diskusi integritas nasional indonesia -...

16
1 Diskusi Integritas Nasional Indonesia From: Chan CT Sent: Wednesday, April 8, 2015 4:38 PM Bung Jaya yb, Heeiii, ... sudah lama saya tidak dengar sebutan kebebalan. Sampai-sampai saya harus buka kamus Besar Bhs. Indonesia, celaka 12! Aaachh, tidak terlalu serius lah, mungkin sebutan nama dengan ejaan Kongfu itulah yang bikin kagok, tidak terbiasa apalagi dituliskan terbalik dengan kebiasaan orang barat. Biasanya CTChan, kok saya balik jadi ChanCT. Iya juga, daripada bikin bingung tentu saja bung boleh sebut Chan saja, nama marga ejaan Kongfu di HK. Bahkan saya akan lebih senang kalau panggilan pak bisa dirubah bung saja. Biar terasa diantara kita sederajat dan tidak menjadi tua banget disebut pak, dari bapak. Hehehee, ... Betuuul juga, setiap orang akan menempuh jalan hidupnya sendiri-sendiri, saya seringkali merenungkan nasib saya justru “BERUNTUNG” banget, hanya seminggu sebelum G30S meletup, sudah terbang ke Beijing. Lewat pertengahan Oktober URECA, Universitas Res Publica, dimana saya sekolah justru kena dampaknya, diobrak-abrik, dibakar perusuh, ... kalau saja saya di Jakarta bagaimana meneruskan sekolah? Ternyata setelah saya berhasil mengikuti kuliah di Univ. Qing Hua sejak awal Januari 1966, tidak lewat 7 bulan, 15 Juni 1966 di Beijing juga meletup RBKP, mahasiswa turun kejalan melancarkan revolusi Budaya. Sekolah berhenti juga! Tapi, apa yang saya alami, tidak seberat dan separah saudara-saudara, kawan-kawan yang hidup di tanahair. Bagaimana adik-adik saya dirumah harus menghadapi serbuan segerombolan pemuda dan Tentara, rumah diobrak-abrik, sampai akhirnya ayah dijebloskan dalam penjara selama 12 tahunan. Betapa kejam dan menakutkan gerakan yg dilancarkan jenderal Soeharto ketika itu, untuk pengejaran, penangkapan dan main “MENGHILANGKAN” orang-orang yang dituduh “KOMUNIS” itu. Benar-benar suasana BARBAR yang tidak kenal HUKUM lagi! Kejadian kekejaman pembunuhan-pembunuhan yang terungkap setelah Soeharto lengser, saya yakin bukan bualan apalagi fitnah. Kisah-kisah yang keluar dari mulut korban dan keluarganya, ... telah dilengkapi dengan kisah yang keluar dari mulut JAGAL, pelaku pembunuhan yang menceritakan kisah kekejamannya dengan BANGGA, ... bisa saya ikuti baik melalui tulisan-tulisan yang dikumpulkan oleh Majalah TEMPO, edisi khusus “Pengakuan Algojo 1965”, dari film "The act of killing" dan “Senyap” yang disutradarai

Upload: lamphuc

Post on 01-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Diskusi Integritas Nasional Indonesia

From: Chan CT

Sent: Wednesday, April 8, 2015 4:38 PM

Bung Jaya yb,

Heeiii, ... sudah lama saya tidak dengar sebutan kebebalan. Sampai-sampai saya harus

buka kamus Besar Bhs. Indonesia, celaka 12! Aaachh, tidak terlalu serius lah, mungkin

sebutan nama dengan ejaan Kongfu itulah yang bikin kagok, tidak terbiasa apalagi

dituliskan terbalik dengan kebiasaan orang barat. Biasanya CTChan, kok saya balik jadi

ChanCT. Iya juga, daripada bikin bingung tentu saja bung boleh sebut Chan saja, nama

marga ejaan Kongfu di HK. Bahkan saya akan lebih senang kalau panggilan pak bisa

dirubah bung saja. Biar terasa diantara kita sederajat dan tidak menjadi tua banget

disebut pak, dari bapak. Hehehee, ...

Betuuul juga, setiap orang akan menempuh jalan hidupnya sendiri-sendiri, saya seringkali

merenungkan nasib saya justru “BERUNTUNG” banget, hanya seminggu sebelum G30S

meletup, sudah terbang ke Beijing. Lewat pertengahan Oktober URECA, Universitas Res

Publica, dimana saya sekolah justru kena dampaknya, diobrak-abrik, dibakar perusuh, ...

kalau saja saya di Jakarta bagaimana meneruskan sekolah? Ternyata setelah saya

berhasil mengikuti kuliah di Univ. Qing Hua sejak awal Januari 1966, tidak lewat 7 bulan,

15 Juni 1966 di Beijing juga meletup RBKP, mahasiswa turun kejalan melancarkan

revolusi Budaya. Sekolah berhenti juga! Tapi, apa yang saya alami, tidak seberat dan

separah saudara-saudara, kawan-kawan yang hidup di tanahair. Bagaimana adik-adik saya

dirumah harus menghadapi serbuan segerombolan pemuda dan Tentara, rumah

diobrak-abrik, sampai akhirnya ayah dijebloskan dalam penjara selama 12 tahunan.

Betapa kejam dan menakutkan gerakan yg dilancarkan jenderal Soeharto ketika itu,

untuk pengejaran, penangkapan dan main “MENGHILANGKAN” orang-orang yang

dituduh “KOMUNIS” itu. Benar-benar suasana BARBAR yang tidak kenal HUKUM lagi!

Kejadian kekejaman pembunuhan-pembunuhan yang terungkap setelah Soeharto lengser,

saya yakin bukan bualan apalagi fitnah. Kisah-kisah yang keluar dari mulut korban dan

keluarganya, ... telah dilengkapi dengan kisah yang keluar dari mulut JAGAL, pelaku

pembunuhan yang menceritakan kisah kekejamannya dengan BANGGA, ... bisa saya ikuti

baik melalui tulisan-tulisan yang dikumpulkan oleh Majalah TEMPO, edisi khusus

“Pengakuan Algojo 1965”, dari film "The act of killing" dan “Senyap” yang disutradarai

2

oleh: Joshua Oppenheimer, maupun Film "Shadow Play" tahun 2001 oleh Hilton Cordell

Production dan Film "The New Rulers of The World" karya John Pilger. Menggambarkan

kekejaman kemanusiaan yang luar biasa dan tidak tersangka bisa terjadi di Nusantara ini

yg dikenal orang Indonesia sangat SANTUN itu! Saya bisa memahami dampak bagi

anak-anak keluarga KORBAN ketika itu, tentunya lebih parah, ... timbul trauma dan rasa

takut berlebih. Apalagi sampai sekarang, tetap tidak seorang pun yang harus

bertanggungjawab bisa diseret kedepan pengadilan dan dijatuhi hukuman

seberat-beratnya atas pelanggaran HAM-berat ini, tentu akan membuat rasa takut

berlebih kekejaman-kekejman kemanusiaan itu terjadi lagi! Mudah-mudahan saja

BANGSA ini sadar dan bisa menghindari terjadi kekejamanan kemanusiaan di Nusantara

ini.

Bung, dalam kenyataan hidup manusia pada umumnya, mempunyai kesamaan mudah

melihat kesalahan orang lain, tapi sulit mengetahui kesalahan diri sendiri. Itulah kata

pribahasa: “kutu-lalat diseberang sungai bisa nampak, tapi gajah didepan mata tidak

nampak”. Dan tentunya, saya sebagai manusia normal, juga tidak lolos dari kenyataan ini.

Mohon bung juga bisa tunjukan begitu melihat kesalahan saya! Tapi, sebaliknya juga Bung

boleh tidak mengakui “merasa bersalah” sebagai Tionghoa, ... Itu kan hanya kesan orang,

khususnya saya setelah membaca “Surat Terbuka untuk Ahok” yang bung tulis itu. Dan

kesan ini akan hilang sendiri setelah saya lebih lanjut mengenal pribadi bung, setelah

melihat lebih lanjut sikap bung dari tulisan atau pernyataan bung yang TIDAK lagi

menyalahkan ke-Tionghoaan bung itu. Itu sudah PASTI dan tidak perlu bung minta!

Kesan orang pada umumnya, termasuk saya tentu akan berubah sesuai sikap dan tindakan

bung. Ini pertama.

Kedua, sebenarnya bung sendiri juga sudah bersikap, TIDAK PEDULI dengan bagaimana

orang lain memandang bung, ... “sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga berotak

kelas dua tidak punya harga diri tergolong seorang merasa salah atau terlalu kuatir disalahkan

karena ke-Tionghoa-an dirinya maka mustahil mampu membangun negara bahkan potensial

menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO (Mungkir Cino) juga boleh-boleh

saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia).” Tapi, kenapa bung menuntut saya berhenti

menganggap bung KIRNO? Hehehee, ... Sekalipun dikalimat berikut bung juga bilang,

“Namun apabila anda anggap permohonan saya tidak relevan, silakan anda tolak permohonan

saya dan silakan anda anggap saya sesuai kehendak anda. Sebab setiap insan manusia berhak-asasi

untuk menganggap dan menilai orang lain.”

Dari pernyataan bung yang saya kutip itu, sebetulnya akan kembali ke pernyataan awal

saya yg berkesan: justru disinilah perbedaan sikap/karakter Ahok dan Jaya Suprana.

3

Ahok sudah bisa dengan TEGAS memperlakukan dirinya yang Tionghoa sebagai

INDONESIA ASLI, sedang bung masih saja menempatkan diri sebagai Tionghoa yang

bersalah. Itulah yang dibilang Ahok, bung karena Tionghoa jadi merasa warga klas-2.

BELUM menjadi INDONESIA ASLI! Bung boleh baca ulang email saya tgl. 6 April yl., ada

dibagian bawah. Kata-kata kasar, jorog Ahok tidak ada perlunya dikaitnya deengan

kerusuhan Mei ‘98, ... Lalu coba renungkan lebih lanjut kenyataan yg terjadi

sesungguhnya, bahwa sikap tengik sementara pengusaha Tionghoa berhasil hanyalah

“ALASAN” saja untuk meletupkan kerusuhan. Kalau saja perusuh-perusuh itu betul

marah, BENCI dan DENGKI pada sikap tengik sementara konglomerat Tionghoa itu, yang

petentengan dengan kekayaan, kemewahan tanpa pedulikan penduduk sekitar yang

papa-miskin, kenapa justru tidak menyasar mereka-mereka saja. HAJAR saja itu

Konglo-konglo HITAM tengik yg jelas memperkaya diri dengan BERSEKONGKOL

deengan penguasa! Karena jelas, memang mereka-mereka itulah yang sangat

MERUGIKAN NEGARA dan membuat rakyat banyak tetap papa-miskin selama ini!

Ternyata kenyataan yang terjadi konglomerat-hitam justru lolos dari sasaran, yang jadi

KORBAN adalah mayoritas mutlak Tionghoa menengah-bawah, yang jelas TIDAK

BERSALAH dan TIDAK BERDOSA! Lalu, kenapa mayoritas mutlak Tionghoa yang tidak

bersalah itu justru yang dijadikan tumbal, padahal itulah warga yang sudah

BETUL-BETUL menjadikan INDONESIA tanahairnya!

Jadi, untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk menegakkan INTEGRITAS

NASIONAL INDONESIA dengan baik, lebih dahulu harus memupuk KESADARAN

menghargai dirinya yang Sunda, yang Batak, yang Ambon, ... termasuk yang Tionghoa, lalu

memupuk KESADARAN untuk menerima dan menghormati segala perbedaan yang ada, ya

beda suku, beda etnis, beda budaya-tradisi, beda Agama bahkan juga beda pandangan

ideologi/politik. Hidup bersama, bekerja bersama, berjuang bersama-sama membangun

Indonesia, ... Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan masyarakat adil dan

makmur. Mengapa saya mengatakan lebih dahulu harus berani menghargai eksistensi

dirinya sendiri? Karena setelah bisa mengakui dan menghargai dirinya sendiri, orang itu

bisa tegak berdiri. Setelah dia bisa tegak berdiri baru berkemampuan menopang

BANGSAnya! Kalau dia manusia tidak bertulang, bagaimana mampu menopang

BANGSAnya?

Salam,

ChanCT

4

From: Jaya Suprana

Sent: Wednesday, April 8, 2015 6:41 AM

Pak Chan yth, mohon maaf saya masih melakukan kekeliruan menulis nama anda, maka

kini saya persingkat saja menjadi Chan. Semoga kali ini saya sudah tidak keliru lagi. Namun

jika masih keliru, mohon anda koreksi saya lagi. Maaf atas kebebalan saya. Terima kasih

anda menilai tanggapan saya menyejukkan padahal saya tidak ada niat untuk

menyejuk-nyejukkan namun sekadar tulus menghormati dan menghormati anda sebagai

sosok insan manusia yang telah menempuh perjuangan hidup penuh dengan kemelut deru

campur debu berpercik keringat, air mata dan darah dengan penuh ketegaran budi-pekerti.

Saya memang selalu mengagumi sesama manusia yang berhasil menempuh perjuangan

hidup secara bijak. Perjuangan melanglangbuana anda sampai ikut merasakan derita di

masa revolusi kebudayaan di daratan China dan kini menetap di Hongkong dengan tetap

begitu menyintai Indonesia sebagai Tanah Air anda benar-benar sangat menyentuh lubuk

sanubari saya. Perjuangan hidup anda benar-benar merupakan insprirasi bagi saya yang

tidak mengalami apa yang anda alami. Dari perjuangan hidup anda saya banyak memetik

pelajaran mengenai betapa kompleks keanekaragaman kehidupan dan peradaban umat

manusia di planet bumi ini yang sangat berharga bagi saya untuk melanjutkan perjuangan

yang dianugerahkan Prof Salim Said kepada saya yaitu ikut menegakkan pilar-pilar

Integritas Nasional Indonesia di tengah peradaban dan kebudayaan Bhinneka Tungga Ika

yang tiada dua di planet bumi ini. Dari perjuangan hidup anda , saya memperleh inspirasi

sekaligus motivasi untuk makin menyintai Tanah Air saya sampai akhir hayat dikandung

badan saya yang rasanya sudah tidak lama lagi.

Namun dengan penuh kerendahan saya mohon agar anda berkenan berhenti menganggap

saya "merasa bersalah" dan "merasa terhina" . Sudah berulang kali saya menegaskan

bahwa saya tidak pernah merasa bersalah dilahirkan sebagai warga Indonesia keturunan

Tionghoa namun para huruharawan yang menyalahkan saya dilahirkan sebagai keturunan

Tionghoa. Dan yang bilang bahwa seharusnya saya merasa terhina atas tuduhan-tuduhan

yang mengelas-duakan otak, rasialis, profokator, tidak bertulang, Kirno dan lain-lain hal

yang sebenarnya amused me very much , adalah teman-teman saya yang mengerti hukum

maka ngompori saya untuk melakukan somasi seperti Haji Lulung dikompori

teman-temannya untuk mensomasi pihak yang bilang dia berbahaya. Namun atas nasehat

teman-teman saya yang bijak, saya tidak akan melakukan somasi-somasian yang sama

sekali di luar suara hati nurani saya di samping tentu saja saya tidak mau kalah

berjiwa-besar ketimbang Haji Lulung . Maka dalam kesempatan ini dengan penuh

kerendahan hati saya memohon agar anda berhenti menganggap saya merasa bersalah

dan merasa terhina. Namun apabila anda anggap permohonan saya tidak relevan, silakan

5

anda tolak permohonan saya dan silakan anda anggap saya sesuai kehendak anda. Sebab

setiap insan manusia berhak-asasi untuk menganggap dan menilai orang lain.

Terima kasih atas saran anda agar saya bergabung di milis-milis anda yang di luar milis

group-independen prakarsa Prof Salim Said. Namun akibat saya gaptek maka saya mohon

anda berkenan direpotkan untuk meneruskan tanggapan-tanggapan saya ke milis-milis

anda di samping apabila anda merasa ada pembahasan yang perlu saya terlibat silakan

anda forward ke saya. Suatu kehormatan bagi saya untuk dilibatkan dalam

pembahasan-pembahasan milis-milis anda yang terhormat itu namun akibat kegap-tekkan

saya, terpaksa saya merepotkan anda.

Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana

jaya suprana

Pada 7 April 2015 19.21, Chan CT <[email protected]> menulis:

Bung Jaya yb,

Naah, ini satu balasan yang menyejukkan. Syukurlah kalau bung akhirnya bisa menanggapi

pendapat yang lain sebagai masukan, tidak lagi merasa “terhina”, sekalipun lepas dari

keharusan sependapat. Dan saya usul bung ikut bergabung dalam grup “Diskusi Kita” yang

dikelola bung Salim, sahabat kita bersama, biar nanti sekali-kali kita bisa bertemu

mendiskusikan masalah yang kebetulan menjadi perhatian dan menarik disitu. Jadi tidak

perlu merepotkan bung Salim untuk mem-Fw-kan email-email kita.

Dan, seandainya saja bung berkenan, masih cukup waktu luang ditengah kesibukan kerja,

sekalian ikutan dalam Grup Diskusi GELORA45 yang saya kelola. Kirimlah email kosong

kealamat:

[email protected] dan bung juga boleh masuk ke Web. GELORA45,

http://www.gelora45.com/ yang gunakan 2 bahasa, Tionghoa dan Indonesia, sebagai

satu sarana mempererat hubungan persahabatan 2 rakyat, Indonesia dan Tiongkok!

Hanya itulah yang bisa saya lakukan sesuai dengan kemampuan, ...

Terimakasih, ... dan saya juga senang bisa berkenalan dengan bung didunia maya ini.

Tapi bung Jaya, nama saya itu Chan CT, kok jadi balik lagi menjadi AT? Hehehee, ... Yaag,

nama di HK sesuai ejaan Kongfu, kalau di Indonesia menjadi Tan Tiong Tik.

Salam,

6

ChanCT

From: Jaya Suprana

Sent: Tuesday, April 7, 2015 7:27 PM

Pak AT Chan yth, kisah perjalanan hidup anda benar-benar sangat penuh dengan gelora

romantika dan dramatika. Saya juga punya sepupu yang berbakat pianis kelas dunia yang

hwa-kiauw ke China hanya untuk mengalami derita luar biasa yaitu kedua tangannya

dipukul sampai hancur dengan laras senapan oleh para pendekar revolusi kebudayaan.

Saya dapat merasakan betapa mendalam derita para korban revolusi kebudayaan di

daratan China yang setara dengan derita para korban tragedi G-30-S , holocaust, ISIS, Irak,

Suriah dan lain-lainnya yang semoga tidak terjadi di Tanah Air tercinta kita. Kisah

perjuangan hidup anda membuat saya makin menghormati, menghargai dan mengagumi

anda . Menurut saya, dengan begitu tulus terus lestari mengasih-sayangi Tanah Air anda

sudah mempersembahkan karsa dan karya pengabdian anda kepada Tanah Air yang tak

ternilai tinggi maknanya . Karena saya yakin bukanlah kebencian namun kasih-sayang

merupakan enerji yang terindah dan terdahsyat bagi kehidupan umat manusia . Suatu

kehormatan bagi saya dapat berkenalan dengan anda. Sekali lagi saya mohon

diperkenankan menyampaikan penghormatan dan penghargaan tulus saya kepada anda.

Salam hormat dari jaua suprana

jaya suprana

Pada 7 April 2015 18.09, Jaya Suprana <[email protected]> menulis:

Pak AT Chan yth, menurut saya perdebatan kita berdua konstruktif karena sepenuh hati

saya menghormati dan menghargai pendapat dan pandangan anda meski tidak semuanya

sama dengan pendapat dan pandangan saya . Bagi saya perbedaan itu justru merupakan

keindahan kehidupan. Betapa membosankannya hidup ini jika semuanya sama. Saya

melihat pada diri anda seorang tokoh yang mau dan mampu berpikir kritis tentang makna

kebangsaan dalam makna seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya . Saya banyak belajar

dari anda mengenai berbagai hal yang semula saya sama sekali tidak menyadarinya.

Masukan-masukan anda sangat berharga bagi saya yang dengan segala keterbatasan diri

saya ingin membantu menegakkan pilar-pilar Integritas Nasional di persada Nusantara

berbingkai Bhinekka Tunggal Ika yang terlanjur saya cintai ini . Senang dapat berkenalan

7

dengan anda dan semoga di masa mendatang kita bisa bersama membahas berbagai

masalah kehidupan di planet bumi nan sarat kemelut deru campur debu berpercik keringat

air mata dan darah ini. Salam hormat dari jaya suprana

jaya suprana

Pada 7 April 2015 15.08, Chan CT <[email protected]> menulis:

Bung Jaya yb,

Nampaknya pembicaraan kita sudah berkepanjangan dan ternyata tidak memasuki

masalah sikap dan pengertian kebangsaan, ... sedang seseorang mau bersikap KIRNO

maupun KIRIN adalah pilihan dan itu terserah saja maunya dia.

Saya juga sudah cukup banyak menguraikan pendapat saya, bung boleh setuju juga boleh

tidak. Bagaimana sikap dan langkah bung selanjutnya tentu sepenuhnya berada ditangan

bung sendiri! Saya tidak bermaksud merubah sikap/karakter seseorang dengan

komentar yang saya keluarkan itu.

Sebenarnya saja, dalam melinat satu PENDAPAT yang diajukan, bukan mengutamakan

SIAPA yang bilang, tapi cukup direnungkan saja baik-baik isi pendapat yang diajukan.

Terima-lah yang dirasa BENAR dan buang yang salah! Jadi siapa saya, bukanlah soal

penting!

Saya dilahirkan dalam keluarga peranakan Tionghoa, babah yg sudah sudah tidak

mengenal bhs. Tionghoa. Katakanlah hanya numpang lahir di Malang, (cuma Malangnya

bukan Malang = sial, tapi Malang Melintang didunia Kangauw. Hehehe) dan besar di

Jakarta. Seminggu menjelang G30S 1965, saya sudah terbang ke Beijing untuk

meneruskan sekolah. Ternyata nasib kurang beruntung, pertengahan tahun 1966 di

Beijing juga meletus RBKP (Revolusi Besar Kebudayaan Proletar) dimana semua sekolah

terhenti melancarkan revolusi ganyang-mengganyang itu. Lalu mengikuti seruan Ketua

Mao, kaum intelektual harus turun kedesa-desa menerima pendidikan kembali dari kaum

tani. Pertengahan tahun 1976 saya berkesempatan mengikuti arus Huakiao keluar dan

meneempuh hidup baru di HK, ... Wantu sungguh terbang dengan cepat, ternyata sekali

lewat sudah 1/2 abad hidup dirantau. Tersangkut di Hong Kong. Tapi kenyataan HIDUP

yang saya hadapi, sekalipun sudah berganti jubah berkewarganegaraan Tiongkok-HK,

hati dan jiwa saya TETAP INDONESIA! Diakui atau tidak sebagai Orang Indonesia,

kecintaan saya pada INDONESIA tetap melebihi Tiongkok, negeri leluhur. Sekalipun

8

diantara 2 negara ini, hidup saya 1/2 abad ini dilewatkan di Tiongkok/Hongkong, ... tapi

perhatian dan kepedulian saya tetap lebih besar dan berat pada perkembangan politik,

ekonomi dan kehidupan rakyat di Indonesia pada umumnya dan khususnya peranakan

Tionghoa atau suku Tionghoa di Indonesia.

Masalah pengabdian pada tanahair yang bung singgung, dalam kondisi saya sekarang ini,

tentu harus dikatakan TIDAK ADA yang bisa saya berikan pada Indonesia. Tenaga sudah

nyaris habis dimakan usia, keahlian kosong-melompong, apa lagi yang bisa disumbangkan

dengan tulang tua ini, ... oouh, nampaknya sudah TIDAK ada HARAPAN lagi bagi saya

untuk mengabdikan diri pada INDONESIA! Satu penyesalan dalam hidup yang harus saya

bawa mati! Apaboleh buat. Berbeda dengan bung yang bisa menepuk dada telah berbuat

banyak, BERJASA untuk Indonesia yag telah diakui tanahaiarnya itu!

Tapi, bung Jaya, mungkin bung juga pernah mendengar pujangga Tionghoa kuno yang

kira-kira mengatakan, “Kemampuan seseorang bisa besar bisa kecil, hidupnya mulia

selama sepenuh hati mengabdikan diri pada rakyat!”. Jadi JASA seseorang bukan hanya

dilihat BESAR jumlah dan nilai yg diberikan saja pada bangsa dan tanahairnya, tapi juga

dikaitkan deengan kemampuan dan kesungguhan hati orang berangkutan. Misalnya, bung

sebagai pengusaha yang kemampuannya lebih besar, sudah selayaknya bisa memberikan

sumbangan lebih besar pada bangsa dan tanah air. Tapi selama bung tidak SEPENUH

HATI, misalnya saja, sekali lagi penekanan saya pada misalnya saja, menggelapkan pajak,

lalu berkolusi dengan penguasa utk meraih keuntungan lebih besar, ... maka bung

betapapun besar yg dirasakan telah disumbangkan dan mendapatkan tanda JASA,

akhirnya juga akan TETAP dikutuk oleh rakyat! Sebaliknya saya yang tidak

berkemampuan, sekalipun sedikit saja sumbangan yang bisa diberikan, tapi karena saya

lakukan SEPENUH HATI, tetap hidup saya mulia. Lepas dari jubah warganegara yang

saya sandang!

Entah bung bisa menerima konsep pemikiran demikian tidak?

Salam,

ChanCT

From: Jaya Suprana

Sent: Monday, April 6, 2015 4:50 PM

9

Pak Chan CT yth , ( sebenarnya email yang anda tanggapi bukan balasan namun

pemberitahuan saja, makanya diawali dengan By The Way ) saya akui bahwa anda

memang konsekuen dan konsisten dalam mempertahankan kesan anda bahwa saya

memang tergolong seorang merasa salah, atau terlalu kuatir disalahkan karena

ke-Tionghoa-an dirinya. Entah berapa kali saya harus bilang bahwa sebenarnya saya tidak

merasa bersalah akibat tidak tahu bahwa saya keturunan Tionghoa sampai para

huruharawan menyadarkan saya bahwa saya harus merasa bersalah bahwa saya

keturunan Tionghoa bahkan mereka tidak peduli saya merasa bersalah atau tidak bersalah,

pokoknya karena saya keturunan Tionghoa maka harus dibasmi habis. Jadi sebenarnya

saya tidak merasa bersalah namun sebab saya sudah terlanjur dicap harus merasa

bersalah maka saya dipaksa untuk merasa bersalah padahal saya tidak merasa bersalah .

Kini saya jadi kuatir bahwa saya cinta Indonesia akibat merasa salah, atau terlalu kuatir

disalahkan karena ke-Tionghoa-an saya. Maka sesuai ajaran Gus Dur gitu aja repot maka

lebih baik saya akui (meski pun sebenarnya tidak namun demi menyesuaikan diri saya

dengan kesan anda tentang saya ) bahwa saya memang tergolong seorang merasa salah,

atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an dirinya. Maka kalimat pertama pada

email pemberitahuan itu perlu saya lengkapi dan koreksi menjadi begini saja : Pak Chan

CT yth, sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga berotak kelas dua tidak

punya harga diri tergolong seorang merasa salah atau terlalu kuatir disalahkan

karena ke-Tionghoa-an dirinya maka mustahil mampu membangun negara bahkan

potensial menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO (Mungkir

Cino) juga boleh-boleh saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia) karena saya

sudah bahagia banget, barusan lewat sms mahasuhu saya, Harry Tjan Silalahi

menyebut saya sebagai seorang dari sekian banyak Nation Builders ( of course

Indonesia ! ) lalu tadi pagi lewat telpon mahaguru saya Prof Salim Said menyebut

saya sebagai Pahlawan Integritas Nasional Indonesia di samping sebelumnya

Kementerian Kebudayaan sempat memberi surat penghargaan Pembina Kebudayaan

Nasional Indonesia . Namun saya tetap sadar bahwa segenap sebutan itu justru

jangan sampai membuat saya mabuk kepayang puas diri apalagi arogan merasa diri

pasti selalu benar sambil merendahkan orang lain , namun justru harus berjuang

lebih keras lagi di tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata di

persada Nusantara yang terlanjur sangat saya cintai ini. Salam MERDEKA dari jaya

suprana !

Dengan demikian saya telah berhasil menyesuaikan diri dengan kesan anda tentang saya

sebab memang tidak bisa tidak, anda pasti lebih tahu tentang diri saya ketimbang saya

sendiri. Selanjutnya saya tunggu tanggapan anda yang selalu inspiratif bagi saya untuk

mengenal diri saya sendiri . Hanya saja lama-lama suasana kok terkesan pincang sebab

yang menjadi obyek alias sasaran pembahasan bahkan penghakiman kok selalu saya

10

terus-menerus sehingga terkesan saya egosentris banget . Apabila diperbolehkan , kini tiba

giliran saya yang bertanya sebenarnya anda itu siapa, lahir di mana, kini tinggal di mana,

apakah anda pernah mengalami trauma huruhara rasialis di Indonesia dan karena setahu

saya anda keturunan Tionghoa maka ke golongan mana sebaiknya saya menggolongkan

anda seperti halnya anda menggolongkan saya. Namun dari email-email anda terdahulu

saya bisa menduga bahwa anda bukan tergolong warga kelas dua maka bukan golongan

merasa bersalah atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an dirinya maka

mustahil mampu membangun negara bahkan potensial menghianati negara sendiri . Pasti

anda sudah mampu membangun negara Indonesia dan mustahil anda menghianagi negara

sendiri yaitu Indonesia. Suatu kehormatan bagi saya dapat mengenal bahkan beruntung

bisa banyak belajar dari seorang nasionalis sejati berwawasan pandang luas dan jauh ke

depan seperti anda !

Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana

jaya suprana

Pada 6 April 2015 14.34, Chan CT <[email protected]> menulis:

Bung Jaya yb,

Entah mengapa, setelah membaca balasan bung ini, lagi-lagi saya berkesan bung

termasuk seorang merasa salah, atau terlalu kuatir disalahkan karena ke-Tionghoa-an

anda. Berbeda deengan Ahok yang bersikap TEGAS dan memperlakukan dirinya sudah

sebagai INDONESIA ASLI titik. Tidak ada embel-embel perasaan lainnya lagi! Ahok

bicara sebagai ORANG INDONESIA, tidak hendak dibedakan dengan suku lain apalagi

menyeret atau dikaitkan dengan etnis Tionghoa, kalau ada kesalahan, adalah

tanggungjawabnya sendiri. Itulah yang saya bilang ketegasan SIKAP AHok!

Sedang dari email bung dibawah ini, bung masih saja berulang kali menekankan , bukan

China, ... bukan Tiongkok! Kenapa harus begitu? Karena bung BELUM bisa memperlakukan

diri atau memposisikan diri sepenuhnya adalah orang INDONESIA! Atau, masih saja

kuatir orang lain, khususnya saya meragukan ke-Indonesiaan bung karena etnis Tionghoa

yg melekat pada diri bung! Kalau sudah dinyatakan sebagai Pahlawan Integritas Nasional

Indonesia, kenapa masih pula harus ditegaskan bukan Tiongkok? Kalau Harry Tjan berani

menyebutkan Nation Builders pada bung, kenapa pula bung masih harus diberi penekanan

of course Indonesia, not China? Padahal kalau bung dari suku Jawa, Batak ataupun

11

Makasar, ... pasti bung merasa tidak ada perlunya penegasan “bukan Tiongkok” dan “of

course Indonesia, not China”, ... bukankah begitu!

Kedua, seandainya saja bung adalah seorang yg mempunyai pendirian tegas dimana

berpijak, ... juga tidak akan terjadi yg bung bilang “Yang merasa bahwa saya terhina itu

adalah teman-teman saya yang merasa tahu hukum maka menyarankan saya untuk

nyomasi anda”, .... Lho, yang merasa terhina atau tidak kan, mestinya bung sendiri! Bung

merasa tidak, ya tidak ada masalah dengan teman-teman yang berpendapat sebetulnya

bung merasa terhina itu! Peduli apa dengan perasaan teman-teman yg mengerti hukum?

Kalau bung kemudian menerima saran teman-teman dan merasa terhina, ya ajukan saja

dimana masalahnya dengan jelas dan terus terang. Ya, kita bicarakan atau diskusikan

dengan baik-baik saja. Sulit-sulit amat, sih?

Saya tetap berpegang pada pujangga kuno Tionghoa, “Yang bicara tidak berdosa, yang

mendengar patut waspada”. Kita tetap boleh bersahabat, kita harus bisa saling menerima

dan menghormati siapa saja dengan segala perbedaan yang ada, termasuk beda

pandangan ideologi/politik!

Salam,

ChanCT

From: Jaya Suprana

Sent: Monday, April 6, 2015 1:42 PM

By the way, pak Chan CT yth, sebenarnya saya tidak peduli saya dianggap warga

berotak kelas dua tidak punya harga diri maka mustahil mampu membangun negara

bahkan potensial menghianati negara sendiri atau apa pun, mau dibilang KIRNO

(Mungkir Cino) juga boleh-boleh saja, asal jangan KIRIN (Mungkir Indonesia) karena

saya sudah bahagia banget, barusan lewat sms mahasuhu saya, Harry Tjan Silalahi

menyebut saya sebagai seorang dari sekian banyak Nation Builders ( of course

Indonesia, not China ! ) lalu tadi pagi lewat telpon mahaguru saya Prof Salim Said

menyebut saya sebagai Pahlawan Integritas Nasional Indonesia (bukan Tiongkok) di

samping sebelumnya Kementerian Kebudayaan sempat memberi surat

penghargaan Pembina Kebudayaan Nasional Indonesia ( bukan Tiongkok ). Namun

saya tetap sadar bahwa segenap sebutan itu justru jangan sampai membuat saya

mabuk kepayang puas diri apalagi arogan merasa diri pasti selalu benar sambil

12

merendahkan orang lain , namun justru harus berjuang lebih keras lagi di tempat

berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata di persada Nusantara yang

terlanjur sangat saya cintai ini. Salam MERDEKA dari jaya suprana !

jaya suprana

Pada 6 April 2015 11.47, Jaya Suprana <[email protected]> menulis:

Pak Chan CT yth, aduh pak, tolong kalau membaca itu yang teliti, cermat dan lengkap, dong ! Yang

merasa saya terhina itu bukan saya, pak ! Yang merasa bahwa saya terhina itu adalah teman-teman

saya yang merasa tahu hukum maka menyarankan saya untuk nyomasi anda yang semula saya

batalkan karena teringat kisah Haji Lulung yang juga tidak mau somasi Kak Slank, namun

teman-teman saya bilang bahwa saya tidak punya harga diri bahkan penghianat terhadap diri saya

sendiri . Maka saya menulis mohon petunjuk sebaiknya saya bersikap bagaimana.

Sebaiknya terlebih dahulu anda baca tulisan saya yang mohon petunjuk dari teman-teman yang

masih berpikiran waras termasuk anda tentunya itu, baru anda memberi tanggapan. Demi

mempermudah anda, saya perlu peringkas pertanyaan saya menjadi APAKAH SEBAIKNYA SAYA

TIDAK KALAH BERJIWA BESAR KETIMBANG HAJI LULUNG ATAU SAYA WAJIB PUNYA HARGA DIRI

MAKA MELAKUKAN SOMASI . Itu saja. Apabila masih terlalu sulit bagi anda untuk menjawabnya, ya

tidak usah dijawab saja sebab masih begitu banyak urusan bangsa dan negara Indonesia yang lebih

perlu anda urus ketimbang menjawab pertanyaan mubazir seorang titisan siluman Tie Pat Kay yang

tidak punya harga diri. Insya Allah, masih banyak teman-teman saya yang lain yang mungkin sudi

memberi petunjuk kepada saya.

Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana

jaya suprana

Pada 6 April 2015 10.50, Chan CT <[email protected]> menulis:

Bung Jaya yb,

Pertama saya hendak menyatakan maaf seandainya kata-kata yang saya tulis itu

kemudian dirasakan “MENGHINA”, padahal saya kenal juga tidak siapa itu yang bernama

Jaya Suprana, ... Apa perlunya dan manfaatnya menghina orang yang tidak dikenal?

Kecuali saya seorang yang hanya mencari perkara dan mau bikin ribut saja.

13

Kedua, Saya SETUJU, seandainya berkenan dan ada kesempatan kita bisa mendiskusikan

dengan kepala dingin, dimana “KESALAHAN” apa yang saya ajukan ini: “justru disinilah saya melihat perbedaan sikap/karakter yang mencolok antara Ahok dan Jaya Suprana !

Ahok sekalipun Tionghoa tetap TEGAK BERDIRI menjadi INDONESIA ASLI, sedang

Jaya Suprana berusaha menghilangkan ke-Tionghoa-annya untuk bisa jadi Indonesia.

Ketegasan mengakui kenyataan diri sebagai Tionghoa dengan perbedaan yang ada

sebagai bagian bangsa Indonesia tentu jauh akan lebih baik ketimbang merasa diri

bersalah dilahirkan sebagai Tionghoa dan lalu berusaha menghilangkan/menyalahkan

segala yg berbau Tionghoa untuk menjadi Indonesia, ... orang jenis kedua yg sudah

tidak mempunyai harga diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN

BANGSAnya? Lha dirinya sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat

menghadapi kesulitan segera dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga!

Orang Tionghoa bilang, itu orang yang tidak bertulang! Kalau di Indonesia dibilang apa,

ya? Kok lupa. Hehehee …..”

Bung tidak perlu terburu-buru merasa tersinggung dan terhinakan, karena saya

keluarkan kata-kata itu sepnuhnya dari perbandingan sikap/karakter kalian berdua,

Ahok dan Jaya Suprana yang tercetus dan dari “surat terbuka” bung itu, timbul kesan

perbedaan sikap/kareakter antara Ahok dan JS. Yang nampaknya bung dalam

memposisikan diri sebagai Tionghoa yang serba salah, atau bisa juga akibat dari

TRAUMA berlebih yg terjadi setelah jadi korban kerusuhan Mei 98.

Dan oleh karena itu, diemail yl. saya juga mengatakan, sebetulnya tidak perlu diseret

atau dikaitkan dengan kerusuhan Mei ‘98 yg terjadi di Nusantara ini, karena kenyataan

yg terjadi, bukan konflik horizontal. Huru-hara kerusuhan itu meletup bukan karena

tingkah tengik sementara pengusaha Tionghoa berhasil, yang superior, yg melecehkan

suku lain, ... sekalipun itu dijadikan alasan. Siapa juga tidak senang melihat tingkah tengik

begitu, tidak hanya kawan-kawan dari suku lain yang ada di Nusantara ini, saya yakin juga

termasuk mayoritas mutlak Tionghoa sendiri. Saya menyatakan utamanya

kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa yg berulang kali terjadi didalangi atau direkayasa

oleh sementara pejabat/jendral rasis, yang menjadikan Tionghoa sebagai TUMBAL

untuk mencapai tujuan politik tertentu! Dan, ... diemail sebelumnya, sepertinya bung juga

hendak membenarkan kesimpulan ini, dengan adanya pernyataan, bung sekalipun

SELAMAT dengan dilindungi TNI, tapi yang memanggil TNI itu adalah penduduk

kampung disekitar dari suku-suku lain, ... karena bung merasa tidak ada kemampuan untuk

memanggil TNI datang melindungi bung dari amuk kerusuhan. Saya juga pernah dengar,

sementara Tionghoa elite justru “MEMBAYAR” TNI dengan datangkan pancer untuk

14

melindungi keamanan rumahnya, dan selamat! Itulah pengakuan mereka, ... yg tentunya

juga nyata terjadi. SELAMAT karena dilindungi Tentara!

Dari PERNYATAAN bung yang termasuk dilindungi oleh penduduk kampung ini juga

sekaligus bisa membuktikan, seandainya saja ketika itu aparat keamanan Negara, Polisi

dan TNI sigap dan TEGAS menjalankan KEWAJIBANNYA, untuk mempertahankan

ketertiban dan keamanan masyarakat, kerusuhan Mei itu bisa dicegah dan TIDAK akan

terjadi! Sayang, seribu sayang, yang terjadi tidak begitu! Itulah KENYATAAN PAHIT

yang dihadapi bangsa ini dan harus berjuang lebih keras untuk mentuntaskan setiap

pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi. Jangan biarkan pelanggaran-pelanggaran

HAM lewat begitu saja, jangan biarkan tokoh-tokoh yang harus bertanggungjawab tetap

saja lolos dari jerat HUKUM.

Dari email bung sebelumnya, yang begitu sopannya, sampai-sampai saya risih

menanggapinya itu, ternyata bung menyangkal “tudingan” saya, dengan mengatakan

seringkali mengakui dirinya Tionghoa bahkan menyebutkan Tie Pat Kay (siluman babi).

Artinya bung merasa tidak menampatkan diri dalam posisi Tionghoa yang tidak mau

mengakui diri sebagai Tionghoa, dan, ... sedang berusaha menghilangkan segala yang

berbau TIonghoa.

Tapi, dari nada tanggapan bung kali ini, kesan saya bung juga SETUJU sepenuhnya

dengan pernyataan saya: “kalau dirinya sendiri saja sudah tidak diakui dan dihargai,

bagaimana dia bisa tegak berdiri membela BANGSA-nya!”, itu yang saya bilang sudah

menjadi manusia tidak bertulang, kata dalam bhs. Tionghoa. Tentu, kalau kesan saya ini

salah lagi, kita boleh lanjutkan diskusi ini.

Nah, kalau sudah begitu mestinya boleh berlakukan kata pujangga kuno Tionghoa, “Yang

berbicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada!” Katakanlah kesan saya dari

“Surat Terbuka” bung itu yang salah, ternyata bung tidak bersikap/berkarakter

sebagaimana saya tuding, ya cukup sebagai canang dan waspada saja.

Ketiga, sedikit koreksi saja, biasa di dunia maya saya gunakan nama saya cukup dengan

ChanCT, singkatan dari Chan Chung Tak. Bukan ATChan, tapi CT dan nama marga Chan

(She Tan, di Indonesia) tidak saya ditaroh dibelakang sebagaimana kebiasaan orang

barat. Saya tetap lebih suka gunakan tradisi Tionghoa sendiri, nama Marga tetap

didepan. Hehehee, ...

15

Tapi bung Jaya, saya senang bisa berbincang didunia maya ini, ... untuk mengenal bung

lebih baik.

Dan terakhir, terimakasih sebesar-besarnya pada bung Salim yg rajin-rajin amat

mem-FW-kan email-email kami berdua.

Salam-kenal,

ChanCT

From: Jaya Suprana <[email protected]>

Date: 2015-04-06 7:36 GMT+07:00

Prof Salim Said yang sangat saya hormati sebagai sahabat mau pun mahaguru politik

saya,

sesuai ajuran Prof. saya akan melanjutkan pembahasan mengenai problematika

minoritas yang sudah dianggap tiada lagi maka ditabukan oleh sebagian pihak di

Indonesia. Sebagai pembuka diskusi ke arah sana, saya memanfaatkan kasus ATChan

menyebut saya warga Tionghoa tidak punya harga diri bahkan potensial mengkhianati

bangsa Indonesia yang mustahil akan saya khianati sampai akhir zaman. Maka saya

melampirkan profokasi saya di email ini yang apabila Prof anggap trash harap langsung

didelete saja. Namun apabila Prof anggap perlu, silakan Prof. umumkan secara terbuka

di milis group-independen atau group lain-lainnya yang menurut Prof perlu dan layak

mengetahuinya.

Trims dan hormat dari

jaya suprana

Milis group independen sempat memuat tulisan Bpk ATChan sbb : …. justru disinilah saya

melihat perbedaan sikap/karakter yang mencolok antara Ahok dan Jaya Suprana ! Ahok

sekalipun Tionghoa tetap TEGAK BERDIRI menjadi INDONESIA ASLI, sedang Jaya

Suprana berusaha menghilangkan ke-Tionghoa-annya untuk bisa jadi Indonesia. Ketegasan

mengakui kenyataan diri sebagai Tionghoa dengan perbedaan yang ada sebagai bagian

bangsa Indonesia tentu jauh akan lebih baik ketimbang merasa diri bersalah dilahirkan

sebagai Tionghoa dan lalu berusaha menghilangkan/menyalahkan segala yg berbau

Tionghoa untuk menjadi Indonesia, ... orang jenis kedua yg sudah tidak mempunyai harga

16

diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN BANGSAnya? Lha dirinya

sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat menghadapi kesulitan segera

dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga! Orang Tionghoa bilang, itu orang

yang tidak bertulang! Kalau di Indonesia dibilang apa, ya? Kok lupa. Hehehee …..

Semula saya tidak serius memperhatikan tulisan pak ATChan tersebut apalagi karena

diakhiri dengan Hehehehe … Namun beberapa teman saya yang mengerti hukum menilai

tulisan Bpk ATChan tersebut adalah penghinaan terhadap diri saya yang bukan hanya

tersirat namun juga tersurat di dalam kalimat tulisan Bpk ATChan : orang jenis kedua yang

sudah tidak mempunyai harga diri begini, bagaimana bisa berjuang untuk KEPENTINGAN

BANGSAnya ? Lha dirinya sendiri saja dia sudah tidak bisa menghargainya, disatu saat

menghadapi kesulitan segera dan mudah saja dia akan menghianati bangsanya juga!

Orang Tionghoa bilang, itu orang yang tidak bertulang ! Kalau di Indonesia dibilang apa, ya?

Kok lupa. Hehehee ….. Maka teman-teman saya yang mengerti hukum menganjurkan saya

untuk mensomasi penulis kalimat yang memang bisa dianggap menghina saya sebagai

seorang yang tidak punya harga diri maka potensial akan menghianati bangsanya juga.

Semula saya sempat terpancing bisikan iblisi itu namun kebetulan saya sedang menulis

tentang Haji Lulung di mana terkisah bagaimana Haji Lulung tidak berhasil dikompori oleh

Pemuda Panca-Marga dan Badan Musyawarah Betawi untuk menyomasi Kaka “Slank”

yang saking geram terhadap Haji Lulung sampai di media online sempat menyebut Wakil

Ketua DPR Jakarta sebagai orang yang berbahaya . Haji Lulung bijak menyarankan bahwa

sebaiknya jangan bikin masalah baru dengan main somasi-somasian . Bahkan Haji Lulung

cukup berjiwa besar untuk arif-bijaksana bersabda “ Biar Allah yang memaafkan dia

(Kaka “Slank” )" . Maka saya menjadi malu sendiri. Jika seorang Haji Lulung bisa bersikap

sedemikian luhur kenapa saya harus kalah dibanding dia. Lebih baik saya mengurus urusan

lain yang lebih memiliki makna nyata bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia ketimbang

ecek-ecek seperti urusan saya dihina-hina . Namun setelah tahu bahwa saya tidak mau

menyomasi Bpk ATChan, para pengompor saya menyebut saya seorang pengecut yang

tidak punya harga diri bahkan penghianat terhadap diri sendiri. Mumpung saya masih

memiliki begitu banyak teman-teman lain yang masih mampu berpikir waras, maka saya

mohon petunjuk para teman yang masih mampu berpikir waras melalui milis

group-independen ini mengenai apakah sebaiknya saya tidak kalah berjiwa besar

ketimbang Haji Lulung atau saya wajib punya harga diri maka menyomasi Bpk

ATChan dengan anggapan bahwa beliau telah menghina saya.

Terima kasih dan salam hormat dari jaya suprana