diskusi integritas nasional indonesia -...
TRANSCRIPT
1
Diskusi Integritas Nasional Indonesia
From: Chan CT
Sent: Wednesday, April 8, 2015 4:38 PM
Bung Jaya yb,
Heeiii, ... sudah lama saya tidak dengar sebutan kebebalan. Sampai-sampai saya harus
buka kamus Besar Bhs. Indonesia, celaka 12! Aaachh, tidak terlalu serius lah, mungkin
sebutan nama dengan ejaan Kongfu itulah yang bikin kagok, tidak terbiasa apalagi
dituliskan terbalik dengan kebiasaan orang barat. Biasanya CTChan, kok saya balik jadi
ChanCT. Iya juga, daripada bikin bingung tentu saja bung boleh sebut Chan saja, nama
marga ejaan Kongfu di HK. Bahkan saya akan lebih senang kalau panggilan pak bisa
dirubah bung saja. Biar terasa diantara kita sederajat dan tidak menjadi tua banget
disebut pak, dari bapak. Hehehee, ...
Betuuul juga, setiap orang akan menempuh jalan hidupnya sendiri-sendiri, saya seringkali
merenungkan nasib saya justru “BERUNTUNG” banget, hanya seminggu sebelum G30S
meletup, sudah terbang ke Beijing. Lewat pertengahan Oktober URECA, Universitas Res
Publica, dimana saya sekolah justru kena dampaknya, diobrak-abrik, dibakar perusuh, ...
kalau saja saya di Jakarta bagaimana meneruskan sekolah? Ternyata setelah saya
berhasil mengikuti kuliah di Univ. Qing Hua sejak awal Januari 1966, tidak lewat 7 bulan,
15 Juni 1966 di Beijing juga meletup RBKP, mahasiswa turun kejalan melancarkan
revolusi Budaya. Sekolah berhenti juga! Tapi, apa yang saya alami, tidak seberat dan
separah saudara-saudara, kawan-kawan yang hidup di tanahair. Bagaimana adik-adik saya
dirumah harus menghadapi serbuan segerombolan pemuda dan Tentara, rumah
diobrak-abrik, sampai akhirnya ayah dijebloskan dalam penjara selama 12 tahunan.
Betapa kejam dan menakutkan gerakan yg dilancarkan jenderal Soeharto ketika itu,
untuk pengejaran, penangkapan dan main “MENGHILANGKAN” orang-orang yang
dituduh “KOMUNIS” itu. Benar-benar suasana BARBAR yang tidak kenal HUKUM lagi!
Kejadian kekejaman pembunuhan-pembunuhan yang terungkap setelah Soeharto lengser,
saya yakin bukan bualan apalagi fitnah. Kisah-kisah yang keluar dari mulut korban dan
keluarganya, ... telah dilengkapi dengan kisah yang keluar dari mulut JAGAL, pelaku
pembunuhan yang menceritakan kisah kekejamannya dengan BANGGA, ... bisa saya ikuti
baik melalui tulisan-tulisan yang dikumpulkan oleh Majalah TEMPO, edisi khusus
“Pengakuan Algojo 1965”, dari film "The act of killing" dan “Senyap” yang disutradarai
2
oleh: Joshua Oppenheimer, maupun Film "Shadow Play" tahun 2001 oleh Hilton Cordell
Production dan Film "The New Rulers of The World" karya John Pilger. Menggambarkan
kekejaman kemanusiaan yang luar biasa dan tidak tersangka bisa terjadi di Nusantara ini
yg dikenal orang Indonesia sangat SANTUN itu! Saya bisa memahami dampak bagi
anak-anak keluarga KORBAN ketika itu, tentunya lebih parah, ... timbul trauma dan rasa
takut berlebih. Apalagi sampai sekarang, tetap tidak seorang pun yang harus
bertanggungjawab bisa diseret kedepan pengadilan dan dijatuhi hukuman
seberat-beratnya atas pelanggaran HAM-berat ini, tentu akan membuat rasa takut
berlebih kekejaman-kekejman kemanusiaan itu terjadi lagi! Mudah-mudahan saja
BANGSA ini sadar dan bisa menghindari terjadi kekejamanan kemanusiaan di Nusantara
ini.
Bung, dalam kenyataan hidup manusia pada umumnya, mempunyai kesamaan mudah
melihat kesalahan orang lain, tapi sulit mengetahui kesalahan diri sendiri. Itulah kata
pribahasa: “kutu-lalat diseberang sungai bisa nampak, tapi gajah didepan mata tidak
nampak”. Dan tentunya, saya sebagai manusia normal, juga tidak lolos dari kenyataan ini.
Mohon bung juga bisa tunjukan begitu melihat kesalahan saya! Tapi, sebaliknya juga Bung
boleh tidak mengakui “merasa bersalah” sebagai Tionghoa, ... Itu kan hanya kesan orang,
khususnya saya setelah membaca “Surat Terbuka untuk Ahok” yang bung tulis itu. Dan
kesan ini akan hilang sendiri setelah saya lebih lanjut mengenal pribadi bung, setelah
melihat lebih lanjut sikap bung dari tulisan atau pernyataan bung yang TIDAK lagi
menyalahkan ke-Tionghoaan bung itu. Itu sudah PASTI dan tidak perlu bung minta!
Kesan orang pada umumnya, termasuk saya tentu akan berubah sesuai sikap dan tindakan
bung. Ini pertama.
Kedua, sebenarnya bung sendiri juga sudah bersikap, TIDAK PEDULI dengan bagaimana
orang lain memandang bung, ... “sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga berotak
kelas dua tidak punya harga diri tergolong seorang merasa salah atau terlalu kuatir disalahkan
karena ke-Tionghoa-an dirinya maka mustahil mampu membangun negara bahkan potensial
menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO (Mungkir Cino) juga boleh-boleh
saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia).” Tapi, kenapa bung menuntut saya berhenti
menganggap bung KIRNO? Hehehee, ... Sekalipun dikalimat berikut bung juga bilang,
“Namun apabila anda anggap permohonan saya tidak relevan, silakan anda tolak permohonan
saya dan silakan anda anggap saya sesuai kehendak anda. Sebab setiap insan manusia berhak-asasi
untuk menganggap dan menilai orang lain.”
Dari pernyataan bung yang saya kutip itu, sebetulnya akan kembali ke pernyataan awal
saya yg berkesan: justru disinilah perbedaan sikap/karakter Ahok dan Jaya Suprana.
3
Ahok sudah bisa dengan TEGAS memperlakukan dirinya yang Tionghoa sebagai
INDONESIA ASLI, sedang bung masih saja menempatkan diri sebagai Tionghoa yang
bersalah. Itulah yang dibilang Ahok, bung karena Tionghoa jadi merasa warga klas-2.
BELUM menjadi INDONESIA ASLI! Bung boleh baca ulang email saya tgl. 6 April yl., ada
dibagian bawah. Kata-kata kasar, jorog Ahok tidak ada perlunya dikaitnya deengan
kerusuhan Mei ‘98, ... Lalu coba renungkan lebih lanjut kenyataan yg terjadi
sesungguhnya, bahwa sikap tengik sementara pengusaha Tionghoa berhasil hanyalah
“ALASAN” saja untuk meletupkan kerusuhan. Kalau saja perusuh-perusuh itu betul
marah, BENCI dan DENGKI pada sikap tengik sementara konglomerat Tionghoa itu, yang
petentengan dengan kekayaan, kemewahan tanpa pedulikan penduduk sekitar yang
papa-miskin, kenapa justru tidak menyasar mereka-mereka saja. HAJAR saja itu
Konglo-konglo HITAM tengik yg jelas memperkaya diri dengan BERSEKONGKOL
deengan penguasa! Karena jelas, memang mereka-mereka itulah yang sangat
MERUGIKAN NEGARA dan membuat rakyat banyak tetap papa-miskin selama ini!
Ternyata kenyataan yang terjadi konglomerat-hitam justru lolos dari sasaran, yang jadi
KORBAN adalah mayoritas mutlak Tionghoa menengah-bawah, yang jelas TIDAK
BERSALAH dan TIDAK BERDOSA! Lalu, kenapa mayoritas mutlak Tionghoa yang tidak
bersalah itu justru yang dijadikan tumbal, padahal itulah warga yang sudah
BETUL-BETUL menjadikan INDONESIA tanahairnya!
Jadi, untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk menegakkan INTEGRITAS
NASIONAL INDONESIA dengan baik, lebih dahulu harus memupuk KESADARAN
menghargai dirinya yang Sunda, yang Batak, yang Ambon, ... termasuk yang Tionghoa, lalu
memupuk KESADARAN untuk menerima dan menghormati segala perbedaan yang ada, ya
beda suku, beda etnis, beda budaya-tradisi, beda Agama bahkan juga beda pandangan
ideologi/politik. Hidup bersama, bekerja bersama, berjuang bersama-sama membangun
Indonesia, ... Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan masyarakat adil dan
makmur. Mengapa saya mengatakan lebih dahulu harus berani menghargai eksistensi
dirinya sendiri? Karena setelah bisa mengakui dan menghargai dirinya sendiri, orang itu
bisa tegak berdiri. Setelah dia bisa tegak berdiri baru berkemampuan menopang
BANGSAnya! Kalau dia manusia tidak bertulang, bagaimana mampu menopang
BANGSAnya?
Salam,
ChanCT
4
From: Jaya Suprana
Sent: Wednesday, April 8, 2015 6:41 AM
Pak Chan yth, mohon maaf saya masih melakukan kekeliruan menulis nama anda, maka
kini saya persingkat saja menjadi Chan. Semoga kali ini saya sudah tidak keliru lagi. Namun
jika masih keliru, mohon anda koreksi saya lagi. Maaf atas kebebalan saya. Terima kasih
anda menilai tanggapan saya menyejukkan padahal saya tidak ada niat untuk
menyejuk-nyejukkan namun sekadar tulus menghormati dan menghormati anda sebagai
sosok insan manusia yang telah menempuh perjuangan hidup penuh dengan kemelut deru
campur debu berpercik keringat, air mata dan darah dengan penuh ketegaran budi-pekerti.
Saya memang selalu mengagumi sesama manusia yang berhasil menempuh perjuangan
hidup secara bijak. Perjuangan melanglangbuana anda sampai ikut merasakan derita di
masa revolusi kebudayaan di daratan China dan kini menetap di Hongkong dengan tetap
begitu menyintai Indonesia sebagai Tanah Air anda benar-benar sangat menyentuh lubuk
sanubari saya. Perjuangan hidup anda benar-benar merupakan insprirasi bagi saya yang
tidak mengalami apa yang anda alami. Dari perjuangan hidup anda saya banyak memetik
pelajaran mengenai betapa kompleks keanekaragaman kehidupan dan peradaban umat
manusia di planet bumi ini yang sangat berharga bagi saya untuk melanjutkan perjuangan
yang dianugerahkan Prof Salim Said kepada saya yaitu ikut menegakkan pilar-pilar
Integritas Nasional Indonesia di tengah peradaban dan kebudayaan Bhinneka Tungga Ika
yang tiada dua di planet bumi ini. Dari perjuangan hidup anda , saya memperleh inspirasi
sekaligus motivasi untuk makin menyintai Tanah Air saya sampai akhir hayat dikandung
badan saya yang rasanya sudah tidak lama lagi.
Namun dengan penuh kerendahan saya mohon agar anda berkenan berhenti menganggap
saya "merasa bersalah" dan "merasa terhina" . Sudah berulang kali saya menegaskan
bahwa saya tidak pernah merasa bersalah dilahirkan sebagai warga Indonesia keturunan
Tionghoa namun para huruharawan yang menyalahkan saya dilahirkan sebagai keturunan
Tionghoa. Dan yang bilang bahwa seharusnya saya merasa terhina atas tuduhan-tuduhan
yang mengelas-duakan otak, rasialis, profokator, tidak bertulang, Kirno dan lain-lain hal
yang sebenarnya amused me very much , adalah teman-teman saya yang mengerti hukum
maka ngompori saya untuk melakukan somasi seperti Haji Lulung dikompori
teman-temannya untuk mensomasi pihak yang bilang dia berbahaya. Namun atas nasehat
teman-teman saya yang bijak, saya tidak akan melakukan somasi-somasian yang sama
sekali di luar suara hati nurani saya di samping tentu saja saya tidak mau kalah
berjiwa-besar ketimbang Haji Lulung . Maka dalam kesempatan ini dengan penuh
kerendahan hati saya memohon agar anda berhenti menganggap saya merasa bersalah
dan merasa terhina. Namun apabila anda anggap permohonan saya tidak relevan, silakan
5
anda tolak permohonan saya dan silakan anda anggap saya sesuai kehendak anda. Sebab
setiap insan manusia berhak-asasi untuk menganggap dan menilai orang lain.
Terima kasih atas saran anda agar saya bergabung di milis-milis anda yang di luar milis
group-independen prakarsa Prof Salim Said. Namun akibat saya gaptek maka saya mohon
anda berkenan direpotkan untuk meneruskan tanggapan-tanggapan saya ke milis-milis
anda di samping apabila anda merasa ada pembahasan yang perlu saya terlibat silakan
anda forward ke saya. Suatu kehormatan bagi saya untuk dilibatkan dalam
pembahasan-pembahasan milis-milis anda yang terhormat itu namun akibat kegap-tekkan
saya, terpaksa saya merepotkan anda.
Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana
jaya suprana
Pada 7 April 2015 19.21, Chan CT <[email protected]> menulis:
Bung Jaya yb,
Naah, ini satu balasan yang menyejukkan. Syukurlah kalau bung akhirnya bisa menanggapi
pendapat yang lain sebagai masukan, tidak lagi merasa “terhina”, sekalipun lepas dari
keharusan sependapat. Dan saya usul bung ikut bergabung dalam grup “Diskusi Kita” yang
dikelola bung Salim, sahabat kita bersama, biar nanti sekali-kali kita bisa bertemu
mendiskusikan masalah yang kebetulan menjadi perhatian dan menarik disitu. Jadi tidak
perlu merepotkan bung Salim untuk mem-Fw-kan email-email kita.
Dan, seandainya saja bung berkenan, masih cukup waktu luang ditengah kesibukan kerja,
sekalian ikutan dalam Grup Diskusi GELORA45 yang saya kelola. Kirimlah email kosong
kealamat:
[email protected] dan bung juga boleh masuk ke Web. GELORA45,
http://www.gelora45.com/ yang gunakan 2 bahasa, Tionghoa dan Indonesia, sebagai
satu sarana mempererat hubungan persahabatan 2 rakyat, Indonesia dan Tiongkok!
Hanya itulah yang bisa saya lakukan sesuai dengan kemampuan, ...
Terimakasih, ... dan saya juga senang bisa berkenalan dengan bung didunia maya ini.
Tapi bung Jaya, nama saya itu Chan CT, kok jadi balik lagi menjadi AT? Hehehee, ... Yaag,
nama di HK sesuai ejaan Kongfu, kalau di Indonesia menjadi Tan Tiong Tik.
Salam,
6
ChanCT
From: Jaya Suprana
Sent: Tuesday, April 7, 2015 7:27 PM
Pak AT Chan yth, kisah perjalanan hidup anda benar-benar sangat penuh dengan gelora
romantika dan dramatika. Saya juga punya sepupu yang berbakat pianis kelas dunia yang
hwa-kiauw ke China hanya untuk mengalami derita luar biasa yaitu kedua tangannya
dipukul sampai hancur dengan laras senapan oleh para pendekar revolusi kebudayaan.
Saya dapat merasakan betapa mendalam derita para korban revolusi kebudayaan di
daratan China yang setara dengan derita para korban tragedi G-30-S , holocaust, ISIS, Irak,
Suriah dan lain-lainnya yang semoga tidak terjadi di Tanah Air tercinta kita. Kisah
perjuangan hidup anda membuat saya makin menghormati, menghargai dan mengagumi
anda . Menurut saya, dengan begitu tulus terus lestari mengasih-sayangi Tanah Air anda
sudah mempersembahkan karsa dan karya pengabdian anda kepada Tanah Air yang tak
ternilai tinggi maknanya . Karena saya yakin bukanlah kebencian namun kasih-sayang
merupakan enerji yang terindah dan terdahsyat bagi kehidupan umat manusia . Suatu
kehormatan bagi saya dapat berkenalan dengan anda. Sekali lagi saya mohon
diperkenankan menyampaikan penghormatan dan penghargaan tulus saya kepada anda.
Salam hormat dari jaua suprana
jaya suprana
Pada 7 April 2015 18.09, Jaya Suprana <[email protected]> menulis:
Pak AT Chan yth, menurut saya perdebatan kita berdua konstruktif karena sepenuh hati
saya menghormati dan menghargai pendapat dan pandangan anda meski tidak semuanya
sama dengan pendapat dan pandangan saya . Bagi saya perbedaan itu justru merupakan
keindahan kehidupan. Betapa membosankannya hidup ini jika semuanya sama. Saya
melihat pada diri anda seorang tokoh yang mau dan mampu berpikir kritis tentang makna
kebangsaan dalam makna seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya . Saya banyak belajar
dari anda mengenai berbagai hal yang semula saya sama sekali tidak menyadarinya.
Masukan-masukan anda sangat berharga bagi saya yang dengan segala keterbatasan diri
saya ingin membantu menegakkan pilar-pilar Integritas Nasional di persada Nusantara
berbingkai Bhinekka Tunggal Ika yang terlanjur saya cintai ini . Senang dapat berkenalan
7
dengan anda dan semoga di masa mendatang kita bisa bersama membahas berbagai
masalah kehidupan di planet bumi nan sarat kemelut deru campur debu berpercik keringat
air mata dan darah ini. Salam hormat dari jaya suprana
jaya suprana
Pada 7 April 2015 15.08, Chan CT <[email protected]> menulis:
Bung Jaya yb,
Nampaknya pembicaraan kita sudah berkepanjangan dan ternyata tidak memasuki
masalah sikap dan pengertian kebangsaan, ... sedang seseorang mau bersikap KIRNO
maupun KIRIN adalah pilihan dan itu terserah saja maunya dia.
Saya juga sudah cukup banyak menguraikan pendapat saya, bung boleh setuju juga boleh
tidak. Bagaimana sikap dan langkah bung selanjutnya tentu sepenuhnya berada ditangan
bung sendiri! Saya tidak bermaksud merubah sikap/karakter seseorang dengan
komentar yang saya keluarkan itu.
Sebenarnya saja, dalam melinat satu PENDAPAT yang diajukan, bukan mengutamakan
SIAPA yang bilang, tapi cukup direnungkan saja baik-baik isi pendapat yang diajukan.
Terima-lah yang dirasa BENAR dan buang yang salah! Jadi siapa saya, bukanlah soal
penting!
Saya dilahirkan dalam keluarga peranakan Tionghoa, babah yg sudah sudah tidak
mengenal bhs. Tionghoa. Katakanlah hanya numpang lahir di Malang, (cuma Malangnya
bukan Malang = sial, tapi Malang Melintang didunia Kangauw. Hehehe) dan besar di
Jakarta. Seminggu menjelang G30S 1965, saya sudah terbang ke Beijing untuk
meneruskan sekolah. Ternyata nasib kurang beruntung, pertengahan tahun 1966 di
Beijing juga meletus RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) dimana semua sekolah
terhenti melancarkan revolusi ganyang-mengganyang itu. Lalu mengikuti seruan Ketua
Mao, kaum intelektual harus turun kedesa-desa menerima pendidikan kembali dari kaum
tani. Pertengahan tahun 1976 saya berkesempatan mengikuti arus Huakiao keluar dan
meneempuh hidup baru di HK, ... Wantu sungguh terbang dengan cepat, ternyata sekali
lewat sudah 1/2 abad hidup dirantau. Tersangkut di Hong Kong. Tapi kenyataan HIDUP
yang saya hadapi, sekalipun sudah berganti jubah berkewarganegaraan Tiongkok-HK,
hati dan jiwa saya TETAP INDONESIA! Diakui atau tidak sebagai Orang Indonesia,
kecintaan saya pada INDONESIA tetap melebihi Tiongkok, negeri leluhur. Sekalipun
8
diantara 2 negara ini, hidup saya 1/2 abad ini dilewatkan di Tiongkok/Hongkong, ... tapi
perhatian dan kepedulian saya tetap lebih besar dan berat pada perkembangan politik,
ekonomi dan kehidupan rakyat di Indonesia pada umumnya dan khususnya peranakan
Tionghoa atau suku Tionghoa di Indonesia.
Masalah pengabdian pada tanahair yang bung singgung, dalam kondisi saya sekarang ini,
tentu harus dikatakan TIDAK ADA yang bisa saya berikan pada Indonesia. Tenaga sudah
nyaris habis dimakan usia, keahlian kosong-melompong, apa lagi yang bisa disumbangkan
dengan tulang tua ini, ... oouh, nampaknya sudah TIDAK ada HARAPAN lagi bagi saya
untuk mengabdikan diri pada INDONESIA! Satu penyesalan dalam hidup yang harus saya
bawa mati! Apaboleh buat. Berbeda dengan bung yang bisa menepuk dada telah berbuat
banyak, BERJASA untuk Indonesia yag telah diakui tanahaiarnya itu!
Tapi, bung Jaya, mungkin bung juga pernah mendengar pujangga Tionghoa kuno yang
kira-kira mengatakan, “Kemampuan seseorang bisa besar bisa kecil, hidupnya mulia
selama sepenuh hati mengabdikan diri pada rakyat!”. Jadi JASA seseorang bukan hanya
dilihat BESAR jumlah dan nilai yg diberikan saja pada bangsa dan tanahairnya, tapi juga
dikaitkan deengan kemampuan dan kesungguhan hati orang berangkutan. Misalnya, bung
sebagai pengusaha yang kemampuannya lebih besar, sudah selayaknya bisa memberikan
sumbangan lebih besar pada bangsa dan tanah air. Tapi selama bung tidak SEPENUH
HATI, misalnya saja, sekali lagi penekanan saya pada misalnya saja, menggelapkan pajak,
lalu berkolusi dengan penguasa utk meraih keuntungan lebih besar, ... maka bung
betapapun besar yg dirasakan telah disumbangkan dan mendapatkan tanda JASA,
akhirnya juga akan TETAP dikutuk oleh rakyat! Sebaliknya saya yang tidak
berkemampuan, sekalipun sedikit saja sumbangan yang bisa diberikan, tapi karena saya
lakukan SEPENUH HATI, tetap hidup saya mulia. Lepas dari jubah warganegara yang
saya sandang!
Entah bung bisa menerima konsep pemikiran demikian tidak?
Salam,
ChanCT
From: Jaya Suprana
Sent: Monday, April 6, 2015 4:50 PM
9
Pak Chan CT yth , ( sebenarnya email yang anda tanggapi bukan balasan namun
pemberitahuan saja, makanya diawali dengan By The Way ) saya akui bahwa anda
memang konsekuen dan konsisten dalam mempertahankan kesan anda bahwa saya
memang tergolong seorang merasa salah, atau terlalu kuatir disalahkan karena
ke-Tionghoa-an dirinya. Entah berapa kali saya harus bilang bahwa sebenarnya saya tidak
merasa bersalah akibat tidak tahu bahwa saya keturunan Tionghoa sampai para
huruharawan menyadarkan saya bahwa saya harus merasa bersalah bahwa saya
keturunan Tionghoa bahkan mereka tidak peduli saya merasa bersalah atau tidak bersalah,
pokoknya karena saya keturunan Tionghoa maka harus dibasmi habis. Jadi sebenarnya
saya tidak merasa bersalah namun sebab saya sudah terlanjur dicap harus merasa
bersalah maka saya dipaksa untuk merasa bersalah padahal saya tidak merasa bersalah .
Kini saya jadi kuatir bahwa saya cinta Indonesia akibat merasa salah, atau terlalu kuatir
disalahkan karena ke-Tionghoa-an saya. Maka sesuai ajaran Gus Dur gitu aja repot maka
lebih baik saya akui (meski pun sebenarnya tidak namun demi menyesuaikan diri saya
dengan kesan anda tentang saya ) bahwa saya memang tergolong seorang merasa salah,
atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an dirinya. Maka kalimat pertama pada
email pemberitahuan itu perlu saya lengkapi dan koreksi menjadi begini saja : Pak Chan
CT yth, sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga berotak kelas dua tidak
punya harga diri tergolong seorang merasa salah atau terlalu kuatir disalahkan
karena ke-Tionghoa-an dirinya maka mustahil mampu membangun negara bahkan
potensial menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO (Mungkir
Cino) juga boleh-boleh saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia) karena saya
sudah bahagia banget, barusan lewat sms mahasuhu saya, Harry Tjan Silalahi
menyebut saya sebagai seorang dari sekian banyak Nation Builders ( of course
Indonesia ! ) lalu tadi pagi lewat telpon mahaguru saya Prof Salim Said menyebut
saya sebagai Pahlawan Integritas Nasional Indonesia di samping sebelumnya
Kementerian Kebudayaan sempat memberi surat penghargaan Pembina Kebudayaan
Nasional Indonesia . Namun saya tetap sadar bahwa segenap sebutan itu justru
jangan sampai membuat saya mabuk kepayang puas diri apalagi arogan merasa diri
pasti selalu benar sambil merendahkan orang lain , namun justru harus berjuang
lebih keras lagi di tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata di
persada Nusantara yang terlanjur sangat saya cintai ini. Salam MERDEKA dari jaya
suprana !
Dengan demikian saya telah berhasil menyesuaikan diri dengan kesan anda tentang saya
sebab memang tidak bisa tidak, anda pasti lebih tahu tentang diri saya ketimbang saya
sendiri. Selanjutnya saya tunggu tanggapan anda yang selalu inspiratif bagi saya untuk
mengenal diri saya sendiri . Hanya saja lama-lama suasana kok terkesan pincang sebab
yang menjadi obyek alias sasaran pembahasan bahkan penghakiman kok selalu saya
10
terus-menerus sehingga terkesan saya egosentris banget . Apabila diperbolehkan , kini tiba
giliran saya yang bertanya sebenarnya anda itu siapa, lahir di mana, kini tinggal di mana,
apakah anda pernah mengalami trauma huruhara rasialis di Indonesia dan karena setahu
saya anda keturunan Tionghoa maka ke golongan mana sebaiknya saya menggolongkan
anda seperti halnya anda menggolongkan saya. Namun dari email-email anda terdahulu
saya bisa menduga bahwa anda bukan tergolong warga kelas dua maka bukan golongan
merasa bersalah atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an dirinya maka
mustahil mampu membangun negara bahkan potensial menghianati negara sendiri . Pasti
anda sudah mampu membangun negara Indonesia dan mustahil anda menghianagi negara
sendiri yaitu Indonesia. Suatu kehormatan bagi saya dapat mengenal bahkan beruntung
bisa banyak belajar dari seorang nasionalis sejati berwawasan pandang luas dan jauh ke
depan seperti anda !
Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana
jaya suprana
Pada 6 April 2015 14.34, Chan CT <[email protected]> menulis:
Bung Jaya yb,
Entah mengapa, setelah membaca balasan bung ini, lagi-lagi saya berkesan bung
termasuk seorang merasa salah, atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an
anda. Berbeda deengan Ahok yang bersikap TEGAS dan memperlakukan dirinya sudah
sebagai INDONESIA ASLI titik. Tidak ada embel-embel perasaan lainnya lagi! Ahok
bicara sebagai ORANG INDONESIA, tidak hendak dibedakan dengan suku lain apalagi
menyeret atau dikaitkan dengan etnis Tionghoa, kalau ada kesalahan, adalah
tanggungjawabnya sendiri. Itulah yang saya bilang ketegasan SIKAP AHok!
Sedang dari email bung dibawah ini, bung masih saja berulang kali menekankan , bukan
China, ... bukan Tiongkok! Kenapa harus begitu? Karena bung BELUM bisa memperlakukan
diri atau memposisikan diri sepenuhnya adalah orang INDONESIA! Atau, masih saja
kuatir orang lain, khususnya saya meragukan ke-Indonesiaan bung karena etnis Tionghoa
yg melekat pada diri bung! Kalau sudah dinyatakan sebagai Pahlawan Integritas Nasional
Indonesia, kenapa masih pula harus ditegaskan bukan Tiongkok? Kalau Harry Tjan berani
menyebutkan Nation Builders pada bung, kenapa pula bung masih harus diberi penekanan
of course Indonesia, not China? Padahal kalau bung dari suku Jawa, Batak ataupun
11
Makasar, ... pasti bung merasa tidak ada perlunya penegasan “bukan Tiongkok” dan “of
course Indonesia, not China”, ... bukankah begitu!
Kedua, seandainya saja bung adalah seorang yg mempunyai pendirian tegas dimana
berpijak, ... juga tidak akan terjadi yg bung bilang “Yang merasa bahwa saya terhina itu
adalah teman-teman saya yang merasa tahu hukum maka menyarankan saya untuk
nyomasi anda”, .... Lho, yang merasa terhina atau tidak kan, mestinya bung sendiri! Bung
merasa tidak, ya tidak ada masalah dengan teman-teman yang berpendapat sebetulnya
bung merasa terhina itu! Peduli apa dengan perasaan teman-teman yg mengerti hukum?
Kalau bung kemudian menerima saran teman-teman dan merasa terhina, ya ajukan saja
dimana masalahnya dengan jelas dan terus terang. Ya, kita bicarakan atau diskusikan
dengan baik-baik saja. Sulit-sulit amat, sih?
Saya tetap berpegang pada pujangga kuno Tionghoa, “Yang bicara tidak berdosa, yang
mendengar patut waspada”. Kita tetap boleh bersahabat, kita harus bisa saling menerima
dan menghormati siapa saja dengan segala perbedaan yang ada, termasuk beda
pandangan ideologi/politik!
Salam,
ChanCT
From: Jaya Suprana
Sent: Monday, April 6, 2015 1:42 PM
By the way, pak Chan CT yth, sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga
berotak kelas dua tidak punya harga diri maka mustahil mampu membangun negara
bahkan potensial menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO
(Mungkir Cino) juga boleh-boleh saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia) karena
saya sudah bahagia banget, barusan lewat sms mahasuhu saya, Harry Tjan Silalahi
menyebut saya sebagai seorang dari sekian banyak Nation Builders ( of course
Indonesia, not China ! ) lalu tadi pagi lewat telpon mahaguru saya Prof Salim Said
menyebut saya sebagai Pahlawan Integritas Nasional Indonesia (bukan Tiongkok) di
samping sebelumnya Kementerian Kebudayaan sempat memberi surat
penghargaan Pembina Kebudayaan Nasional Indonesia ( bukan Tiongkok ). Namun
saya tetap sadar bahwa segenap sebutan itu justru jangan sampai membuat saya
mabuk kepayang puas diri apalagi arogan merasa diri pasti selalu benar sambil
12
merendahkan orang lain , namun justru harus berjuang lebih keras lagi di tempat
berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata di persada Nusantara yang
terlanjur sangat saya cintai ini. Salam MERDEKA dari jaya suprana !
jaya suprana
Pada 6 April 2015 11.47, Jaya Suprana <[email protected]> menulis:
Pak Chan CT yth, aduh pak, tolong kalau membaca itu yang teliti, cermat dan lengkap, dong ! Yang
merasa saya terhina itu bukan saya, pak ! Yang merasa bahwa saya terhina itu adalah teman-teman
saya yang merasa tahu hukum maka menyarankan saya untuk nyomasi anda yang semula saya
batalkan karena teringat kisah Haji Lulung yang juga tidak mau somasi Kak Slank, namun
teman-teman saya bilang bahwa saya tidak punya harga diri bahkan penghianat terhadap diri saya
sendiri . Maka saya menulis mohon petunjuk sebaiknya saya bersikap bagaimana.
Sebaiknya terlebih dahulu anda baca tulisan saya yang mohon petunjuk dari teman-teman yang
masih berpikiran waras termasuk anda tentunya itu, baru anda memberi tanggapan. Demi
mempermudah anda, saya perlu peringkas pertanyaan saya menjadi APAKAH SEBAIKNYA SAYA
TIDAK KALAH BERJIWA BESAR KETIMBANG HAJI LULUNG ATAU SAYA WAJIB PUNYA HARGA DIRI
MAKA MELAKUKAN SOMASI . Itu saja. Apabila masih terlalu sulit bagi anda untuk menjawabnya, ya
tidak usah dijawab saja sebab masih begitu banyak urusan bangsa dan negara Indonesia yang lebih
perlu anda urus ketimbang menjawab pertanyaan mubazir seorang titisan siluman Tie Pat Kay yang
tidak punya harga diri. Insya Allah, masih banyak teman-teman saya yang lain yang mungkin sudi
memberi petunjuk kepada saya.
Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana
jaya suprana
Pada 6 April 2015 10.50, Chan CT <[email protected]> menulis:
Bung Jaya yb,
Pertama saya hendak menyatakan maaf seandainya kata-kata yang saya tulis itu
kemudian dirasakan “MENGHINA”, padahal saya kenal juga tidak siapa itu yang bernama
Jaya Suprana, ... Apa perlunya dan manfaatnya menghina orang yang tidak dikenal?
Kecuali saya seorang yang hanya mencari perkara dan mau bikin ribut saja.
13
Kedua, Saya SETUJU, seandainya berkenan dan ada kesempatan kita bisa mendiskusikan
dengan kepala dingin, dimana “KESALAHAN” apa yang saya ajukan ini: “justru disinilah saya melihat perbedaan sikap/karakter yang mencolok antara Ahok dan Jaya Suprana !
Ahok sekalipun Tionghoa tetap TEGAK BERDIRI menjadi INDONESIA ASLI, sedang
Jaya Suprana berusaha menghilangkan ke-Tionghoa-annya untuk bisa jadi Indonesia.
Ketegasan mengakui kenyataan diri sebagai Tionghoa dengan perbedaan yang ada
sebagai bagian bangsa Indonesia tentu jauh akan lebih baik ketimbang merasa diri
bersalah dilahirkan sebagai Tionghoa dan lalu berusaha menghilangkan/menyalahkan
segala yg berbau Tionghoa untuk menjadi Indonesia, ... orang jenis kedua yg sudah
tidak mempunyai harga diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN
BANGSAnya? Lha dirinya sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat
menghadapi kesulitan segera dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga!
Orang Tionghoa bilang, itu orang yang tidak bertulang! Kalau di Indonesia dibilang apa,
ya? Kok lupa. Hehehee …..”
Bung tidak perlu terburu-buru merasa tersinggung dan terhinakan, karena saya
keluarkan kata-kata itu sepnuhnya dari perbandingan sikap/karakter kalian berdua,
Ahok dan Jaya Suprana yang tercetus dan dari “surat terbuka” bung itu, timbul kesan
perbedaan sikap/kareakter antara Ahok dan JS. Yang nampaknya bung dalam
memposisikan diri sebagai Tionghoa yang serba salah, atau bisa juga akibat dari
TRAUMA berlebih yg terjadi setelah jadi korban kerusuhan Mei 98.
Dan oleh karena itu, diemail yl. saya juga mengatakan, sebetulnya tidak perlu diseret
atau dikaitkan dengan kerusuhan Mei ‘98 yg terjadi di Nusantara ini, karena kenyataan
yg terjadi, bukan konflik horizontal. Huru-hara kerusuhan itu meletup bukan karena
tingkah tengik sementara pengusaha Tionghoa berhasil, yang superior, yg melecehkan
suku lain, ... sekalipun itu dijadikan alasan. Siapa juga tidak senang melihat tingkah tengik
begitu, tidak hanya kawan-kawan dari suku lain yang ada di Nusantara ini, saya yakin juga
termasuk mayoritas mutlak Tionghoa sendiri. Saya menyatakan utamanya
kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa yg berulang kali terjadi didalangi atau direkayasa
oleh sementara pejabat/jendral rasis, yang menjadikan Tionghoa sebagai TUMBAL
untuk mencapai tujuan politik tertentu! Dan, ... diemail sebelumnya, sepertinya bung juga
hendak membenarkan kesimpulan ini, dengan adanya pernyataan, bung sekalipun
SELAMAT dengan dilindungi TNI, tapi yang memanggil TNI itu adalah penduduk
kampung disekitar dari suku-suku lain, ... karena bung merasa tidak ada kemampuan untuk
memanggil TNI datang melindungi bung dari amuk kerusuhan. Saya juga pernah dengar,
sementara Tionghoa elite justru “MEMBAYAR” TNI dengan datangkan pancer untuk
14
melindungi keamanan rumahnya, dan selamat! Itulah pengakuan mereka, ... yg tentunya
juga nyata terjadi. SELAMAT karena dilindungi Tentara!
Dari PERNYATAAN bung yang termasuk dilindungi oleh penduduk kampung ini juga
sekaligus bisa membuktikan, seandainya saja ketika itu aparat keamanan Negara, Polisi
dan TNI sigap dan TEGAS menjalankan KEWAJIBANNYA, untuk mempertahankan
ketertiban dan keamanan masyarakat, kerusuhan Mei itu bisa dicegah dan TIDAK akan
terjadi! Sayang, seribu sayang, yang terjadi tidak begitu! Itulah KENYATAAN PAHIT
yang dihadapi bangsa ini dan harus berjuang lebih keras untuk mentuntaskan setiap
pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi. Jangan biarkan pelanggaran-pelanggaran
HAM lewat begitu saja, jangan biarkan tokoh-tokoh yang harus bertanggungjawab tetap
saja lolos dari jerat HUKUM.
Dari email bung sebelumnya, yang begitu sopannya, sampai-sampai saya risih
menanggapinya itu, ternyata bung menyangkal “tudingan” saya, dengan mengatakan
seringkali mengakui dirinya Tionghoa bahkan menyebutkan Tie Pat Kay (siluman babi).
Artinya bung merasa tidak menampatkan diri dalam posisi Tionghoa yang tidak mau
mengakui diri sebagai Tionghoa, dan, ... sedang berusaha menghilangkan segala yang
berbau TIonghoa.
Tapi, dari nada tanggapan bung kali ini, kesan saya bung juga SETUJU sepenuhnya
dengan pernyataan saya: “kalau dirinya sendiri saja sudah tidak diakui dan dihargai,
bagaimana dia bisa tegak berdiri membela BANGSA-nya!”, itu yang saya bilang sudah
menjadi manusia tidak bertulang, kata dalam bhs. Tionghoa. Tentu, kalau kesan saya ini
salah lagi, kita boleh lanjutkan diskusi ini.
Nah, kalau sudah begitu mestinya boleh berlakukan kata pujangga kuno Tionghoa, “Yang
berbicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada!” Katakanlah kesan saya dari
“Surat Terbuka” bung itu yang salah, ternyata bung tidak bersikap/berkarakter
sebagaimana saya tuding, ya cukup sebagai canang dan waspada saja.
Ketiga, sedikit koreksi saja, biasa di dunia maya saya gunakan nama saya cukup dengan
ChanCT, singkatan dari Chan Chung Tak. Bukan ATChan, tapi CT dan nama marga Chan
(She Tan, di Indonesia) tidak saya ditaroh dibelakang sebagaimana kebiasaan orang
barat. Saya tetap lebih suka gunakan tradisi Tionghoa sendiri, nama Marga tetap
didepan. Hehehee, ...
15
Tapi bung Jaya, saya senang bisa berbincang didunia maya ini, ... untuk mengenal bung
lebih baik.
Dan terakhir, terimakasih sebesar-besarnya pada bung Salim yg rajin-rajin amat
mem-FW-kan email-email kami berdua.
Salam-kenal,
ChanCT
From: Jaya Suprana <[email protected]>
Date: 2015-04-06 7:36 GMT+07:00
Prof Salim Said yang sangat saya hormati sebagai sahabat mau pun mahaguru politik
saya,
sesuai ajuran Prof. saya akan melanjutkan pembahasan mengenai problematika
minoritas yang sudah dianggap tiada lagi maka ditabukan oleh sebagian pihak di
Indonesia. Sebagai pembuka diskusi ke arah sana, saya memanfaatkan kasus ATChan
menyebut saya warga Tionghoa tidak punya harga diri bahkan potensial mengkhianati
bangsa Indonesia yang mustahil akan saya khianati sampai akhir zaman. Maka saya
melampirkan profokasi saya di email ini yang apabila Prof anggap trash harap langsung
didelete saja. Namun apabila Prof anggap perlu, silakan Prof. umumkan secara terbuka
di milis group-independen atau group lain-lainnya yang menurut Prof perlu dan layak
mengetahuinya.
Trims dan hormat dari
jaya suprana
Milis group independen sempat memuat tulisan Bpk ATChan sbb : …. justru disinilah saya
melihat perbedaan sikap/karakter yang mencolok antara Ahok dan Jaya Suprana ! Ahok
sekalipun Tionghoa tetap TEGAK BERDIRI menjadi INDONESIA ASLI, sedang Jaya
Suprana berusaha menghilangkan ke-Tionghoa-annya untuk bisa jadi Indonesia. Ketegasan
mengakui kenyataan diri sebagai Tionghoa dengan perbedaan yang ada sebagai bagian
bangsa Indonesia tentu jauh akan lebih baik ketimbang merasa diri bersalah dilahirkan
sebagai Tionghoa dan lalu berusaha menghilangkan/menyalahkan segala yg berbau
Tionghoa untuk menjadi Indonesia, ... orang jenis kedua yg sudah tidak mempunyai harga
16
diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN BANGSAnya? Lha dirinya
sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat menghadapi kesulitan segera
dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga! Orang Tionghoa bilang, itu orang
yang tidak bertulang! Kalau di Indonesia dibilang apa, ya? Kok lupa. Hehehee …..
Semula saya tidak serius memperhatikan tulisan pak ATChan tersebut apalagi karena
diakhiri dengan Hehehehe … Namun beberapa teman saya yang mengerti hukum menilai
tulisan Bpk ATChan tersebut adalah penghinaan terhadap diri saya yang bukan hanya
tersirat namun juga tersurat di dalam kalimat tulisan Bpk ATChan : orang jenis kedua yang
sudah tidak mempunyai harga diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN
BANGSAnya ? Lha dirinya sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat
menghadapi kesulitan segera dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga!
Orang Tionghoa bilang, itu orang yang tidak bertulang ! Kalau di Indonesia dibilang apa, ya?
Kok lupa. Hehehee ….. Maka teman-teman saya yang mengerti hukum menganjurkan saya
untuk mensomasi penulis kalimat yang memang bisa dianggap menghina saya sebagai
seorang yang tidak punya harga diri maka potensial akan menghianati bangsanya juga.
Semula saya sempat terpancing bisikan iblisi itu namun kebetulan saya sedang menulis
tentang Haji Lulung di mana terkisah bagaimana Haji Lulung tidak berhasil dikompori oleh
Pemuda Panca-Marga dan Badan Musyawarah Betawi untuk menyomasi Kaka “Slank”
yang saking geram terhadap Haji Lulung sampai di media online sempat menyebut Wakil
Ketua DPR Jakarta sebagai orang yang berbahaya . Haji Lulung bijak menyarankan bahwa
sebaiknya jangan bikin masalah baru dengan main somasi-somasian . Bahkan Haji Lulung
cukup berjiwa besar untuk arif-bijaksana bersabda “ Biar Allah yang memaafkan dia
(Kaka “Slank” )" . Maka saya menjadi malu sendiri. Jika seorang Haji Lulung bisa bersikap
sedemikian luhur kenapa saya harus kalah dibanding dia. Lebih baik saya mengurus urusan
lain yang lebih memiliki makna nyata bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia ketimbang
ecek-ecek seperti urusan saya dihina-hina . Namun setelah tahu bahwa saya tidak mau
menyomasi Bpk ATChan, para pengompor saya menyebut saya seorang pengecut yang
tidak punya harga diri bahkan penghianat terhadap diri sendiri. Mumpung saya masih
memiliki begitu banyak teman-teman lain yang masih mampu berpikir waras, maka saya
mohon petunjuk para teman yang masih mampu berpikir waras melalui milis
group-independen ini mengenai apakah sebaiknya saya tidak kalah berjiwa besar
ketimbang Haji Lulung atau saya wajib punya harga diri maka menyomasi Bpk
ATChan dengan anggapan bahwa beliau telah menghina saya.
Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana