documentdm
DESCRIPTION
97472503-Leng-KapTRANSCRIPT
![Page 1: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/1.jpg)
Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2Ryan Gustomo
102011209
Fakultas Kedokteran
Universitas Krida wacana
Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat
Telp: 021-569422061
Pendahuluan
Penyakit gula darah atau yang lebih sering dikenal dengan diabetes telah menjadi
momok bagi masyarakat di seluruh dunia. Dahulu angka diabetes melitus tergolong kecil, tapi
sekarang jumlahnya meningkat karena adanya mutasi genetik sehingga lebih mudah kena
disamping adanya rangsangan dari lingkungan seperti banyaknya racun yang beredar, kurang
olahraga dan juga pola makan yang tidak tepat. Diabetes bisa dikenali dengan gejala-gejala
sering minum, sering buang air kecil, banyak makan, berat badan berkurang dan sering
mengalami kelelahan.
Secara global, kasus diabetes terus mengalami kenaikan, terutama di negara
berkembang. Berdasarkan data WHO Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara
dengan penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Data dari
WHO tahun 1985 menyebutkan sebanyak 1,7% penduduk Indonesia mengalami diabetes.
Namun pada tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan jumlahnya
mengalami kenaikan menjadi 5,7% atau sekitar 12 juta penduduk.
Faktor utama diabetes adalah karena kurangnya produksi insulin (diabetes melitus
jenis 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin
(diabetes melitus jenis 2, bentuk yang lebih umum).
Selain itu, terdapat jenis diabetes melitus yang juga terjadi pada wanita hamil. Jenis 1
membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan jenis 2 diatasi dengan pengobatan oral dan
hanya membutuhkan insulin apabila obatnya tidak efektif. Diabetes melitus pada kehamilan
umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan.
1
![Page 2: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/2.jpg)
Penyakit diabetes tipe 2 merupakan yang paling banyak dijumpai di Indonesia
biasanya disebabkan oleh faktor turunan. Jika salah satu orang tua mengidap diabetes maka
hampir 90% anaknya juga menderita diabetes tergantung dari gaya hidup anak itu sendiri
Diabetes tipe 2 bisa dicegah, jadi mau diabetes atau tidak tergantung dari diri kita
sendiri dan bukan siapa-siapa Meskipun tak dapat disembuhkan, penyakit diabetes melitus
tipe 2 dapat dicegah dengan mudah. Penyakit ini disebabkan oleh gaya hidup yang kurang
sehat. Maka dari itu, menerapkan gaya hidup sehat akan dapat meminimalkan risiko
terjangkitnya diabetes.
Sebanyak 30% penderita diabetes melitus mengalami kebutaan akibat komplikasi
retinopati dan 10% harus menjalani amputasi tungkai kaki. Bahkan diabetes melitus
membunuh lebih banyak dibandingkan dengan HIV-AIDS. Biasanya pasien yang meninggal
bukan karena diabetesnya melainkan akibat komplikasi dari diabetes tersebut.
Komplikasi pada penderita diabetes bisa menyerang pembuluh darah besar (makro)
yang mengakibatkan penyakit jantung, stroke jika menyerang otak dan cacat atau amputasi
kaki. Untuk pembuluh darah kecil bisa mengakibatkan kebutaan jika menyerang mata, dan
gagal ginjal. Komplikasi yang lain bisa mengakibatkan impotensi pada pasien pria.
Pembahasan
1. Anamesa1
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa koma hiperglikemik, disertai efek osmotik
diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsia, nokturia), efek samping diabetes pada organ
akhir (retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau komplikasi akibat
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga
bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah atau urin.
Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya dan
apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin,
tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan mengenai
komplikasi sebelumnya.
2
![Page 3: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/3.jpg)
Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia.
Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer
(klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati
perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis—muntah, kembung, diare).
Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.
Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida.
Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
Hipertensi—terapi.
Diet/berat badan/olahraga.
Obat-obatan
Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan hipoglikemia
oral, atau insulin?
Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid,
siklosporin)?
Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol.
Apakah pasien memiliki alergi?
Riwayat keluarga dan sosial
Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?
Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan sebagainya
(pasangan/pasien/perawat)?
Dari keluhan-keluhan tersebut dan dasar teori dari anamnesis, maka dapat diketahui
data-data sebagai berikut.
1. Keluhan utama
Pasien merasa semakin lemas sejak 2 hari yg lalu
2. Riwayat penyakit dahulu
Memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu
3. Riwayat keluarga
Tidak diketahui
3
![Page 4: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/4.jpg)
4. Riwayat personal dan social
Tidak diketahui
5. Riwayat obat-obatan
Pasien minum metformin dan glibenklamid secara teratur
2. Pemeriksaan1
a. Pemeriksaan fisik
Apakah pasien sakit berat akut?
Adakah tanda-tanda dehidrasi akibat hiperglikemia (takikardia, hipotensi, hipotensi
postural, membran mukosa kering, turgor kulit menurun, dan sebagainya)?
Bagaimana suhu tubuh pasien? TD? Nadi? Nafas?
Periksa vaskularisasi perifer untuk: nadi teraba, bruit?
Periksa kaki untuk: ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba halus), tusuk jarum,
monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati otonom (TD
postural, respons Valsalva).
Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil.
Pertimbangkan infeksi atau pemicu kemunduran lain (IMT)
Periksa kerusakan organ-akhir akibat diabetes
Dalam kasus , dilakukan pemeriksaan tanda–tanda vital, seperti tekanan darah,
frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, suhu tubuh dan IMT .
Tabel 1. Hasil pemeriksaan fisik pasien dan juga interprestasinya.2
Pemeriksaan Normal Makna
Tekanan darah 120/80 120/80 Normal
Frekuensi pernapasan 16 kali/menit 14-20 kali/menit Normal
Frekuensi nadi 88 kali/menit 80-100 kali/menit Normal
IMT 22,5 18,5-22,9 Normal
4
![Page 5: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/5.jpg)
b. Pemeriksaan penunjang
Walaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis atau
kencing gula, namun diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan adanya glukosuria saja.
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah3
Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, pemeriksaan
diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian DM. Bahan pemeriksaan yang dianjurkan
untuk menentukan kadar glukosa darah adalah plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara
enzimatik. Pada kondisi tertentu di mana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan
pembakuan oleh WHO. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama baiknya dengan plasma bila
serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1 jam. Glukosa dalam serum atau
plasma yang disimpan pada suhu 4°C dapat bertahan sampai 48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan
setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih rendah secara bermakna.3
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan menggunakan sampel darah vena mungkin akan
berbeda dengan hasil pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan
karena kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10 % daripada kadar glukosa darah vena. Pada
keadaan puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri hanya 2-3 mg/dL, dan setelah makan
perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dL. Kadar glukosa darah arteri dapat dianggap tidak berbeda
dengan kadar glukosa darah kapiler.3
Kadar GDS pasien 252 mg/dL.
Tabel-2. Nilai Rujukan Kadar Glukosa Darah.3
Bahan Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (GDS) Kadar Glukosa Puasa (GDP)
Plasma vena <200 mg/dL <110 mg/dL
Tes Toleransi Glukosa Oral3
Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) merupakan
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila berdasarkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM masih belum dapat dipastikan.
Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala klinis khas DM dan
kadar glukosa darah puasa dan atau sewaktu yang telah memenuhi kriteria diagnostik DM.
5
![Page 6: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/6.jpg)
Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)
Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Untuk kemudahan, American Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI,2002) menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah pada jam ke-2 TTGO
saja. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO tercantum pada Tabel-3.
Tabel-3. Penilaian Hasil Pemeriksaan TTGO Jam Kedua.3
Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Penilaian< 140 TTGO Normal140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)>200 Diabetes Melitus
Hemoglobin A1C (HbA1C)3
HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai
glikohemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk
secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-
enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari),
sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses
glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit
bersifat permeabel dilalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan
glikemik selama masa 120 hari.
Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari masa hidup
eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan
glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8%
dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang
terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek
perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai
6
![Page 7: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/7.jpg)
hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2x
dalam setahun.
Kadar HbA1C pasien adalah 10%.
Homeostasis Model Assessment-Estimated Insulin Resistance (HOMA IR)
HOMA IR sekarang sudah banyak digunakan untuk memperkirakan resistensi insulin
dalam penelitian. Dibandingkan dengan metode gold standard euglemic clamp untuk
mengukur resistensi insulin, pengukuran menggunakan HOMA IR lebih mudah. HOMA-IR
dihitung mengalikan insulin plasma puasa (FPI) dengan glukosa plasma puasa (FPG),
kemudian dibagi dengan constanta 22,5. HOMA-IR= (FPIxFPG)/22,5. Metode ini sudah
digunakan oleh semua etnis. Satu studi mengatakan bahwa range normal HOMA-IR pada
kaum Hispanic sehat mungkin lebih tinggi dari Kaukasian di Amerika tengah dan utara, dan
memang populasi ini terkenal memiliki potensi genetik DM 2, yang dekat kaitannya dengan
resistensi insulin.4
Variabel berikut termasuk dalam risiko: jenis kelamin, usia, BMI, rasio
pinggang/panggul, FPG, tekanan darah, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, rokook, tingkat
edukasi, riwayat hepatitis, kadar lipid puasa (trigliserid, kolesterol total, HDL, dan LDL), dan
serum transaminase (ALT dan AST). Insulin diukur dalam serum beku di -80oC dalam 1 jam
setelah pengambilan sampel. Sekumpulan insulin diukur menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay insulin kit menggunakan kurva standard dilengkapi dengan kit.4
Dalam hasil, direkomendasikan menggunakan nilai HOMA-IR dari orang Mexico
yaitu HOMA-IR <2,60 sebagai nilai normal, HOMA-IR 2,60-3,80 sebagai “borderline high”
tanpa melabel bahwa orang tersebut memiliki resistensi insulin, dan HOMA-IR >3,80 sebagai
“high” memiliki korelasi jelas dengan resistensi insulin.
3. Diagnosa
a. Working diagnosis (diabetes melitus tipe 2)
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di
7
![Page 8: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/8.jpg)
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat
dapat juga dipakau bahan darah utuh, vena, maupun kapiler dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan
hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.5
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada
tidaknya gejala khas DM. Gejala khas Dm terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus
vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan
gejala kjas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis
DM dapat melalui cara berikut:5
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa diartikan
pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Pemerikaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang,
2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative), 3) masuk
kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American,
Pasific Islander), 4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat diaberes melitus gestasional (DMG), 5) Hipertensi, 6) Kolesterol HDL <35 mg/dL
dan atau trigliserida > 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat
toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu, 9) keadaan lain yang
berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans, dan 10) riwayat
penyakit kardiovaskular.5
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau
TTGO. Untuk kelompok risisko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
8
![Page 9: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/9.jpg)
pemeriksaan penunjang ulang dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45
tahun tanpa faktor risiko, pemeriksan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih
cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.5
Pada pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk
umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk
DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.5
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT), dan gklukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. Adanya TGT ini risiko
terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.5
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.5
Tabel 4. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dL).5
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Konsentrasi glukosa
darah sewaktu
Plasma vena <100 100-199 >200
Darah kapiler <90 90-199 >200
Konsentrasi glukosa
darah puasa
Plasma vena <100 100-125 >126
Darah kapiler <90 90-99 >100
9
![Page 10: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/10.jpg)
b. Differential diagnosis
Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA)
LADA adalah terminologi yang paling sering untuk mendeskripsikan pasien dengan
fenotipe DM 2 yang digabung dengan antibodi islet dan kegagalan lambat progresif sel b .
Jika didefinisikan lagi sebagai fenotip DM 2 digabung dengan antibodi islet, prevalensi dari
LADA adalah 10% dari subjek DM berusia 40-75 tahun. Prevalensi serupa ditemukan pada
pasien non-insulin dependen usia lebih dari 35 tahun pada diagnosis DM2. Sesungguhnya,
frekuensi serupa dari LADA ditemukan sekitar pasien DM2 dari semua usia di UK. Pasien
DM2 lebih muda dari 35 tahun pada diagnosis, frekuensu LADA lebih tinggi (~25%).
Meskipun pasien LADA dari definisi tidak insulun dependen dan selama setelah diagnosis
pertama dari diabetes, dalam 6 tahun, fungsi sel b mengalami kerusakan parah, membuat
pasien LADA menjadi dependen insulin. Meskipun demikian, kegagalan sel b, didefinisikan
sebagai tidak terukurnya c-peptida puasa, mungkin memerlukan 12 tahun sampai terjadi pada
pasien dengan antibodi islet. Hal ini penting untuk mengklarifikasi bahwa obesitas tidak
menjadi pengecualian LADA. Obes tipe 2 – seperti pasien diabetes dengan antibodi islet
menunjukkan kegagalan progresif sel b. Juneja et al menemukan bahwa hanya islet antibodi
(ICAs) atau GAD antibodi (GADAs) mendefinisikan LADA (~tipe 1 ½ diabetes); bukan
BMI, usia, atau gejala klinik. Konsentrasi yang dinggi dari antibodi islet memprediksikan
kegagalan sel b di masa depan, dimana sedikit jumlah antibodi islet, khususnya ICAs yang
kurang, diasosiasikan dengan kegagalan sel b yang progresif.6
Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)
Dua persen hingga 5% pasien diabetes tidak dapat secara jelas dimasukkan ke dalam
fenotipe diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan dikatakan mengidap MODY. Pada para pasien ini,
terjadi defek primer di fungsi sel b yang terjadi tanpa kerusakan sel b, tetapi mengenai massa
sel b dan/atau produksi insulin. Kini menjadi jelas bahwa MODY adalah hasil akhir dari
berbagai kelompok defek genetik yang ditandai oleh defek monogenik yang diwariskan
secara dominan autosom, dengan tingkat penetrasi tinggi, awitan dini, biasanya sebelum usia
25 tahun, berbeda dengan usia 40 tahun bagi kebanyakan pasien diabetes tipe 2, tidak adanya
obesitas, dan tidak adanya autoantibodi sel islet dan sindrom resistens insulin.8
Sejauh ini, diketahui enam defek genetik berbeda. Glukokinase, yang diperkirakan
berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke glukosa, yang
10
![Page 11: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/11.jpg)
merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolusme glukosa. Glukokinase
yang diekspresikan di sel b pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan
pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang akhirnya dapat menimbulkan sekresi insulin,
Mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk pelepasan insulin sehingga
derajat hiperglikemua hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi
peningkatan sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan
aktivitas enzim bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada
kadar glukosa yang lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan
hiperinsulinisme. Sisa 5 gen lainnya yang dapat menyebabkan munculnya MODY adalah
faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi insulin di sel b dan massa sel b; IPF-1 juga
berperan sentral dalam pembentukan pankreas. Selain heterogenitas genetik, MODY juga
ditandai oleh heterogenitas klinis. Sebagian bentuk MODY (MODY1, MODY3, dan
MODY5) disebabkan adanya defek berat terhadap sekresi insulin oleh sel b disertas seluruh
penyulit diabetes, sedangkan yang lainnya (MODY2) menyebabkan hiperglikemua kronik
ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.8
Diabetes melitus tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin;
namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak
30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik
keturunan Afrika-Amerika dan Asia.7
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama
beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insu-
lin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka
terhadap insulin.7
4. Epidemiologi8
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru.
11
![Page 12: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/12.jpg)
Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab
utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita
diabetes paling sedikit 2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan
mereka yang tidak menderita diabetes.
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit
vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling
utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak
terkontrol juga meningkat.
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihatber-akibat pada biaya pengobatan dan
hilangnya pen-dapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti
kebutaan dan penyakit vaskular.
5. Etiologi7
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi
insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas
penderita diabetes melitus.
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial
yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko
berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak
cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak
adalah 1:1, dan sekitar90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai
dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi
dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang
menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa
menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidak-
normalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor
dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan
12
![Page 13: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/13.jpg)
menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahan-kan
euglikemia. Sekiiar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas terkaitan
dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebab-kan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering-kali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
6. Patogenesis8
Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan yang
tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya hidup
jelas berperan, yang akan jelas jika kegemukan dipertimbangkan. Meskipun dahulu dianggap
sebagai penyakit orang dewasa, saat ini timbul kekhawatiran adanya peningkatan epidemik
insidensi diabetes tipe ini pada anak-anak yang kegemukan, terutama di antara mereka yang
berkulit hitam, keturunan Spanyol, Amerika asli, dan Asia.
Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan pada
diabetes tipe 1. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar
nonidentik), risiko men-derita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada
subjek (dengan usia dan berat yang sama).. Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa
diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing
memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Pemindaian genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka memastikart bahwa tidak
ada satu pun gen yang berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini
sedang dilakukan penelitian besar-besaran terhadap beberapa regio genomik tempat
keberadaan gen kandidat.
Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi
insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap
insulin (resistensi insulin) Peran defek sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin,
masih terns diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda
dan pada stadium penyakit yang berlainan.
Gangguan Sekresi Insulin pada Sel Beta. Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan
secara kuantitatif kurang berat dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada
kenvataannya, pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin bahkan mungkin meningkat
untuk mengompensasi resistensi insulin. Namun, kecil kemungkinannya bahwa diabetes tipe
2 hanya disebabkan oleh resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di reseptor insulin
13
![Page 14: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/14.jpg)
menimbulkan resistensi insulin yang parah, yang jauh lebih berat daripada pasien dengan
diabetes tipe 2. Namun, banyak pasien ini mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas
normal karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin.
Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin
plasma tidak berkurang. Namun, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan
fase pertama sekresi insulin (yangcepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif,
hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan
pada awal diabetes tipe 2, dan bukan defisiensi sintesis insulin.
Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan
sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Penyebab defisiensi
insulin pada diabetes tipe 2 masih belum sepenuhnya jelas: Berdasarkan data mengenai
hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi insulin
menyebab-kan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada
mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompen-sasi ini gagal.
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi kehilangan 20% hingga 50% sel beta, tetapi
jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh
glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.
Dasar molekuiar gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria
yang memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas,
bukan ATP). Protein ini, yang disebut uncoupling protein 2 (UCP2), diekspresikan pada sel
beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan respons insulin, sedangkan kadar yang
rendah memperkuatnya. Oleh karena itu, dihipo-tesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di
sel beta orang dengan diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelas-kan hilangnya sinyal glukosa
yang khas pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada masalah ini, karena
manipulasi terapeutik (untuk menurunkan) kadar UCP2 dapat digunakan untuk mengobati
diabetes tipe 2.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 dilaporkan berkaitan dengan
pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid
pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal
dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons
terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin pada
fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian
mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin
14
![Page 15: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/15.jpg)
menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting,
amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel
beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 tahap lanjut.
Resistensi Insulin dan Obesitas. Defisiensi insulin terjadi belakangan selama perjalanan
penyakit diabetes tipe 2; namun, defisiensi ini tidak cukup besar untuk dapat menjelaskan
gangguan metabolik yang terjadi. Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin
merupakan faktor utama dalam timbulnya diabetes tipe 2.
Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks
yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas
insulin jaringan sasaran menurun (walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar insulin serum
mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu, baik
obesitas maupun kegemukan, dapat menyebabkan ter-ungkapnya diabetes tipe 2 subklinis
dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi
dengan meningkatkan produksi insulin.
Dasar selular dan molekuiar resistensi insulin masih belum sepenuhnya dimengerti.
Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin: jaringan lemak dan otot; di kedua jaringan tersebut
insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi
glukosa. Seperti telah dibicarakan, insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan
berikatan dengan reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respons
intrasel yang memengaruhi jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor
glukosa ke membran sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi
insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (pascareseptor)
yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya. Pada diabetes tipe 2, jarang terjadi
defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin
diperkirakan terutama berperan dalam pem-bentukan sinyal pascareseptor.
Untuk memahami dasar resistensi insulin, perlu ditekankan adanya hubungan antara
kegemukan dan diabetes tipe 2. Seperti telah dinyatakan, obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin walaupun tidak terdapat diabetes. Oleh karena itu, tidaklah mengheran-kan bahwa
obesitas adalah salah satu faktor risiko lingkungan yang penting dalam patogenesis
diabetes tipe 2, dan diperkirakan berperan penting dalam meningkatnya insidensi diabetes
bentuk ini pada anak. Untungnya, bagi banyak orang kegemukan dengan diabetes, penurunan
berat dan olahraga dapat memulih-kan resistensi insulin dan eaneeuan toleransi elukosa.
terutama pada awal perjalanan penyakit saat produksi insulin belum banyak terpengaruh.
15
![Page 16: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/16.jpg)
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukanlah sekadar tempat
penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan "endokrin" aktif yang dapat
berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan sasaran insulin yang penting). Efek adiposit
jarak-jauh ini terjadi melalui zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini
meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang disebut
resistin. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imuni-tas, disintesis
di adiposit dan mengalami ekspresi berlebihan dalam sel lemak orang yang kegemukan. TNF
menyebabkan resistensi insulin dengan memengaruhi jalur-jalur sinyal pascareseptor.
Pada kegemukan, kadar asam lemak bebas lebih tinggi daripada normal, dan asam lemak
ini meningkatkan resistensi insulin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya diketahui.
Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesitas hebat dan resistensi insulin
pada hewan pengeratyang tidak memiliki gennya. Pengembalian leptin ke hewan ini
mengurangi obesitas dan, secara independen, resistensi insulin; karena itu, tidak seperti TNF,
leptin memperbaiki resistensi insulin. Zat terakhir yang ditemukan dalam jaringan adiposa
adalah resistin, yang diberi nama demikian karena zat ini meningkatkan resistensi insulin.
Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan kadarnva meningkat pada berbagai model hewan
pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin dan,
sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada hewan
normal. Yang cukup menarik, efek terapeutik obat antidiabetes oral tertentu yang digunakan
dalam penanganan diabetes tipe 2 pada manusia juga mungkin berkaitan dengan kemampuan
obat tersebut memodulasi produksi resistin. Obat antidiabetes golongan tiazolidi-nedion
berikatan dengan reseptor yang disebut peroxisome proliferator-activated receptor y
(PPAR-y), yang diekspresikan di nukleus sel lemak. Dengan mengikat reseptor di adiposit,
obat golongan tiazolidinedion me-ngendalikan transkripsi resistin atau gen sel adiposa
lainnya yang memengaruhi resistensi insulin. Diperkirakan sinyal PPAR-y dalam
mengendalikan resistensi insulin ditunjang oleh penelitian terhadap pasien yang mengalami
mutasi loss-of-function di gen PPAR-y. Para pasien ini, yang jarang ditemukan, memper-
lihatkan resistensi insulin dan mengalami diabetes. Oleh karena itu, pengaktifan reseptor
PPAR-y oleh obat menurunkan resistensi insulin, dan mutasi yang meng-ganggu
pembentukan sinyal PPAR-y meningkatkan resistensi insulin. Diperkirakan pemahaman yang
lebih mendalam tentang jalur-jalur semacam ini dalam sel lemak dapat menghasilkan sasaran
terapeutik baru untuk pengobatan diabetes tipe 2; sebagai salah satu contoh, obat yang
menetralkan kerja resistin mungkin
7. Manifestasi klinis7
16
![Page 17: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/17.jpg)
Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan
tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin
menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk meng-hambat ketoasidosis. Kalau
hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlu-kan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosa-
nya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin.
Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi
tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga
resisten terhadap insulin eksogen.
8. Komplikasi8
Morbiditas yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes kronis terjadi akibat komplikasi,
seperti mikro-angiopati, retinopati, nefropati, neuropati, dan per-cepatan aterosklerosis. Dasar
komplikasi jangka panjang ini merupakan subjek bagi sejumlah besar penelitian. Bukti
eksperimen dan klinis yang ada mengisyaratkan bahwa sebagian besar komplikasi dia¬betes
terjadi akibat gangguan metabolisme, terutama hiperglikemia. Selain itu, adanya hipertensi,
yang sering ditemukan pada pengidap diabetes, ikut berperan dalam aterosklerosis.
a) Komplikasi tahap lanjut
Temuan patologis di pankreas bervariasi dan tidak selalu mencolok. Perubahan
morfologik penting dalam diabetes berkaitan dengan banyak komplikasi tahap lanjutnya,
karena komplikasi tersebut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Onset,
keparahan, dan organ (-organ) yang terkena komplikasi ini sangat berbeda-beda di antara
para pasien. Pada mereka yang mengendalikan diabetes secara ketat, onset mungkin tertunda.
Namun, pada sebagian besar pasien, kemungkinan terjadi perubahan morfologik di arteri
(aterosklerosis), membran basal pembuluh halus (mikroangiopati), ginjal (nefropati diabetes),
retina (retinopati), saraf (neuropati), dan jaringan lain setelah 10 hingga 15 tahun. Perubahan
ini ditemukan pada kedua tipe diabetes. Gambaran singkat skematik dapat dilihat pada
Pankreas
17
![Page 18: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/18.jpg)
Lesi di pankreas tidak konstan dan jarang bernilai diagnostik. Perubahan khas lebih
sering berkaitan dengan diabetes tipe 1 daripada tipe 2. Mungkin ditemukan satu atau lebih
perubahan berikut:
Pada diabetes tipe 2, kerusakan sel beta terjadi belakangan dan biasanya tidak lebih
dari 20% hingga 50%
Penggantian islet oleh amiloid pada diabetes tipe 2. Amiloid tampak sebagai endapan
merah muda amorf yang berawal di dan sekeliling kapiler dan terdapat di antara sel-sel. Pada
stadium lanjut, islet mungkin lenyap, dan juga dapat ditemukan fibrosis. Perubahan ini paling
sering terlihat pada kasus diabetes tipe 2 yang sudah lama. Seperti telah disebutkan, amiloid
pada kasus ini sebagian terdiri atas fibril amilin yang berasal dari sel beta. Lesi serupa
mungkin ditemukan pada orang berusia lanjut nondiabetes, yang tampaknya merupakan
bagian proses penuaan normal.
Sistem vaskular
Diabetes menimbulkan kerusakan besar pada sistem pembuluh darah. Semua ukuran
pembuluh terkena, dari aorta hingga arteriol terkecil dan kapiler. Aorta serta arteri ukuran
besar dan sedang mengalami percepatan aterosklerosis yang parah. Kecuali keparahannya
yang lebih besar dan usia onset yang lebih dini, aterosklerosis pada pasien diabetes tidak
dapat dibedakan dengan yang terjadi pada pasien nondiabetes. Infark miokardium, yang
disebabkan oleh aterosklerosis arteria koronaria, merupakan penyebab tersering kematian
pada pasien diabetes. Secara signifikan, komplikasi ini sama seringnya terjadi pada pasien
diabetes perempuan dan laki-laki. Sebaliknya, infark miokardium jarang terjadi pada
perempuan usia subur nondiabetes. Gangren ekstremitas bawah, akibat penyakit vaskular
tahap lanjut, hampir 100 kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan dengan populasi
umum. Arteri renalis yang besar juga mengalami aterosklerosis berat, tetapi efek diabetes
yang paling merugikan pada ginjal terjadi di tingkat glomerulus dan mikrosirkulasi.
Arteriolosklerosis hialin, lesi vaskular yang berkaitan dengan hipertensi, lebih
prevalen dan lebih parah terjadi pada pasien diabetes daripada orang nondiabetes, tetapi
kelainan ini tidak spesifik untuk diabetes dan mungkin ditemukan pada pasien nondiabetes
usia lanjut tanpa hipertensi. Kelainan ini mengambil bentuk penebalan hialin amorf dinding
arteriol, yang menyebabkan lumen menyempit. Pada pasien diabetes, kelainan ini berkaitan
18
![Page 19: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/19.jpg)
tidak saja dengan durasi penyakit, tetapi juga tingginya tekanan darah. Penyebab dan sifat
perubahan vaskular ini masih belum diketahui pasti. Meskipun pernah diperkirakan
disebabkan oleh hipertensi, yang sering terjadi pada pasien diabetes, kelainan ini juga dapat
ditemukan pada pasien diabetes yang tidak mengidap hipertensi. Bahan hialin terdiri atas
protein plasma dan bahan membran basal. Seperti telah disinggung, diperkirakan protein
plasma menembus ke dalam dinding arteriol yang sangat permeabel dan terperangkap di
sana.
Mikroangiopati diabetes.
Salah satu gambaran morfologik paling konsisten pada diabetes adalah penebalan
difus membran basal. Penebalan ini paling jelas ditemukan di kapiler kulit, otot rangka,
retina, glomerulus ginjal, dan medula ginjal. Namun, penebalan ini juga dapat ditemukan
pada struktur nonvaskular, seperti tubulus ginjal, kapsul Bowman, saraf perifer, dan plasenta.
Dengan mikroskop cahaya, lamina basal normal terdiri atas lapisan bahan ekstrasel yang
relatif uniform dan memisahkan sel parenkim atau endotel dari stroma jaringan ikat di
sekitarnya. Pada pasien diabetes, lapisan tunggal ini melebar dan kadang-kadang digantikan
oleh lapisan konsentris bahan hialin yang terutama terdiri atas kolagen tipe IV. Meskipun
membran basal menebal, kapiler pasien diabetes lebih bocor terhadap protein plasma
dibandingkan dengan kapiler normal. Mikroangiopati mendasari timbulnya nefropati diabetes
dan beberapa bentuk neuropati. Mikroangiopati yang sangat mirip dapat ditemukan pada
pasien nondiabetes usia lanjut, tetapi jarang hingga separah pada pasien diabetes kronis.
Nefropati diabetes.
Ginjal merupakan sasaran utama diabetes, dan gagal ginjal hanya dikalahkan oleh
infark miokardium sebagai penyebab kematian pada penyakit ini. Ditemukan tiga kelainan
penting: (1) lesi glomerulus; (2) lesi vaskular ginjal, terutama arteriolosklerosis; dan (3)
pielonefritis, termasuk papilitis nekrotikans.
Lesi glomerulus terpenting adalah penebalan membran basal kapiler,
glomerulosklerosis difus, dan glomerulosklerosis nodular (lesi Kimmelstiel-Wilson).
Membran basal kapiler glomerulus menebal di seluruh panjangnya. Perubahan ini sudah
dapat dideteksi dengan mikroskop elektron dalam beberapa tahun on¬set diabetes, kadang-
kadang tanpa disertai perubahan pada fungsi ginjal.
19
![Page 20: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/20.jpg)
Glomerulosklerosis difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium disertai
proliferasi sel mesangiun dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini
ditemukan pada sebagian besar pasien yang telah mengidap penyakit lebih dari 10 tahun.
Setelah glomerulosklerosis menjadi semakin nyata, pasien memperlihatkan gejala sindrom
nefrotik, yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbu-minemia, dan edema.
Glomerulosklerosis nodular adalah lesi glomerulus yang memperlihatkan gambaran
khas berupa endapan mirip-bola matriks berlapis di dalam inti mesangium lobulus. Nodus ini
cenderung terbentuk di bagian perifer glomerulus, dan karena timbul di dalam mesangium,
nodus-nodus ini men-dorong gelungan kapiler glomerulus semakin ke tepi. Gelungan kapiler
ini sering membentuk halo di sekitar nodus. Perubahan khas ini disebut lesi Kimmelstiel-
Wilson, berdasarkan orang yang pertama kali menjelaskannya. Glomerulosklerosis nodular
terjadi secara acak di seluruh ginjal dan mengenai glomerulus dan lobu¬lus secara acak di
dalam suatu glomerulus. Pada penyakit tahap lanjut, terbentuk banyak nodus di dalam satu
glomerulus, dan sebagian besar glomerulus terkena. Endapan ini positif pada pewarnaan
dengan periodic acid-Schiff dan mengandung mukopoli-sakarida, lemak, dan fibril serta serat
kolagen, seperti endapan matriks pada glomerulosklerosis difus. Karena tubulus mendapat
perfusi dari pembuluh yang berasal dari arteriol eferen glomerulus, glomerulosklerosis tahap
lanjut menyebabkan iskemia tubulus dan fibrosis interstisium. Selain itu, pasien dengan
glikosuria yang tidak terkendali dapat menyerap ulang glukosa dan menyimpannya sebagai
glikogen di epitel tubulus. Perubahan ini tidak memengaruhi fungsi tubulus.
Aterosklerosis dan arteriolosklerosis ginjal hanyalah sebagian dari keterlibatan
sistemik pem¬buluh darah pada pasien diabetes. Ginjal adalah salah satu organ yang paling
sering dan paling parah terkena; namun, perubahan di arteri dan arteriol serupa dengan yang
ditemukan di seluruh tubuh. Arteriolosklerosis hialin tidak saja memengaruhi arteriol aferen,
tetapi juga arteriol eferen. Arteriolosklerosis eferen ini jarang ditemukan pada orang yang
tidak mengidap diabetes.
Pielonefritis adalah peradangan akut atau kronis ginjal yang biasanya berawal di
jaringan interstisium, kemudian menyebar untuk memengaruhi tubulus dan, pada kasus
ekstrem, glomerulus. Bentuk akut dan kronis penyakit ini terjadi, baik pada pasien
nondiabetes maupun diabetes. Namun, penyakit peradangan ini lebih sering terjadi pada
pasien diabetes daripada pada populasi umum, dan sekali terkena, pasien diabetes cenderung
mengalami kelainan yang lebih parah. Salah satu pola khusus pielonefritis akut, papilitis
20
![Page 21: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/21.jpg)
nekroti¬kans, jauh lebih prevalen pada pengidap diabetes daripada pasien nondiabetes.
Seperti diisyaratkan oleh namanya, papilitis nekrotikans merupakan nekrosis akut pada papila
ginjal,. Meskipun lesi ini tidak terbatas pada pasien diabetes, pasien diabetes rentan
mengalaminya, karena kombinasi iskemia akibat mikroangiopati dan me-ningkatnya
kerentanan terhadap infeksi bakteri.
Lesi sklerotik pada glomerulus merusak fungsi ginjal dan merupakan bentuk yang
berpotensi menyebabkan kematian pada nefropati diabetes. Glomerulosklerosis nodular
ditemukan pada sekitar 10% hingga 35% pasien diabetes dan merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Seperti pada glomerulosklerosis difus, kemunculan kelainan ini
berkaitan dengan durasi penyakit meskipun juga dipengaruhi oleh latar belakang genetik.
Tidak seperti bentuk difus, yang juga mungkin ditemukan pada usia ianjut dan hipertensi,
glomerulosklerosis bentuk nodu¬lar, untuk kepentingan praktis, menunjukkan diabetes. Baik
bentuk difus maupun bentuk nodular glomerulo¬sklerosis, menimbulkan iskemia yang dapat
menyebab¬kan terbentuknya jaringan parut halus di ginjal, yang ditandai dengan permukaan
korteks berbutir halus.
Mata
Gangguan penglihatan, kadang-kadang hingga buta total, merupakan salah satu
konsekuensi diabetes kronis yang ditakuti. Penyakit ini merupakan penyebab keempat
tersering kebutaan didapat di Amerika Serikat. Kelainan mata dapat berupa retinopati,
pembentukan katarak, atau glaukoma. Retinopati, yaitu pola tersering, terdiri atas serangkaian
perubahan yang bersama-sama dianggap oleh banyak ahli oftalmologi sebagai hampir
diagnostik untuk penyakit. Lesi di retina memperlihatkan dua bentuk: retinopati
nonproliferatif (latar belakang) dan retinopati proliferatif.
Retinopati nonproliferatif terdiri atas perdarahan intraretina atau praretina, eksudat
retina, mikroaneuris-ma, dilatasi vena, edema, dan, terpenting, penebalan kapiler retina
(mikroangiopati). Eksudat retina mungkin bersifat "lunak" (mikroinfark) atau "keras"
(endapan lemak dan protein plasma). Mikroaneurisma adalah dilatasi sakular diskret di
kapiler koroid retina yang tampak di bawah oftalmoskop sebagai titik-titik merah kecil.
Dilatasi cenderung terjadi di titik fokus perlemahan, yang terjadi akibat hilangnya perisit.
Edema retina mungkin terjadi akibat peningkatan berlebihan permeabilitas kapiler. Yang
21
![Page 22: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/22.jpg)
mendasari semua perubahan ini adalah mikroangiopati, yang diduga menyebabkan lenyapnya
perisit kapiler sehingga terjadi terbentuk titik-titik perlemahan struktur kapiler.
Apa yang disebut sebagai retinopati proliferatif adalah suatu proses neovaskularisasi
dan fibrosis. Lesi ini dapat menimbulkan akibat serius, termasuk kebutaan, terutama jika
mengenai makula. Perdarahan vitreosa dapat terjadi akibat ruptur kapiler yang baru
terbentuk; organisasi perdarahan kemudian dapat me-narik retina dari lapisan di bawahnya
(ablasio retina).
Neuropati diabetes
Sistem saraf sentral dan perifer juga terkena oleh diabetes. Pola keterlibatan yang
paling sering terjadi adalah neuropati perifer simetris di ekstremitas bawah yang mengenai,
baik fungsi motorik maupun sensorik, tetapi terutama yang terakhir. Bentuk lain adalah
neuropati otonom, yang menyebabkan gangguan fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-
kadang impotensi seksual, dan mononeuropati diabetes, yang mungkin bermanifestasi
sebagai kaki lunglai (footdrop), tangan lunglai (wristdrop), atau kelumpuhan saraf kranialis.
Kelainan saraf dapat disebabkan oleh mikroangiopati dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang memperdarahi saraf serta oleh kerusakan akson langsung karena perubahan
metabolisme sorbitol.
Otak, bersama bagian tubuh lain, mengalami mikroangiopati yang luas. Kelainan
mikrosirkulasi ini dapat menyebabkan degenerasi neuron generalisata. Selain itu, terdapat
predisposisi terjadinya infark serebro-vaskular dan perdarahan otak, mungkin berkaitan
dengan hipertensi dan aterosklerosis yang ditemukan pada pasien diabetes. Kelainan
degeneratif juga dapat terjadi di medula spinalis. Tidak satu pun kelainan saraf, termasuk
neuropati perifer, bersifat spesifik untuk penyakit ini.
Nefrosklerosis pada seorang pasien dengan diabetes lama. Ginjal dibelah untuk
memperlihatkan baiktransformasi difus permukaan (kiri) maupun penipisan mencolok
jaringan korteks (kanan). Gambaran lain adalah depresi iregular, akibat pielonefritis, dan
kadang-kadang kista korteks (kanan jauh).
9. Penatalaksanaan
22
![Page 23: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/23.jpg)
Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan
pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan
glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah
penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana
menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pada pasien diabetes tipe 2
terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.8
a. Medica mentosa8
Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar
glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi,
sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjur-kan. Obat-obatan
yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia
adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat
diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin
menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan
meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat
badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas.
Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada
insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan
insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya
menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktif-kan
reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan
dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin.
Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada
pasien dengan gagal jantung kongestif.
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara
yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans
yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-
obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-
pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insu-
lin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan
akibat peng-gunaan agen-agen hipoglikemik oral dapat dilihat pada Tabel 63-2. Namun,
sulfonilurea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang
23
![Page 24: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/24.jpg)
merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan campuran
sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg/hari, dan
gliburid, 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama daripada
glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea
dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-
pasien dengan diabetes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa pospran-dial
pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi
akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa gluko-sida yang bekerja pada usus halus dengan
menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.
Tabel 5. Agen-agen Hipoglikemik Oral.8
Agen Waktu
Paruh
(jam)
Frekuensi
Pemberian
Dosis
Awal
(mg)
Dosis
Rumatan
(mg)
Toksisitas Ukuran
Tablet
(mg)
Glipizid
(Glucotrol)
2-4 Dua kali
sehari
2,5 5-40 Gastrointestinal
Kulit
Hematologik
5, 10
Gliburid
(Micronase,
DiaBeta)
10 Sekali atau
dua kali
5,0 2,5-20,0 Kulit
Gastrointestinal
Hematologik
1,25-5
Metformin
(Glucophage)
1,3-4,5 Tiga kali
sehari
1000 1500-1700 Asidosis laktat 500,
850
Rosiglitazone Sekali sehari 4,0 4-8 Edema 4,0
Pioglitazone Sekali sehari 30 30-45 Edema 30
b. Non-medica mentosa8
24
![Page 25: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/25.jpg)
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan
karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori vang disarankan bervariasi,
bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan
berat lubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang
dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut.
Rencana diet harus didapat dengan terkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan
berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan vang lebih disukai, gaya hidup, latar
belakangbudaya, dan aktivitas fisik.
Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik tidak
boleh makan karbohidrat bcrlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah
total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemi-kian rupa
sehingga apa yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari.
Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik
yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari
yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak itu harus dari jenis
polyunsaturated. Sistem makanan penukar telah dikembangkan untuk membantu pasien
mena-ngani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar
karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalori-nyapun sama. Cara ini
akan memungkinan pasien "menukar" makanannya dengan makanan lain dalam kelompok
yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan
disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai.
Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan
meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun
selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat
suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa
selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika
pasien melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncak-nya.
Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat
meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan
latihan fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar
glukosa ha'nya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu
melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat
karbohirat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.
25
![Page 26: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/26.jpg)
10. Pencegahan5
Menurut WHO pada tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 jenis yaitu:
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupaan cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran
adalah orang – orang masih sehat. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi namun juga
masyarakat dan pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan
menghindari pola yang beresiko menimbulkan diabetes. Perlu adanya penyuluhan kepada
masyarakat tentang penyakit ini lebih jauh dan meyakinkan bahwa mencegah lebih baik dari
mengobati. Perlu ada kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang memiliki lemak
yang rendah atau makanan seimbang. Kampanye ini bisa dilakukan melalui media – media
yang ada seperti televisi, radio, koran, staf pengajar sekolah. Dan juga perlu adanya olahraga
yang teratur.
Pencegahan Sekunder
Dengan mencegah timbulnya komplikasi. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah
glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang
tahun. Tekanan darah dan juga profil lipid harus normal. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan cara penyuluhan tentang perilaku sehat ditambah dengan pelayanan
kesehatan primer di pusat- pusat pelayanan kesehatan. Selain itu dapat juga dilakukan
olahraga untuk menurunkan resistensi insulin.
Pencegahan Tersier
Upaya ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: (1) Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada
konsensus dimasukan ke dalam pencegahan sekunder; (2) Mencegah berlanjutnya komplikasi
untuk tidak menuju kerusakan organ atau penyakit organ; (3) Mencegah timbulnya kecacatan
disebabkan oleh kegagalan organ atau jaringan. Peran penyuluhan sangat penting untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya.
11. Prognosis
Prognosis pasien bervariasi tergantung pada keadaan dan kepatuhan pasien. Umumnya
apabila pasien terkontrol baik memiliki prognosis yang baik sehingga kualitas dan kuantitas
hidup dapat lebih membaik.
26
![Page 27: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/27.jpg)
Penutup
Laki-laki berusia 45 tahun menderita diabetus melitus tipe dua (DM tipe2), hal ini
didukung oleh hasil anamnesis dan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang terkait. Diabetes
sendiri bermacam-macam tipenya dan juga memiliki gejala-gejala maupun hasil pemeriksaan
yang khas pada setiap tipenya. Oleh karena itu diagnosis DM tipe 2, harus juga diikuti
dengan differential diagnosis yang gejala umumnya berkaitan dengan DM tipe 2,contohnya
adalah maturity onset diabetes mellitus of the young (MODY), latent autoimmune diabetik of
adult (LADA) dan juga DM tipe 1. Dengan diagnosis yang tepat, penatalaksanaaanya akan
menjadi tepat, baik secara medika mentosa maupun secara nonmedika mentosa. Dengan
penatalaksanaan yang tepat, kualitas hidup pasien tersebut akan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 138-9.
2. Bickley ls. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. edisi ke-8.
Jakarta: EGC;2009.h 82.
3. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.
Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h. 60.
4. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The definition of
insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using machine
learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 1874-921.
6. Stenstrom G, Gottsater A, Bahktadze E, Berger B, Sundkvist G.Latent autoimune
diabetes in adults definition, prevalence, b-cell function, and treatment. ProQuest
Medical Library 2005 Des;54:S68.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h.1260-72.
8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit.
Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010. h. 717-31.
27
![Page 28: Documentdm](https://reader033.vdokumen.com/reader033/viewer/2022051219/5695d0341a28ab9b029170c9/html5/thumbnails/28.jpg)
28