dimensi kebudayaan dalam islam

Upload: kang-sol

Post on 05-Jul-2015

452 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DIMENSI KEBUDAYAAN DALAM ISLAMDisusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam (MSI)

Disusun oleh Kelompok 5 : 1. Enden Rohimah 2. Siti Maryam 3. Siti Nurmila Hafshah 4. Kankan Ainulyaqin

STAI AL-MASTHURIYAH TIPAR - SUKABUMI 2010

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, rahmat dan karuniaNya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya sampai akhir zaman nanti. Penyusunan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Metodologi membantu Kami Studi kami, Islam (MSI) Kami salaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah sehingga kami dapat menyelesaikan ini jauh dari penyusunan makalah ini. menyadari bahwa makalah kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami selaku penyusun, umumnya bagi pembaca. Amien.

Sukabumi, Juni 2011 Penyusun

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................. DIMENSI KEBUDAYAAN DALAM ISLAM A. B. Kebudayaan .................................................................... Kebudayaan Islam dan Ciri-Cirinya ................................

i ii 1 9

ii

DIMENSI KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

A. Kebudayaan Manusia, adalah makhluk Allah, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah (Baca Q.S. al-An'am: 165 dan Q.S. Fathir: 39). Manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia, sehingga disebut juga sebagai makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi sudah barang tentu bergumul dan bergulat dengan dayanya dunia, serta terhadap segala budi segi, dan masalah dayanya dan serta tantangan-tantangannya, dengan menggunakan budi dan menggunakan menggunakan segala kemampuannya baik yang bersifat cipta, rasa maupun karsa, Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan manusia dengan dunia itu Tetapi tidaklah justeru selalu hams diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah dan menyesuaikan din tuntutan lingkungannya. diwujudkan dalam sikap aktif, memanfaatkan lingkungannya untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Dari hubungan yang bersifat aktif itu tumhuhlah kebudayaan. Apa arti dan ulasan makna yang terkandung dalam istilah kebudayaan banyak dikaji oleh para ahli. Berikut ini hendak dikemukakan beberapa pendapat para ahli sehubungan dengan masalah tersebut. St. Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa kebudayaan adalah "manifestasi dari cara berfikir Pengertian ini amat luas, karena semua laku dan perbuatan manusia dapat dikategorikan hasil cara berfikir, bahwa perasaan pun, menurut beliau, termasuk fikiran juga.

1

Pengertian yang lebih luas lagi dikemukakan oleh Ki Sarmidi Mangunkaro (almarhum), seorang politikus yang aktif datam kebudayaan, menyatakan bahwa kebudayaan adalah segala yang merupakan (bersifat) hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya Dikatakan lebih luas, karena hasil kerja jiwa manusia mencakup kerja periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imajinasi dan fakultas-fakultas rohani manusia lainnya. Hanya saja dalam definisi tersebut lebih ditekankan pada hasil kerja jiwa manusia, dan belum ditegaskan fungsi raga (jasmani) manusia dan dalam rohani rangka (jiwa), penciptaan material kebudayaan tersebut. Padahal totalitas manusia adalah mencakup jasmani atau substance dan spiritual substance secara seimbang, dan masing-masing kebudayaan. Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoreningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Disamping itu Koentjoroningrat juga mengemukakan adanya tiga (3) wujud dari kebudayaan, yaitu: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan sebagainya; 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam prakteknya, wujud kebudayaan tersebut mempunyai peranan dalam penciptaan

2

tidak terpisah satu dengan yang lain. Sehingga bila digambarkan dalam suatu bagan adalah sebagai berikut:

3

Keterangan: 1. Wujud ide-ide/gagasan-gagasan dan sebagainya 2. Wujud tingkah laku berpola 3. Wujud material dengan segala variasinya. Wujud-wujud kebudayaan tersebut juga didapati pada isi-isi kebudayaan, sehingga bagannya sebagai berikut :

Keterangan: Lingkaran A, 8, C adalah wujud-wujud kebudayaan, sedangkan nomor 1 s/d 7 adalah isi kebudayaan. Wujud dan isi kebudayaan yang dimiliki oleh manusia pada gilirannya akan mewarnai konsep tentang manusia itu.

4

Mengenai isi atau ruang lingkup kebudayaan itu adalah luas sekali, mencakup segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia. Hanya saja ada sementara ahli yang memasukkan agama sebagai salah satu isi kebudayaan. Hal ini tentu merupakan persoalan tersendiri yang perlu didudukkan secara proporsional. Agama yang ada di dunia ini pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam dua (2) macam, yaitu agama samawi/wahyu (revealed religion) dan agama bukan wahyu/agama budaya (non-revealed religion). Jenis agama yang pertama bukanlah produk manusia tidak berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan. Karena itu tidak bisa dimasukkan dalam bagian kebudayaan. Sedangkan jenis agama yang kedua, karena merupakan produk manusia dan berasal dari manusia, maka dapat dikategorikan ke dalam bagian kebudayaan. Definisi-definisi yang telah dikemukakan terdahulu nampaknya belum menyinggung tujuan dari kebudayaan itu sendiri, sehingga kebudayaan dan bisa atau jadi menimbulkan malahan ataupun kesejahteraan manusia, baik manusia, individu sebaliknya masyarakat,

menimbulkan malapetaka bagi kehidupan dan penghidupan maupun individu dan masyarakat sekaligus. Karena itu di sini perlu dikemukakan definisi kebudayaan yang lebih lengkap. Endang beberapa Saifuddin Anshari, para ahli setelah tentang mempelajari pengertian pandangan

kebudayaan, kemudian dia sampai pada rumusannya sendiri tentang kebudayaan, yaitu bahwa: "kebudayaan (kultur) adalah hasil karya-cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh manusia) dengan kekuatan

5

jiwa (pikiran, perasaan, kamauan, intuisi, imajinasi dan fakultas-fakultas dan rohaniah (hidup lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (hidup rohaniah) penghidupan jasmaniah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik individu maupun masyarakat, ataupun individu dan masyarakat. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari definisi tersebut, yaitu bahwa: a. Kebudayaan manusia; b. Yang menjadi bahan kebudayaan adalah alam, baik bahan alam yang ada pada diri manusia maupun bahan alam yang terdapat di luar diri manusia; c. Yang dijadikan alat penciptaan kebudayaan adalah jiwa dan raga (jasmani) manusia. Termasuk ke dalam jiwa adalah: periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imaginasi dan bagian-bagian rohani manusia lainnya; d. Ruang lingkup kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia; e. Pada garis besarnya kebudayaan dapat dibedakan atas kebudayaan immateri dan kebudayaan materi; f. Tujuan kebudayaan adalah untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, atau individu dan masyarakat sekaligus. adalah man-made atau karya/ciptaan

6

g. Kebudayaan

merupakan

jawaban

atas

tantangan,

tuntutan dan dorongan intra diri manusia dan dari ekstra diri manusia; dan h. Kebudayaan itu dapat diwariskan dan diwarisi melalui proses pendidikan dan kebudayaan. B. Kebudayaan Islam dan Ciri-Cirinya Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa agama samawi (revealed religion/agama wahyu) bukanlah termasuk kebudayaan, karena ia bukan produk manusia, tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang telah menurunkan wahyu kepada utusanNya, untuk disebarkan kepada umat manusia. Agama Islam termasuk agama samawi (agama para wahyu), sehingga tidak termasuk telah kebudayaan. mendorong Namun demtktan agama untuk Islam

pemelukknya

menciptakan

kebudayaan dengan berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya sebagai berikut: a. Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal manusia pada tempat yang terhormat dan menyuruh manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam, di samping dzikir kepada Allah Penciptanya. Hal ini dapat difahami dari firmanNya dalam Q.S. Ali Imran ayat 190-191. b. Agama dan Islam mewajibkan ilmu, kepada tiap-tiap dapat pemelukknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari menuntut sebagaimana difahami dari firman Allah Q.S. Al-Mujadalah ayat 11. dan hadits Nabi SAW. menuntut ilmu wajib bagi setiap orang

7

Islam, serta hadits Nabi SAW.: "Carilah ilmu walaupun di negeri Cina. c. dari d. Agama ibu Islam melarang dan orang bertaqlid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa lebih dahulu, walau bapak nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S, al-Isra' ayat 36. Agama Islam juga mendorong dan menggalakkan para pemeluknya agar selalu menggali hal-hal yang baru atau mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada masyarakat. Hal ini dapat difahami dart firman Allah dalam Q.S. Alam Nasyrah ayat 7-8, dan hadits Nabi SAW.: Barang siapa yang berinisiatif (memulai suatu cara keduniaan) yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala untuk orang yang langsung melaksanakannya itu sampai hari kiamat. e. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk mencari keridlaan Allah dalam semua nikmat yang telah diterimanya dan menyuruh mempergunakan hakhaknya atas keduniaan dalam pimpinan dan aturan agama. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Qashash ayat 77. f. ke Agama Islam juga menganjurkan para pemeluknya daerah/negeri fikiran, lain untuk menjalin dan silaturrahmi pandangan. agar pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan (komunikasi) dengan bangsa atau golongan lain, saling bertukar pengetahuan Sebagaimana dapat difahami dari firman Allah dalam Q.S. Al-Hajj: 46 dan sebagainya, serta hadits Nabi SAW.: "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (ciptakan

8

stabilitas

keamanan

dan

perdamaian),

hubungkan

sillaturrahmi (persaudaraan, komunikasi dan konsultasi), berilah makan (tingkatkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya) dan shalatlah di tengah-tengah malam sementara manusia sedang asyik tidur nyenyak, pasti engkau akan masuk surga (mencapai kebahagiaan hidup) dengan selamat dan sejahtera (H.R. At-Tirmidzi). g. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapapun datangnya, dengan Catalan harus melalui proses seleksi, sehingga dapat menemukan ide, gagasan, teori atau pandangan yang sesuai dengan petunjukNya. Sebagaimana dapat difahami dari firman Nya dalam Q.S. al-Zumar ayat 17-18. Sebenamya masih banyak ajaran-ajaran Allah dan rasulNnya yang membicarakan masalah tersebut, letapi dari ketujuh point tersebut sudah dapat difahami bahwa ajaran agama Islam memang benar-benar seginya. mendorong Dengan muslim, para pemeluknya dan atau menyuruh mereka untuk menciptakan kebudayaan tepatnya dalam berbagai sebagai adanya mesti isyarat disebut berarti bahwa kebudayaan Islam atau lebih disebut kebudayaan adanya. Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dahulu apa sebenarnya kebudayaan Islam (muslim) itu sendiri. Sidi Gazalba menyatakan bahwa kebudayaan Islam dalam manusia "cara yang berfikir dan cara merasa taqwa atau yang dapat menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekumpulan membentuk masyarakat", disarikan sebagai "cara hidup taqwa'.

9

Menurut menempuh menghentikan

Sidi

Gazalba, syariat, larangan.

bahwa

cara

hidup suruhan

taqwa serta

jalan

menjalankan Syariat

mengikatkan/

mempertalikan muslim kepada prinsip-prinsip tertentu yang digariskan oleh Al-Qur'an dan as sunnah/hadits (naqal). Karena itu akal dalam kegiatnnya mengatur kehidupan merujuk gerak kepada atau naqal, prinsip dengan yang kata lain gerak akal atau dalam kegiatan kebudayaan itu memang dari akal, tetapi asas itu dipegangi kegiatannya adalah dari naqal. Dari asas yang ditentukan dan digariskan oleh naqal itu kemudian adalah menentukan cara pelaksanaannya. Karena itu yang merupakan karya manusia dalam kebudayaan Islam ialah cara pelaksanaan yang bersifat dinamik, sedangkan prinsip-prinsipnya dari Allah dan bersifat serba tetap. Nilai asas (root values) prinsip-prinsip itu digariskan oleh syariat, ada nilai yang baik (wajib); nilai setengah bailk (sunnat); nilai netral yakni baik tidak dan burukpun tidak (Jaiz/mubah); ada nilai setengah buruk (makruh); dan ada pula nilai buruk (haram). Cara pelaksanaan prinsip-prinsip itu difikirkan oleh ijtihad (instrumental valuesnya) dan dikerjakan oleh tangan, sedangkan kemauan untuk mengerjakan itu dipancarkan oleh taqwa. Namun demikian kita harus mampu mendudukkan secara proporsional, mana yang termasuk nilai asa (root values) dan mana pula yang termasuk cara pelaksanaan (instrumental values). Sebab kadangkala ada sesuatu yang nampaknya cara merupakan cara pelaksanaan, puasa dan tetapi yang sebenamya adalah nilai asas (root values). Sebagai contoh: pelaksanaan shalat, sebagainya,

10

sebagaimana yang terulang dalam nash yang jelas dalam syariat, harus didudukkan sebagai root values, bukan instrumental values, karena itu bukan kebudayaan. Di lain pihak Endang Saifuddin Anshari, mempertanyakan Adakah kebudayaan Islam itu"? Menurut pendapatnya, bahwa karena kebudayaan itu man-made (karya budaya manusia), maka yang jelas-jelas ada ialah kebudayaan muslim itu dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu: 1) kebudayaan muslim yang Islami, yakni kebudayaan karya budaya muslim yang commited pada al-islam, dan 2) kebudayaan muslim yang tidak Islami, yakni kebudayaan muslim yang tidak comitted pada al-islam. Muslim yang committed pada al-islam ialah muslim yang mengimani (menghayati), Namun mengilmui, Endang mengamalkan, Saifuddin Anshari dan juga mendakwahkan Islam, serta sabar dalam ber Islam. demikian memper-masalahkan tentang "apakah mungkin tercipta kebudayaan yang seratus persen Islami di dunia ini'? Dalam hal ini dia telah menjelaskan bahwa kebudayaan itu karya manusia, sedangkan di dunia ini tidak ada seorang pun (kecuali Rasul) yang sempurna. Karena itu tidak mungkin mengharapkan sesuatu kesempurnaan dari sesuatu yang tidak seratus persen sempurna. Tercapainya kesempurnaan adalah tujuan ideal manusia, namun bukan tugas manusia. Tugas manusia bukan sampai pada kesempurnaan, melainkan bergerak, berupaya dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Karena itu kebudayaan muslim nilainya tidak mutlak, terikat oleh ruang dan waktu, terbuka untuk revisi, koreksi

11

dan reevaluasi. Setiap muslim berhak untuk berimprovisasi (melakukan sesuatu) dalam mengkulturkan natur dan dalam mengislamkan kultur sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya, yang masing-masing bisa berbeda dengan lainnya. Apabila kebudayaan muslim sudah dimutlakkan, yang nilai kemutlakannya disamakan dengan al-Islam, maka akan timbul kemandekan kebudayaan yang pada giliran selanjutnya akan menjadi barang antik yang tidak berguna lagi, serta daya kreativitasnya akan terhenti. Dengan memperhatikan pendapat Endang Saifuddin Anshari tersebut, yakni bahwa ada kebudayaan muslim Istami (committed pada al-Islam), dan ada kebudayaan muslim yang tidak Islami (tidak committed pada al-Islam), berakibat memaksa kita untuk menyeleksi kembali hasil karya (budaya) muslim pada masa keemasan/kejayaannya. Jika buah/hasil karya itu berasal dari muslim yang tidak committed pada al-Islam, maka haruslah dikeluarkan dari kebudayaan dan peradapan Islam. Berbeda dengan pendapat Kuntowijoyo, yang menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang muncul, memancar dari agama Islam, atau semua budaya (karya manusia) yang terpengaruh oleh karena ada agama Islam. Kebudayaan Islam itu mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu: sistem nilainya; sistem pengetahuan; dan sistem simbol. Dan kita tidak perlu membicarakan apakah budaya Islam itu Islami atau tidak Islami, sebab hal ini tidak lagi menanyakan masalah kebudayaan. Dalam arti bahwa budaya itu Istami atau tidak, adalah di luar wewenang atau di luar budaya itu sendiri, karena hal itu berarti kita kembali ke normatif.

12

Sedangkan Nourouzzaman Shiddiqi tidak memberikan definisi tentang kebudayaan Islam (muslim), tetapi dia mengemukakan ciri-cirinya yaitu: (1) (2) bernafaskan hasil buah tauhid, pikir dan karena tauhidlah yang adalah menjadi pokok ajaran Islam; pengolahannya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan membahagiakan umat manusia. Sebab Islam diturunkan dan Nabi SAW. diutus adalah untuk membawa rahmat bagi semesta alam. Disamping itu manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi dengan dibebani tugas untuk menjaga keindahan ciptaan Allah ini. Sebagaimana firmanNya datam Q.S. al-A'raf : 56, yang maksudnya "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah dalam (Allah) memperbaikinya"; ayat 77 dan yang firmanNya Q.S. Al-Qashash

maksudnya: Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah. berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan". Karena itulah produk budaya yang membawa kepada malapetaka dan kehancuran, jelas tidak termasuk kebudayaan yang bercirikan Islam. Setelah dikemukakan beberpa pandangan para ahli ataupun ciri-ciri kebudayaan Islam (muslim) tersebut, maka ada satu hal yang disepakati oleh mereka, yaitu bahwa berkembangnya kebudayaan-menurut pandangan Islam bukanlah value-free (bebas nilai), tetapi justeru value-bound (terikat oleh nilai). Keterikatan terhadap nilai tersebut

13

bukan hanya terbatas pada wilayah nilai insani, tetapi juga menembus pada nilai Ilahi sebagai pusat nilai, yakni keimanan kepada Allah, dan iman ini akan mewarnai semua aspek kehidupan atau mempengaruhi nilai-nilai lain. Untuk memperjelas statement tersebut, barangkali perlu dijelaskan hirarki tata nilai itu sendiri serta hubungan antara satu dengan lainnya. Menurut Prof. Dr. Noeng Muhadjir "bahwa secara hirarkis nilai dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu (1) nilai-nilai Ilahiyah, yang terdiri dari nilai ubudiyah dan niali muamalah; (2) nilai etik insani, yang terdiri dari: nilai rasional; nilai sosial; nilai individual; nilaj biofisik; nilai ekonomik; nilai politik; dan nilai aestetik. Masing-masing nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

14

Dari paradigma tersebut dapat difahami bahwa nilai Ilahi (nilai hidup etik religius) memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya. Di samping itu, nilai ilahi mempunyai konsekwensi pada nilai lainnya, dan sebaliknya nilai lainnya memerlukan konsultasi pada nilai ilahi, sehingga relasi/ hubungannya ter-masuk vertikal Unier. Sedangkan nilai hidup insani (tujuh nilai insani tersebut) mempunyai relasi sederajat dan masing-masing tidak harus saling berkonsultasi, sehingga hubungannya termasuk horizontal-lateral. Mungkin kita bertanya "apakah yang sosial lebih tinggi dari pada individual"? Filsafat hidup

15

bangsa Indonesia mendudukkan keduanya sederajat, tetapi ada keharusan terapan nilai individual harus mempertimbangkan konsekwensi sosialnya, demikian pula terapan nilai sosial harus mempertimbangkan konsekwensi individualnya, atau menurut istilah lainnya keseimbangan antara kepentingan individual dan sosial. Karena itu realisasinya termasuk lateral-sekuler. Terapan nilai rasional (misalnya mengejar prestasi studi) juga harus diimbangi dengan konsekwensi biofisiknya (seperti: menjaga kesehatan, mengatur makan dan istirahat). Karena itu hubungan yang biofisik dengan yang rasional juga lateralsekuensial. Demikian pula yang biofisik dengan yang aestitis, dan sebagainya. Sedangkan hirarki nilai menurut Sidi Cazalba adalah sebagai berikut: (1) nilai-nilai yang wajib (paling baik); (2)nilai-nilai yang sunnah (baik); (3)nilai-nilai yang jaiz/mubah (netral); (4)nilai-nilai yang makruh (tak disukai/setengah buruk); dan (5)nilai-nilai yang haram (buruk). Nilai-nilai tersebut cukupannya menyangkut seluruh bidang, yaitu menyangkut: nilai ilahiyah ubudiyah, ilahiyah muamalah, dan nilai etik insani yang terdiri dari: nilai sosial, rasional, individual, biofisik, ekonomi, politik, dan aestetik. Dan satu sudah nilai barang kewajiban tentu nilai-nilai dapat yang jelek tidak mana dikembangkan/ditinggalkan. Namun demikian sama-sama masih didudukkan kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan kewajiban yang lain yang lebih rendah menurut Noeng Muhadjir. Contohnya: kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi

16

dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas politik, ekonomi, dan sebagainya. Disamping itu masing-masing bidang nilai masih dapat dirinci mana yang esensial dan mana yang instrumental. Misalnya: pakaian jilbab bagi kaum wanita, ini menyangkut dua nilai tersebut, yaitu nilai esensial, dalam hal ini ibadah menutup aurat, sedangkan nilai. insaninya bentuk, (instrumental) model, adalah cara nilai aestetik, dan sehingga wama, memakai

sebagainya dapat bervariasi sepanjang memenuhi syarat menutup aurat. Di samping itu tata nilai atau hubungan antara nilai Ilahi sebagai sumber nilai dan esensi nilai, dengan nilai-nilai etik insani lainnya dapat digambarkan dalam paradigma berikut:

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga (3) wilayah nilai, pusat yaitu nilai, pertama: yang wilayah pusat yang merupakan berisi nilai-nilai ilahiyah

ubudiyah. Intinya adalah nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT. dan iman ini akan mewarnai semua aspek kehidupan, atau mempengruhi nilai-nilai yang lain. Wilayah kedua, adalah nilai-nilai ilahiyah muamalah, yakni merupakan nilai-

17

nilai terapan yang bersumber pada wahyu, dan sudah mulai jelas pembidangan aspek-aspek hidup, yang mencakup: politik, ekonomi, sosial, individual, rasional, aestetika dan sebagainya. Wilayah ketiga adalah nilai-nilai insani yang meliputi 7 (tujuh) nilai sebagaimana tersebut di atas. Hal yang perlu disadari adalah bahwa semakin kuat rembesan iman (wilayah pertama) ke dalam wilayah kedua dan ketiga, maka nilai-nilai insani itu semakin diwarnai oleh jiwa keagamaan. Disamping itu bilamana nilai-nilai insani mengunci diri pada wilayah ketiga, maka tidak akan disinari oleh nilai-nilai Ilahi (agama). tetapi bilamana diteruskan sampai ke wilayah pertama, maka ia akan menemukan rootvaluesnya, dan semua aspek hidup harus bermuara pada nilai-nilai llahiyah tersebut. Dari situ akan diketahui pula mana kebudayaan Islami dan atau ciri-cirinya.

18