"dilema anggaran pemerintah daerah: antara pembangunan dan tuduhan korupsi"- universitas...
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Setelah terpuruk di
bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia pun memasuki babak baru.
Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan pemerintahan yang
memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan mandiri.
Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kota serta kabupaten yang menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 hanya merupakan perpanjangan tangan dari pusat di daerah. Dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi
pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam
pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian pelayanan antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis maupun teknis. Secara politis,
desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu
tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis Besar Haluan Negara. Secara teknis,
masih terdapat sejumlah persiapan besar yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian
kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan aplikatif.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan pada
prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, peraturan Pemerintah Nomor 84 Thaun 2000, selanjutnya
Peraturan Pemerintah Nomor 104,105,106,107,108,109 da 110 Tahun 2000, terakhir Undang
Undang Nomor 23 tahun 2014 dan ketentuan lainnya yang relevan.1
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa
dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan
1. Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers.
Halaman 2.
prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Untuk mendukung penyelenggaran otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggungjawab di daerah secara proposional dan berkeadilan, jauh dari praktik-
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah
pusat dan daerah. Setelah itu arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru.
Makin terpuruknya di bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia pun
memasuki babak baru. Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan
pemerintahan yang memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan
mandiri.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa
baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila
tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya masyarakat di
luar pulau Jawa.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah konkret
pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu caranya dengan
adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya otonomi daerah
ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi beberapa kali revisi
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang Nomor 9 tahun
2015 dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada perubahan yang signifikan
yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam otonomi daerah. Hal ini
menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di Indonesia walaupun
menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri.
Terbukti setelah adanya Otonomi Daerah pembangunan di berbagai daerah baik secara
struktural dan non struktural terus meningkat walaupun akibatnya terjadinya desentralisasi
korupsi akibat dari berlakunya Otonomi daerah ini. Permasalahan pun muncul apakah peran
DPRD dalam mengawasi pembangunan daerah belum maksimal sehingga permasalahan
desentralisasi korupsi ini terjadi. 2
2. Widjaja HAW. ibid
II. Rumusan Masalah
1. Mengapa sistem otonomi daerah di indonesia cenderung mengesampingkan
pembangunan real baik yang diinginkan minoritas pejabat daerah dan mayoritas
masyarakat daerah?
2. Apakah blue print dari otonomi daerah di indonesia dewasa ini sudah dapat dikatakan
dalam klasifikasi berhasil baik struktural dan nonstruktural?
PEMBAHASAN
Peran DPRD dalam mengawasi alur APBD dalam kerangka aspirasi masyarakat
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan
nuansa baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut
apabila tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat
dan masyarakat di luar pulau Jawa.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah
konkret pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu
caranya dengan adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya
otonomi daerah ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi
beberapa kali revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang
Nomor No.9 tahun 2015. Dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada
perubahan yang signifikan yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam
otonomi daerah. Hal ini menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di
Indonesia walaupun menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri.
Dalam perspektif GDJ.Hewing, diungkapkan bahwa: akibat kebijakan Orde Baru yang
sentralistis secara langsung berimbas pada ketimpangan yang dahsyat antara pusat dan
daerah, antara Jawa dan diluar pulau Jawa, dan hal ini hampir terjadi dalam segala lini
kehidupan.
Setelah pasca Reformasi memuat kebijakan yang menjadikan otonomi daerah sebagai
salah satu agenda penting yang perlu dilansir oleh pemerintah pasca Orde Baru. Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa baru dan
menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila tidak
ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat dan
masyarakat di luar pulau Jawa.
Desentralisasi sebenarnya telah lama dianut dalam negara Indonesia. Secara historis,
asas Desentralisasi itu telah dilaksanakan di zaman Hindia Belanda dengan adanya Undang-
Undang Desentralisasi (Decentrakisatie Wet) tahun 1903. Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah telah mengubah paradigma sentaralisasi kekuasaan
pemerintah ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan
bertanggung jawab kepada daerah. Namun demikian, kita tidak boleh mengabaikan bahwa
ada prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom, yaitu :
Pertama, adanya kesiapan SDM aparatur yang berkeahlian
Kedua, adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah.
Ketiga, Tersedianya fasilitas pendukung pelaksaaan pemerintah daerah.
Keempat, bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam koridor
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah suatu proses yang
berlangsung secara terus-menerus dengan corak dan intensitas dan prestasi yang berbeda-
beda sesuai dengan kapabilitas aparatur dan tersedianya sumber daya. Keberhaslan
pencapaian tujuan negara akan ditentukan oleh “semangat para penyelenggara negara” seperti
yang digariskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Anggaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan
pelayanan ublik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar dapa
mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi Daerah yang mulai berlaku sejak di sahkan dalam Undang Undang Nomor 23
Tahun 2014 membuka peluang untuk setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali untuk dapat
menentukan nasib daerah mereka sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak pusat yang
berlebihan. Namun tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan
bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan
Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan
otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Problem lainnya yang juga menjadi sebab tidak optimalnya otonomi daerah yaitu
Kesenjangan antara otonomi daerah dengan NKRI ternyata dijembatani oleh demokrasi,
Tanpa diperantarai oleh demokrasi yang kuat maka otonomi daerah tidak bisa membantu
memperkuat keIndonesiaan, dan demikian juga sebaliknya. Otonomi daerah seluas-luasnya
terlaksana dengan pemanfaatan sumberdaya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Selain hal-hal diatas kebijakan otonomi daerah juga belum mencapai harmonisasi
pendelegasian wewenang antara pusat dengan daerah, dan ditambah juga terdapat hambatan
operasionalisasi perundang-undangan terkait maupun kendala-kendala praktis.
Pelaksanaan pembangunan di daerah yang pembangunan kembali menunjukan
kecenderungan resentralistik dalam arti program pembaungan direncanakan secara terpusat
oleh Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan,
karakteristik dan spesifikasi masing-masing daerah, dan mengasumsikan kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi setiap daerah adalah sama. Hal ini membawa dampak negative
bagi daerah, seperti hilangnya kreativitas daerah , tidak terpenuhinya kebutuhan masyrakat,
dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat
daerah. Kewenangan daerah dalam mengembangkan dunia usaha juga sangat terbatas karena
banyak kebijakan dan regulasi berada pada Pemerintah Pusat. Berbagai perizinan masih
diputuskan oleh Pemerintah Pusat.
Seharusnya melalui desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintah kepala daerah
otonom, daerah akan mempunyai kewenangan yang luas dan utuh seperti :
1. Untuk mengatur dan mengelola aspirasi/tuntutan masyarakatnya
2. Untuk merencanakan dan mengelola pelaksanaan pemabngunan di daerahnya
Dengan demikian pemerintah daerah dapat mengembangkan kreativitas dalam
menggali dan mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk dimanfaatkan seoptimal
mungkin bagi pembangunan daerah dan pengembangan usaha di daerah.
Otonomi daerah ditujukan untuk memudahkan adanya pembangunan yang bersifat adil
dan membawa kesejahteraan bagi daerah. Namun pada realitanya banyak sekali kasus korupsi
dalam pembangunan di daerah dalam berbagai sektor yang memiliki kaitan erat dengan
berlakunya Otonomi Daerah. Terbukti dengan survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada
tahun 2003 sebelum diberlakukan Otonomi Daerah sebesar 2,2 kemudian setelah berlakunya
Otonomi Daerah meningkat menjadi pada 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011
dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat
menjadi 3,4. Hal ini membuktikan bahwa Otonomi Daerah membuka peluang besar bagi
pemerintah daerah yang mungkin saja sudah bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam
pusat, berbagai departemen daerah untuk merancang manipulasi anggaran yang seharusnya di
alokasikan ke dalam sektor pembangunan riel yang membawa manfaat bagi masyarakat
daerah. Ironisnya lagi, untuk menutup kesalahan dalam mark up harga sebagai salah satu cara
untuk melakukan aksi korupsi, oknum-oknum ini cenderung menutupinya dengan
memanipulasi data-data penerimaan sehingga terlihat bahwa pemerintahannya berprestasi dan
tidak patut dicurigai padahal realitanya anggaran-anggaran yang seharusnya menjadi
infrastruktur hilang dalam jumlah persentase yang tidak sedikit yang pada akhirnya membuat
daerah-daerah terutama daerah tertinggal yang menjadi perhatian pemerintah pusat sulit
untuk berkembang (menurut survei ICW, NTT yang termasuk daerah tertinggal dan menjadi
perhatian pusat merupakan provinsi terkorup nomor 2 di Indonesia) kami ambil contoh di
Provinsi berbeda lagi, kasus Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag)
Pemkot Medan, Syahrial Arif, didakwa melakukan korupsi dalam proyek revitalisasi Pasar
Kapuas Belawan sebesar Rp 200 juta. Yang mana berdasarkan survey yang dilakukan ICW
(Indonesia Corruption Watch) Provinsi terkorup nomor 1 di Indonesia adalah provinsi
Sumatera Utara. Kasus itu merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi
daerah, dan kebetulan kasus yang kami berikan contoh tidak meraup uang triliyunan yang
biasanya merupakan anggaran pembangunan infrastruktur namun dikarenakan adanya
‘manipulasi data’ infrastruktur ini tadi tidak menjadi maksimal. Bisa jadi hasilnya terlambat,
mudah rusak dan membahayakan masyarakat, bahkan paling parah tidak selesai. Menurut
KPK, Jumlah kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi terus bertambah. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, selama 11 tahun terakhir, sudah ada 64 kasus
korupsi yang menyangkut para kepala daerah di negeri ini. Dari 64 kasus tadi, sebanyak 51
kasus sudah diputuskan pengadilan. KPK juga melihat, modus kepala daerah untuk korupsi
juga berkembang. Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto
Seno Adji mencontohkan, salah satu modus yang dipakai adalah menyuruh pengacara
memberikan sejumlah uang ke hakim untuk memenangkan gugatannya.
Undang-undang Otonomi Daerah telah mengalami beberapa kali revisi. Yaitu, Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2004, dan yang terakhir Undang Undang Nomor 9 Tahun 2015. Sayangnya,
dalam revisi beberapa kali yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir hanya mengatur
perihal pemilihan kepala daerah, serta hal-hal teknis lainnya yang berhubungan dengan
pemilihan atau penggantian jabatan. Dan sama sekali tidak memuat pasal baru yang berguna
untuk mengatur regulasi kewenangan pejabat daerah ataupun pengawasan lebih dalam perihal
anggaran yang kerap kali dikhawatirkan sebagai ladang korupsi yang subur bagi para oknum
baik pejabat maupun para ‘pembantu’ di belakangnya untuk melancarkan niat korupsi
mereka.3
Discretion of official menjadi kunci utama pencegahan penyelewengan otonomi daerah
Korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah suatu korupsi yang terjadi secara kebetulan
dalam pengelolaan uang negara oleh oknum-oknum penyelenggara negara/instansi
Pemerintahan/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), melainkan adalah suatu korupsi yang sudah terencana dengan matang jauh-jauh
hari. Prof. Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa tingkat kebocoran dalam
pengelolaan keuangan negara mencapai 30%. Tingkat korupsi yang begitu tinggi dalam
pengelolaan anggaran terjadi secara berkesinambungan inilah yang menyulitkan para
pengendali dan pengawas keuangan negara untuk menanggulangi masalah ini.
Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power)
disini membuktikan bahwa pimpinan memiliki kekuatan penuh dalam memanipulasi data
bawahannya untuk melancarkan aksinya, ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki
seseorang (discretion of official) kekuasaan tadi membuat permintaan dari pejabat kerap kali
sulit untuk di tolak kemudian tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas
(minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.4
“ Otonomi daerah yang mulanya diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk
lebih memberdayakan masyarakat dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam
daerah, ternyata juga dijadikan “ lahan basah “ dimana praktik tindak pidana korupsi
berlangsung. Dari harapan – harapan otonomi daerah kita akan merasakan kehidupan
masyarakat sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang luar biasa tapi nyatanya, dibalik itu
semua sudah muncul tindak –tindakan kriminologi seperti : kondisi tindak pidana korupsi “
ungkap Agus sudaryanto, aktivis Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Pengawasan
terhadapa pelaksanaan dari otonomi daerah itu sendiri pun menjadi kunci utama dalam
pelaksaaan otonomi daerah yang bersih dan jujur namu dewasa ini indonesia terlah
terbelenggu menjadi satu bagian yang sama dalam kerangka nepotisme dan korupsi itu
sendiri. Upaya upaya penyesuaian yang terjadi mulai dari tahun 2004 sampai dengan detik ini
masih banyak sistem otonomi daerah yang harus dibenahi dalam hal kekuasaaan monopoli
yang menjurus kepada pertanyaan dimana kah kredibilitas dan akuntabilitas dari pejabat
daerah apabila ada kasus terkait dengan penyelewengan biaya biaya pembangunan daerah.
Pembangunan daerah yang paling diimpikan adalah pemerataan pembangunan infrastruktur
pendidikan dan kesehatan terutama di daerah terpencil menelitik dari keinginan tersebut
banyak yang meragukan sistem otonomi daerah yang selama ini dianggap dapat memperkecil
kemungkinan korupsi itu sendiri namun dari segi realitas pembangunan di daerah terpencil
dan tidak merata menunjukkan ketdak berhasilan dari sistem tersebut walau sudah sering
direvisi bagian dan wewenang dari sistem otonomi daerah.
PENUTUP
Kesimpulan
Kondisi korupsi di Indonesia pasca reformasi bukan semakin menurun melainkan
meningkat ke segala aspek kehidupan dan di semua bidang penyelenggaraan negara, baik di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, bidang politik maupun sektor swasta.
Kuantitasnya pun beragam mulai dari pungli di jalanan hingga jual beli perkara di pengadilan
baik dalam lingkungan pemerintahan pusat, daerah, lembaga negara, maupun
BUMN/BUMD. Korupsi ini pun tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang
matang dan jauh-jauh hari yang juga melibatkan beragam pihak dalam satu tindakan korupsi.
Ditambah lagi dengan pemberantasannya yang cenderung diulur-ulur dan banyak permainan
serta dijadikan komoditas politik. Padahal setiap tahunnya, korupsi di negara Indonesia sudah
meraup ratusan triliyun rupiah yang apabila di realisasikan dalam bentuk pembangunan
dalam berbagai sektor justru akan menambah kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang
diatur dalam UUD 1945.
Otonomi daerah merupakan langkah baru dari sistem reformasi Indonesia, yang
bertujuan pembagian kekuasaaan dari sentralistik ke desentralisasi. Guna pengaturan
kebijakan agar tidak terpusat pada pemerintah pusat, dan kebijakan pengelolaan daerah
masing-masing dipegang oleh kepala daerah yang lebih mengetahui kondisi daerahnya itu
sendiri. Tetapi dalam perkembangannya, otonomi sistem desentralisasi tersebut mengalami
beberapa problema atau masalah-masalah yang baru muncul.
Salah satunya yaitu eksploitasi pendapatan daerah, korupsi di daerah, SDM yang
belum siap, potensi munculnya konflik antar daerah dan lain sebagainya. Tetapi kedepannya,
ternyata otonomi daerah mempunyai banyak keuntungan atau prospek kedepan, yaitu antara
lain : memperkokoh sendi-sendi perkeonomian daerah, demokratisasi tata kelola pemerintah,
kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-
fungsi pelayanan esekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan
standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan negara dan daerah,
serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam,
pajak dan retribusi juga pinjaman daerah.
Saran
Regulasi dan kebijakan otonomi daerah ke depan harus dirancang dengan mengacu
pada konsepsi strategis, antara lain:
1. Penguatan dan implementasi otonomi daerah yang bertanggung jawab memenuhi asas
keadilan dan keselarasan dalam bingkai NKRI. Kecenderungan politik untuk
melemahkan paradigma desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik melalui
komunikasi wacana yang bermuatan ‘pemikiran-pemikiran resentralistik’ maupun
regulasi termasuk materi muatan dalam undang-undang yang secara faktual berpotensi
mengubah hubungan-hubungan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
harus segera ditinggalkan.
2. Akselerasi pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi dengan
memperhatikan konektivitas antar wilayah guna mencapai tujuan pemerataan
pembangunan nasional.
3. Kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah yang segera dapat dioperasionalkan untuk
menghadapi perkembangan dalam kerja sama ekonomi.
4. Peningkatan upaya-upaya untuk terus membanguna tata kelola pemerintahan yang baik,
melalui peningkatan kapasitas kepemerintahan.
5. Regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal harus ditata guna mewujudkan alokasi
sumberdaya nasional yang efisien dan efektif melalui pola hubungan keuangan pusat dan
daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Peningkatan pembangunan daerah
yang tidak tersentral pada pulau-pulau di jawa, akan memudahkan proses otonomi daerah
yang sehat, kebijakan nasional yang mementingkan potensi daerah dan sekaligus
menjaga kelestarian daerah tersebut, regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal per
daerah, dan regulasi ketentuan pembentukan peraturan daerah yang tepat guna.
DAFTAR PUSTAKA
Niwanto Andhi D, Otonomi Daerah Versus Desentralisasi Korupsi. Aneka ilmu,
Semarang:2013
Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Rajawali Pers, Jakarta: 2007