��
�
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Kepemimpinan Siagian (2002) mengemukakan bahwa
kepemimpinan memainkan peranan yang dominan,
krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk
meningkatkan produktivitas kerja, baik pada tingkat
individual, pada tingkat kelompok, dan pada tingkat
organisasi. Peranan yang dominan tersebut dapat
mempengaruhi moral kepuasan kerja, keamanan,
kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi
suatu organisasi.
Terry menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah
keseluruhan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai
tujuan. Terry juga mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah aktivitas pemegang kewenangan
dan pengambil keputusan.
Pada dasarnya teori kepemimpinan itu
menjelaskan tentang peran para pemimpin
mempengaruhi orang lain dalam hubungan
kepemimpinannya di organisasi (Soetomo W. E, 2009).
Kebanyakan para peneliti lebih cenderung berfokus
pada satu aspek kepemimpinan dengan variable-
variabel yang terbatas. Akibat fokus kepemimpinan itu,
maka para ahli mengelompokkan kepada 4 kategori,
yaitu: 1. ciri kepemimpinan, 2. kekuatan pendekatan
kepemimpinan, 3. sikap kepemimpinan, 4. gaya
kepemimpinan.
��
�
Yukl (1994) mengatakan bahwa kepemimpinan
itu melibatkan proses pengaruh sosial yang
pengaruhnya dengan sengaja dilakukan terhadap
banyak orang untuk membuat aktivitas organisasi.
Bennis (1989) menegaskan bahwa pemimpin itu
melakukan “hal yang benar” dan berfokus pada yang
dipimpin.
Lebih lanjut Hanson (1996) mengatakan bahwa
kepemimpinan itu lebih berkonsentrasi pada visi yang
strategis dan ketrampilan membuat pengikutnya secara
aktif menjalankan tugas, sehingga visi organisasi itu
tercapai. Dengan adanya pemahaman di atas, maka
kepala sekolah perlu belajar kepemimpinan agar
mereka: a. mampu menilai kelebihan dan kekurangan
dirinya dalam memimpin, b. mampu menggunakan
pengaruh secara tepat dan secara positif agar dapat
mengendalikan kemampuan organisasi yang
dipimpinnya, c. dan juga mampu melihat kembali nilai
dan kepercayaan diri dalam hubungan dengan dirinya
dan organisasi yang dipimpin (Soetomo W.E,2009)
Anwar (2003) mengatakan bahwa kepemimpinan
adalah perilaku pemimpin dalam memimpin,
mempengaruhi dan memberikan bimbingan kepada
yang dipimpin ( mengelola sebuah institusi) agar
mencapai tujuan yang diharapkan.
Fungsi pemimpin menunjukkan adanya berbagai
aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang
kepala dalam upaya menggerakan karyawan, dan
anggota masyarakat agar bisa berbuat sesuatu untuk
melaksanakan program-program yang telah disusun.
���
�
Anwar (2003) juga mengatakan bahwa untuk
memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan
pendidikan disekolah, terdapat tiga fungsi yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1. Fungsi dalam membantu kelompok dalam
merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai
dan dijadikan pedoman untuk menentukan kegiatan
yang akan dilakukan.
2. Fungsi dalam menggerakkan guru-guru, karyawan,
siswa, dan anggota masyarakat untuk
menyukseskan program pendidikan disekolah.
3. Fungsi menciptakan sekolah sebagai suatu
lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis,
dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat
bekerja dengan penuh produktivitas dan
memperoleh kepuasan kerja guru tinggi. Ini berarti
bahwa pemimpin mesti dapat menciptakan iklim
organisasi yang dapat mendorong produktivitas
pendidikan yang tinggi dan kepuasan kerja yang
maksimal.
Kemampuan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi orang lain didukung oleh kelebihan yang
dimiliki pemimpin itu, baik yang bersifat pribadi
maupun yang berkaitan dengan keluasan pengetahuan
dan pengalamannya dan mendapat pengakuan dari
orang yang dipimpin. Menurut Lezotte (1993) sekolah
yang efektif tercipta karena kepemimpinan yang
diterapkan disekolah dan diarahkan pada proses
pemberdayaan guru, sehingga kinerja guru lebih
���
�
berdasarkan pada prinsip-prinsip dan konsep bersama
dan bukan merupakan instruksi dari pimpinan.
Jika defenisi-defenisi tersebut disimak dengan
cermat akan tersirat adanya kesamaan mengenai 4 hal
yang hendak dikemukakan yaitu: 1. Seorang pemimpin
harus mempunyai kemampuan mengatur, mengelola
dan mempengaruhi orang lain, 2. Kepatuhan bawahan
merupakan elemen penting dalam menjalankan
kepemimpinan, 3. Kemampuan pemimpin mengubah
“egosentrisme” para bawahan menjadi “organisasi-
sentrisme”, 4. Adanya pimpinan dan bawahan yang
bekerja sama dalam suatu organisasi.
Peningkatan mutu sekolah memerlukan
perubahan kultur organisasi yang mendasar tentang
bagaimana individu-individu dan kelompok memahami
pekerjaan dan peranannya dalam sebuah organisasi
sekolah. Kultur sekolah terutama dihasilkan oleh
kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah wajib
memahami bahwa sekolah sebagai suatu sistem
organik. Kepala sekolah harus mampu berperan sebagai
pemimpin (leader) dibandingkan dengan manager.
Nawawi (2003) mengatakan bahwa sebagai leader kepala
sekolah berkewajiban : a. Mengarahkan daripada
mendorong atau memaksa, b. Menyandarkan pada
kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan
dengan bersandar pada kekuasaan atau surat tugas, c.
Menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf
administrasi, bukan menciptakan rasa takut, d.
Menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu
daripada menunjukkan bahwa kepala sekolah tahu
���
�
sesuatu, e. Mengembangkan suasana antusias bukan
mengembangkan suasana yang menjemukan, f.
Memperbaiki kesalahan yang ada daripada menimpakan
kesalahan pada seseorang yang bekerja dengan penuh
kesungguhan.
Agar kepemimpinan kepala sekolah partisipatif,
ada beberapa sifat dan gaya kepemimpinan. Sifat dan
gaya seorang pemimpin itu antara lain dalam
menggalang hubungan baik dengan orang-orang yang
dipimpin (Admodiwirio & Totosiswanto, 2002).
Contohnya (1) Pemimpin itu memberikan orientasi pada
kualitas, (2) Bekerja dengan landasan hubungan
kemanusiaan yang baik, (3) Memahami masyarakat
sekitarnya, (4) Memiliki sikap mental yang baik, (5)
Berkepentingan dengan staf dan sekolah, (6) Melakukan
kompromi untuk mencapai kesepakatan, (7)
Mempertahankan stabilitas, (8) Mampu mengatasi
stress, (9) Menciptakan struktur yang mapan agar
sesuatu bisa terjadi, yaitu mentolerir adanya kesalahan,
tidak menciptakan konflik pribadi, memimpin melalui
pendekatan yang positif, tidak mendahului orang-orang
yang dipimpinnya, mudah dihubungi oleh orang, dan
memiliki keluarga yang serasi.
Dari pemahaman di atas, maka kepala sekolah
adalah seorang pemimpin pendidikan yang mempunyai
tugas untuk membuat perencanaan,
mengorganisasikan, mengkoordinasikan, mengawasi,
dan menyelesaikan seluruh kegiatan pendidikan
disekolahnya dalam usaha mencapai suatu tujuan
pendidikan dan pengajaran. Kesimpulannya bahwa
���
�
kepala sekolah memiliki tujuh peran yaitu kepala
sekolah sebagai educator, manajer, advisor, supervisor,
leader, innovator, dan motivator (Mulyasa, 2004)
Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih
memperhatikan kondisi bawahan guna pencapaian
tujuan organisasi. Kepemimpinan yang berpola untuk
mementingkan pelaksanaan kerjasama, berkeyakinan
bahwa dengan kerjasama yang intensif, efektif, dan
efisien, semua tugas dapat dilaksanakan secara
optimal. Namun jika hasilnya tidak seperti yang
diharapkan, tidak ada pilihan lain, selain mengganti
pelaksananya tanpa menghiraukan siapa orangnya.
B. Partisipatif Partisipatif sering didefinisikan sebagai
keterlibatan mental, pikiran, dan emosional atau
perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang
mendorong untuk memberikan sumbangan kepada
kelompok dalam usaha mencapai tujuan, serta turut
bertanggungjawab terhadap usaha yang bersangkutan
(Santoso, 1988) Jadi dari pengertian ini ada
keterlibatan mental, pikiran, dan emosi yang harus
dipadukan dalam usaha mendorong sesuatu untuk
mencapai tujuan.
Pengertian partisipatif berasal dari bahasa asing
bentuk kata kerja “participare” (latin) artinya berperan
serta atau menjadi terlibat (Hornby, 1988). Partisipatif
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : partisipatif yang
bersifat swakarsa atau swasembada (Swakarsa yang
berarti keikutsertaan dan peran sertanya atas
���
�
kesadaran serta kemauan sendiri), dan yang kedua
adalah partisipatif yang bersifat dimobilsasikan
(Dimobilisasikan yang artinya keikutsertaan atau
berperan sertanya seseorang atas dasar pengarahan
orang lain). Dengan demikian kata “partisipatif”
mengandung semangat demokrasi yang bersifat
terangsang positif dan sukarela (Ndraka, 1990)
Dari pengertian-pengertian di atas bahwa
partisipatif adalah keterlibatan secara aktif dalam
suatu kegiatan pembangunan sehingga hakikat
partisipatif adalah merupakan tingkah laku balas
(respon) terhadap program atau kegiatan pembangunan
sebagai rangsangan. Jadi partisipatif lebih cenderung
berperan serta atau keterlibatannya pada
pembangunan atau kegiatan (W.S Winkel, 1982)
Atas dasar pemikiran inilah maka partisipatif yang
memiliki artian wujud keterlibatan para siswa pada
peran sertanya atau keikutsertaan pada suatu kegiatan
sebagai respon atau rangsangan dari kegiatan tersebut.
Partisipatif mengandung nilai dan strategi serta sarana
bukan hanya untuk mencapai tujuan, melainkan juga
merupakan tujuan. Partisipatif sebagai suatu nilai
merupakan tumpuan demokrasi. Partisipatif
mengisyaratkan wujud kerjasama dengan banyak pihak
dan di dalam kerjasama itu seseorang
mengaktualisasikan diri dengan merealisasikan
segenap dan sebatas kemampuan. Sebagai strategi
berpartisipatif berarti turut menentukan arah dan cara
mencapai suatu tujuan.
��
�
Dari pengertian teoritis seperti tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
partisipatif adalah peran serta atau keterlibatan secara
swakarsa dari seseorang atau sekelompok karena
keinginan untuk menjaga agar tingkat kegiatan
tersebut berhasil dengan optimal.
C. Kepemimpinan Partisipatif Zhang (2005) mendefenisikan kepemimpinan
partisipatif sebagai persamaan kekuatan dan sharing
dalam pemecahan masalah dengan bawahan dan
melakukan konsultasi dengan bawahan sebelum
membuat keputusan. Kepemimpinan partisipatif
berhubungan dengan penggunaan berbagai prosedur
keputusan yang memperbolehkan pengaruh orang lain
mempengaruhi keputusan pemimpin.
Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-
usaha seorang pemimpin untuk mendorong dan
memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam
membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh
pemimpin itu sendiri (Yulk, 2002). Adapun aspek-aspek
dalam kepemimpin partisipatif mencakup konsultasi,
pengambilan keputusan bersama, membagi kekuasaan,
desentralisasi dan manajemen yang demokratis.
Dari definisi- definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan partisipatif adalah
kegiatan yang dapat mencapai tujuan dalam organisasi
yang melibatkan peran anggotanya baik secara mental
maupun emosional.
��
�
D. Manajemen Berbasis Sekolah Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen,
berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses
menggunakan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis
yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk
menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan
makna leksikal tersebut, maka MBS dapat diartikan
sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan
pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut
MBS berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah
itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan
paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula
diatur oleh birokrasi di luar sekolah, menuju
pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah
itu sendiri.
Pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
kewenangan yang memandang sekolah secara
individual. Sebagai bentuk alternatif, sekolah dalam
program desentralisasi bidang pendidikan, maka
otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola
sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan, di samping itu agar sekolah lebih
tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat
diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
���
�
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan parsitipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan,orangtua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Demikian
juga, dengan pengambilan keputusan partisipatif, yaitu
pelibatan warga sekolah secara langsung dalam
pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga
sekolah dapat meningkat (Mulyasa, 2009).
Hasbullah (2007: 80) meneyebutkan manajemen
berbasis sekolah pada dasarnya dimaksudkan untuk
mengurangi peran pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan, tetapi memberikan kesempatan pada
masyarakat seluas-luasnya dan memberikan kontribusi
berupa gagasan dan pelaksanaan pendidikan di tempat
mereka masing-masing.
Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk
adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi
masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah
lebih leluasa dalam mengelola sumber daya, dengan
mengalokasikan dana sesuai dengan prioritas
kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat. Masyarakat dituntut
partisipasinya agar mereka lebih memahami,
membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan.
Kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah
harus pula dilakukan oleh sekolah. Menurut Slamet
(2002: 2) bahwa “manajemen berbasis sekolah” adalah
���
�
pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara otonomi oleh sekolah melalui
sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan
sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan
melibatkan semua kelompok dalam kerangka
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan.
Tujuan penerapan MBS adalah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan secara umum, baik
itu menyangkut kualitas pembelajaran, kualitas
kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru
maupun tenaga kependidikan lainnya, dan kualitas
pelayanan pendidikan secara umum.
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas
pendidikan melalui otoritas pengambilan keputusan
dari pemerintah daerah ke sekolah. Pada hakekatnya
MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang
memandang sekolah secara individual. Sebagai bentuk
alternative sekolah dalam program desentralisasi bidang
pendidikan, maka otonomi diberikan agar sekolah dapat
leluasa mengelola sumber daya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan,
MBS menyediakan layanan pendidikan yang
komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya
datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan
tingkat sosial, salah satu perhatian Sekolah harus
ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama
untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial,
ekonomi, dan politik) Di lain pihak, sekolah juga harus
���
�
meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta
bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Ciri-ciri MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut
sejauh mana sekolah dapat mengoptimalkan
kemampuan manajemen Sekolah, terutama dalam
pemberdayaan sumber daya yang ada menyangkut
Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi
masyarakat, pendapatan daerah dan orang tua,juga
anggaran sekolah. Secara konsepsional MBS
diharapkan membawa dampak terhadap peningkatan
kerja Sekolah seperti mutu, efisiensi manajemen
keuangan, pemerataan kesempatan, dan pencapaian
tujuan politik suatu bangsa, lewat perubahan kebijakan
desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif,
administrasi,manajemen dan anggaran pendidikan.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan Sekolah
meliputi: perencanaan dan evaluasi program Sekolah,
pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,
pengelolaan KBM, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan
perlengkapan dan peralatan, pengelolaan keuangan,
pelayanan siswa, hubungan Sekolah-masyarakat, dan
pengelolaan iklim Sekolah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Agama dan Keagamaan Depdiknas (2001) lebih
mendapatkan kata kunci diberlakukannya MBS, yaitu
terletak pada empat komponen :
1. Pelimpahan dan Pembagian Wewenang Desentralisasi kewenangan dilakukan dengan
cara pelimpahan wewenang kepada kepala sekolah,
���
�
guru, dan oran tua untuk mengambil keputusan.
Untuk mengoperasikan pelimpahan wewenang
tersebut dibutuhkan adanya pembagian kewenangan
yang jelas antara dewan sekolah, pemerintah
maupun para pelaksana pendidikan di Sekolah.
2. Informasi Dua Arah dan Tanggung Jawab Untuk Kemajuan
Informasi bersifat dua arah, yaitu top down
(dari atas ke bawah) dan botom up (dari bawah ke
atas) yang berisi tentang ide, isu-isu dan gagasan
pelaksanaan pelaksanaan tugas serta kinerja,
produktivitas sikap pegawai. Informasi yang dua arah
akan memungkinkan terjadinya proses komunikasi
yang dialogis dan efektif sehingga semua pihak yang
terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat
berbagi informasi dalam upaya pengambilan
keputusan atau perbaikan-perbaikan
penyelenggaraan pendidikan.
3. Bentuk dan Distribusi Penghargaan Penghargaan dalam bentuk penggajian, insentif
maupun penghargaan non material dalam bentuk
internal (produk kerja, kepuasan kerja) maupun
bentuk penghargaan eksternal (pujian, uang, dan
penghargaan lainnya) akan terdistribusikan secara
tepat terhadap individu-individu sesuai dengan
kontribusi, partisipasi dan tingkat keberhasilannya di
dalam pelaksanaan tugas yang diembannya.
���
�
4. Penetapan Standar Pengetahuan dan Keterampilan
Berkaitan erat dengan penetapan standar
kompetensi yang variatif sesuai dengan tuntutan
yang ada serta memberikan peluang kepada pihak-
pihak pelaksana pendidikan untuk senantiasa
meningkatkan kompetensinya secara mandiri dengan
penuh kesadaran dan bertanggung jawab terhadap
kinerja yang dihasilkannya.
Pentingnya peran pemimpin dalam Manajemen
Berbasis Sekolah tidak terlepas dari 1) pelimpahan
dan distribusi kewenangan, 2) mekanisme
pembuatan keputusan, 3) proses penetapan
kebijakan, 4) melakukan pengawasan, 5) memberikan
motivasi dan membangun suasana kerja yang
kondusif.
Beberapa faktor yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi MBS antara lain : sosialisasi
peningkatan kualitas pendidikan oleh pemerintah dan
seluruh stakeholder pendidikan, gerakan Peningkatan
Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah,
potensi Kepala Sekolah, organisasi Formal dan informal,
organisasi Profesi
Pada buku pedoman implementasi manajemen
berbasis Sekolah yang diterbitkan oleh Pendidikan
Agama dan Keagamaan Jakarta, 2002. bahwa faktor
pendukung keberhasilan MBS terdiri dari:
kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik,
keadaan sosial ekonomi dan penghayatan masyarakat
���
�
terhadap pendidikan, dukungan pemerintah. Serta
profesionalisme.