documentdm

44
Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Ryan Gustomo 102011209 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Krida wacana Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat Telp: 021-569422061 Pendahuluan Penyakit gula darah atau yang lebih sering dikenal dengan diabetes telah menjadi momok bagi masyarakat di seluruh dunia. Dahulu angka diabetes melitus tergolong kecil, tapi sekarang jumlahnya meningkat karena adanya mutasi genetik sehingga lebih mudah kena disamping adanya rangsangan dari lingkungan seperti banyaknya racun yang beredar, kurang olahraga dan juga pola makan yang tidak tepat. Diabetes bisa dikenali dengan gejala-gejala sering minum, sering buang air kecil, banyak makan, berat badan berkurang dan sering mengalami kelelahan. Secara global, kasus diabetes terus mengalami kenaikan, terutama di negara berkembang. Berdasarkan data WHO Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Data dari WHO tahun 1985 menyebutkan sebanyak 1,7% penduduk 1

Upload: ryan-gustomo

Post on 16-Feb-2016

221 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

97472503-Leng-Kap

TRANSCRIPT

Page 1: Documentdm

Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe 2Ryan Gustomo

102011209

[email protected]

Fakultas Kedokteran

Universitas Krida wacana

Jl. Arjuna No.6 Kebon Jeruk- Jakarta Barat

Telp: 021-569422061

Pendahuluan

Penyakit gula darah atau yang lebih sering dikenal dengan diabetes telah menjadi

momok bagi masyarakat di seluruh dunia. Dahulu angka diabetes melitus tergolong kecil, tapi

sekarang jumlahnya meningkat karena adanya mutasi genetik sehingga lebih mudah kena

disamping adanya rangsangan dari lingkungan seperti banyaknya racun yang beredar, kurang

olahraga dan juga pola makan yang tidak tepat. Diabetes bisa dikenali dengan gejala-gejala

sering minum, sering buang air kecil, banyak makan, berat badan berkurang dan sering

mengalami kelelahan.

Secara global, kasus diabetes terus mengalami kenaikan, terutama di negara

berkembang. Berdasarkan data WHO Indonesia menempati urutan keempat sebagai negara

dengan penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Data dari

WHO tahun 1985 menyebutkan sebanyak 1,7% penduduk Indonesia mengalami diabetes.

Namun pada tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan jumlahnya

mengalami kenaikan menjadi 5,7% atau sekitar 12 juta penduduk.

Faktor utama diabetes adalah karena kurangnya produksi insulin (diabetes melitus

jenis 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin

(diabetes melitus jenis 2, bentuk yang lebih umum).

Selain itu, terdapat jenis diabetes melitus yang juga terjadi pada wanita hamil. Jenis 1

membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan jenis 2 diatasi dengan pengobatan oral dan

hanya membutuhkan insulin apabila obatnya tidak efektif. Diabetes melitus pada kehamilan

umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan.

1

Page 2: Documentdm

Penyakit diabetes tipe 2 merupakan yang paling banyak dijumpai di Indonesia

biasanya disebabkan oleh faktor turunan. Jika salah satu orang tua mengidap diabetes maka

hampir 90% anaknya juga menderita diabetes tergantung dari gaya hidup anak itu sendiri

Diabetes tipe 2 bisa dicegah, jadi mau diabetes atau tidak tergantung dari diri kita

sendiri dan bukan siapa-siapa Meskipun tak dapat disembuhkan, penyakit diabetes melitus

tipe 2 dapat dicegah dengan mudah. Penyakit ini disebabkan oleh gaya hidup yang kurang

sehat. Maka dari itu, menerapkan gaya hidup sehat akan dapat meminimalkan risiko

terjangkitnya diabetes.

Sebanyak 30% penderita diabetes melitus mengalami kebutaan akibat komplikasi

retinopati dan 10% harus menjalani amputasi tungkai kaki. Bahkan diabetes melitus

membunuh lebih banyak dibandingkan dengan HIV-AIDS. Biasanya pasien yang meninggal

bukan karena diabetesnya melainkan akibat komplikasi dari diabetes tersebut.

Komplikasi pada penderita diabetes bisa menyerang pembuluh darah besar (makro)

yang mengakibatkan penyakit jantung, stroke jika menyerang otak dan cacat atau amputasi

kaki. Untuk pembuluh darah kecil bisa mengakibatkan kebutaan jika menyerang mata, dan

gagal ginjal. Komplikasi yang lain bisa mengakibatkan impotensi pada pasien pria.

Pembahasan

1. Anamesa1

Diabetes melitus bisa timbul akut berupa koma hiperglikemik, disertai efek osmotik

diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsia, nokturia), efek samping diabetes pada organ

akhir (retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau komplikasi akibat

meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandida). Keadaan ini juga

bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah atau urin.

Riwayat penyakit dahulu

Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya dan

apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin,

tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan mengenai

komplikasi sebelumnya.

2

Page 3: Documentdm

Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia.

Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer

(klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati

perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis—muntah, kembung, diare).

Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.

Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida.

Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).

Hipertensi—terapi.

Diet/berat badan/olahraga.

Obat-obatan

Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan hipoglikemia

oral, atau insulin?

Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid,

siklosporin)?

Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol.

Apakah pasien memiliki alergi?

Riwayat keluarga dan sosial

Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?

Apakah diabetes mempengaruhi kehidupan?

Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan sebagainya

(pasangan/pasien/perawat)?

Dari keluhan-keluhan tersebut dan dasar teori dari anamnesis, maka dapat diketahui

data-data sebagai berikut.

1. Keluhan utama

Pasien merasa semakin lemas sejak 2 hari yg lalu

2. Riwayat penyakit dahulu

Memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu

3. Riwayat keluarga

Tidak diketahui

3

Page 4: Documentdm

4. Riwayat personal dan social

Tidak diketahui

5. Riwayat obat-obatan

Pasien minum metformin dan glibenklamid secara teratur

2. Pemeriksaan1

a. Pemeriksaan fisik

Apakah pasien sakit berat akut?

Adakah tanda-tanda dehidrasi akibat hiperglikemia (takikardia, hipotensi, hipotensi

postural, membran mukosa kering, turgor kulit menurun, dan sebagainya)?

Bagaimana suhu tubuh pasien? TD? Nadi? Nafas?

Periksa vaskularisasi perifer untuk: nadi teraba, bruit?

Periksa kaki untuk: ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba halus), tusuk jarum,

monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati otonom (TD

postural, respons Valsalva).

Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil.

Pertimbangkan infeksi atau pemicu kemunduran lain (IMT)

Periksa kerusakan organ-akhir akibat diabetes

Dalam kasus , dilakukan pemeriksaan tanda–tanda vital, seperti tekanan darah,

frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, suhu tubuh dan IMT .

Tabel 1. Hasil pemeriksaan fisik pasien dan juga interprestasinya.2

Pemeriksaan Normal Makna

Tekanan darah 120/80 120/80 Normal

Frekuensi pernapasan 16 kali/menit 14-20 kali/menit Normal

Frekuensi nadi 88 kali/menit 80-100 kali/menit Normal

IMT 22,5 18,5-22,9 Normal

4

Page 5: Documentdm

b. Pemeriksaan penunjang

Walaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis atau

kencing gula, namun diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan adanya glukosuria saja.

Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah3

Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, pemeriksaan

diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian DM. Bahan pemeriksaan yang dianjurkan

untuk menentukan kadar glukosa darah adalah plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara

enzimatik. Pada kondisi tertentu di mana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah

kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan

pembakuan oleh WHO. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama baiknya dengan plasma bila

serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1 jam. Glukosa dalam serum atau

plasma yang disimpan pada suhu 4°C dapat bertahan sampai 48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan

setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih rendah secara bermakna.3

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan menggunakan sampel darah vena mungkin akan

berbeda dengan hasil pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan

karena kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10 % daripada kadar glukosa darah vena. Pada

keadaan puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri hanya 2-3 mg/dL, dan setelah makan

perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dL. Kadar glukosa darah arteri dapat dianggap tidak berbeda

dengan kadar glukosa darah kapiler.3

Kadar GDS pasien 252 mg/dL.

Tabel-2. Nilai Rujukan Kadar Glukosa Darah.3

Bahan Pemeriksaan Kadar Glukosa Sewaktu (GDS) Kadar Glukosa Puasa (GDP)

Plasma vena <200 mg/dL <110 mg/dL

Tes Toleransi Glukosa Oral3

Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) merupakan

pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila berdasarkan hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM masih belum dapat dipastikan.

Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala klinis khas DM dan

kadar glukosa darah puasa dan atau sewaktu yang telah memenuhi kriteria diagnostik DM.

5

Page 6: Documentdm

Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)

Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih

diperbolehkan.

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak), dilarutkan

dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit.

Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Untuk kemudahan, American Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia (PERKENI,2002) menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah pada jam ke-2 TTGO

saja. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO tercantum pada Tabel-3.

Tabel-3. Penilaian Hasil Pemeriksaan TTGO Jam Kedua.3

Kadar Glukosa Darah (mg/dL) Penilaian< 140 TTGO Normal140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)>200 Diabetes Melitus

Hemoglobin A1C (HbA1C)3

HbA1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai

glikohemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk

secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-

enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari),

sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses

glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit

bersifat permeabel dilalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan

glikemik selama masa 120 hari.

Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari masa hidup

eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan

glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8%

dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang

terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek

perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai

6

Page 7: Documentdm

hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2x

dalam setahun.

Kadar HbA1C pasien adalah 10%.

Homeostasis Model Assessment-Estimated Insulin Resistance (HOMA IR)

HOMA IR sekarang sudah banyak digunakan untuk memperkirakan resistensi insulin

dalam penelitian. Dibandingkan dengan metode gold standard euglemic clamp untuk

mengukur resistensi insulin, pengukuran menggunakan HOMA IR lebih mudah. HOMA-IR

dihitung mengalikan insulin plasma puasa (FPI) dengan glukosa plasma puasa (FPG),

kemudian dibagi dengan constanta 22,5. HOMA-IR= (FPIxFPG)/22,5. Metode ini sudah

digunakan oleh semua etnis. Satu studi mengatakan bahwa range normal HOMA-IR pada

kaum Hispanic sehat mungkin lebih tinggi dari Kaukasian di Amerika tengah dan utara, dan

memang populasi ini terkenal memiliki potensi genetik DM 2, yang dekat kaitannya dengan

resistensi insulin.4

Variabel berikut termasuk dalam risiko: jenis kelamin, usia, BMI, rasio

pinggang/panggul, FPG, tekanan darah, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, rokook, tingkat

edukasi, riwayat hepatitis, kadar lipid puasa (trigliserid, kolesterol total, HDL, dan LDL), dan

serum transaminase (ALT dan AST). Insulin diukur dalam serum beku di -80oC dalam 1 jam

setelah pengambilan sampel. Sekumpulan insulin diukur menggunakan enzyme-linked

immunosorbent assay insulin kit menggunakan kurva standard dilengkapi dengan kit.4

Dalam hasil, direkomendasikan menggunakan nilai HOMA-IR dari orang Mexico

yaitu HOMA-IR <2,60 sebagai nilai normal, HOMA-IR 2,60-3,80 sebagai “borderline high”

tanpa melabel bahwa orang tersebut memiliki resistensi insulin, dan HOMA-IR >3,80 sebagai

“high” memiliki korelasi jelas dengan resistensi insulin.

3. Diagnosa

a. Working diagnosis (diabetes melitus tipe 2)

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam

menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara

pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk

memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di

7

Page 8: Documentdm

laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat

dapat juga dipakau bahan darah utuh, vena, maupun kapiler dengan memperhatikan angka-

angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan

hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.5

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada

tidaknya gejala khas DM. Gejala khas Dm terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,

kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus

vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal

satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan

gejala kjas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis

DM dapat melalui cara berikut:5

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa

plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma > 126 mg/dL (7 mmol/L). Puasa diartikan

pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan

dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram

glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Pemerikaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa

Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut: 1) aktivitas fisik kurang,

2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative), 3) masuk

kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American,

Pasific Islander), 4) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau

riwayat diaberes melitus gestasional (DMG), 5) Hipertensi, 6) Kolesterol HDL <35 mg/dL

dan atau trigliserida > 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat

toleransi glukosa terganggu atau gula darah puasa terganggu, 9) keadaan lain yang

berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis nigrikans, dan 10) riwayat

penyakit kardiovaskular.5

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau

TTGO. Untuk kelompok risisko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,

8

Page 9: Documentdm

pemeriksaan penunjang ulang dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45

tahun tanpa faktor risiko, pemeriksan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih

cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.5

Pada pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk

umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi

mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan

penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk

DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.5

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa

terganggu (TGT), dan gklukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan

langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan

sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang

menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya akan kembali normal. Adanya TGT ini risiko

terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan

dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola

kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan

pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.5

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa

darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes

toleransi glukosa oral (TTGO) standar.5

Tabel 4. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan

Diagnosis DM (mg/dL).5

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Konsentrasi glukosa

darah sewaktu

Plasma vena <100 100-199 >200

Darah kapiler <90 90-199 >200

Konsentrasi glukosa

darah puasa

Plasma vena <100 100-125 >126

Darah kapiler <90 90-99 >100

9

Page 10: Documentdm

b. Differential diagnosis

Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA)

LADA adalah terminologi yang paling sering untuk mendeskripsikan pasien dengan

fenotipe DM 2 yang digabung dengan antibodi islet dan kegagalan lambat progresif sel b .

Jika didefinisikan lagi sebagai fenotip DM 2 digabung dengan antibodi islet, prevalensi dari

LADA adalah 10% dari subjek DM berusia 40-75 tahun. Prevalensi serupa ditemukan pada

pasien non-insulin dependen usia lebih dari 35 tahun pada diagnosis DM2. Sesungguhnya,

frekuensi serupa dari LADA ditemukan sekitar pasien DM2 dari semua usia di UK. Pasien

DM2 lebih muda dari 35 tahun pada diagnosis, frekuensu LADA lebih tinggi (~25%).

Meskipun pasien LADA dari definisi tidak insulun dependen dan selama setelah diagnosis

pertama dari diabetes, dalam 6 tahun, fungsi sel b mengalami kerusakan parah, membuat

pasien LADA menjadi dependen insulin. Meskipun demikian, kegagalan sel b, didefinisikan

sebagai tidak terukurnya c-peptida puasa, mungkin memerlukan 12 tahun sampai terjadi pada

pasien dengan antibodi islet. Hal ini penting untuk mengklarifikasi bahwa obesitas tidak

menjadi pengecualian LADA. Obes tipe 2 – seperti pasien diabetes dengan antibodi islet

menunjukkan kegagalan progresif sel b. Juneja et al menemukan bahwa hanya islet antibodi

(ICAs) atau GAD antibodi (GADAs) mendefinisikan LADA (~tipe 1 ½ diabetes); bukan

BMI, usia, atau gejala klinik. Konsentrasi yang dinggi dari antibodi islet memprediksikan

kegagalan sel b di masa depan, dimana sedikit jumlah antibodi islet, khususnya ICAs yang

kurang, diasosiasikan dengan kegagalan sel b yang progresif.6

Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)

Dua persen hingga 5% pasien diabetes tidak dapat secara jelas dimasukkan ke dalam

fenotipe diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan dikatakan mengidap MODY. Pada para pasien ini,

terjadi defek primer di fungsi sel b yang terjadi tanpa kerusakan sel b, tetapi mengenai massa

sel b dan/atau produksi insulin. Kini menjadi jelas bahwa MODY adalah hasil akhir dari

berbagai kelompok defek genetik yang ditandai oleh defek monogenik yang diwariskan

secara dominan autosom, dengan tingkat penetrasi tinggi, awitan dini, biasanya sebelum usia

25 tahun, berbeda dengan usia 40 tahun bagi kebanyakan pasien diabetes tipe 2, tidak adanya

obesitas, dan tidak adanya autoantibodi sel islet dan sindrom resistens insulin.8

Sejauh ini, diketahui enam defek genetik berbeda. Glukokinase, yang diperkirakan

berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke glukosa, yang

10

Page 11: Documentdm

merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolusme glukosa. Glukokinase

yang diekspresikan di sel b pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan

pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang akhirnya dapat menimbulkan sekresi insulin,

Mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk pelepasan insulin sehingga

derajat hiperglikemua hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi

peningkatan sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan

aktivitas enzim bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada

kadar glukosa yang lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan

hiperinsulinisme. Sisa 5 gen lainnya yang dapat menyebabkan munculnya MODY adalah

faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi insulin di sel b dan massa sel b; IPF-1 juga

berperan sentral dalam pembentukan pankreas. Selain heterogenitas genetik, MODY juga

ditandai oleh heterogenitas klinis. Sebagian bentuk MODY (MODY1, MODY3, dan

MODY5) disebabkan adanya defek berat terhadap sekresi insulin oleh sel b disertas seluruh

penyulit diabetes, sedangkan yang lainnya (MODY2) menyebabkan hiperglikemua kronik

ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.8

Diabetes melitus tipe 1

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin;

namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak

30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat

disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya

autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik

keturunan Afrika-Amerika dan Asia.7

Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan

polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama

beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul

ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insu-

lin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka

terhadap insulin.7

4. Epidemiologi8

Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta

kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru.

11

Page 12: Documentdm

Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab

utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita

diabetes paling sedikit 2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan

mereka yang tidak menderita diabetes.

Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit

vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling

utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak

terkontrol juga meningkat.

Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihatber-akibat pada biaya pengobatan dan

hilangnya pen-dapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti

kebutaan dan penyakit vaskular.

5. Etiologi7

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.

Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi

insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas

penderita diabetes melitus.

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial

yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko

berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak

cucunya. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak

adalah 1:1, dan sekitar90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai

dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi

dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang

menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa

menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam

pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah

tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidak-

normalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara

kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor

dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan

12

Page 13: Documentdm

menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahan-kan

euglikemia. Sekiiar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas terkaitan

dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang

menyebab-kan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering-kali dikaitkan dengan

perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.

6. Patogenesis8

Patogenesis diabetes tipe 2 jauh lebih sedikit diketahui meskipun tipe ini merupakan yang

tersering ditemukan. Tidak ada bukti bahwa mekanisme autoimun berperan. Gaya hidup

jelas berperan, yang akan jelas jika kegemukan dipertimbangkan. Meskipun dahulu dianggap

sebagai penyakit orang dewasa, saat ini timbul kekhawatiran adanya peningkatan epidemik

insidensi diabetes tipe ini pada anak-anak yang kegemukan, terutama di antara mereka yang

berkulit hitam, keturunan Spanyol, Amerika asli, dan Asia.

Pada tipe ini, faktor genetik berperan lebih penting dibandingkan dengan pada

diabetes tipe 1. Pada anggota keluarga dekat dari pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar

nonidentik), risiko men-derita penyakit ini lima hingga sepuluh kali lebih besar daripada

subjek (dengan usia dan berat yang sama).. Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa

diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetik, masing-masing

memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi oleh lingkungan.

Pemindaian genom terhadap pasien dan anggota keluarga mereka memastikart bahwa tidak

ada satu pun gen yang berperan utama dalam kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Saat ini

sedang dilakukan penelitian besar-besaran terhadap beberapa regio genomik tempat

keberadaan gen kandidat.

Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi

insulin pada sel beta dan ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap

insulin (resistensi insulin) Peran defek sekresi, dibandingkan dengan resistensi insulin,

masih terns diperdebatkan dan mungkin sebenarnya berbeda-beda pada pasien yang berbeda

dan pada stadium penyakit yang berlainan.

Gangguan Sekresi Insulin pada Sel Beta. Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan

secara kuantitatif kurang berat dibandingkan dengan yang terjadi pada diabetes tipe 1. Pada

kenvataannya, pada awal perjalanan penyakit, kadar insulin bahkan mungkin meningkat

untuk mengompensasi resistensi insulin. Namun, kecil kemungkinannya bahwa diabetes tipe

2 hanya disebabkan oleh resistensi insulin. Pada kasus yang jarang, mutasi di reseptor insulin

13

Page 14: Documentdm

menimbulkan resistensi insulin yang parah, yang jauh lebih berat daripada pasien dengan

diabetes tipe 2. Namun, banyak pasien ini mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas

normal karena sel beta normal dapat meningkatkan produksi insulin.

Pada awal perjalanan diabetes tipe 2, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin

plasma tidak berkurang. Namun, pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan

fase pertama sekresi insulin (yangcepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif,

hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan

pada awal diabetes tipe 2, dan bukan defisiensi sintesis insulin.

Namun, pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi absolut insulin yang ringan

sampai sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Penyebab defisiensi

insulin pada diabetes tipe 2 masih belum sepenuhnya jelas: Berdasarkan data mengenai

hewan percobaan dengan diabetes tipe 2, diperkirakan mula-mula resistensi insulin

menyebab-kan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada

mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap diabetes tipe 2, kompen-sasi ini gagal.

Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terjadi kehilangan 20% hingga 50% sel beta, tetapi

jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh

glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta.

Dasar molekuiar gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum

sepenuhnya dipahami. Penelitian terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria

yang memisahkan respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif (sehingga menghasilkan panas,

bukan ATP). Protein ini, yang disebut uncoupling protein 2 (UCP2), diekspresikan pada sel

beta. Kadar UCP2 intrasel yang tinggi menumpulkan respons insulin, sedangkan kadar yang

rendah memperkuatnya. Oleh karena itu, dihipo-tesiskan bahwa peningkatan kadar UCP2 di

sel beta orang dengan diabetes tipe 2 mungkin dapat menjelas-kan hilangnya sinyal glukosa

yang khas pada penyakit ini. Banyak perhatian dipusatkan pada masalah ini, karena

manipulasi terapeutik (untuk menurunkan) kadar UCP2 dapat digunakan untuk mengobati

diabetes tipe 2.

Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 dilaporkan berkaitan dengan

pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid

pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal

dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons

terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin pada

fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian

mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin

14

Page 15: Documentdm

menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting,

amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel

beta yang ditemukan pada kasus diabetes tipe 2 tahap lanjut.

Resistensi Insulin dan Obesitas. Defisiensi insulin terjadi belakangan selama perjalanan

penyakit diabetes tipe 2; namun, defisiensi ini tidak cukup besar untuk dapat menjelaskan

gangguan metabolik yang terjadi. Bukti yang ada menunjukkan bahwa resistensi insulin

merupakan faktor utama dalam timbulnya diabetes tipe 2.

Sejak permulaan, perlu dicatat bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks

yang tidak terbatas pada sindrom diabetes. Pada kegemukan dan kehamilan, sensitivitas

insulin jaringan sasaran menurun (walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar insulin serum

mungkin meningkat untuk mengompensasi resistensi insulin tersebut. Oleh karena itu, baik

obesitas maupun kegemukan, dapat menyebabkan ter-ungkapnya diabetes tipe 2 subklinis

dengan meningkatkan resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak lagi dapat dikompensasi

dengan meningkatkan produksi insulin.

Dasar selular dan molekuiar resistensi insulin masih belum sepenuhnya dimengerti.

Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin: jaringan lemak dan otot; di kedua jaringan tersebut

insulin meningkatkan penyerapan glukosa, dan hati, tempat insulin menekan produksi

glukosa. Seperti telah dibicarakan, insulin bekerja pada sasaran pertama-tama dengan

berikatan dengan reseptornya. Pengaktifan reseptor insulin memicu serangkaian respons

intrasel yang memengaruhi jalur metabolisme sehingga terjadi translokasi unit transpor

glukosa ke membran sel yang memudahkan penyerapan glukosa. Pada prinsipnya, resistensi

insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal (pascareseptor)

yang diaktifkan oleh pengikatan insulin ke reseptornya. Pada diabetes tipe 2, jarang terjadi

defek kualitatif atau kuantitatif dalam reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin

diperkirakan terutama berperan dalam pem-bentukan sinyal pascareseptor.

Untuk memahami dasar resistensi insulin, perlu ditekankan adanya hubungan antara

kegemukan dan diabetes tipe 2. Seperti telah dinyatakan, obesitas berkaitan dengan resistensi

insulin walaupun tidak terdapat diabetes. Oleh karena itu, tidaklah mengheran-kan bahwa

obesitas adalah salah satu faktor risiko lingkungan yang penting dalam patogenesis

diabetes tipe 2, dan diperkirakan berperan penting dalam meningkatnya insidensi diabetes

bentuk ini pada anak. Untungnya, bagi banyak orang kegemukan dengan diabetes, penurunan

berat dan olahraga dapat memulih-kan resistensi insulin dan eaneeuan toleransi elukosa.

terutama pada awal perjalanan penyakit saat produksi insulin belum banyak terpengaruh.

15

Page 16: Documentdm

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa jaringan lemak bukanlah sekadar tempat

penimbunan untuk trigliserida tetapi merupakan suatu jaringan "endokrin" aktif yang dapat

berdialog dengan otot dan hati (dua jaringan sasaran insulin yang penting). Efek adiposit

jarak-jauh ini terjadi melalui zat perantara yang dikeluarkan oleh sel lemak. Molekul ini

meliputi faktor nekrosis tumor (TNF), asam lemak, leptin, dan suatu faktor baru yang disebut

resistin. TNF, yang lebih dikenal karena efeknya pada peradangan dan imuni-tas, disintesis

di adiposit dan mengalami ekspresi berlebihan dalam sel lemak orang yang kegemukan. TNF

menyebabkan resistensi insulin dengan memengaruhi jalur-jalur sinyal pascareseptor.

Pada kegemukan, kadar asam lemak bebas lebih tinggi daripada normal, dan asam lemak

ini meningkatkan resistensi insulin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya diketahui.

Leptin adalah suatu hormon adiposit yang menyebabkan obesitas hebat dan resistensi insulin

pada hewan pengeratyang tidak memiliki gennya. Pengembalian leptin ke hewan ini

mengurangi obesitas dan, secara independen, resistensi insulin; karena itu, tidak seperti TNF,

leptin memperbaiki resistensi insulin. Zat terakhir yang ditemukan dalam jaringan adiposa

adalah resistin, yang diberi nama demikian karena zat ini meningkatkan resistensi insulin.

Resistin dihasilkan oleh sel lemak, dan kadarnva meningkat pada berbagai model hewan

pengerat untuk obesitas. Penurunan kadar resistin meningkatkan kerja insulin dan,

sebaliknya, pemberian resistin rekombinan meningkatkan resistensi insulin pada hewan

normal. Yang cukup menarik, efek terapeutik obat antidiabetes oral tertentu yang digunakan

dalam penanganan diabetes tipe 2 pada manusia juga mungkin berkaitan dengan kemampuan

obat tersebut memodulasi produksi resistin. Obat antidiabetes golongan tiazolidi-nedion

berikatan dengan reseptor yang disebut peroxisome proliferator-activated receptor y

(PPAR-y), yang diekspresikan di nukleus sel lemak. Dengan mengikat reseptor di adiposit,

obat golongan tiazolidinedion me-ngendalikan transkripsi resistin atau gen sel adiposa

lainnya yang memengaruhi resistensi insulin. Diperkirakan sinyal PPAR-y dalam

mengendalikan resistensi insulin ditunjang oleh penelitian terhadap pasien yang mengalami

mutasi loss-of-function di gen PPAR-y. Para pasien ini, yang jarang ditemukan, memper-

lihatkan resistensi insulin dan mengalami diabetes. Oleh karena itu, pengaktifan reseptor

PPAR-y oleh obat menurunkan resistensi insulin, dan mutasi yang meng-ganggu

pembentukan sinyal PPAR-y meningkatkan resistensi insulin. Diperkirakan pemahaman yang

lebih mendalam tentang jalur-jalur semacam ini dalam sel lemak dapat menghasilkan sasaran

terapeutik baru untuk pengobatan diabetes tipe 2; sebagai salah satu contoh, obat yang

menetralkan kerja resistin mungkin

7. Manifestasi klinis7

16

Page 17: Documentdm

Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,

dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan

tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin

menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami

ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.

Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk meng-hambat ketoasidosis. Kalau

hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat

hipoglikemik oral, mungkin diperlu-kan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosa-

nya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin.

Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi

tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga

resisten terhadap insulin eksogen.

8. Komplikasi8

Morbiditas yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes kronis terjadi akibat komplikasi,

seperti mikro-angiopati, retinopati, nefropati, neuropati, dan per-cepatan aterosklerosis. Dasar

komplikasi jangka panjang ini merupakan subjek bagi sejumlah besar penelitian. Bukti

eksperimen dan klinis yang ada mengisyaratkan bahwa sebagian besar komplikasi dia¬betes

terjadi akibat gangguan metabolisme, terutama hiperglikemia. Selain itu, adanya hipertensi,

yang sering ditemukan pada pengidap diabetes, ikut berperan dalam aterosklerosis.

a) Komplikasi tahap lanjut

Temuan patologis di pankreas bervariasi dan tidak selalu mencolok. Perubahan

morfologik penting dalam diabetes berkaitan dengan banyak komplikasi tahap lanjutnya,

karena komplikasi tersebut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Onset,

keparahan, dan organ (-organ) yang terkena komplikasi ini sangat berbeda-beda di antara

para pasien. Pada mereka yang mengendalikan diabetes secara ketat, onset mungkin tertunda.

Namun, pada sebagian besar pasien, kemungkinan terjadi perubahan morfologik di arteri

(aterosklerosis), membran basal pembuluh halus (mikroangiopati), ginjal (nefropati diabetes),

retina (retinopati), saraf (neuropati), dan jaringan lain setelah 10 hingga 15 tahun. Perubahan

ini ditemukan pada kedua tipe diabetes. Gambaran singkat skematik dapat dilihat pada

Pankreas

17

Page 18: Documentdm

Lesi di pankreas tidak konstan dan jarang bernilai diagnostik. Perubahan khas lebih

sering berkaitan dengan diabetes tipe 1 daripada tipe 2. Mungkin ditemukan satu atau lebih

perubahan berikut:

Pada diabetes tipe 2, kerusakan sel beta terjadi belakangan dan biasanya tidak lebih

dari 20% hingga 50%

Penggantian islet oleh amiloid pada diabetes tipe 2. Amiloid tampak sebagai endapan

merah muda amorf yang berawal di dan sekeliling kapiler dan terdapat di antara sel-sel. Pada

stadium lanjut, islet mungkin lenyap, dan juga dapat ditemukan fibrosis. Perubahan ini paling

sering terlihat pada kasus diabetes tipe 2 yang sudah lama. Seperti telah disebutkan, amiloid

pada kasus ini sebagian terdiri atas fibril amilin yang berasal dari sel beta. Lesi serupa

mungkin ditemukan pada orang berusia lanjut nondiabetes, yang tampaknya merupakan

bagian proses penuaan normal.

Sistem vaskular

Diabetes menimbulkan kerusakan besar pada sistem pembuluh darah. Semua ukuran

pembuluh terkena, dari aorta hingga arteriol terkecil dan kapiler. Aorta serta arteri ukuran

besar dan sedang mengalami percepatan aterosklerosis yang parah. Kecuali keparahannya

yang lebih besar dan usia onset yang lebih dini, aterosklerosis pada pasien diabetes tidak

dapat dibedakan dengan yang terjadi pada pasien nondiabetes. Infark miokardium, yang

disebabkan oleh aterosklerosis arteria koronaria, merupakan penyebab tersering kematian

pada pasien diabetes. Secara signifikan, komplikasi ini sama seringnya terjadi pada pasien

diabetes perempuan dan laki-laki. Sebaliknya, infark miokardium jarang terjadi pada

perempuan usia subur nondiabetes. Gangren ekstremitas bawah, akibat penyakit vaskular

tahap lanjut, hampir 100 kali lebih sering pada pasien diabetes dibandingkan dengan populasi

umum. Arteri renalis yang besar juga mengalami aterosklerosis berat, tetapi efek diabetes

yang paling merugikan pada ginjal terjadi di tingkat glomerulus dan mikrosirkulasi.

Arteriolosklerosis hialin, lesi vaskular yang berkaitan dengan hipertensi, lebih

prevalen dan lebih parah terjadi pada pasien diabetes daripada orang nondiabetes, tetapi

kelainan ini tidak spesifik untuk diabetes dan mungkin ditemukan pada pasien nondiabetes

usia lanjut tanpa hipertensi. Kelainan ini mengambil bentuk penebalan hialin amorf dinding

arteriol, yang menyebabkan lumen menyempit. Pada pasien diabetes, kelainan ini berkaitan

18

Page 19: Documentdm

tidak saja dengan durasi penyakit, tetapi juga tingginya tekanan darah. Penyebab dan sifat

perubahan vaskular ini masih belum diketahui pasti. Meskipun pernah diperkirakan

disebabkan oleh hipertensi, yang sering terjadi pada pasien diabetes, kelainan ini juga dapat

ditemukan pada pasien diabetes yang tidak mengidap hipertensi. Bahan hialin terdiri atas

protein plasma dan bahan membran basal. Seperti telah disinggung, diperkirakan protein

plasma menembus ke dalam dinding arteriol yang sangat permeabel dan terperangkap di

sana.

Mikroangiopati diabetes.

Salah satu gambaran morfologik paling konsisten pada diabetes adalah penebalan

difus membran basal. Penebalan ini paling jelas ditemukan di kapiler kulit, otot rangka,

retina, glomerulus ginjal, dan medula ginjal. Namun, penebalan ini juga dapat ditemukan

pada struktur nonvaskular, seperti tubulus ginjal, kapsul Bowman, saraf perifer, dan plasenta.

Dengan mikroskop cahaya, lamina basal normal terdiri atas lapisan bahan ekstrasel yang

relatif uniform dan memisahkan sel parenkim atau endotel dari stroma jaringan ikat di

sekitarnya. Pada pasien diabetes, lapisan tunggal ini melebar dan kadang-kadang digantikan

oleh lapisan konsentris bahan hialin yang terutama terdiri atas kolagen tipe IV. Meskipun

membran basal menebal, kapiler pasien diabetes lebih bocor terhadap protein plasma

dibandingkan dengan kapiler normal. Mikroangiopati mendasari timbulnya nefropati diabetes

dan beberapa bentuk neuropati. Mikroangiopati yang sangat mirip dapat ditemukan pada

pasien nondiabetes usia lanjut, tetapi jarang hingga separah pada pasien diabetes kronis.

Nefropati diabetes.

Ginjal merupakan sasaran utama diabetes, dan gagal ginjal hanya dikalahkan oleh

infark miokardium sebagai penyebab kematian pada penyakit ini. Ditemukan tiga kelainan

penting: (1) lesi glomerulus; (2) lesi vaskular ginjal, terutama arteriolosklerosis; dan (3)

pielonefritis, termasuk papilitis nekrotikans.

Lesi glomerulus terpenting adalah penebalan membran basal kapiler,

glomerulosklerosis difus, dan glomerulosklerosis nodular (lesi Kimmelstiel-Wilson).

Membran basal kapiler glomerulus menebal di seluruh panjangnya. Perubahan ini sudah

dapat dideteksi dengan mikroskop elektron dalam beberapa tahun on¬set diabetes, kadang-

kadang tanpa disertai perubahan pada fungsi ginjal.

19

Page 20: Documentdm

Glomerulosklerosis difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium disertai

proliferasi sel mesangiun dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini

ditemukan pada sebagian besar pasien yang telah mengidap penyakit lebih dari 10 tahun.

Setelah glomerulosklerosis menjadi semakin nyata, pasien memperlihatkan gejala sindrom

nefrotik, yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbu-minemia, dan edema.

Glomerulosklerosis nodular adalah lesi glomerulus yang memperlihatkan gambaran

khas berupa endapan mirip-bola matriks berlapis di dalam inti mesangium lobulus. Nodus ini

cenderung terbentuk di bagian perifer glomerulus, dan karena timbul di dalam mesangium,

nodus-nodus ini men-dorong gelungan kapiler glomerulus semakin ke tepi. Gelungan kapiler

ini sering membentuk halo di sekitar nodus. Perubahan khas ini disebut lesi Kimmelstiel-

Wilson, berdasarkan orang yang pertama kali menjelaskannya. Glomerulosklerosis nodular

terjadi secara acak di seluruh ginjal dan mengenai glomerulus dan lobu¬lus secara acak di

dalam suatu glomerulus. Pada penyakit tahap lanjut, terbentuk banyak nodus di dalam satu

glomerulus, dan sebagian besar glomerulus terkena. Endapan ini positif pada pewarnaan

dengan periodic acid-Schiff dan mengandung mukopoli-sakarida, lemak, dan fibril serta serat

kolagen, seperti endapan matriks pada glomerulosklerosis difus. Karena tubulus mendapat

perfusi dari pembuluh yang berasal dari arteriol eferen glomerulus, glomerulosklerosis tahap

lanjut menyebabkan iskemia tubulus dan fibrosis interstisium. Selain itu, pasien dengan

glikosuria yang tidak terkendali dapat menyerap ulang glukosa dan menyimpannya sebagai

glikogen di epitel tubulus. Perubahan ini tidak memengaruhi fungsi tubulus.

Aterosklerosis dan arteriolosklerosis ginjal hanyalah sebagian dari keterlibatan

sistemik pem¬buluh darah pada pasien diabetes. Ginjal adalah salah satu organ yang paling

sering dan paling parah terkena; namun, perubahan di arteri dan arteriol serupa dengan yang

ditemukan di seluruh tubuh. Arteriolosklerosis hialin tidak saja memengaruhi arteriol aferen,

tetapi juga arteriol eferen. Arteriolosklerosis eferen ini jarang ditemukan pada orang yang

tidak mengidap diabetes.

Pielonefritis adalah peradangan akut atau kronis ginjal yang biasanya berawal di

jaringan interstisium, kemudian menyebar untuk memengaruhi tubulus dan, pada kasus

ekstrem, glomerulus. Bentuk akut dan kronis penyakit ini terjadi, baik pada pasien

nondiabetes maupun diabetes. Namun, penyakit peradangan ini lebih sering terjadi pada

pasien diabetes daripada pada populasi umum, dan sekali terkena, pasien diabetes cenderung

mengalami kelainan yang lebih parah. Salah satu pola khusus pielonefritis akut, papilitis

20

Page 21: Documentdm

nekroti¬kans, jauh lebih prevalen pada pengidap diabetes daripada pasien nondiabetes.

Seperti diisyaratkan oleh namanya, papilitis nekrotikans merupakan nekrosis akut pada papila

ginjal,. Meskipun lesi ini tidak terbatas pada pasien diabetes, pasien diabetes rentan

mengalaminya, karena kombinasi iskemia akibat mikroangiopati dan me-ningkatnya

kerentanan terhadap infeksi bakteri.

Lesi sklerotik pada glomerulus merusak fungsi ginjal dan merupakan bentuk yang

berpotensi menyebabkan kematian pada nefropati diabetes. Glomerulosklerosis nodular

ditemukan pada sekitar 10% hingga 35% pasien diabetes dan merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas. Seperti pada glomerulosklerosis difus, kemunculan kelainan ini

berkaitan dengan durasi penyakit meskipun juga dipengaruhi oleh latar belakang genetik.

Tidak seperti bentuk difus, yang juga mungkin ditemukan pada usia ianjut dan hipertensi,

glomerulosklerosis bentuk nodu¬lar, untuk kepentingan praktis, menunjukkan diabetes. Baik

bentuk difus maupun bentuk nodular glomerulo¬sklerosis, menimbulkan iskemia yang dapat

menyebab¬kan terbentuknya jaringan parut halus di ginjal, yang ditandai dengan permukaan

korteks berbutir halus.

Mata

Gangguan penglihatan, kadang-kadang hingga buta total, merupakan salah satu

konsekuensi diabetes kronis yang ditakuti. Penyakit ini merupakan penyebab keempat

tersering kebutaan didapat di Amerika Serikat. Kelainan mata dapat berupa retinopati,

pembentukan katarak, atau glaukoma. Retinopati, yaitu pola tersering, terdiri atas serangkaian

perubahan yang bersama-sama dianggap oleh banyak ahli oftalmologi sebagai hampir

diagnostik untuk penyakit. Lesi di retina memperlihatkan dua bentuk: retinopati

nonproliferatif (latar belakang) dan retinopati proliferatif.

Retinopati nonproliferatif terdiri atas perdarahan intraretina atau praretina, eksudat

retina, mikroaneuris-ma, dilatasi vena, edema, dan, terpenting, penebalan kapiler retina

(mikroangiopati). Eksudat retina mungkin bersifat "lunak" (mikroinfark) atau "keras"

(endapan lemak dan protein plasma). Mikroaneurisma adalah dilatasi sakular diskret di

kapiler koroid retina yang tampak di bawah oftalmoskop sebagai titik-titik merah kecil.

Dilatasi cenderung terjadi di titik fokus perlemahan, yang terjadi akibat hilangnya perisit.

Edema retina mungkin terjadi akibat peningkatan berlebihan permeabilitas kapiler. Yang

21

Page 22: Documentdm

mendasari semua perubahan ini adalah mikroangiopati, yang diduga menyebabkan lenyapnya

perisit kapiler sehingga terjadi terbentuk titik-titik perlemahan struktur kapiler.

Apa yang disebut sebagai retinopati proliferatif adalah suatu proses neovaskularisasi

dan fibrosis. Lesi ini dapat menimbulkan akibat serius, termasuk kebutaan, terutama jika

mengenai makula. Perdarahan vitreosa dapat terjadi akibat ruptur kapiler yang baru

terbentuk; organisasi perdarahan kemudian dapat me-narik retina dari lapisan di bawahnya

(ablasio retina).

Neuropati diabetes

Sistem saraf sentral dan perifer juga terkena oleh diabetes. Pola keterlibatan yang

paling sering terjadi adalah neuropati perifer simetris di ekstremitas bawah yang mengenai,

baik fungsi motorik maupun sensorik, tetapi terutama yang terakhir. Bentuk lain adalah

neuropati otonom, yang menyebabkan gangguan fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-

kadang impotensi seksual, dan mononeuropati diabetes, yang mungkin bermanifestasi

sebagai kaki lunglai (footdrop), tangan lunglai (wristdrop), atau kelumpuhan saraf kranialis.

Kelainan saraf dapat disebabkan oleh mikroangiopati dan meningkatnya permeabilitas kapiler

yang memperdarahi saraf serta oleh kerusakan akson langsung karena perubahan

metabolisme sorbitol.

Otak, bersama bagian tubuh lain, mengalami mikroangiopati yang luas. Kelainan

mikrosirkulasi ini dapat menyebabkan degenerasi neuron generalisata. Selain itu, terdapat

predisposisi terjadinya infark serebro-vaskular dan perdarahan otak, mungkin berkaitan

dengan hipertensi dan aterosklerosis yang ditemukan pada pasien diabetes. Kelainan

degeneratif juga dapat terjadi di medula spinalis. Tidak satu pun kelainan saraf, termasuk

neuropati perifer, bersifat spesifik untuk penyakit ini.

Nefrosklerosis pada seorang pasien dengan diabetes lama. Ginjal dibelah untuk

memperlihatkan baiktransformasi difus permukaan (kiri) maupun penipisan mencolok

jaringan korteks (kanan). Gambaran lain adalah depresi iregular, akibat pielonefritis, dan

kadang-kadang kista korteks (kanan jauh).

9. Penatalaksanaan

22

Page 23: Documentdm

Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan

pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan

glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah

penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana

menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pada pasien diabetes tipe 2

terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin.8

a. Medica mentosa8

Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar

glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi,

sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjur-kan. Obat-obatan

yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia

adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat

diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin

menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan

meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat

badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas.

Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada

insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan

insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya

menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktif-kan

reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan

dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat diberikan

sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin.

Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada

pasien dengan gagal jantung kongestif.

Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara

yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans

yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-

obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-

pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insu-

lin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan

akibat peng-gunaan agen-agen hipoglikemik oral dapat dilihat pada Tabel 63-2. Namun,

sulfonilurea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang

23

Page 24: Documentdm

merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan campuran

sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg/hari, dan

gliburid, 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama daripada

glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea

dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-

pasien dengan diabetes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa pospran-dial

pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi

akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa gluko-sida yang bekerja pada usus halus dengan

menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.

Tabel 5. Agen-agen Hipoglikemik Oral.8

Agen Waktu

Paruh

(jam)

Frekuensi

Pemberian

Dosis

Awal

(mg)

Dosis

Rumatan

(mg)

Toksisitas Ukuran

Tablet

(mg)

Glipizid

(Glucotrol)

2-4 Dua kali

sehari

2,5 5-40 Gastrointestinal

Kulit

Hematologik

5, 10

Gliburid

(Micronase,

DiaBeta)

10 Sekali atau

dua kali

5,0 2,5-20,0 Kulit

Gastrointestinal

Hematologik

1,25-5

Metformin

(Glucophage)

1,3-4,5 Tiga kali

sehari

1000 1500-1700 Asidosis laktat 500,

850

Rosiglitazone Sekali sehari 4,0 4-8 Edema 4,0

Pioglitazone Sekali sehari 30 30-45 Edema 30

b. Non-medica mentosa8

24

Page 25: Documentdm

Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan

karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori vang disarankan bervariasi,

bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan

berat lubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang

dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut.

Rencana diet harus didapat dengan terkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan

berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan vang lebih disukai, gaya hidup, latar

belakangbudaya, dan aktivitas fisik.

Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik tidak

boleh makan karbohidrat bcrlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah

total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemi-kian rupa

sehingga apa yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari.

Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik

yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari

yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak itu harus dari jenis

polyunsaturated. Sistem makanan penukar telah dikembangkan untuk membantu pasien

mena-ngani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar

karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalori-nyapun sama. Cara ini

akan memungkinan pasien "menukar" makanannya dengan makanan lain dalam kelompok

yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan

disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai.

Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan

meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun

selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat

suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa

selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika

pasien melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncak-nya.

Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat

meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan

latihan fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar

glukosa ha'nya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu

melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat

karbohirat tambahan untuk mencegah hipoglikemia.

25

Page 26: Documentdm

10. Pencegahan5

Menurut WHO pada tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 jenis yaitu:

Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupaan cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran

adalah orang – orang masih sehat. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi namun juga

masyarakat dan pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan

menghindari pola yang beresiko menimbulkan diabetes. Perlu adanya penyuluhan kepada

masyarakat tentang penyakit ini lebih jauh dan meyakinkan bahwa mencegah lebih baik dari

mengobati. Perlu ada kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang memiliki lemak

yang rendah atau makanan seimbang. Kampanye ini bisa dilakukan melalui media – media

yang ada seperti televisi, radio, koran, staf pengajar sekolah. Dan juga perlu adanya olahraga

yang teratur.

Pencegahan Sekunder

Dengan mencegah timbulnya komplikasi. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah

glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang

tahun. Tekanan darah dan juga profil lipid harus normal. Pencegahan sekunder dapat

dilakukan dengan cara penyuluhan tentang perilaku sehat ditambah dengan pelayanan

kesehatan primer di pusat- pusat pelayanan kesehatan. Selain itu dapat juga dilakukan

olahraga untuk menurunkan resistensi insulin.

Pencegahan Tersier

Upaya ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: (1) Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada

konsensus dimasukan ke dalam pencegahan sekunder; (2) Mencegah berlanjutnya komplikasi

untuk tidak menuju kerusakan organ atau penyakit organ; (3) Mencegah timbulnya kecacatan

disebabkan oleh kegagalan organ atau jaringan. Peran penyuluhan sangat penting untuk

meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya.

11. Prognosis

Prognosis pasien bervariasi tergantung pada keadaan dan kepatuhan pasien. Umumnya

apabila pasien terkontrol baik memiliki prognosis yang baik sehingga kualitas dan kuantitas

hidup dapat lebih membaik.

26

Page 27: Documentdm

Penutup

Laki-laki berusia 45 tahun menderita diabetus melitus tipe dua (DM tipe2), hal ini

didukung oleh hasil anamnesis dan juga pemeriksaan-pemeriksaan yang terkait. Diabetes

sendiri bermacam-macam tipenya dan juga memiliki gejala-gejala maupun hasil pemeriksaan

yang khas pada setiap tipenya. Oleh karena itu diagnosis DM tipe 2, harus juga diikuti

dengan differential diagnosis yang gejala umumnya berkaitan dengan DM tipe 2,contohnya

adalah maturity onset diabetes mellitus of the young (MODY), latent autoimmune diabetik of

adult (LADA) dan juga DM tipe 1. Dengan diagnosis yang tepat, penatalaksanaaanya akan

menjadi tepat, baik secara medika mentosa maupun secara nonmedika mentosa. Dengan

penatalaksanaan yang tepat, kualitas hidup pasien tersebut akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan

Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 138-9.

2. Bickley ls. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. edisi ke-8.

Jakarta: EGC;2009.h 82.

3. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.

Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h. 60.

4. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The definition of

insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using machine

learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar

ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 1874-921.

6. Stenstrom G, Gottsater A, Bahktadze E, Berger B, Sundkvist G.Latent autoimune

diabetes in adults definition, prevalence, b-cell function, and treatment. ProQuest

Medical Library 2005 Des;54:S68.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.

Jakarta: EGC; 2006. h.1260-72.

8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins dan Cotran dasar patologis penyakit.

Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010. h. 717-31.

27

Page 28: Documentdm

28