Lanjutan)
No. Jenis Hotel Aspek Pertimbangan Kriteria Lobby 1. Mempunyai luasan
minimum 100 m2 2. Terdapat 2 toilet umum
untuk pria dan 3 toilet umum untuk wanita dengan perlengkapannya
Drug store Mempunyai ketentuan minimum sama dengan hotel bintang 3
Sarana rekreasi dan olahraga
Seperti pada hotel bintang 3 ditambah dengan diskotik/night club kedap suara dengan AC dan toilet
4 Hotel Bintang 5 Umum Minimum seperti pada hotel berbinang 4
Bedroom 1. Mempunyai minimum 100 kamar standar dengan luasan 26 m2/kamar
2. Mempunyai minimum 4 kamar suite dengan luasan 52 m2/kamar
3. Dilengkapi dengan pengatur suhu kamar di dalam kamar
Dining room Mempunyai minimum 3 buah dining room, salah satunya dengan spesialisasi masakan (Japanese/Chinese/European Food)
Bar Minimum seperti pada hotel berbintang 4
Ruang fungsional Minimum seperti pada hotel berbintang 4
Lobby Minimum seperti pada hotel berbintang 4
Drug store Minimum seperti pada hotel berbintang 4
Sarana rekreasi dan olahraga
Seperti pada hotel berbintang 4 ditambah dengan area bermain anak minimum ayunan atau ungkit (children playground)
Sumber: Marlina (2008:72-79)
28
2.6. Analisis Highest and Best Use (HBU)
Menurut Prawoto (2003: 170) menjelaskan bahwa Highest and Best Use
didefinisikan sebagai kemungkinan yang rasional dan sah penggunaan tanah atau
properti yang sudah dikembangkan yang secara fisik mungkin, mendapat dukungan
yang cukup dan secara finansial layak dan menghasilkan nilai yang tinggi. Menurut
Prawoto (2012), pandangan pertama yaitu penggunaan yang paling cocok
ditentukan yang merupakan kompromi yang terbaik dengan mempertimbangkan
faktor-faktor berupa pandangan konsumen, aspek keuangan, implikasi hukum dan
sosialnya, dan sebagainya. Sedangkan pandangan yang kedua bahwa kita dapat
menentukan the most probable use yang merupakan pencerminan dari faktor-faktor
lokal yang bersifat politis, kondisi pasar uang pada saat itu, sikap/pandangan
pemerintah setempat dan sebagainya. Pandangan yang kedua tersebut bukan
menjadi the highest and best use yang tidak memenuhi kualifikasi, melainkan
dibatasi oleh suatu perhitungan secara realistis dalam kondisi yang terbatas dimana
pembeli potensial dapat menggunakan suatu properti sebaik mungkin berdasarkan
kondisi saat itu.
Berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan the highest
and best use akan termasuk pula perhitungan semua sifat-sifat penting dari properti
yang kemudian diikuti dengan suatu perhitungan keuangan dari suatu
jarak/jangkauan yang masuk akal atas potensi penggunaan tanah yang potensial.
Untuk memperoleh kesimpulan itu, perlu dilakukannya analisis singkat
berdasarkan kepada perkiraan biaya, perkiraan kasar atas pendapatan dan estimasi
jangka waktu secara logis untuk dapat menentukan penggunaan mana yang akan
lebih menguntungkan dibandingkan yang lain (Prawoto, 2012: 35).
Menurut SPI 360 (2015) , HBU didefinisikan sebagai penggunaan yang
paling mungkin dan optimal dari suatu properti, yang secara fisik dimungkinkan,
telah dipertimbangkan secara memadai, secara hukum diizinkan, secara finasial
layak, dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti tersebut. Hasil dari analisis ini
sangat berguna bagi perusahaan dalam melakukan optimalisasi penggunaan aset,
baik untuk keperluan penjualan, kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka
29
efisiensi dan efektivitas pengelolaan aset yang dimiliki (Siregar, 2004: 780).
Menurut Hidayati dan Harjanto (2014:54) terdapat 2 tipe analisis HBU, yaitu:
1. Kegunaan Tertinggi dan Terbaik dari Tanah Kosong/Tanah yang
Dianggap Kosong
Kegunaan tertinggi dan terbaik dari tanah atau tapak (site) yang dianggap
kosong adalah mengasumsikan bahwa tanah tersebut adalah kosong atau dapat
dibuat kosong melalui pembongkaran bangunan. Dengan asumsi demikian
maka kegunaan yang menciptakan nilai dalam suatu pasar dapat teridentifikasi,
dan penilai dapat menilai untuk memilih properti pembanding serta
mengestimasi nilai.
2. Kegunaan Tertinggi dan Terbaik Properti yang Telah Terbangun
Kegunaan tertinggi dan terbaik dari sebuah properti yang telah terbangun
adalah terkait dengan kegunaan yang seharusnya pada properti tersebut sejalan
dengan perkembangannya. Sebagai contoh apakah sebuah bangunan hotel yang
telah berumur 30 tahun tetap dipertahankan seperti sedia kala, atau perlu
direnovasi, dikembangkan atau sebagian dibongkar? Apakah memungkinkan
untuk diganti jenis dan intensitas penggunaan yang lain.
Menurut SPI 360 (2015) kriteria analisis HBU meliputi aspek hukum, aspek fisik,
aspek keuangan, dan aspek produktivitas maksimum.
2.6.1. Aspek Hukum
Aspek Hukum yaitu menentukan pengunaan apa yang diizinkan oleh
peraturan yang ada saat ini, penggunaan apa yang diizinkan apabila perubahan
peruntukan diberikan, dan penggunaan apa yang dilarang oleh adanya
batasan/retriks pada lahan tersebut, Apabila retriks berbeda dengan peraturan tata
kota, maka penilai harus merujuk kepada ketentuan yang lebih membatasi.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan penilai antara lain:
1. Peruntukan (zoning)
Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata
Ruang dan Peraturan Zonasi, peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur
pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap
zona peruntukan sesuai dengan rencana tata ruang.
30
2. Retriksi/ Batasan
Dalam pertimbangan ini restriksi/ batasan berkaitan dengan retriksi oleh individu
atau diakibatkan oleh perjanjian tertentu yang dapat melarang pembangunan
tertentu, atau menentukan Garis Sempadan Bangunan (GSB), ketinggian dan
jenis material yang digunakan.
3. Peraturan Bangunan
Dalam pertimbangan ini peraturan bangunan berkaitan dengan berapa meter
Garis Sempadan Bangunan (GSB) & berapa persentase Koefisien Dasar Hijau
(KDH) untuk aset lahan tersebut berdasarkan RTRW.
Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang
dan Wilayah Kota Jakarta
a. Garis sempadan bangunan (GSB) adalah garis yang membatasi ruang antara
batas persil yang dikuasai ke arah letak bangunan.
b. Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka perbandingan luas ruang
terbuka hijau terhadap luas lahan/persil yang dikuasai, dalam satuan persen.
c. Koefisien Tapak Basement (KTB) adalah angka perbandingan maksimun
yang diijinkan antara luas lantai basement dengan luas tapak yang ada.
4. Kontrak/ Perjanjian
Dalam pertimbangan ini kontrak/ perjanjian berkaitan dengan apakah aset lahan
tersebut sedang dalam kontrak atau perjanjian.
5. Hak Menggunakan/Status Kepemilikan
Dalam SPI 360 (2015), Hak atas aset tanah/lahan yang dapat dimiliki oleh
perorangan, sekumpulan orang atau badan hukum, diatur dalam peraturan
perundang-undangan indonesia, meliputi:
a. Hak Milik (HM)
b. Hak Guna Usaha (HGU)
c. Hak Guna Bangunan (HGB)
d. Hak Pakai (HP)
e. Hak Pengelolaan (HPL)
6. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
Menurut Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata
31
Ruang dan Peraturan Zonasi mendefinisikan KDB dan KLB sebagai berikut:
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah persentase perbandingan antara
luas seluruh lantai dasar bangunan dan luas lahan perpetakan atau lahan
perencanaan yang dikuasai sesuai RTRW, RDTR, dan Peraturan Zonasi.
b. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan
luas lahan perpetakan yang dikuasai sesuai RTRW, RDTR, dan Peraturan
Zonasi.
2.6.2. Aspek Fisik
Aspek Fisik yaitu mempertimbangkan karakteristik fisik dari aset yang akan
dikaji oleh pelaku pasar pada saat penentuan alternatif pengembangan mana kah
yang memungkinkan secara fisik. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan
dalam aspek fisik adalah sebagai berikut:
1. Ukuran
Dalam pertimbangan ini ukuran yang digunakan untuk mengekpresikan luas
tanah, hal ini tergantung pada tempat dan kegunaan tanah. Contoh untuk tanah
pertanian dan industri dideskripsikan dalam hektar. Untuk bidang tanah biasanya
dideskripsikan dalam meter persegi, kaki persegi dan sebagainya. Tujuan dari
penetapan dimensi ukuran ini adalah untuk memudahkan perhitungan dan
pengidentifikasian. (Hidayati & Harjanto, 2014:89)
2. Bentuk dan Kegunaan
Dalam pertimbangan ini, berujuan untuk mengetahui bagaimanakah bentuk aset
lahan dan Apa kegunaan aset lahan tersebut saat ini.
3. Lebar Hadap Jalan (Frontage)
Frontage adalah jarak toleransi dari garis yang juga merupakan bagian dari jalan
umum atau jalan lainnya. Properti yang mempunyai 2 (dua) sisi depan terhadap
jalan dapat mempunyai unit nilai yang lebih tinggiatau lebih rendah dari properti
sekitarnya yang hanya memiliki satu sisi depan (frontage) terhadap jalan.
(Hidayati & Harjanto, 2014:89)
32
4. Kemudahan Akses
Dalam pertimbangan ini, kemudahan akses di cerminkan oleh jenis sarana
transportasi apa sajakah yang dapat melewati aset lahan tersebut.
5. Ketersediaan dan Kapasitas Utilitas
Dalam pertimbangan ini dapat dijelaskan bahwa Menurut UU No. 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman, menyebutkan utilitas umum meliputi
jaringan air bersih, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi, dan
pemadam kebakaran.
6. Lokasi dalam Market Area
Menurut Hidayati & Harjanto (2014:90) analisis lokasi berfokus pada waktu dan
jarak tempuh dari properti terhadap landmark atau tujuan tertentu. Dalam
pertimbangan ini lokasi dan market area berhubungan dengan berapa jarak lahan
tersbut dari kawasan strategis. Dalam RTRW Kota Jakarta 2030 “Kawasan
strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap wilayah yang lebih besar”.
7. Topografi
Penelitian topografi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
kontur tanah, penjenjangan tanah (grades), draiase alam, keadaan tanah,
pemandangan (view) dan keadaan fisik umum lainnya (Hidayatti & Harjanto,
2014:90).
8. Banjir dan Kemacetan
Dalam pertimbangan ini, bertujuan untuk mengetahui apakah aset lahan tersebut
merupakan daerah rawan banjir dan lokasi rawan macet.
2.6.3. Aspek Finansial
Aspek Finansial bertujuan untuk mengetahui apa saja yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan bangunan yang sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan dan juga mengetahui perkiraan biaya dalam perencanaan bangunan
tersebut. Analisis aspek finansial meliputi analisis pasar, biaya pembongkaran
bangunan, perencanaan bangunan, perencanaan biaya investasi, perencanaan
pendapatan dan biaya operasional, aliran arus kas, dan penilaian investasi.
33
1. Analisis Pasar
Menurut Baker (2007:130), “a market is a collection of products and
geographic locations, delineated as part of an inquiry aimed at making inferences
about market power and anticompetitive effect”. Pasar yang ingin diketahui dan
dituju perlu dilakukan proses analisis pada potensi pasar tersebut. Aspek pasar
penting dalam analisis investasi, karena akan merinci potensi penerimaan (arus kas
masuk) selama usia ekonomi proyek (masa konsesi). Analisis aspek pasar dilakukan
untuk menjawab apakah bisnis yang akan dijalankan dapat menghasilkan produk
yang dapat diterima pasar dengan tingkat penjualan yang menguntungkan.
Analisis pasar merupakan proses untuk memperkecil cakupan dari data
pasar makro menjadi data pasar mikro terkait properti yang dinilai (SPI 360 Tahun
2015). HBU bergantung kepada hasil analisis pasar untuk dapat mengidentifikasi
penggunaan yang paling menguntungkan dan kompetitif dari suatu properti. Pasar
yang ingin diketahui dan dituju perlu dilakukan proses analisis pada potensi pasar
tersebut. Menurut Suliyanto (2013), hal yang dapat dilakukan untuk menghitung
potensi pasar, yaitu deskripsi pasar, analisis permintaan, dan analisis penawaran.
Untuk mengukur potensi pasar dapat dianalisis melalui selisih antara kapasitas yang
ditawarkan (penawaran) dengan permintaan.
Berdasarkan pernyataan di atas, analisis aspek pasar dibagi kedalam tiga
segi yakni segi permintaan dan penawaran, serta strategi pemasaran.
1. Permintaan dan Penawaran
Hukum permintaan menerangkan bahwa apabila harga suatu komoditas naik,
maka jumlah komoditas yang diminta akan turun (sementara variabel lainnya
tetap). Sedangkan penawaran adalah jumlah komoditas yang ditawarkan oleh
pasar. Hukum penawaran menyatakan bahwa apabila harga suatu komoditas
naik, maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan meningkat, dengan catatan
bahwa variabel-variabel lainnya tetap.
2. Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran pada penelitian ini meliputi analisis segmenting, targeting,
positioning dan bauran pemasaran.
34
a. Analisis segmenting, targeting, positioning
Banyak organisasi yang memanfaatkan pemasaran sasaran yaitu dengan
membagi pasar ke dalam segmen-segmen pasar utama, membidik satu atau
dua segmen, dan mengembangkan produk serta program pemasaran yang
dirancang khusus bagi masing-masing segmen. Pemasaran sasaran
dilakukan dengan tiga langkah utama seperti pada Gambar 2.3.
Sumber: Kotler dan Armstrong (2003)
Gambar 2. 3 Segmenting, Targeting, dan Positioning
2. Biaya Pembongkaran Bangunan
Menurut UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002, pembongaran adalah
kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung,
komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. Pembongkaran
gedung dilakukan apabila memiliki dampak luas terhadap keselamatan umum dan
lingkungan. Bangunan dapat dibongkar atau dirobohkan apabila:
a. Tidak layak fungsi dan tidak dapat diperbaiki
b. Dapat menimbulkan bahaya atau dalam pemanfaatan bangunan gedung
dan/atau lingkungannya
c. Tidak memiliki izin mendirikan bangunan
Mary dan Vasudev (2014:407) mengemukakan bahwa pembongkaran
gedung dapat dilakukan apabila umur bangunan sudah lama dan gedung tidak
sesuai dengan penggunaannya. Biaya pembongkaran bangunan gedung dapat
diketahui melalui luas per meter persegi bangunan gedung yang akan dibongkar.
Berdasarkan Jurnal Harga Satuan Bahan Bangunan Konstruksi dan Interior (2016)
terdiri dari biaya pekerja, mandor dan keuntungan maksimal. Biaya pembongkaran
sebagaimana dimaksud di atas dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Segmentasi Pasar
Mengidentifikasi dasar-dasar untuk segmentasi pasar
Penentuan Target Pasar
Mengembangkan daya tarik masing-
masing segmen
Penetapan Posisi Pasar
Mengembangkan posisi dan bauran
untuk segmen yang ditargetkan
35
Tabel 2. 2 Standar Biaya Pembongkaran
Bagian Pembongkaran Biaya Pembongkaran (Rp)
Pembongkaran dinding bata 128.920
Pembongkaran plesteran dinding 5.225
Pembongkaran genteng/sirap 4.180
Pembongkaran Rangka Atap/Reng/kaso 17.242
Pembongkaran Kuda pada Genteng 490.600
Pembongkaran Plafond 25.946
Total Biaya Per meter persegi 672.113
Sumber: Harga Satuan Bahan Bangunan Konstruksi dan Interior (2016)
3. Perencanaan Bangunan
Sebelum mendirikan suatu bangunan, penting bagi perencana untuk
mengetahui persayaratan peraturan pengembangan tapak yaitu Koefisien Dasar
Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Hijau
(KDH), maksimum ketinggian lantai, dan Garis Sempadan Bangunan (GSB).
Menurut Juwana (2005:12), KDB dan KLB dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Ketentuan lainnya adalah menyangkut jarak lantai ke lantai, sebagaimana pada
Gambar 2.4
KDB = 𝐿𝑙𝑡−𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟
𝐿𝐷𝑃
KLB = 𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐿𝐷𝑃
Dimana :
𝐿𝐷𝑃 adalah luas Daerah Perencanaan
luas tanah di belakang GSJ.
𝐿𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 adalah luas total lantai bangunan.
36
Sumber: Juwana (2005:17)
Gambar 2. 4 Jarak Maksimum antar Lantai Bangunan
Analisis selanjutnya adalah perhitungan perancangan bangunan proyek
berdasarkan peraturan RDTR yang berlaku. Hal tersebut untuk menentukan biaya-
biaya yang dikeluarkan dan menentukan proyeksi pendapatan dari investasi
bangunan properti tersebut. Analisis bangunan proyek gedung kantor sewa dan
hotel dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Luas Lantai Kotor (Floor Plate)
Luas floor plate diperoleh dari luas daerah perencanaan dikurangi luas lahan
bebas bangunan (LDP –LBB). LBB diperoleh dari total GSB + KDH. Luas
lantai dasar harus lebih kecil atau sama dengan luas lahan yang diboleh
dibangun (KDB).
b. Efisiensi Lantai
Efisiensi lantai adalah persentase luas lantai yang disewakan terhadap luas
lantai kotor. Semakin besar efisiensi lantai, makin besar pula pendapatan
gedung. Efisiensi untuk gedung kantor sewa adalah 85%.
c. Luas Lantai Bersih (Net Floor)
Luas lantai bersih adalah luas lantai yang digunakan seluruhnya untuk
disewakan atau untuk memperoleh pendapatan (revenue). Rumus luas net floor
diperoleh dengan cara sebagai berikut:
Net floor = floor plate x efisiensi lantai
Maks. 5 m
Maks. 10 m
37
d. Jumlah Lantai Terbangun
Jumlah lantai terbangun dapat diketahui dengan cara sebagai berikut:
Jumlah lantai terbangun = luas lantai bangunan maksimum
𝑓𝑙𝑜𝑜𝑟 𝑝𝑙𝑎𝑡𝑒
e. Luas Lantai Bangunan Aktual Kotor (Gross Actual Building Area)
Luas lantai bangunan aktual kotor adalah luas bangunan yang akan dibangun
harus lebih kecil atau sama dengan luas lantai bangunan yang diizinkan. Luas
lantai bangunan aktual kotor tidak memperhitungkan efisiensi lantai, sehingga
benar-benar mempresentasikan luas bangunan secara keseluruhan. Luas lantai
bangunan aktual kotor diperoleh melalui floor plate x jumlah lantai terbangun.
f. Lantai Bangunan Aktual Bersih (Net Actual Building Area)
Net Actual Building Area adalah luas bangunan yang akan dibangun setelah
memperhitungkan efisiensi lantai, sehingga luas bangunan ini benar-benar
digunakan untuk memperoleh pendapatan. Lantai bangunan aktual bersih
biasanya menempati lantai tipikal. Lantai bangunan aktual bersih ditentukan
dari net floor x jumlah rencana lantai yang akan disewakan. Untuk ruang
fasilitas seperti lounge dan executive meeting room yang dijadikan ruang usaha
ditempatkan pada bangunan podium. Jumlah lantai tipikal harus memenuhi
ketentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan jumlah lantai podium harus
memenuhi ketentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
Selanjutnya untuk perancangan bangunan hotel dapat menggunakan pendekatan
perancangan bangunan tinggi oleh Juwana. Menurut Juwana (2005:11), sirkulasi
horizontal bangunan hotel yaitu 10% luas bruto dan sirkulasi vertikal 25% luas
bruto, sehingga perhitungan luas bruto untuk unit adalah sebagai berikut:
𝑳𝒖𝒂𝒔 𝑼𝒏𝒊𝒕 𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐 = [𝟏
𝟏, 𝟏𝟎+
𝟏
𝟏, 𝟐𝟓] 𝒙 (∑ 𝒖𝒏𝒊𝒕) 𝒙 (𝑳𝑼𝒏𝒊𝒕)
38
Keterangan :
Σ unit adalah jumlah unit yang disediakan
Lunit adalah luas netto unit kamar
Selain luas lantai untuk tiap unit, diperlukan pula ruangan-ruangan bagi
kebutuhan penunjang kegiatan produktif. Menurut Juwana (2005:11), hal tersebut
dapat dihitung dengan rumus berikut:
Dengan demikian jumlah luas lantai produktif menjadi:
Selanjutnya kebutuhan lantai non-produktif (ruangan pengelolaan hotel,
mekanikal, dan elektrikal, dan lain-lain) mengikuti rumus sebagai berikut:
𝑳𝑷𝒓𝒐𝒅 ∶ 𝑳𝑵𝒐𝒏−𝑷𝒓𝒐𝒅 = 𝟔𝟎 ∶ 𝟒𝟎% Atau
𝑳𝑵𝒐𝒏−𝒑𝒓𝒐𝒅 =𝟐
𝟑 𝑳𝑷𝒓𝒐𝒅
Jadi, luas lantai bruto untuk hotel adalah:
Luasan yang diperlukan untuk unit (𝑳𝒖𝒏𝒊𝒕−𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐) biasanya menempati lantai
tipikal, sedang sisanya (𝑳𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐− 𝑳𝒖𝒏𝒊𝒕−𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐) ditempatkan pada bangunan podium.
Adapun jumlah lantai podium disesuaikan dengan ketentuan Koefesien Dasar
Bangunan dan jumlah lantai tipikal harus memenuhi ketentuan Koefisien Lantai
Bangunan.
Selanjutnya adalah menentukan kebutuhan ruang parkir untuk gedung
kantor sewa dan hotel. Ketentuan jumlah parkir menurut Juwana (2005) dapat
dilihat pada Tabel 2.3
𝑳𝑷𝒆𝒏𝒋−𝒑𝒓𝒐𝒅 = 𝟒𝟎% 𝑳𝒖𝒏𝒊𝒕−𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐
𝑳𝒑𝒓𝒐𝒅 = 𝑳𝒖𝒏𝒊𝒕−𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐 + 𝑳𝑷𝒆𝒏𝒋−𝑷𝒓𝒐𝒅
𝑳𝑩𝒓𝒖𝒕𝒐 = 𝑳𝑷𝒓𝒐𝒅 + 𝑳𝑵𝒐𝒏−𝑷𝒓𝒐𝒅
39
Tabel 2. 3 Standar Jumlah Parkir
Penggunaan Predikat Standar Parkir 1(satu) mobil
Perkantoran - Setiap 100 m2 lantai bruto Hotel Bintang 4-5 Setiap 5 unit kamar
Bintang 4-5 Setiap 7 unit kamar Bintang 1 ke bawah Setiap 10 unit kamar
Sumber: Juwana (2005:19)
Sedangkan kebutuhan ruang parkir untuk jenis kendaraan adalah sebagaimana pada
Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Kebutuhan Ruang Parkir
Jenis Kendaraan Satuan Ruang Parkir
Mobil 2,3 m x 5,5 m / mobil Motor 0,9 m x 2 m / motor Bus 2 m x 2,8 m / bus
Sumber: Data arsitek, 2002
4. Perencanaan Biaya Investasi
Perencanaan biaya investasi dalam perencanaan gedung kantor sewa dan
hotel tidak memperhitungkan desain detail konstruksi bangunan. Perencanaan
biaya investasi menggunakan perencanaan biaya secara kasar. Adapun rencana
biaya yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2. 5 Perencanaan Biaya Investasi
Uraian Volume Unit Biaya Total Biaya a. Biaya Bangunan X m² Rp Y Rp XY b. Biaya Peralatan Tetap b % Rp XY Rp B c. Biaya Pengembangan Tapak c % Rp XY Rp C d. Biaya Konstruksi Rp XY + Rp B + Rp C
Uraian Volume Unit Biaya Total Biaya e. Biaya Pembongkaran Bangunan Z m2 Rp V Rp ZV f. Biaya Jasa Profesi f % Rp D Rp F g. Biaya Peralatan Bergerak g % Rp XY Rp G h. Biaya Administrasi h % Rp D Rp H i. Biaya lain-lain i % Rp D Rp I J. Biaya Investasi (Rp D + Rp ZV + Rp F + Rp G + Rp H + Rp I)
Sumber: Adaptasi Juwana (2005:279)
40
Biaya-biaya yang dipertimbangkan dalam Tabel 2.5 diperoleh melalui
pendekatan berikut ini:
a. Biaya Bangunan
Harga dasar bangunan yang digunakan untuk perencanaan gedung kantor sewa
dan hotel menggunakan Biaya Teknis Bangunan (BTB) Provinsi DKI Jakarta
tahun 2017 dari MAPPI. Adapun Biaya Teknis Bangunan untuk gedung
bertingkat dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2. 6 Biaya Teknis Bangunan Provinsi DKI Jakarta
Elemen Bangunan
Bangunan Gedung Bertingkat
Rendah (Low-Rise)
Sedang (Mid-Rise)
Tinggi (High-Rise)
Maks. 4 Lantai Maks. 8 Lantai Min. 9 Lantai (Rp) (Rp) (Rp) Pondasi 452.941 771.200 986.426 Struktur 1.078.528 1.341.607 1.922.597 Penutup Atap 358.132 133.347 73.296 Plafon 184.378 143.127 132.616 Dinding 279.256 566.080 774.215 Pintu dan Jendela 118.449 633.152 723.449 Lantai 180.938 50.455 40.830 Utilitas 149.898 518.010 626.152 Total Biaya 2.802.520 4.156.978 5.279.581 PPN 10% 280.252 415.698 527.958 Total Biaya Setelah PPN
3.082.772 4.572.676 6.257.539
Sumber: MAPPI, 2017
Untuk mengetahui harga bangunan untuk tingkat berikutnya bisa diperoleh
dengan mengalikan faktor perkalian tinggi lantai dengan harga dasar satuan
meter persegi. Faktor perkalian tinggi lantai dapat dilihat pada pada Tabel 2.7.
Tabel 2. 7 Faktor Perkalian Tinggi Lantai
Tinggi Bangunan Faktor Perkalian (x harga dasar)
Lantai ke – 1 1 Lantai ke – 2 1,090 Lantai ke – 3 1,120 Lantai ke – 4 1,135
Sumber: Panduan Sistem Bangunan Tinggi (Juwana, 2005: 272)
41
Tinggi Bangunan Faktor Perkalian (x harga dasar)
Lantai ke – 5 1,162 Lantai ke – 6 1,197 Lantai ke – 7 1,236 Lantai ke – 8 1,265 Lantai ke – 9 1,294 Lantai ke – 10 1,323 Lantai ke – 11 1,352 Lantai ke – 12 1,381 Lantai ke – 13 1,410 Lantai ke -14 1,439
Sumber: Panduan Sistem Bangunan Tinggi (Juwana, 2005: 272)
Faktor perkalian tinggi lantai di atas hanya sampai pada lantai 14. Sedangkan
faktor pengalian untuk lantai 15 dan seterusnya menggunakan rumus empiris
(Juwana, 2005) sebagai berikut:
BBn = BBo x (1+0.0237)n
Dimana : BBn : harga dasar untuk bangunan berlantai n
BBo : harga dasar untuk bangunan tidak berlantai
n : jumlah lantai bangunan
b. Biaya Peralatan Tetap
Bobot biaya bangunan untuk peralatan tetap berkisar antara 10% - 15% dari
biaya bangunan (Juwana, 2005:279).
c. Biaya Pengembangan Tapak
Bobot biaya pengembangan tapak sebesar 10% - 15% dari biaya bangunan
(Juwana, 2005:279).
d. Biaya Pembongkaran Bangunan
Biaya pembongkaran bangunan menggunakan harga satuan dari bangunan
konstruksi dan interior tahun 2016. Harga pembongkaran bangunan per meter
persegi adalah Rp 672.113.
e. Biaya Jasa Profesi
Biaya jasa profesi sebesar 3% - 6% dari biaya konstruksi (Juwana, 2005:279).
f. Biaya Peralatan Bergerak Bobot terhadap biaya bangunan untuk peralatan bergerak adalah 10% - 15%.
Tabel 2.7 Faktor Perkalian Tinggi Lantai (Lanjutan)
42
g. Biaya Administrasi Biaya administrasi sebesar 1% - 5% dari biaya konstruksi (Juwana, 2005:279).
h. Biaya Lain-Lain
Biaya lain-lain berkisar antara 5% - 15% dari biaya konstruksi (Juwana, 2005:279).
5. Perencanaan Biaya Operasional
Setelah bangunan selesai dibangun, masih terdapat biaya lainnya yaitu biaya
dalam mengoperasikan bangunan. Biaya-biaya operasional dalam pengelolaan
bangunan menurut Juwana (2005) adalah sebagai berikut:
a. Biaya Energi/Listrik
Konsumsi energi/listrik per tahun menurut Juwana (2005) dalam bentuk
kWh per m2. Biaya kebutuhan energi bisa dihitung dengan konsumsi energi
dikali tarif energi.
b. Biaya Kebutuhan Air
Kebutuhan air dari suatu gedung bisa ditentukan per m2 gedung tersebut.
Biaya kebutuhan air bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan air per hari
dengan tarif airnya.
c. Biaya Pemeliharaan
Mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007
dijelaskan bahwa besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung per m2
setiap tahunnya maksimum adalah sebesar 2% dari harga standar per m2.
d. Biaya Pemasaran
Biaya pemasaran untuk suatu pengelolaan gedung ditetapkan 0,5% dari
biaya investasi (Hutomo, 2011).
e. Biaya Gaji
Penentuan biaya gaji ditinjau berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR)
Kota Jakarta Selatan tahun 2017 dilihat dari jabatan pegawai ditentukan
berdasarkan estimasi dari hasil perbandingan beberapa sumber.
f. Biaya Pajak
Biaya pajak yang dikeluarkan adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan dan
Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan UU No. 36 Tahun 2008 tentang
43
Pajak Penghasilan. Selain PPh terdapat pajak daerah yang dikenakan
terhadap usaha sewa kamar hotel sesuai UU No.28 Tahun 2009.
6. Aliran Arus Kas
Menurut Mardiyanto (2009) arus kas adalah laba ditambah penyusutan.
Dalam studi kelayakan investasi, arus kas merupakan unsur analisis yang sangat
penting kedudukannya, karena kelayakan finansial sebuah usulan rencana investasi
diukur dari arus kas nilai sekarang. Kemudian menurut Haming dan Basamalah
(2010) jika nilai sekarang arus kas masuk lebih besar daripada nilai arus kas keluar
sekarang, maka rencana investasi itu dari sudut aspek finansial adalah layak
dilaksanakan, demikian pula jika terjadi yang sebaliknya maka rencana investasi itu
tidak layak dilaksanakan. Ataupun dapat dilihat berdasarkan Net Income Cash Flow
(NICF) yang bernilai positif. Adapun rumus arus kas masuk sesuai menurut
Mardiyanto (2009) sesuai dengan persamaan berikut:
Keterangan:
CFn = Arus kas masuk (cash inflow) untuk tahun ke-n
R = Pendapatan
OE = Beban Operasional
D = Beban Penyusutan
T = Pajak
Sedangkan arus kas keluar menurut Mardiyanto (2009), rumus arus kas keluar
adalah sebagai berikut:
𝑨𝒓𝒖𝒔 𝑲𝒂𝒔 𝑲𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓 = 𝑯𝒂𝒓𝒈𝒂 𝑩𝒆𝒍𝒊 + 𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝑻𝒂𝒎𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏
+𝑻𝒂𝒎𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒎𝒐𝒅𝒂𝒍 𝑲𝒆𝒓𝒋𝒂
7. Penilaian Investasi
kelayakan finansial dari alternatif pengembangan yang dianalisis dapat
dilihat dari faktor-faktor kelayakan finansial suatu proyek yang meliputi net
operating income (NOI), pay back period (PP), net present value (NVP), internal
rate of return (IRR) dan return on investment (ROI).
CFn = [R-OE-D] (1-T) + D
44
a. Net Operating Income (NOI)
Net operating income diformulasikan dari pendapatan kotor setahun dikurangi
biaya operasional setahun.
b. Pay back Period (PP)
Menurut Al-Ani (2015:470), “Payback Period Technique is based on the idea of
how much is needed by the project to generate cash flows sufficient to recover
the cost of investments”. Payback period digunakan untuk mengukur seberapa
cepat modal (arus kas keluar / investasi awal) dapat diterima kembali oleh
perusahaan (Mardiyanto, 2009:205). Suatu proyek bisa diterima apabila
memiliki payback periode ≤ jangka waktu yang disyaratkan. Apabila terdiri dari
beberapa alternatif, maka alternatif yang memiliki payback periode yang lebih
cepat yang layak dipilih.
c. Net Present Value (NPV)
Menurut Mardiyanto (2009), Net Present Value (NPV) digunakan untuk
menghitung nilai sekarang dari arus kas masuk yang akan diterima pada masa
yang akan datang setelah dikurangi arus keluar (investasi awal). Berikut adalah
rumus NPV:
Indikasi kelayakan yang digunakan dengan rumus NPV:
NPV > 0, maka proyek layak dibangun.
NPV = 0, maka proyek pengembalian sama dengan investasi.
NPV < 0, maka proyek tidak layak dibangun.
d. Internal Rate of Return (IRR)
Internal rate of return didefinisikan sebagai tingkat imbal hasil sedemikian rupa
sehingga menyebabkan NPV sama dengan nol. Dengan kata lain, untuk
menghitung IRR, digunakan rumus NPV yang telah diubah, maka rumus IRR
adalah sebagai berikut:
𝑁𝑃𝑉 = ∑𝐶𝐹𝑛
(1 + 𝑘)𝑛
𝑛
𝑖=1
− 𝐼0
𝐼0 = ∑𝐶𝐹𝑛
(1 + 𝑘)𝑛
𝑛
𝑖=1
45
Berdasarkan rumus IRR diatas, k tidak dapat dihitung secara langsung. Nilai k
dapat diperoleh dengan cara trial and error. Kriteria IRR yang dinilai layak
adalah apabila nilainya lebih besar daripada biaya modal (Mardiyanto, 2009).
Ukuran kelayakan yang digunakan dari IRR adalah:
IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan, maka proyek diterima.
IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan, maka proyek ditolak.
2.6.4. Aspek Produktivitas Maksimum
Untuk menentukan kegunaan tertinggi dan terbaik atas tanah untuk masing-
masing alternatif properti digunakan tingkat pengembalian yang sama untuk
mengkapitalisasi aliran pendapatan. Alat analisis atau tolak ukur yang digunakan
terhadap aspek produktivitas maksimum adalah payback period, aliran tunai bersih
(net present value), dan internal rate of return. Alternatif kegunaan yang
menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang positif dan tertinggi adalah
alternatif yang memenuhi kriteria kegunaan tertinggi dan terbaik.
2.7. Landasan Normatif
Landasan normatif yang digunakan dalam peenyelesaian penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2)
Tentang Pajak Bersifat Final.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 35 ayat (1)
Tentang Tarif Pajak Hotel.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 BAB IV Pasal 5
Tentang Tarif Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-22/MBU/12/2014
Pasal 3 ayat (2) Tentang Penghapusbukuan Aktiva Tetap.
5. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.Per-13/MBU/09/2014 Pasal
2 ayat (1) Tentang Optimalisasi Nilai Perusahaan BUMN.
6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012
Pasal 18 ayat (1) Tentang Sistem Pusat Kegiatan.
46
7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2014
Pasal 609 ayat (2) Tentang Kegiatan Diizinkan Bersyarat yang ditetapkan oleh
Gubernur.
8. Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 BAB II
Tentang Kriteria dan Indikator Venue MICE.