11
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Sumber Daya Manusia
Menurut Nawawi dalam Gaol (2014:44), Sumber Daya Manusia adalah orang
yang bekerja dan berfungsi sebagai aset organisasi/perusahaan yang dapat dihitung
jumlahnya (kuantitatif), dan SDM merupakan potensi yang menjadi penggerak
organisasi.
Menurut Sutrisno (2014:3), sumber daya manusia merupakan satu-satunya
sumber daya yang memiliki akan perasaan, keinginan, keterampilan, pengetahuan,
dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa, dan karsa). Semua potensi SDM tersebut
berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber daya manusia adalah
aset terpenting di sebuah organisasi yang membantu organisasi untuk beroperasi dan
mencapai tujuan.
2.2 Pengertian Disiplin
Disiplinan merupakan salah satu faktor terpenting untuk tercapainya hasil yang
maksimal dalam setiap organisasi baik dalam bentuk formal atau non formal,
maupun organisasi dalam bentuk profit atau non profit, sehingga peraturan mengenai
kedisiplinan di setiap organisasi pasti selalu ada dan wajib dipatuhi, hal ini
disebabkan karena betapa pentingnya pengaruh kedisiplinan terhadap prosees
pencapaian tujuan organisasi. Pengertian disiplin yang dikemukakan oleh para ahli
diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Hasibuan (2005:193) kedisiplinan merupakan fungsi operatif MSDM
yang terpenting karena semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja
yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan
mencapai hasil yang optimal. Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan
12
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang
berlaku. Menurut Terry, dalam Sutrisno (2014:87), mengatakan bahwa disiplin
merupakan alat penggerak karyawan. Agar tiap pekerjaan dapat berjalan dengan
lancar, maka harus diusahakan agar ada disiplin yang baik. Terry kurang setuju jika
disiplin hanya dihubungkan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan (hukuman),
karena sebenarnya hukuman merupakan alat paling akhir untuk menegakkan disiplin.
Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil yang telah dimuat di dalam Bab II Pasal
(2) UU No.43 Tahun 1999, ada beberapa keharusan yang harus dilaksanakan yaitu:
1. Mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang
diberikan oleh atasan yang berhak.
2. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya serta memberikan pelayanan yang
baik terhadap masyarakat sesuai dengan bidang tugasnya.
3. Menggunakan dan memelihara barang-barang dinas dengan sebaik-baiknya.
4. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai
Negeri Sipil dan atasannya.
Sutrisno (2014:89) menyimpulkan bahwa disiplin pegawai adalah perilaku
seseorang yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada atau disiplin adalah
sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik
tertulis maupun yang tidak tertulis. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya
tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini
mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan perusahaan.
Melalui disiplin akan mencerminkan kekuatan, karena biasanya seseorang yang
berhasil dalam karyanya adalah mereka yang memiliki disiplin tinggi.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin merupakan kesadaran
dan kepatuhan karyawan terhadap peraturan yang berlaku dan bersedia untuk
menerima dan mematuhi peraturannya serta bertanggung jawab terhadap tugas-tugas
yang diberikan.
13
2.2.1 Macam-macam Disiplin
Menurut Mangkunegara (2013:129), ada 2 bentuk disiplin kerja, yaitu disiplin
preventif dan disiplin korektif.
1. Disiplin Preventif
Disiplin preventif adalah suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti
dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh
perusahaan. Tujuan dasarnya adalah untuk menggerakkan pegawai berdisiplin
diri. Dengan cara preventif, pegawai dapat memelihara dirinya terhadap
peraturan-peraturan perusahaan.
Disiplin preventif merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan kebutuhan
kerja untuk semua bagian sistem yang ada dalam organisasi. Jika sistem
organisasi baik, maka diharapkan akan lebih mudah menegakkan disiplin kerja.
2. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan
suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sesuai dengan
pedoman yang berlaku pada perusahaan.
Pada disiplin korektif, pegawai yang melanggar disiplin perlu diberikan sanksi
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan pemberian sanksi adalah untuk
memperbaiki pegawai pelanggar, memelihara peraturan yang berlaku, dan
memberikan pelajaran kepada pelanggar.
2.2.2 Dimensi dalam Disiplin Kerja
Menurut Singodimedjo (dalam Sutrisno, 2014:89), dimensi yang mempengaruhi
disiplin kerja pegawai adalah :
a. Besar kecilnya pemberian kompensasi.
Besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi tegaknya disiplin. Para
karyawan akan mematui segala peraturan yang berlaku, bila ia merasa mendapat
jaminan balas jasa yang setimpal dengan jerih payahnya yang telah
14
dikontribusikan bagi perusahaan. Bila ia menerima kompensasi yang memadai,
mereka akan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.
Namun demikian, pemberian kompensasi yang memadai belum tentu pula
menjamin tegaknya disiplin. Karena pemberian kompensasi hanyalah merupakann
salah satu cara meredam kegelisahan para karyawan, di samping banyak lagi hal-
hal yang di luar kompensasi yang harus mendukung tegaknya disiplin kerja dalam
perusahaan.
b. Ada tidaknya keteladanan pemimpin dalam perusahaan.
Keteladanan pemimpin sangat penting sekali, karena dalam lingkungan
perusahaan, semua karyawan akan selalu memerhatikan bagaimana pimpinan
dapat menegakkan disiplin dirinya dan bagaimana ia dapat mengendalikan dirinya
dari ucapan, perbuatan, dan sikap yang dapat merugikan aturan disiplin yang
sudah ditetapkan. Peranan keteladanan pimpinan sangat berpengaruh besar dalam
perusahaan, bahkan sangat dominan dibandingkan dengan semua faktor yang
mempengaruhi disiplin dalam perusahaan, karena pimpinan dalam suatu
perusahaan masih menjadi panutan setiap hari.
c. Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan.
Pembinaan disiplin tidak akan dapat terlaksana dalam perusahaan, bila tidak ada
aturan tertulis yang pasti untuk dapat dijadikan pegangan bersama. Disiplin tidak
mungkin ditegakkan bila peraturan yang dibuat hanya berdasarkan instruksi lisan
yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Bila aturan disiplin
hanya menurut selera pimpinan saja, atau berlaku untuk orang tertentu saja,
jangan diharap bahwa para karyawan akan mematuhi aturan tersebut.
d. Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan.
Bila ada seorang karyawan yang melanggar disiplin, maka perlu ada keberanian
pemimpin untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tingkat pelanggaran
yang dibuatnya. Dengan adanya tindakan terhadap pelanggar disiplin, sesuai
dengan sanksi yang ada, maka semua karyawan akan merasa terlindungi, dan
dalam hatinya berjanji tidak akan berbuat hal yang serupa.
15
e. Ada tidaknya pengawasan pimpinan.
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan perlu ada pengawasan,
yang akan mengarahkan para karyawan agar dapat melaksanakan pekerjaan
dengan tepat dan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Orang yang paling tepat melaksanakan pengawasan terhadap disiplin ini tentulah
atasan langsung para karyawan yang bersangkutan. Hal ini disebabkan para atasan
langung itulah yang paling tahu dan paling dekat dengan para karyawan yang ada
dibawahnya. Pengawasan yang dilaksanakan atasan langsung ini sering disebut
WASKAT. Pada tingkat mana pun ia berada, maka seorang pimpinan
bertanggung jawab melaksanakan pengawasan melekat ini, sehingga tugas-tugas
yang dibebankan kepada bawahan tidak menyimpang dari apa yang telah
ditetapkan.
f. Ada tidaknya perhatian kepada para karyawan.
Karyawan adalah manusia yang mempunyai perbedaan karakter antara yang satu
dengan yang lain. Seorang karyawan tidak hanya puas dengan penerimaan
kompensasi yang tinggi, pekerjaan yang menantang, tetapi juga mereka masih
membutuhkan perhatian yang besar dari pimpinannya sendiri. Pimpinan yang
berhasil memberi perhatian yang besar kepada para karyawan akan dapat
menciptakan disiplin kerja yang baik.
g. Diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin.
Kebiasaan-kebiasan positif itu antara lain:
1. Saling menghormati, bila bertemu di lingkungan pekerjaan,
2. Melontarkan pujian sesuai dengan tempat dan waktunya, sehingga para
karyawan akan turut merasa bangga dengan pujian tersebut.
3. Sering mengikutsertakan karyawan dalam pertemuan-pertemuan.
4. Memberi tahu bila ingin meninggalkan tempat kepada rekan sekerja dengan
menginformasikan, ke mana dan untuk urusan apa, walaupn kepada bawahan
sekaligus.
16
Sedangkan menurut Hasibuan (2005:194), dimensi-dimensi yang mempengaruhi
tingkat kedisiplinan di antaranya:
a. Tujuan dan Kemampuan
Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan.
Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup
menantang bagi kemampuan karyawan.
b. Teladan Pimpinan
Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan
karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan
harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai kata
dengan perbuatan.
c. Balas Jasa
Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan
karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap
perusahaan/pekerjaannya. Jika kecintaan karyawan semakin baik terhadap
pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula.
d. Keadilan
Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan
sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama
dengan manusia lainnya.
e. Waskat
Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam
mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waskat berarti atasan
harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja, dan
prestasi kerja bawahannya.
f. Sanksi Hukuman
Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan.
Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut
17
melanggar peraturan-peraturan perusahaan, sikap, dan perilaku indisipliner
karyawan akan berkurang.
g. Ketegasan
Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan
karyawan perusahaan. Pimpinan harus berani dan tegas, bertindak untuk
menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman
yang telah ditetapkan.
2.2.3 Pendekatan Disiplin Kerja
Menurut Mangkunegara (2013:130) ada tiga macam pendekatan dalam disiplin
kerja yang dilaksanakan dalam suatu organisasi atau lembaga, antara lain:
a. Pendekatan Disiplin Modern
Maksud dari disiplin modern adalah mempertemukan sejumlah keperluan atau
kebutuhan baru di luar hukuman. Pendekatan ini memiliki beberapa asumsi, yaitu:
1. Disiplin modern merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman secara
fisik.
2. Melindungi tuduhan yang buruk untuk diteruskan pada proses hukum yang
berlaku.
3. Keputusan-keputusan yang diambil terhadap kesalahan atau prasangka yang
harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan berdasarkan fakta-
faktanya.
4. Melakukan protes terhadap keputusan yang berat sebelah terhadap kasus
disiplin.
b. Pendekatan disiplin tradisi
Disiplin tradisi adalah pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman.
Pendekatan ini berasumsi sebagai berikut:
1. Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan dan tidak pernah ada peninjaua
kembali bila telah diputuskan.
18
2. Disiplin adalah hukuman untuk memberikan pelajaran kepada pegawai lainnya.
3. Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras.
4. Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggara kedua kalinya harus
diberi hukuman yang lebih berat.
c. Pendekatan Disiplin Bertujuan
Pendekatan disiplin bertujuan memiliki asumsi bahwa:
1. Disiplin kerja harus dapat diterima dan dipahami oleh semua pegawai.
2. Disiplin bukanlah satu hukuman, tetapi merupakan pembentukan perilaku.
3. Disiplin ditujukan untuk perubahan perilaku yang baik.
4. Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggung jawab terhadap
perbuatannya.
2.3 Pengertian Motivasi
Menurut Hasibuan (dalam Sutrisno, 2014:110), motivasi mempersoalkan
bagaimana cara mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras
dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilan untuk mewujudkan tujuan
perusahaan.
Moorhead dan Griffin (2013:86) menjelaskan bahwa motivasi adalah
serangkaian kekuatan yang menyebabkan orang untuk terlibat dalam suatu perilaku,
bukan beberapa perilaku lainnya.
Mangkunegara (2013:93) mengatakan motivasi adalah kondisi yang
menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motifnya. Motif
merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar
pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah
kesediaan individu untuk mengerahkan segala usahanya dalam pencapain tujuan
organisasi dan suatu dorongan bagi individu untuk melaksanakan tugas-tugas yang
menjadi tanggung jawab mereka. Maka dari itu seorang pimpinan harus memberikan
19
motivasi yang tinggi kepada bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Walaupun motivasi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi kerja
seseorang.
2.3.1 Tujuan Motivasi
Tujuan motivasi menurut Hasibuan (dalam Hartatik, 2014:162) adalah sebagai
berikut:
a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan.
b. Meningkatkan kerja produktivitas karyawan.
c. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan.
d. Meningkatkan kedisiplinan karyawan.
e. Mengefektifkan pengadaan karyawan.
f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik.
g. Meningkatkan loyalitas, kreativitasm dan partisipasi karyawan.
h. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
i. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya.
j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
faktor intern dan faktor ekstern. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi:
a. Faktor Intern, faktor intern yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah
sebagai berikut:
1. Keinginan untuk dapat hidup
Keinginan dapat hidup merupakan keinginan manusia sebagai makhluk sosial.
Keinginan untuk dapat hidup meliputi kebutuhan untuk:
20
a. Memperoleh kompensasi yang memadai,
b. Pekerjaan yang tetap walaupun penghasilan tidak begitu memadai,
c. Kondisi kerja yang aman dan nyaman.
2. Keinginan untuk dapat memiliki.
Keinginan untuk dapat memiliki sesuatu baik barang maupun suatu posisi atau
status dapat mendorong seseorang untuk mau melakukan suatu pekerjaan.
3. Keinginan untuk memperoleh penghargaan.
Seseorang mau bekerja disebabkan adanya keinginan untuk diakui, dan
dihormati oleh orang lain.
4. Keinginan untuk memperoleh pengakuan.
Keinginan untuk memperoleh sebuah pengakuan meliputi:
a. Adanya penghargaan terhadap prestasi.
b. Adanya hubungan kerja yang harmonis dan kompak.
c. Pimpinan yang adil dan bijaksana.
d. Perusahaan tempat bekerja dihargai oleh masyarakat.
5. Keinginan untuk berkuasa.
Keinginan untuk berkuasa akan mendorong seseorang untuk bekerja. Terlebih
lagi apabila keinginan tersebut merupakan sebuah hal yang positif.
b. Faktor ekstern
Faktor ekstern yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah sebagai
berikut:
1. Kondisi lingkungan kerja
Lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana kerja yang ada ditempat
karyawan yang sedang melakukan pekerjaan.
2. Kompensasi yang memadai.
Kompensasi yang memadai merupakan alat motivasi yang paling ampuh bagi
perusahaan untuk mendorong para karyawan bekerja dengan baik.
3. Supervisi yang baik.
Fungsi supervisi dalam suatu pekerjaan adalah memberikan pengarahan,
membimbing kerja para karyawan, agar dapat melaksanakann kerja dengan
baik tanpa membuat kesalahan.
21
4. Adanya jaminan pekerjaan.
Jaminan pekerjaan sangat penting bagi karyawan, karena karyawan bekerja
bukan hanya untuk hari itu saja tetapi untuk hari-hari selanjutnya.
5. Status dan tanggung jawab.
Status atau kedudukan dalam jabatan tertentu merupakan keinginan setiap
karyawan dalam bekerja. Dengan menduduki jabatan, seseorang akan merasa
dirinya dipercaya, diberi tanggung jawab, dan wewenang yang besar untuk
melakukan kegiatan-kegiatan.
6. Peraturan yang fleksibel.
Biasanya peraturan bersifat melindungi dan dapat memberikan motivasi para
karyawan untuk bekerja lebih baik.
2.3.3 Dimensi Teori Motivasi Prestasi
Teori motivasi prestasi dikembangkan oleh David McClelland, dimana dalam
teori ini ada 3 komponen dasar yang dapat digunakan untuk memotivasi orang
bekerja, yaitu:
a. Kebutuhan akan Pencapaian ( Need for achievement)
Kebutuhan ini muncul dari keinginan individu untuk menyelesaikan sasaran atau
tugas secara lebih efektif dibandingkan dengan yang dilakukan pada masa lalu.
Individu-individu yang mempunyai kebutuhan tinggi akan pencapaian cenderung
menetapkan sasaran yang cukup sulit dan mengambil keputusan-keputusan yang
lebih beresiko. Pencapaian berkebutuhan tinggi juga menginginkan umpan balik
spesifik dengan segara terhadap kinerja mereka.
Pencapaian kebutuhan tinggi cenderung memikul tanggung jawab pribadi untuk
menyelesaikan berbagai hal. Mereka sering mengerjakan tugas-tugas ekstra secara
sukarela dan merasa sulit untuk mendelegasikan bagian dari pekerjaan ke orang
lain. Oleh karena itu, mereka memperoleh perasaan pencapaian ketika mereka
telah melakukan lebih banyak pekerjaaan dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka tanpa bantuan orang lain.
22
b. Kebutuhan akan Afiliasi ( Need for affiliation )
Kebutuhan ini adalah kebutuhan manusia akan pertemanan. Individu dengan
kebutuhan tinggi cenderung menginginkan kepastian ulang dan persetujuan dari
orang lain dan biasanya secara tulus memperhatikan perasaan orang lain. Mereka
kemungkinan bertindak dan berpikir seperti yang mereka yakini diinginkan oleh
orang lain, khususnya oleh mereka dengan siapa individu-individu tersebut
mempunyai identifikasi dan keinginan persahabatan yang kuat. Orang-orang
dengan kebutuhan kuat akan afiliasi sering kali bekerja dalam pekerjaan dengan
banyak kontrak antarpersonal, seperti posisi penjualan dan guru.
c. Kebutuhan akan Kekuasaan (Need for power)
Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan akan kekuasaan, keinginan untuk
mengendalikan lingkungan seseorang termasuk finansial, material, informasi, dan
sumber daya manusia. Beberapa individu menghabiskan lebih banyak waktu dan
energi mencari kekuasaan; yang lainnya menghindari kekuasaan sebisa mungkin.
2.3.4 Prinsip-prinsip dalam Memotivasi Kerja
Menurut. Mangkunegara (2013:100) ada beberapa prinsip dalam memotivasi
kerja karyawan, yaitu:
a. Prinsip partisipasi
Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan ikut
berpatisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin.
b. Prinsip komunikasi
Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha
pencapaian tugas. Dengan informasi yang jelas, pegagawai akan lebih mudah
dimotivasi kerjanya.
c. Prinsip pengakuan andil bawahan
Pemimpin mengakui bawahan (pegawai) mempunyai andil dalam usaha
pencapaian tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan lebih mudah
dimotivasi kerjanya.
23
d. Prinsip pendelegasian wewenang
Pemimipin yang memberikan otoritas atau wewenang kepada pegawai untuk
sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang
dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi
untuk mencapai tujuan yang diharapkan pemimpin.
e. Prinsip memberi perhatian
Pemimpin yang memberikan perhatian terhadap apa yang diinginkan pegawai,
akan memotivasi pegawai tersebut dalam bekerja sesuai dengan harapan
pemimpin.
2.4 Pengertian Stres Kerja
Menurut Gaol (2014:650), stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang
menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi,
proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan. Stres yang terlalu besar dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai
hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang
dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Menurut Mangkunegara (2013:67), prestasi kerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dala melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut
Moorhead dan Griffin (2013:175), mendefinisikan stres (stress) sebagai respon
adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau
fisik secara berlebihan kepadanya.
Berdasarkan tiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul
karena adanya tuntutan-tuntutan dari luar lingkungan yang mengharuskan seorang
memenuhi tuntutan tersebut. Tuntutan yang dimaksud dapat berupa secara fisik dan
psikis
24
2.4.1 Dimensi Stres Kerja
Moorhead dan Griffin (2013:179), mengemukakan dua kategori besar, yaitu
stressor organisasi dan stressor kehidupan, sebagai berikut:
a. Stressor Organisasi (organiztional stressor) adalah berbagai faktor di tempat kerja
yang dapat menyebabkan stres. Berikut adalah empat rangkaian umum stressor
organisasi:
1. Tuntutan Tugas (task demands)
Tuntutan tugas adalah stressor yang berkaitan dengan tugas spesifik yang
dilakukan oleh seseorang. Beberapa pekerjaan mempunyai sifat lebih
menimbulkan stres daripada yang lainnya. Dalam stressor tuntutan tugas ada
kelebihan beban. Kelebihan beban terjadi ketika seseorang mempunyai lebih
banyak pekerjaan dari yang dapat ia tangani. Kelebihan beban dapat bersifat
kuantitatif dan kualitatif. Lalu ada tuntutan tugas rendah yang dapat
menyebabkan kebosanan dan apatis seperti halnya kelebihan beban dapat
menyebabkan ketegangan dan kegelisahan.
2. Tuntutan Fisik (physical demands)
Tuntutan fisik dari sebuah pekerjaan adalah persyaratan fisik pada
pekerjaannya; tuntutan ini merupakan fungsi dari karakteristik fisik dari
situasi dan tugas fisik yang dibutuhkan dalam pekerjaan.
3. Tuntutan Peran (role demands)
Sebuah peran (role) adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sehubungan
dengan posisi tertentu dalam sebuah kelompok atau organisasi. Dengan
demikian, peran mempunyai persyaratan formal dan informal. Orang-orang
dalam suatu organisasi atau kelompok kerja mengharapkan seseorang dengan
peran tertentu untuk bertindak dengan cara tertentu.
a. Ambiguitas Peran (role ambiguity)
Ambiguitas peran muncul ketika suatu peran tidak jelas. Dalam situasi
kerja, ambiguitas peran dapat disebabkan oleh deskripsi kerja yang buruk,
instruksi dari pengawas yang samar-samar, atau petunjuk yang tidak jelas
dari rekan kerja yang buruk.
25
b. Konflik Peran (role conflict)
Konflik peran terjadi ketika pesan dan petunjuk orang lain mengenai peran
tersebut jelas, tetapi berkontrakdiksi atau saling ekslusif. Konsekuensi dari
struktur peran yang lemah adalah kelebihan peran (role overload), yang
terjadi ketika ekspektasi untuk peran tersebut melampaui kemampuan
individual.
4. Tuntutan Antarpersonal (interpersonal demands)
Tuntutan antarpersonal: tekanan kelompok, kepemimpinan, dan konflik
antarpersonal. Tekanan kelompok dapat meliputi tekanan untuk membatasi
hasil, tekanan untuk mematuhi norma kelompok, dan sebagainya. Gaya
kepemimpinan juga dapat menyebabkan stres. Begitu juga dengan kepribadian
dan perilaku yang berkonflik dapat menyebabkan stres.
b. Stressor Kehidupan
Stres dalam situasi organisasi juga dapat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa
yang terjadi di luar organisasi. Stressor kehidupan dapat dikategorikan dalam hal
perubahan kehidupan dan trauma kehidupan.
1. Peubahan Kehidupan
Perubahan kehidupan (life change) adalah semua perubahan berarti dalam
situasi pribadi atau kerja seseorang. Holmes dan Rahe berpendapat bahwa
perubahan besar dalam kehidupan seseorang dapat menimbulkan stres dan
akhirnya penyakit.
2. Trauma Kehidupan
Trauma kehidupan (life trauma) adalah semua pergolakan dalam kehidupan
individu yang mengubah sikap, emosi atau perilakunya.
Keith Davis dan Gibson (dalam Suharsono, 2012:172) mengemukakan paling
tidak stres menyangkut beberapa dimensi sebagai berikut:
a. Kondisi Ketegangan. Suatu kondisi ketegangan yang berlebihan yang terjadi pada
individu sebagai konsekuensi logis dalam melaksanakan pekerjaannya yang pada
gilirannya mempengaruhi emosi maupun fisik.
26
b. Stres berkaitan pula dengan peluang, kendala dan tuntutan. Stres pada dasarnya
juga berkaitan dengan suatu peluang yang harus dicapai oleh setiap individu
dalam organisasi. Tugas dan tanggung jawab baru disamping merupakan peluang
juga sekaligus merupakan tuntutan karena harus mampu melaksanakan tugas itu
dengan baik, disisi lain dalam pelaksanaannya terdapat berbagai masalah.
c. Hasil yang tidak pasti dan penting. Peluang dan tuntutan dalam kerja sangat
diperlukan bagi karyawan, dengan demikian menjadi dorongan bagi individu
untuk mencapainya. Dengan pencapaian tuntutan tersebut maka memungkinkan
suatu promosi jabatan, tanggungjawab dan gaji yang lebih baik. Disisi lain dalam
pencapaian tugas tersebut terdapat berbagai hambatan dalam pencapaian peluang
tersebut bahkan sampai yang paling buruk yaitu dipecat.
2.4.2 Dampak Stres dalam Organisasi
Stephen Robbins (dalam Suharsono, 2012:176), mengidentifikasikan dampak
atau konsekuensi stres sebagai berikut:
a. Gangguan Fisiologis
Gangguan fisiologis ini terutama merupakan hasil penelitian dari aspek medis
(kesehatan). Gangguan yang ditimbulkan antara lain berubahnya metabolisme
tubuh, bertambahnya detak jantung dan lain-lain.
b. Gejala Psikologis
Stres antara lain menimbulkan ketidakpuasan dalam kerja. Selain itu dapat juga
berupa ketegangan dalam kerja, perasaan mudah marah, rasa bosan dan akhirnya
suka menunda-nunda.
c. Gejala Perilaku
Perilaku yang sering muncul karena stres misalnya, produktivitas kerja yang
menurun, tingkat kemangkiran dan keluar masuknya pegawai yang cukup tinggi.
Moorhead dan Griffin (2013:p186) mengkategorikan konsekuensi atau dampak
dari stres, sebagai berikut:
27
a. Konsekuensi Individual
Konsekuensi individual dari stres adalah hasil yang terutama mempengaruhi
individu. Stres dapat menghasilkan konsekuensi keperilakuan, psikologis, dan
medis. Konsekuensi keperilakuan dari stres dapat merugikan orang yang terkena
stres atau orang lain. Sedangkan konsekuensi psikologis dari stres berhubungan
dengan kesehatan dan kesejahteraan mental seseorang. Lalu, konsekuensi medis
dari stres mempengaruhi kesejahteraan fisik seseorang.
b. Konsekuensi Organisasi
Stres mempunyai konsekuensi yang lebih langsung pada organisasi. Hal ini
meliputi penurunan dalam kinerja, penarikan diri, dan perubahan sikap yang
negatif. Salah satu konsekuensi organisasi nyata dari terlalu banyak stres adalah
penurunan dalam kinerja. Perilaku menarik diri juga dapat merupakan akibat dari
stres. Bagi organisasi, dua bentuk perilaku penarikan diri yang paling signifikan
adalah absensi dan berhenti. Lalu ada sikap, konsekuensi langsung lainnya dari
stres karyawan berhubungan dengan sikap. Akibatnya, orang-orang mungkin lebih
mudah mengeluh mengenai hal-hal yang tidak penting, hanya melakukan cukup
pekerjaan untuk memenuhi syarat, dan sebagainya.
c. Kelelahan
Kelelahan (burnout) adalah perasaan umum dari keletihan yang berkembang
ketika seseorang pada saat yang sama mengalami terlalu banyak tekanan dan
terlalu sedikit sumber kepuasan.
2.4.3 Pendekatan Stres Kerja
Gaol (2014:651) berpendapat bahwa ada dua pendekatan stres kerja, yaitu
pendekatan individu dan perusahaan. Pendekatan individu penting dilakukan karena
stres dapat mempengaruhi kehidupan, kesehatan, produktivitas, dan penghasilan.
Sementara, pendekatan perusahaan, dilakukan bukan saja karena alasan
kemanusiaan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap prestasi semua aspek dan
efekivitas dari perusahaan secara keseluruhan. Pendekatan peusahaan dapat
dilakukan dengan cara melakukan perbaikan iklim organisasi, melakukan perbaikan
28
terhadap lingkungan fisik, menyediakan sarana olah raga, melakukan analisis dan
kejelasan tugas.
Menurut Mangkunegara (2013:157) ada empat pendekatan terhadap stres kerja,
antara lain:
a. Pendekatan Dukungan Sosial
Pendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan
sosial kepada karyawan.
b. Pendekatan Melalui Meditasi
Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam
pikiran, mengendorkan kerja otot, dan menenangkan emosi.
c. Pendekatan Melalui Biofeedback
Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis. Melalui bimbingan dokter,
pskiater, dan psikolog, sehingga diharapkan karyawan dapat menghilangkan stres
yang dialaminya.
d. Pendekatan Kesehatan Pribadi
Pendekatan ini merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam
hal ini karyawan secara periode waktu yang kontinu memeriksa kesehatan,
melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olahraga secara teratur.
2.4.4 Mengelola Stres Kerja
Moorhead dan Griffin (2013:187) mengemukakan bahwa ada dua strategi untuk
mengatasi stres, yaitu strategi untuk mengatasi secara individu dan strategi untuk
mengatasi secara organisasi, sebagai berikut:
a. Strategi untuk Mengatasi secara Individu
Ada lima strategi yang paling populer diantaranya sebagai berikut:
1. Berolahraga, penelitian telah menyatakan bahwa orang-orang yang berolahraga
secara teratur merasakan stres dan ketegangan yang lebih sedikit, lebih percaya
diri, dan menunjukkan optimisme yang lebih besar.
29
2. Relaksasi, relaksasi yang benar adalah cara efektif untuk beradaptasi. Satu
studi menemukan bahwa sikap orang terhadap berbagai karakteristik tempat
kerja membaik secara signifikan setelah menjalani liburan.
3. Manajemen Waktu, manajemen waktu sering kali direkomendasikan untuk
mengelola stres. Gagasannya adalah bahwa banyak tekanan harian dapat
dikurangi atau dihilangkan jika seseorang dapat mengelola waktu dengan lebih
baik.
4. Manajemen Peran, satu gagasan yang sedikit berhubungan dengan manajemen
waktu adalah gagasan manajemen peran, di mana individu secara aktif bekerja
untuk menghindari kelebihan beban, ambiguitas, dan konflik.
5. Kelompok Dukungan, metode terakhir untuk mengelola stres adalah dengan
mengembangkan dan memelihara kelompok dukungan. Kelompok dukungan
hanyalah sekelompok anggota keluarga atau teman dengan siapa seseorang
dapat menghabiskan waktu bersama.
b. Strategi untuk Mengatasi secara Organisasi
Dua strategi organisasi dasar untuk membantu karyawan mengelola stres adalah
program institusional dan program kolateral, sebagai berikut:
1. Program Institusional
Program institusioanal untuk mengelola stres dilakukan melalui mekanisme
organisasi yang telah ada. Contohnya, pekerjaan yang didesain baik dan jadwal
kerja yang baik dapat membantu mengurangi stres.
2. Program Kolateral
Program stres kolateral adalah program organisasi yang secara khusus
diciptakan untuk membantu karyawan menangani stres.
Sedangkan Mangkunegara (2013:158), mengungkapkan ada tiga pola dalam
mengatasi stres, yaitu pola sehat, pola harmonis, dan pola psikologis.
30
a. Pola Sehat.
Pola sehat adalah pola dalam menghadapi stres yang terbaik yaitu dengan
kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak
menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi lebih sehat dan berkembang.
b. Pola Harmonis
Pola harmonis adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola
waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan.
c. Pola Patologis
Pola patologis adalah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai
gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan
menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memilikki
kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu.
2.5 Pengertian Prestasi Kerja
Menurut Mangkunegara (2013:67), prestasi kerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya.
Menurut Hasibuan dalam Nurjaman (2014:169), prestasi kerja adalah hasil kerja
yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya, yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan waktu.
Edy Sutrisno (2014:151) berkesimpulan bahwa prestasi kerja adalah sebagai hasil
kerja yang telah dicapai seseorang dari tingkah laku kerjanya dalam melaksanakan
aktivitas kerja.
Dari tiga pendapat diatas, kesimpulan yang bisa saya tarik adalah bahwa prestasi
kerja merupakan hasil kerja seorang pegawai yang didapatkan dari bagaimana
pegawai tersebut melakukan pekerjaannya.
31
2.5.1 Dimensi Prestasi Kerja
Mangkunegara (2013:67) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi
pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan kemampuan motivasi
(motivation).
a. Faktor Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi
(IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki
IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hai, maka ia akan lebih mudah
mencapai kinerja yang diharapkan.
b. Faktor Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi
situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri
pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja).
Menurut Steers (dalam Sutrisno, 2014:151), dipercayai bahwa prestasi kerja
individu merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor, yaitu:
a. Kemampuan, perangai, dan minat seorang pekerja.
b. Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan peranan seorang pekerja.
c. Tingkat motivasi kerja.
Prestasi kerja pada umumnya dikaitkan dengan pencapaian hasil dari standar
kerja yang telah ditetapkan. Untuk mengukur prestasi kerja diarahkan pada enam
aspek yang merupakan bidang prestasi kunci bagi perusahaan yang bersangkuan.
Bidang prestasi kunci tersebut antara lain:
a. Hasil kerja. Tingkat kuantitas maupun kualitas yang telah dihasilkan dan sejauh
mana pengawasan dilakukan.
b. Pengetahuan pekerjaan. Tingkat pengetahuan yang terkait dengan tugas pekerjaan
yang akan berpengaruh langsung terhadap kuantitas dan kualitas dari hasil kerja.
c. Insiatif. Tingkat inisiatif selama melaksanakan tugas pekerjaan khususnya dalam
hal penanganan masalah-masalah yang timbul.
32
d. Kecekatan mental. Tingkat kemampuan dan kecepatan dalam menerima instruksi
kerja dan mennyesuaikan dengan cara kerja serta situasi kerja yang ada.
e. Sikap. Tingkat semangat kerja serta sikap positif dalam melaksanakan tugas
pekerjaan.
f. Disiplin waktu dan absensi. Tingkat ketepatan waktu dan tingkat kehadiran.
2.5.2 Penilaian Prestasi Kerja dan Tujuannya
Penilaian prestasi kerja yang didefinisikan oleh Gaol (2014:274) adalah sebagai
suatu prosedur yang mencakup
a. Menetapkan standar kerja;
b. Menilai prestasi kerja pegawai secara nyata dibandingkan dengan standar kerja
yang telah ditetapkan;
c. Memberikan umpan balik kepada pegawai dengan tujuan untuk memotivasi
pegawai agar meninggalkan prestasi yang buruk dan mempertahankan, bahkan
meningkatkan prestasi yang sudah baik.
Menurut Nurjaman (2014:172), penilaian prestasi kerja pegawai bertujuan
sebagai berikut:
a. Memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, transfer, demosi atau
penurunan pangkat, dan pemutusan hubungan kerja;
b. Kriteria bagi kesahlian sarana-sarana seleksi dan program-program pelatihan;
c. Mengalokasikan imbalan-imbalan bagi para karyawan;
d. Meyakinkan umpan balik bagi perseorangan yang dapat menunjang
pengembangan diri, karir, dan menjamin efektivitas perusahaan.
Untuk pegawai negeri sipil, pelaksanaan penilaian prestasi kerja dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2013
dengan landasan hukum sebagai berikut:
a. UU Nomor 43 tahun 1999 UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
33
b. Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS
c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS
d. Peraturan Kepala BKN Nomor 1 tahun 2013 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS
Penilaian prestasi kerja diarahkan sebagai pengendalian perilaku kerja produktif
yang disyaratkan untuk mencapai hasil kerja yang disepakati dan bukan penilaian
atas kepribadian seorang pegawai.
2.6 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Pengarang Judul Objek Hasil
1 Dr. Didem Pasogalu
(2013)
Determining the
Difference
between
Manager’s
Conception of
Discipline
Discipline,
preventive
discipline,
corrective
discipline
Hasil dari
penelitian ini
menyatakan
bahwa
kedisiplinan
karyawan
mengikuti
bagaimana cara
manajer mereka
bertindak.
2. Muhammad Jamal,
Ph.D (2011)
Job Stress, Job
Performance
and
Organizational
Commitment in
a Multinational
Company: An
Emprical Study
Job stres, job
performance,
organizational
commitment
Hasil dari
penelitian
menyatakan
bahwa job
stress berkaitan
dengan job
performance
pada orang-
34
in two
Countries”
orang yang
bersifat
individualitas.
3. Nhat Nguyen Cong
Ph.D., Dung Nguyen
Van, Ph.D (2013)
“Effect of
Motivation and
Job satisfaction
on Employee’s
Performance at
Petrovietnam
Nghe an
Construction
Joints Stock
Corporation
(PVNC)”
Employee
motivation,
employee
performance
Hasil penelitian
memperlihatkan
bahwa setiap
faktor motivasi
adalah penting
dan dapat
melancarkan
pelaksanaan
pekerjaan
4. Muhammad
Jehangir, Dr. Nasir
Kareem, Dr. Ayaz
Khan (2011)
“Effects of Job
Stress on Job
Performance &
Job
Satisfaction”
Job Stress,
Job
Performance,
Job
Satisfaction
Hasil penelitian
menyatakan
bahwa
meningkatnya
tingkat job stres
dapat
menurunkan
job
performance
karyawan dan
menyebabkan
timbulnya
ketidakpuasan..
5. Sylvia Indra Loana,
Bambang Swasto,
Gunawan Eko
“Pengaruh
Motivasi Kerja
dan Disiplin
Kerja Terhadap
Motivasi
Kerja,
Disiplin
Kerja, Prestasi
Hasil dari
penelitian
menyatakan
bahwa motivasi
35
Nurtjahjono (2014) Prestasi Kerja
Karyawan
(Studi Pada
Karyawan PT.
AXA Financial
Indonesia Sales
Office Malang)
Kerja kerja dan
disiplin kerja
secara simultan
berpengaruh
signifikan
terhadap
prestasi kerja
pada PT. AXA
Financial
Indonesia.
2.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Disiplin (X1)
Motivasi (X2)
Stres Kerja (X3)
Prestasi Kerja (Y)
36
2.8 Hipotesis
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk T-1
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1) terhadap Prestasi
Kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1) terhadap Prestasi Kerja
(Y)
b. Untuk T-2
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi (X2) terhadap Prestasi
Kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi (X2) terhadap Prestasi Kerja
(Y)
c. Untuk T-3
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Stres Kerja (X3) terhadap
Prestasi Kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi
Kerja (Y)
d. Untuk T-4
Ho = Tida ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1), Motivasi (X2), dan
Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y)
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Disiplin (X1), Motivasi (X2), dan
Stres Kerja (X3) terhadap Prestasi Kerja (Y).